Anda di halaman 1dari 5

Puasa dan Kesalehan Sosial

Sabtu 09 Apr 2022 01:45 WIB

Rektor UIN Raden Intan Lampung Prof. Wan Jamaluddin

Setiap muslim beriman selalu menyambut datangnya bulan Ramadan


dengan riang gembira dan penuh kesungguhan. Terlebih, bulan suci
1443 H ini datang dalam kondisi bangsa yang relatif lebih baik dari
sebelumnya, yakni semakin melandainya virus covid-19 dan dalam
proses peralihan dari pandemi menuju endemi. Jika pada dua tahun yang
lalu segala aktivitas ibadah dibatasi, seperti pelaksanaan salat tarawih di
Masjid, mudik, halal bihalal, maupun kegiatan muamalah lainnya
dibatasi, maka Ramadan 1443 ini sebagian besar sudah berubah, umat
Islam bisa kembali tarawih berjamaah di masjid, bisa mudik bertemu
dengan keluarga, merayakanan idul fitri dan aktivitas-aktivitas lainnya,
tentu dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.

Kondisi yang lebih baik dari sebelumnya ini tentu wajib untuk disyukuri,
salah satu caranya dengan menghidupkan spirit kebaikan di bulan
Ramadan. Banyak amaliah berpahala besar jika dilakukan di bulan suci,
maka dari itu setiap muslim beriman harus meningkatkan amalan jauh
dibandingkan amalan di bulan lain. Tujuan puasa adalah agar menjadi
muslim yang bertakwa. Kata takwa tentu mencakupi berbagai kebaikan
yang dilakukan. Termasuk dalam aktivitas pekerjaan setiap individu
yang menuntut profesionalisme.

Dalam ibadah puasa, setidaknya ada tiga nilai pokok, pertama adanya
sikap kritis dan peduli terhadap lingkungan sosial, kedua, adanya
keterkaitan antara kesalehan pribadi dan kesalehan sosial dan ketiga
mampu melahirkan jiwa yang kreatif dan inovatif.

Etos kerja

Puasa tentu tidak boleh menjadikan umat Islam untuk bermalas-malasan.


Puasa justru harus menjadi spirit dalam upaya peningkatan produktivitas
kerja. Sejarah banyak mengungkap tentang etos kerja saat Ramadan,
seperti perjuangan Rasulullah SAW dan kaum muslimin dalam Perang
Badar yang terjadi pada 17 Ramadan.

Fakta di balik peristiwa ini menunjukkan bahwa puasa yang


dilaksanakan mampu menumbuhkan etos kerja dan daya juang yang
tinggi. Puasa dapat meningkatkan etos kerja jika dilaksanakan dengan
ilmu. Puasa dapat berfungsi dengan baik jika dilakukan dengan baik
pula. Puasa dapat meningkatkan semangat meskipun pelakunya tidak
memiliki banyak energi karena tidak makan dan tidak minum. Namun,
ilmu dan movitasi untuk terus berbuat baik justru akan mendapatkan
energi dari Allah.

Semua ibadah di bulan Ramadan dilipat gandakan pahalanya. Maka


karena nilai ibadahnya tinggi, sudah pasti setiap orang akan berlomba-
lomba untuk beraktivitas dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja
yang baik. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa
setelah orang beriman  melaksanakan ibadah puasa dan amalan-amalan
lainnya harus menyikapinya dengan dua maqam, yaitu khauf (khawatir)
dan raja’ (harap).

Artinya setiap orang yang berpuasa harus menjadikan puasa benar-benar


sebagai ibadah yang agung dan dapat membawa inspirasi bagi individu,
keluarga, institusi dan umat secara keseluruhan.

Puasa sesungguhnya akan melahirkan spirit dalam etos kerja. Pertama,


akan memunculkan hubungan spiritual yang erat manusia dengan Allah,
sehingga menjadikan manusia bersungguh-sungguh dalam peningkatan
produktivitas kerja.

Kedua, spirit  menjadikan manusia menjaga hubungan yang harmonis,


selaras dan serasi dengan relasi kerjanya. Baik antara bawahan dengan
atasan, maupun antar institusi. Ketiga, spirit melahirkan manusia pada
level saling menghargai dan tolerans. Ketiga adalah spirit puasa akan
meningkatkan profesionalisme dalam setiap pekerjaan.
Ramadan menjadi ujian awal untuk menguji etos kerja seseorang. Jika
etos kerja meningkat selama Ramadan, maka sudah bisa dipastikan
secara alamiah bahwa produktivitas kerjanya juga terus meningkat pada
bulan-bulan setelah Ramadan.
Kesalehan Sosial
Ramadan merupakan bulan penuh keberkahan dan
kemuliaan, maka hikmah dan kebajikannya bersifat
multidimensional, tak hanya moral dan spiritual, tetapi
juga sosial. Puasa tak hanya membentuk kesalehan
individual melainkan sekaligus juga kesalehan sosial.
Dalam kenyataannya, masih terdapat ketimpangan antara
kesalehan individual dan kesalehan sosial. Masih ada
orang yang saleh secara individual, namun  kurang saleh
secara sosial.
Kesalehan individual kadang disebut juga dengan
kesalehan ritual, karena lebih menekankan  dan
mementingkan pelaksanaan  ibadah ritual.  Disebut
kesalehan individual karena hanya mementingkan ibadah
yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan
kepentingan diri sendiri.
Sementara pada saat yang sama mereka tidak memiliki
kepekaan sosial, dan kurang menerapkan nilai-nilai islami
dalam kehidupan bermasyarakat.  Sedangkan kesalehan
sosial menunjuk pada perilaku yang sangat peduli dengan
nilai-nilai islami, yang bersifat sosial. Dalam Islam, 
kedua corak kesalehan itu merupakan suatu keniscayaan
dan harus dimiliki seorang Muslim. Kriteria kesalehan
seseorang tidak hanya diukur dari ibadah ritualnya, tetapi
juga dilihat dari output sosialnya.
Islam bukanlah agama individual melainkan sebagai
rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin). Agama
yang tidak hanya untuk kepentingan penyembahan dan
pengabdian diri pada Allah semata tetapi juga menjadi
rahmat bagi semesta alam. Puasa implikasi sosialnya juga
sangat jelas, diharapkan dengan menahan diri dari
berbagai kesenangan duniawi, seseorang akan mampu
merasakan kaum dhuafa dan mampu bersimpati terhadap
derita orang lain. Puasa memiliki multifungsi, fungsi
puasa adalah tahzib, ta’dib dan tadrib.
Puasa merupakan sarana untuk mengarahkan (tahzib),
membentuk karakteristik jiwa (ta’dib), serta medium
latihan untuk berupaya menjadi manusia yang kamil dan
paripurna (tadrib), yang pada esensinya bermuara pada
tujuan akhir puasa yakni takwa.
Takwa dan kesalehan sosial tak bisa dipisahkan. Dalam
Kesalehan sosial juga tercakup kesalehan profesional.
Kesalehan profesional menunjukkan sejauh mana perintah
agama dipatuhi dalam kegiatan profesional.

Anda mungkin juga menyukai