Nim : DS0120002
SULAWESI TENGAH
2021
1. HARI SUCI PAGERWESI
Hari suci pagerwesi datangnya enam bulan sekali yaitu jatuh pada hari;Rabu-Kliwon-
Wuku Sinta.Hari suci pagerwesi adalah merupakan peringatan turunya sanghyang widhi kedunia
dengan manifestasinya sebagai “Sang Hyang Pramestiguru”,untuk memberikan anugerah kepada
umat berupa kekuatan “iman” dan “Kedirgayusan”.Makna ini dapat disimak berdasarkan
kosakata dari kata pagerwesi,pagerwesi berasal dari kata “pager dan wesi” kata pager menjadi
kata pageh yang artinya tapa atau teguh (kuat) sedangkan kata wesi dimaksudkan adalah iman
atau umur.dengan demikian hari suci pagerwesi dimaksudkan adalah sebagai hari peringatan
untuk memohon keteguhan iman dan kedirgayusan (nutug tuwuh,bhs bali).mengenai waktu
pelaksanaan upacara pagerwesi menurut sastra agama (lontar sundarigama) adalah pada “Dauh
Biomantra” atau “dauh amerta”,sekitar pk .4.00 dini hari,dengan tatanan sebagai berikut:
Mengenai upakaranya
1
PEJATI
1) Daksina + penyucian
2) Peras
3) Sodaan/ajuman
4) Penyeneng
6) Segehan alit
Jumlah 5 bungkul
2
BANTEN SESAYUT PAGEH URIP
KETERANGAN GAMBAR
a. Kulit sesayut
b. Raka-raka
d. Sebuah jejahitan berbentuk kekuwung yang didalamnya berisi sebuah nasi penek
g. Sebuah penyeneng
3
BANTEN SESAYUT PEBERSIHAN
KETERANGAN GAMBAR
b. Raka-raka
c. Canang pesucian
d. Sebuah penyeneng
h. Sampian nagesari
4
Sesayut ini dipakai pada upacara panca yadnya
Keterangan gambar:
Alas taledan
Nasinya:
Kojong rangkadan
5
Canang
KETERANGAN GAMBAR
a. Kulit sesayut
b. Raka raka
f. Sebuah Padma
6
k. Sebuah lis senjata
l. Sebuah penyeneng
7
Keterangan:
3. Kepelan putih
4. Kepelan kuning
Pertama kali pemimpin upacara menyiapkan disi sebagai penganteb dengan tatanannya
sebagai beriku:
Sang penganteb menyucikan diri terlebih dahulu dengan cara metirte,dan selanjutnya
mebije
Mang,ung,ang,wem ong
Anantasana yenamah
8
Pretistha yenamah suaha
Mantra :
Ong,adityasya paranjotiraktateja
Setelah mengucapkan mantra tadi,diulas dengan sesontengan sesuai dengan tujuan dari
upacara tersebut
Mantra:
Yenamah suaha
9
Sesonteng :
Sidhi mantraku
Mantra
Bhuktyantu srilokanatha
Segana separiwarah
Ang,ung,mang,siwa mertha
Yenamah suaha
10
setelah mengucapkan mantra pabhuktyan,disambung dengan mantra
pengeramped,dengan tujuan sebagai pelengkap.jikalau ada upacara mantra yang keliru
atau kurang
selanjutnya mengucapkan mantra pengaksama,dengan mengandung maksud untuk
memohon maaf kehadapan hyang widhi,atas kekurangan kekurangannya sebagai manusia
Mantra
Papatma papasambawa
Byantarah suci
Ksantawyo manahsadosah
Om,shanti,shanti,shanti,om
11
2. PELAKSANAAN HARI SUCI TUMPEK
Didalam ajaran Acara Agama, memiliki beberapa hari suci TUMPEK, yang
memiliki fungsi dan makna berbeda-beda pada setiap hari tumpek. Mengenai makna dari
hari suci Tumpek, dapat penulis jelaskan berdasarkan kosa kata "Tumpek", Tumpek
berasal dari kata "TAMPA", yang artinya "Turun" (Kamus jawa kuna Indonesia), kata
Tampa mendapat sisipan um, menjadilah kata "TUMAMPA". Dari kata Tumampa
mengalami perubahan konsonan menjadi kata "Tumampak", yang artinya berpijak,
kemudian mengalami perubahan, menjadikan kata keterangan keadaan sehingga menjadi
kata "Tumampek", yang mengandung arti "Dekat". Kemudian kata Tumampek,
mengalami persenyawaan huruf M. sehingga menjadi kata "Tumpek". Dengan demikian
hari suci Tumpek adalah mengandung pengertian dan makna bahwa pada hari suci
Tumpek merupakan hari peringatan turunnya kekuatan manifestasi Hyang Widhi ke
Dunia. Mengenai pelaksanaan upacara hari Tumpek bagi umat I lindu di Bali, terbagi
dalam beberapa hari suci Tumpek, yaitu;
Pelaksanaan Hari Suci Tumpek Landep
Pelaksanaan upacara hari suci Tumpek Landep datangnya setiap enam bulan
sekali, tepatnya jatuh pada hari Sabtu-Keliwon-Wuku Landep.
Dari kata Landep, yang dapat diberikan arti sederhana adalah "Tajam" atau
ketajaman Dengan demikian pada hari suci Tumpek Landep ini adalah merupakan hari
peringatan turunnya manifestasi Sang Hyang Widhi ke dunia dengan prabhawa Sang
Hyang Pasupati, untuk menganugerahkan intelegensi (IQ) kepada semua makhluk di
dunia, khususnya bagi umat Hindu Untuk dapat menyimak makna dari hari suci Tumpek
Landep maka penulis dapat memberikan penjelasan berdasarkan sumber-sumber sastra
Agama Hindu serta dari makna yang terkandung didalam sebutan Pasupati.
Kata Pasupati berasal dari kata "Pasu" dan "Pati", kemudian kata Pasu dapat
diartikan "Sato" dan untuk mendapatkan maknanya maka kata Sato dapat dihubungkan
dengan Tattwa, menjadilah kata "Sattwa", sedangkan kata Sattwa berasal dari suku kata
"Sat" dan "Twa". Dengan demikian suku kata SAT dapat diartikan "Inti", sedangkan suku
kata Twa dapat diberikan arti "Kebenaran".
Demikian juga kata PATI, dapat diartikan "Sumber" oleh karena itu maksud dari
kata Pasupati adalah "Kekuatan yang timbul, tetap bersumber pada kebenaran". Tada
12
pelaksanaan upacara Tumpek Landep, juga mempergunakan sarana Uparengga (simbul
suci) yang bersifat tajam yaitu sebilah "Senjata Keris", karena keris ini memiliki tiga
buah mata pisau yaitu: pada rai keris disebelah kanan sebagai nyasa (simbul) kekuatan
Hyang Brahma memiliki kekuatan "Sakti", demikian juga pada rai keris dibagian kiri,
sebagai simbul kekuatan Hyang Wisnu, yang memiliki kekuatan "Sidi", dan pada ujung
keris adalah sebagai simbul kekuatan Hyang Siwa, memiliki kekuatan "Mandi". Dari
ketiga kekuatan tadi tidak hanya bersifat Spiritual saja namun juga bersifat nyata, seperti
kata Sidhi, dapat juga diartikan "Sidha", yang maksudnya Kebersihan, sedangkan kata
Sakti dapat diberikan arti "Sakta", yang maksudnya "Ada", dan kata Mandhi, dapat
diartikan "Mandha", yang maksudnya Selalu Mengulir" Dengan demikian segala bentuk
anugerah dari Sang Hyang Widhi ke dunia. selalu bersifat Wahya dan Diatmika (sekala
niskala). agar tetap terjaganya keserasian, keseimbangan dan keselarasannya antara dunia
dan akherat atau alam bhaka dan alam fana.
Demikian juga mengenai pengertian umat Hindu dimasa sekarang terhadap
makna dari pelaksanaan upacara Tumpek landep sering kali dipersepsikan adalah hari
pawetonan mobil, pengertian yang demikian adalah keliru namun mobil tersebut boleh
dibuatkan upacara pada hari Tumpek Landep, tetapi simbul nilai agama yang berupa
keris harus ada, karena keris tersebut juga menyimbulkan adanya Tri Bhuwana di
Bhuwana Agung (Bhur. Bwah, Swah) dan Tri Bhuwana yang ada di Bhuwana Alit
(Sabda. Bayu. Idep). Dengan demikian pelaksanaan upacara Tumpek Landep memiliki
tatanan sebagai berikut:
Upakara munggah di Kemulan
-Pejati lengkap asoroh
-Tumpeng abang 2 bungkul lengkap dengan rerasmen. dengan sampian tumpeng,
penyeneng semuanya memakai
-Sarana daun endong bang. Canang pesucian
Upakara ayaban senistane mempergunakan tumpeng 5 bungkul
-Banten tetebasan pasupati
-Banten prayascita, bayekawonan
-Segehan abang 1 tanding
13
PEJATI
Keterangan:
1. Daksina
2. Peras
3. Sodan/ajuman
4. Penyeneng
5. Tipat kelanan sari ketan
6. Segehan alit putih
14
BANTEN PASUPATI
Keterangan:
a. Taledan dari daun endongan
b. Raka raka
c. Sebuah sampian metangga
d. 2 (dua) buah tumpeng berwarna abang
e. Daging ayam biying mepanggang
f. Sebuah kojong rangkat
g. Sebuah penyeneng
h. Sebuah ceper perangkatan tempat rerasmen pada soda
i. Nasi soda 2 (dua) buah berwarna abang
j. Sampian plaus
k. Raka raka
l. Taledan dari daun endong
m. Asaban cendana,majegau,menyan,base tubungan mewadah cabak
Banten ini di pakai pada upacara pamasupati dan pada upacara tumpek landep.
15
BANTEN SESAYUT PARAYASCITA
Keterangan:
a. Kulit sesayut
b. Raka raka
c. Sebuah sampian naga sari
d. Sesedep beras putih benang putih
e. Sebuah jejaritan sroja (seperti sampian naga sari)
f. Sebuah Padma
g. 5 (lima) buah tumpeng memakai pekir metanceb kuwangen
h. Sebuah limas berisi sambal dan garam
i. Lima buah tipat gelatik
j. Lima buah tulung sangkur
k. Sebuah lis senjata
l. Sebuah penyeneng
m. Sebuah bungkak kelapa gading
n. Sebuah limas berisi saur, kacang, Gerang, timun dan tuwung
16
o. Sebuah soda nasi meklongkong
Payuk pare
Sesayut ini dipakai pada upacara panca yadnya.
BANTEN BAYEKAWONAN
Keterangan:
a. Sebuah sidi sebagai alasnya
b. Raka raka
c. Canang pesucian
d. Sebuh nasi kepel agung metanceb bawang dan cabe (jahe)
e. 5 (lima) buah kulit peras dari pandan berduri
f. Sebuah nasi metajuh (seperti klepet bugis)
g. Sebuah nasi metimpuh (seperti sumping)
h. Sebuah sampian naga sari
i. Sebuah lis amuan-amuan (lis basang-basang)
j. Sebuah kojong rangkat
17
k. 3 biji/ruas lidi
l. Sebuah sabet dari serabut kelapa
m. Sebuah penyeneng
n. Sesedep-benang barak, beras barak
Banten ini dipakai pada upacara panca yadnya.
Tatacara Pelaksanaannya:
Pertama kali ngunggahang upakaranya dikemulan rong tengah. sedangkan pada rong
yang lainnya boleh mempergunakan banten soda atau canang sari.
Pada rong tengah dari kemulan, ngunggahang toya (air) berisi asaban cendana, majagau
dan menyan serta berisi base tubungan 1 buah.
Kemudian mengambil sebilah keris atau tombak (memiliki tiga mata pisau) sebagai
simbul, keris atau tombak tersebut dibersihkan dengan minyak wangi, kemudian
diletakkan pada banten tebasan pasupati yang sudah tertata.
Pemimpin upacara menyiapkan diri untuk nganteb upakara tersebut, dimulai dengan
menyucikan diri dengan tirtha pebersihan
Pemimpin upacara mulai melaksanakan pengutpeti, stiti melalui pengastawanya (seperti
contoh diatas). Pengastawa kehadapan Hyang Siwa Raditya(idem)
Pengastawa kehadapan Sang Hyang Tri Murti.
Mantra:
Ong, Dewa Dewa Tri Dewanam Tri Murti Trilinggadmanam
Tri Purusa Sudha Nityam Sarwa Jagat Pranamyanam
Ong, Hrang Hring Syah Tri Murti Yenamah Suaha.
Pengastawa kehadapan Sang Hyang Pasupati.
18
Yenamah Suaha.
Sesonteng:
Sang tabeya namasiwa ya, pukulun paduka Bethara Sang Hyang Siwa Raditya, Sang
Hyang Ulan Lintung Trunggana meraga Sang Hyang Triodasa Saksi, Sang Hyang Tri
Murti, mekadi Sang Rang Pasupati, saksinin pangubhaktin pinakengulun, angaturaken
tadah saji pawitra seprakaraning saji pasupati asung kertha nugraha Bethara anugraha
ripinakengulun, kesidhian, kesaktian, kemandian. manut ring swadharmaningulun
nanging akedikulun angaturaken, agung pinakengulun amelaku, mangda tan keneng
kecampahan, cakrabhawa, tulahpamidi de paduka Bethara kinabehan. Ong sidhirastu
pujaningulun.
Sesudah itu ngaturang pesucian, dengan memercikkan tirtha prayascita, bayekawonan,
pesuciannya, dan penyeneng. kearah bangunan suci kemulan dan kepada senjata keris.
Selanjutnya mengucapkan mantra pebhuktyan. (seperti diatas) Kemudian Sang penganteb
memimpin persembahyangan bersama, sampai selesai metirtha, memakai bija, maka
selesailah sudah pelaksanaan dari upacara Tumpek Landep.
19
tumbuh-tumbuhan bangsa semak-semak, rumput-rumput pun mengena upacara tersebut.
Demikian juga pelaksanaan hari Tumpek Warga atau hari tumpek-tumpek yang lain tidak
hanya ditujukan untuk Bhuwana Agung saja, tetapi juga untuk Bhuwana Alit karena
manusia makan sayur-sayuran, buah-buahan, berarti didalam tubuh manusia telah
terdapat unsur-unsur dari tumbuh-tumbuhan, dan dari unsur inilah membantu proses
dalam tubuh sehingga manusia memiliki bulu-bulu diseluruh tubuh. Oleh karena itu maka
bulu-bulu tubuh adalah merupakan simbul dari tumbuh-tumbuhan di Bhuwana Alit yang
sepantasnya juga harus mendapatkan penyucian pada pelaksanaan upacara Tumpek
Wariga. Dengan demikian melalui penulisan ini. penulis dapat mengungkapkan beberapa
makna dalam pelaksanaan upacara Tumpek Wariga yaitu:
a. Pelaksanaan Upacara Tumpek Wariga, memik. makna sebagai Penyupatan terhadap
tumbuh-tumbuhan baik untuk bhuwana Agung maupun Bhuwana Alit.
b. Agar manusia (umat Hindu) memiliki kesempatan untuk berkarma terhadap mahluk
lain, agar dapat mencapai "Subliakarma".
c. Demikian juga karena tumbuh-tumbuhan memiliki Jiwa, dan dia bisa menerima
korban sucinya manusia melalui kekuatan instingnya sehingga merekapun (tumbuh-
tumbuhan) tersebut dapat berkarma dengan cara memberikan kesuburan berupa
buahnya, bunganya. daunnya, akamya, pohonnya, dll. Disamping itu tumbuh-
tumbuhan di Alam Semesta ini akan melaksanakan fungsinya dengan baik. khususnya
dalam menjaga "Eko Sistem" sehingga ekosistemnya akan dapat berjalan dengan
serasi, selaras serta seimbang dan dari keseimbangan tersebut akan menciptakan
lestarinya lingkungan hidup dari semua makhluk di Alam Semesta ini, termasuk
berkurangnya bencana Alam.
d. Memberikan kesempatan kepada manusia supaya bisa menyambung hidupnya di
dunia, untuk dapat memperbaiki karmanya berdasarkan pelaksanaan dari ajaran "Tri
Hita Karana"
20
Upakaranya
* Upakara Munggah Di Kemulan (Rong Tengah)
- Pejati lengkap asoroh
- Canang geti-geti, penyeneng alit
-Canang pesucian
-Bubuh mewadah limas (4 limas), warna putih, warna abang. warna kuning, dan
bubuh wam hijau.
*Upakara Ayaban
- Banten ayaban. 7 bungkul
-Rayunan dengan sarwa meletik (seperti banten prani)
-Prayascita, bayekawonan, pengulapan alit
*Upakara pada tumbuh-tumbuhan
-Canang pesucian
-Banten cau berisi bubuh putih, abang, kuning, dan bubuh hijau
-Sasat gantung
Tatacara Pelaksanaannya
Tatacaranya hampir sama dengan tata penganteb yang lainnya hanya pengastawa
Dewanya saja yang berbeda yaitu kehadapan Sang Hyang Sangkara, antara lain :
* Kegiatan nganteb upakaranya adalah dipemerajan, dihadapan pelinggih Hyang
Guru, atau dari Bale piasan.
*Pada saat ngaturang pesucian, dengan cara memercikkan tirtha bayekawonan,
pengulapan, yang terakhir tirtha prayascitanya, terlebih dahulu ke pelinggih Kemulan,
kemudian ke Upakara ayaban, dan terakhir baru ketempat tumbuh-tumbuhan tersebut.
*Kemudian melaksanakan persembahyangan kehadapan Sang Hyang Sangkara.
* Selanjutnya metirtha, memakai bija, dan terakhir Sang Yajamana (pelaksana
upacara) ngayah upakara tersebut (nyurud ayu). kemudian ambil banten dapetannya
saja ayabang kepada tumbuh-tumbuhan tersebut. Maka selesailah sudah pelaksanaan
dari upacara Tumpek Wariga.
21
Mengenai sebutan lain dari hari Tumpek Wariga, penulis mencoba memberikan
penjelasan sesuai dengan pengertian yang terkandung didalamnya antara lain:
a. Hari Suci Tumpek Bubuh
Disebutkan dengan istilah hari Tumpek Bubuh. karena dipandang dari bangsa
tumbuh-tumbuhan yang diberikan korban suci seperti golongan umbi-umbian, ketela
rambat, ketela pohon, keladi. ubi sikep, ubi dara dan lain-lainnya, disimbulkan
dengan memakai bubuh putih. sedangkan pada golon rumput-rumputan (padang
padangan) seperti padi, jagung, godem, jawa, gandum, dan lain-lainnya disimbulkan
memakai bubuh abang. Kalau pepohonan yang berbuah melalui proses bunga putik
maka disimbulkan dengan bubuh hijau. seperti mangga, durian, dli, sedangkan
pepohonan yang berbuah melalui proses batangnya, disimpulkan dengan bubuh wama
kuning. Dengan demikian maka upakaranya berisi empat macam wama bubuh yaitu:
bubuh warna putih, abang, kuning dan hijau.
b. Hari Suci Tumpek Uduh
Disebutkan dengan istilah hari Tumpek Uduh, karena dipandang dari sudut filsafat
Agama yaitu; dari kata Uduh menjadi kata nguduhang, atau memerintahkan, dan
dipandang dari kata filsafat disebut dengan kekuatan manifestasi dari Sang Hyang
Widhi dengan swabhawanya sebagai Sang Hyang Sangkara, yang merupakan Dewa
Kemakmuran, serta melalui manifestasi inilah Sang Hyang Widhi menciptakan
Tumbuh-tumbuhan di Alam semesta ini. Oleh karena itu pelaksanaan upacara hari
Tumpek Wariga (uduh) dihaturkan kehadapan Sang Hyang Sangkara sebagai
kekuatan manifestasi Sang Hyang Widhi.
c. Hari Suci Tumpek Pengatag / Pengarah Sebutan dari hari Tumpek Pengatag
atau Pengarah dipandang
Sebutan dari hari tumpek pengatag atau pengarah dipandang dari perbuatan manusia
yang sering meminta kepada pepohonan, agar mau berbuah yang lebat, dalam hal ini
manusia berbicara dengan pepohonan mempergunakan bahasa isyarat seperti.
memukul- mukul batang pohonnya, dengan cara menyiksa menorch-noreh batang
pohonnya. Isyarat seperti itu tidak boleh lagi dilakukan karena perbuatan yang
demikian adalah termasuk perbuatan yang "Himsa Karma, atau perbuatan
Asubhakarma, tetapi ada cara yang lebih bersifat welas asih yaitu dengan cara
22
berpantun dihadapan pohon tersebut, sambil mengelus-elus batang pohonnya. diikuti
dengan perasaan kasih sayang, pantunnya:
"Dadong -Dadong 1 Pekak Anak Kija?
I Pekak, Ya, Gelem, I Pekak Gelem Apa, dadong?
I Pekak, Ya! Gelem Nged,… Nged,… Nged,…
Demikianlah sebuah pantun yang diucapkan pada saat pelaksanaan upacara Tumpek
Pengatag. Selain dengan cara diatas tadi ada cara yang lebih modem lagi seperti,
bemyanyi dengan nada nyanyian yang halus disertakan dengan membunyikan alat-
alat musik.
23
pembersihan secara komprehensif seperti : membersihkan bangunan-bangunan suci.
peralatan upacara. Wastra-wastra pelinggih, dan lain-lainnya.
3.1.b. Hari Suci Sugian Jawa
Keesokan harinya jauh pada hari. Kamis - Wage Wuku Sungsang, disebut
hari Sugian Jawa. Mengenai makna yang terkandung didalam pelaksanaan upacara
Sugian Jawa dapat penulis ungkapan sebagai berikut:
Kata Sugian berarti. Penyucian sedangkan kata Jawa, berasal dari
namanya semula yaitu: "Jambu Dwipa", (pustaka Usana Jawa) yang mengandung arti
"Alam Semesta". Dengan demikian, pada hari suci Sugian Jawa, segenap umat Hindu
melaksanakan upacara penyucian terhadap alam semesta tetapi untuk di Bali
mempergunakan simbul alam semesta adalah lingkungan pemerajan, maka pada hari
Sugian Jawa umat Hindu melaksanakan upacara, "Mererebu".
Dalam “lontar Suadharigama, lamp. 17", mengungkapkan sebagai berikut:
"Ring Rahina Weraspati Wage Wukunia Sungsang, Ngaran Sugi Jawa,
Kajari Loke Meharan Jambu Dwipa Ngaran, Bhuwana, Wenang Amelaku Pretista, Yate
Pretistan Bethara Kabeh, Areredoni Ring Sanggar Muang Parihyangan, Meharan
Prerebuan, Kaduluri Pangeresikan Bethara, Saha Puspa Wangi, Kunang Wang
Weruhing Tattwa Jnana, Apasang Yoga, Sang Wiku Angagem Puja, Apan Bethara
Tumurun Maring Madiapada, Amuktya Banten, Anerus Tekeng Galungan, Pakertining
Wang, Sesayut Muang Tutuan, Marupa Sudhamalung, Sawung Petak, Beliwis Petak,
Silih Sinunggal Wenang, Pangarcana Suka Sukan Arania".
Dari isi petikan lontar Sundharigama tersebut, sudah jelas telah
memberikan tuntunan serta pengertian tentang pelaksanaan upacara hari suci Sugian
Jawa kepada umat Hindu. Tetapi di kalangan masyarakat Hindu dimasyarakat luas,
sering menjadi pertanyaan, karena masih berpengaruhnya sistem gugonruwon bahwa,
bagi yang berasal dari Bali mula, melaksanakan upacaranya pada hari Sugian Bali.
sedangkan yang tadinya berasal dari Jawa (Majapahit) melaksanakan upacaranya pada
hari Sugian Jawa.
Demikian juga mengenai pelengkap daging dalam upakara Sugian.
diantara umat Hindu ada yang berpikiran bahwa. pada hari pererebuan harus
menghaturkan tiga macam daging guling diantaranya, guling babi, guling itik putih, dan
24
guling ayam putih. Sesungguhnya menurut petunjuk sastra agama tidak demikian
adanya, tetapi sebenarnya pelaksanaan upacara Pererebuan tersebut dilaksanakan pada
hari suci Sugian Jawa karena. pada hari itu merupakan hari penyucian bhuwana agung,
tidak dibolehkan oleh sastra agama melaksanakan upacara merebu pada hari Sugian
Bali. Karena maksud dari kata "Merebu", adalah "Ngeseng. (membakar hanguskan),
atau "Nyomia" (Melebur), sedangkan kalau melaksanakan pererebuan pada hari Sugian
Bali, dikatakan Angerebu Dewek", (membakar diri). Demikian juga mengenai aturan
daging guling, didalam sastra Agama tidak ada kecap sastra harus namun yang
dikatakan adalah semampunya (suku sukan harania), karena daging guling tersebut
adalah merupakan simbul dari kekuatan "Tri Guna", yaitu Sattwam, Rajas, Dan Tamas",
demikian juga memiliki makna sebagai bahasa isyarat kehadapan Sang Hyang Widhi,
bahwa daging guling babi sebagai simbul kekuatan Tamas, bennakna untuk memohon
Kemundian, daging guling itik sebagai simbul kekuatan Sattwam, bermakna untuk
memohon Kedharman, kesucian, sedangkan daging guling ayam sebagai simbul
kekuatan Rajah, bermakna untuk memohon kesidhian kehadapan Sang Hyang Widhi.
Salah satu daging guling apa saja boleh dihaturkan menurut kemampuan masing-masing
umat. namun pada pelaksanaannya harus didasarkan oleh ketulusan ikhlasan hati
sanubari.
Tata Cara Pelaksanaannya:
Upakaranya (dalam kwantitas utama)
Munggah di Kemulan
o pejati lengkap asoroh
o Banten suci alit asoroh
o Banten danan, penyeneng. pesucian
Upakara Ayaban
o Banten ayaban tumpeng 21 bungkul
o Rayunan meulam guling babi
o Rayunan meulam guling iik putih
o Rayuan meulam guling ayam putih
25
o Prayascita, bayekawonan
Upakara pengerebuan
o Peras tulung sayut dengan nasi untek 5 bungkul dialas dengan sebuah ceper,
lengkap dengan raka-raka, porosan, mempergunakan sampian pusung. diatas
tetandingan tadi ditumpuk dengan olahan ayam brumbun rateng (mateng) lengkap
dengan urab barak, urab putih, berisi sate ayam brumbun tiga katih, dan diatas
tetandingan ulam ini, diisi sebuah canang sari, kemudian diikat dijadikan satu
(pesel dadiang besik). Mengenai banyaknya membuat tergantung dari banyaknya
bangunan suci dan bangunan rumah, sampai kepintu gerbang.
Upakara ayabannya
o Banten ayaban tumpeng 7 bungkul
o Rayunan meulam guling itik putih
o Rayunan meulam guling ayam putih
Upakara pengerebuannya sama seperti diatas.
Banten prayascita, bayekawonan
26
Upacara pengerebuan
o Banten pengerebuannya sama seperti diatas
Sesonteng:
Nastuti pukulun bethara Sang Hyang Siwa Raditya, Sang Hyang Wulan lintang
tranggana, mekadi Sang Hyang Trio Dasa Saksi, Bethara Hyang Guru, muah Bethara
Sang Hyang Tri Purusa, saksinan pangubhaktin pinakengulun, angaturaken tadah saji
pawitra saprekaraning daksina, aruntutana saji pererebuan, asung kertha nugraha paduka
Bethara, manugeraha tirtha penglukatan pebersihan, angelukat sarwa mala papa petaka,
sebel kandel maring Bhuwana, muah parihyangan kabeh metemahan sudha nirmala
yenamak suaha. Ong Sriyambhawantu, Purnam Bhawantu, Sukhambhawantu, Ong Hrang
Hring Spalt Parama Siwa Ditya yenamah swaha.
PEJATI
Keterangan
1. Daksina + Pesucian
2. Peras
3. Sodan / Ajuman
4. Penyeng
5. Tipa: Kelanan Sari Kelan
6. segehan alit (putih
27
CANANG PESUCIAN
Keterangan
1. Ceper
2. Tetuwasan Petat
3. Tetuwasan Suwah
4. Bunga
5. Porosan Silih Asih
6. Celemik berisi tepung beras/tawar
7. Celemik berisi kapas minyak wangi
8. Celemik berisi daun dadap mecacak
9. Celemik berisi jaja metunu (sigsig)
10. Celemik berisi serbuk cendana
11. Sebuah takir berisi air
12. Canang sari
28
BANTEN BAYEKAWONAN
Keterangan Gambar
a. Sebuah sidi sebagai alasnya.
b. Raka-raka
c. Canang pesuckin
d. Sebuah nasi kepel agung metanceb bawang dan cabé (jahe)
e. 5 (lima) buah kulit peras dari pandan berduri
f. Sebuah nasi matajuh (seperti klepet bugis)
g. Sebuah nasi matimpuh (seperti sumping)
h. Sebuah sampian nagasari
i. Sebuah lis amuan-amuan (lis basing basang)
j. Sebuah kojong rangkat
k. 3 biji/ruas lidi
l. Sebuah sabet dari serabut kelapa
m. Sebuah penyeneng
n. Sesedep benang barak, bras barak
Banten ini dipakai pada upacara Panca Yadnya
Setelah selesai mengucapkan mantra pengastawa. selanjutnya menghaturkan
pesucian dengan memercikkan tirtha bayekawonan, tirtha prayascita dan ayaban
penyeneng ke pelinggih Kemulan, setelah itu ketempat bangunan suci lainnya
kebangunan rumah dan ke pintu gerbang (lebuh)
Setelah pelaksanaan penyucian selesai, dilanjutkan dengan menghaturkan ayaban, dengan
mengucapkan mantra yang sama seperti didepan. Kemudian Sang Penganteb,
menghaturkan upakara pererebuarinya dengan mengucapkan mantra sebagai berikut
Mang, Ung, Ang Wem Ong, Padma Sana Yenamah Sa, Ba, Ta A I, Sarwa Bhuta
Yenamah Swadha Ndah Ta Kita Sang Bhuta Bucari, Sang Kala Bucari, Muah Sang
Durga Bhucari, Mari Sira Mona, Ajakan Kala Wadwan Sira Kabeh, Ingsun Paweh
Sira Tadah Saji Sanggraha, Sega Untek, Maiwak Ayam Brumbun Ingolah Rikan
Cana. Iki Tadah Sajinira, Sama Suka Sama Lolia Sira Pilih Kabelanira Suang-suang,
Was Sira Anadah Saji Ingsun Aminta Kesidhian Ta, Aja Sira Kari Angadakaken
29
Drewala-drewali, Lara Roga Kegeringan, Sebel Kandel Ring Bhuwana Agung Muah
Bhuwana Alit, Angadakaken Sira Urip Waras Dirga Yusa Ring Jagate, Ngeraris Sira
Amukti Sari, Sumurip Sira Menadi Dewa Dewi, Pemantuk Sira Ring Dangkahyangan
Suang-suang, Pasang Sarga Sira Ring Bethara Siwa, Ong Ing Namah.
A, Ta, Sa, Ba, I, Sarwa Bhuta, Kala Durga Murswah Wesat, Ah...Ang.
30
Karena pada hari suci Sugian Bali, adalah merupakan hari penyucian isi alam semesta ini,
termasuk semua makhluk harus menyucikan diri. Karena makhluk tumbuh-tumbuhan dan
binatang, tidak memiliki akal dan pikiran, maka manusialah sebagai wakil (mewakili)
penyucian diri dari semua makhluk di dunia. Oleh karena itu, penulis mencoba memberi
penjelasan mengenai makna yang terkandung didalam pelaksanaan upacara hari suci
Sugian Bali ini, melalui kosa kata dari kata "Bali". Kata Bali mengalami perubahan
bunyi, dari konsonan huruf "B"menjadi konsonan huruf "W", menurut hukum perubahan
bunyi, "PBW", maka menjadilah kata "Wali". yang dapat diberikan arti. "Sebagai Wali,
atau Wakil". Dengan demikian, pelaksanaan dari upacara hari Suci Sugian Bali,
sesungguhnya adalah hari penyucian bhuwana alit/pada diri sendiri, dan pada saat inilah
sesungguhnya umat Hindu semua melaksanakan penyucian diri dengan jalan
melaksanakan tapa brata yoga samadhi, serta memohon tirtha "GOCARA", kehadapan
Hyang Siwa Guru di pemerajan suang-suang. Didalam lontar "Sundharigama, lamp. 21",
menyebutkan antara lain:
Sukra Keliwon Wuku Sungsang, Mengaran Sugi Bali, Pakenania Amerastitaning Raga
Tawulan Riprewatek Maurip, Nanging Yan Menadi Wang Prakerthi Wenang Sira
Angelaraken Tapa Brata Yoga Samadhi, Muang Anadaha Tirtha Gocara, Alukata Ring
Sang Pandita Siwa Paksa Lan Budha Paksa, Maka Panelasing Letuh Ring Sarira.
Dari petunjuk sastra diatas, sudah jelas umat Hind diberikan tuntunun agar, betul-betul
mengerti tentang makna dan tujuan dari pelaksanaan upacara hari suci Sugian Bali
31
pelaksanaan upacara Galungan tersebut merupakan titik puncak keberhasilan atau tidak
berhasilnya perbuatan umat Hindu menuju Dharma. Kenapa Hari Suci Galungan
dikatakan hari kemenangan Dharma?
Kata Penyekeban yang dimaksud adalah "Disekap", dapat diartikan
"Membatasi Diri", dan kata membatasi diri disini mengandung pengertian agama adalah
"Anyekung Jnana", atau ajaran agama telah memberikan petunjuk serta tuntunan kepada
segenap umat Hindu bahwa pada hari penyekeban tersebut, adalah merupakan hari, untuk
mengingatkan kepada umat, agar meningkatkan pengendalian dirinya dan selalu
introspeksi diri, melaksanakan Tapa. Brata. Yoga, Samadhii, asuci laksana, atau harus
mampu mempertahankan keheningan pikiran dengan menjaga kesucian diri. Diberikan
petunjuk demikian oleh ajaran Agama karena pada hari penyekeban tersebut adalah hari
turunnya Sang Hyang Tiga Wisesa ke dunia, melalui manifestasiNya yang disebut, Sang
Kala Tiga. untuk menguji imannya manusia khususnya bagi umat Hindu. Sesungguhnya
Sang Kala Tiga ini hersemanyam di Bhuwana Agung dan di Bhuwana Alit, yang di
Bhuwana Agung memiliki sebutan. Sang
Kala Galungan, Sang Kala Dungulan dan Sang kala Amangkurut, dan
masing-masing Kala ini memberikan kekuatannya Terhadap Bhuwana Agung dan
Bhuwana Alit Di Bhuwana Agung Sang Kala Galungan memberikan kekuatannya pada
"Pertiwi", (Bhurloka), Sang Kala Dungulan memberikan kekuatan pada. "Embung",
(Bwahloka) sedangkan Sang Kala Amangkurat memberikan kekuatan pada "Langit",
(Swahloka), (Lontar Kala Maya Tattwa). Kalau di Bhuwana Alit, Sang Kala Galungan
bersemanyam di "Hati", dengan sebutan Sang Kala "Sakti", Sang Kala Dungulan
bersemayam di "Ampru" (empedu) dengan sebutan Sung Kala "Sidhi", sedangkan Sang
Kala Amangkurat bersemayam eli "Pepusuh" (jantung) dengan sebutan Sang Kala
"Mandhi" Lontar Tutur Kediatmikan).
Didalam lontar "Sundharigama, lamp. 37", menyebutkan sebagai berikut:
"Ritetrapaning Wewaran, Ikang Dungulun Menuju Redite, Paing, Rikala Ika Mijil Ikang
Kala Bhama Ribungkahing Pertiwi Meharan Sang Kala Galungan, Sang Kala Udha
Mijil Ritengahing Windhu, Meharan Sang Kala Dungulan, Sang Kala Maya Mijil
Ritelengking Akasa, Meharan Sang Kala Amangkurat. Ika Sami Amintoni Manusa Ring
Madyapada, Maweruh Inanggapi Sadnyan Manusa,.......(Lontar Kala Maya Tattwa)
32
"Ikang Dungulan Redite Paing, Turun Sang Hyang Kala Tiga, Menadya Bhuta
Galungan, Arep Anadah Anginum Ring Manusa, Pada Matangnian, Sang Wiku Muang
Para Sujana Den Pretiaksa Juga Sira, Kumekas Ikang Jnana Nirmala, Nimitania Tan
Kesurupan Tekap Sang Bhuta Galungan, Ndah Mangkana Mengaran Penyekeban
Kecaping Loke.
(Lontar Sundharigama).
Melihat dari isi petikan lontar diatas, sudah jelas memberikan pengertian
tentang keluhuran dari hari suci penyekeban. Hanya dikalangan umat Hindu secara
menyeluruh belum mengetahui secara jelas bahwa pada hari penyekeban adalah
merupakan hari puncak pengendalian diri sehubungan dengan pelaksanaan hari suci
Galungan. Oleh Karena itu penulis menghimbau kepada segenap umat Hindu,
tingkatkanlah Jnana agar lebih mudah dapat menghamami nilai-nilai luhur ajaran Agama
sehingga memiliki pengertian yang benar tentang nilai ajaran Agama Hindu, serta
pengamalannya nanti di masyarakat menemukan kebenaran menurut Sastra Dresta.
33
Untuk mengambil makna dari petunjuk sastra diatas, adalah melalui cara asuci laksana,
kemudian melaksanakan persembahyangan, selanjutnya metirtha. Disamping itu harus
senang membaca-baca pustaka-pustaka Agama, dan sebagainya.
34
Waktu Pelaksanaan
Mengenai waktu atau dauh dari pelaksanaan upacara Tebasan Penampahan, penulis
memandang perlu untuk memberi informasi melalui penulisan ini, kepada segenap umat
Hindu, tentang waktu pelaksanaan upacara Tebasan penampahan secara tepat dauh, yaitu
pada Dauh Tiga, atau sekitar pk. 12.00 siang hari. disebut dengan "Dauh Sandhi Kala",
dan pada dauh empat, sekitar pk. 17.30 sore, disebut dengan. "Dauh Sandhi Kawon".
Upakaranya
- Pejati lengkap asoroh
- Banten ayaban senistane tumpeng. 7 bungkul
- Banten tebasan pemiak kala
- Banten tebasan Pebersihan
- Banten tebasan pasupati
- Rayunan brumbun dengan tetandingan sebagai berikut:
Diatas sebuah kekebat diisi nasi berwarna brumbun. berbentuk seperti nasi pemijian,
dilengkapi dengan rerasmen berupa sebuah takir kecil, serta dimasing-masing takir berisi:
- Lawar secukupnya Daging babi goring
- Daging babi yang dikuwah
- Sambal secukupnya
- Pepes daging babi
35
Tata Cara Pelaksanaan
Pengertian dari Banten Tebasan
Sesuai dengan penjelasan tattwanya seperti diatas tadi. dengan tujuan
untuk melaksanakan penyupatan atau menetralisir kekuatan Sang Kala Tiga maka nilai
Tattwanya telah tercermin kedalam Upakaranya sehingga disebut dengan banten Tebasan,
dan kata tebasan menjadi kata "Tebus", yang memiliki maksud. "Mengembalikan Agar
Netral", serta maksud ini sama dengan. "Nyomya".
Mengenai nasi brumbunnya, mempergunakan daging babi adalah
merupakan simbul dari kekuatan Sang Kala Tiga, karena khewan babi memiliki sifat-sifat
Rajas Tamas, sedangkan nasi brumbun sebagi simbul kekuatan Sattwamn. Dengan
demikian, Sang Kala Tiga tersebut sesungguhnya menurut Tattwa adalah manifestasi dari
kekuatan "Tri Guna", hal itulah yang perlu dinetralisir agar menjadi Kala Hita.
Caranya
• Setelah itu Sang penganteb menyiapkan diri untuk nganteb upakaranya, dengan
etika penyucian diri terlebih dahulu. Sang penganteb mengucapkan mantra
pengastawa antara lain:
Mantra:
Ong, Dewa Dewa tri Dewanam
Tri Murti Tri Linggadmanam
Tri Purusa Sudha Nityam
Sarwa Jagad Prekerthinam
36
Ong, Ang Sang Hyang Jagad Wisesa Yenamah Suaha
Ong, Ung Sang Hyang Purwa Wisesa Yenamah Suaha
Ong, Mang Sang Hyang Parama Wisesa Yenamah Suaha
Keterangan
a. Kulit tebaran
b. Raka-raka
c. Sebuah sampian nagasari
d. 2 (dua) buah nasi kepel putih di letakkan sejajar, diselat dengan pandan berduri
yang panjangnya satu jari
e. Sebuah kojong rangkat
f. Sebuah penyeneng Banten tebasan ini dipakai pada upacara Panca Yadnya.
Keterangan
BANTEN PASUPATI
Keterangan
a. Taledan dari daun endongan
b. Raka-raka
c. Sebuah sampian metangga
37
d. 2 (dua) buah tumpeng berwarna abang
e. Daging ayam biying mepanggang
f. Sebuah kojong rangkat
g. Sebuah penyeneng
h. Sebuah ceper perangkatan tempatrerasmen pada soda
i. Nasi soda 2 (dua) buah berwarna abang
j. Sampian plaus
k. Raka-raka
l. Taledan dari daun endong
m. Asaban cendana, majagau, menyan, Base tubungan mewadah cabak
Banten ini dipakai pada upacara pamasupati, dan pada upacara Tumpek Landep
Sesontengnya:
Nastuti pukulun paduka bethara Sang Hyang Tiga Wisesa, angadeg ring madyapada,
saksinan pangubhaktin pinakengulun, angaturaken tadah saji pawitra saprekaraning
tinebasan, anebase sarwa lara wigna, geleh putaleteh ri sariran............... asung kertha
nugeraha paduka bethara anurunana tirtha saking AKASA, menadya tirtha pengelukatan
pengeleburan dasa malaning manusa, matemalan sudha nirmala yenamah suaha, ong
sryam bhawanta........., purnam bhawantu, sukham bhawantu namah suaha.
SA, BA, TA, A, I, NAMAH SUADA. Ndah ta kita Sang Kala Tiga, mijil sira sakeng Tri
Bhuwana sekala niskala, Bhuwana Agung kelawan Bhuwana Alit, mari sira mona,
apupul sira kinabehan, ajakan kala wadwan sira saksinan manusanira, apaweha sira
tadah saji sanggraha, maka sege brumbun, maiwak olahan bawi rateng, iki tadah
sajinira, sama suka sama lolia sira, wus anadah saji, ingsun aminta kawisesan ta, aja
sira kari angadakaken drewala-drewali, lara roga, wigna, agawe sira walik, sehananing
JOTI matemahan jati, ngeraris sira amuktisari, aja lupa aja lali ring tutur tutur Sang
Dharma, sumurupa sira menadi Dewata, pasang sarga sira ring Bethara Siwa, ONG,
ING, NAMAH.
38
• Sesudah itu. memercikkan tirtha bayekawonan dan prayascita ke upakaranya
Sang penganteb mengucapkan mantra:
Mantra:
Mantra
Ong, Sang Hyang Sapta Petala, Sang Hyang Panca Kosika Gana, Sang Hyang Panca
Rupa, Mekadi Sang Hyang Tri Premana Pageh Ring Sang Tinamben-amben.
39
Ongkara Muktyayet Sarwa Peras Presida Sudha Nirmala Yenamah Suaha.
Mantra:
Ong, Bhuktyantu Durga Katara
Bhuktyantu Kala Mewaca
Bhuktiantu Sarwa Bhutanam
Bhuktyantu Pisace Sanggyam,
Ang... Ah, Mertha Bhuta Yenamah Suada
Ang, Ung,i Mang Siwa Mertha Yenamah Suaha
Mantra Penyomia:
A, Ta, Sa, Ba, I Sarwa Bhuta Kala
Murswah Wesat, Ah......Angi
Mantra:
Ong, Jala Sidhi Maha Sakti
Sarwa Sidhi Maha Tirtha
Siwa Tirtha Manggala'ya
Sarwa Karya Presidantu
Ong, Sidhirastu Tatastu Astu Yenamah Suaha
Acara yang paling terakhir adalah. Sang penganteb mengucapkan puja pangaksama
Mantra;
40
Om, Ksamia Swamem Malta Dewa
Sarwa Prani Hitangkarah
Mamoca Sarwa Papebyah
Phala'ya Swa Sadha Siwa Ksantawaya Kayika Dosah
Ksantawyo Wakcika Mamah
Ksantawyo Manalisadosah
Tat Pramadat Ksama Swamam
Om. Santih....santih….santik, Om
Mantra:
Ung, Ang, Mang Sarwa Dewa Mur Acintya
Suksma Yenamah Suaha, Alt....ang.
Dengan mengucapkan puja pralina, maka selesailah sudah pelaksanaan upacara Tebasan
penampahan.
41
bergubul dalam mengarungi kehidupannya, enghadapai segala cobaan-cobaan baik
bersifat phisik maupun ersifat mental spiritual, dan mereka mampu mengatasi
berdasarkan engendalian dirinya, sehingga mereka tetap teguh dalam kebenaran. al itulah
yang disebut dengan "Kemenangan Dharma".
Pada hari suci Galungan. Sang Hyang Widhi turun kedunia selalui
manifestasiNya sebagai "Sang Hyang Siwa Mbahadewa", Hyang Siwa Meneng) bersama
para Dewata-dewati. Dewa Pitara, ntuk memberikan restu kepada umatnya dan kepada
santananya asing-masing Disamping itu para Dewa Pitara ingin menyaksikan vadharma
sentananya sebagai keturunan yang "Suputra", karena as perbuatan kebajikan dari
keturunannya yang Suputra akan dapat emberikan pengaruh terhadap Leluhumya tentang
peningkatan dari ehidupan leluhur (rokh Suci) di alam Bhaka menuju ke alam Moksa
Moksrtham Atmanam).
Kata Galungan berasal dari kata "Galungang", yang dapat diberikani arti
"Tertancapnya Sebuah Panah" dan kata panah disini, memiliki maksud adalah, "Manah",
Atau "Hati Sanubari" dengan demikian kata tertancapnya sebuah panah mengandung
maksud "Tercapainya titik tujuan terakhir, untuk menuju kecemerlangan", atau
"Dharma". Oleh karena itu tercapainya tujuan ini, tergantung dari pribadi umat masing-
masing (tolok ukur ada pada umat).
Pada hari suci Galungan disertakan dengan pemasangan sebuah penjor,
yang dipasangkan pada pintu gerbang (lebuh) dibagian kanan kearah pintu keluar.
Pemasangan sebuah penjor ini dimaksudkan. adalah sebagai simbul pemujaan kehadapan
Sang Hyang Siwa Meneng beserta dengan Ista Dewatanya. yang distanakan di pura
"Besakih". Sesungguhnya semua umat Hindu di Bali pada hari Suci Galungan.
menghaturkan persembahan ke pura Besakih, tetapi karena kejelian. serta bersifat
efisiensi maka maha Rsi menciptakan budaya penjor yang mengandung nilai-nilai
"Religiomagis" (nilai ajaran Weda) serta telah diuji kebenarannya secara spiritual
sehingga menjadi sarana (uparengga) perantara sembah bakti umat kehadapan Hyang
Siwa beserta manifestasiNya di Besakih. Kata Penjor, berasal dari kata Pecnyor, yang
dapat diberikan arti " Pengajum", atau "Pengastawa". Dengan demikian makna penjor
tersebut adalah sebagai sarana pengastawa kehadapan Hyang Siwa beserta manifestasinya
yang distanakan di pura Besakih.
42
Oleh karena itu, membuat sebuah penjor sehubungan dengan pelaksanaan
upacara memerlukan persyaratan tertentu dalam arti tidal asal membuat saja namun
seharusnya penjor tersebut sesuai dengan sastra Agama, sehingga tidak berkesan
perhiasan belaka Sesungguhnya unsur-unsur penjor tersebut adalah merupakan simbul
simbul suci, sebagai landasan pengaplikasian ajaran Weda yang lehil hanyak
mengandung esensi ajaran "Brakmana dan Aranyaka" sehingga tertcermin adanya nilai-
nilai Etika agama.
"Ndah Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnya, Wruha Kiteng Rumuhun,
Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi yadnya, Dewa Mekabehan Menadya
Saraning Jagat Apan Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan
Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa
Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga "Windhune", Sang Hyang Parama Siwa
Meraga Nadha, Sang Hyang Iswara Meraga Mertha Upaboga Hyang Wisnu Meraga
Sarwapala, Hyang Brahma Meraga Sarwa Sesanganan, Hyang Rudra Meraga Kelapa,
Hyang Mahadewa Meraga Ruaning Gading, Hyang Sangkara Meraga Phalaem, Hyang
43
Sri Dewi Meraga Pari, Hyang Sambu Meraga Isepan, Hyang Mahesora Meraga
Biting..................
Dari isi petikan lontar diatas, sudah secara jelas memberik petunjuk dan
pengertian bahwa penjor tersebut telah mengandu makna yang tinggi terhadap
pelaksanaan upacara, khusur pelaksanaan upacara hari suci Galungan. Oleh karena
demikian, et pembuatan penjor untuk kepentingan suatu upacara perlu diperhatik dan
dilaksanakan secara benar, agar tepat sasarannya sesuai deng petunjuk sastra agama,
seperti sanggah penjor mempergunak sanggah Ardha Candra, karena Ardha Candra
merupakan simt kekuatan Hyang Siwa. Mengenai pemasangan sanggah penjorny masih
rancu dimasyarakat, ada yang menghadap ke jalan ada ju yang menghadap kerumah,
sehingga kelihatan dari luar bah pengamalan dan pemahaman ajaran agama Hindu tidak
memiliki v dan misi yang sama, seolah-olah berdasarkan tafsiran sendiri-sendi sedangkan
sumber sastranya jelas ada.
Oleh karena itu, penulis mengajak kepada segenap umat Hin khususnya
yang di Bali, marilah satukan visi dan misi dalam pengamal berdasarkan sastra dresta,
sehingga tidak lagi menampakkan bahw ajaran Agama Hindu hanya berdasarkan tafsiran
Dengan demiki cara pemasangan sanggah panjor adalah, mulut sanggah terseb
menghadap ke jalan bagi semua penjor upacara, khusunya penj pada hari suci Galungan,
karena jalan tersebut merupakan simb "Purwa Desa". Dalam "Lontar Sundharigama",
menyebutk schagai berikut:
"Riteles Ikang Asuguh Tetebasan Ring Sang Kala Tiga Linuara Dening Sega Sinasah
Maring Dengen, Lumari: Sira Tinancebang Penjor, Meharep Purwa Desa,
Tatacara Upacaranya.
a. Persiapan Sehari Sebelumnya.
• Memasang wastra, lamak, sampian gantung, dan bung ratna pada setiap bangunan
baik bangunan suci, maupun bangunan rumah sampai lebuh (Apit lawang) seper
hari piodalan pemerajan.
44
b. Pada Hari Suci Galungan
Ngunggahang upakara pada pelinggih Kemulan -antara lain :
- Pejati asoroh
- Banten danan
- Banten pejerimpenan alit
• Ngunggahang upakara pada pelinggih-pelinggih yang lainnya dengan upakara:
- Banten danan
- Banten pejerimpenan alit
- Canang pesucian
Tata Caranya
• Sang penganteb menyiapkan diri dengan sudah menci laksana terlebih dahulu.
• Sang penganteb mulai mengucapkan mantra pengastawa kehadapan:
- Sang Hyang Siwa Raditya
45
RIMPEN AGUNG
Keterangan
a. Sampian Jerimpen
b. Keranjang jerimpen
c. Tebu dengan posisi melingkar
d. Jajan bekayu
e. Jaje uli dan Jaja Begina
f. Tebu lagi (melingkar juga)
g. Jaja uli dan Jaja begina
h. Wakul sebagai alas keranjang jerimpen yang sudah berisi tetandingan walkut
jerimpen.
Keterangan
a. Kulit sesayut
b. Raka taka
c. Sampian nagasari
d. Sebuah cawan berisi air bersih
e. Sebuah nasi soda meklongkong
f. Sebuah limas berisi sambal dan garam
g. Sebuah limas berisi saur, kacang. gerang, timun dan tuwung.
h. Sebuah penyeneng (Banten Sesayut ini dipakai pada upacara Dewa Yadnya)
46
f. Sebuah limas berisi sambal dan garam
g. Sebuah limas berisi saur, kacang, gerang, timun dan tuwung
h. Sebuah penyeneng (Sesayut ini dipakai pada upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya dan
Resi Yadnya).
Keterangan
a. Kulit sesayut
b. Raka-raka
c. Sebuah sampian nagasari
d. Sesedep Beras putih Benang putih
e. Sebuah jejaritan sroja (seperti
f. sampian nagasari) Sebuah Padma
g. 5 (lima) buah tumpeng memakai pekir metanceb kwangen
h. Sebuah limas berisi sambal dan garain
i. 5 (lima) buah tipat gelatik
j. 5 (lima) buah tulung sangkur
k. Sebuah lis senjata
l. Sebuah penyeneng
47
m. Sebuah bungkak kelapa gading
n. Sebuah limas berisi saur, kacang.gerang, timun dan tuwing
o. Sebuah nasi soda mekiongkong. Payuk Pere
48
* Ngaturang pesucian ke pelinggih-pelinggih semua, berupa
Melihat dari petunjuk sloka diatas. sudah jelas bahwa ajaran Weda
memberikan tuntunan agar umatnya selalu berkarma yng baik untuk menuju Dharma,
karena kekuatan dharma sebagai pengelebur kegelapan, untuk mendapatkan "Widya".
49
serta melaksanakan persembahyangan,mohon tirtha, dan wija, selanjutnya umat ngayab
banten Galungan tersebut (nyurud ayu), sedangkan bagi umat Hindu yang sudah
berkumpi atau seorang anak yang giginya belum tanggal. melaksanakan ngayab banten
penyambutan. Maka hari itu disebut hari "Penganyaran".
50
hari suci pemacekan agung adalah, "Karena telah kuat tapanya para umat Hindu, terhadap
godaan dari Sang Kala Tiga, sehingga Sang Kala Tiga kembali ke sumbernNya". atau
proses pengembalian (nyomya) kekuatan Sang Kala Tiga kesumbernya.
Pada hari suci pemacekan Agung, umat Hindu melaksanakan upacara kecil, berupa
menghaturkan banten soda pada masing-masing pelinggih, dan melaksanakan
persembahyangan sampai selesai metirtha Sesudah selesai metirtha sebagian tirtha tadi
dipercikkan keseluruh pekarangan pemerajan dan perumahan dengan etika memercikkan
tirtha tersebut kearah "Ngider Kiwa", kemudian menghaturkan segehan Agung di lebuh
disertakan dengan api dakep. tetabuhan arak berem. selesailah pelaksanaan upacara
pemacekan Agung tersebut.
Maksudnya:
Pada hari Jumat Wage Wuku Kuningan, disebut hari Penampa Kuningan, karena
besoknya disebut Tumpek Kuningan, dikatakan sebagai hari mapag kala, tidak boleh
memuja, akan sia-sia, tidak boleh melaksanakan persembahyangan, tetapi bisa
mempersiapkan segala keperluan untuk kebutuhan pelaksanaan upacara Kuningan pada
esok harinya.
51
3.11. Hari Suci Kuningan
Keesokan hari setelah hari Penampa Kuningan, disebut dengan hari suci
Kuningan jatuh pada hari, Sabtu-Keliwon – Wuku Kuningan. Hari suci Kuningan adalah
hari yang penuh makna sehubungann dengan kehidupan semua makhluk di alam semesta
ini. Untuk mengambil maknanya, sebaiknya penulis memberikan penjelasan berdasarkan
sumber sastra agama Hindu antara lain
Kata Kuningan berasal dari kata "Kuning” yang pe dibe arti selain warna,
adalah "Amertha". Satu sudut pandang, banwa, kata Kuningan berasal dari kata,
"Keuningan". yang mengandung arti "Kepradnyanan". Dengan demikian makna dan
tujuan dari pelaksanaan hari suci Kuningan, adalah pada hari itu segenap umat Hindu
memohon Amertha. berupa kepradnyanan kehadapan Sang Hyang Widhi, dengan
manifestasiNya sebagai Sang Ilyang Mahadewa, yang disertai para leluhur (Dewata-
dewati). Didalam "Lontar Sundharigama", menyebutkan antara lain:
"Saniscara Keliwon Wara Kuningan Payaganira Bethara Mahadewa Tumuruna
Pepareng Para Dewata Muang Sang Dewa Pitara, Inanggapa Bhaktin Manusa,
Amaweha Waranugeraha Amertha Kahuripan Rijanapada, Asuci Laksana, Neher
Memukti, Bebanten Sege Selangi, Tebog, Saha Raka Dane Sangkep Saha Gegantungan
Tamiang Kulem, Endongsara, Maka Pralingga. Aja Sira Ngarcana Lepasing Dauh Ro,
Apan Riteles Ikang Dauh, Prewateking Dewata Mantuk Maring Sunia Taya, Hana Muah
Pengaci Ning Janma Manusa, Sesayut Pryascita, Penek Kuning Iwak Itik Putih Maukem-
ukem................
Melihat dari isi petikan Sastra diatas, telah memberikan tuntunan kepada
umat mengenai Tattwa, etika, dan upacara/ upakara hari suci Kuningan, hanya
kebanyakan umat Hindu melaksanakannya masih secara Desa Dresta atau Loka dresta.
Oleh karena itulah umat Hindu perlu meningkatkan diri dalam hal meningkatkan
pemahamannya tentang nilai-nilai luhur ajaran Agama yang terkandung didalam
pelaksanaan upacara hari suci Kuningan.
52
Mengenai waktu pelaksanaan upacaranya telah disinggung tadi diatas bahwa, waktu
pelaksanaan upacara hari suci Kuningan. jangan sampai lewat dari pk. 12.00 siang,
karena kalau lewat dari waktu tersebut, para Dewata telah kembali ke Kahyangan.
Demikian juga tentang pemakaian Uparengga berupa tamiang, panah, dan endong, adalah
merupakan simbul-simbul suci yang mengandung makna sebagai berikut
- Tamiang sebagai simbul senjata "Cakra", sebagai kekuatan "Wisnu".
- Andong, sebagai simbul senjata "Moksala", sebagai kekuatan "Sang Hyang
Sangkara".
- Panah (Sara) sebagai simbul senjata "Nagapasa", sebagai kekuatan "Sang Hyang
Mahadewa".
Tatacara Upacaranya
a. Upakara Munggah di Kemulan
• Upakara di Kemulan Rong Tengah
- Pejati Asoroh
- Banten Danan
- Selanggi 2 buah yang nasinya berwarna kuning
- Canang pesucian
• Upakara Ayaban
- Banten ayaban sanistane tumpeng. 7 bungkul
53
- Tebog 5 buah
- Banten prayascita dan bayekawonan
54
3.12. Hari Suci Pegat Wakan
Tiga puluh lima hari setelah han suci Galungan. disebut hari suci "Pegat
Wakan", jatuhnya pada hari Rabu - Keliwon - Wuku Pahang. Dikatakan hari Pegat
Wakan, adalah karena merupakan batas terakhir dari Tapa pelaksanaan upacara Hari suci
Galungan. dalam arti sebulan (bulan Bali) lamanya umat Hindu "Anyekung Puja
Mantra", yang maksudnya bagi umat Hindu tidak diperkenankan anibakang pede..asaan
untuk melaksanakan upacara lain, selain melaksakaan runtutan upacara Galungan Untuk
mengetahui makna dari pelaksanaan hari Pegat Wakan, penulis mencoba untuk
memberikan penjelasan melalui penulisan ini yaitu: Kata pegat Wakan, terdiri dari kata
Pegat. dapat diartikan ", Putus", dan kata Putus mengandung maksud, "Pelepasan"
(pengelebaran), sedangkan kata Wakan berasal dari kata "Wakya", yang artinya Sabda
atau " Anyekung Puja Mantra". Dengan demikian maksud dari hari Pegat Wakan adalah,
pada saat hari itulah melepaskan Tapa dan Ayekung Puja Mantra, sehubungan
pelaksanaan hari suci Galungan, dan setelah lewat pelaksanaan upacara hari Pegat
Wakan, barulah umat Hindu boleh nibakang padewasan untuk kepentingan pelaksanaan
upacara-upacara.
Pada pelaksanaan upacara Pegat Wakan, segenap umat Hindu lagi
melaksanakan upacara kecil berupa menghaturkan banten soda pada setiap pelinggih,
serta melaksakan persembahyangan kehadapan Hyang Widhi beserta manifestasiNya
untuk memohon pengampunan, jika ada kekurangan dan kesalahan-kesalahan selama
pelaksanaan Upacara Galungan.
Tatacara Upacaranya
• Pada pagi harinya menghaturkan banten soda pada setiap pelinggih. kemudian
melaksanakan persembahyangan, sampai selesai metirtha. dan memaki beras
Wija.
• Selanjutnya menghaturkan segehan di depan pelinggih-pelinggih antara lain:
- Segehan putih kuning dihadapan pelinggih Kemulan
- Segehan abang dihadapan pelinggih Catu Mujung (pelinggih yang bertumpang).
- Segehan kuning dihadapan pelinggih Catu Meres.
- Segehan putih kuning dihadapan pelinggih Gunung Agung
55
- Segehan putih kuning dihadapan pelinggih pesaren
- Segehan manca wama dihadapan pelingggih pengrurah
- Segehan manca warna dihadapan pelinggih Taksu
- Segehan putih kurang dihadapan pelinggih Sanggah natah
- Segehan nasi sasah dan segehan sliwah di Lebuh
- Segehan manca warna dan segehan poleng di pelinggih penunggun karang.
Setelah selesai menghaturkan segehan, dilepaskan semua sampian
sampian yang ada di pelinggih-pelinggih, pada Bale, dan sampian di penjor beserta
hiasannya, lalu dikumpulkan pada suatu tempat di pekarangan rumah, kemudian
dipercikkan tirtha, dihaturkan segehan abang selanjutnya dibakar, abunya ditanam di
pekarangan rumah. Dengan upacara pembakaran sampian tersebut. selesailah pelaksanaan
dari upacara hari Pegat Wakan.
4. HARI SUCI TUMPEK UYE/ANDANG/KANDANG
Pelaksanaan upacara dari hari Tumpek Uye datangnya juga setiap enam bulan
sekali tepatnya jatuh pada hari. "Sabtu-Keliwon-Wuku Uye". Hari Tumpek Uye juga
disebut, hari "Tumpek Andang", atau "Tumpek Kandang", oleh karena itu, pada hari suci
Tumpek Uye segenap umat Hindu di Bali melaksanakan upacara yang ditujukan kepada
semua khewan peliharaan. Sesungguhnya sesuai dengan petunjuk sastra Agama tidak
demikian, namun upacara tersebut adalah merupakan korban suci kepada semua jenis
binatang yang ada di alam semesta ini seperti golongan sato, golongan Mina, golongan
Paksi. golongan Manuk, dan golongan gumatap-gumitip (jangkrik, cacing. ular.dll)
dengan tujuan untuk memberikan penyupatan, agar kelahiran berikutnya bisa meningkat
kwalitas tingkat kehidupannya. Didalam "Puja Pepada", mengungkapkan antara lain:
"Ong, Na, Ma, Si, Wa, Ya, ndah 'ta kita, Sang Dua Pada, Sang Catur Pada, Sang Dada
Pada, Ingsun ngadeg Sang Hyang Dharma tumon't mangke, ingsun amerih anyupat'ta
sira, aja lupa aja lali sira ring tutur Sang Hyang Dharma, elingakna swargan 'ta suang-
suang, Sang Dwapada mantuk sireng Bethara Iswara, pasang sarga'ta sira, riwekasan
yan sira numadi ke mercapada menadya'ta sira manusa wiku sadhu dharma, mangke sira
menadi yadnya menadi larapan bhaktin Sang Yajamana, Aja Sira asilik gawe, elingakna
swargan 'ta maring iswara loka, ong Sang Namah.
56
Melihat dari isi petikan diatas. udah jelas memberikan pengertian bahwa, manusia
khususnya umat Hindu telah diberikan kesempatan untuk berkamma agar bisa menolong
dirinya sendiri dalam hal peleburan dosanya.
Di dalam pustaka "Bhagavadgita, IV, 9", mengungkapkan sebagai berikut:
"JANMA KARMA CA ME DIWYAM
EWAM YO WETTI TATTWATAH
TYAKTWA DEHAM PUNARJANMA
NAI'TI MAM ETI SO' RJUNA
Maksudnya:
Dia yang mengetahui sifat kemahamuliaan lahir itu dan bekerja dengan kebenaran, tidak
akan menjelma lagi setelah meninggalkan jasmaninya, dan datang kepadaKU, oh arjuna.
Oleh karena itu laksanakanlah korban suci tersebut dengan hati suci. dan selalu didasari
oleh rasa keihklasan yang tinggi, sehingga pengorbanan tersebut akan memiliki kekuatan
Religiomagis, sebagai kekuatan peleburan dosa.
Tumpek Kandang
Hari Tumpek Uye, disebut juga hari Tumpek Kandang, karena penyebutan
tersebut dipandang dari perhitungan Tattwa Samkhya. melalui perhitungan dina
seperti; hari Sabtu-Keliwon-wuku Uye memiliki urip sebagai berikut:
Hari Sabtu memiliki urip =9
Hari Panca wara Keliwon memiliki urip =8
Wuku Uye memiliki urip =8
Kemudian urip Sapta wara (Saniscara) + urip panca wara (keliwon) +Urip wuku
uye, di jumlahkan berjumlah 25. selanjutnya kedua faktor angka tersebut dijumlahkan,
2+5=7.
Untuk mendapatkan makna dari angka 7 tersebut, maka dihubungkan dengan
perhitungan angka Tattwa Samkhya, maka dalam perhitungan itu mendapatkan karakter
hari yang disebut. "Sapta Timira". Selanjutnya mencari perwatakan dari Sapta Timiranya,
didapatkanlah "watek Rajah", dan dari sifat rajah inilah menjadi watak Sato (binatang)
dengan Dewanya Bethar Brahma dalam Swabhawa sebagai Sang Hyang Rudra.
Oleh karena itu pada waktu pelaksanaan upacara Tumpek Uye. yang dipuja adalah
kehadapan "Sang Hyang Brahma" atau "Hyang Rudra"
57
Tumpek Andang
Hari Tumpek Uye juga disebut sebagai hari Tumpek Andang, karena
dinilai dari sudut pandang dari urutan Wuku yang diperhitungkan dari wuku
dungulan sampai ke wuku sinta, maka didapat posisi Wuku Uye berada ditengah-
tengahnya, dan posisi itulah yang dikatakan posisi Andang atau ngandang. Nama
ini hanya mengandung istilah saja namun maknanya kembali kepada sebutan
Tumpek Kandang.
Sesungguhnya menurut sumber sastra Agama Hindu ("Lontar Tutur
Begawan Agastyaprana") pelaksanaan upacara hari tumpek Uye tidak ditujukan
hanya kepada binatang di Bhuwana Agung saja namun juga ditujukan kepada
binatang di Bhuwana Alit, agar keseimbangan bhuwana agung dengan bhuwana
alit tetap dapat dipertahankan. Kalau kita berbicara secara nyata, didalam tubuh
manusia (bhuwana alit) juga ada memiliki binatang, sepert adanya bermacam-
macam cacing, adanya bacteri-bacteri, adanya kuman kuman penyakit, adanya
bangsa kutu, seperti kudis dan lain-lainnya.
Demikian juga kalau berbicara tentang abstrak, manusia itu makan daging
sehingga, unsur-unsur binatang telah bersemanyam kedalam tubuh manusia,
mengakibatkan manusia memiliki sifat-sifat binatang, oleh karena itulah manusia
memiliki sifat Tri Guna.
Dengan demikian maka pada pelaksanaan upacara hari Tunpek Uye,
segenap umat Hindu perlu menyucikan diri pada hari itu, untuk dapat
melaksanakan penetralisiran (nyomya) kekuatan-kekuatan binatang dalam diri.
Tetapi kenyataannya pada masyarakat Hindu khususnya di Bali. pada waktu
pelaksanaan upacara Tumpek Uye. hanya yang diupacarakan hewan
peliharaannya saja. Oleh karena itu, penulis berkehendak untuk membuka
wawasan para umat Hindu tentang nilai nilai Weda yang telah berinfiltrasi
kedalam pelaksanaan-pelaksanaan upacara Agama, sehingga dapat meningkatkan
Jnananya menuju kearah Sastra dresta, agar dalam pengamalannya menemukan
titik kebenaran yang hakiki, sesuai dengan maksud dan tujuan dari Weda.
Tatacara Upacaranya
Upakara munggah di Kemulan Rong Kanan
58
- Pejati asoroh
- Banten tumpeng abang, soda abang meulam ayam hiying mepanggang, penyeneng alit
(penyeneng tahenan).
- Canang pesucian
Upakara munggah di Kemulan Rong Kiri dan Tengah dan yang lainnya.
- Banten soda
- Canang pesucian
Upakara Ayaban
- Pejati asoroh
- Banten ayaban 7 bungkul
- Banten prayascita, bayekawonan
- Segehan nasi sasah abang 9 tanding
- Segehan nasi kepel gede, satu kepel ulam uyah areng jahe. (untuk segehan di
palungan).
Sesayut Ingon-ingon
Tetandingannya:
- Metatakan kulit sesayut, dengan raka-raka diisi 2 buah limas, dan setiap limas
berisi nasi abang, ulam kacang saur
- Berisi sayur daun piduh dengan alasnya sebuah limas. sampian nagasari.
Sesayut Rarèangon
Dengan tetandingannya sebagai berikut:
- Metatakan kulit sesayut, berisi raka-raka
- Berisi sebuah tumpeng abang diisi pekir dan ditancapkan sebuah kuangen,
meiwak guling ayam biying, sampian nagasari.
Tatacara pelaksanaannya
Mengenai tatacara pelaksanaannya sama seperti tatacara pelaksanaan upacara
yang lainnya hanya, bedanya pengawastawa terhadap Dewanya saja disesuaikan dengan
nama hari Tumpeknya seperti:
a. Sang penganteb mesuci laksana terlebih dahulu
b. Sang penganteb mengucapkan mantra untuk penyucian banten
c. Kemudian Sang penganteb mengucapkan mantra pengawastawa kehadapan:
59
Sang Hyang Siwa Raditya
Sang Hyang Guru Kemulan
Bethara Brahma/Rudra
d. Sesontengan:
Nastuti Pukulun Paduka Bethara Sang Hyang Siwa Raditya, Sang Hyang Wulan
Lintang Tranggana, Mekadi Sang Hyang Triodasa Saksi, Sang Hyang Siwa Guru, Sang
Hyang Guru Kemulan, Saksinan Manusanira Angaturaken Tadah Saji Pawitra
Seprekaraning Daksina, Ipun Amelaku Pakerti Amaweh Saji Riprewatek Sato Muah
Sarwa Prani Ring Bhuwana Agung, Muah Ring Bhuwana Alit, Amerihu Tirtha
Pengelukatan, Menadya Penyupatan Riprewatek Sato Muah Sarwa Prani, Kesupat
Riwekasan Numadi Menadi Manusa, Ong Sidhirastu Pujaningulun.
Sesonteng kehadapan Bethara Brahma/Rudra: Pukulun Paduka Bethara Rudra Maka
Dewaning Sarwa Ingon-ingon Ring Bhuwana Agung Muang Bhuwana Alit. Pinakengulun
Angaturaken Tadah Saji Pawitra Seprekaraning Tumpeng Abang, Penek Abang, Meiwak
Caung Wiring Pinanggang, Saksinan Pangubhaktin Ulun
Ripaduka Bethara, Pinakengulun Amelaku Pakerthi Riprarewateking Sato Muah
Sarwa Prani, Ulun Amerika Nugerahan Bethara, Tirtha Pengelukatan, Menadya
Penyupatan Ipun sarwa Sato Muang Prani, Ring Bhuwana Agung - Bhuwana Alit,
Riwekasan Panumadian Ipun Mangda Dados Manusa.
e. Selanjutnya menghaturkan pasucian, dengan cara memercikkan tirtha
bayekawonan dan prayascita ke pelinggih Kemulan kemudian kepada umat, dan
terakhir baru ke kandang beserta hewannya.
f. Selanjutnya Sang penganteb ngatrurang ayaban kehadapan Bethara
Brahma/Rudra.
g. Sang penganteb menuntun persembahyangan bersama. sampai selesai metirtha
dan memakai wija.
h. Kemudian umat Flindu yang melaksanakan upacara, melaksanakan ngayab
upakara tersebut (nyurud ayu). Kata nyunud ayu disini. memiliki maksud "Nunas
(Nyurud) Panugrahan Kerahayuan" (Ayu).
60
i. Kemudian ambil satu rangkaian banten dapetan, dibawa ke kandang, serta
ayabang kepada hewan tersebut, dan segchan nasi kepelnya ayabang
(dihaturkan) pada palungnyanya (tempat) makan hewan dengan ucapan sebagai
berikut :
"Ih,..... Kita Sang Bhuta Sungenge Muka Sedahan
Watek Ingon-Ingon, Ingsun Paweha Sira Sega Ganjaran Kepelan Lalaban Bawang
jahe, Iki Tadah Sajinira, Ngeraris Amukti Sari, Wus Amukti Sari, Paweh Kerahayuan
Ring Prewateking Ingon-Ingon Muah Ubuan Ingsun, Ang, … Ah Amerta bhuta
Yanamah Suada.
Setelah selesai menghaturkan segehan, berarti selesai juga pelaksanaan dari hari Tumpek
Uye.
Hari suci Tumpek Krulut juga datangnya setiap enam bulan sekali yakni
jatuh tepat pada hari. Sabtu-Keliwon-Wuku Krulut. Pada hari suci ini. segenap umat
Hindu di Bali melaksanakan upacara Tumpek Krulut, khususnya di Bali dikenal dengan
sebutan "Hari Piodalan Taksu", sehingga masyarakat Hindu melaksanakan upacara
pindalan terhadap alat-alat musik seperti Gong, Angklung, Gambang. Gender,
bermacam-macam tapel yang dikeramatkan sebagai sumber kesenian, berbagai
gelungan, berbagai bentuk pelawatan yang dikeramatkan seperti, Barong Ket, Kangda,
Barong Bangkal, Barong Macan. Barong Landung, Barong Bangkung, dan lain-lainnya.
Kata klurut berasal dari kata, "Kelulut", yang dapat diberikan arti.
"Terpikat", kemudian kata kelulut mendapatkan pengaruh dialek menjadilah kata
"Klurut", akhirnya mengalami perubahan bunyi, sesuai dengan hukum perubahan bunyi
"drl "menjadilah kata" Krulut. Dengan demikian kata krulut adalah mengandung
maksud Kekuatan Peikat", atau 'Taksu" (Karisma). Sedangkan makna dari Tumpek
Krulut dipandang dari "Tattwa Samkhya", maka dapat dicari maknanya melalui,
penjumlahan urip dina Sapta Wara dengan Panca Wara serta urip wuku, kemudian
dihubungkan dengan Tattwanya yaitu:
61
*Hari Sabtu memiliki Urip = 9
* Ilari Keliwon memilki urip = 8
* Wuku Krulut memilki c p = 7
jumlah = 24
Kemudian dari kedua faktor angka tersebut dijumlahkan lagi, yakni
2+4=6. Setelah mendapatkan angka enam, maka sekarang dihubungkan dengan
lattwanya, serta disesuaikan dengan konteksnya sehingga mendapatkan kata, "Sadgune",
yang maksudnya ada enam kekuatan Taksu, yaitu:
b. Kekuatan Taksu semua macam dan bentuk alat musik, dan Kukul.
e. Kekuatan Taksu, semua macam dan bentuk Tapel. £ Kekuatan Taksu, semua macam
tarian Sanghyang.
Dengan demikian pada hari suci Tumpek Krulut. umat Ilindu melaksanakan
upacara Tumpek Krulut dalam arti tidak hanya memohon kekuatan Taksu seperti diatas
saja namun yang paling penting adalah merupakan kebutuhan dari kehidupan manusia
di dunia khususnya umat Hindu yaitu kekuatan Taksu yang ada pada dirinya sendiri
sebagai kekuatan kharismatik. Oleh karena itulah pentingnya upacara hari Tumpek
Krulut dilaksanakan oleh segenap umat Hindu, berdasarkan Sradha dan Bhaktinya
kehadapan Sang Hyang Widhi beserta manifestasiNya.
Tatacara Upacaranya
-Banten danan.
62
-Canang pesucian.
- Banten soda.
- Banten danan.
-Canang pesucian.
Upakara Ayaban
- Rayunan brumbun dialas dengan sebuah tamas gede. lengkap dengar rerasmen, berisi
sebuah penyeneng alit, metiam olahan ayam brumbun, dengan jumlah satenya 33 katih.
-Ketipat Galeng
- Ketipat Gangsa.
- Ketipat Dampulan
- Ketipat Lepet
- Ketipat Gong
63
Tatacara Pelaksanaannya
Tatacara pelaksanaan dari upacara Tumpek Krulut tidak beda dengan
tatacara pelaksanaan upacara hari-hari Tumpek yang lainnya hanya pengawastawa pada
Dewan Tumpek saja yang berbeda yakni pada hari Tumpek Krulut, Dewanya adalah
"Bethara Wisnu", yang bermanifestasi menjadi kekuatan Taksu dengan swabhawanya
sebagai "Sedahan Taksu".
Hari suci Tumpek Wayang datangnya setiap enam bulan sekali, jatuhnya
pada hari Sabtu-Kliwon-Wuku Wayang. Diantara hari-hari Tumpek, hanya pada hari
Tumpek wayang yang memiliki keunikan yang khas baik dipandang dari tata
pelaksanaannya maupun dari sumber sastranya, terutama dalam kesakralannya
mengandung kekuatan Relegiomagis, sebagai contoh dibawah ini:
Apabila ada seseorang yang hamil, dalam perhitungan waktu kelahiran
bayinya melewati hari Tumpek Wayang, maka disarankan calon ibu tersebut agar
memohon pengelukatan terhadap seorang Sulinggih pada hari Tumpek Wayang tersebut.
Karena pada hari Tumpek Wayang adalah merupakan hari turunnya manifestasi Hyang
Siwa ke dunia dengan swabhawanya sebagai "Bethara Kala", oleh karena itu siapa yang
lahir atau hamil pada wuku Wayang, maka akan ditadah oleh Bethara kala (Lontar
Sapuleger), dengan demikian menurut keyakinan dan kepercayaan Agama Hindu
khususnya di Bali. setiap ada orang hamil atau kelahiran seorang anak pada wuku
Wayang, disarankan untuk melaksanakan pengelukatan dan penebusan otonnya dengan
tirtha Wayang Sapuleger.
Kalau dipandang dari Tattwanya dapat dijelaskan sebagai berikut:
64
*Hari Keliwon sorganya di Madya, uripnya 8, Dewanya Bethara Siwa, prabhawanya
sebagai "Merutha", (Angin).
Dijumlahkan =14
65
Lontar "Sundharigama", mengungkapkan antara lain
Fuyang, Ngaran Patemunira Sang Sinta Kelawan Sang Watugunung, Ngaran Wara
Cemer, Tan Wenang Sujanma Apeningan, Akejamas, Alelenga, Tutug Ring Sukerania
Pekenanania, Palania Punah Sagunaning Awak. Sukera Wage, Kala Paksa Ngaran,
Ngaran We Ketaman Campur, Maka Letuhing Jagad. Nimitania Ikang Wang, Yogya
Paselata Dening Apuh, Amenerin Ulun Atinia, Arupa Tampak Dara, Muang Sesuwuk
Ruaning Pandarwi, Tinampaki Apuh Juga, Apasangan Ring Sarwa Wewangunan
Muang Ring Paturon, Enjingnia, ikang Sesuwuk Pupulakna, Tiniket Dening Lawe
Tridatu Winandahan Sidi, Buangen Maring Dengen, Saha Segehan, saha Asembar
Tri Ketuka Apasang Mantra Tetulak Lara Wignaning Jagat.
Maksudnya:
Pada hari minggu wage wuku Wayang, disebut hari pertemuan antara Sang Sinta
dengan Sang Watugunung, hari itu disebut wuku yang Leteh (Kotor), tidak boleh para
umat Hindu menyucikan diri seperti berkeramas, sampai ke hari Jumatnya, akibatnya
punah semua kepinterannya. Demikian juga pada hari Jumat Wage, disebut hari Kala
Paksa, semua Air di dunia mengandung Leteh (Kotor). Oleh karena demikian, semua
umat Hindu, patut mengoleskan kapur sirih pada ulu atinya berbentuk Tampak Dara,
(Bentuk Swastika), dan membuat sesuwuk dari daun pandan berduri diolesi juga dengan
kapur sirih berbentuk Tampak Dara, diletakkan pada setiap bangunan, dan ditempat
tidur, besoknya pagi-pagi, sesuwuk itu dikumpulkan kembali serta diikat dengan benang
Tri Datu, dibuang ke Lebuh disertakan dengan satu tanding segehan, dan waktu
membuangnya mengucapkan mantra penolak serba macam penyakit dan penyebab
kekotoran.
Dari petunjuk isi lontar diatas, memberikan suatu pengertian Agama
bahwa, kekuatan Panca Maha Bhuta pada hari Jumat. Wage Wuku Wayang, umat Hindu
telah melaksanakan upacara penetralisir (nyomya) kekuatan tersebut, baik yang ada di
bhuwana Agung maupun yang ada di Bhuwana Alit, dengan memasang sesuwuk pada
setiap bangunan, dan mengoleskan kapur sirih pada ulu hati, berbentuk tampak dara. Oleh
karena itu, penulis mencoba untuk memberikan penjelasan tentang simbul-simbul yang
ada pada pelaksanaan upacara hari Kala Paksa tersebut antara lain:
66
*Mempergunakan sarana daun pandan berduri, adalah sebaga simbul kekuatan Kala, serta
dioles dengan kapur sirih, sebaga simbul kekuatan Dharma, mengoles dengan bentuk
Tampak Dara sebagai simbul kekuatan dari Swastika untuk mengembalikan kekuatan.
"Adharma", menuju "Dharma".
*Daun pandan tersebut dikumpul menjadi satu, kemudian diikat dengan benang Tri Datu,
dialas dengan sebuah sidi adalah sebagai simbul. permohonan kehadapan Sang Hyang
Widhi, agar dianugrahkan kesidhian (sebuah sidi). Sabda, Bayu. Idep (benang Tri Datu),
dan memiliki kekuatan "Religiomagis", dalam hal mengembalikan kekuatan Kala
tersebut, kesumbernya semula, agar menjadi kekuatan Kala Hita, untuk bisa memberikan
kesejahteraan alam Semesta beserta isi Alamnya. Tujuan membuang sesuwuk tersebut ke
Lebuh, adalah mengandung makna, bahwa Lebuh adalah sebagai simbul "Nistaning
Mandhala", serta menjadi simbul dari "Sapta Ptala", karena sorganya Kala adalah di
Sapta Petala.
Tatacara Upacaranya
*Sarana Sesuwuk
-Daun pandan berduri, dipotong-potong yang panjangnya 5 cm. dioles dengan kapur sirih
berbentuk Tampak Dara, yang jumlahnya membuat tergantung dari banyak bangunan
suci dar rumah.
-Daun pandan tersebut dialas dengan sebuah sidi, serta diisi juga sebuah takir berisi kapur
sirih, dan benang Tri Datu sepanjang dua jengkal, berisi canang sari.
-Didalam sidi diisi sebuah takir lagi berisi Tri Ketuka ( mesui kesuna. jangu yang telah
digerus.
67
Tatacara Pelaksanaanya
Pada hari Kala Paksa pagi narinya. umat Hindustan datang ke pemerajan
untuk menghaturkan banten pejati, memohon kehadapan Sang Hyang Siwa Guru, agar
dianugrahkan kekuatan agar mumpu menetralisir kekuatan Kala pada hari itu melalui
pelaksanaan upacaranya berdasarkan "Sradha dan Bhaktinya".
Sesontengnya:
Nastuti Pukulun Paduka Bethara, Sang Hyang Siwa Raditya, Sang Hyang Wulan Lintang
Tranggana, sang Hyang Tri Purusa, Mekadi Bethara Hyang Guru, Hyang Kawitan,
Hyang Kamimitan Mekabehan, Saksinan Pangubhaktin Pinakengulun Ring Mercapada.
Angaturaken Tadah Saji Pawitra Seprekaraning Daksina, Pinakengulun Angidep
Amelaku Angelukat Sarwa Lara, Roga Wignaning Bhuwana Agung Bhuwana Alit, Asung
Bethara Tinugerahan Tirtha Pengelukatan, Angelukat Sarwa Lara, Roga Wigna Ring
Bhawana Agung, Lan Bhuwana Alit, Matemahan Sudha Trepti Paripurna, Ong
Sryambhawantu, Sukambhawantu, Purnambhawantu Namah Suaha.
Upakaranya
Upakara Mungah di kemulan Rong Tengah
-Banten pejati asoroh
-Canang pesucian
-Upakara yang munggah pada kemulan rong kanan dan kiri. cukup dengan banten soda
saja.
68
Upakara Ayaban
-Banten ayaban senistane tumpeng 5 bungkul
-Sesayut tumpeng Agung
-Buah-buahan satu tamas
-Canang pesucian, penyeneng.
Kalau memiliki kesenian wayang, upakaranya ditambah dengan:
-Banten pejati, suci alit asoroh
-Rayunan pemijian warna brumbun, lengkap dengan rerasmen, meulam olahan ayam
brumbun
-Banten prayascita, bayekawonan.
Tatacara Pelaksanaannya
Menjelang Fajar, umat Hindu sudah mengambil sesuwuk yang dipasang
pada hari kemarin, serta dikumpulkan menjadi satu, diikat dengan benang tri datu,
kemudian dihaturkan dilebuh, disertai dengan segehan seliwah satu tanding, api dakep
atau asep, kemudian ayahang. perciki dengan tirtha. tetabuhan arak berem. dan
semburkan dengan mesui, kesuna jangu. Kemudian umat Hindhu menata upakaranya, dan
sang penganteb menyiapkan diri. Selanjutnya sang penganteb mengucapkan mantra
pengastawa antara lain:
* Kehadapan sang Hyang Siwa Raditya.
* Kehadapan Bethara Hyang Guru
*Kehadapan Sang Hyang Maheswara
Pelaksanaan selanjutnya sama dengan pelaksanaan pada hari tumpek yang
lainnya.
Hari suci Wuku Watugunung ini, didasarkan oleh suatu Epos dan Ethos.
sehingga dapat mempersonifikasikan suatu karakter yang keras, didukung juga dengan
kesaktian yang dimiliki. Dikisahkan Sang Watugunung adalah seorang anak dari kerajaan
69
Sinta, yang rajanya bernama Dewi Sinta, pada suatu hari karena saking nakalnya Sang
Watugunung, mengakibatkan Ibunya marah dan dipukulah kepalanya Kemudian Sang
Watugunung minggat dari rumah, menuju ke Gunung. setelah beberapa tahun, maka
turunlah Bethara Brahma memberikan panugrahan kesaktian kepadanya.
Diceritakan dimudian hari Sang Watugunung membuat kerajaan yang
bernama kerajaan Watugunung, dan dengan kesaktiannya itulah Sang Watugunung mulai
menaklukkan kerajaan kerajaan lainnya seperti, Kerajaan Landep, Ukir, Kulantir, sampai
dua puluh sembilan kerajaan termasuk kerajaan Sinta. Karena sama-sama tidak
mengetahui diantara Ibu dan anak, maka diambilah Sang Dewi Sinta sebagai istri oleh
Sang Watugunung Lama-kelamaan Dewi Sinta mengetahui bahwa, suaminya itu adalah
anaknya sendiri, tercenganglah hatinya Dewi Sinta, kemudian Dewi Sinta membuat daya
upaya agar bisa berpisah dengan anaknya maka Dewi Sinta mengaku telah mengalami
proses ngidam, dan yang diidamkan adalah, agar Sang Watugunung mau melamar istri
Bethara Wisnu, serta menyuntingnya sebagai istri Sang Watugunung. Tidak lama
kemudian Sang Watugunung pergi ke Wisnu Loka, untuk memohon kehadapan Bethara
Wisnu agar diperkenankan menyunting istri beliau dengan ulasan bahwa istrinya, yakni
Dewi Sinta sedang ngidam dan mengidamkan istri Bethara Wisnu sebagai madunya.
Akhimya Bethara Wisnu menjadi murka, maka terjadilah peperangan yang hebat antara
Sang Watugunung dengan Bethara Wisnu, kelihatan dalam peperangan tersebut tidak ada
yang kalah sama-sama saktinya. Kemudian Bethara Wisnu memohon petunjuk kepada
Begawan Sukra, bagaimana cara mengalahkan Sang Watugunung oleh karena demikian.
Begawan Sukra mengutus muridnya yang bernama Begawan Lumanglang, untuk
mengintai percakapan Sang Watugunung dengan istrinyamang siapa yang dapat
mengalahkan dirinya. Selanjutnya Begawar. Lumanglang melaksanakan tugasnya,
dengan merubah dirinya menjadi seekor laba laba. Akhimya Begawan Lumanglang
mendapatkan rahasia kelemahan Sang Watugunung bahwa, dia dapat dikalahkan oleh
kekuatan Wisnu dengan bentuk seekor, "Kurma", (sebangsa penyu). Dengan demikian
datanglah Begawan Lumanglang kehadapan Bethara Wisnu untuk melaporkan hasil
intaiannya. Akhimya Bethara Wisnu menantang lagi Sang Watugunung untuk berperang
lagi, dan dikisahkan dalam peperangan tersebut Rethara Wisnu berubah menjadi scekor
Kurma, maka rubuhlah Sang Watugunung dan jatuh ke bumi pada hari Minggu - Keliwon
70
- Wuku Watugunung, disebutlah hari "Watugunung Runtuh" atau Kajeng Keliwon
pemelas tali. Sang Watugunung mengaku kalah kepada Bethara Wisnu, dan dia memohon
kehadapan Bethara Wisnu bahwa, kalau dia jatuh ditengah samudra, mohon diberikan
matahari terik, agar dia tidak kedinginan, dan bila dia jatuh didaratan, mohon diberikan
hujan agar, dia tidak kepanasan. Berdasarkan isi Epos tersebut maka, para orang tua sejak
dahulu kala, memberikan pengetahuan Agama, melalui pemberitahuan bahwa, kalau pada
Wuku Watugunung tidak ada hujan berarti. Sang Watugunung jatuh ditengah Samudra,
demikian sebaliknya.
Pada keesokan harinya, yaitu pada hari Senin-Umanis Wuku Watugunung,
disebut hari "Candung Watang", karena Sang Watugunung meninggal dunia pada hari itu,
besoknya pada hari Selasa - Pahing - Wuku Watugunung, mayat Sang Watugunung
diseret-seret. sehingga disebutlah pada hari itu hari. "Paid-Paidan". Keesokan harinya
pada hari Rabu-Pon-Wuku Watugunung, Sang Watugunung siuman (sadarkan diri)
kemudian dilihat hidup oleh Bethara Wisnu. Sang Watugunung dibunuh kembali, maka
hari itu disebut hari. "Budha Urip" atau "Urip Akejep". Melihat dari keadaan demikian
maka, Sang Sapta Rsi merasa kasihan kepada Sang Watugunung, dan Beliau kompromi
untuk menghidupkan lagi Sang Watugunung, secara bergantian Beliau menghidupkan
(nguripang).dan bagian yang pertama adalah Begawan Redite. menghidupkan dengan
cara mengucapkan japa mantranya sampai lima kali, baru hidup. Setelah hidup. lagi
dibunuh oleh Bethara Wisnu, selanjutnya Begawan Soma menghidupkan dengan
mengucapkan mantra sampai empat kali baru hidup. dibunuh lagi oleh Bethara Wisnu,
kemudian Begawan Anggara menghidupkan dengan ucapan mantra tiga kali, dibunuh
lagi, selanjutnya Begawan Budha yang menghidupkan dengan ucapan mantra sebanyak
tujuh kali, dibunuh lagi oleh Bethara Wisnu, akhimya datang Begawan Wrespati untuk
mengucapkan mantra pengurip sebanyak delapan kali. dibunuh juga oleh Bethara Wisnu.
Yang terakhir datanglah Begawan Sukra menghadap kehadapan Bethara Wisnu serta
memohon kepada Beliau agar Beliau tidak melakukan perbuatan "Himsa Karma", karena
Beliau adalah seorang Dewa, harus mau mengampuni dan tetap memberikan sina velas
asihnya kepada semua insan di Alam Semesta ini. Atas nasehat Begawan Sukra demikian,
maka Bethara Wisnu menyadari bahwa manusia memiliki kemampuan yang terbatas.
oleh karena itu dianugrahkanlah Begawan Sukra untuk menghidupkan Sang Watugunung
71
selamanya, kemudian Begawan Sukera mengucapkan mantra pengurip sebanyak enam
kali. maka hiduplah kembali Sang Watugunung, dan hari itu disebut dengan "Urip
Kulantas", jatuh pada hari. Kamis-Wage-Wuku Watugunung. Dari saat itulah
kesombongan Sang Watugunung mulai pudar, serta mulai bertobat pada dirinya untuk
selama-lamanya. Pada keesokan harinya, pada hari Jumat-Keliwon-Wuku Watugunung,
Sang Watugunung mulai menyucikan diri. melaksanakan Tapa, Brata, Yoga, Samadhi,
untuk memohon pengampunan, dan memohon kepradnyanan kehadapan Sung Hyang
Widhi serta hari itu disebut dengan, "Pengeredanan". Karena teguhnya Sang Watugunung
melaksanakan Tapa bratanya. maka keesokan harinya yaitu pada hari. Sabtu-Umanis-
Wuku Watugunung, dianugrahkan Ilmu pengetahuan oleh Sang Hyang Widhi. maka pada
hari itu disebut dengan. "Hari Suci Saraswati".
Kata Saraswati berasal dari suku kata "Sara-Su-Wati", sedangkan suku
kata Sara dapat diartikan Panah, dan kata panah berasal dari kata "Bana", kemudian
menjadi kata "Banah" yang dapat diberikan arti. "Ketajaman Adnyana", atau Kecerdasan
(Kamus 3ali-Kawi), menurut kamus perubahan bunyi, "pbw". Sedangkan uku kata Su.
mengandung maksud "Luwih", dan Wati, dapat Hartikan "Ayu". Dengan demikian makna
dari hari Saraswati adalah. Amoliha Kepradnyanan Sane Mautama, Pacang Anggen
gemolihang kasukerthan". Maksudnya, dengan dianugrahkan ecerdasan oleh Sang Hyang
Widhi, maka manusia tersebut akan ampu menolong dirinya sendiri. dari lembah
kesengsaraan serta erwawasan kebijaksanaan sehingga mampu memilah-milah mana
yang enar dan tidak benar, diantara kebajikan dan keburukan. Oleh rena itu, pada
pelaksanaan hari suci Saraswati adalah merupakan uri untuk memohon kepradnyanan
kehadapan Sang Ilyang Widhi. ar nantinya bisa melewati samudra kesengsarannya,
mencapai Moksrtham Jagadhita Ya' Ca Iti Dharmah, Dan Moksrtham manam".
a. Upakaranya
72
Upakara pada Lontar/Buku
*Soda putih kuning
*Banten Saraswati
*Canang Pesucian
Upakara ayaban
*Banten pejati asoroh, suci alit
*Banten ayaban senistane tumpeng 7 bungkul
*Sesayut amertha Dewa
*Sesayut puspa Dewa
*Sesayut pebersihan
*Sesayut Pasupati
*Sesayut Yoga Sidhi
*Banten prayascita, bayekawonan, rantasan warna merah, pesucian
*Segehan nasi abang 9 tanding
b. Tatacara Pelaksanaannya
"Menata upakaranya, dan Sang penganteb menyiapkan diri * Sang penganteb,
mengucapkan mantra penyucian upakara.
Mantra;
Ong, Jala Sidhi Maha Sakti
Sarwa Sidhi Maha Tirtha,
Siwa Tirtha Manggalaya
Sarwa Papa Winasanam,
Ong Sriyambhawantu,
Sukam Bhawantu,
Purnambhawantu Namah Suaha
73
Mantra:
*Ang, Ung, Mang, Ong, Yang, Saraswati Parama Sidhi Yenamah Suaha
*Ang, Ung, Mang, Sang Hyang Guru Reka Yenamah Suaha
* Ang, Ung, Mang, Ang, Ah, Sang Hyang Kawiswara Yenamah Suaha
Senonteng:
Nastuti pukulun, paduka bethara Sang Hyang Siwa Raditya, Sang Hyang Wulan Lintang
Tranggana, meraga Sang Hyang Trio Daşa Saksi, Sang Hyang Siwa Guru, mekadi Sang
Hyang Saraswati, Sang Hyang Guru Reka, Sang Hyang Kawiswara..... saksinin
pengubhaktin pinakengulun, angaturaken tadah saji pawitra, saprekaraning daksina,
anyenengana de paduka Bethara Kinabehan, pinakengulun amelaku padiyusan, alelenga
areresiki, akekampuh, srede paduka Bethara ayogani atur pinakengulun, akedik ipun
angaturaken agung ipun amelaku, mangda tan keneng cakra bhawa tulah pamidi de
paduka Bethara, angraris paduka Bethara angayapsari, anyumput sari, angisepi sarining
yadnya, den wus tinekapana, dena sredah paduka Bethara anugerahi Amertha
kepradnyanan ring manusanira manut ring karman ipun. Ong Sidhi Rastu Tatastu Astu
Namah Suaha
74
Oleh karena itu, untuk menghilangkan rasa kantuk umat Hindu membuat
kegiatan keagamaan seperti, mengadakan dharma tula, membaca kitab kekawin
kekidungan. (medharma santi), melaksanakan dharma wacana. Setelah menginjak pk.
2.00 dini hari, umat Hindu sudah mulai mempersiapkan diri untuk melaksanakan
persembahyangan serta melaksanakan yoga samadhi sampai selesai. Sesudah itu
memohon tirtha amertha kepradnyanan, sampai selesai memakai wija, selanjutnya
nyurud ayu (ngayab banten tersebut).
Keesokan harinya, pada hari. Minggu - Pahing - Wuku Sinta. secara tattwa
dan etika agama, memendak amertha yang dianugrahkan oleh Sang Hyang Saraswati,
yang berada ditengah Samudra disebutkan dengan. "Amertha Kamandalu". Oleh karena
itulah umat Hindu herduyun-duyun datang ke laut untuk memohon amertha tersebut
Pengertian dan persepsi dari umat Hindu banyak belum memahami tentang etika
memohonnya, berupa tatanan pelaksanaannya, dianggap baru datang ke laut dan mandi,
sudah melaksanakan "Mebanyu. Pinaruh". Sesungguhnya dalam pelaksanaan tersebut
memiliki etika seperti berikut:
*Pada waktu kita datang ke laut dengan berpakaian lengkap. sambil membawa upakara
senistanya membawa canang sari. segehan, dan persiapan sembahyang. Setibanya
ditepi laut menghaturkan canang dan segehan kehadapan Sang Hyang' Sapta Segara".
memohon pengelukatan serta memohon amertha kamandalu. selanjutnya baru
membuka pakaian dan mandi serta keramas
*Sesudah selesai mandi. datang ke sebuah pura yang ada hubungannya dengan
manifestasi Sang Hyang Widhi di laut. disana lagi mengaturkan banten, dan
melaksanakan persembahyangan dengan permohonan kehadapan "Sang Hyang Siwa
Baruna". Upacara Banyu Pinaruh mengandung makna yang sangat tinggi untuk
kepentingan kehidupan umat di Dunia. Oleh karena itu melaksanakan upacara Banyu
Pinaruh. diharapkan jangan asal-asalan harus diketahui lebih dahulu tentang besarnya
nilai Religiomagisnya pada hari tersebut. Pelaksanaan upacara banyu pinaruh ke laut
atau ke sebuah danau, sungai adalah pada dauh "Amertha" atau dauh "Biomantra",
sekitar pk. 4.00 pagi, karena pada jam itu air masih mengandung kekuatan magisnya
(Bio), karena begitu matahari bersinar kekuatan airnya telah tersadap oleh matahari.
Makna Banyu Pinaruh dapat penulis jelaskan sebagai berikut kata Banyu, mengandung
75
maksud adalah. "Air" dan air dalam pengertian Agama adalah. "Tirtha.". Sedangkan
tirtha sehubungan dengan kehidupan di dunia, memiliki pengertian sebagai "Amertha".
Kata Pinaruh, berasal dari kata Pinih". dan "Weruh", sedangkan kata pinih dapat
diberikan arti "Utama". dan Weruh artinya, "Cerdas" (pradnyan). Dengan demikian
kata Banyu pinaruh mengandung makna dan pengertian, memohon tirtha sebagai
kekuatan Amertha Kepradnyanan (Kecerdasan).
*Setelah datang dari laut. umat I lindu membuat air kumkuman (air kembang), dan
kemudian menyirami kepala dengan air kumkuman. hal itu mengandung tujuan agar
hati sanubarinya tetap dalam keadaan harum dan damai.
*Selanjutnya umat Hindu, menghaturkan rayunan yasa. pada setiap pelinggih, hal
tersebut mengandung tujuan sebagai bahasa isyarat bahwa umat memohon kehadapan
Sang Hyang Saraswati, agar Beliau menganugrahkan kepradnyanan, sesuai dengan
kerthi yasanya masing-masing.
Setelah menghaturkan rayunan yasa, umat Hindu lagi metirtha. sampai selesai
memakai wija dan selanjutnya membuat loloh (jamu) yang bahannya terdiri dari :
*Segenggam beras galih/beras yang utuh/tidak pecah
*Gamongan, 7 iris
*Garam secukupnya
*Air kumkuman kayu cendana
Pembuatan loloh ini memiliki makna dan tujuan sebagai sarana peleburan
segala kekotoran bathiniah (leteh). Sebelum loloh itu diminum, dimohonkan dahulu
kehadapan Sang Hyang Siwa Guru, secara atmanastuti (mohon dalam hati atau dengan
mengucapkan mantra sebagai berikut:
Ong... Jang Jiwa Sudha Spatika Yenamah Ang... Ah.. Amertha Kamandalu
Yenamah suaha
Yenamah Suaha
76
*Setelah selesai metirtha dan meminum inloh tersebut yang terakhir adalah nyurud ayu,
atau makan nasi yasa. Dengan selesainya makan nasi yasa, selesai sudah pelaksanaan
upacara Saraswati
Hari suci Soma Ribek. jatuh pada hari "Soma - Pon-Wuku Sinta". Pada
hari itu Sang Hyang Widhi menganugrahkan amertha ke dunia melalui swabhawaNya
sebagai "Dewi Sri". Pada hari itulah Dewi Sri menganugrahkan amertha "Tri Upa Boga",
yaitu berupa amertha pangan kinum (Boga), amertha berupa sandang (Upa Boga) dan
amertha berupa papan (Pari Boga), kepada semua makhluk di dunia, khususnya kepada
manusia agar bisa berkembang, mampu membangkitkan cipta, rasa, karsa dan karyanya
di dunia ini sehingga tercipta adanya budaya. Mengenai makna yang terkandung didalam
hari suci Soma Ribek, penulis mencoba untuk memberikan penjelasan seperti dibawah ini
Hari Soma dengan Dewanya Sang Hyang Wisnu, perwujudannya sebagaia
Lldaka (air) menjadi "Amertha Pawitra" sedangkan hari pon dengan Dewanya Sang
Hyang Mahadewa, sebagai perwujudan Apah (Merutha) menjadi "amertha Kundalini",
dan Wuku Sinta dengan Dewanya Sang Hyang Yama, sebagai perwujudan dan Agni (api)
menjadi "amertha Kamandalu". Dari ketiga amertha itulah dibutuhkan oleh kehidupan
semua makhluk di dunia khusunya manusia, hanya dalam pelaksanaan upacaranya
khususnya di Bali mempergunakan beras sebagai simbul Amertha, sehingga pada hari itu
disebut dengan hari "Penegdegan Dewi Sri". Oleh karena itu pada hari suci Soma Ribek
umat Hindu melaksanakan upacara piodalan beras.
Tatacara Upacaranya
77
-Canang pesucian
*Upakara ayaban
-Sesayut pebersihan
78
Urutan selanjutnya sama seperti yang lain, sampai selesai metirtha memakai wija, dan
terakhir ngayab
9. HARI SUCI SABUH MAS
Hari suci Sabuh Mas, datangnya setiap enam bulan sekali patnya jatuh
pada hari, Selasa-Wage-Wuku Sintu, atau schari sesudah hari suci soma ribek. Mengenai
pelaksanaan upacara hari suci Sabuh Mas telah dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali,
namun mengenai makna dan tujuannya banyak umat belum memahami sen benar
Kenyataan di masyarakat Hindu, tentang pelaksanaan upacara Sabuh Mas
mempergunakan sarana emas sebagai simbulisasi, sehingga persepsi dari kalangan umat
Hindu bahwa pada hari Sabuh Mas adalah hari pawetonan emas. Sesungguhnya tidak
demikian, tetapi hari suci Sabuh Emas adalah merupakan hari turunnya sinar suci Sang
Hyang Widhi dengan manifestasiNya sebagai "Sang Hyang Rudra", untuk
menganugrahkan "kekuatan Kewibawaan atau Kharisma". kepada semua makhluk di
dunia khususnya kepada manusia, hanya mempergunakan emas (sarwa mule) sebagai
simbulnya, bukan berarti bahwa umat Hindu memohon kehadapan Sang Hyang Widhi,
agar dianugerahkan barang emas sebanyak-banyaknya
Kata Sabuh berasal dari kata "Tabuh" yang dapat diberikan arti "Turun",
atau "Anugerah", sedangkan Kata "Mes" berasal dari kata. Maskwindeng" yang artinya
"Kewibawaan". Dengan demikian manusia hidup di dunia, perlu memiliki kewibawaan
atau kharisma, terutama sebagai memimpin agar mampu memimpin din pribadinya.
memimpin keluarga masyarakat dan bangsanya.
Tatacara Upacaranya
-Banten danan
79
-Banten tumpeng kudrang (orange), dengan sampian tumpeng meulam ayam biying
kuning/putih siungan betutu
-Canang pesucian
*Ditempat Emas:
-Canang pesucian
-Banten danan
*Upakara ayaban
-Pejati asoroh
*Sebuah tumpeng gede wama abang, dengan alasnya sebuah tamas, berisi raka-raka,
tebu, pisang udang, tumpengnya memakai pekir trikona ditancapkan sebuah kwangen,
sampian naga sari, berisi tape. porosan, canang
80
10. HARI SUCI NYEPI
81
mengumpulkan para Maha Resi untuk mempelajan situasi tersebut, serta bagaimana cara
penanggulangannya. Akhirnya para Maha Rsi mendapat suatu kesimpulan bahwa, situasi
tersebut akan memberi pengaruh buruk terhadap Bumi maka Maha Resi membuat suatu
pelaksanaan ritual, sebagai penetralisir keadaan. disamping, disamping itu para Maha
Resi mengucapkan mantra mantranya, memohon kehadapan Sang Hyang Widhi agar
dianugrahkan kedamaian di jagat raya ini. Pelaksanaan hari suci Nyepi di Bali memiliki
runtutan hari-hari suci sebelum pelaksanaan upacara hari Nyepi yaitu
1. Hari Suci Memben
Mengenai pelaksanan upacara Memben, dilaksanakan empat hari sebelum
hari suci Nyepi, tepat jatuhnya pada hari "Panglong 12, bulan Caitra" (sasih kesanga)".
Pada hari ini para pemangku pura kahyangan tiga, pemangku pura Swagina, pemangku
pura-pura dadia, bersama dengan masyarakat desa pakeraman berkemas-kemas untuk
membersihkan arca-arca, pretima-pretima kemudian disucikan (ngiyas) pretimanya
masing-masing, kemudian digusung dan distanakan di pura Desa yaitu di Bale Agung,
kemudian menghaturkan upacara berupa ay aban serta kerama desa mengaturkan
sembah bhaktinya.
2. Hari Suci Melis/Melasthi/Mikiyis
Keesokan harinya sesudah hari Memben. yaitu pada hari "Panglong 13,
Bulan Caitra "(sasih kesanga) pada jam tertentu, dipimpin oleh Bendesa Desa
pekeraman, arca-arca, pretima-pretima tersebut digusung ke segara, atau ke danau atau
ke salah satu sungai untuk disucikan diikuti oleh semua lapisan umat Hindu yang berada
pada Desa pekeraman tersebut, dengan membawa upakara tertentu baik untuk keperluan
pretimanya maupun untuk keperluan pribadi umat Hindu masing-masing Sesudah
sampai di Segara, pretima-pretima atau arca-arca. distanakan ditep. laut (pantai) dengan
posisi. Muka" (Anungswari). Tetapi kenyataannya di masyarakat memposisikan letak
pretima sering menjadi pergunjingan antara pret menghadap ke segara atau menghadap
daratan. Hal ini harus be betul dipahami oleh para Bendesa dan pemangku-pemangku.
tent etika (dewa sesana) dan tattwanya sesuai dengan petunjuk s agama. Sesungguhnya
menurut petunjuk sastra agama, posisi le dari pretima adalah kearah menghadap ke
segara, atau berhada hadapan dengan sanggah surya. Adapaun tujuan dari pos
menghadap ke segara, adalah memiliki tujuan sekala niskala yaitu
82
Tujuan Sekala
Secara logika dengan akal yang sehat, bahwa pretima terseb dibuat dari
kayu, sudah sepatutnya memerlukan pemeliharaan yan baik agar kayunya tidak cepat
rapuh, karena dimakan serangga raya sehingga perlu dihadapkan ke segara karena pada
siang hari berhemb angin darat dan angin tersebut mengandung zat garam. Denga
hembusan angin yang mengandung zat garam kehadapan pretima seca tepat sasaran
maka kekuatan kayu tersebut akan makin bertambal begitu pula rayapnya akan mati
akibat kena zat garam tersebut. Ole karena itulah pretima diletakkan pada posisi
mengadap ke Segara
Tujuan Niskala
83
sastra Agama, Bethara tidak perlu disucikan karens, Bethara sudak memiliki sifat yang
Maha Suci sep yang patut disucikan adalah "pretimanya" agar kesakralannya tetap ad
terjaga Dan yang lebih penting dari itu adalah kesadaran urnat atas dirinya yang memiliki
kewajiban untuk menyucikan diri pada hari itu walaupun tidak ada pretima, karena
kewajiban tersebut adalah merupakan kepentingan dari diri pribadi belum dipahami,
maka para pendahulu kita memiliki cara untuk mendidik umatnya yaitu dengan
mempergunakan pretima sebagai alat pemersatu dan sebagai alat pendidikan umar Hindu
dalam hal meningkatkan penyucian dirinya Bethara melasti ke Segara".
Sehingga umat Hindu yang dapat ngiring Melasthi ke segara memiliki
pengertian bahwa Melasthi ke segara hanya ngiring Bethara bukan merasa berkewajiban
untuk kepentingan sendiri. Pengertian umat I lindu yang demikian dari sejak dahulu kala
hingga sekarang w akibat dari tidak pernah diungkapkan tentang makna dan tujuan yang
le sebenarnya Sesungguhnya memiliki makna dan tujuan yang la menyucikan diri atau
menyucikan "Dewa di Bhuwana Alit" (Dewe Diragu) Dengan cara memerintahkan
kerama untuk ngiring melasth melalui suara kukul, maka semua lapisan masyarakat
Hindu secara ca berduyun-duyun ngiring ke segara. Setelah sampai di segara kedisiplinan
etika agamanya dari umat seringkali sangat kurang, dengan nyata dapat dilihat sebagian
besar dari umat tidak menyiapkan diri terutama mengenai upakara yang harus dibawa,
atau tidak membawa perlengkapan untuk sembahyang Kadang kadang umat menjelang
akan sembahyang baru minta sunga kepada pemangku sehinggs pemangku memberikan
bunga canang yang sudah dihaturkan (sudan surudan) hal ini sebenarnya tidak boleh
dilakukan karena disebut dengan "Kelayuan", yang artinya, "Sembali Yang Mati".
disamping itu sudah jelas mengandung nilai karma yang tidak ikhlas. Oleh karena itu
penulis mengharapkan pada masa-masa mendatang agar umat Hindu mampu
meningkatkan jnananya melalui partisipasinya dengan hasil penulisan buku ini.
Semestinya umat Hindu yang melakasanakan upacara pemelastian ke
segara, membawa perlengkapan untuk sembahyang dan membawa seperangkat banten
sesayut. Setelah pretimanya datang dari segara, distanakan lagi di pura Bale Agung, dan
menghaturkan ayaban lagi. Kemudian umat Hindu pulang ke masing-masing rumah
untuk memercikkan tirtha segara pada pekarangan rumah dimulai dari pemerajan, ke
bangunan-bangunan rumah, dan terakhir ke lebuh, dengan etika pada saat memercikkan
84
tirtha itu berputar ke arah kiri, dengan tujuan mengelukatan segala leteh sebel yang ada di
bhuwana agung, tetapi memakai simbul pekarangan rumah. Pada sore harinya umat
Hindu lagi datang ke pura untuk menghaturkan banten Prani. Dari hasil peninjauan
penulis, hanyak lesa-desa yang keramanya menghaturkan banten perani di banjar uang-
suang, mungkin pelaksanaan tersebut berpatokan dengan desa resta dan loka dresta saja.
Semestinya menurut etika agama, banten. erani tersebut dihaturkan ke pura Bale Agung,
karena pretima, arca ca masih nyejer di Bale Agung. Dengan demikian sang berdesa ing
mengatur kerama datang ke pura, berdasarkan pembagian waktu cara bergilir mungkin
per banjar datang ke pura untuk mengaturkan nten peraninya. kenapa banten perani
dihaturkan ke Pura Bale Agung? irena, pada saat itu. Bethara-bethara semua yang
distanakan ingkungan desa pekraman, termasuk dewa Bale Banjar telah stana di pura
Bale Agung. atau dikatakan. "Bethara Turun beh" untuk dilingkungan desa pekraman.
karena itulah pelaksanaan upacara peperainannya di pusatkan di pura Bale Agung,
sehingga suasana di Pura Desa menjadi pus keramaian pada desa pekraman tersebut.
85
Maksudnya:
Dari isi sloka diatas, sudah jelas bahwa pelaksanaan upacar peperanian
adalah merupakan esensi dari petunjuk weda, denga demikian pelaksanaan upacara
peperanian yang telah dilaksany oleh umat Hindu dari sejak dahulu hingga sekara
berkesinambungan sudah benar sesuai dengan petunis atas baru.
Pada waktu hari Melasthi, dimasing-masing rumah bagi umat Hindu.
menghaturkan banten pejati pada pelinggih kemulan di rong tengah. dan dihaturkan
kehadapan Bethara Hyang Guru beserta Hyang Kawitan. Hyang Kamimitan, bahwa
umat akan melaksanakan upacara pemelastian ke segara, dan umat Hindu
bersembahyang dahulu di pemerajan sebelum pergi ke segara.
Pengertian mengenai kata Melis, Melasthi dan Mekiyis, adalah memiliki
pengertian yang hampir sama, hanya pelaksanaannya saja memiliki sedikit perbedaan,
tetapi merupakan pelaksanaan yang berintegrasi satu dengan yang lain:
*Upacara Melis
Upacara ini dilaksanakan pada saat baru berangkat dan sedang dalam
perjalanan menuju segara, seorang pemangku memercikkan tirtha mempergunakan
sarana Lis disepanjang perjalanan dan posisi berjalan pemangku ini paling hulu.
*Upacara Melasthi
86
Melasthi berasal dari suku kata, "Melas", yang artinya Menyucikan dan kata "Thi", yang
artinya, "Kotor" (leteh). Sesudah selesai pelaksananan upacaranya pada tahap pretima,
kemudian segenap umat Hindu yang ngiring, mempersiapkan diri untuk melaksanakan
persembahyangan, selanjutnya memohon tirtha kekuluh kehadapan Bethara Siwa
Baruna sampui selesai wiją. dan yang terakhir nyurud ayu, atau nyurud isi banten
pemakaian sesayut. pelaksanaan itulah yang disebut dengan upacara "Mekivis", Kata
mekiyis berasal dari suku kata, "Kiyis", yang dapat diartikan mewates tuntas. (kamus
Kawi - Bali). dengan demikian kata Mekiyis dapat diberikan arti. "Semua Penyucian
telah selesai secara tuntas" (suba diwates).
3. Upacara Mepiak
Keesokan harinya yaitu pada hari "panglong 14, bulan Caitra "(sasih
kesanga) disore harinya semua kerama menghaturkan persembahyangan, Sang
Pemangku melaksanakan upacara pecaruan ulit dan selanjutnya, semua pratima-pratima
digusung dari pura Bale Agung menuju ketempat puranya masing-masing.
* Diambil sebuah tempat yang disebut Dulang, diatas dulang diletakkan sebuah kapar dan
diatas kapar dialasi dengan ujung pelepah daun pisang kayu serta diatas daun pisang
dialasi dengan daun Sukasti (daun soka) dibentuk dan dijarit agar berbentuk bundar
yang tepinya menyesuaikan dengan bentuk kapar tadi.
* Kemudian pada tengah-tengah dulang, diisi dengan nasi berbentuk pangkonan (seperti
nasi rongan), selanjutnya disebelah kanan dari letak nasi tersebut dipasangkan takir
takir, dengan posisi letaknya setengah lingkaran mengelilingi nasi tersebut. Takir-takir
itu diisi dengan lauk-pauk yang hidup berasal dari air tawar, air laut, air danau, berasal
dari sawah. berasal dari hutan, seperti yang dicantumkan dalam ingkel (wariga)
umpama: sato mina, manu. (ulam sebhuwana). Sedangkan disebelah kiri dari nasi
tersebut disusun juga takir takir dengan posisi setengah lingkaran, sehingga tersambung
dengan setengah lingkaran yang ada disebelah kanan tadi, maka akan kelihatan
87
menyerupai sebuah lingkaran. Takir yang disebelah kiri tadi diisi dengan bermacam-
macam sayur mayur seperti sayur daun delungdung, sayur daun piduh, sayur daun
kacang, sayur daun canging, sayur buah kacang lentor. sayur daun bengkel, daun
kecarum sayur daun ketela, sayur daun dagdag (sarwameletik).
88
"EWAM BAHUDIHA YAJNA
WITAT BRAHMANO MUKE,
KARMAJAM WIDHI TAN SARWAM
MEWAM JNATWA WIMOKSEYASE".
Maksudnya:
Banyak dan beraneka warna persembahan yadnya, bukti dihaturkan kepada Brahma,
semuanya ini berasal dari kerja, mengetahui ini, engkau akan mencapai moksah.
Dari isi sloka diatas, sudah dapat memberikan suatu pengertian bahwa apa
yang dimakan oleh manusia khususnya umat Hindu, dipersembahkan terlebih dahulu
kehadapan Sang Pencipta baik bersifat Nimita Karma maupun bersifat Nimitika Karma,
agar manusia tidak tergolong sebagai pencuri atau terlepas dari perbuatan dosa. Oleh
karena itu. melaksanakan upacara peperanian, sebaiknya langsung ke pura Bale Agung
karena pratima - pratima masih distanakan disana. Dengan demikian pelaksanaannya
lebih mendekati dengan tujuan ajaran weda (etika Agama)
4. Upacara Pengerupukan
Sehari sesudah hari mepiak, disebut dengan hari "Pengerupukan", jatuhnya
pada hari "panglong, 15 bertepatan dengan hari Tilem (bulan mati) pada bulan Caitra
"(sasih Kesanga). Pada hari itu, diseluruh Bali masyarakat Hindu melaksanakan upacara
penetralisiran (penyomia) kekuatan-kekuatan yang bersifat keburukan, melalui
pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya. sesuai dengan wilayah masing-masing seperti. untuk
wilayah Bali mengadakan upacara pecaruan "Tawur Kesanga", yang pelaksanaannya
dipusatkan di pura Besakih, demikian juga upacara pecaruan lawur Kesanga untuk daerah
kabupaten-kabupaten, tidak lepas juga pada daerah kecamatan-kecamatan. setiap Desa
pekeraman, melaksanakan upacara pecaruan dengan upakara caru "Panca Sata", dengan
pelaksanaannya dipusatkan pada perempatan jalan ("Catus Pata"), demikian juga pada
tiap-tiap wayan Barjer melaksanakan pecaruan dengan upakara caru "ayam brumbun".
sampai ke rumah-rumah seluruh penduduk Hindu.
Sesuai dengan penjelasan didepan, mengenai terjadinya gerhana matahari
total jatuhnya pada bulan mati (tilem) gerhana tersebut memiliki pengaruh yang kurang
89
baik terhadap Bumi, sehingga kita (umat Hindu) perlu mengantisipasi hal tersebut,
dengan cara melaksanakan upacara Bhuta Yadnya dari ukuran terkecil berupa segehan
sampai berbentuk upakara Tawur Kesanga, sebagai penetralisirnya agar tetap
terpeliharanya keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara bhuwana agung dengan
bhuwana alit, atau antara seisi alam, khsusnya manusia dengan alamnya.
Tatacara Upacaranya
* Upakaranya
Tatacara Pelaksanaannya
* Pada hari pengerupukan tersebut, sekitar pk. 17.30 (dauh bhuta/sandhi kawon), segenap
umat Hindu menghaturkan banten pejati pada pelinggih Kemulan, dan meletakkan
segehan sasah 108 tanding beserta segehan Agung di halamay pemerajan (1 ontar
Sundharigama), kemudian langsung menyiapkan diri untuk menghaturkannya antara
lain:
* Mengucapkan pengastawa kehadapan
-Sang Hyang Siwa Raditya
-Sang Hyang Guru Kemulan
90
- Sang Hyang Ibu Pertiwi
Sesonteng:
Ong, Na, Ma, Si, Wa, Ya, Pukulun Paduka Sang Hyang Siwa Raditya, Sang Hyang
Wulan Lintang Tranggana, Meraga Sang Hyang Triodasa Saksi, Bethara Hyang Guru,
Sang Hyang Ibu Pertiwi, Saksinin Pangubhakti Penakengulun, Angaturaken Tadah Saji
Pawitra, Saprekaraning Daksina Pinakengulun Amelaku Yasa Kerthi Rahina
Pangerupukan, Aminta Sih De Paduka Bethara Kinabehan, Tirtha Pengelukatan nggen
Angelukat Schananing Gawening Prewatek Bhuta Kala Kabel, Mangda Kalukat Kelebur
De Paduka Bethara, Matemahan Trepti Paripurna, Ong, Sidhi Rastu Tatastu Astu
Namah Suaha.
Kemudian memantrai segehan sasah dan segehan agungnya seperti dibawah ini, Mantra:
Sa, Ba, Ta, A, I, Sarwa Bhuta Yenamah Suada, Ndah Ta Kita, Prawetek Sang Cikra
Bala, Kingkara Bali Sang Yaksa Bala, Sang Raksasa Bala, Maka Kala Wadwan Sira
Kabelt, Saksinan Ingsun Apaweha Sira Tadah Saji Ganjaran, Maka Saji Sege Sasah
108, Iwak Jejeron Mentah Muung Sege Agung, Ajakan Kala Wadwan Sira Kabel,
Mari Sira Mona, Iki Tadah Sajinnira, Sama Suka Sama Lolia Sira, Wus Sira Anadah
Saji, Ingsun Minta Kawisesan'ta, Aja Sira
Asilik Gawe, Paweha Jagat Muang Sanak Kulawarganku Kerahayuan, Urip Waras
Dirgayusa. Wus Sira Anadah Saji, Ngeraris Sira Amukti Sari, Aja Lupa Aji Lali Ring
Tutur-tutur Sang Hyang Dharma, Mantuk 'Ta Sira Alih Swargan'ta Suang-suang,
Pasang Sarga Ta Ring Bethara Siwa, Ong Ing Namah, Ang Ah, Amertha Bhuta
Yenamah Suada, Ang..... Ung. Mang.... Siwa Mertha Yenamah Suaha.
91
Mantra:
Sa, Ba, Ta,A, I, Sarwa Bhuta Yenamah Suada, Ndah Ta Kita, Sang Bhuta Raja, Sang
Kala Raja, Mari Sira Mona, Saksinan Ingsun Apweha Sira Tadah Saji Ganjaran,
Maka Sege Manca Warna Iwak Jejeron Mentah, Iki Tadah Sajinira, Wus Sira Anadah
Saji Ingsun Aminta kesidhian'ta, Aja Sira Angadakaken Sasab Mrana, Lara Roga
Kegeringan, Angadakaken Sira Trepti Paripurna Muang Kedirgayusan Ring Jagate
Muah Risanak Kulawarga, Ngeraris Sira Amukti Sari, Mantuk Sira Ring
Dangkahyangan Sira Suang-suang, Aja Lupa Aja Lali Sira Ring Tutur -tutur Sang
Hyang Dharma, Pasang Sarga Sira Ring Bethara Siwa, Ong, Ing Namah Ang, Ah,
Amertha Bhuta Yenamah Suada, Ang, Ung, Mang, Siwa Mertha Yenamah Suaha.
92
memiliki persepsi bahwa segala kegiatan harus disepikan (ditiadakan), tanpa memilah-
milah antara kegiatan tersebut, atau mungkin melihat dengan adanya Brata Amati
Geni, sehingga umat memiliki persepsi tidak perlu menghaturkan banten, karena tidak
boleh mempergunakan dupa. Sesungguhnya tidak demikian, dan hal itulah perlu
penulis ungkapkan melalui penulisan ini, untuk memberi penjelasan tentang makna
dari catur brata penyepian.
Brata amati geni, dipandang dari sudut sekala adalah memiliki makna untuk memelihara
kelestarian alam, antara lain untuk mengurangi polusi udara akibat dari kemajuan
teknologi seperti adanya prabrik-pabrik, adanya sarana transportasi darat, laut dan
udara, berakibat menumpuknya carbondioxyda dalam udaru sehingga dapat
mengakibatkan gangguan terhadap kesehatan bagi semua makhluk di dunia, terutama
manusia, demikian juga menurut para akhli fisika bahwa, carbondioxyda dapat merusak
lapisan "Ozon" sebagai akibat naiknya temperatur di Bumi.
93
*Dipandang dari sudut Psykhologi dan Ekonomi
Brata amati geni ini, dipandang dari sudut psykologi dan ekonomi
merupakan kesempatan yang bagus bagi manusia khususnya umat Hindu, karena
berguna untuk menghilangkan kejenuhan pikiran, akibat dari kesehariannya
disibukkan oleh tugas-tugas yang bersifat routine pula. kesempatan itu dapat membantu
masyarakat dan pemerintah didalam hal meningkatkan efisiensi, atau dapat menekan
anggaran belanja baik terhadap masyarakat. maupun terhadap pemerintah (diantaranya
biaya penerangan dapat ditelan).
Brata amati geni dipandang dari sudut ajaran agama. adalah untuk
menuntun umatnya agar mampu mengendalikan diri dan godaan kekuatan "Ahamkara",
khusunya terhadap sifat-sifat "Kroda". Pengendalian sifat kroda bukan diartikan hanya
pada pelaksanaan hari Nyepi saja, namun untuk selama hidup di dunia, hanya pada hari
Nyepi itu merupakan tonggak sebagai momentum untuk memperingati bagi segenap
umat Hindu Sebab sifat dari kroda itu bersumber dari kekuatan rajas tamas didalam diri
manusia dengan sebutan, "Sang Kala Drambo Maha"
Oleh karena itulah kekuatan dari Sang Kala Dramba moha perlu di somya
dengan kekuatan pengendalian dini serhadap segala nafsu, terutama nafsu kroda. Brata
amati geni disimbulkan dengan pemadaman lampu semalam suntuk sampai pagi, adalah
merupakan nilai budaya Hindu yang mengandung nilai-nilai pendidikan spiritual agama
Hindu dan patut ditaati serta dilestarikan sepanjang masa. Tetapi harus disimak secara
seksama tentang pemadaman api yang bersifat skola, harus juga perlu ada
kebijaksanaannya seperti adanya umat yang sakit, ada bayi, adanya umat yang berumur
tua renta Sedangkan penyalaan api untuk kepentingan weda seperti pelaksanaan upacara
pada hari Nyepi tetap boleh sampai butas sebelum matahari terbit. Demikianlah yang
dimakud dengan pelaksanaan brata panyepian Amati Genib.
94
Brata ini dimaksudkan adalah pada waktu hari Nyepi. tidak melaksanakan
kegiatan yang bersifat "Indriya" seperti makan minum secara berfoya-foya, tidak
bersenang-senang dengan jalan beramai-ramai membunyikan alat-alat musik karena
kekuatan indriya tersebut adalah merupakan kekuatan Kala yang disebut "Sang Kala
Katungkul". Maka dari itu kekuatan ini perlu disomya, pada hari Nyepi dengan cara
melaksanakan "Brata Puasa", bagi umat yang mampu mngendalikan diri, namun bagi
umat yang belum mampu boleh hanya melaksanakan brata makan saja (hanya makan
nasi dan garam saja, dengan istilah memutih).
c. Brata Amul Lelangan
Brata ini dimaksudkan, adalah pada waktu hari Nyepi. tidak boleh
berpergian, melainkan harus tetap tinggal di rumah sebagai pelaksanaan, "Tapa", penuh
dengan ketetapan pikiran kearah ajaran kebenaran, karena setiap langkah yang salah
(kayika mala paksa) disebabkan oleh adanya kekuatan kala yang disebut, Sang Kala
Ngadang. Oleh karena itulah kekuatan tersebut harus disomya dengan kekuatan
Tapanya umat Hindu.
d. Brata Amati Karya
Yang dimaksudkan dengan pelaksanaan Brata ini pada hari Nyepi, adalah
bukan berarti tidak ada kegiatan namun kerja yang tidak boleh dilakukan, seperti
bermain judi (Mis. main ceki, main domino. main tajen, dll), karena sifat-sifat judi
disebabkan oleh kekuatan Kala yang disebut. Sang Kala Wisaya. Oleh karena itu
kekuatan ini harus disomya (dinetralisir) dengan pengendalian pikiran, melalui cara
pemusatan pikiran atau melaksanakan, "Yoga Samadhi". Demikianlah pengertian dan
tata laksana dalam melaksanakan Brata Catur Brata Penyepian.
6. Hari Pengembak Geni
Keesokan harinya setelah hari Nyepi disebut dengan hari "Pengembak Geni",
jatuhnya pada hari, "penanggal kalih, sasth waisyaka "(sasih kedasa). Kata Pengembak
Geni yang dimaksudka adalah. "Membuka Puasa Nyepi dan Kembali Melaksanakan
Kegiatan-Kegiatan Duniawi". Pada hari ini umat Hindu kembali melaksanakan
kegiatannya seperti hari sebelumnya namun harus selalu ingat dengan nilai-nilai
kebenaran yang terkandung didalam hari Nyepi. serta hal tersebut dijadikan suatu
pedoman dalam berkarma pada hari hari selanjutnya, dan dengan catatan pada tahun-
95
tahun berikutnya. diharapkan semakin mampu meraih karma yang baik berdasarkan Tri
Kaya Parisudha Dengan tujuan seperti diatas maka, hari Nyepi menjadi pedoman
sebagai hari pergantian tahun Çaka.
Pelaksanaan heri suci Siwa Ratri, dilaksanakan pada kurun akru setahun
sekali, yakni datangnya hari "Panglong 14, Tilem akamp" (sasih Magha). Hari ini
diperingati sebagai hari permohonan mbaliekuatan pengendalian diri kehadapan Sang
Hyang Siwa, sehingga ada saat tersebut merupakan hari malam Siwa atau Siwa Ratri.
Menurut petunjuk dari isi sastra-sastra agama Hindu, hari Siwa ari adalah
merupakan pengaplikasian dari ajaran Weda yang bersifat ata karena pada
pelaksanaannya sungguh-sungguh tercermin adanya nilai ajaran "Samkhya Yoga",
sebagai tundament dari gelaksanaan hari Siwa Ratri untuk di ali tetap berdasarkan
Tiga Kerangka Agama Hindu. yaitu Tattawa. ka dan Upacara/Upakara. Mengenai
pengertian, makna dan tujuan an pelaksanaan hari Siwa Ratri adalah, untuk menuntun
spiritual umat indu, agar setiap saat mampu berintrospeksi diri sehingga dapat emacu
untuk meningkatkan pengendalian diri. Disamping itu dapat enggugah kesadaran
(Cetana) umat akan dirinya bahwa hidup di nia ini adalah berada dalam belenggu
kekuatan samsara, oleh karena semestinya manusia berusaha untuk menolong dirinya
sendiri agar ampu melepaskan diri dari belenggu tersebut. Salah satu cara adalah ngan
melaksanakan upacara hari Siwa Ratri secara benar sesuai ngan petunjuk sastra agama.
Selanjutnya mampu menerapkan nilai ai luhur yang terkandung kedalam pelaksanaan
Siwa Ratri, dalam ehidupan sehari-hari. Mengenai pengertian pelaksanaan hari Siwa
stri dikalangan umat Hindu, masih banyak memiliki pengertian thwa, dengan
melaksanakan hari Siwa Ratri, dalam kegiatan tsembahyang dan begadang pada
malam Siwa Ratri, dosanya akan lebur.
96
tersebut dihubungkan dengan tujuan akhir dari kehidupan petunjuk ajaran Agama
yaitu untuk mencapai "Moks Jagadhita Ya Ca Iti Dharmah, dan Moksrtham Atmanam
Pelaksanaan dari hari Siwa Ratri, khususnya untuk di Bali dilandas oleh beberapa
sastra agama, khusunya berdasarkan sastra agama yang bersifat Epos, yaitu Lubdhaka
Tattwa.
*Kekawin Labdhaka
Pada suatu hari, tepatnya pada hari panglong 14, Tilem Kapitu (bulan
Magha) pagi-pagi buta dia telah meninggalkan rumah pergi ke hutan untuk berburu,
itulah kegiatannya sehari-hari. Kebetulan pada hari itu kepergiannya ke hutan
mengalami kesialan karena tidak ada seekor binatang pun yang dilihatnya, tetapi Si
Lubdhaka tetap sabar menunggu dalam keadaan perut kosong. Saat menjelang senja
hari, belum juga ada seekor binatang pun yang nampak, maka muncul dalam
pikirannya Si Lubdhaka, kemungkinan binatang-binatang tersebut sedang mencari
tempat minum, dan karena mempunyai perkiraaan yang demikian, maka dia pun
berusaha menemukan sumber sumber air yang ada di hutan tersebut. Kemudian si
Lubdhaka menemukan sebuah telaga, dan kebetulan pada tepi telaga ada sebuah pohon
yang rimbun yang disebut dengan pohon Bila (Pohon Maja). Dibawah pohon itulah si
Labdhaka berteduh sambil menunggu binatang yang akan datang untuk minum air.
Namun harapannya tetap di saja kandas, ternyata tidak seekor binatang pun ada yang
datang untuk meminum air, sangat kecewa si Lubdhasu. Sang mentari pun telah
kelam, dan dijemputlah oleh kegelapan, tiada bisikan deringan sayap jangkrikpun
lenyap. suasana berganti menjadi sepi dan malam itu sangat mengerikan sehingga si
Lubdhaka tidak berani bermalam dibawah pohon karena takut disergap oleh harimau,
maka dia pun naik kepohon Bila tersebut, serta duduk pada dahan pohon yang
menjulur di atas telaga, dalam perhitungannya kalau jatuh tidak akan cedera. Untuk
97
menghilangkan kantuknya, maka si Lubdhaka memetik - metik daun Bila tersebut
satu-persatu lalu dijatuhkan kedalam telaga.
Setelah dalam perhitungan 108 kali menjatuhkan daun bilanya dan saat itu
tepat pada dauh "Yoga" (dauh penciptaan) dilihatlah olehnya sebuah lingga
bermunculan dari dalam telaga dalam waktu sekejap. Tidak lama lagi datanglah sang
fajar menyingsing. Si Lubdhaka turun dari pohon bila langsung pulang dengan tangan
hampa. Sesampainya si Lubdhaka di rumah hari sudah senja, dengan perut lapar
karena satu hari satu malam tidak sebutir nasipun dapat menyentuh perutnya,
kebetulan di rumahnya ada nasi kerak (entip), itulah yang dimakannya. Setelah
beberapa tahun berselang, maka si Lubdhaka jatuh sakit, dan sakitnya makin parah,
akhirnya si Lubdhaka meninggal dunia. Diceritakan setelah si Lubdhaka meninggal
dunia Sang Hyang Yamadipati telah mengetahui maka diperintahkanlah para
cikrabala, kingkarabala untuk menjemput rokhnya si Lubdhaka agar dibawa ke Yama
loka, untuk diadili serta dihukum sesuai dengan dosanya atas perbuatannya di dunia
semasih hidupnya, suka melakukan perbuatan "Himsa Karma. Demikian juga Sang
Hyang Siwa di Siwa loka juga telah mengetahui bahwa si Lubdhaka telah meninggal
dunia, diutuslah bala tentaranya "watek Gana", untuk menjemput okh si Lubdhaka
agar dibawa ke Siwa Loka. Setelah kedua kelompok utusan tersebut tiba ditempat rokh
sebe Lubdhaka.maka mereka saling berebut dan masing-masing m menunjukan
perintah dan tidak ada yang mau mengalah, ja maka terjadilah peperangan antara
laskar Sang Hyang Yama dengan laskar Sang Hyang Siwa, Akhirnya kalahan
laskarnya Sang Hyang Yamadipati, dan rohk si Lubdhaka chi diboyong ke Siwa Loka.
Setelah laskar Sang Hyang Yama sampai di Yama Loka, wa maka dilaporkan tentang
kejadian yang tadi kehadapan ula Sang Hyang Yama, serta kagetlah sang Hyang
Yamadipati sebe mendengar isi laporan tersebut, akhirnya Sang Hyang Yama an
datang ke Siwa Loka untuk menuntut dan menanyakan dak kehadapan Sang Hyang
Siwa, kenapa si Lubdhaka dapat isa pengampunan dosa pada hal dia selalu melakukan
am perbuatan Himsa karma semasih hidupnya di dunia. Sesudah ya Sang Hyang Yama
memohon penjelasan tentang peleburan m dosanya si Lubdhaka maka, kembalilah
Sang Hyang Yama ena ke Yama Loka dengan tangan kosong".
98
Setelah menyimak isi petikan "lontar Kekawin Lubdhaka" diatas, cor secara
garis besar dapat disimpulkan bahwa perlakuan Sang Hyang Sin Siwa tidak adil
karena, demikian banyaknya si Lubdhaka membunuh ide binatang berbuat himsa
karma hanya karena tidak tidur semalam, pada erik malam Siwa Ratri, sudah bisa
dosanya dilebur oleh Sang Hyang Siwa, seolah-olah perbuatan kejahatan bertahun-
tahun. dosanya bisa dilebur karena tidak tidur dimalam Siwa Ratri. Namun
sesungguhnya tidak demikian adanya, tetapi memerlukan penggalian lebih dalam agar
inti kebenarannya dapat disimak. Oleh karena itu penulis mencoba untuk memberikan
penjelasan berdasarkan sumber-sumber sastra agama dan nara sumber yang ada, yaitu:
Kata Lubdhaka berasal dari suku kata. "Lub", yang maksudnya "Loba", atau Serakah,
dan suku kata lak "Dhaka", dimaksudkan "Daki" (bhs. Bali). Dengan demikian kata
Lubdhaka dikiaskan kepada manusia yang memiliki sifat-sifat yang loba atau serakah
serta penuh dengan kegelapan hati, karena sebelumnya bagi mereka yang demikian
tidak pernah tahu yang manya kewajiban orang beragama, hanya dipenuhi oleh
rationya a sehingga bersikap acuh tak acuh.
Suatu saat mereka sadar akan dirinya bahwa kemampuan thousia adalah
sangat terbatas, mulailah mereka bertobat pada dirinya hingga mampu merubah pola
pikirnya, menjadi orang yang ingin hu tentang swadarmanya sebagai manusia, untuk
mempertangung awabkan diri pribadinya kehadapan Sang Hyang Widhi. Maka lalah
mereka meningkatkan jnananya dibidang spintual, mengakui Hebesaran Sang Hyang
Widhi, sering melaksanakan introspeksi diri. ampu memilah-milah mana yang patut
dia laksanakan dan mana yang dak patut dilaksanakan.
Disamping itu mulai senang melaksanakan Tapa, Brata, Yoga, amadhi, serta
mau melaksanakan "Yasa Kerthi" kehadapan Sang yang Widhi, sehingga segala yang
menyebabkan kegelapan hatinya. mbat laun makin menghilang Ditambahkan lagi
mereka itu semakin nang dan semakin banyak mencari pengetahuan spiritual, sehingga
ampu mencapai "Jati Diri" nya Seseorang yang telah mampu enemukan jati diri, orang
yang demikian sesungguhnya disebut. eorang "Yogi", akhimya mereka itu akan
menemukan yang disebut Siwa Loka".
99
Dalam Lontar, "Siwa Ratri Brata", mengungkapkan sebagai berikut:
Maksudnya:
Inilah tatacara Siwaratri Brata utama, yang ilaksanakan oleh pendeta Siwa Buda
Paksa, demikian juga pada orang yang mengharapkan terlepasnya atma dari
kesengsaraannya, atas dasar berhasilnya pelaksanaan pelaksanaan Brata, Dhyana,
Dan Samadhinya Dan Yasa Kerthinya
VRATANAM UTTAMAM
KRNA PAKSO
SARVAPAPA PAHARINI
Maksudnya:
*Tuanku dengarkan, saya akan menjelaskan kepada Tuanku tentang Brata malam
Siwa, yang merupakan Brata yang paling istimewa, adalah merupakan jalan
untuk mencapai Siwa Loka
100
* Demikian juga malam ke 14, malam yang gelap gulita. pada pertengahan bulan
Magha atau permulaan bulan palguna patut dikenal sebagai malam Siwa, sebagai
pembebasan dari dosa
Maksudnya
Mereka yang berpuasa dan tetap tidak tidur berbhakti kehadapaun Dewa Siwa
dengan daun bila, selama malam itu mendapatkan identitas dengan Dewa Siwa.
Dari isi petikan diatas, bahwa pada hari panglong 14. Tilem Kepitu, dalah disebut
malam Siwa, dan pada malam itu umat Hindu elaksanakan puasa, semalam suntuk
tidak tidur, serta berbhakti engan sarana daun bila, maka seolah-olah dosa-dosanya
dapat bebaskan. Namun menurut pandangan penulis, mengenai petunjuk oka diatas,
tidak langsung berarti, hanya dengan berpuasa, tidak dur, dan sembahyang
mempergunakan daun bila dalam satu malam. osanya sudah bisa dilebur Namun
sesungguhnya petunjuk diatas anya merupakan tonggak untuk mengingatkan kepada
umatnya, agar lalu waspada akan diri, serta harus selalu melakukan introspeksi ri,
untuk meningkatkan kesadaran diri (Cetana), karena dengan seningkatnya kesadaran
diri, maka hal-hal yang mengakibatkan dosa thadap perbuatan, perkataan dan pikiran
akan dapat dicegah sedini sungkin, sehingga makin banyak melaksanakan perbuatan
yang ubhakarma, karena perbuatan yang subhakarmalah sebagai sarana kuan untuk
mencapai Moksrtham Jagadhita 'Ya Ca Iti Dharmah gulita Jan Moksrtham Atmanam.
Menurut petunjuk sastra Agama, pelaksanaan hari suci iwa Ratri memiliki
pelaksanaan Brata antara lain:
101
a. Brata Puasa
Pelaksanaan Brata pada hari Siwa Ratri. sudah menjadi kebiasaan bagi
umat Hindu, namun pelaksanaan Brata puasa, sering tidak sesuai dengan ajaran etika
Agama, seperti:
Kalau mereka akan melaksanakan brata puasa, memang pagi mereka tidak
makan dan minum sampai. besok paginya. Sesungguhnya kalau melaksanakan brata
puasa dimulai dari dauh "Biomantara", sekita pk. 4.00 pagi (dini hari) sudah
melaksanakan penyucian diri (mesuci laksana). Kemudian menghaturkan banten pejati
pada pelinggih Kemulan Rong Tengill dengan pengastawanya kehadapan Sang Hyang
Siwa, kemudian melaksanakan persembahyangan dengan tujuan menghaturkan
kohadapan Sang Hyang Siwa, bahwa umat akan melaksanakan brota puasa agar tidak
kena cakrabhawa tulah pamidi, dan secara langsung memohon kehadapan Beliau agar
disaksikan dan akhimya supaya Beliau menganugrahkan kesidian bratanya. Selama
melaksanakan Brata puasa, banten pejati tersebut tetap nyejer di polinggihnya, dan
keesokan harinya, pada dauh, "Dewa", sekitar pk. 19.00 malam, lagi melaksanakan
persembahyangan sambil menghaturkan rayunan yasa. Setelah selesai bersembahyang,
selanjtunya memohon tirtha, kemudian nyurud ayu dengan cara memakan rayunan yasa
itu.
Spatika Yenamah
102
Mantra penutup puasa:
Sudha Lepas
b. Brata Jagra
Brata yang kedua dari bratanya hari Siwa Ratri adal Brata Jagra atau tidak
tidur semalam suntuk, sampai besok soren sehabis pengelebaran Brata (menutup brata).
Kalau melaksanal bruta Jagra ini, harus betul-betul disiplin, dalam arti sedikitpun ti boleh
mengantuk, kalau sampai mengantuk, walau satu detik, su berarti gagal, tidak perlu
dilanjutkan melek, lebih baik terus tidurnya.
Demikianiah tata cara pelaksanaannya Brata Shwa Ratri yang penulis
dapat kemukakan melalui penulisan ini.
a. Mengenai kata Panglong, berasal dari suku kata. "Pang" yang artinya "Supaya", (Bhs.
Bali), dan suku kata "Long", yang artinya, "Berkurang", dengan demikian kata
panglong dapat diikan artinya sehubungan dengan konteks, dapat diartikan. "Supaya
Cepat Berkurang".
b. Sedangkan kata empat belas, berasal dari kata. "Empet". yang maksudnya "yang
Menyumbat", dan kata belas (bhs. Bali) yang maksudnya terlepas. Jadi kata empet
belas mengandung maksud, "Agar penyebab dari kegelapan hatinya (awidya)
secepatnya musnah sehingga berubah menjadi Widya". Jatuhnya hari Siwa Ratri
adalah tepat pada sasih Kepitu, adalah merupakan simbul dari kekuatan "Sapta
Timira".
103
c. Si Lubdhaka pergi kehutan, dengan lain katanya adalah "Alas', mengandung maksud
sesuai dengan konteks. diartikan sebagai "Dasar", dan didalam hutan banyak ada
pohon pohonan, kata pohon memiliki lain kata "Kayu" dari kata kayu diberikan arti
kiasan menjadi kata "Kayun" yang mengandung maksud "Banyak Menimba Ilmu
Pengetahuan".
d. Didalam naskah Siwaratri Brata mengungkapkan kata "Mamating Wek, Mong, Gajah,
dan Warak (badak), dan kata mamating berarti memati-mati. diambil kata tunggalnya
yaitu kata. "Kata Mati", menjadi kata "Pati", dengan akar kata.
e. Kata Wek (babi hutan) dengan bahasa jawa kuna adalah menjadi kata, "Wraha", dapat
diartikan wahyu atau anugerah.
f. Kata Mong (macan) dalam bahasa Jawa Kuna, adalah "Wyagra". berasal dari kata
"Wi" dan Yagra", kemudian dari kata Yagra menjadi "Jagra", yang dapat diartikan
"Tidak Tidur", atau melek. mengandung tujuan kebenaran adalah, "Kesadaran Mutlak
"atau, "Cetana".
g. Binatang Gajah dalam bahasa sansekerta adalah disebut "Asti" dijadikan kata ulang
bermakna menjadilah kata "Astiti", yang dapat diberikan arti. "Yasa Kerthi atau
Berbhakti".
h. Kata Warak (badak), adalah termasuk binatang suci menurut kayakinan dan
kepercayaan agama Hindu, seperti dituliskan didalam lontar empulutuk banten
"Bahem Warak" artinya darah badak biasanya dipakai tetandingan banten. Oleh
karena itu, sehubungan dengan konteks ini diambil dari maknanya yaitu, sebagai
simbul "Kesucian".
i. Dilihat dari lamanya waktu puasa, diambil dari mulai t berangkatnya si Lubdhaka
menuju hutan kemudian bermalam di tengah hutan, dan besoknya si Lubdhaka
pulang, sesampai di rumahnya sudah sore hari, baru dia dapat makan nasi kerak.
Melihat dari kurun waktu perjalanan si Lubdhaka adalah selama 36 jam, maka
pelaksanaan Brata Siwaratri pun selama 36 jam.
j. Di simbulkan ada sebuah Telaga, adalah menjadi simbul "Bathiniah".
k. Disimbulkan munculnya sebuah lingga dari dalam telaga merupakan simbul dari
keberhasilan seorang Yogi, melihar kekuatan Sang Hyang Widhi secara spiritual.
104
l. Disimbulkan ada sebuah pohon Maja (bila) serta si Lubdhaka naik kepohon Bila dan
duduk pada dahan bila yang menjulu ketengah telaga Kata Bila mengalami perubahan
menuru hukum perubahan bunyi, "pbw, atau drt", sehingga menjad kata "Wira", yang
dapat diartikan, teguh. Tapa atau Satya Si Lubdhaka naik ke pohon bila sambil
memetik-metik daunnya jatuh kedalam Talaga. kalimat itu mengandung maksud
dikiaskan kepada orang yang selalu introspeksi diri. Sebagai kontrol diri, serta tidak
henti-hentinya mencari pengetahuan untuk meningkatkan Jnananya sehingga mampu
mencapai titik kulminasi dari kesucian (Yoga) (memetik daun sampai ke 108).
m. Sesampainya Si Lubdhaka di rumahnya, baru makan nasi kerak (entip), sebagai
simbul mendapatkan anugerah kekuatan "Maha Amertha", sebagai peleburan
dosanya.
n. Disimbulkan adanya peperangan antara laskar Sang!lyang Siwa dengan Sang Hyang
Yamadipati, adalah sebagai kiasan, akan selalu ada pergumbulan dalam diri manusia,
diantara Subhakarma dengan Asubakarma, akhimya pada titik puncak kehidupan di
dunia, dimenangkan oleh Subhakarma sehingga Sang Rokh bisa masuk ke alam Sorga
(Siwa loka).
Cara Upacaranya:
Upakaranya:
*Daksina gede sarwa 4, peras, soda, suci
*Rayunan pemijian dari nasi kerak (entip) mererasmen lengkap, dialas dengan sebuah
kekebat, dan diatasnya dialas dengan daun bila, beri penyeneng
*Canang pesucian
*Banten ayaban peras pengambean
*Segehan putih kuning satu tanding Prayascita, bayekawonan
Perlengkapan Sembahyang
*Bunga secukupnya
*Asep secukupnya
*Kwangen secukupnya
*Daun Bila secukupnya
105
Cara Pelaksanaannya:
Mengenai tatacara pelaksanaan hari suci Siwa Ratri memiliki tatanan sebagai berikut:
*Pagi-pagi benar pada waktu hari Siwa Ratri, umat Hindu sudah mesuci laksana, kemudian
ke pemerajan menghaturkan banten rejati di pelinggih Kemulan Rong Tengah, sedangkan
untuk pelinggih-pelinggih lainnya cukup menghaturkan canang sari saja. Selanjutnya
melaksanakan persembahyangan dan sembah bhaktinya dihaturkan kehadapan Sang Hyang
Siwa, kemudian metirtha, sampai selesai. Bagi umat yang melaksanakan brata Siwa Ratri,
silahkan laksanakan, sedangkan bagi umat yang helum mampu melaksanakan cukup
melaksanakan persembahyangan saja, (disertakan Trisandya) sebanyak tiga kali yaitu,
pagi, siang dan sorenya.
Melaksanakan malam Siwa Ratri, boleh di pemerajan tau mendatangi salah satu Pura
Kahyangan Jagat, harus sudah mulai pada Dauh Dewa sekitar pk. 19.00 malam
*Setelah selesai sembahyang, baru melaksanakan brata jagre boleh diselingi dengan
kegiatan dharma gita, dharma tula, dharmi santhi, untuk menghilangkan rasa kantuk,
sambil menunggu daul "Yoga", sekitar pk. 02.00 dini hari.
*Kalau sudah tiba waktunya Dauh Yoga, mulai mempersiapka dir untuk melaksanakan
persembahyangan kedua yang diseb dengan "Stiti Bhakti". Pada dauh ini merupakan titik
punci dari pelaksanaan upacara hari suci Siwa Ratri karena malam pada dauh yoga,
disebut juga. "Dauh Penciptaan". Dis unat Hindu melaksanakan persembahyangan
mempergunak sarana daun Bila, kemudian daun bila yang dipakai ta dimasukkan ke
dalam toya pengajum untuk tirtha Siwa Ratri kemudian baru umat melaksanakan yoga
Samadhi.
*Sesudah selesai bersamadhi, memohon tirtha tadi sampai selesai mewija, dan melanjkan
kegiatan tadi samis menunggu pagi. Sebelum memohon untuk pulang, melaksanakan
persembahyangan ketiga atau terakhir yang disebut, "Pralina Bhakti".
106
*Sesampainya di rumah, bagi umat yang melaksanakan Brata Siwa Ratri, diingatkan
jangan tidur sebelum habis sembahyang malam, dan pengelebaran brata, sekitar pk. 19.00
malam hari.
107
108