Disusun Oleh:
NPM : 131110027
TA 2012/2013
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim
Segala puji bagi Allah SWT Yang Maha Kuasa, sehingga atas izin dan karunia-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih pada seluruh pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan makalah ini sebagai tugas mandiri mata
kuliah Pendidikan Pancasila.
Tak ada jalan yang tak retak, maka begitu pula lah penulisan makalah ini yang jauh dari
kesempurnaan dan banyak kekeliruan disana-sini karena keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman yang dimiliki penulis. Untuk itu, penulis menerima saran, kritik, dan pertanyaan
demi perbaikan di masa yang akan datang.
20 Desember 2013
Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai dasar negara
dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiapwarga negara Indonesia
memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap yang sama
terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasiladalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Apalagi manakala dikaji perkembangannya secara konstitusional
terakhir ini dihadapkan pada situasi yang tidak kondusif sehingga kridibilitasnya menjadi
diragukan, diperdebatkan, baik dalam wacana politis maupun akademis.
Semenjak ditetapkan sebagai dasar negara (oleh PPKI 18 Agustus 1945),Pancasila telah
mengalami perkembangan sesuai dengan pasang naiknya sejarahbangsa Indonesia (Koento
Wibisono, 2001) memberikan tahapan perkembanganPancasila sebagai dasar negara dalam
tiga tahap yaitu : (1) tahap 1945 – 1968 sebagai tahap politis, (2) tahap 1969 – 1994 sebagai
tahap pembangunan ekonomi, dan (3) tahap 1995 – 2020 sebagai tahap repositioning
Pancasila. Penahapan ini memang tampak berbeda lazimnya para pakar
hukumketatanegaraan melakukan penahapan perkembangan Pancasila Dasar Negara yaitu:
(1) 1945 – 1949 masa Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama ; (2) 1949 – 1950 masa
konstitusi RIS ; (3) 1950 – 1959 masa UUDS 1950 ; (4) 1959 – 1965 masa orde lama ; (5)
1966 – 1998 masa orde baru dan (6) 1998 – sekarang masa reformasi.
Hal ini patut dipahami, karena adanya perbedaan pendekatan, yaitu dari segi politikdan dari
segi hukum. Di era reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan mempengaruhi
dan menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populerseperti pada masa lalu. Elit politik
dan masyarakat terkesan masa bodohdalam melakukan implementasi nilai-nilai pancasila
dalam kehidupanberbangsa dan bernegara. Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi,
rujukan dan kekuatan vitalnya. Sebab utamannya sudah umum kitaketahui, karena rejim
Orde Lama dan Orde Baru menempatkan Pancasilasebagai alat kekuasaan yang otoriter.
Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari kedirian bangsa ini,
Pancasila harus tetap sebagai ideologi kebangsaan. Pancasila harus tetap menjadi dasar dari
penuntasan persoalan kebangsaan yang kompleks seperti globalisasi yang selalu
mendikte,krisis ekonomi yang belum terlihat penyelesaiannya, dinamika politik lokalyang
berpotensi disintegrasi, dan segregasi sosial dan konflik komunalisme yang masih rawan.
Kelihatannya, yang diperlukan dalamkonteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan
yang lebih konseptual, komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan relevan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat,bangsa dan negara.
Di era reformasi ini ada gejala Pancasila ikut “terdeskreditkan” sebagai bagian dari
pengalaman masa lalu yang buruk. Sebagai suatu konsepsi politik Pancasila pernah dipakai
sebagai legitimasi ideologis dalam membenarkan negara Orde Baru dengan segala sepak
terjangnya. Sungguh suatu ironi sampai muncul kesan di masa lalu bahwa mengkritik
pemerintahan Orde Baru dianggap “anti Pancasila“. Jadi sulit untuk dielakkan jika sekarang
ini muncul pendeskreditan atas Pancasila.
Pancasila ikut disalahkan dan menjadi sebab kehancuran. Orang gamang untuk berbicara
Pancasila dan merasa tidak perlu untuk membicarakannya. Bahkan bisa jadi orang yang
berbicara Pancasila dianggap ingin kembali ke masa lalu. Anak muda menampakkan
kealpaan bahkan phobia-nya apabila berhubungan dengan Pancasila.
Di sisi lain, rezim reformasi sekarang ini juga menampakkan diriuntuk “malu-malu”
terhadap Pancasila. Jika kita simak kebijakan yang dikeluarkan ataupun berbagai pernyataan
dari pejabat negara, mereka tidak pernah lagi mengikutkan kata-kata Pancasila. Hal ini jauh
berbeda dengan masa Orde Baru yang hampir setiap pernyataan pejabatnya menyertakan
kata – kata Pancasila. Menarik sekali pertanyaan yang dikemukakan Peter Lewuk yaitu
apakah Rezim Reformasi ini masih memiliki konsistensi dan komitmen terhadap Pancasila?
Dinyatakan bahwa Rezim Reformasi tampaknya ogah dan alergi bicara tentang Pancasila.
Mungkin Rezim Reformasi mempunyai cara sendiri mempraktikkan Pancasila.
Setelah bangsa Indonesia berhasil merebut kedaulatan dan berhasil mendirikan negara merdeka,
perjuangan belum selesai. Perjuangan malah bisa dikatakan baru mulai, yaitu upaya menciptakan
masyarakat yang sejahtera lahir batin, sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945.
Para pendiri Negara (the founding father) telah sepakat bahwa kemerdekaan bangsa akan diisi
nilai-nilai yang telah ada dalam budaya bangsa, kemudian disebut nilai-nilai Pancasila.
Pancasila mulai dibicarakan sebagai dasar negara mulai tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPPK
oleh Ir. Soekarno dan pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila resmi dan sah menurut hukum
menjadi dasar negara Republik Indonesia. Kemudian mulai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 berhubungan dengan Ketetapan No. I/MPR/1988 No.
I/MPR/1993, Pancasila tetap menjadi dasar falsafah Negara Indonesia hingga sekarang. Akibat
hukum dari disahkannya Pancasila sebagai dasar negara, maka seluruh kehidupan bernegara dan
bermasyarakat haruslah didasari oleh Pancasila. Landasan hukum Pancasila sebagai dasar negara
memberi akibat hukum dan filosofis; yaitu kehidupan negara dari bangsa ini haruslah
berpedoman kepada Pancasila. Bagaimana sebetulnya implementasi Pancasila dalam sejarah
Indonesia selama ini dan pentingnya upaya untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila
yang setelah reformasi mulai ditinggalkan demi tegaknya persatuan dan kesatuan NKRI.
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara dapat dikatakan mulai pada masa orde lama, tanggal
18 Agustus 1945 sehari setelah Indonesia baru memproklamirkan diri kemerdekaannya. Apalagi
Soekarno akhirnya menjadi presiden yang pertama Republik Indonesia.
Walaupun baru ditetapkan pada tahun 1945, sesungguhnya nilai-nilai yang terkandung di dalam
Pancasila disarikan dan digali dari nilai-nilai budaya yang telah ada dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Pencetus dan penggali Pancasila yang pertama adalah Soekarno sendiri. Sebagai
tokoh nasional yang paling berpengaruh pada saat itu, memilih sila-sila yang berjumlah 5 (lima)
yang kemudian dinamakan Pancasila dengan pertimbangan utama demi persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Pancasila yang merupakan dasar dan ideologi negara dan bangsa wajib diimplementasikan dalam
seluruh aspek kehidupan bernegara. Dalam mewujudkan Pancasila melalui kebijakan ternyata
tidaklah mulus, karena sangat dipengaruhi oleh pimpinan yang menguasai negara, sehingga
pengisian kemerdekaan dengan nilai-nilai Pancasila menampilkan bentuk dan diri tertentu.
Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada
situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan
keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam
suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka. Masa
orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem
kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde
lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950,
periode 1950-1959, dan periode 1959-1966.
Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi masalah, tetapi lebih
dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan faham
komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan oleh DI/TII yang akan
mendirikan negara dengan dasar islam. Pada periode ini, nilai persatuan dan kesatuan masih
tinggi ketika menghadapi Belanda yang masih ingin mempertahankan penjajahannya di
bumi Indonesia. Namun setelah penjajah dapat diusir, persatuan mulai mendapat tantangan.
Dalam kehidupan politik, sila keempat yang mengutamakan musyawarah dan mufakat tidak
dapat dilaksanakan, sebab demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi parlementer,
dimana presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara, sedang kepala pemerintahan
dipegang oleh Perdana Menteri. Sistem ini menyebabkan tidak adanya stabilitas
pemerintahan. Kesimpulannya walaupun konstitusi yang digunakan adalah Pancasila dan
UUD 1945 yang presidensiil, namun dalam praktek kenegaraan system presidensiil tak
dapat diwujudkan.
Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap Pancasila, tetapi rumusan sila
keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara terbanyak (voting).
Sistem pemerintahannya yang liberal sehingga lebih menekankan hak-hak individual. Pada
periode ini persatuan dan kesatuan mendapat tantangan yang berat dengan munculnya
pemberontakan RMS, PRRI, dan Permesta yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Dalam
bidang politik, demokrasi berjalan lebih baik dengan terlaksananya pemilu 1955 yang
dianggap paling demokratis. Tetapi anggota Konstituante hasil pemilu tidak dapat
menyusun UUD seperti yang diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis politik, ekonomi, dan
keamanan, yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk
membubarkan Konstituante, UUD 1950 tidak berlaku, dan kembali kepada UUD 1945.
Kesimpulan yang ditarik dari penerapan Pancasila selama periode ini adalah Pancasila
diarahkan sebagai ideology liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan.
Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin. Demokrasi bukan
berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai Pancasila tetapi
berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno. Terjadilah berbagai penyimpangan
penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter,
diangkat menjadi presiden seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan Nasionalis,
Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI. Terbukti adanya kemerosotan
moral di sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan nilai-nilai Pancasila, dan
berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Dalam mengimplentasikan
Pancasila, Bung Karno melakukan pemahaman Pancasila dengan paradigma yang disebut
USDEK. Untuk memberi arah perjalanan bangsa, beliau menekankan pentingnya
memegang teguh UUD 45, sosialisme ala Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi
terpimpin dan kepribadian nasional. Hasilnya terjadi kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang
memprihatinkan. Walaupun posisi Indonesia tetap dihormati di dunia internasional dan
integritas wilayah serta semangat kebangsaan dapat ditegakkan. Kesimpulan yang ditarik
adalah Pancasila telah diarahkan sebagai ideology otoriter, konfrotatif dan tidak memberi
ruang pada demokrasi bagi rakyat.
Orde baru berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen sebagai kritik terhadap orde lama yang telah menyimpang dari Pancasila. Situasi
internasional kala itu masih diliputi konflik perang dingin. Situasi politik dan keamanan
dalam negeri kacau dan ekonomi hampir bangkrut. Indonesia dihadapkan pada pilihan yang
sulit, memberikan sandang dan pangan kepada rakyat atau mengedepankan kepentingan
strategi dan politik di arena internasional seperti yang dilakukan oleh Soekarno.
Dilihat dari konteks zaman, upaya Soeharto tentang Pancasila, diliputi oleh paradigma yang
esensinya adalah bagaimana menegakkan stabilitas guna mendukung rehabilitasi dan
pembangunan ekonomi. Istilah terkenal pada saat itu adalah stabilitas politik yang dinamis
diikuti dengan trilogi pembangunan. Perincian pemahaman Pancasila itu sebagaimana yang
kita lihat dalam konsep P4 dengan esensi selaras, serasi dan seimbang. Soeharto melakukan
ijtihad politik dengan melakukan pemahaman Pancasila melalui apa yang disebut dengan P4
(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau Ekaprasetia Pancakarsa. Itu tentu
saja didasarkan pada pengalaman era sebelumnya dan situasi baru yang dihadapi bangsa.
Pada awalnya memang memberi angin segar dalam pengamalan Pancasila, namun beberapa
tahun kemudian kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan ternyata tidak sesuai dengan jiwa
Pancasila. Walaupun terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat dan penghormatan dari dunia
internasional, Tapi kondisi politik dan keamanan dalam negeri tetap rentan, karena
pemerintahan sentralistik dan otoritarian. Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan
kekuasaan pemerintah dan tertutup bagi tafsiran lain. Demokratisasi akhirnya tidak berjalan,
dan pelanggaran HAM terjadi dimana-mana yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau
negara. Pancasila seringkali digunakan sebagai legimitator tindakan yang menyimpang. Ia
dikeramatkan sebagai alasan untuk stabilitas nasional daripada sebagai ideologi yang
memberikan ruang kebebasan untuk berkreasi. Kesimpulan, Pancasila selama Orde Baru
diarahkan menjadi ideology yang hanya menguntungkan satu golongan, yaitu loyalitas
tunggal pada pemerintah dan demi persatuan dan kesatuan hak-hak demokrasi dikekang.
1. Gerakan Reformasi
Yang lebih mendasar lagi reformasi dilakukan pada kelembagaan tinggi dan tertinggi
negara yaitu pada susunan DPR dan MPR, yang dengan sendirinya harus dilakukan
melalui Pemilu secepatnya dan diawali dengan pengubahan :
a) UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU No. 16/1969 jis.
UU No. 5/1975 dan UU No. 2/1985).
b) UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya (UU No. 3/1975, jo. UU No.
3/1985).
c) UU tentang Pemilihan Umum (UU No. 16/1969 jis UU No.4/1975, UU No. 2/1980,
dan UU No. 1/1985).
d) Reformasi terhadap UU Politik tersebut di atas harus benar-benar dapat
mewujudkan iklim politik yang demokratis sesuai dengan kehendak Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (Mardjono, 1998 : 57).
Makna “Reformasi” secara etimologis berasal dari kata “reformation” dengan akar kata
“reform” yang secara semantic bermakna “make or become better by removing or
putting right what is bad or wrong” (Oxford Advanced Leaner’s Divtionary of Current
English, 1980. dalam Wibisono, 1998:1). Secara harfiah reformasi memiliki makna:
suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang
menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-
nilai ideal yang dicita-citakan rakyat (Riswanda, 1998). Oleh karena itu suatu gerakan
reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai berikut:
b) Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas (landasan
ideologis) tertentu, dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara
Indonesia, dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia.
Jadi reformasi pada prinsip-prinsipnya suatu gerakan untuk mengembalikan kepada
dasar nilai-nilai sebagaimana yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Tanpa
landasan ideologis yang jelas maka gerakan reformasi akan mengarah kepada
anarkisme, disentegrasi bangsa dan akhirnya jatuh pada suatu kehancuran bangsa
dan negara Indonesia, sebagaimana yang telah terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia.
d) Refomasi dilakukan kearah suatu perubahan ke arah kondisi serta keadaan yang
lebih baik. Perubahan yang dilakukan dengan reformasi harus mengarah pada suatu
kondisi kehidupan rakyat yang lebih baik dalam segala aspek antara lain bidang
politik, ekonomi, sosial, budaya, serta kehidupan keagamaan. Dengan lain perkataan
reformasi harus dilakukan ke arah peningkatan harkat dan martabat rakyat Indonesia
sebagai manusia.
e) Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etik sebagai manusia yang
Berketuhanan Yang Maha Esa, serta terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Gerakan reformasi harus tetap diletakkan dalam kerangka perspektif Pancasila sebagai
landasan cita-cita dan ideologi (Hamengkubuwono X, 1998 : 8) sebab tanpa adanya
suatu dasar nilai yang jelas maka suatu reformasi akan mengarah pada suatu disintegrasi,
anarkisme, brutalisme, serta pada akhirnya menuju pada kehancuran bangsa dan negara
Indonesia. Maka reformasi dalam perspektif Pancasila pada hakikatnya harus
berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Adapun secara rinci sebagai berikut:
a) Reformasi yang Berketuhanan yang Maha Esa, yang berarti bahwa suatu gerakan ke
arah perubahan harus mengarah pada suatu kondisi yang lebih baik bagi kehidupan
manusia sebagai Makhluk Tuhan. Karena hakikatnya manusia adalah sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa adalah sebagai makhluk yang sempurna yang
berakal budi sehingga senantiasa bersifat dinamis, sehingga selalu melakukan suatu
perubahan ke arah suatu kehidupan kemanusiaan yang lebih baik. Maka reformasi
harus berlandasan keagamaan. Oleh karena itu reformasi yang dijiwai nilai-nilai
religius tidak membenarkan pengrusakan, penganiayaan, merugikan orang lain serta
bentuk-bentuk kekerasan lainnya.
b) Reformasi yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berarti bahwa
reformasi harus dilakukan dengan dasar-dasar nilai-nilai martabat manusia yang
beradab. Oleh karena itu reformasi harus dilandasi oleh moral kemanusiaan yang
luhur, yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan bahkan reformasi menargetkan ke arah penataan kembali suatu
kehidupan negara yang menhargai harkat dan martabat manusia, yang secara
kongkrit menghargai hak-hak asasi manusia. Reformasi menentang segala praktek
eksploitasi, penindasan oleh manusia terhadap manusia lain, oleh golongan satu
terhadap golongan lain bahkan oleh penguasa terhadap rakyatnya. Untuk bangsa
yang majemuk seperti bangsa Indonesia maka semangat reformasi yang berdasar
pada kemanusiaan menentang praktek-praktej yang mengarah pada diskriminasi dan
dominasi sosial, bik alasan perbedaan suku, ras, asal-usul maupun agama. Reformasi
yang dijiwai nilai-nilai kemanusiaan tidak membenarkan perilaku yang biadab
membakar, menganiaya, menjarah, memperkosa, dan bentuk-bentuk kebrutalan
lainnya yang mengarah pada praktek anarkisme. Sekaligus reformasi yang
berkemanusiaan harus membrantas sampai tuntas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
yang telah sedemikian mengakar pada kehidupan kenegaraan pemerintahan Orba
(lihat Hamengkubuwono X, 1998 : 8).
d) Semangat dan jiwa reformasi harus berakar pada asas kerakyatan sebab justru
permasalah dasar gerakan reformasi adalah pada prinsip kerakyatan. Penatan
kembali secara menyeluruh dalam segala aspek pelaksanaan pemerintahan negara
harus meletakkan kerakyatan sebagai paradigmanya. Rakyat adalah sebagai asal
mula kekuasaan negara dan sekaligus sebagai tujuan kekuasaan negara, dalam
pengertian inilah maka reformasi harus mengembalikan pada tatanan pemerintahan
negara yang benar-benar bersifat demokratis, artinya rakyatlah sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi dalam negara. Maka semangat reformasi menentang segala
bentuk penyimpangan demokratis seperti kediktatoran baik bersifat langsung
maupun tidak langsung,, feodalisme maupun totaliterianisme. Asas kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan menghendaki terwujudnya masyarakat
demokratis. Kecenderungan munculnya diktator mayoritas melalui aksi massa, harus
diarahkan pada asas kebersamaan hidup rakyat agar tidak mengarah pada anarkisme.
Oleh karena itu penataan kembali mekanisme demokrasi seperti pemilihan anggota
DPR, MPR, pelaksanaan Pemilu beserta perangkat perundang-undangannya pada
hakikatnya untuk mengembalikan tatanan negara pada asas demokrasi yang
bersumber pada kerakyatan sebagaimana terkandung dalam sila keempat Pancasila.
e) Visi dasar reformasi harus jelas, yaitu demi terwujudnya Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Gerakan reformasi yang melakukan perubahan dan
penataan kembali dalam berbagai bidang kehidupan negara harus memiliki tujuan
yang jelas, yaitu terwujudnya tujuan bersama sebagai negara hukum yaitu “Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Oleh karena itu hendaklah disadari bahwa
gerakan reformasi yang melakukan perubahan dan penataan kembali, pada
hakikatnya bukan hanya bertujuan demi perubahan itu sendiri, namun perubahan dan
penataan demi kehidupan bersama yang berkeadilan. Perlindungan terhadap hak
asai, peradilan yang benar-benar terbebas dari kekuasaan, serta legalitas dalam arti
hukum harus benar-benar dapat terwujudkan. Sehingga rakyat benar-benar
menikmati hak serta kewajibannya berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial. Oleh
karena itu reformasi hukum baik yang menyangkut materi hukum terutama aparat
pelaksana dan penegak hukum adalah merupakan target reformasi yang mendesak
untuk terciptanya suatu keadilan dalam kehidupan rakyat.
Seperti juga Orde Baru yang muncul dari koreksi terhadap Orde Lama, kini Orde
Reformasi, jika boleh dikatakan demikian, merupakan orde yang juga berupaya mengoreksi
penyelewengan yang dilakukan oleh Orde Baru. Hak-hak rakyat mulai dikembangkan dalam
tataran elit maupun dalam tataran rakyat bawah. Rakyat bebas untuk berserikat dan
berkumpul dengan mendirikan partai politik, LSM, dan lain-lain. Penegakan hukum sudah
mulai lebih baik daripada masa Orba. Namun, sangat disayangkan para elit politik yang
mengendalikan pemerintahan dan kebijakan kurang konsisten dalam penegakan hukum.
Dalam bidang sosial budaya, disatu sisi kebebasan berbicara, bersikap, dan bertindak amat
memacu kreativitas masyarakat. Namun, di sisi lain justru menimbulkan semangat
primordialisme. Benturan antar suku, antar umat beragama, antar kelompok, dan antar
daerah terjadi dimana-mana. Kriminalitas meningkat dan pengerahan masa menjadi cara
untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berpotensi tindakan kekerasan.
Kondisi nyata saat ini yang dihadapi adalah munculnya ego kedaerahan dan primordialisme
sempit, munculnya indikasi tersebut sebagai salah satu gambaran menurunnya pemahaman
tentang Pancasila sebagai suatu ideologi, dasar filsafati negara, azas, paham negara. Padahal
seperti diketahui Pancasila sebagai sistem yang terdiri dari lima sila (sikap/
prinsip/pandangan hidup) dan merupakan suatu keutuhan yang saling menjiwai dan dijiwai
itu digali dari kepribadian bangsa Indonesia yang majemuk bermacam etnis/suku bangsa,
agama dan budaya yang bersumpah menjadi satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa
persatuan, sesuai dengan sesanti Bhineka Tunggal Ika.
Menurunnya rasa persatuan dan kesatuan diantara sesama warga bangsa saat ini adalah yang
ditandai dengan adanya konflik dibeberapa daerah, baik konflik horizontal maupun konflik
vertikal, seperti halnya yang masih terjadi di Papua,Maluku. Berbagai konflik yang terjadi
dan telah banyak menelan korban jiwa antar sesama warga bangsa dalam kehidupan
masyarakat, seolah-olah wawasan kebangsaan yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila yang
lebih mengutamakan kerukunan telah hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Orde Reformasi yang baru berjalan beberapa tahun telah memiliki empat Presiden.
Pergantian presiden sebelum waktunya karena berbagai masalah. Pada era Habibie,
Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarno Putri, Pancasila secara formal tetap dianggap
sebagai dasar dan ideologi negara, tapi hanya sebatas pada retorika pernyataan politik.
Ditambah lagi arus globalisasi dan arus demokratisasi sedemikian kerasnya, sehingga
aktivis-aktivis prodemokrasi tidak tertarik merespons ajakan dari siapapun yang berusaha
mengutamakan pentingnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.
Ideologi negara yang seharusnya menjadi acuan dan landasan seluruh elemen bangsa
Indonesia khususnya para negarawan dan para politisi serta pelaku ekonomi dalam
berpartisipasi membangun negara, justru menjadi kabur dan terpinggirkan. Hasilnya NKRI
mendapat tantangan yang berat. Timor-Timur yang telah lama bergabung dalam NKRI
melalui perjuangan dan pengorbanan lepas dengan sekejap pada masa reformasi tersebut.
Daerah-daerah lain juga mengancam akan berdiri sendiri bila tuntutannya tidak dipenuhi
oleh pemerintah pusat. Tidak segan-segan, sebagian masyarakat menerima aliran dana asing
dan rela mengorbankan kepentingan bangsanya sebagai imbalan dolar.
Dalam bahasa intelijen kita mengalami apa yang dikenal dengan ”subversi asing”, yakni kita
saling menghancurkan negara sendiri karena campur tangan secara halus pihak asing. Di
dalam pendidikan formal, Pancasila tidak lagi diajarkan sebagai pelajaran wajib sehingga
nilai-nilai Pancasila pada masyarakat melemah.
Pancasila mengandung makna yang amat penting bagi sejarah perjalanan Bangsa Indonesia.
Karena itulah Pancasila dijadikan sebagai dasar negara ini. Artinya segala tindak tanduk dari
orang-orang yang termaktub sebagai warga negara dari republik yang bernama Indonesia,
haruslah didasarkan pada nilai-nilai dan semangat Pancasila. Apakah dia sebagai seorang
politisi, birokrat, aktivis, buruh, mahasiswa dan lain sebagainya. Pancasila dan UUD 1945
sudah final dan tidak boleh lagi diganggu gugat sebagai landasan dan falsafah yang
mengatur dan mengikat kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila pun terbukti sangat
ampuh sebagai pedoman kehidupan bersama, termasuk kehidupan dalam berpolitik. Tidak
ada yang lain. Ideologi Pancasila dan UUD 1945 tidak perlu lagi diperdebatkan lagi. Itu
sudah menjadi kesepakatan masyarakat Indonesia ketika negara ini didirikan. Bahkan nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut adalah hasil dari penggalian karakter-
karakter dan budaya masyarakat Indonesia.
Sejarah kesaktian Pancasila adalah sejarah yang sangat berharga. Peringatan Hari Kesaktian
Pancasila setiap tanggal 1 Oktober, harus dijadikan sebagai kesempatan untuk
merefleksikan tentang pemaknaan nilai-nilai dan kesaktian Pancasila itu sendiri. Pancasila
adalah dasar negara. Pancasila adalah asal tunggal dan menjadi sumber dari segala sumber
hukum yang mengatur masyarakat Indonesia, termasuk kehidupan berpolitik. Karena itu,
partai politik sebagai salah satu infrastruktur politik dan segala sesuatu yang hadir dan lahir
di negara ini, harus tunduk dan taat pada Pancasila.
Indoktrinasi Pancasila yang dilakukan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun ternyata
tidak banyak menyentuh pemahaman publik atas dasar negara Indonesia itu. Pancasila lebih
banyak dimaknai sebagai konsepsi dan alat politik penguasa. Memang rezim Orde Baru
berhasil mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sekaligus berhasil
mengatasi paham komunis di Indonesia. Akan tetapi, implementasi dan aplikasinya sangat
mengecewakan kita semua. Sadar atau tidak sadar, rezim Orde Baru kian lama kian
menggeser hakekat perjuangan mempertahankan Pancasila menjadi perjuangan untuk
mempertahankan kekuasaan. Acapkali kiat yang digunakan rezim Orde Baru dalam
menghadapi sikap yang berseberangan dengan pemerintah ialah dengan membenturkannya
dengan persoalan ideologi. Ideologi yang sebenarnya bersifat sistemik tidak boleh
bertentangan dengan ideologi yang resmi yaitu Pancasila yang sudah direduksi oleh ideologi
negara/Orde Baru. Disinilah terjadi penafsiran sepihak terhadap Pancasila oleh rezim Orde
Baru. Ideologi yang bertentangan akan berada dalam kategori yang harus dimusnahkan atau
ditindak. Pengasastunggalan Pancasila merupakan cara rezim Orde Baru untuk menyatukan
pandangan-pandangan, tetapi akhirnya menjadi penindasan ideologis, sehingga orang-orang
yang mempunyai gagasan kreatif dan kritis menjadi takut.
Belum lagi penindasan secara fisik seperti pembunuhan terhadap orang di Timor-Timur,
Aceh, Irian Jaya, kasus Tanjung Priok, pengrusakan/penghancuran pada kasus 27 Juli dan
seterusnya. Perlakuan diskriminasi oleh negara juga dirasakan oleh masyarakat non pribumi
(keturunan) dan masyarakat golongan minoritas. Mereka merasa diasingkan, bahkan
acapkali mereka hanya dijadikan sebagai kambing hitam jika ada masalah, atau diperas
secara ekonomi. Sedangkan orang-orang yang dijadikan tapol dan napol dijadikan sebagai
contoh bagi masyarakat bagaimana kalau mereka tidak tunduk kepada penguasa. Inilah
salah satu contoh bentuk kekerasan politik.
Produk hukum Orde Lama, yaitu UU No. 11/PNPS/ 1963 tentang Anti Subversi merupakan
salah satu alat yang dipakai penguasa Orde Baru untuk menjerat pi hak-pihak yang dianggap
berseberangan dengan pemerintah dengan dalih GPK, PKI, OTB, dan sebagainya. Penguasa
Orde Baru bukan lagi memberantas kejahatan terhadap negara tetapi justru mereka telah
melakukan berbagai bentuk kejahatan politik dan melanggar HAM.
Di bidang hukum, penyelesaian kasus yang berkaitan dengan penguasa tidak mencerminkan
rasa keadilan, misalnya; kasus Marsinah, kasus Kedung Ombo, kasus Ohee (Irian Jaya),
kasus Udin, kasus Jamsostek yang melibatkan pejabat negara, dan lain-lain. Akumulasi
ketidakadilan dan kebobrokan rezim Orde Baru seakan-akan memuncak ketika gong
reformasi mulai dibunyikan. Akibatnya, menjelang dan sesudah Soeharto "lengser" dari
jabatan Presiden RI, 21 Mei 1998 lalu, berbagai peristiwa dan kondisi buruk kembali
mewarnai kehidupan bangsa kita sekaligus menjadi cobaan berat bagi Pancasila sebagai
dasar dan ideology negara.
Pemaknaan baru selama Orde Reformasi, di satu sisi, juga memperlemah memori publik
soal dasar negara ini. Orde Baru sepanjang kekuasaannya bisa menanamkan Pancasila
sebagai doktrin absolut. Upaya doktrinasi dilakukan secara komprehensif lewat pendidikan.
Ideologisasi Pancasila tak hanya ditekankan dalam sistem kepartaian dan praktik politik,
tetapi juga dalam ranah pendidikan, mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan
tinggi. Ideologisasi yang dilakukan secara represif di tatar pendidikan mengarah pada
pengultusan Pancasila sebagai simbol keramat. Ini dilakukan melalui langkah seperti
pembacaan teks Pancasila di setiap upacara di setiap sekolah dari sekolah dasar hingga
sekolah tingkat atas, indoktrinasi melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4), hingga pendidikan kewiraan di tingkat perguruan tinggi. Pascaruntuhnya Orde Baru,
gelombang keterbukaan membuka kemungkinan masyarakat untuk memaknai ulang
Pancasila sebagai dasar negara. Wacana soal apakah Pancasila merupakan ideologi atau
bukan berkembang selama rezim reformasi.
Semenjak Orba ditumbangkan oleh gerakan reformasi, Pancasila sebagai ideologi bangsa
Indonesia telah kehilangan tempatnya yang mapan. Semacam ada phobia dan ke-alergi-an
masyarakat negara-bangsa ini untuk mengakui Pancasila apalagi mencoba untuk
menelaahnya. Meskipun negara ini masih menjaga suatu konsensus dengan menyatakan
Pancasila sebagai ideologi bangsa. Namun secara faktual, agaknya kita harus
mempertanyakannya kembali. Karena saat ini debat tentang masih relevan atau tidaknya
Pancasila dijadikan ideologi masih kerap terjadi.
SUDAH hitungan tahun Indonesia memasuki era reformasi. Berbagai perubahan dilakukan
untuk memperbaiki sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah payung
ideologi Pancasila. Namun, faktanya masih banyak masalah sosial-ekonomi yang belum
terjawab. Eksistensi dan peranan Pancasila dalam reformasi pun dipertanyakan. Mampukah
Pancasila memberikan pengharapan lebih baik untuk negeri ini? Dilihat dari faktanya
sungguh memprihatinkan. Reformasi belum berlansung dengan baik karena Pancasila belum
difungsikan secara maksimal sebagaimana mestinya.
Banyak masyarakat yang hafal butir-butir Pancasila, tetapi belum memahami makna
sesungguhnya. Bangsa Indonesia merasakan delapan tahun berselang ini, terutama pada
awal-awal reformasi, di sana-sini dalam penggal-penggal waktu tertentu muncul semacam
disorientasi, penolakan, konflik, kegamangan, pesimisme, apatisme, demoralisasi,
kekosongan, kemarahan dan bahkan kebencian. “Kita alami bersama-sama dan sebagian
sudah dapat kita lewati, sebagian masih kita rasakan sisanya, sebagian masih terasa
mencekam dalam kehidupan kita bersama dewasa ini. Orang lantas sering berbicara lantang,
kita mesti membangun Indonesia baru karena itu dalam konteks itu muncul sejumlah
kecenderungan. Secara sosiologis kita mengetahui kerawanan dalam masa transisi, nilai dan
tatanan lama telah ditinggalkan, sementara nilai dan tatanan baru belum terwujudngat
perjuangan dan pemikiran setiap warga negara Indonesia.
Eksistensi Pancasila di era reformasi ini mestinya menjadi dasar, acuan atau paradigma
baru. Pancasila adalah dasar negara yang sesuai dengan pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam UUD 1945. Tetapi sekarang bangsa ini sering mengenyampingkan
Pancasila. Padahal reformasi yang benar justru melaksanakan atau mengamalkan Pancasila
untuk kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Dengan jiwa Pancasila
seharusnya gerakan reformasi harus mampu menggalang persatuan demi pembenahan krisis
multidimensional dewasa ini. Tidak satu golonganpun bisa memenangkan reformasi tanpa
persatuan dengan golongan-golongan lainnya. Pengalaman kegagalan dan kemacetan
gerakan reformasi selama ini telah membuktikan hal itu. Dengan persatuan setapak demi
setapak gerakan reformasi akan diharapkan membawa Indonesia menjadi negara yang
demokratik, kuat sentosa, aman tenteram dan adil makmur. Harap dicamkan: ”Persatuanlah
yang membawa kita ke arah kebesaran dan kemerdekaan..”
Dan agar persatuan bisa tercapai: “Kita harus bisa menerima; tetapi kita juga harus bisa
memberi. Inilah rahasianya Persatuan” Demikianlah “2 kalimat kunci persatuan” Bung
Karno yang diamanatkan kepada kita bangsa Indonesia 76 tahun yang lalu.
Agar Pancasila yang telah dikaitkan langsung dengan doktrin Bhinneka Tunggal Ika itu
dapat berjalan dengan stabil, seluruh kaidahnya harus dituangkan dalam format hukum,
yang selalu harus dijaga agar sesuai dengan perkembangan rasa keadilan masyarakat. Kita
patut bersyukur, bahwa empat kali amandemen UUD 1945 dalam era reformasi nasional
telah mampu menampung dinamika bangsa ini, khususnya dengan mengakui kesetaraan
antara berbagai unsur dalam batang tubuh bangsa Indonesia serta mewadahinya dalam
sistem dan struktur pemerintahan yang baru.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
a. Bahwa pancasila sebagai dasar falsafah dan pandangan hidup serta sumber dari semua
sumber hukum adalah warisan hukum yang di gali nilai budaya,adat serta kepribadian
bangsa.
b. Tidak ada yang salah dengan pancasila hanya saja penjabaran pelaksanaan pada masa
pemerintahan sebelumnya hanya menjadi topeng dan kedok pembenaran kekuasaan
saja.
c. Pada masa reformasi ini sesuai dengan maknanya maka tidak salah dan tepat bila kita
harus kembali pada nilai-nilai pancasila yang telah sekian lama menjadi asing dan jauh
dari kehidupan kita sebagai bangsa.
Berdasarkan kesimpulan di atas ada beberapa saran yang dapat di berikan guna mewujudkan
upaya pembinaan masyarakat dalam menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila
yang meliputi paham kebangsaan,rasa kebangsaan dan semangat kebangsaan,antara lain :
b. Peran pada elit pemerintah,elit politik dan tokoh masyarakat LSM serta media masa
sangat di perlukan untuk meningkatkan Wawasan Kebangsaan.