Anda di halaman 1dari 15

BAB 5 PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

A. Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat


Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta dari India. Kata Pancasila memiliki
dua makna, yaitu: Panca artinya lima dan Syila artinya batu sendi, alas dan dasar.
Syila memiliki makna peraturan tingkah laku yang baik. Secara etimologis kata
Pancasila berasal dari istilah Pancasila yang memiliki lima unsur.
Istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman Majapahit pada abad XIV, makna
Pancasila pada zaman Majapahit yang tercantum dalam buku Sutasoma mempunyai
dua arti, yaitu berbatu sendi yang lima dan pelaksanaan kesusilaan yang lima
(Pancasila Krama), yaitu 1) tidak boleh melakukan kekerasan, 2) tidak boleh mencuri,
3) tidak boleh berjiwa dengki, 4) tidak boleh berbohong, dan 5) tidak mabuk minuman
keras (Dardji D, dkk, 1988).
Apabila ditinjau tentang proses terbentuknya Pancasila secara historis, Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang disingkat BPUPKI
(Dokuritsu Junbi Choosakai) pada tanggal 29 Mei-1 Juni mengagendakan dasar
Indonesia merdeka. Pada sidang pertama tersebut muncul usulan rumusan dasar
negara dari Muhamad Yamin (29 Mei 1945), Prof. Dr. Soepomo (31 Mei 1945) dan
rumusan dari Ir. Soekarno (1 Juni 1945) yang dengan tegas menyebutkan bahwa
rumusan tersebut diberi nama Pancasila.
Menurut Darmodihardjo (1979: 86), Pancasila adalah ideologi yang memiliki
kekhasan, yaitu: 1) Kekhasan pertama, Tuhan Yang Maha Esa sebab Ketuhanan
Yang Maha Esa mengandung arti bahwa manusia Indonesia percaya adanya Tuhan;
2) Kekhasan kedua, penghargaan kepada sesama umat manusia apapun suku
bangsa dan bahasanya; 3) Kekhasan ketiga, bangsa Indonesia menjunjung tinggi
persatuan bangsa; 4) Kekhasan keempat, kehidupan manusia Indonesia
bermasyarakat dan bernegara berdasarkan atas sistem demokrasi; dan 5) Kekhasan
kelima, keadilan sosial bagi hidup bersama. Kelahiran ideologi bersumber dari
pandangan hidup yang dianut oleh suatu masyarakat. Pandangan hidup kemudian
berbentuk sebagai keyakinan terhadap nilai tertentu yang diaktualisasikan dalam
kehidupan masyarakat. Selain itu, ideologi berfungsi sebagai alat membangun
solidaritas masyarakat dengan mengangkat berbagai perbedaan ke dalam tata nilai
baru.
Dalam kehidupan bangsa Indonesia telah diakui bahwa nilai-nilai Pancasila
adalah falsafah hidup atau pandangan hidup yang berkembang dalam sosial budaya
Indonesia. Nilai Pancasila dianggap nilai dasar dan puncak atau sari budaya bangsa.
Oleh karena itu, nilai ini diyakini sebagai jiwa dan kepribadian bangsa. Dengan
mendasarnya nilai ini dalam menjiwai dan memberikan watak (kepribadian dan
identitas) sehingga pengakuan atas kedudukan Pancasila sebagai falsafah adalah
tepat.
Nilai-nilai dalam Pancasila mencerminkan nilai-nilai dan pandangan mendasar
dan hakiki rakyat Indonesia dalam hubunanya dengan sumber kesemestaan, yakni
Tuhan yang Maha pencipta. Asas ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas
fundamental dalam kesemestaan, dijadikan pula asas fundamental kenegaraan. Asas
fundamental itu mencerminkan identitas atau kepribadian bangsa Indonesia yang
religius.
Sejak kelahiranya, Pancasila sebagai falsafah nasional modern (1 Juni 1945),
Pancasila telah dinyatakan menjadi milik nasional, artinya milik seluruh bangsa
Indonesia. Sekalipun telah merasa memiliki Pancasila, tetapi belum tentu secara
otomatis sudah mengamalkan Pancasila tersebut. Untuk dapat mengamalkan
Pancasila seharusnya memenuhi tiga syarat, yaitu pertama, keinsyafan batin tentang
benarnya Pancasila sebagai falsafah negara, kedua, pengakuan bahwa yang
bersangkutan menerima dan mempertahankan Pancasila, dan ketiga,
mempersonifikasikan seluruh sila-sila Pancasila dalam perbuatan dengan
membiasakan praktek pengamalan seluruh sila-sila dalam sikap, perilaku budaya dan
politik. (Syahrial Syarbaini, 2004:18)
1. Pengertian Filsafat
Pertanyaan pokok yang harus dicari jawabanya adalah apakah filsafat itu.
Telah banyak para ahli filsafat yang memberikan pengertian dan definisi tentang
filsafat, tetapi kebanyakan konsep yang diberikan tidak sama. Hal ini masing-
masing ahli filsafat atau filsuf itu mempunyai konsep yang berbeda dengan terjadi
karena Secara Etimologis, pengertian filsafat dapat dikaji dari beberapa istilah,
diantaranya, “Filsafat” dalam bahasa Indonesia mempunyai padanan “Falsafah”
dalam kata Arab. Sedangkan menurut kata Inggris “Philoshopy”, kata latin
“philosophia”, kata Belanda “philosophie”, kata Jerman ‘philosophier” kata Prancis
“philosophie”, yang kesemuannya itu di terjemahkan dalam kata Indonesia
“Filsafat”. Menurut Harun Nasution, istilah “falsafah” berasal dari bahasa Yunani
“philein” dan kata ini mengandung arti “cinta” dan “shopos” dalam arti hikmah
(Wisdom) (Nasution 1973)
Maka philosophia menurut arti katanya berarti cinta pada penetahuan yang
bijaksana, oleh karena itu mengusahakannya (Gazalba, 1977). Dengan demikian
istilah “filsafat” yang di maksudkan sebagai kata majemuk dari “philein” dan “
sophos”mengandung arti yang hal-hal yang sifat nya bijaksana, sedangkan
“filsafat” yang merupakan bentuk majemuk dari “philos” dan “shopia” berkontansi
teman dari bijaksana.
Berikut beberapa pengertian filsafat menurut beberapa filsuf, yaitu antara
lain: 1) Plato (427-347 SM); filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada
atau ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli; 2)
Aristoteles (384-322 SM); filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi
kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika,
etika, ekonomi, politik, dan estetika atau filsafat menyelidiki sebab dan asas segala
benda; 3) Marcus Tullius Cicero (106-43 SM); filsafat adalah pengetahuan tentang
sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk mencapainya; 4) Immanuel
Kant (1724-1804); filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang
mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu: “apakah yang dapat kita ketahui?
(dijawab oleh metafisika), apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika),
sampai dimanakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi).
Jadi istilah “filsafat” pada mulanya merupakan satu istilah yang secara
umum di pergunakan untuk menyebutkan usaha ke arah keutamaan mental.
Filsafat secara umum merupakan studi tentang seluruh fenomena dan pemikiran
manusia secara kritis dan di jabarkan dalam konsep mendasar.
Lingkup pengertian filsafat memiliki bidang bahasan yang sangat luas yaitu
segala sesuatu baik yang besifat kongkrit maupun bersifat abstrak. Sedangkan
untuk objek filsafat meliputi objek matrial dan objek formal. Berikut penjelasan
mengenai objek filsafat, objek material filsafat, yaitu objek pembahsan fisafat yang
meliputi segala sesuatu baik yang bersifat kongkrit maupun besifat abstrak.
Sedangkan objek formal filsafat, adalah cara memandang seseorang peneliti
terhadap objek material tersebut, suatu objek material tertentu dapat ditinjau dari
berbagai macam sudut pandang yang berbeda.
Berikut ini dijelaskan berbagai bidang lingkup pengertian filsafat.
Pertama : filsafat sebagai produk mencakup pengertian.
1. Pengertian filsafat mencakup arti-arti filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu,
konsep dari para filsuf pada zaman dahulu, teori, sistem atau tertentu, yang
merupakan hasil dari proses berfilsafat yang mempunyai ciri-ciri tertentu.
2. Filsafat sebagai suatu jenis problema yang di hadapi oleh manusia sebagai
hasil dari aktivitas berfilsafat.

Kedua : filsafat sebagai suatu proses yang dalam hal ini filsafat diartikan dalam
bentuk suatu aktivitas berfilsafat, dalam proses pemecahan suatu permasalahan
dengan menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang sesuai dengan objek
permasalahannya.
2. Cabang-cabang Filsafat dan Aliranya
Filsafat memiliki empat cabang keilmuan yang utama, yaitu: 1) Metafisika;
cabang filsafat yang mempelajari asal mula segala sesuatu yang-ada dan yang
mungkin-ada. Metafisika terdiri atas metafisika umum yang selanjutnya disebut
sebagai ontologi, yaitu ilmu yang membahas segala sesuatu yang-ada, dan
metafisika khusus yang terbagi dalam teodesi yang membahas adanya Tuhan,
kosmologi yang membahas adanya alam semesta, dan antropologi metafisik yang
membahas adanya manusia. 2) Epistemologi; cabang filsafat mempelajari seluk
beluk pengetahuan. Dalam epistemologi, terkandung pertanyaan-pertanyaan
mendasar tentang pengetahuan, seperti kriteria apa yang dapat memuaskan kita
untuk mengungkapkan kebenaran, apakah sesuatu yang kita percaya dapat
diketahui, dan apa yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan yang dianggap
benar. 3) Aksiologi; cabang filsafat yang menelusuri hakikat nilai. Dalam aksiologi
terdapat etika yang membahas hakikat nilai baik-buruk, dan estetika yang
membahas nilai-nilai keindahan. Dalam etika, dipelajari dasar-dasar benarsalah
dan baik-buruk dengan pertimbangan-pertimbangan moral secara fundamental
dan praktis. Sedangkan dalam estetika, dipelajari kriteria-kriteria yang
mengantarkan sesuatu dapat disebut indah. 4) Logika; cabang filsafat yang
memuat aturan-aturan berpikir rasional. Logika mengajarkan manusia untuk
menelusuri struktur-struktur argumen yang mengandung kebenaran atau
menggali secara optimal pengetahuan manusia berdasarkan bukti-buktinya.
(Surajiyo, 2009:22-23)
3. Pengertian Filsafat Pancasila
Pembahasan mengenai Pancasila sebagai sistem filsafat, ada dua hal yang
perlu diperhatikan, filsafat sebagai metode dan filsafat sebagai suatu pandangan.
Keduanya akan berguna bagi ideology Pancasila. Filsafat sebagai metode
menunjukkan cara berpikir dan cara mengadakan analisis yang dapat
dipertanggung jawabkan untuk dapat menjabarkan ideologi Pancasila. Sedangkan
Pancasila sebagai filsafat mengandung pandangan, nilai dan pemikiran yang
dapat menjadi substansi dan isi pembentukkan ideologi Pancasila.
Filsafat Pancasila dapat didefinisikan secara ringkas sebagai refleksi kritis
dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya
bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertianya secara
mendasar dan menyeluruh. Pembahasan filsafat dapat dilakukan secara deduktif
dan induktif.
a. Cara deduktif yaitu dengan mencari hakikat Pancasila serta menganalisis
dan menyusunnya secara sistematis menjadi keutuhan pandangan yang
komprehensif
b. Cara induktif yaitu dengan mengamati gejala-gejala sosial budaya
masyarakat, merefleksikannya, dan menarik arti dan makna yang hakiki dari
gejala-gejala itu.

Dengan demikian menyajikan sebagai bahan-bahan yang sangat penting bagi


penjabaran ideologi Pancasila. Ideologi Pancasila adalah keseluruhan prinsip
normatif yang berlaku bagi negara Republik Indonesia dan bangsa Indonesia secara
keseluruhan, namun filsafat pancasila akan mengungkapkan konsep-konsep
kebenaran yang bukan saja ditujukan pada bangsa Indonesia, melainkan bagi
manusia pada umumnya. Filsafat Pancasila mengukur adanya kebenaran yang
bermacam-macam dan bertingkat-tingkat sebagai berikut, Pertama, kebenaran indra
(pengetahuan biasa), kedua, kebenaran ilmiah (ilmu-ilmu pengetahuan), ketiga,
kebenaran filosofis (filsafat) dan keempat, kebenaran religius (religi).

B. Alasan diperlukanya Pancasila sebagai Sistem Filsafat


1. Landasan Ontologis Pancasila
Apakah ontologis itu? Ontologis ialah perenungan pemikiran filsafat
dari sisi keberadaan atau wujudnya. Ada pula yang menyebutkan filsafat
keberadaan. Landasan ontologis Pancasila artinya ialah memikirkan secara
mendalam dan keseluruhan (universal) terkait keberadaannya. Pancasila
hadir bukan tiba-tiba di dalam pemikiran para tokoh-tokoh bangsa Indonesia
terdahulu, akan tetapi melalui serangkaian peristiwa dan kejadian panjang
yang dialami bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kelima sila Pancasila
menunjukkan kemandirian masing-masing, tetapi juga tatp menekankan
kesatuannya yang mendasar dan keterikatan dalam relasi-relasi. Sila-sila
dalam Pancasila merupakan suatu hirarki teratur yang berhubungan satu
salam lain.
Kedudukan Pancasila sebagai sistem filsafat mengakibatkan pada
tiga dimensi. Pertama, deteminisme yaitu berkaitan dengan perilaku manusia
Indonesia atas banyak kondisi sebelumnya sehingga bersifat reaktif dan
pasif. Dari dimensi ini Pancasila sebagai reaksi atas penjajahan yang
melanggar Hak Asasi Manusia. Kedua, pragmatism, artinya bahwa manusia
secara aktif berusaha mencapai tujuannya di masa depan. Dari sini bisa
dilihat bahwa Pancasila merupakan semangat perjuangan untuk
mendapatkan tujuan masa depan bangsa Indonesia untuk terepas dari
belenggu penjajahan. Ketiga, kompromis, artinya manusia Indonesia
memiliki keinginan bebas pada satu sisi, sedangkan disisi lain jangkauan
kebebasan tesebut terdapat batas usahanya.
2. Landasan Epistemologis Pancasila
Apakah epistimologis itu ?. Epistimologis ialah perenungan pemikiran
dalam filsafat dalam segi sarana dan sumber pengetahuan (knowledge). Ada
pula yang menyebut dengan cabang filsafat pengetahuan. Oleh karenanya
sumber pengetahuan ini terletak dari dua pandangan, yakni rasionalisme dan
empirisme. Rasionalisme berpijak pada pandangan bahwa akal merupakan
satu-satunya sarana dan sumber pengetahuan. Sementara, Empirisme
berpijak pada pengalaman empirik/ iderawi (mata, telinga, dan panca indera
lainnya) merupakan sarana dan sumber pengetahuan.
Landasan epistemologis ini berarti penggalian Pancasila dan nilai-
nilainya merupakan terbentuk dari pengalaman empirisme manusia
Indonesia yang mensistesis menjadi kemampuan akal manusia Indonesia
yang menjadikannya sebagai filsafat. Pengalaman Indonesia dalam politik
Devide et Impera (memecah lalu menguasai) menjadi keinginan akal
manusia Indonesia untuk menjadikan Persatuan Indonesai sebagai sila
ketiga.
3. Landasan Aksiologis Pancasila
Apakah landasan Aksiologis itu?. Aksiologis ialah perenungan
pemikiran filsafat yang terkait dengan kegunaan atau nilai suatu wujud.
Secara sederhana ada yang menyebutkan sebagai filsafat kegunaan atau
filsafat nilai. Perlu diketahui sesuai memiliki nilai sesunggunya tidaklah
bernilai untuk dirinya sendiri, melainkan dibutuhkan oleh objek yang
membutuhkan nilai tersebut. Pada sisi ini dapat kita maknai bahwa apakah
Pancasila sebagai system filsafat memiliki nilai.
Landasan aksiologis Pancasila adalah kualitas kegunaan dan nilai
yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Sila pertama mengandung
religiusitas. Sila kedua mengandung nilai meninggikan martabat manusia.
Sila ketiga menunjukkan nilai soliditas dan keutuhan. Sila keempat
mengandung nilai demokrasi dan keterwakilan. Sila kelima mengandung
nilai kesamarataan dan keadilan.
Setelah membaca deskripsi di atas maka timbul pertanyaan
mengapa perlunya kajian Pancasila sebagai sebuah sistem filsafat.
Pertanyaan ini dapat dijawab setidaknya oleh dua pernyataan. Pertama,
Pancasila sebagai sistem filsafat merupakan genetivus-objektivus, artinya
bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai objek atau modal yang membentuk
berbagai sistem dan cabang filsafat yang berkembang. Kedua, Pancasila
sebagai genetivus-subjectivus, artinya nilai-nilai Pancasila digunakan untuk
mengkritisi system dan cabang filsafat yang berkembang demi menemukan
hal yang sesuai atau tidak sesuai dengan nilai Pancasila itu sendiri.

C. Sumber Historis, Sosiologis, Politis Tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat


Materi atau substansi Mata Kuliah Pendidikan Pancasila dapat dikembangkan
melalui beberapa pendekatan, yaitu pendekatan historis, sosiologis, dan politik.
Sedangkan pengayaan materi mata kuliah Pendidikan Pancasila dilakukan dengan
pendekatan ilmiah, filosofis, dan ideologis. Untuk menumbuhkan kesadaran social
mahasiswa maka dalam proses perkuliahan dapat dikembangkan dari fenomena
social yang ada di masyarakat, untuk bersama-sama dikaji dan ditemukan solusinya
secara rasional dan bertanggungjawab sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Dengan
demikian mahasiswa akan memiliki argumentasi tentang pentingnya pendidikan
Pancasila diterapkan di Perguruan Tinggi.
1. Sumber Historis
“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah””. Kalimat tersebut merupakan
pernyataan yang diucapkan oleh Presiden pertama Indonesia, Soekarno.
Pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi penting
dalam membangun kehidupan bangsa dengan lebih bijaksana di masa depan.
Karena dari sejarah kita belajar untuk hidup lebih baik. Hal tersebut sejalan
dengan ungkapan seorang filsuf Yunani yang bernama Cicero (106-43 SM) yang
mengungkapkan, “Historia Vitae Magistra”, yang bermakna, “Sejarah
Memberikan Kearifan”. Pengertian lain dari istilah tersebut yang sudah menjadi
pendapat umum (common-sense) adalah “Sejarah merupakan guru kehidupan”.
Implikasinya, dalam pengayaan materi perkuliahan Pancasila dengan
pendekatan historis adalah amat penting dan tidak boleh dianggap remeh guna
mewujudkan kejayaan bangsa di kemudian hari. Melalui pendekatan historis,
mahasiswa diharapkan dapat mengambil pelajaran atau hikmah dari berbagai
peristiwa sejarah, baik sejarah nasional maupun sejarah bangsa-bangsa lain.
Agar mahasiswa tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan
pada masa lalu. Dengan pendekatan historis, mahasiswa diharapkan dapat
memperoleh inspirasi untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa sesuai
dengan program studi masing-masing. Selain itu, mahasiswa juga dapat
berperan serta secara aktif dan arif dalam berbagai kehidupan berbangsa dan
bernegara, serta dapat berusaha menghindari perilaku yang bernuansa
mengulangi kembali kesalahan sejarah.
Dalam peristiwa sejarah banyak hikmah yang dapat dipetik. Misalnya
mengapa bangsa Indonesia sebelum masa pergerakan nasional selalu
mengalami kekalahan dari penjajah? Jawabannya antara lain karena perjuangan
pada masa itu masih bersifat kedaerahan, kurang adanya persatuan, mudah
dipecah belah, dan kalah dalam penguasaan IPTEKS termasuk dalam bidang
persenjataan. Hal ini berarti bahwa apabila integrasi bangsa lemah dan
penguasaan IPTEKS lemah, maka bangsa Indoensia dapat kembali terjajah atau
setidak-tidaknya daya saing bangsa melemah. Implikasi dari pendekatan historis
ini adalah meningkatkan motivasi kejuangan bangsa dan meningkatkan motivasi
belajar mahasiswa dalam menguasai IPTEKS sesuai dengan prodi masing-
masing.
2. Sumber Sosiologis
Sosiologi dipahami sebagai ilmu tentang kehidupan antar manusia. Di
dalamnya mengkaji, antara lain latar belakang, susunan dan pola kehidupan
social dari berbagai golongan dan kelompok masyarakat, di samping juga
mengkaji masalah-masalah social, perubahan dan pembaharuan dalam
masyarakat. Soekanto (1982: 19) menegaskan bahwa dalam perpektif sosiologi,
suatu masyarakat pada suatu waktu dan tempat memiliki nilai-nilai yang tertentu.
Melalui pendekatan sosiologis ini pula, anda diharapkan dapat mengkaji struktur
social, proses social, termasuk perubahan-perubahan social, dan masalah-
masalah social yang patut disikapi secara arif dengan menggunakan standard
nilai-nilai yang mengacu kepada nilai-nilai Pancasila. Berbeda dengan bangsa-
bangsa lain, bangsa Indonesia mendasarkan pandangan hidupnya dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada suatu asas kultural yang dimiliki
dan melekat pada bangsa itu sendiri. Nilai-nilai kenegaraan dan kemasyarakatan
yang terkandung dalam sila-sila Pancasila bukan hanya hasil konseptual
seseorang saja, melainkan juga hasil karya besar bangsa Indonesia sendiri,
yang diangkat dari nilai-nilai kultural yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri
melalui proses refleksi filosofis para pendiri Negara (Kaelan, 2000: 13)
Bung Karno menegaskan bahwa nilai-nilai Pancasila digali dari bumi
pertiwi Indonesia. Dengan kata lain, nilai-nilai Pancasila berasal dari kehidupan
sosiologis masyarakt Indonesia. Pernyataan ini tidak diragukan lagi karena
dikemukakan oleh Bung Karno sebagai penggali Pancasila, meskipun beliau
dengan rendah hati membantah apabila disebut sebagai pencipta Pancasila,
sebagaimana dikemukakan Beliau dalam paparan sebagai berikut:
Kenapa diucapkan terimaksih kepada saya, kenapa saya diagung-
agungkan, padahal toh sudah sering saya katakana, bahwa saya bukan pencipta
Pancasila. Saya sekedar penggali Pncasila daripada bumi tanah air Indonesia
ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan kembali
kepada bangsa Indonesia. Malah pernah saya katakana, bahwa sebenarnya
hasil atau lebih tegas penggalian daripada Pancasila ini saudara-saudara,
adalah pemberian Tuhan kepada saya…. Sebagimana tiaptiap manusia, jikalau
ia benar-benar memohon kepada Allah Subhanahu Wata’ala, di beri ilham oleh
Allah Subhanahu Wata’ala (Latif, 2011:21)
Makna penting lainnya dari pernyataan Bung Karno tersebut adalah
Pancasila sebagai dasar Negara merupakan pemberian atau ilham dari Tuhan
Yang maha Kuasa. Apabila dikaitkan dengan teori kausalitas dari Notogegoro
bahwa Pancasila merupakan penyebab lahirnya (kemerdekaan) bangsa
Indonesia, maka kemerdekaan berasal dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Hal
ini sejalan dengan makna Alinea III Pembukaan UUD 1945. Sebagai mahluk
Tuhan sebaiknya segala pemberian Tuhan, termasuk kemerdekaan Bangsa
Indonesia ini wajib untuk disyukuri. Salah satu bentuk wujud konkret mensyukuri
nikmat karunia kemerdekaan adalah dengan memberikan kontribusi pemikiran
terhadap pembaharuan dalam amsyarakat.
Bentuk lain mensyukuri kemerdekaan adalah dengan memberikan
kontribusi konkret bagi pembangunan Negara melalui kewajiban membayar
pajak, karena dengan dana pajak itulah pembangunan dapat dilangsungkan
secara optimal.
Sejalan dengan hal itu, Anda juga diharapkan dapat berpartisipasi dalam
meningkatkan fungsi-fungsi lembaga penegndalian social (agent of social
control) yang mengacu kepada nilai-nilai Pancasila.
3. Sumber Politis
Fenomena kehidupan politik bangsa Indonesia dapat dijadikan
sebagai salah satu sumber pengayaan materi pendidikan Pancasila.
Tujuannya agar Anda mampu mengdiagnosa dan mampu
memformulasikan saran-saran tentang upaya atau usaha mewujudkan
kehidupan politik yang ideal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Bukankah
Pancasila dalam tataran tertentu merupakan ideologi politik, yaitu
mengandung nilai-nilai yang menjadi kaidah penuntun dalam mewujudkan
tata tertib social politik yang ideal. Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Budiardjo (1998: 32) sebagai berikut:
“Ideologi politik adalah himpunan nilai-nilai, ide, norma-norma,
kepercayaan dan keyakinan, suatu “Weltanschauung”, yang dimiliki
seseorang atau sekelompok orang, atas dasar mana dia menentukan
sikapnya terhadap kejadian dan problema politik yang dihadapinya dan
yang menentukan tingkah laku politiknya”.
Melalui pendekatan politik ini, Anda diharapkan mampu menafsirkan
fenomena politik dalam rangka menemukan pedoman yang bersifat moral
yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila untuk mewujudkan kehidupan
politik yang sehat. Pada gilirannya, Anda akan mampu memberikan
konstribusi konstruktif dalam menciptakan struktur politik yang stabil dan
dinamis. Secara spesifik, focus kajian melalui pendekatan politik tersebut,
yaitu menemukan nilai-nilai ideal yang menjadi kaidah penuntun atau
pedoman dalam mengkaji konsep-konsep pokok dalam politik yang meliputi
Negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision
making), kebijakan (policy), dan pembagian (distribution). Sumber daya
negara, baik di pusat maupun di daerah. Melalui kajian tersebut, Anda
diharapkan lebih termotivasi berpartisipasi memberikan masukan
konstruktif, baik kepada infrastruktur politik maupun suprastruktur politik.
Anda dipersilahkan untuk mengemukakan contoh output politik dari
suprastruktur politik yang inputnya berawal dari infrastruktur politik, baik
yang sesuai maupun yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Kemudian, Anda diminta untuk mendiskusikan dengan teman
sekelompok dan membuat laporan tertulis untuk diserahkan kepada
dosen.

D. Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Sistem Filsafat


Filsafat merupakan awal dari ilmu pengetahuan, filsafat disebut juga sebagai
“Mother of Science”. Pemahaman Pancasila pada jenjang Perguruan Tinggi
dimaksudkan untuk perenungan mahasiswa terhadap cara dan system berpikir untuk
mendapatkan kebenaran yang hakiki. Pancasila sebagai system filsafat seperti yang
diungkapkan di atas mengalami berbagai dinamika, baik dari secara teoritik,
konseptualisasi, sampai pada tahap implementasinya. Dinamika tersebut dapat
dilacak dari beberapa presiden yang pernah memimpin Indonesia.
Pada era Presiden Soekarno, Pancasila sebagai sistem filsafat dimaknai
sebagai betul-betul secara filosofis mencari kebenaran dan kebijaksanaan. Pada era
ini, Pancasila disebut dengan istilah “Philosofische Grondslag” yang bermakna dasar
falsafah Negara. Oleh sebab itu Pancasila menjadi jalan hidup “way of life” atas
didirikan bangunan “Indonesia Merdeka” yang kekal dan abadi. Bertolak dari dari sini
bahwa Pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang diangkat dari akulturasi
budaya bangsa Indonesia. Secara sederhana digambarkan dalam konsepsi Trisakti,
yaitu (1) berdaulat di bidang Politik, (2) berdikari di bidang Ekonomi, dan (3)
berkepribadian di bidang Kebudayaan, yang kemudian di peras menjadi Ekasakti,
yaitu Gotong Royong.
Pada era Presiden Soeharto, kedudukan Pancasila sebagai sistem filsafat
berkembang ke arah yang lebih praktis. Artinya, filsafat Pancasila tidak hanya
bertujuan mencari kebenaran dan kebijaksanaan, tetapi juga digunakan sebagai
pedoman hidup sehari-hari dalam bidang pendidikan, politik, sosial, dan
kemasyarakatan. Atas dasar inilah, dalam bidang pendidikan, Soeharto
mengembangkan sistem filsafat Pancasila menjadi Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P-4) yang dilakukan melalui penataran-penataran, juga
diberlakukannya matapelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Dalam bidang
politik, diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 Tentang Perubahan
Atas Undnag-Undang Nomo 3 Tahun 1975 Tentang Partai Politik dan Golongan
Karya. Undang-undang ini dalam rangka ini kelestarian dan pengamalan Pancasila,
pada kekuatan-kekuatan sosial politik khususnya Partai Politik dan Golongan Karya
yang harus benar-benar menjadi kekuatan sosial politik yang hanya berasaskan
Pancasila sebagai satu-satunya asas. Secara lebih sederhana terkenal sebagai
kebijakan “Azaz Tunggal Pancasila”. Oleh karena itu, organisasi masyarakat yang
bernafaskan Islam, seperti Nahdlatul Ulama (Nadhlatul Ulama) dan Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) menolak kebijakan Azaz Tunggal Pancasila ini karena
dianggap menyejajarkan aliran kepercayaan dengan agama-agama resmi dan
menolak indkotrinasi Pancasila sebagai ideologi Negara. Pada akhirnya azaz tunggal
Pancasila mereda dengan berbagai mediasi dan cara penerimaan masing-masing
organisasi kemasayarakatan tersebut.
Pada era reformasi, dimulai dari Presiden B.J Habibie, Pancasila sebagai
sistem filsafat kurang terdengar resonansinya. Hal ini dapat dilacak dari dua hal besar.
Pertama, perubahan lingkungan kehidupan bangsa di tingkat domestic, regional,
maupun global. Kedua, euphoria reformasi akibat trumatisnya penerapan Pancasila
dimasa sebelumnya (orde lama) era Presiden Soekarto. Berikut petikan pidato B.J
Habibie dalam pada Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2011. Habibie menyatakan bahwa:
“Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tidak
lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang
dari memori kolektif bangsa Indonesia. Pancasila semakin jarang diucapkan,
dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan
maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi
justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk
dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik” (Habibie, 2011: 1--2).

Dapat dikatakan bahwa Pancasila sebagai sistem filsafat terlupakan oleh karena
paham-paham baru yang terbawa dalam agenda reformasi, seperti Kebebasan HAM,
Kebebasan Pers, Desentralisasi, dan Otonomi Daerah dan yang lainnya. Sulit
mengatakan Pancasila hadir diruang-ruang publik, sehingga pembahasan Pancasila
terlokalisir pada ruang-ruang akademik di kampus.
Pada era Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ialah tergambar
bahwa dilakukan sebuah upaya mengaitkan Pancasila sebagai pandangan hidup
bernegara yang tidak sekedar formalisme semata. Gus Dur menempatkan Pancasila
sebagai filsafat humanisme yang memerankan dalam pengakuan hak-hak sipil. Buktinya
bahwa penganut Konghucu diberi kelulasan merayakan Imlek dan beribadah sesuai
keimanannya. Ibaratnya Gus Dur memecahkan Pancasila dari wajah antagonis menjadi
wajah protagonis.
Pada era Pemerintahan Megawati, Pancasila direvitalisasi dari pemerintahan
Presiden Soekarno. Hal ini sejalan dengan ideologi yang dianutnya sebagai nasionalis.
Pancasila menjadi roh yan membimbing arah perjuangan mencapai Indonesai merdeka
yang berdaulat penuh. Pancasila telah menjadi bintang penuntun bagi bangsa Indonesia.
Hampir tidak terlihat perbedaan mencolok Pancasila sebagai system filsafat pada era ini.
Pada era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dinamika Pancasila terus
menggema. Dikatakan bahwa Pancasila sebagai ideologi jalan ketiga. Hal ini karena
Pancasila bisa menjadi solusi atas dua idologi besar dunia, yakni kapitalisme/liberalism
dan sossialisme/komunisme.
Pada Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinamika Pancasila terus
terjadi. Pada masa ini Pancasila menjadi sumber inspirasi “Revolusi Mental” yang
digaungkan oleh pemerintahan ini. Dibentuk pula sebuah Lembaga Negara, bernama
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Pancasila dalam perjalanannya, baik di masa lalu ataupun masa depan akan
selalu menghadapi berbagai tantangan. Tantangan tersebut merupakan keniscayaan
dari perubahan-perubahan diberbagai aspek kehidupan bernegara, sosial, politik,
ekonomi, teknologi dan pendidikan yang bermuara pada ideologi. Setidaknya terdapat
tiga tantangan yang mengemukan. Pertama, ideologi ektremisme. Ideologi merupakan
keinginan untuk mengganti dasar Pancasila sebagai dasar Negara. Pada
implementasinya ideologi ini wajahnya akan bisa bernaung pada aspek agama atau
etnisitas. Dalam konteks Indonesai, bentuk ektremisme agama, berdiam pada Agama
Islam. Pemikiran menjadikan Indonesia sebagai Khilafah merupakan tantangan yang
harus dicari penyelesaiannya agar Pancasila tidak berbenturan dengan Islam yang
dijadikan oleh penganut aliran ini dalam klaim-klaim ajarannya. Kedua, kapitalisme yaitu
aliran yang meyakini bahwa kebebasan individu kepemilikan modal dalam rangka
meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa ada upaya memberi keadilan dan
pemerataan. Ketiga, komunisme, ialah sebuah paham yang berpandangan bahwa
tatanan masyarakat terbaik ialah masyarakat tanpa kelas-kelas social, yang artinya
menafikan Negara pada satu sisi atau memberikan dominasi berlebihan terhadap Negara
atas hak-hak sipil rakyat.

Anda mungkin juga menyukai