Anda di halaman 1dari 4

dari Plein van Rome, Nanho Podo hingga Lapangan Imam Bonjol

Prolog:
Tahun 1901 Belanda mendirikan klub sepakbola di kota Padang dengan nama Padangsche
Voetbal Club (PSV), konon merupakan klub sepakbola tertua di Indonesia.
Beberapa tahun kemudian muncul enam tim berikutnya, termasuk tiga tim beranggotakan
warga etnis Minang dan satu klub dari kesatuan tentara yang bernama Sparta. Julukan ini
mengambil nama dari legenda Yunani, menggambarkan sosok-sosok tangguh dan suka
perang, hingga populer dijadikan nama tim sepakbola di lingkungan tentara Hindia Belanda
saat itu.
Tahun 1905 ada tujuh klub bergabung membentuk asosiasi WSVB (West Sumatran Football
Association). Sejarah mencatat bertahun kemudian WSVB bertahan sebagai persatuan klub
sepakbola yang memungkinkan klub dengan anggota beragam etnis, yaitu Minang, Eropa
dan Cina, melaksanakan kompetisi dan duduk berdiskusi dalam satu meja.
Arena bertanding mereka adalah di lapangan yang punya nama keren, Plein van Rome
(Stadion Roma), itulah lapangan Imam Bonjol sekarang.

Kini nama Lapangan Imam Bonjol sudah tidak asing lagi terutama bagi penduduk kota
Padang dan sekitarnya. Tapi mungkin tidak banyak yang tahu bahwa lapangan ini (dulu
dikenal sebagai Plein van Rome) juga sangat berkesan bagi proklamator kita, Bung Hatta.
Sebagai anak muda dia juga menemukan kesenangan hidup yang salah satunya ada di
Plein van Rome, lapangan sepak bola yang terletak di alun-alun kota di depan kantor
Gemeente Padang. Hatta bergabung dalam klub sepak bola Young Fellow yang pemainnya
terdiri anak-anak Belanda dan pribumi. Klub ini pernah menjadi juara Sumatera selama tiga
tahun berturut-turut semasa Hatta menjadi anggotanya.

Dalam buku Kemerdekaan RI di Minangkabau yang ditulis oleh Mulkan Raden Hidayat dkk,
disebutkan bahwa Padang adalah kota terakhir diserahkan Belanda pada pemerintahan
Republik Indonesia Serikat (RIS). Tepatnya 27 Desember 1949 di halaman Markas Tentara
Belanda atau Kantor Balai Kota Padang sekarang. Hadir dalam penyerahan itu,dr. Rasidin,
Mayor A. Thalib, Letnan Kolonel Dahlan Djambek, dan Mr. Abubakar Djaar. Penyerahan Kota
Padang dari Residen Hoofd Tijdelijk Bestuur (HTB) van Straten ke Pd. Gubernur Militer
Sumatera Tengah Mr. M. Nasrun di tanah lapang Plein van Rome atau Lapangan Imam
Bonjol sekarang.

Koran Haluan Minggu, 4 Maret 1993 memuat tulisan Adrin Kahar yang mengulas sedikit
tentang lapangan Plein van Rome (Lapangan Roma) yang sempat dinamai lapangan
Alanglaweh (lingkungan kampung di sekitar lapangan tersebut bernama Alanglaweh). Lalu

ASWIL NAZIR 1
di jaman pendudukan Jepang (1942-1945) lapangan Alanglaweh diberi nama dengan istilah
Jepang “Nanpo Hodo” yang artinya “Angin dari Selatan”. Di awal tahun 1950 an berganti
pula dengan nama kompleks stadion Benteng (sejak dibangunnya stadion di tengah kota
Padang) dan terakhir baru dinamai lapangan Imam Bonjol.

Plein van Rome di jaman Belanda

Pertemuan jalan Alanglaweh dengan Plein van Rome.


Menurut Adrin Kahar, Plein van Rome, Nanpo Hodo atau Lapangan Alanglaweh masa dulu
dibawah pengelolaan penjajah memang dimaksudkan sebagai alun-alun sebuah kota
sebagaimana terdapat di berbagai kota di Indonesia, seperti Lapangan Merdeka (sekarang
lapangan Monas) Jakarta, alun-alun Bandung, Jogjakarta dan lain-lainnya.

Mobil Ford beraksi di Plein van Rome (tahun 1933)

ASWIL NAZIR 2
Pembangunan membawa perubahan, perubahan akan membawa kemungkinan kehilangan
sesuatu; tetapi mungkin memperoleh sesuatu yang baru dalam kehidupan dan
penghidupan kita. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa di masa Lapangan
Alanglaweh bernama Plein van Rome dan menyandang nama Nanpo Hodo, di sisi Barat
pertengahan lapangan ini pernah ada berdiri sebuah rumah tekap (koepel huis) yang dalam
bahasa awak lebih dikenal sebagai “rumah bulek” (bulek = bulat). Dikatakan rumah bulek
mungkin karena denah bangunan ini bulat (tidak berdinding), berlantai tinggi merupakan
panggung sehingga rumah panggung bulat tidak berdinding ini dapat menjadi tempat
mempertontonkan sesuatu yang terlihat dari segala arah. Apa tujuan mendirikan “rumah
bulek” ini oleh pemerintah Belanda jaman dulu, tidak diketahui dengan persis. Tipe rumah
bulek begini biasanya terdapat di lapangan pacu kuda di Padang, Bukitinggi, Batusangkar
dan lain-lainnya.
Tetapi bagi Adrin Kahar kehadiran rumah bulek di masa Plein van Rome dan Nanpo Hodo
itu berkesan sekali dalam kenangan dan pengalaman, terutama dalam proses pengenalan
dan pengembangan apresiasi musik pada khususnya.
Melalui pagelaran di rumah bulek inilah banyak orang berkenalan dengan symphony
orchestra sajian korps musik (korsik) KNIL (tentara Belanda) maupun korsik RIKU-GUN
(tentara Jepang) membawakan lagu-lagu mars maupun lagu-lagu klasik.

Saya pribadi mempunyai kenangan yang cukup berkesan terhadap lapangan Imam Bonjol
ini. Semasa bersekolah di SMP Adabiah (di seberang Raya Theatre) pada kurun waktu
1968-1970, kami sering sekali dibawa oleh guru untuk berolah raga ke lapangan Imam
Bonjol di bagian luar (di sisi samping gedung TELKOM). Ini kurang lebih mirip dengan Istora
Senayan yang bagian luarnya dipakai untuk lari pagi atau olah raga ringan. Jadi begitu tiba
jam olah raga, kami sekelas dengan memakai baju olahraga berbaris menuju ke lapangan
Imam Bonjol yang akan ditempuh sekitar 15 menit. Biasanya disana juga ada anak-anak
SMP lain seperti dari SMP Simpang Kandang atau SMP Negeri lainnya. Lapangan luar Imam
Bonjol cukup luas untuk menampung aktivitas olah raga seperti bola basket, volley, sepak
bola, atletik (loncat jauh, loncat tinggi) dan roundes (semacam softball tapi menggunakan
bola tenis). Kalau dipikir sekarang, saya cukup heran karena kami tidak pernah tawuran
dengan anak sekolah lain walaupun kadang-kadang berebutan dalam menggunakan
fasilitas olah raga di lapangan.

Aktivitas di luar lingkungan sekolah ini juga memberikan nuansa segar bagi pelajar,
mungkin karena pak Achmad Chatib (alm), guru Pendidikan Jasmani kami memberikan
kebebasan untuk memilih jenis olah raga yang akan diikuti. Jadi praktis dua jam pelajaran
tersebut dirasakan sebagai jam-jam refreshing. Namun ada satu hal yang membuat kita
sedikit tidak nyaman di lapangan tersebut. Kalau kurang waspada, anda bisa-bisa

ASWIL NAZIR 3
menginjak tahi anjing di lapangan rumput tersebut. Maklum di areal terbuka itu banyak
berkeliaran anjing piaraan maupun anjing liar.
Menurut Adrin Kahar, masyarakat Padang “voor de oorlog” yang bejumlah kurang lebih
60.000 orang memang sangat berbeda dengan masyarakat Padang di era kemerdekaan
yang telah berjumlah lebih dari 600.000 jiwa (saat ini telah mencapai 800.000 jiwa lebih).
Gemeente Padang (Kotapraja) dulu berjiwa pemerintah kolonial sedangkan kotamadya
Padang sekarang berjiwa kerakyatan yang merdeka. Namun kita mengharapkan bahwa
desain pengembangan kota “tempo doeloe” yang berjalan sampai sekarang janganlah
terputus dengan desain pengembangan kota masa kini menghadapi masa depan.
Kalau kita ibaratkan kota Padang sebagai suatu bahtera yang akan mengarungi samudera,
kaptennya sewaktu-waktu dapat diganti, tapi janganlah melalaikan patokan-patokan
pelayaran yang telah dilalui disamping tetap waspada dengan penuh perhitungan (desain)
ketika melalui patokan-patokan yang dihadapi.
Aswil Nazir - Ciputat, 14 Oktober 2009.
(rujukan informasi: minangkabau online, tempointeraktif, tulisan Adrin Kahar di Haluan
Minggu, 4 Maret 1993. Foto-foto lama dari arsip KITLV)

ASWIL NAZIR 4

Anda mungkin juga menyukai