Anda di halaman 1dari 4

Membuka Tabir Hikmah Bulan Suci Ramadhan

Bulan suci Ramadhan akan segera hadir dalam hitungan hari. Di bulan tersebut umat Muslim
di seluruh dunia akan berpuasa dari fajar hingga matahari terbenam. Dalam banyak pengajian
maupun literatur Islam disebutkan sejumlah hikmah dari Ramadhan, seperti:
• Menumbuhkan rasa empati: Puasa Ramadhan disebutkan akan membantu seseorang
merasakan kesulitan yang dialami oleh orang-orang yang kurang beruntung. Ini juga dapat
meningkatkan rasa empati dan pengertian terhadap orang lain.
• Menjaga kesehatan: Puasa Ramadhan juga dapat membantu seseorang menjaga kesehatan
karena puasa membatasi jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi sepanjang hari.
Dengan demikian, puasa dapat membantu mengurangi risiko obesitas dan masalah
kesehatan lainnya.
• Meningkatkan kesabaran: Menahan diri dari makan dan minum selama berpuasa dapat
membantu seseorang meningkatkan kesabaran dan ketahanan terhadap godaan atau
keinginan sesaat yang tidak bermanfaat.
• Mengasah disiplin: Ramadhan juga dapat membantu seseorang mengasah disiplin, seperti
waktu makan, waktu ibadah, dan waktu istirahat yang diatur secara teratur.
• Meningkatkan spiritualitas: Ramadhan adalah bulan di mana ibadah dan amal kebaikan
dilakukan lebih sering. Ini dapat membantu seseorang lebih dekat dengan Allah dan
meningkatkan kualitas spiritualitas.
• Meningkatkan persaudaraan: Ramadhan juga dapat membantu memperkuat hubungan dan
persaudaraan antar sesama umat Muslim, karena umat Muslim di seluruh dunia
mempraktikkan puasa dan ibadah bersama-sama selama bulan ini.
Saya tidak punya keraguan terhadap poin-poin di atas, tetapi ada dua pertanyaan yang
menggelitik di hati saya. Pertama, mengapa semua perilaku positif di atas hanya difokuskan untuk
bulan Ramadhan saja? Lalu, bagaimana kelanjutannya setelah bulan Ramadhan berlalu? Kedua,
mengapa dalam banyak pengajian dan ceramah Ramadhan yang paling banyak dibahas adalah
aspek pahala beribadah di bulan Ramadhan, yang implisit menyiratkan egoisme sentris, bukan
justru ibadah sosialnya?
Dalam kesempatan ini, mari kita fokus dulu pada pertanyaan pertama. Saya setuju dengan
pendapat yang menyebutkan tujuan dari berpuasa selama Ramadhan adalah untuk mencapai
taqwa, yaitu kesadaran yang kuat terhadap kehadiran Allah. Dalam pandangan Islam, puasa adalah
sarana untuk meningkatkan kesadaran tersebut. Oleh karena itu, Ramadhan bukanlah hanya
tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang melatih diri untuk berperilaku lebih baik.

Dampak Rutinitas di bulan Ramadhan


Menurut teori, puasa selama 29-30 hari dapat memberikan dampak positif pada perilaku
seseorang. Dalam teori pembelajaran sosial, perilaku seseorang dipengaruhi oleh lingkungan dan
pengalaman mereka. Puasa selama Ramadhan dapat menjadi pengalaman yang positif bagi
seseorang, karena mereka dapat mempelajari nilai-nilai seperti disiplin, kesabaran, dan empati.

1
Namun, efek yang dihasilkan dari berpuasa selama Ramadhan tergantung pada niat dan usaha
seseorang untuk mengembangkan perilaku yang lebih baik. Puasa bukanlah jaminan untuk
perubahan perilaku yang positif, tetapi lebih sebagai kesempatan untuk melatih diri menjadi lebih
baik.
Selain itu, ada Teori 21-hari yang pertama kali diungkapkan oleh seorang ahli psikologi
bernama Dr. Maxwell Maltz. Dalam bukunya yang berjudul "Psycho-Cybernetics," yang pertama
kali diterbitkan pada tahun 1960, Maltz menjelaskan bahwa dibutuhkan sekitar 21 hari bagi
seseorang untuk membentuk atau mengubah kebiasaan. Menurut Maltz, waktu 21 hari adalah
waktu yang cukup bagi otak untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru dan merasa nyaman
dengan perubahan tersebut.
Dalam konteks puasa selama satu bulan Ramadhan, Teori 21-hari dapat menjawab
pertanyaan saya yang pertama di atas. Konsep ini menyatakan bahwa diperlukan sekitar 21 hari
atau tiga minggu untuk membentuk kebiasaan berpuasa dan melaksanakan ibadah secara rutin.
Umat Muslim berpuasa selama satu bulan penuh dalam Ramadhan, yang terdiri dari 29 atau 30
hari tergantung pada kalender Islam. Puasa Ramadhan adalah kewajiban bagi umat Muslim yang
mampu melakukannya, dan diharapkan dapat melatih diri untuk mempertahankan kebiasaan
berpuasa dan beribadah setelah bulan Ramadhan berakhir. Dengan kata lain, puasa di bulan
Ramadhan dapat mewujudkan insan yang memiliki kepribadian seperti yang disebutkan dalam
hikmah Ramadhan di atas.
Nah, jika ada orang yang setelah berpuasa di bulan Ramadhan tidak berperilaku lebih baik,
sudah pasti ada yang salah. Padahal begitu banyak mereka yang rajin puasa, menunaikan shalat
tarawih, tadarus selama Ramadhan. Begitu masuk bulan Syawal, perilakunya Kembali BAU
(business as usual). Dimana salahnya?
Kita tahu bahwa umat Islam memiliki kebiasaan dan budaya dalam menyambut bulan
Ramadhan, seperti mandi bersih atau paduan di Jawa Timur, Gema Takbir di Betawi dan beberapa
daerah lain, mandi safar bagi masyarakat Bugis dan Makassar, dan tradisi balimau (mandi bunga)
di Sumatera Barat. Selama bulan Ramadhan, ritual yang selalu dilakukan adalah shalat tarawih,
tadarus dan itikaf di masjid pada 10 hari terakhir Ramadhan.
Rutinitas tahunan semacam ini dapat membuat mayoritas umat Muslim merasakan emosi
yang sama secara berulang-ulang dari dulu sampai sekarang. Bahkan pikiran kita sudah dapat
memprediksi bahwa tahun-tahun mendatang juga akan melakukan ritual yang sama. Artinya,
kehidupan kita akan sama saja di masa lalu, sekarang, dan masa depan. Menurut Dr. Joe Dispenza
dalam bukunya “Becoming Supernatural”, pikiran yang sudah terprogram seperti ini sama dengan
pesawat yang terbang dengan mode autopilot. Artinya, tidak ada ruang untuk hadirnya sesuatu
yang tidak biasa seperti upaya perbaikan perilaku dan cara beribadah yang lebih baik.
Jadi, wajar jika setelah Ramadhan kita kembali menjadi biasa-biasa saja jika semuanya
sudah menjadi rutinitas dan terprogram ibarat autopilot. Kita tidak bisa mengharapkan perbaikan
perilaku jika ibadah kita selam Ramadhan begitu-begitu saja. Pola pikir ini telah disindir oleh
Albert Einstein dengan perkataannya, "Insanity is doing the same thing over and over and
expecting different results."

2
Lalu Kita Harus Bagaimana?
Tidak ada cara lain, kita harus melepas program autopilot yang saat ini kita jalani. Kita
harus berani dan secara sadar membuat bulan Ramadhan sebagai kesempatan emas untuk
menggembleng diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih taqwa dan berperilaku rahmatan
lil alamin.
Pogram autopilot telah membuat kita merasa nyaman dengan rutinitas dan malas berpikir.
Saya teringat dengan ajakan CEO sebuah perusahaan telekomunikasi terkemuka di Indonesia
kepada para karyawannya untuk menciptakan burning platform. Tujuannya untuk menciptakan
rasa tidak nyaman dan memberikan dorongan agar para karyawannya segera mencari solusi atas
permasalahan yang ada. Ketika seseorang beranjak dari zona nyaman untuk memasuki zona yang
baru, tentunya segala sesuatunya tampak asing dan dia dipaksa untuk rendah diri
mengesampingkan sejenak kejayaan masa lalu dengan belajar hal baru.
Analoginya disini, kita harus berani melakukan perubahan perilaku yang terjebak dalam
rutinitas, tanpa ada rasa khusyuk dan keinginan untuk lebih taqwa lagi. Artinya mode autopilot
harus OFF. Menyitir Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A. dalam bukunya “Kontemplasi Ramadhan,
“kita harus menyiapkan pangkalan pendaratan Ramadhan di dalam kalbu dan pikiran. Kita sudah
harus meluruskan jaln pikiran yang selama ini bengkok, melunakkan hati yang selama ini keras,
membersihkan kalbu yang kotor, dan merajut kembali keluarga yang sedang rusak.”

Persiapan Menjemput Ramadhan


Mungkin ada yang bertanya, bagaimana cara terbaik untuk meraih keberkahan dalam
menjalani Ramadhan? Menurut Nasaruddin Umar, kita perlu mempersiapkan mental dan batin
agar punya keyakinan kuat bahwa Ramadhan kali ini akan lebih baik, baik dari segi kuantitas
maupun kualitas, dibandingkan dengan Ramadhan tahun sebelumnya. Kita harus percaya bahwa
kita mampu menjalani Ramadhan tahun ini dengan lebih baik dan mencapai kesempurnaan yang
lebih tinggi dari sebelumnya.
Lebih jauh disebutkan bahwa bagi para sufi, puasa itu terdiri dari dua kategori, yaitu
makbul dan mabrur. Menurut kalangan tasawuf, tidak semua ibadah makbul (diterima)
memberikan efek positif secara holistik (mabrur). Puasa makbul (diterima) Ketika seluruh rukun
syarat formalnya dipenuhi, seperti menahan diri dari makan dan minum, berhubungan seks, dan
menghindari larangan lainnya. Puasa mabrur adalah puasa yang memberikan efek positif seusai
menjalankan ibadah puasa itu.
Dalam perkataan lain mabrur dimaknai sebagai efek holistik yang memberi dampak besar
terhadap kualitas iman seseorang. Oleh karena itu, semua ibadah mabrur sudah pasti makbul, tetapi
tidak sebaliknya. Boleh jadi puasa kita sah secara syariah, tetapi belum mabrur karena ada dimensi
lain yang tak terpenuhi selama menunaikan ibadah puasa. Jadi kemabruran sebuah ibadah terlihat

3
dari bekas dan jejak positif yang melekat di dalam diri seseorang yang telah melakukan ibadah
tersebut.
Puasa mabrur diawali dengan memahami tujuan puasa sebagaiman dijelaskan dalam al-
Quran: la’allakum tattaqun (agar kalian meraih ketaqwaan). Konsep taqwa dalam ayat tersebut
merupakan bahasa lain terpenuhinya unsur makbul dan mabrur dalam ibadah puasa yang
ditunaikan. Sehingga untuk meraih puasa maksimum (makbul dan mabrur) sudah tentu puasa tu
harus dilakukan secara total. Selama ini kita berbicara tentang puasa hanya menekankan standar
minimumnya, yaitu menahan makan, minum dan berhubungan suami istri, yang notabene masih
bersifat fisik. Padahal puasa dalam maqam yang lebih tinggi memuasakan seluruh dimensi diri
kita, baik lahir maupun batin.

Penutup
Tantangan berikutnya adalah seberapa besar komitmen kita untuk melakukan perubahan
mendasar setelah menjalani puasa selama satu bulan. Jawabannya tergantung pada keputusan dan
tekad individu masing-masing. Kita perlu menghidupkan program "auto-pilot" baru yang
mencakup perilaku dan ibadah yang telah ditingkatkan, dan diterapkan hingga berjumpa dengan
Ramadhan berikutnya untuk dilakukan lagi peningkatan perilaku. Kita harus selalu berupaya untuk
menjadi pribadi yang lebih baik, sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah, “Barangsiapa
yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia beruntung. Barangsiapa yang sama seperti
kemarin, ia merugi. Dan barangsiapa yang lebih buruk dari hari kemarin, maka ia celaka." (HR.
Al Hakim)
Semoga kita mampu menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai kawah candradimuka untuk
mencetak pribadi muslim yang taqwa dan “rahmatan lil alamin”.

Aswil Nazir - Ciputat, 9 Maret 2023


(terinspirasi dari diskusi singkat dengan sdr. Widodo Tudjo, QTEH Founder)

Anda mungkin juga menyukai