Anda di halaman 1dari 10

BAB III

DANAU TEMPE
BAGIAN DARI SEJARAH
KABUPATEN WAJO

SEJARAH KABUPATEN WAJO


Danau Tempe adalah bagian dari Kabupaten Wajo. Membahas
keberadaan Danau Tempe tak lengkap tanpa membahas Kabupaten
Wajo. Bukan hanya potensi ekonomi yang dikandungnya, tapi nilai
sejarahnya penuh dengan nuansa kerajaan. Dalam berbagai penelitian
sejarah, Wajo memiliki pertumbuhan kerajaan yang menarik untuk
dibahas
Negeri Wajo adalah sebuah negeri yang sangat unik. Ia tidak
mengenal sistem pemerintahan yang otokratis, melainkan demokratis.
Pemerintah dan rakyat Wajo memahami bahwa Kerajaan Wajo adalah
kerajaan yang dimiliki secara bersama oleh pemerintah dan rakyat.
Seorang raja tidaklah diangkat secara turun-temurun, melainkan
ditunjuk dan kemudian diangkat oleh dewan adat yang disebut Arung
Patappuloe (Dewan Rumah Adat Wajo yang beranggotakan 40 orang).
Rakyat yang dalam bahasa Bugis disebut Pabbanua memiliki hak dan
kebebasan yang tercetus dalam adek Ammaradekangenna to Wajoe.
Ihwal pernyataan kemerdekaan orang Wajo tercetus pada masa
pemerintahan Puangnge Ri Timpengeng, jauh sebelum masa ke-Batara-

73
an Wajo terbentuk. Kala itu tersebutlah sebuah negeri yang sangat subur
yang kemudian diberi nama Kerajaan Boli (cikal bakal Kerajaaan Wajo).
Setelah terbentuknya Kerajaan Tellu Kajuru’na Boli, maka
disepakatilah untuk mengangkat La Tenri Bali sebagai raja dari kerajaan
unifikasi tersebut pada tahun 1399 di bawah pohon besar (pohon Bajo).
Tempat pelantikan itu sampai sekarang masih bernama Wajo-Wajo, di
daerah Tosora, Kecamatan Majauleng.
Terungkap bahwa pada mulanya La Tenri Bali bersama saudaranya
bernama La Tenri Tippe secara berdua diangkat sebagai Arung
Cinnongtabi, menggantikan ayahnya yang bernama Lapatiroi. Dalam
pemerintahannya, La Tenri Tippe sering berbuat sewenang-wenang
terhadap rakyatnya yang diistilahkan ”Narempekengngi Bicara Tauwe”.
Sementara La Tenri Bali kemudian mengasingkan diri ke Penrang
(sebelah timur Tosora) dan menjadi Arung Penrang. Namun tak
lama kemudian, dia dijemput rakyatnya dan diangkat menjadi Arung
Mata Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara pelantikan di bawah pohon
Bajo, terjadi perjanjian antara La Tenri Bali dengan rakyatnya dan
diakhiri dengan kalimat “Bataraemani tu Mene’ Na Jancitta, Tanae
Mani Riawana” (Hanya Batara Langit di atasnya perjanjian kita, dan
bumi di bawahnya) Naritellana Petta La Tenri Bali Petta Batara Wajo.
Berdasarkan perjanjian tersebut, diubahlah istilah Arung Mata Esso
menjadi Batara, dan kerajaan baru didirikan, yang cikal bakalnya dari
Kerajaan Boli, menjadi Kerajaan Wajo, dan La Tenri Bali menjadi Batara
Wajo yang pertama.
Sedangkan untuk menentukan tanggal hari jadi Wajo, dikemukakan
beberapa versi, yakni versi tanggal 18 Maret, ketika armada
Lamaddukkelleng dapat mengalahkan armada Belanda di perairan
Pulau Barrang dan Koddingareng; versi tanggal 29 Maret, ketika
dalam peperangan terakhir, Lamaddukkelleng di Lagosi dapat
memukul mundur pasukan gabungan Belanda dan sekutu-sekutunya;
versi tanggal 16 Mei, ketika Lasangkuru Patau bergelar Sultan Abdul
Rahman Arung Matoa Wajo memeluk agama Islam; versi ketika Andi
Ninnong Ranreng Tuwa Wajo menyatakan di depan Dr. Sam Ratulangi
dan Lanto Dg. Pasewang di Sengkang pada 1945 bahwa rakyat Wajo
berdiri di belakang Negara Kesatuan Indonesia.
Dari versi tersebut, disepakati bahwa yang menjadi tanggal hari
jadi Wajo ialah versi tanggal 29 Maret, karena sepanjang sejarah,
belum pernah ada pejuang yang mampu mengalahkan Belanda pada
pertempuran terakhir. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1741. Dengan

74 / NAIDAH NAING
perpaduan dua versi tersebut di atas, maka disepakati bahwa hari jadi
Wajo ialah tanggal 29 Maret 1399.
Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Wajo pada masanya disebabkan
oleh berbagai aspek sebagaimana telah dikemukakan terdahulu.
Namun ada hal yang sangat hakiki yang perlu mendapatkan perhatian,
yakni adanya kepatuhan dan ketaatan raja dan rakyatnya terhadap
Pangadereng, Ade yang diwarisi dan disepakati, Ade Assiamengeng, Ade
Amaradekangeng, sistem Ade dengan sitilah Ade Maggiling Jancara,
serta berbagai falsafah hidup, pappaseng dan sebagainya.
Kepatuhan dan ketaatan rakyat Wajo terhadap rajanya dan
sebaliknya, perhatian dan pengayoman raja terhadap rakyatnya
adalah satu aspek terwujudnya ketenteraman dan kedamaian dalam
menjalankan pemerintahan pada masa itu. Hal ini dapat kita lihat
pada saat La Tiringeng to Taba dalam kedudukannya sebagai Arung
Simettengpola mengadakan perjanjian dengan rakyatnya. Perjanjian
ini dikenal dengan “Lamungpatue ri Lapaddeppa” (Penanaman batu
= Perjanjian Pemerintahan di Lapaddeppa’).
Inti dari perjanjian ini ialah bahwa rakyat akan patuh terhadap
perintah raja, asalkan atas kebaikan dan kemaslahatan rakyat, demikian
pula raja akan senantiasa mengayomi rakyatnya dengan dasar Ade,
Pengadereng (hukum).

PENINGGALAN-PENINGGALAN BERSEJARAH
KABUPATEN WAJO
Allangkanangnge, Kampung Sarepao, Desa We Cudai, Kecamatan
Pammana, Kabupaten Wajo di Sulawesi Selatan. Ini adalah salah satu
situs yang memiliki nilai sejarah tinggi. Allangkanangnge terkenal
sebagai istana dari We Cudai (Epos I La Galigo), dan dikenal sebagai
pusat istana kerajaan Cina sampai Cina berubah nama menjadi
Pammana. Dikumpulkan 251 keramik (tradeware) pecahan yang
berserakan di permukaan, dan digali pola sistem meter persegi di dalam
wilayah yang diidentifikasi oleh Kaharuddin sebagai daerah pusat utama
(sherdage konsentrasi).
Semua keramik (tradewares) itu buatan antara abad ke-13-17 M.
Selain itu, ada sebagian yang berasal dari abad ke-19-20 M. Pusat
permukaannya mencerminkan penggunaan terbaru dari situs—
terutama, yang ditingkatkan menjadi situs monumen oleh masyarakat
lokal (Bulbeck, 2000; Bulbeck dan Caldwell, 2000). Kutipan dari

DANAU TEMPE BAGIAN DARI SEJARAH ... / 75


tulisan Allangkanangnge ri Latanete yang digali pada 1999 memberikan
penguatan identitas akan letak pasti pusat Kerajaan Cina yakni Sarepao.
Disimpulkan bahwa kemungkinan peradaban tersebut memang ada
pada sekitar abad ke-9 M dan kontak perdagangan yang terjadi dalam
skala besar terjadi pada abad ke-13 M. Untuk melengkapi lahirnya
daerah baru Kabupaten Wajo maka dibuatlah lambang sebagai simbol
tanah daerah Wajo sebagai berikut: Kabupaten Wajo terletak di Ibu Kota
Sengkang, Provinsi Sulawesi Selatan dengan luas wilayah ± 2.504,06
km2.
Lambang Kabupaten Wajo mengandung arti yang mendalam
bagi sejarah dan struktur daerah Wajo itu sendiri. Berikut adalah
makna dari lambang kebesaran Kabupaten Wajo: pohon bajo yang
terletak di tengah-tengah lambang, bertangkai/cabang tiga yang
berarti bentuk asal daerah Kabupaten Wajo yang terdiri dari tiga
Limpo yaitu Majauleng (Benteng Pola), Sabbangparu (Talotenreng),
dan Takkalalla (Tua); batang lurus yang berarti bercita-cita tinggi
penuh kejujuran; daun sebanyak 30 lembar dan hijau melambangkan
dewan rakyat Wajo (ketika terciptanya Kerajaan Wajo pada abad
ke-14), sedang warna hijau cita-cita kemakmuran negeri; pada akar
pohon tertulis aksara Bugis yang menyatakan asal perkataan ‘wajo’;
pada pita yang terbentang melambangkan pandangan masyarakat/rakyat
Wajo: “Maradeka Towajoe Adena Napopuang” yang artinya Rakyat
Wajo merdeka, konsitusinya yang dipertuan; warna hijau diartikan
makmur subur; padi, jagung, ikan, gula, semuanya melambangkan
kemakmuran yang pokok daerah Wajo.
Huruf W yang berbentuk ornamen (hiasan) melambangkan seni
ukir (kesenian yang berkembang di Kabupaten Wajo); warna kuning
dan merah: merah berarti berani karena benar, kuning berarti indah
dan mulia, yang merupakan warna simbolis bagi jiwa masyarakat Wajo;
bentuk lambang perisai/tameng artinya kesiap-siagaan menghadapi
setiap kemungkinan yang mengancam masyarakat Wajo.

SEJARAH DANAU TEMPE


Menurut analisis Pelras (2006), keberadaan Danau Tempe telah
disebut dalam naskah La Galigo, sebuah karya sastra besar berisi cerita
bersyair dan merupakan salah satu epos terbesar di dunia yang dibuat
pada abad ke-14 dan setelahnya. Meskipun dalam naskah La Galigo
nama Tempe dicantumkan, namun tidak digambarkan seperti danau
yang ada sekarang ini. Yang digambarkan justru kedatangan orang-orang

76 / NAIDAH NAING
yang berlayar dari jauh seolah-olah tempat ini berada di tepi pantai
(Pelras, 2006). Pada saat itu, Danau Tempe menjadi poros dua jalur
pelayaran strategis di Sulawesi Selatan, yaitu jalur yang menghubungkan
Selat Makassar dengan Teluk Bone serta jalur Teluk Bone hingga
hulu Sungai WalanaE. Jalur pertama adalah jalur pelayaran dari Selat
Makassar melalui Pare-Pare, Danau Sidenreng, Danau Tempe dan
keluar ke Teluk Bone melalui Sungai CenranaE. Sedangkan jalur
kedua adalah dari Teluk Bone masuk melalui Sungai CenranaE dan
terus sampai hulu Sungai WalanaE yang berada di daerah pegunungan
Soppeng, Bone dan Maros. Kedua jalur ini menjadi jalur strategis
pada masa itu karena belum adanya jalur darat yang menghubungkan
tempat-tempat tersebut. Hal ini seperti yang dikemukakan pula oleh
Manual Pinto, seorang berkebangsaan Portugis, dalam Muh Ta’ng
(2006) yang menyatakan bahwa hingga tahun 1828, Danau Tempe
dapat dilayari perahu-perahu besar seperti kapal layar Portugis dari
laut menuju Sidenreng (sekarang Kabupaten Sidrap). Di kampung-
kampung (wanua-wanua) di tepi danau, perdagangan berkembang
pesat. Berbagai pedagang dari dalam dan luar negeri datang dengan
menggunakan perahu-perahu layar yang besar seperti dari pelabuhan
Gresik, Palembang, Malaka, India, Campa, dan Eropa. Kondisi ini
berlangsung sebelum abad ke-10 hingga akhir abad ke-14. Maka,
tidak mengherankan jika pada tahun 1970-an ditemukan jangkar kapal
berukuran besar di Danau Tempe dan jangkar tersebut kini disimpan
di museum kota Sengkang.
Jauh sebelum Bandar Niaga Makassar menjadi pusat pelayaran niaga
di kawasan timur Nusantara, kawasan Danau Tempe telah menjadi
pusat perniagaan emas, perak, biji besi, tembaga, arang, beras, sutra,
keramik, rempah-rempah, hasil hutan, hasil laut, hasil danau, budak,
dan lain-lain. Hal ini terbukti dari berbagai temuan arkeologi di Tosora,
Kecamatan Majauleng, Kabupaten Wajo, seperti keramik, kerajinan
sutra dan kuburan orang Cina. Selain itu, beberapa situs kuburan para
pedagang dari luar yang telah berusia ratusan tahun juga ditemukan
di Lagosi, Kecamatan Pitumpanua di Kabupaten Wajo (Naing, 2008).
Akulturasi bahasa juga ditemukan terkait penggunaan beberapa nama
tempat yang tidak ditemukan dalam bahasa Bugis. Hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat kawasan Teluk Bone pada umumnya, dan komunitas
Danau Tempe pada khususnya, telah menjalin kontak internasional dan
telah melakukan proses akulturasi yang panjang dan luas.
Adanya jalur pelayaran yang cukup besar melalui Danau Tempe
pada masa lalu dapat juga ditelusuri melalui perubahan kondisi

DANAU TEMPE BAGIAN DARI SEJARAH ... / 77


geografis Danau Tempe dari masa ke masa. Ambo Tang Daeng
Matteru mengungkapkan empat tahapan perubahan bentuk fisik
dari lokasi di sekitar Danau Tempe. Tahap pertama adalah Pulau
Sulawesi bagian selatan masih terpisah dari Pulau Sulawesi oleh selat
yang membentang dari Selat Makassar ke Teluk Bone. Kondisi ini
diperkirakan berlangsung pada masa sebelum Masehi. Tahap kedua
adalah ketika terjadi pendangkalan dan penyempitan pada kedua
ujung selat sehingga membentuk sebuah danau besar. Tahap kedua
ini diperkirakan berlangsung pada abad pertama sampai abad ke-16
Masehi. Proses pendangkalan terus terjadi sehingga terbentuk empat
subdanau. Masa ini adalah tahap ketiga perubahan kondisi geografis yang
diperkirakan berlangsung pada abad ke-17 sampai abad ke-18. Empat
subdanau yang terbentuk pada tahap ini adalah Danau Alitta, Danau
Sidenreng, Danau Tempe dan Danau Lapongpakka. Pada tahap ini juga
terbentuk beberapa danau kecil lainnya, salah satunya adalah Danau
Lampulung. Pada tahap ke-4, tepatnya pada abad ke-19 hingga ke-20,
Danau Alitta telah hilang. Danau yang tersisa adalah Danau Tempe,
Danau Sidenreng, Danau Lapongpakka dan Danau Lampulung. Pada
masa ini, jalur yang menghubungkan Selat Makassar dengan Teluk
Bone telah benar-benar terputus. Perubahan kondisi geografis tersebut
di atas digambarkan sebagai berikut:

PERUBAHAN KONDISI GEOGRAFIS DANAU


DI SULAWESI SELATAN
Sejarah perubahan kondisi fisik yang diungkapkan oleh Ambo
Tang Daeng Matteru sebagian besar dapat dikonfirmasi berdasarkan
catatan sejarah yang diungkapkan oleh Christian Pelras. Danau besar
yang terbentuk pada tahap kedua juga disebutkan dalam buku Manusia
Bugis karya Christian Pelras tersebut. Pelras (2006) menceritakan
bahwa pada tahun 1945, seorang asal Portugis bernama Manuel Pinto
menggambarkan danau besar tersebut dapat dilalui oleh kapal layar
Portugis yang panjang dan dilengkapi deretan dayung di kedua sisinya
(futsa besar). Ukuran danau tersebut digambarkan lebarnya lima legua
Portugis dan panjangnya 20 legua Portugis (lebarnya sekitar 25 km dan
panjangnya 100 km menurut Pelras).
Pada akhir abad ke-14 pada masa pemerintahan Arung Matowa Wajo
yang ke-14 yang bernama Latadampare Puang Rimaggalatung, sebenarnya
Danau Tempe hanya dikenal dengan nama Tappareng Karajae (danau
yang besar). Orang Makassar menyebutnya Tappareng Labbayya artinya

78 / NAIDAH NAING
laut tawar. Penyebutan ini karena tawarnya air dari Tappareng Karaja
meskipun merupakan bagian langsung dari laut. Masyarakat Bugis
mengartikan kata “tappareng” dengan kata danau, sementara masyarakat
Makassar mengartikan kata “tamparang” dengan kata laut. Terlepas dari
perbedaan pengertian antara suku Bugis dan Makassar, pemberian nama
oleh kedua suku yang berada di sekitar danau tersebut membenarkan
keberadaan danau yang sangat besar di masa lalu. Sedemikian besarnya
hingga Suku Makassar menyamakannya dengan laut.

Gambar 3.1. Perubahan kondisi geografis danau di Sulawesi Selatan.


(Sumber: Diolah dari http://www.belawa.com/)

Perkembangan selanjutnya, Tappareng Karaja mengalami


pendangkalan sebagai akibat sedimentasi sehingga danau terbagi dua,
yaitu sebelah timur disebut Danau Tempe karena sebagian besar berada
dalam wilayah kekuasaan Wanua Tempe. Sedangkan bagian barat masuk
dalam wilayah Kerajaan Sidenreng, kemudian disebut Danau Sidenreng
atau Tappareng Purai yang berarti danau di sebelah barat.
Pemberian nama ‘Danau Tempe’, menurut sumber lisan dari hasil
wawancara dengan salah seorang tokoh budaya di Kabupaten Wajo,
terdapat beberapa cerita berdasarkan pau-pau rikadong (cerita rakyat)
tentang pemberian nama “tempe” pada Danau Tempe. Namun tidak
jelas asal-usulnya. Meskipun demikian, menurut Pelras (1996), nama
‘tempe’ sendiri, tidak ditemukan dalam bahasa Bugis atau bahasa lain
yang ada di Sulawesi Selatan, sehingga tidak diketahui artinya dengan
pasti.
Stadenten Brink (dalam Muh Tang, 2006) menyebutkan bahwa
luas Danau Tempe sekitar 50 mil persegi, sedangkan Danau Sidenreng
sekitar 30 mil persegi, dengan kedalaman air 4–5 meter pada musim
hujan. Namun akibat adanya aliran sedimen yang begitu besar dari

DANAU TEMPE BAGIAN DARI SEJARAH ... / 79


Sungai Saddang, Sungai Bila dan Sungai WalannaE, Danau Tempe
mengalami pendangkalan sehingga terbagi lagi menjadi dua, yaitu
sebelah selatan Danau Tempe sendiri dan sebelah utara disebut Danau
Lapongkoda. Keadaan ini terjadi hingga akhir abad ke-14, di mana
Tappareng Karajae terbagi menjadi tiga bagian yang terpisah. Meskipun
demikian, jika terjadi banjir bandang, ketiga danau tersebut menyatu
kembali seperti sediakala.
Danau Tempe terletak di tiga kabupaten di Sulawesi Selatan,
yaitu Kabupaten Wajo, Kabupaten Sidenreng Rappang dan Kabupaten
Soppeng. Danau Tempe dikelilingi oleh tujuh kecamatan yang tersebar
di tiga kabupaten di antaranya: Kecamatan Tempe, Kecamatan Belawa,
Kecamatan Tanasitolo dan Kecamatan Sabbangparu di Kabupaten Wajo,
Kecamatan Donri-Donri dan Marioriawa di Kabupaten Soppeng, dan
Kecamatan Pancalautang di Kabupaten Sidenreng Rappang.
Sebelum kondisi Danau Tempe seperti sekarang ini, danau ini
merupakan habitat yang sangat baik bagi perkembangan ikan air tawar.
Namun beberapa tahun terakhir ini, di saat musim kemarau, sebagian
wilayah danau akan berubah menjadi daratan sehingga mengundang
masyarakat untuk melakukan berbagai aktivitas usaha tani seperti
menanam padi, jagung, kedelai, wijen, kacang tanah, sayur-sayuran,
tomat, lombok, semangka dan sebagainya. Oleh karena itu, Danau
Tempe pada beberapa tahun terakhir ini merupakan penghasil
tanaman pangan dan palawija yang cukup besar. Selain potensi
tersebut, lingkungan alam Danau Tempe dan kehadiran rumah-
rumah mengapung sebagai permukiman tradisional di atas air yang
unik dan spesifik, menjadikan daerah ini sebagai daerah tujuan wisata
potensial di Sulawesi Selatan selain Toraja. Gambar 4.1 di bawah ini
menggambarkan peta Kabupaten Wajo di mana terdapat Danau Tempe,
yang juga berbatasan dengan kabupaten lain di sekitarnya. Sedangkan
Gambar 3.2 menunjukkan peta Danau Tempe dalam kedudukannya
terhadap daratan lain di sekitarnya.
Namun demikian, kondisi Danau Tempe sekarang ini sungguh
memprihatinkan. Adanya laju erosi dan sedimentasi yang cenderung
meningkat menyebabkan pendangkalan danau yang mencapai 10 cm
setiap tahun (Dinas Pengairan Kab. Wajo, 2006). Danau Tempe adalah
muara dari beberapa sungai, namun ada dua sungai utama dengan
berbagai anak sungai yang mengalir ke dalam Danau Tempe, yaitu
Sungai Bila dari utara dan Sungai WalanaE dari selatan. Tiga sungai
kecil seperti Lawo, Batu-Batu dan Bilokka mengalir secara langsung ke
Danau Tempe. Sungai WalanaE mengalir sejauh kurang lebih 100 km

80 / NAIDAH NAING
Gambar 3.2. Peta administratif Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
(Sumber: Bappeda Kabupaten Wajo, 2016)

Gambar 3.3 Peta Danau Tempe di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan


(Sumber: Topografi Kodam Sulawesi Selatan, 2016)

ke arah selatan dan bertemu dengan Sungai CenranaE di kota Sengkang.


Tetapi di saat elevasi air sungai tinggi, air Sungai WalanaE mengalir
langsung ke Danau Tempe melalui kawasan permukiman dan lahan
pertanian penduduk (Dinas Pengairan Kab. Wajo, 2006).
Bencana banjir akibat luapan air Danau Tempe terjadi hampir
setiap tahun di Kabupaten Wajo, yang mengakibatkan kerugian besar
bagi masyarakat dan pemerintah. Hal ini terjadi karena debit air yang
masuk ke Danau Tempe tidak sebanding dengan debit air yang keluar
sehingga tidak dapat tertampung dengan baik di Danau Tempe. Sungai
CenranaE merupakan satu-satunya sungai yang mengalir sejauh 69 km

DANAU TEMPE BAGIAN DARI SEJARAH ... / 81


ke arah tenggara dari kota Sengkang menuju Teluk Bone. Lebar sungai
ini pada bagian dasar adalah 30-80 meter dan lebar pada permukaan
mencapai 100-150 meter dengan kedalaman rata-rata 5-8 meter.
Kapasitas pengangkutan sungai ini adalah 250-650 m³/detik, meskipun
kondisi sungai ini sekarang telah mengalami pendangkalan yang cukup
serius (Dinas Pengairan Kab.Wajo, 2006).
Tidak banyak informasi sejarah yang menjelaskan mengapa
pendangkalan Danau Besar bisa terjadi. Informasi sejarah pendangkalan
Danau Besar yang ada hanya dimulai pada abad ke-14. Pendangkalan
yang menyebabkan perubahan kondisi geografi Danau Besar dikisahkan
oleh Pelras (2006:11) yaitu:

Sejak sekitar abad ke-14 Masehi, penebangan hutan secara luas,


pembukaan lahan pertanian secara terus-menerus di dataran rendah
dan lembah, ditambah pembukaan atau perluasan lahan perkebunan
dan penanaman palawija dengan sistem ‘tebang bakar’ atau ‘babat-
bakar’ yang terlalu intensif di perbukitan dan di pegunungan, telah
menyebabkan perbukitan gundul, lembah tandus serta musnahnya
berbagai jenis flora. Hal itu pada gilirannya merupakan penyebab
terjadinya erosi yang parah dan pendangkalan danau serta muara
sungai.

Pada bagian lain, Pelras (2006: 74) menyebutkan:

Selama berabad-abad aliran lumpur dalam jumlah yang besar yang


terbawa arus Sungai Saddang, Sungai WalanaE, dan Sungai Bila
mengubah ‘Danau Besar’ (Tappareng Karaja) di abad ke-16 itu
menjadi tiga danau lebih kecil dan lebih dangkal.

Dari informasi sejarah yang diungkapkan oleh Pelras, dapat


disimpulkan bahwa proses pendangkalan terjadi akibat erosi dan
sedimentasi yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Bahkan setelah
enam abad kemudian, erosi dan sedimentasi masih terus berlanjut yang
tentu saja disebabkan karena aktivitas manusia. Jika demikian halnya,
maka Danau Tempe ke depan hanya akan ada dalam teks-teks sejarah.[]

82 / NAIDAH NAING

Anda mungkin juga menyukai