Anda di halaman 1dari 16

PENJELASAN ATAS USULAN

PERUBAHAN NAMA BANDARA “KASIGUNCU”

Bahwa sejarah dimulainya pembangunan bandar udara Kasiguncu yang berlokasi di


Kecamatan Posso Pesisir kurang lebih 14 km dari kota Poso  arah  Barat mulai dirintis
pembangunannya sekitar tahun 1974 dengan  mengerahkan para pelajar dari tingkat SMP,
SMA/sederajat, PNS serta dibantu oleh unsur masyarakat Poso lainnya dengan cara
bergotong royong mengangkut batu dan pasir dari sungai Puna yang berada tepat di bibir
landasan bandar udara sekarang ini, untuk digunakan memperkeras permukaan tanah yang
akan dijadikan landasan pacu (runway) hingga selesai. Saat itu menjadi bandar udara dalam
wujud yang masih sangat sederhana dan serba berkekurangan ketika pertama kali
dioperasikan.
Bahwa pengoperasian bandar udara Kasiguncu sempat terganggu karena timbulnya
kerusuhan Poso pada 24 Desember 1998. Seiring dengan perjalanan waktu yang disertai
dengan kondisi keamanan yang semakin membaik maka, bandar udara Kasiguncu dapat
difungsikan kembali.
Pada saat ini, bandar udara Kasiguncu dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Kementerian Perhubungan dan Pemerintah Daerah, ditingkatkan kapasitasnya sebagai bandar
udara pengumpan yang pada gilirannya diharapkan kelak menjadi Badan Layanan Umum
(BLU) yang mendukung kemajuan ekonomi dan pariwisata di daerah ini serta mobilitas
pengguna jasa penerbangan yang dari hari ke hari semakin meningkat.
Bahwa “Kasiguncu” adalah nama sebuah desa di Kecamatan Posso Pesisir di mana
pada saat itu lokasi bandara dibangun dan nama ini  kemudian dijadikan nama bandar udara,
namun ketika kondisi saat ini bandara telah dibangun dan landasan pacunya (runway) telah
diperpanjang, lokasi bandara tersebut tidak hanya berada di Kasiguncu, tetapi juga berada di
desa Bega dan Mapane. Sehingga menurut hemat kami, nama Kasiguncu sebagai nama
bandara sudah kurang tepat di samping karena lokasinya sudah berubah juga dianggap kurang
bernilai sejarah yang menggambarkan fakta dalam arus dinamika sejarah dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pernah hadir di daerah Kabupaten Posso
khususnya, Sulawesi Tengah pada umumnya.
Banyak bandar udara di Indonesia yang diberi nama pejuang atau sosok yang
dianggap berjasa bagi daerah setempat yang pada gilirannya menjadi identitas sekaligus
menjadi kebanggaan daerah tersebut. Satu diantaranya ialah nama Bandara Mutiara, Palu,
Sulawesi Tengah. Satu nama yang indah serta memiliki makna sejarah yang dalam karena
nama Mutiara diberikan oleh Bapak Bangsa Indonesia Dr Ir. H. Soekarno pada tahun 1957.
Dalam perkembangannya kemudian, nama bandar udara Mutiara atas kesepakatan
bersama Pemerintah Kota Palu dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi Bandar udara
Mutiara Sis Al-Jufri (2013).
Di Kabupaten Poso, tentunya juga mempunyai catatan penting tentang perjalanan
sejarah kepahlawanan yang harus direkam dan harus diabadikan, sehingga menjadi sesuatu
bentuk penghargaan atas jasa dan pengorbanannya kepada Daerah Kabupaten Poso, bangsa
dan Negara.
Dalam kaitan dengan penamaan bandara yang diusulkan dengan mempertimbangkan
berbagai faktor antara lain faktor  sejarah  daerah setempat maka, sosok yang diusulkan
benar-benar harus menjadi tokoh panutan yang diterima masyarakat, tokoh adat sekaligus
sebagai tokoh pejuang yang kesetiaan dan pengabdiannya bagi Bangsa dan Negara tidak
pernah diragukan dalam perannya membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Di samping itu juga simbol atau slogan daerah yang mempunyai nilai edukatif, sosial
dan budaya untuk menjadi perekat Nagara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) perlu
dipertimbangkan pula sebagai nama pengganti Bandara Kasiguncu sebagai sistim nilai
kebudayaan yang tumbuh dan berkembang sebagai kearifan lokal (local wisdom).
Untuk itu ada 3 (tiga) usulan nama yang dianggap memenuhi kriteria dari penjelasan
di atas untuk dijadikan nama bandar udara pengganti bandar udara Kasiguncu yaitu :
1. PAHLAWAN TABATOKI;
2. RAJA TALASA; dan
3. SINTUWU MAROSO.

a. PAHLAWAN TABATOKI
Untuk mengingat jasa para Pahlawan, Pemerintah Republik Indonesia kemudian
memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada warga negara yang terbukti dengan gagah
perkasa berani melakukan perlawanan kepada Belanda. Sebut saja antara lain misalnya Tjuk
Nya Dien, Imam Bonjol, dan Pangeran Diponegoro, Sam Ratulangie dll.
Pangeran Diponegoro terkenal dengan perang lima tahun 1825 – 1830 yang
meluluhlantakan Pulau Jawa dan menyebabkan Kerajaan Belanda harus menanggung hutang
yang cukup besar (Jutaan Gulden) agar dapat memadamkan perlawanan Pangeran
Diponegoro.
Perlawanan serupa seperti apa yang dilakukan Pangeran Diponegoro sesungguhnya
juga terjadi di Kabupaten Poso yang dilakukan oleh Tabatoki yang melakukan perlawanan
terhadap Belanda selama kurang lebih 3 (tiga) Tahun lamanya.
Ta Batoki melakukan perlawanan antara tahun 1906 sampai dengan 1909. Ta Batoki
adalah Kabose dari Kasawi Dulongi (Lage-Onda’e).
Dalam ingatan rakyat, Tabatoki menghimpun pejuangnya dari daratan Onda’e dan
memilih bermukim di Tamungkudena atau biasa dikenal juga dengan nama Ratodena yang
sekarang dikenal sebagai desa Sawidago.
Ta Batoki dan pejuangnya membangun basis pertahanan di perbukitan desa
Tamungkudena. Untuk melumpuhkan benteng ini, Belanda melakukan isolasi dan melarang
desa desa sekitar membangun lumbung di luar desa, akibatnya Ta Batoki dan pejuangnya
kekurangan makanan.
Dalam keadaan kekurangan makanan dan terus melakukan perlawanan, pada akhirnya
Belanda merencanakan sebuah serangan besar besaran ke Benteng Tamungkudena. Serangan
ini dipimpin oleh Letnan Voskuil dengan persenjataan berat. Serangan ini dilancarkan pada
Bulan Desember 1906.
Kalah dalam jumlah personil dan persenjataan, Ta Batoki tidak dapat
mempertahankan benteng Tamungkudena, dan setelah beberapa jam pertempuran terjadi,
benteng Tamungkudena dapat direbut Belanda.
Dari sini mulailah perjalanan Dahsyat Perang Gerilya Ta Batoki yang legendaris yang
berlangsung semenjak tahun 1906 – 1909. Ta Batoki tidak sendiri!!! Dalam catatan sejarah
Belanda, Ta Batoki ditemani oleh 30 (tiga puluh) orang pasukan pemberani yang menyertai
beliau melakukan perang Gerilya.
Mulai Januari Tahun 1907, Ta Batoki dan 30 (tiga pukuh) orang pengikutnya menjadi
mimpi buruk bagi Belanda. Beliau berkelana mulai dari hutan-hutan di Lage, Onda’e, Pebato,
dan tidak pernah ditangkap Belanda.
Konon kabarnya hal ini disebabkan karena Ta Batoki memiliki kesaktian yang tinggi,
tidak mempan peluru. Dalam satu sergapan di Pebato, ketika sudah terkepung oleh Belanda,
Ta Batoki meloncat di jurang dari lipu Longkida yang begitu terjal tapi tidak meninggal.
Demikianlah Ta Batoki melakukan perlawanan secara terus menerus sampai dengan
Tahun 1909 ketika perlahan lahan pasukannya menyusut karena banyak yang meninggal dan
kekurangan bahan makanan.
Di tahun 1909 ketika dalam gambaran Emily Gobee, seluruh daratan Pamona bersiaga
untuk penangkapan Ta Batoki karena lokasi persembunyiannya telah diketahui. Dari sisi ke
sisi seluruh danau Poso telah dijaga pasukan Belanda. Adriani dengan tegas menolak
tindakan militer dilakukan. Beliau kemudian meminta Ta Rame (kabose Banano) untuk
meminta Ta Batoki menyerahkan diri. Ta Batoki menolak menyerah dan meminta bertemu
dengan Adriani.
Sama halnya dengan Penangkapan Pangeran Diponegoro, demikian juga penangkapan
Ta Batoki. Ketika sedang melakukan perundingan dengan Adriani, pasukan Belanda
menangkap beliau dan membawanya ke Poso. Dalam catatan sejarah Belanda disebutkan
bahwa Ta Batoki kemudian meninggal karena penyakit paru – paru yang diidapnya. Namun
dalam penelusuran sumber sumber lain, ditemukan cerita bahwa selama di penjara di Poso,
Ta Batoki melakukan mogok makan, Tidak mau Makan!!! dan inilah kemudian yang
merenggut nyawa pahlawan ini. Memilih Mati daripada menyerah.
Seorang Pahlawan sesungguhnya, Mati dalam keyakinannya untuk mempertahankan
prinsip hidupnya.
b. RAJA TALASA
Tidak banyak orang yang mengetahui tentang tokoh yang satu ini. Tapi tokoh ini
sangat berpengaruh dalam pengembangan agama di wilayah Sulawesi Selatan. Ta Lasa,
adalah seorang pemimpin atau seorang yang mempunyai kedudukan seperti seorang Raja di
Poso. La Tasa ini hingga akhir hayatnya, dikenal tidak memeluk agama Kristen atau Islam.
Meskipun semasa hidupnya, ia banyak berperan dalam membantu penyebaran agama Kristen
di Poso bersama para misionaris. Ia diketahui tetap menganut kepercayaan leluhurnya, atau
biasa disebut agama suku (mo Lamoa).
Dua orang misionaris yang paling akrab dengannya adalah Kruyt dan Adriani.
Sepasang suami isteri berdarah Belanda ini telah tinggal bersamanya selama kurang lebih 30
tahun. Bahkan, tiga dari lima orang anak Talasa diberinama oleh kedua misionaris tersebut.
Mereka yang diberinama adalah Yuliana, Damayanti dan Sintamane. Bukan tanpa alasan
pemberian nama tersebut. Yuliana, adalah untuk mengingat salah seorang putri Ratu
Wilhelmina (Belanda) bernama Yuliana (1905). Sementara Damayanti dan Sintamani
diambil, dari motologi Hindu.
Nama Talasa sendiri sebenarnya bukan  nama asli (nama pemberian sejak lahir).  Ada
dua suku kata yang menyatu membentuk nama tersebut, yakni Ta Lasa. Seperti adatnya orang
Poso (To Poso), Ta merupakan akronim dari Tama atau paman. Dengan begitu, maka
sesungguhnya Ta Lasa berarti panggilan sebagai “pamannya” Lasa.
Sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Poso, bahwa jika seseorang telah
dewasa, sudah menikah dan punya anak maka tidak boleh dipanggil dengan nama kecilnya
(nama asli). Namanya secara otomatis berubah, dengan dilekatkan nama anaknya, di tambah
suku kata Ta di awal. Misalnya Olo (nama kecil), kalau sudah menikah dan punya anak
bernama Enge, maka namanya akan berubah Papa Enge. Dan untuk adik Olo yang laki-laki
dan belum menikah, akan berubah juga namanya menjadi Ta Enge. (Pamannya Enge).
Sebenarnya, pemberian panggilan Ta yang dipadu dengan mama keponakan ini tidak
diharuskan. Hanya sebagai penghormatan saja. Tradisi ini juga berlaku pada masyarakat Kaili
yang bermukim di wilayah Parigi. Dalam masyarakat Poso, perubahan nama panggilan ini
disebut sebagai “pompaindo”, yang dapat diartikan sebagai “julukan atau alias.
Ketika ditelusuri dari mana nama Talasa, mulai dari sanak keluarga dekatnya seperti
rumpun keluarga Tadjongga, Ule, Tabalu, Kaumba, Banumbu, Danda, Melempo, tidak
diketemukan orang yang bernama Lasa. Dan akhirnya nama Lasa menjadi misterius. Hanya
ada satu informasi yang diperoleh dari “Tama Meli”, orang yang sejak kecil hidup bersama
Talasa.
Dari sinilah nama yang dianggap misterius itu terungkap. Menurut Tama Meli, Lasa
adalah nama seekor anjing kesayangan Talasa. Ketika Talasa murka dan membunuh isteri
pertamanya, Lasa (anjing kesayangannya) turut dibunuh juga. Sebagai bukti, kuburan
berbentuk timbunan batu dari isteri Talasa dan Lasa, masih bisa diketemukan di puncak
Gunung Lebanu, Desa Watuawu. Nah dari sinilah kemudian muncul semacam dugaan, yang
dikuatkan dengan tradisi penamaan tadi. Dan karena saat itu beliau belum punya anak, maka
untuk ‘pompaindo’ diberikanlah nama Tama i Lasa atau Ta Lasa.
Setelah terus didalami lebih jauh berdasarkan keterangan Tama Meli yang ditulis oleh
Kruyt dan Adriani, ‘nDUWA’–lah yang merupakan nama asli Talasa. Dan sebenarnya, Ta
Lasa masih mempunyai beberapa nama ‘pompaindo’ yang lain, seperti Ta Langkai Motopi
(selalu memakai sarung), Ta Wo’o Manu (karena senang makan kepala ayam), dan Ta Tali
Welo karena ketika itu, hanya dia yang boleh menggunakan ikat kepala (siga) berwarna
merah.
Dari buku yang ditulis Adriani yang berjudul TA LASA, eentegenhanger van Papa I
Woente (Den Haag 1913) diperoleh informasi bagaimana sosok Ta Lasa di mata Adriani.
Buku ini diawali dengan perjumpaan mereka untuk pertama kali di sekitar muara Sungai
Poso (Bonesompe sekarang) dan pertemuan selanjutnya di Watuawu, Mara’ayo, Kaligoa,
Untu Tomasa, Pandiri. Selanjutnya mereka saling bersahabat, juga dengan Kruyt. Tapi dalam
persahabatan yang begitu lama, mengapa Kruyt dan Adriani tidak berhasil “menyakinkan”
Talasa untuk masuk Nasrani (Masehi) atau Kristen, walau seorang Kobosenya di Poso
Pebato, Papa I Wunte dengan kelompoknya telah masuk Kristen. Menurut Adriani, Talasa
adalah seorang keras kepala, konsisten, bijak dan cerdik serta tidak peminum alkohol.
Ada beberapa alasan yang diketahui keluarga mengapa Talasa, sampai akhir hayatnya
tahun 1947 tidak bisa di Kristenkan oleh tenaga misionaris Belanda dan tetap bertahan
dengan pemahaman agama sukunya. Ada beberapa anekdot cerita diskusi antara Talasa
dengan Kruyt dan Adriani:
1. Merasa sebagai Mokole Bangke Poso, tidak selayaknya menganut salah satu dari agama
yang diperkenalkan. Islam dan Kristen. Alasan seperti disampaikan oleh Talasa kepada
Kruyt kurang lebih sebagai berikut : “ Ane yaku mo Nasarani, wembe’imo dapogaulaku
pai wa’a ja’i anu mo Isilamu (kaum Muslim). Owi yunuku Tu’a Eda (Alamri, salah satu
tokoh Musim yang berasal dari Arab), napokau se’e yaku da mo Isilamu “. Yaku se’i
mokole to Poso gala to Nasarani pai to Isilamu “.( Jika saya menjadi Kristen, bagaimana
hubungan saya dengan kerabat yang beragama Islam. Dulu Tuan Eda Alamri, juga
menyuruh saya untuk masuk Islam. Saya ini raja Poso untuk kaum Kristen dan yang
Islam). Dua dari tiga istri Talasa adalah penganut Islam.
2. Merasa keyakinan agama sukunya relatif lebih baik. “…Kompania (pemerintah kolonial
Belanda) mamperapi soma danda pawanguni “tarunggu” (tutupan – penjara), kuwaimo
tanaku se’e. Pasipeole ncema anu re’e ri tarunggu silau, podo ndibangini pai to Nasarani
pai Isilamu, bere’e kami anu ntoya molamoa……. Wembei dandi panto’o, mo Nasarani
se’e poengko katuwu ainya dakadago ?”. ( pemerintah kolonial meminta tanah halaman
kepada saya untuk tempat membangun penjara, tanah itu sudah saya berikan. Sekarang
coba perhatikan, siapa saja penghuni penjara itu, hanya berisi orang-orang Kristen dan
Islam, tidak ada orang-orang yang masih menyembah berhala, Bagaimana, kamu akan
jelaskan bahwa menjadi Kristen itu membuat kelakuan dan prilaku hidup akan menjadi
lebih baik ?).
3. Ketika anak sulung Talasa meninggal dan dikuburkan di Sawidago – Tentena,
penguburannya dilakukan secara Kristen dan dipimpin oleh Kruyt. Dalam khotbahnya
Kruyt memberi pemahaman secara iman Kristiani dengan mengatakan bahwa anak yang
meninggal ini adalah pemberian dan berasal dari TUHAN, karena itu TUHAN berhak dan
berkuasa untuk mengambilnya kembali. Talasa tidak bisa menerima pemahaman ini,
“…..Pu’e anu ndipanyomba bemadago, nja anu roo’mo nawai, naperapi natima muni…..,
Ada mami to Poso, sako ndanda to’o-to’o njaa anu ro’omo kuwaika tau ntaninya , bemaya.
Pagonya wo’u ndaperapi muni “.( Tuhan yang kalian sembah tidak baik, apa-apa yang
sudah dia berikan diminta dan di ambil kembali. Adat kami orang Poso, sedangkan untuk
mengatakan apa yang saya telah berikan kepada orang lain, tidak boleh. Apalagi untuk
memintanya kembali “) dan masih banyak lagi anekdot antara Talasa dengan Adriani dan
Kruyt.
Walau tidak pernah menjadi Kristen, Adriani dalam bukunya mengatakan bahwa,
tanpa kerjasama dengan Talasa, maka penginjilan di Tana Poso tidak akan terjadi seperti
sekarang ini.
Sekedar untuk diketahui bahwa kata-kata yang tertulis di batu nisan kuburan Adriani
di Poso, adalah kata-kata perpisahan Talasa kepada Adriani, ketika Adriani datang
memberitahu bahwa beberapa hari lagi dia akan kembali ke Negeri Belanda. Saat itu Talasa
mengatakan kira-kira begini “Kau sudah mempersatukan orang-orang di tanah Poso,
karenanya kau akan tetap menjadi bagian dari tanah ini “. Dan Adriani betul-betul menjadi
bagian dari TANA POSO.
Di samping peran raja Talasa yang sudah digambarkan di atas, maka ada pula nama
yang tentunya mempunyai keterkaitan erat dengan Raja Talasa yaitu “WONGKO LEMBA
TALASA”. Adapun riwayat hidup singkat/riwayat perjuangan dari Wongko Lemba Talasa
adalah sebagai berikut:
Wongko Lemba Talasa lahir di Tentena 13 Mei 1914, seorang birokrat dan aristokrat
yang diwarisi dari ayahnya  Mokole Talasa,  Raja Posso VIII (1919-1947). Seiring dengan
perjalanan waktu, beliau kemudian menggantikan ayahnya sebagai Raja Posso ke IX (1947-
1985).  Menyelesaikan pendidikan OSVIA (Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren)
sebuah lembaga pendidikan untuk calon pegawai negeri bumiputera di jaman Belanda di
Makassar sehingga tidak mengherankan bila banyak pemikirannya dipengaruhi oleh pejuang
Merah Putih dari  Makassar terutama dari kelompok Dr. Ratulangie pada masa-masa
perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Tahun 1944 ketika Jepang menduduki Sulawesi Tengah, Wongko Lemba Talasa
sempat menjadi Polisi Jepang sekaligus menjadi anggota Sukaigun mewakili Sulawesi
Tengah di Manado. Ketika kota Manado mulai diserang oleh pasukan Sekutu maka, pusat
kekuasaan pemerintah Jepang dipindahkan ke Tondano. Di kota ini pemerintah Jepang
kemudian  menyiapkan satu  badan  yang dinamai Badan Persiapan Pemerintahan
Kemerdekaan Indonesia (BPPKI).
Sejalan dengan  pembentukan BPPKI, 1 April 1944 Bunken Kanrikan (Kepala
Pemerintahan setempat) membuka kursus Kader Pemerintahan dan salah satu yang diutus
dari Sulawesi Tengah untuk mengikuti kursus tersebut ialah Wongko Lemba Talasa. Pada
masa revolusi kemerdekaan 1945, Wongko Lemba Talasa menjadi pelopor pembentukan
Gerakan Merah Putih untuk mengkoordinir kaum pergerakan di Poso. Gerakan Merah Putih
tersebut diamanatkan langsung oleh Dr. Sam Ratulangie, Gubernur Sulawesi pertama yang
berkedudukan di Makassar. Tahun 1946 Wongko Lemba Talasa menjadi salah satu utusan
dari Sulawesi Tengah   untuk mengikuti Konferensi Denpasar Bali, yang diselenggarakan 
pada 17 Desember hingga 24 Desember 1946. Konferensi ini terselenggara atas prakarsa
Letnan Gubernur Jendral Hindia Belanda H.J van Mook untuk merealisasikan pembentukan
negara federal “Negara Indonesia Timur” (NIT), meskipun dibeberapa daerah tak terkecuali
di Sulawesi Tengah terjadi gerakan menentang rencana van Mook tersebut.
Untuk memaksa para peserta konferensi menerima gagasan Negara federal, secara
sepihak, van Mook mengumumkan “Keadaan Darurat Perang” (Staat van Orlog en Beleg:
SOB) diikuti dengan aksi pembersihan (Zuiveringsactie) di Makassar yang dilaksanakan oleh
Detaschement Spesiale Troepen (DST) di bawah pimpinan Kapten Raymond Paul Pierre
Westerling dengan cara menggiring penduduk pada dini hari ke lokasi lapangan terbuka
untuk kemudian ditembak mati. Bulan Mei 1947 Wongko Lemba Talasa ditunjuk menjadi
Wakil Ketua Dewan Raja-raja Sulawesi Tengah oleh Anak Agung Gde Agung selaku
Menteri Dalam Negeri Negara Indonesia Timur (NIT).   Sebagai tindak lanjut dari butir 7.7
tersebut diatas, tanggal 13-14 Oktober 1948 dilaksanakan Sidang Dewan Raja-raja se-
Sulawesi Tengah di Tentena (Posso), dimana Wongko Lemba Talasa dalam kapasitasnya
sebagai Wakil Ketua Dewan Raja-raja bertindak sebagai Sekretaris Sidang.
Ada dua hal hasil keputusan yang diambil dalam sidang tersebut : Terbentuk daerah
otonom Sulawesi Tengah yang berkedudukan di Posso dan sebagai Kepala Daerah pertama
ditunjuk R.M Pusadan, Menyatakan keluar dari NIT dan kembali ke NKRI.
Menindak lanjuti hasil pertemuan Tentena, tanggal 27-30 November 1948 kembali
diadakan pertemuan Raja-raja se-Sulawesi Tengah di Parigi yang dikenal sebagai Muktamar
Raja-raja se-Sulawesi Tengah. Muktamar ini juga dihadiri oleh Wongko Lemba Talasa dalam
kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Dewan Raja-raja perutusan Kerajaan Posso. Pertemuan ini
menghasilkan keputusan fenomenal tentang Penetapan Undang Undang Dasar Sulawesi
Tengah yang ditetapkan tanggal 2 Desember 1948.
UUD Sulawesi Tengah ini terdiri atas 7 Bab dan 56 Pasal : Bab I Pasal 3 UUD ini
menetapkan : Ibukota Daerah Sulawesi Tengah ialah Kota Posso. Bab III Pasal 25 ayat (1) :
Anggota-anggota Dewan Raja-raja dipanggil untuk bersidang oleh Ketua, sidang mana
dilakukan di Posso atau disalahsatu tempat yang lain menurut timbangan Ketua.  Bab III
Pasal 27 ayat (1) : Dewan Perwakilan Rakyat mengadakan rapat-rapatnya di Posso.
                Muktamar Raja-raja ini dihadiri oleh 15 raja se-Sulawesi Tengah dengan rincian
sebagai berikut : Wongko Lemba Talasa – Raja Posso, Lasahido – Raja Una-una, Muslaeni –
Raja Tojo, Abd Rabbie – Raja Bungku, Lamakampali – Raja Tawaeli, Tombolotutu – Raja
Moutong, Tagunu – Raja Parigi, Mainda Rumampuo – utusan Raja Mori, Lamakarate – Raja
Sigi-Dolo, Syukuran Aminuddin Amir – Raja Banggai, Tjatjo Idjazah – Raja Palu, Sudara
Kabo – Raja Lore, L. Lamarauna – Raja Banawa, W. Djiloi – Raja Kulawi dan R.M Pusadan
– Raja Toli-toli.
                Undang Undang Dasar Sulawesi Tengah ini kemudian disahkan oleh Residen
Manado pada tanggal 25 Januari 1949 dengan Nomor: R.21/1/4. Sebagai tindak lanjut dari
keputusan Sidang Dewan Raja-raja tanggal 13-14 Oktober 1948 di Tentena dan Muktamar
Raja-raja tanggal 27-30 November 1948 di Parigi, pada bulan Mei 1950 dilaksanakan
kembali pertemuan raja-raja se-Sulawesi Tengah di Donggala. Dalam pertemuan ini para raja
dengan suara bulat menyepakati untuk memproklamasikan daerah Sulawesi Tengah keluar
dari NIT dan masuk menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia.
Wongko Lemba Talasa pada saat itu menjadi tokoh sentral untuk keluar dari NIT
dan menggabungkan ex wilayah Kerajaan Poso menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
NKRI.  Tahun 1948 Wongko Lemba Talasa menjadi Anggota Parlemen NIT mewakili   Poso
dan Mori. Dalam kiprahnya di dunia politik, tahun 1950 Wongko Lemba Talasa pernah
menjadi Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) selama dua periode kepengurusan di Poso.
Pada Pemilu pertama 1955 di Poso, PNI memperoleh 11.271 suara setelah Masyumi dan
Parkindo. Hal ini membuktikan bahwa Wongko Lemba Talasa sebagai seorang politisi
kawakan telah bekerja sesuai dengan target sehingga secara nasional, PNI keluar sebagai
pemenang Pemilu.
                       
Selanjutnya, periode tahun 1968-1970 menjadi Ketua Dewan Pimpinan Daerah
(DPD) Partai Nasional Indonesia (PNI) Propinsi Sulawesi Tengah. Menjadi Anggota Dewan
Pleno Legiun Veteran R.I di Posso untuk selanjutnya Pemerintah kemudian menetapkan
Wongko Lemba Talasa sebagai Anggota Veteran Republik Indonesia. Ketika timbul
“Perjuangan Semesta Alam” (Permesta) yang diproklamasikan di Makassar tanggal 2 Maret
1957, Wongko Lemba Talasa secara tegas menolak Permesta dengan mengatakan bahwa
Wongko Lemba Talasa bersama dengan seluruh masyarakat Posso tetap setia berdiri dan
mendukung tegaknya NKRI. Sebagai akibat dari sikap tegas yang ditunjukkan oleh Wongko
Lemba Talasa, Permesta kemudian menangkapnya untuk selanjutnya beliau dibawa ke
Manado.
                       
Pada perkembangan berikutnya, Wongko Lemba Talasa dipaksa oleh Permesta
untuk ikut bergerilya di hutan dan ditempatkan di bawah pengawasan Panglima Komando
Daerah Pertempuran Minahasa (KDPM) Kolonel D. J. Somba. Tahun 1958, Wongko Lemba
Talasa dapat dibebaskan melalui suatu operasi militer TNI dan selanjutnya dikembalikan ke
Posso. Wongko Lemba Talasa adalah pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS), jabatan terakhir
sebagai Kepala Inspektorat Umum Kantor BKDH Kabupaten Posso. Menjadi Anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) utusan Daerah Sulawesi
Tengah, diangkat melalui Surat Keputusan Presiden (Keppres) No.151/M Tahun 1982
Tanggal 14 September 1982 dengan Nomor Anggota: B-558. Wongko Lemba Talasa wafat
pada 3 Februari 1985 di Posso ketika masih dalam masa tugas sebagai anggota MPR-RI
(1982-1987).
                Wongko Lemba Talasa berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Provinsi
Sulawesi Tengah Nomor: 433/209/DIKBUD-G.ST/2014 Tanggal 28 Maret 2014 Tentang:
Penghargaan Kepada Empat Belas Tokoh Bersejarah Propinsi Sulawesi Tengah dengan 
nomor urut satu,  Wongko Lemba Talasa dari Kabupaten Posso, Tokoh Merah Putih.
Wongko Lemba Talasa menikah dengan Intje Ragompi, dari pernikahan ini beliau dikaruniai
5 (lima) putra-putri sebagai berikut: Dra. Iwanah Marianne Talasa: Adalah sosok yang
terpilih dari Misi Kesenian Provinsi Sulawesi Utara-Tengah (yang dipimpin oleh Mr. Arnold
Baramuli sebagai Gubernur ketika itu) untuk mengalungkan kalung Garuda-Bhineka Tunggal
Ika kepada Bapak Presiden Republik Indonesia Dr. Ir. H. Soekarno bertempat di Istana Bogor
pada 18 Agustus 1961.
               Pensiun dari dinas aktif PNS Departemen Dalam Negeri tahun 2003, jabatan
terakhir sebagai Kasi Jasa dan SDM Subdit Regional D Direktorat Pengembangan Potensi
Daerah Ditjen Bangda dan Otonomi Daerah (Otda). Berdasarkan KEPPRES RI Nomor 044
Tahun 1998 Tanggal 17 Juni 1998 memperoleh Tanda Kehormatan Satya Lencana Karya
Satya 20 tahun dari Presiden RI Bacharuddin Jusuf Habibie.
                  Maka tidak ada salahnya pula jikalau nama besar Talasa inilah yang menjadi
pertimbangan untuk menjadi salah satu nama pengganti nama bandar udara Kasiguncu.
c. SINTUWU MAROSO
Ada banyak daerah di Indonesia yang tetap memegang teguh suatu budaya pemersatu
yang dijadikan falsafah hidup antara komunitas daerah tersebut, walaupun bukan pancasila
akan tetapi mengandung makna yang sama yaitu sama – sama mengandung makna saling
menghargai, semangat kekeluargaan dan rasa persatuan yang tinggi. Salah satunya adalah
Sintuwu Maroso.
Sintuwu maroso yaitu salah satu system nilai kebudayaan yang dianut oleh
masyarakat Poso yang dalam perkembangannya Sintuwu Maroso dimaknai sebagai suatu
pengikat hubungan tali persaudaraan antara sesama. Sistem tersebut tetap dipertahankan
secara turun temurun dimanapun penganutnya berada, walaupun ditanah rantau sekalipun.
Hingga saat inipun falsafah tersebut dilestarikan sebagai sebuah kearifan local masyarakat di
kabupaten Poso.
Olehnya Untuk memahami makna falsafah Sintuwu Maroso ini, perlu juga memahami
makna kearifan lokal itu sendiri. Kearifan local (local Wisdom) pengertiannya dapat disusun
secara etimologi, dimana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam
menggunakan akal fikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap
sesuatu objek atau peristiwa yang terjadi.
Kearifan local dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebgai kebijakan setempat
(local Wisdom), pengetahuan setempat (local Knowledge) atau kecerdasan setempat (local
genius). Kearifan local adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas didalam
mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya
tahan dan daya tumbuh didalam wilayah dimana komunitas itu berada, dengan kata lain
kearifan local adalah jawaban Kreatif terhadap situasi geografis – geopolitics, historis, dan
situasiaonal yang bersifat local (Saini : Hal 5 thn 2005).
Kearifan lokal lahir dan berkembang dari generasi kegenarasi seolah – olah bertahan
dan berkembang dengan sendirinya. Kelihatannya tidak adanya ilmu atau teknologi yang
mendasarinya. Tidak ada pendidikan dan pelatihan untuk meneruskan kearifan local. Pada
dasarnya manusia menciptakan budaya dan lingkungan sosial mereka sebagai adaptasi
terhadap lingkungan fisik dan biologisnya. Kebiasaan – kebiasaan, praktik, dan tradisi
diwariskan dari generasi kegenerasi. Pada gilirannya kelompok atau ras tersebut tidak
menyadari darimana asal warisan kebijakan tersebut. Generasi berikutnya terkondisikan
menerima ‘kebenaran’ itu tentang nilai, tantangan, kehidupan dan sandar perilaku.
Demikianlah seperti penjabaran kearifan lokal diatas “Sintuwu maroso” pada
masyarakat di kabupaten Poso memilki sebuah makna yang begitu dalam. Yang menjadi
pengerat tali persaudaraan antara sesama warga masyarakat Poso bahkan antara masyarakat
Poso dengan berbagai suku di Bumi persada ini bahkan bangsa lainnya di Dunia.

1. Sintuwu Maroso sebagai pandangan hidup masyarakat Poso


Sintuwu maroso sebenarnya telah ada sejak dahulu dalam diri masyarakat Poso. Sintuwu
Maroso yang menjadi pandangan hidup masyarakat Poso. Istilah ini lahir sebagai
falsafah daerah sekitar tahun 1964 – 1965 melalui sayembara yang dilakukan oleh Bapak
aleX Magido (alm), dan perlombaannya disebarkan pada seluruh masyarakat Poso pada
saat itu.
Falsafah “Sintuwu maroso” merupakan kebanggaan masyarakat Poso dalam hidup penuh
kerukunan antara warga. Dengan falsafah itu dapat bersatu dalam berfikir sekaligus
bertindak serta dijadikan panduan pergaulan hidup masyarakat dalam suasana damai
penuh kasih dan sayang antara sesama warga. Bagi masyarakat Poso, falsafah hidup
sintuwu maroso, masih sangat berarti dan tetap dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.
Dengan falsafah sintuwu maroso tersebut masyarakat Poso tetap dalam persatuan yang
kuat. Implementasi sintuwu maroso dalam kehidupan masyarakat antara lain dapat kita
jumpai pada saat suka maupun duka, secara spontanitas masyarakat disekitarnya
melakukan Posintuwu.
Menyangkut Sintuwu Maroso, J Kyut, warga Negara Belanda yang lahir digorontalo
pada 1893 dalam Bukunya “ Kabar keselamatan dari Poso”, sebagaimana dikutip oleh
Drs Supriadi Ibrahim dalam bukunya “ di bawah bayang – bayang masyarakat madani”
Menulis Mosintuwu ialah bercampul gaul dengan baik, sdangkan kata sintuwu terdapat
paham hidup bersama. Sedangkan dikalangan masyarakat Pamona kita Juga mengenal
“Posintuwu” yang berarti kekeluargaan yang kokoh.
Menurut bapak Kim Sau Salua (46) Seniman kabupaten Poso “Sintuwu maroso”
merupakan harga mati bagi orang Pamona karena warisan leluhur selain itu juga sangat
erat kaitannya sebagai pemersatu secara khusus (Maksudnya, perekat persatuan sesame
orang Pamona), makannya setiap rukun yang mengatasnamakan rukun Pamona, harus
berlafaskan hidup Sintuwu maroso.
Menurut Isky Kaluti, “Sintuwu Maroso” adalah ikatan yang membuat orang poso itu kuat
“. (Diskusi pada facebook group medianya orang Poso Desember 2009 oleh Ferry Rangi)
Sendangkan ditinjau dari bahasa localnya sintuwu Maroso, ada tiga pijakan dalam
memaknai sintuwu maroso yaitu :

1. Tuwu Mombetuwunaka ( hidup saling menghormati dan menghargai)

2. Tuwu Membepatuwu (hidup saling menghidupi)

3. Tuwu mombesunko (saling tolong menolong)


(Sumber data : Modul Tulisa Prof. Dr. Sulaiman Mamar. MA.)

Sedangkan melalui pemaknaan masyarakat dan pemuda sendiri Sintuwu Maroso adalah
adalah :
Sintuwu maroso adalah pengjewantahan (perwujudan serta wujud) impian dan harapan
orang – orang Pamona-Poso. Suatu hal yang menjadi impian atau impian seluruh orang
Pamona-Poso. Inilah yang dinamakan Visi. Tentu Untuk mengimlementasikan impian
tersebut tidaklah semudah mengedipkan mata. Diperlukan dukungan moril dan materil
Untuk mewujudkannya. Olehnya harus ada upaya dari seluruh komponen orang untuk
mencapai cara – cara untuk mewujudkan impian tersebut.(Guntur Sm Desember 2009)
“ Sintuwu Maroso” Merupakan budaya yang menyimbolkan masyarakat Poso itu sendiri,
jadi pada prinsipnya budaya sintuwu maroso lahir guna menjelaskan masyarakat Poso itu
sendiri. Budaya Sintuwu Maroso, lahir dari sebuah falsafah pengetahuan orang dalam
menghadapi satu perbedaan serta memunculkan suatu semangat persatuan dalam
melakukan suatu pekerjaan dalam bebagai bidang kehiudupan.

2. Sintuwu Maroso sebagai pemersatu masyarakat Poso

Dalam penerapannya Sintuwu Maroso bagi masyarakat Poso saat ini dimaknai dalam dua
hal. Yaitu melalalui Posintuwu dan gotong royong. Falsafah hidup Sintuwu Maroso
mengakar dalam jiwa dan kebudayaan masyarakat dalam bentuk komunalisme, gotong
royong dan sama – sama mempunyai asal usul yang sama. Falsafah hidup tersebut
dimaknai melalui Posintuwu, yaitu bentuk realisasi secara materil dan simbolis daring
saling membantu (Tuwu siwangi) yang merupakan upaya gotong royong antara sesame
warga terutama dalam bidang sosial misalnya pada saat perkawinan masyarakat berupaya
memberikan bantuan berupa bahan – bahan makanan, uang dan tenaga. Posintuwu akan
terus terjaga karena setiap orang yang sudah diberi Posintuwu harus mambalasnya
dikemudian hari kepada si pemberi Posintuwu .
Pada zaman dahulu, tukar – menukar Posintuwu umumnya di tandai dengan tukar
menukar benda – benda khusus yang mempunyai kekuatan magis yang diberikan oleh
kerabat nempelai pria sebagai mas kawin (Oli mporongo). Kata dasar mas kawin, maoli.
Mengacuh kepada tukar menukar benda magis secara langsung dengan benda yang
memilki kekuatan yang sama. Akan tetapi setelah Orang pamona yang memeluk agama
Kristen, tukar – menukar mas kawin (maoli) tersebut kehilangan konotasi magisnya.
Tukar – menukar Posintuwu memperoleh kedudukan ideologis yang penting didalam
bentuk suasana keketabatan yang tidak tergantung pada suatu nilai yang bersifat
kompetitif.
Sifat khusus ikatan ini diungkapkan sebagai “be maya mombereke” (tidak diperbolehkan
saling memperhitungkan biaya dan keuntungan). Dengan demikian tukar menukar
merupakan sebuah proses investasi secara moral, dalam penegertian bahwa dengan
melakukan posintuwu maka suatu saat hal tersebut merupakan investasi apabila suatu
saat mengalami kesusahan atau ditimpa musibah.
Dengan Demikian Posintuwu merupakan negosiasi batas kekerabatan baik dalam arti
praktis maupun dalam arti ideologis. Ideologi tukar – menukar Posintuwu menekankan
fungsinya sebagai sarana membantu kerabat yang lain untuk memenuhi kebutuhan acara
reproduksi sosial yang mahal misalnya upacara pernikahan. Dalam arti praktis,
Posintuwu adalah tukar menukar dalam bentuk barang atau uang tunai dan tenaga yang
diinvestasikan untuk mempertahankan ikatan – ikatan kekerabatan yang spesifik.
Kemampuan seseorang untuk memberikan posintuwu mempengaruhi luasnya keluarga
yang diikat. Orang yang berada yang memiliki keluarga yang lebih besar, baik dalam arti
jumlah orang yang menjadi tanggungan dirumahnya maupun keluarga yang lebih luas.
Bagi keluarga yang sederhana, Memberikan sedikit posintuwu. Bagi orang yang malas
melakukan posintuwu (maloseposintuwu). Orang yang semacam itu dikenal sebagai
orang kikir, bukan hanya karena posintuwunya, tetapi juga karena kurang partisipasinya.
Wujud lain Sintuwu maroso adalah di wujudkan dalam bentuk seni seperti adanya tarian
modero, tarian ini melambangkan rasa persaudaraan yang kokoh antara sesama warga
masyarakat. Dengan bergandengan tangan membentuk satu lingkaran membuat tali
persaudaraan semakin kokoh dalam dinamika kehidupan masyarakat Poso.

3. Sintuwu Maroso sebagai falsafah pada lambang Kabupaten Poso

Betapa indahnya gambaran Posintuwu dalam falsafah Sintuwu maroso ini, maka tidaklah
mengherankan apabila falsafah sintuwu maroso ini akhirnya diangkat sebagai falsafah
dalam lambang daerah kabupaten Poso, dan apaibila disimak lambang kabupaten Poso
yang terdiri dari tujuh bagian tersebut antra lain :
 Perisai bersudut lima menunjukan bahwa daerah kabupaten Poso merupakan bagian
dari Negara kesatuan Indonesia yang bedasarkan pancasila. Sedangkan makna perisai
itu memberikan makna membela dan mempertahankan Negara pancasila.
 Bundaran berwarna putih menunjuakan kehidupan rakyat Poso yang suci bersih, putih
dan hati tetap terbuka untuk musyawarah, ramah tamah dan lemah lembut dalam
pergaulan, baik dengan suku di bumi persada maupun dengan dengan bangsa lainnya
di dunia.
 Ditengah – Tengah lambang daerah itu terdapat baruga yang mewujudkan sifat – sifat
asli penduduk Poso dari masa ke masa sebagai pencerminan dari jiwa musyawarah
untuk mufakat, tetap memelihara persatuan dan kesatuan. Dalam lambing daerah
tersebut jelas tertulis “SINTUWU MAROSO” yang bermakna bersatu teguh. Dengan
falsafah tersebut masyarakat Poso boleh bertegak kepala untuk memperlihatkan
bahwa inilah kami masyarakat Poso yang selalu berasatu dengan Teguh.
Demikianlah kiranya gambaran singkat mengenai Indahnya kearifan local pada
masyarakat Poso dalam falsafahnya Sintuwu Maroso, yang telah membawa sebuah
kekerabatan yang erat terhadap masyarakat Poso dalam menjalani berbagai bidang
kehidupan, baik dalam bidang Sosial, ekonomi, budaya maupun dari segi agama.
Sintuwu Maroso yang lahir dari sebuah kearifan lokal masyarakat Pamona telah
membawa ikatan hubungan kekerabatan yang dinamis bagi masyarakat Poso dalam
membangun kehidupan masyarakat madani di daerah tersebut.
Falsafah Sintuwu maroso yang sarat dengan nilai – nilai persamaan, kesatuan dan
kekeluargaan ini, hingga kini terus di pegang teguh oleh masyarakat Poso dalam dinamikanya
sebagai masyarakat yang brbangsa dan bernegara. Sintuwu Maroso pulalah yang akhirnya
kembali menyatukan tekad persatuan antara sesama warga masyarakat Poso saat Bertikai.
Dan kini Falsafah ini telah terpatri dalam rellung jiwa seluruh masyarakat yang berada di
Poso

KESIMPULAN dan SARAN


            Bahwa dengan  menimbang serta memperhatikan dengan sungguh-sungguh hal-hal
yang  telah kami paparkan diatas berkenaan dengan penggantian nama bandar udara
Kasiguncu, maka ketiga nama yang kami sarankan :
1. PAHLAWAN TABATOKI;
2. RAJA TALASA; dan
3. SINTUWU MAROSO.
Kiranya dapat dipertimbangkan untuk menjadi nama bandar udara sebagai pengganti
nama Bandar Udara Kasiguncu.
Nama-nama diatas sebagai bentuk penghormatan Pemerintah atas jasa-jasa dan
kesetiaan yang telah dipersembahkan kepada Bangsa dan Negara tercinta Indonesia Raya
sebagai tokoh nasionalis sejati, pejuang dan pemersatu yang menjadi panutan masyarakat
Poso yang pada gilirannya akan membangkitkan kembali semangat kecintaan dan pengabdian
di kalangan generasi muda terhadap daerah dan tanah air sekaligus untuk menjadi perekat
dengan memperkuat kearifan lokal (local wisdom).
            Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih senantiasa melimpahkan Rahmat dan
HidayahNya bagi kita semua, Amin.

Anda mungkin juga menyukai