Anda di halaman 1dari 5

Resensi Buku Falsafah Kebudayaan Pancasila

Oleh: Berlian Fiqih Nurvandi Susanto

Judul Buku : Falsafah Kebudayaan Pancasila

Penulis : Syaiful Arif

Penerbit : Gramedia

Tahun Terbit : 2016

Tebal : 276 Halaman

Gagasan mengenai Pancasila pada dasarnya bersumber dari kebudayaan kolektif yang
terbentuk di bumi nusantara baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri yang telah
mengalami pribumisasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pancasila hadir sebagai habitus
yang membentuk suatu pandangan dunia mengenai kolektivitas keindonesiaan. Hakikat
kebudayaan pancasila bersumber dari nilai-nilai ketuhanan yang bersifat humanistik, yang pada
pengamalannya mengedepankan praktik kemanusiaan demi terciptanya keadilan dan keadaban
manusiawi

Penulis berpijak dari ungkapan Soekarno dalam pidatonya mengenai ketuhanan yang
berkebudayaan, Syaiful Arif menilai bahwa prinsip ketuhanan di dalam Pancasila ialah
ketuhanan yang berkebudayaan yang dimaknai sebagai iman dan pengamalan yang diwujudkan
melalui amal-amal kebudayaan. Kebudayaan diartikan sebagai kemanusiaan, dengan berprinsip
pada ketuhanan yang berkebudayaan maka diartikan sebagai ketuhanan yang berkemanusiaan
yang mempraksis dalam perjuangan kerakyatan dan keadilan dalam bingkai persatuan.

Buku ini berusaha mengelaborasi antara kebudayaan dan demokrasi yang didasarkan atas
nilai-nilai dan pengamalan Pancasila. Dengan kata lain kebudayaan adalah kemanusiaan dan
kemanusiaan adalah kebudayaan, kebudayaan dan Pancasila berkaitan erat dan yang menarik
diantara keduanya ialah berusaha menghadirkan Tuhan ditengahnya, dalam artian bahwa
kebudayaan, demokrasi dan Pancasila dihadirkan dengan penggalian potensi-potensi dan nilai-
nilai yang terkandung dalam kearifan lokal.
Dengan menempatkan Pancasila sebagai falsafah kebudayaan maka tidak lepas dari kritik
kebudayaan yang memiliki basis terhadap pancasila. Kebudayaan atau yang diartikan sebagai
kehidupan simbolik merupakan tatanan kehidupan yang sudah dibalut oleh simbol-simbol
modernitas, karenanya kritik kebudayaaan didasarkan tidak hanya pada kritik cultural studies
yang ditujukan pada budaya pop melainkan pada kulturkritik yang tertuju langsung pada
penyakit modernitas.

Adanya perubahan basis material kebudayaan yang terjadi di masyarakat, menyebabkan


semakin tergerusnya nilai luhur kebudayaan menjadi simbol yang tak lagi memiliki signifikansi.
Pancasila tidak lagi di konsepsikan sebagai nilai normatif yang harus ditaati sebagai suatu yang
bersifat etis, melainkan sebagai hiasan dekoratif, tidak menjadi skenario dan praktik dalam suatu
pertunjukan diatas panggung kehidupan bangsa Indonesia yang pada akhirnya menjadi apa yang
disebut sebagai entropi kebudayaan.

Oleh sebab itu buku ini juga berusaha menawarkan solusi atas entropi kebudayaan yang
telah terjadi. Dengan menempatkan Pancasila tidak hanya sebagai suatu pandangan dunia bagi
bangsa, dasar negara, ideologi politik nasional tetapi juga sebagai falsafah kebudayaan yang
dipraksiskan melalui demokrasi pemusyawaratan. Dengan cara ini, lima dasar dalam ranah
kenegaraan akan berubah menjadi ranah kebudayaan, sehingga dengan ranah kebudayaan inilah
Pancasila dapat menjadi napas sehari-hari bagi masyarakat.

Buku ini dinilai penting bagi pegiat ilmu sosial karna melihat fenomena-fenomena
kebudayaan, demokrasi dan Pancasila dalam ranah kenegaraan melalui sudut pandang sosiologis.
Buku ini juga menampilkan kritik-kritik kebudayaan yang bersifat konstruktif serta membuat
pembacanya merenungkan telaah kebudayaan dalam memahami kembali Pancasila secara lebih
mendalam.

Pada bab pertama memuat konsepsi dasar yang merujuk pada sila ketuhanan Pancasila
yang menunjukan corak ketuhanan yang bukan sektarian, melainkan kebudayaan. Disamping itu
juga memuat konsepsi tentang demokrasi permusyawaratan yang mana merupakan akar
kebudayaan bangsa dalam pencarian mufakat melalui permusyawaratan. Inilah yang menjadi
elaborasi antara Pancasila dari perspektif kebudayaan dan perspektif demokrasi, dimana prinsip
ketuhanan yang berkebudayaan dan demokrasi permusyawaratan mensintesiskan bahwa
Pancasila selain sebagai ideologi politik dan dasar negara, juga merupakan dasar kebudayaan dan
demokrasi bagi Pancasila. Dengan demikian, ketuhanan yang berkebudayaan adalah pandangan
dunia yang harus diwujudkan oleh prinsip operasionallnya yakni demokrasi pemusyawaratan.

Berlanjut pada Bab II penulis berusaha memberikan pemikiran Pancasila dari masa ke
masa, dimana Pancasila memiliki ragam penafsiran dalam rangka menempatkan Pancasila secara
pas dalam lanskap kehidupan berbangsa. Hal ini dilakukan oleh sejumlah tokoh pada tahun 1950
untuk menginterpretasi ulang Pancasila, kubu pertama menempatkan Pancasila sebagai filsafat
sosial atau Weltanschauung bangsa (jati diri bangsa), sedangkan kubu kedua menempatkan
Pancasila sebagai kompromi politik, dengan kata lain Pancasila sebagi hasil dari negosiasi dan
kesepakatan politik di antara kaum nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Pada bab ini juga
dijelaskan beberapa pemikiran mengenai Pancasila oleh founding father dapat dipahami sebagai:
pertama, Pancasila adalah filsafat bangsa Indonesia dalam arti pandangan dunia. Kedua,
pancaran jiwa suatu bangsa terdapaat dalam kebudayaanya dan di dalamnya terdapat sistem
hukum adat sebagai salah satu subsistem normatifnya. Ketiga, kaitan masing-masing sila
Pancasila yang menunjukkan kesatuan filosofisnya.

Berlanjut pada Bab III penulis menguraikan mengenai ketuhanan yang berkebudayaan
sebagai ketuhanan yang dalam pengamalannya berorientasi dalam perwujudan Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab. Oleh karenanya dalam memahami, mengimani dan melaksanakan ajaran
Tuhan, rakyat Indonesia harus mengamalkan praktik ketuhanannya demi kesejahteraan manusia
dan demi keadilan sosial. Dalam kerangka ini, ketuhanan dalam Pancasila bukan merupakan
ketuhanan yang memiliki perspektif pada agama, akan tetapi ketuhanan dalam perspektif
Pancasila merupakan nilai-nilai ketuhanan yang universal. Dengan kata lain ia mudah diasupi
tradisi-tradisi keagamaan tertentu namun ia otonom dari aturan keagamaan tertentu.

Berlanjut pada Bab IV, kita akan mendapatkan konsepsi mengenai demokrasi permusyawaratan
sebagai sebuah prinsip operasional yang berfungsi mewujudkan cita-cita hakikat kebudayaan
dalam ketuhanan yang berkebudayaan. Demokrasi permusyawaratan merujuk pada sistem
demokrasi yang berporos pada mekanisme musyawarah (deliberasi) sebagai mekanisme utama
dalam perumusan kebijakan politik sebagai suatu prosedur yang normatif bagi partisipasi rakyat.
Disamping itu pada bab ini juga dijelaskan patologi demokrasi yang memuat dua hal. Pertama,
kelemahan teoritis demokrasi akibat keterjebakan pada legitimasi sosiologis, bukan etis. Hal ini
menjadikan demokrasi menjelma men jadi demokrasi majoritarian. Kedua, keterjebakan
demokrasi dalam corak kebebasan negatif. Hal inilah yang membuahkan demokrasi politik
minus demokrasi sosial.

Berlanjut pada Bab V, kita akan diajak memahami kemajuan suatu bangsa dengan
mendasarkan pada kebudayaan dan demokrasi pada prinsip Pancasila, kemajuan disini merujuk
pada cita-cita “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Dengan arti bahwa kemajuan bangsa
adalah kemampuan negara untuk mengadabkan perikehidupan bangsa demi peradaban Indonesia
yang mengadabkan manusia di Indonesia, serta menciptakan perikehidupan negara yang
berkeadilan demi keadilan hidup manusia. Dalam kaitan ini, dasar kebudayaan dan demokrasi
merujuk pada dasar-dasar filosofis-etis dari konsep ketuhanan yang berkebudayaan serta
demokrasi permusyawaratan. Dasar tersebut meliputi; pertama, dasar ketuhanan. Dalam konteks
ini masyarakat indonesia harus mampu menggeser pola ketuhanannya, dari ketuhanan
keagamaan menjadi ketuhanan dalam konteks kebangsaan. Kedua, dasar kebudayaan. Hal ini
merujuk pada upaya pemanusiaan manusia melalui pemanusiaan kehidupan.

Berlanjut pada Bab VI, kita akan diajak memahami perubahan basis material yang terjadi
sebagai problem kebudayaan yang menjadi kendala perwujudan Pancasila. Proses perubahan ini
diyakini sebagai dampak modernitas yang mengubah basis sosial dan kognisi kebudayaan. Pada
akhirnya kebudayaan yang sebagai sistem makna dan sistem nilai mati, entropis dan tak mampu
menjadi panduan bagi tingkah laku dan sistem sosial suatu masyarakat. Hal ini terjadi karena
substansi kebudayaan yang berada pada ranah kognisi, mental, nilai, makna dan norma telkah
diubah oleh perubahan basis materialnya, akibat perubahan cara kerja dan cara hidup. Perubahan
inilah yang menimbulkan entropi dalam kerangka politik dan Pancasila, yang mengakibatkan
menguatnya nalar instrumental dibanding rasionalitas nilai. Kehidupan modern menjadi dikuasai
oleh dua sistem raksasa besar yang menyulap manusia menjadi satu dimensi: industri dan
birokrasi. Industri kemudian melahirkan kapitalisme sedangkan birokrasi melahirkan negara
koersif yang menyulap politik menjadi administrasi.

Berlanjut bada Bab VI, penulis memberikan penjelasan akhir mengenai falsafah
Pancasila, sebagai pandangan hidup, dasar negara dan ideologi nasional. Pancasila berkaitan erat
dengan dua ranah sekaligus, yakni ranak kebudayaan dan ranah politik. Sebagai pandangan
hidup, nilai-nilai Pancasila menjadi dasar-dasar kebijaksanaan, dimana hidup diajarkan. Sebagai
kontrak sosial, Pancasila merupakan kompromi atau konsensus setidaknya antara kaum
nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Dalam perumusannya sendiri, Pancasila memang
mengandung nilai-nilai modernitas seperti humanisme, sosialisme dan demokrasi. Sementara itu
sila ketuhanan melambangkan kearifan lokal bangsa yang menunjukan bahwa masyarakat
indonesia memang sejak awal bersifat religius. Dalam kerangka Pancasila sebagai dasar negara
dan ideologi nasional, kehadiran demokrasi pemusyawaratan dirasa sangat perlu, karena ini
menandakan sistem politik yang tidak bersifat mayorokrasi, tetapi mendasarkan pada sistem
politik yang deliberatif dengan perluasan partisipasi politik hingga ke ruang publik. Oleh sebab
itu perlunya niat baik dari pemerintah untuk memberikan ruang bagi rakyat dalam keterlibatan
permusyawaratan secara langsung demi tegaknya demokrasi pemusyawaratan yang dilandasi
oleh nilai-nilai Pancasila.

Buku ini disusun dengan begitu rinci mengenai falsafah serta kebudayaan pancasila,
dengan penjelasan yang bertahap, penulis mampu menjelaskan rincian-rincian detil mengenai
telaah kebudayaan. Menurut saya, buku ini cukup serius dalam menjelaskan Pancasila melalui
telaah falsafah kebudayaan. Sementara itu, kelemahan dari buku ini ialah penulisan istilah-istilah
asing para ahli yang terkadang luput dari penjelasan, sehingga membuat argumen penulis tidak
bisa dipahami dengan baik khususnya bagi orang awam yang tidak terbiasa dengan tilikan
filsafat dan teori ilmu sosial lainnya.

Anda mungkin juga menyukai