Abstrak
Masjid Agung Bandung, sejak berdiri pada awal abad ke-19, telah mengalami perubahan berkali-
kali. Perkembangan karakteristik arsitektural masjid pada masa kolonial Belanda memperlihatkan
ciri-ciri yang serupa dengan masjid-masjid agung di Priangan lainnya dibandingkan dengan masa
setelah kemerdekaan. Walaupun demikian, terdapat pula perubahan-perubahan yang
membedakannya dari masjid-masjid di Priangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
karakteristik arsitektural masjid, perkembangannya, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
masa tersebut. Studi karakteristik arsitektural dilakukan melalui foto/lukisan yang dibuat antara
tahun 1810 – 1955 yang selanjutnya dikelompokkan berdasarkan tahap perkembangan masjid.
Foto/lukisan tersebut kemudian disketsa ulang untuk menonjolkan variabel yang akan diteliti,
yaitu massa, ruang, atap, kolom, bukaan, tangga, dan pagar. Hasil penelitian memperlihatkan
bahwa masjid bukan merupakan bangunan yang statis atau dikonservasi bentuk fisiknya oleh
para pengguna maupun pemegang keputusan, melainkan bangunan yang senantiasa berubah
sesuai perkembangan zaman. Perubahan-perubahan besar Masjid Agung Bandung antara tahun
1810 – 1955 terlihat pada tahun 1890, 1925, dan saat penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika
tahun 1955.
Salah satu kajian Masjid Agung Bandung karakteristik arsitektural Masjid Agung
adalah skripsi Adriansyah Pribadi (2006) yang Bandung, sebagai salah satu masjid yang
berjudul “Kajian Transformasi Desain berada di Priangan, melalui elemen-elemen
Arsitektur Masjid Raya Bandung”. Skripsi bangunannya. Penelitian juga dimaksudkan
tersebut membahas tentang sejarah untuk memetakan perkembangan masjid
perkembangan Masjid Agung Bandung dari antara tahun 1810 – 1955. Hasil kajian
awal abad ke-20, tepatnya sekitar tahun 1920, diharapkan dapat memberikan kontribusi
hingga tahun 2001. Di dalamnya, dibahas terhadap pengetahuan mengenai keragaman
perubahan yang terjadi pada massa, atap, karakteristik masjid-masjid di Nusantara dan
denah, dan menara masjid dengan menandai karakter perkembangan bangunan masjid.
foto dan membuat model gambar tiruannya.
Skripsi tersebut pun memaparkan bentuk- Metode
bentuk yang mungkin memengaruhi wujud
fisik masjid, baik dari dalam, maupun luar Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.
Nusantara. Metode yang digunakan lebih spesifiknya
merupakan metode sejarah. Metode sejarah
Kajian lain yang berkaitan dengan Masjid terdiri dari tahap pencarian data, kritik data,
Agung Bandung adalah skripsi Ima Mariah interpretasi temuan, dan penulisan sejarah1.
(2011) yang berjudul “Masjid Agung Bandung; Metode sejarah sangat menekankan
Sejarah dan Kedudukannya sebagai Simbol pentingnya kritik data atau sumber, baik dari
Kota Lama”. Skripsi tersebut membahas sisi fisik, maupun dari isi data.
tentang sejarah dan keterkaitan Masjid Agung
Bandung dengan masyarakat sebagai simbol Metode Pengumpulan Data
kota. Metode yang dilakukan meliputi tahap
Jejak perkembangan Masjid Agung Bandung
heuristik atau pengumpulan sumber, kritik
antara tahun 1810 – 1955 sudah tidak dapat
sumber, interpretasi sumber, dan historiografi
diamati lagi di lapangan akibat banyaknya
atau penulisan hasil penelitian.
perubahan yang terjadi. Oleh karena itu, studi
Dalam penelitian ini, karakteristik elemen- karakteristik arsitektural masjid dilakukan
elemen masjid akan dibahas lebih dalam, melalui dokumentasi yang dibuat antara tahun
dengan jangka waktu perkembangan yang 1810 – 1955. Dokumentasi yang digunakan
lebih pendek untuk mempersempit banyaknya berbentuk lukisan maupun foto (Tabel.1).
pengaruh perubahan masjid. Dilihat dari Data-data tersebut sebagian besar diperoleh
massa masjid secara umum dan dari elemen- dari KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-,
elemen bangunannya, Masjid Agung Bandung Land-, en Volkenkunde) yang merupakan
pada masa kolonial memiliki kemiripan ciri institusi Kerajaan Belanda untuk studi Asia
dengan masjid-masjid di Piangan lainnya. Tenggara dan Karibia. Terdapat pula foto yang
Masjid pun berkembang pada masa tersebut diperoleh dari Tropen Museum melaui
seiring dengan peristiwa-peristiwa sejarah. wikimedia, majalah “Masdjid dan Makam
Dari perkembangannya tersebut, masjid Doenia Islam”, serta Buku “Ramadhan di
memiliki karakter yang berbeda dari Priangan” karya Haryoto Kunto.
bangunan-bangunan religius lainnya.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat
Tabel 1. Foto/Lukisan Masjid Agung Bandung yang Dibuat Tahun 1810 – 1955
Foto
Foto
Foto
Foto
Foto
Bandung merupakan salah satu kota yang Gambar 1. Peta Negorij Bandong tahun 1825 yang
memiliki peran penting pada masa kolonial. memperlihatkan letak masjid agung (G) di tengah
Bandung didirikan tanggal 25 Mei 1810 kota (sumber: modifikasi dari Kunto, 2008).
sebagai ibu kota baru dari Kabupaten Bandung.
Pendirian ibu kota baru tersebut
renovasi
masjid setelah
kebakaran
Masjid Agung
Bandung
berdiri
1808 1810 1826 1830 1852 1880 1890 1901 1910 1920 1925 1942 1950 1955
Diagram 1. Perubahan Masjid Agung Bandung dan Peristiwa-peristiwa yang Terjadi Tahun 1810 – 1955
Tata pusat Kota Bandung awal terdiri dari tahun 1825. Konstruksi masjid pun mulai
lapangan yang disebut alun-alun yang diganti menjadi kayu secara bertahap dari
ditanami pohon beringin. Alun-alun dikelilingi tahun 182618. Selanjutnya sekitar tahun 1830,
oleh masjid agung di sebelah Barat (Gambar dilaksanakan Sistem Tanam Paksa atau
1.), dan pendopo di sebelah Selatan15. Cultuur-stelsel yang dicetuskan oleh Gubernur
Tatanan tersebut berasal dari pola pusat Kota Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch19.
Cirebon yang diterapkan pada ibu kota
kabupaten-kabupaten di Priangan16. Pada tahun 1852, di bawah pemerintahan
Bupati R.A. Wiranatakusumah IV (1846 –
Masjid Agung Bandung didirikan pada masa 1874), material dinding masjid diganti menjadi
pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakusumah II tembok dan atapnya pun diganti dengan
(1794 – 1829). Terdapat dua pendapat genting20 (Gambar 2.). Pada masa tersebut
mengenai waktu pendiriannya, pertama adalah pun regerings-reglement ditetapkan, tepatnya
tanggal 25 September 1810, bersamaan pada tahun 185421. Regerings-reglement berisi
dengan peresmian pendopo, dan kedua adalah pemindahan kekuasaan penanganan daerah
tahun 181217. Masjid pada masa itu berbentuk koloni dari raja kepada dewan negara dan
panggung sederhana dari kolom kayu, dinding gubernur jenderal. Untuk menindaklanjuti hal
tersebut, dibentuk 5 departemen negara di (Gambar 3.). Bentuk atap ini tidak terlihat
bawah gubernur jenderal yang salah satunya pada masjid-masjid agung di Priangan lainnya
adalah Burgerlijke Openbare Werken (BOW) sebagai atap utama.
atau Dinas Pekerjaan Umum pemerintah
kolonial Belanda22.
Ruang
Konfigurasi ruang Masjid Agung Bandung pada tiang penyangga. Jarak antar tiang lebih jauh
lukisan tahun 1852 terdiri dari ruang utama pada bukaan bagian bawah. Bentuk atap
dan selasar di depan dan sampingnya. Sejalan tersebut pun terlihat pada foto tahun 1880
dengan perkembangan massa, konfigurasi dengan 2 kemiringan atap pada masing-
ruang tersebut pun terlihat hingga foto tahun masing tumpuk yang terlihat lebih jelas.
1920 (Gambar 9.). Selanjutnya pada foto Masing-masing tumpuk lebih curam di bagian
tahun 1925, masjid mendapat tambahan atas dan lebih landai di bagian bawah.
ruang serambi terbuka di depan massa utama. Penutup atap saat itu terbuat dari genting.
Pada masing-masing samping serambi,
terdapat pula menara yang mewadahi ruang Dalam foto tahun 1890, terlihat perubahan
terbuka. Kemudian pada foto tahun 1950, besar pada bentuk atap. Walaupun masih
ruang terbuka masjid bertambah dengan terdiri dari atap utama, namun atap masjid
terdapatnya massa kembar samping dan terlihat berbentuk perisai sebanyak 3 buah
tonjolan depan serambi. Pada foto tahun 1955, yang berjejer secara paralel. Sisi pendek
terjadi perubahan besar pada konfigurasi ketiga atap tersebut berada di atas entrance,
ruang dengan tidak terlihatnya selasar sedangkan sisi panjangnya menghadap bagian
maupun ruang terbuka lainnya pada masjid. samping masjid. Bentuk atap tersebut sangat
berbeda dari bentuk atap sebelumnya maupun
Atap dari atap masjid-masjid di Priangan umumnya.
Sebelum foto tersebut diambil, jalur kereta api
yang menghubungkan beberapa kota di
wilayah Priangan dibuat untuk pertama kalinya
(1882 – 1893).
Pada foto tahun 1955, atap masjid Foto tahun 1890 memperlihatkan perubahan
memperlihatkan bentuk yang sangat berbeda karakter kolom yang cukup jauh (Gambar 11.).
dari sebelumnya. Pada foto tersebut, untuk Saat itu, kepala kolom selasar masjid memiliki
pertama kalinya atap kubah terlihat pada bentuk bersusun. Kolom pun memiliki arch
Masjid Agung Bandung. Bagian bawah atap atau lengkung di antaranya. Terdapat 2
kubah diteruskan dengan atap tajug. Masjid bentuk lengkung yang terlihat dalam foto,
pun dilengkapi dengan atap dak beton. Atap yaitu ogee arch dan round arch. Ogee arch
yang sangat berbeda dari bentuk sebelumnya merupakan lengkung dengan bagian puncak
tersebut diduga merupakan usul Presiden yang meruncing. Bentuk arch tersebut
Soekarno dalam rangka persiapan Konferensi menyerupai kubah bawang. Round arch
Asia Afrika (KAA) pada tahun yang sama. merupakan lengkung dengan bagian puncak
yang tumpul37. Round arch hanya terdapat
Kolom pada bagian tengah entrance masjid. Kolom
dengan lengkung tersebut tidak didapati pada
masjid-masjid lain di Priangan. Walaupun
demikian, kolom ganda masih terlihat pada
tampak depan masjid di bagian tengah
entrance dan sudut selasar. Selain itu, pilaster
pun masih dapat terlihat pada dinding masjid.
Tampak depan masjid di foto tersebut dibagi
ke dalam 9 modul oleh kolom selasar.
dinding yang menjorok ke dalam, tidak sejajar Pada foto tahun 1955, bukaan masjid terlihat
dengan dinding tempat entrance utama. bergaya Art Deco. Bukaan masjid dibagi-bagi
Bukaan yang terlihat pada foto tahun 1880 dalam modul memanjang. Bagian atas bukaan
pun berbentuk kotak dengan bukaan terbesar pun diberi lubang ventilasi yang pipih. Bagian
terdapat di tengah. atas ventilasi tersebut diberi tritisan dak beton
atau garis aksen horizontal. Bukaan dan kolom
Pada foto tahun 1890, lima bukaan yang dengan bentuk yang lebih sederhana pada
terdapat pada dinding ruang utama masjid masa penyelenggaraan KAA tersebut selaras
terlihat memiliki lubang tambahan terpisah di dengan atap kubah yang memperlihatkan
bagian atasnya. Bentuk lubang tersebut gaya arsitektur masjid yang lebih modern.
menyerupai setengah lingkaran dengan arch di
puncaknya. Bentuk arch bukaan tambahan Tangga
sama dengan arch pada kolom selasar, yaitu
ogee arch dan round arch. Ogee arch
digunakan pada puncak lubang tambahan
yang berada di atas jendela, sedangkan round
arch digunakan pada puncak lubang tambahan
di atas pintu. Bentuk lengkung pada bukaan-
bukaan tersebut tidak terdapat pada masjid
agung di Priangan lainnya. Pintu berjumlah 3
buah dengan perletakan di bagian tengah dan
masing-masing ujung samping, sedangkan
jendela terletak di antara pintu. Pintu yang
terletak di tengah lebih tinggi dari pintu
samping. Bukaan-bukaan tersebut memiliki
daun ganda. Bentuk bukaan pada foto
tersebut tetap terlihat hingga foto tahun 1920
(Gambar 12.).
Peraturan pembangunan masjid dari Classical Style, New York: Harry N. Abrams,
pemerintah Belanda yang tercantum dalam Incorporated.
Bijblad op het Staatsblad van Nederlandsch- Arismunandar, A. (2011). Profil Peninggalan
Indie nomor 1980 menyatakan Belanda tidak Sejarah dan Purbakala di Jawa Barat; Dalam
ikut campur dalam pembangunan masjid, Khasanah Sejarah dan Budaya, Bandung:
kecuali dalam kasus-kasus tertentu. Walaupun Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi
demikian, terdapat karakteristik arsitektural Jawa Barat.
Masjid Agung Bandung yang memperlihatkan Atmodjo, J.S. (2011). Masjid Kuno Indonesia,
pengaruh Eropa, seperti terdapatnya pediment Jakarta: Direktorat Perlindungan dan
pada atap, kolom Tuscan, dan pagar sisik ikan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan
atau transenna. Elemen-elemen tersebut Purbakala.
banyak terdapat pada arsitektur Klasik, Budi, B.S. (2004). A Study on the History and
sehingga terdapat kemungkinan keterlibatan Development of the Javanese Mosque, Part
Belanda dalam pembangunan masjid. 1: A Review of Theories on the Origin of the
Javanese Mosque. Journal of Asian
Penelitian ini masih memiliki beberapa Architecture and Building Engineering , 3, 1,
keterbatasan. Salah satunya ialah acuan data 189-195.
yang berupa foto lama, sehingga informasi Budi, B.S. (2004). A Study on the History and
yang didapat terbatas pada apa yang Development of the Javanese Mosque, Part
ditampilkan oleh foto. Bahasan mengenai 2: The Historical Setting and Role of the
konteks peristiwa yang terjadi selama Javanese Mosque under the Sultanates.
perkembangan masjid pun belum terlalu Journal of Asian Architecture and Building
menunjukkan hubungan sebab akibat. Engineering , 4, 1, 1-8.
Penelitian selanjutnya dapat dibuat lebih Ching, F.D.K. (1995). A Visual Dictionary of
mendalami peristiwa-peristiwa yang Architecture, New York: Van Nostrand
melatarbelakangi perkembangan masjid Reinhold.
sehingga didapatkan hubungan antara wujud Dienaputra, R.D. (2004). Cianjur: Antara
fisik dan konteks yang lebih jelas. Priangan dan Buitenzorg, Bandung: Prolitera.
DKM Masjid Raya Bandung (----). Masjid Raya
Bandung dari Masa ke Masa, Bandung: DKM
Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat.
Ekadjati, E.S. (2005). Kebudayaan Sunda
Ucapan Terima Kasih (Suatu Pendekatan Sejarah), Jilid I, Jakarta:
Dunia Pustaka Jaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Falah, M. (2010). Sejarah Kota Tasikmalaya
Indah Widiastuti yang ikut membimbing 1820 – 1942, Uga Tatar Sunda dan Yayasan
pembuatan tulisan, Ibu Himasari Hanan selaku Masyarakat Sejarawan Indonesia, Cabang
Ketua Kelompok Keahlian Sejarah, Teori dan Jawa Barat.
Kritik Arsitektur, Elya Santa Bukit, dan Frishman, M. (1994). Islam and the Form of
Program Arsitektur ITB. the Mosque. In The Mosque; History,
Architectural Development & Regional
Daftar Pustaka Diversity, ed. M. Frishman and H. Khan.
London: Thames and Hudson, 17-41.
---- (1906). Bijblad op het Staatsblad van Hall, D.G.E. (1955). A History of South-East
Nederlansch-Indie, Deel III, Batavia: Asia, New York: St Martin’s Press Inc.
Landsdrukkerij. Handinoto (1996). Perkembangan Kota dan
Adam, R. (1991). Classical Architecture: A Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya
Comprehensive Handbook to the Tradition of (1870 – 1940), Yogyakarta: ANDI dan
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
16
21), masjid kuno Indonesia umumnya terbuat dari Lihat Tim Penulis Pemerintah Provinsi Daerah
kayu, bambu, dan rumbia, memiliki denah persegi Tingkat I, Jawa Barat, 1993, hal. 156-157, 176-179.
dengan mihrab dan mimbar, atap bertingkat
17
ditopang 4 tiang, bukaan sempit, serta memiliki Lihat Lubis, 2011, hal. 250-251.
mustika, sementara elemen menara jarang didapati.
18
Menurut Budi (2004), karakteristik masjid Jawa Lihat DKM Masjid Raya Bandung.
meliputi denah persegi, atap piramid, dibatasi
19
dinding sekeliling, dekat komplek makam, dan Lihat Hall, 1955, hal. 468, 470-472.
memiliki struktur utama saka guru, sementara
20
serambi dan menara merupakan elemen tambahan. Lihat Hardjasaputra, 2000, hal. 125.
21
6
Lihat Voskuil (1996 : 29). Sementara menurut Lihat Hall, 1955, hal. 468, 470-472, 490-493.
Arismunandar (2011 : 179 – 180), pemindahan Ibu 22
Kota Bandung telah direncanakan oleh Bupati Lihat Hardjasaputra, 2002, 53 dalam Kartika, 2007,
Bandung, R.A. Wiranatakusumah II (1794 – 1829), 50-51.
sebelum datang perintah dari Daendels, dalam 23
rangka menghindari banjir. Lihat Bijblad op het Staatsblad van Nederlansch-
Indie, Deel III, 1906, hal. 118-119.
7
Lihat Tim Penulis Pemerintah Provinsi Daerah 24
Tingkat I, Jawa Barat, 1993, hal. 255-258, 265. Lihat Hall, 1955, hal. 490-493.
25
8
Lihat Haan : 1910, 1912 dalam Ekadjati, 2005 : 7. Lihat Tim Penulis Pemerintah Provinsi Daerah
Tingkat I, Jawa Barat, 1993, hal. 258-259, 272-273.
9
Lubis (1998 : 35) menyimpulkan wilayah Priangan 26
merupakan Jawa bagian Barat kecuali Banten, Lihat Lubis, 1998, hal. 33-34. Pada tahun 1870,
Cirebon, serta Batavia dan sekitarnya. Svensson Afdeeling merupakan wilayah administrasi di bawah
(1991) menggambarkan wilayah Priangan sekitar kabupaten, kemudian sekitar tahun 1922, afdeeling
tahun 1925 meliputi Sukabumi, Cianjur, Bandung, menjadi wilayah administrasi di atas kabupaten (Tim
Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Penulis Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I, Jawa
Barat, 1993, hal. 258-259, 272-273, 309-321).
10
Budi (2005 : 1-8) mengklasifikasikan masjid Jawa 27
pada zaman kesultanan Islam ke dalam 4 kategori Lihat Roosmalen, 2006, hal. 59-75.
berdasarkan peran dan setting-nya, yaitu masjid 28
Lihat Hardjasaputra, 2000, hal. 128.
agung, langgar kraton, komunitas, dan terisolir.
Masjid agung terletak di pusat kota dan merupakan 29
Lihat Handinoto, 1996, hal. 183.
simbol keagungan raja. Masjid langgar keraton
terdapat dalam komplek keraton dan digunakan oleh 30
Lihat Passchier, 2008, hal. 1-14.
keluarga dan pelayan raja, terutama wanita. Masjid
komunitas merupakan tempat ibadah komunitas 31
Lihat Kunto, 2008, hal. 179.
sekitar, yang dapat berada di kota, kampung,
maupun pesantren. Masjid terisolir terletak di 32
Lihat Voskuil, 1996, hal. 55, 57.
dataran tinggi dan berdekatan dengan makam.
33
11
Lihat Wildan, 2005, hal. 131.
Lihat Tim Penulis Pemerintah Provinsi Daerah
Tingkat I, Jawa Barat, 1993, lampiran 11. 34
Lihat Wildan, 2005, hal. 149.
12
Lihat Hall, 1955, hal. 464-468. 35
Lihat Kunto, 1996, hal. 12, 16.
13
Lihat Dienaputra, 2004, hal. 188-189. 36
Lihat Adam, 1948, hal. 78.
14
Lihat Ricklefs, 1991, hal. 338-350. 37
Lihat Ching, 1995, hal. 14.
15
Lihat Lubis, 1998, hal. 163. Hardjasaputra (2000 :
123-124) dan Arismunandar (2011 : 181) pun
menyebutkan masjid agung terletak di sebelah Barat
alun-alun Kota Bandung dan pendopo di Selatannya.