Anda di halaman 1dari 4

RESUME

Souraja: Wisata Sejarah di Kota Palu


Dosen pengampu: Komang Triawati,.S.Pd., M.pd

Oleh :

Kadek Pande Wijaya

PROGRAM STUDI PARIWISATA BUDAYA DAN KEAGAMAAN


SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU (STAH) DHARMA SENTANA
SULAWESI TENGAH
2023
Berwisata ke Souraja dapat menjadi pilihan bagi anda yang menggemari wisata sejarah.
Lokasinya yang terletak di tengah kota dapat ditempuh dengan kendaraan umum maupun
kendaraan pribadi. Kondisinya yang masih cukup terawat walaupun telah berumur ratusan tahun.
Letak Souraja berdekatan dengan pesisir pantai dan Jembatan Kuning (Jembatan Empat) yang
juga menjadi salah satu ikon Kota Palu. Bagi anda yang ingin mengisi liburan dengan nuansa
edukatif dan historis, objek wisata yang satu ini layak menjadi salah satu destinasi utama anda
jika berkunjung ke Kota Palu.

Souraja terletak di Jalan Pangeran Hidayat. Objek wisata ini berada di wilayah administratif
Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat. Dari Bandar Udara Mutiara SIS Aldjufrie, berjarak
kurang lebih 10 km dengan waktu tempuh kurang lebih 15 menit. Dari Pelabuhan Pantoloan,
berjarak kurang lebih 30 km dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Dari pusat kota, Souraja
hanya berjarak sekitar 5 km dengan waktu tempuh sekitar 5 menit. 

Souraja terletak di daerah yang cukup dekat dengan pantai. Untuk mencapai pantai, anda dapat
berjalan kaki sekitar 1 km ke arah barat laut. Di sana, anda akan melihat langsung ikon kota Palu
lainnya yaitu Jembatan Empat atau yang biasa disebut Jembatan Kuning. Anda juga dapat
menjumpai pasar ikan tradisional dan sebuah masjid “terapung” di sekitar pantai. Di sepanjang
pantai juga terdapat kafe-kafe tenda yang menyediakan berbagai jenis makanan dn minuman.
Ada juga anjungan tempat anda bersantai sambil mencoba menyewa sepeda atau sepatu roda
untuk mengisi waktu.   

Souraja dapat disebut sebagai Istana Magau Palu, karena sejak didirikannya, bangunan ini


ditempati oleh Magau-magau Palu dan keluarganya silih berganti. Kepemilikan bangunan ini pun
berlaku secara turun-temurun. 

Souraja didirikan pada akhir abad ke XIX di tengah-tengah perkampungan Suku Kaili yang
merupakan masyarakat pendukung Kemagauan Palu. Orang Kaili mengatakan bahwa Souraja
adalah rumah besar dengan pengertian mempunyai kelebihan dan kekeramatan tersendiri.
Kelebihan bangunan ini terdapat pada fungsinya sebagai tinggal raja atau bangsawan, maka
dengan sendirinya bangunan ini pun dianggap keramat. Kekeramatan souraja dilekatkan pada
kekeramatan raja yang dipercaya merupakan keturunan dari langit, “To Manuru”.

Corak bangunan Souraja merupakan hasil akulturasi dari beberapa kebudayaan yang ada di
Kerajaan Palu pada saat itu. Palu yang saat itu menjadi salah satu daerah urban menyebabkan
terjadinya proses akulturasi antara kebudayaan masyarakat asli dengan masyarakat pendatang.
Budaya-budaya dari daerah lain ini pun memperkaya kebudayaan masyarakat Palu dari berbagai
sendi kehidupan. Hasil akulturasi budaya di Lembah Palu ini masih terlihat jelas di kehidupan
masyarakat suku Kaili. Salah satunya dapat disaksikan melalui keberadaan Souraja.
      
Pada masa pemerintahan Magau Yodjokodi, tepatnya pada tahun 1892, Souraja dibangun di
Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu. Menurut Iksam, salah seorang ahli arkeologi
dan sejarah dari Museum Negeri Sulawesi Tengah, wilayah Kampung Lere pada
masa Magau Yodjokodi merupakan bagian dari wilayah Siranindi. Siranindi merupakan salah
satu anggota patanggota Kemagauan Palu bersama Tatanga, Besusu dan Lolu.

Pembangunan Souraja dikepalai oleh Hj. Amir Pettalolo, menantu dari Yodjokodi. Dalam
pembangunan Souraja, sebagian besar tenaga kerjanya didatangkan dari Banjar
sehingga nampak beberapa corak Banjar di bangunan tersebut. Souraja digunakan oleh
Yodjokodi sebagai tempat tinggal dan pusat pemerintahan. 

Souraja beberapa kali mengalami pergantian fungsi yaitu, pada tahun 1921-1942, Souraja masih
digunakan sebagai tempat tinggal magau dan pusat pemerintahan. Pada tahun 1942-1945,
tepatnya pada masa pendudukan Jepang, Souraja dialihfungsikan sebagai tangsi militer tentara
Jepang walaupun fungsi Souraja masih sebagai kantor pemerintahan Kemagauan Palu. Pada
masa Jepang itu, kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Tengah berubah nama menjadi sucho. 

Kemudian pada tahun 1945-1948, Souraja kembali difungsikan sebagai pusat pemerintahan
Kemagauan Palu. Pada tahun 1958, ketika Permesta memberontak di Sulawesi Tengah dan
Sulawesi Utara, Souraja hadir dengan fungsi baru sebagai asrama Tentara Nasional Indonesia
(TNI). Souraja dijadikan markas tentara dalam kegiatan Operasi Penumpasan Pemberontakan
Permesta di Sulawesi Tengah. Peran ini berlangsung hingga tahun 1960.

Bangunan Souraja terakhir ditempati oleh Magau Palu Tjatjo Idjazah yang juga merupakan


magau terakhir Kemagauan Palu. Tetapi Tjatjo Idjazah tidak menetap di Souraja karena ia lebih
sering berada di rumahnya di kawasan sekarang jadi Apotik Pancar. Setelah Kerajaan Palu resmi
dibubarkan, bangunan ini dikelola oleh Andi Tjatjo Parampasi dan Andi Tase Parampasi. Andi
Tjatjo merupakan anak ke 4 dari Raja Palu, Parampasi. Setelah Andi Tjatjo Parampasi mangkat
pada tahun 1974, pengelolaan rumah ini diserahkan kepada anaknya, Andi Harun Parampasi. 

Pada tahun 1982, bangunan ini diinventarisasi oleh pemerintah dan kemudian dilakukan
pemugaran. Sepuluh tahun kemudian, tahun 1991-1992, dilakukan pemugaran secara
keseluruhan terhadap bangunan ini yang dilakukan oleh pemerintah. Saat ini, bangunan ini
dikelola oleh pemerintah sebagai salah satu cagar budaya. 
Saat ini, bangunan Souraja masih berdiri tegak walaupun telah berusia ratusan tahun. Namun, di
bagian belakang (dapur), dindingnya telah digantikan dengan seng. Hal ini tentu saja mengurangi
keindahan dan nilai historis bangunan tersebut. Kemudian, hal yang paling meresahkan adalah
pengecetan kembali bangunan tersebut yang tidak sesuai dengan warna aslinya. Hal ini juga
tentunya mengurangi nilai historis bangunan cagar budaya ini. Selain itu, upaya promosi yang
terkesan kurang maksimal dari pemerintah daerah menyebabkan objek wisata yang satu ini
cukup sepi pengunjung. Sesekali hanya anak-anak sekolah dan mahasiswa, sejarawan dan
peneliti, yang terlihat berkunjung ke objek wisata ini. 

Hal ini juga mengindikasikan bahwa pengetahuan dan penghargaan terhadap budaya dan sejarah
lokal terutama Kota Palu dan Sulawesi Tengah masih kurang. Tidak adanya pendidikan sejarah
dan budaya berbasis kelokalan di daerah nampaknya menjadi penyebab kurangnya pengetahuan
dan pemahaman terhadap sejarah dan budaya lokal tersebut. 

Oleh karena itu, kiranya sangat penting untuk menanamkan kembali nilai-nilai sejarah dan
budaya lokal lewat jalur pendidikan dengan mengenalkan sejak dini generasi muda terhadap
peninggalan-peninggalan sejarahnya. Hal ini juga nantinya akan meningkatkan jumlah
pengunjung objek wisata sejarah tersebut. Selain itu, perlu adanya pendidikan kembali mengenai
tata cara merawat situs peninggalan sejarah, agar perawatan yang dilakukan tidak terkesan asal-
asalan dan malah mereduksi nilai historis dari objek wisata sejarah tersebut.

KESIMPULAN
Saya dapat menarik kesimpulan Pada masa pemerintahan Magau Yodjokodi, tepatnya pada
tahun 1892, Souraja dibangun di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu. Souraja
beberapa kali mengalami pergantian fungsi yaitu, pada tahun 1921-1942, Souraja masih
digunakan sebagai tempat tinggal magau dan pusat pemerintahan. Pada tahun 1942-1945,
tepatnya pada masa pendudukan Jepang, Souraja dialihfungsikan sebagai tangsi militer tentara
Jepang walaupun fungsi Souraja masih sebagai kantor pemerintahan Kemagauan Palu.
Kemudian pada tahun 1945-1948, Souraja kembali difungsikan sebagai pusat pemerintahan
Kemagauan Palu. Pada tahun 1958, ketika Permesta memberontak di Sulawesi Tengah dan
Sulawesi Utara, Souraja hadir dengan fungsi baru sebagai asrama Tentara Nasional Indonesia
(TNI). Souraja dijadikan markas tentara dalam kegiatan Operasi Penumpasan Pemberontakan
Permesta di Sulawesi Tengah. Peran ini berlangsung hingga tahun 1960.

Anda mungkin juga menyukai