DANAU TEMPE
BAGIAN DARI SEJARAH
KABUPATEN WAJO
73
an Wajo terbentuk. Kala itu tersebutlah sebuah negeri yang sangat subur
yang kemudian diberi nama Kerajaan Boli (cikal bakal Kerajaaan Wajo).
Setelah terbentuknya Kerajaan Tellu Kajuru’na Boli, maka
disepakatilah untuk mengangkat La Tenri Bali sebagai raja dari kerajaan
unifikasi tersebut pada tahun 1399 di bawah pohon besar (pohon Bajo).
Tempat pelantikan itu sampai sekarang masih bernama Wajo-Wajo, di
daerah Tosora, Kecamatan Majauleng.
Terungkap bahwa pada mulanya La Tenri Bali bersama saudaranya
bernama La Tenri Tippe secara berdua diangkat sebagai Arung
Cinnongtabi, menggantikan ayahnya yang bernama Lapatiroi. Dalam
pemerintahannya, La Tenri Tippe sering berbuat sewenang-wenang
terhadap rakyatnya yang diistilahkan ”Narempekengngi Bicara Tauwe”.
Sementara La Tenri Bali kemudian mengasingkan diri ke Penrang
(sebelah timur Tosora) dan menjadi Arung Penrang. Namun tak
lama kemudian, dia dijemput rakyatnya dan diangkat menjadi Arung
Mata Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara pelantikan di bawah pohon
Bajo, terjadi perjanjian antara La Tenri Bali dengan rakyatnya dan
diakhiri dengan kalimat “Bataraemani tu Mene’ Na Jancitta, Tanae
Mani Riawana” (Hanya Batara Langit di atasnya perjanjian kita, dan
bumi di bawahnya) Naritellana Petta La Tenri Bali Petta Batara Wajo.
Berdasarkan perjanjian tersebut, diubahlah istilah Arung Mata Esso
menjadi Batara, dan kerajaan baru didirikan, yang cikal bakalnya dari
Kerajaan Boli, menjadi Kerajaan Wajo, dan La Tenri Bali menjadi Batara
Wajo yang pertama.
Sedangkan untuk menentukan tanggal hari jadi Wajo, dikemukakan
beberapa versi, yakni versi tanggal 18 Maret, ketika armada
Lamaddukkelleng dapat mengalahkan armada Belanda di perairan
Pulau Barrang dan Koddingareng; versi tanggal 29 Maret, ketika
dalam peperangan terakhir, Lamaddukkelleng di Lagosi dapat
memukul mundur pasukan gabungan Belanda dan sekutu-sekutunya;
versi tanggal 16 Mei, ketika Lasangkuru Patau bergelar Sultan Abdul
Rahman Arung Matoa Wajo memeluk agama Islam; versi ketika Andi
Ninnong Ranreng Tuwa Wajo menyatakan di depan Dr. Sam Ratulangi
dan Lanto Dg. Pasewang di Sengkang pada 1945 bahwa rakyat Wajo
berdiri di belakang Negara Kesatuan Indonesia.
Dari versi tersebut, disepakati bahwa yang menjadi tanggal hari
jadi Wajo ialah versi tanggal 29 Maret, karena sepanjang sejarah,
belum pernah ada pejuang yang mampu mengalahkan Belanda pada
pertempuran terakhir. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1741. Dengan
74 / NAIDAH NAING
perpaduan dua versi tersebut di atas, maka disepakati bahwa hari jadi
Wajo ialah tanggal 29 Maret 1399.
Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Wajo pada masanya disebabkan
oleh berbagai aspek sebagaimana telah dikemukakan terdahulu.
Namun ada hal yang sangat hakiki yang perlu mendapatkan perhatian,
yakni adanya kepatuhan dan ketaatan raja dan rakyatnya terhadap
Pangadereng, Ade yang diwarisi dan disepakati, Ade Assiamengeng, Ade
Amaradekangeng, sistem Ade dengan sitilah Ade Maggiling Jancara,
serta berbagai falsafah hidup, pappaseng dan sebagainya.
Kepatuhan dan ketaatan rakyat Wajo terhadap rajanya dan
sebaliknya, perhatian dan pengayoman raja terhadap rakyatnya
adalah satu aspek terwujudnya ketenteraman dan kedamaian dalam
menjalankan pemerintahan pada masa itu. Hal ini dapat kita lihat
pada saat La Tiringeng to Taba dalam kedudukannya sebagai Arung
Simettengpola mengadakan perjanjian dengan rakyatnya. Perjanjian
ini dikenal dengan “Lamungpatue ri Lapaddeppa” (Penanaman batu
= Perjanjian Pemerintahan di Lapaddeppa’).
Inti dari perjanjian ini ialah bahwa rakyat akan patuh terhadap
perintah raja, asalkan atas kebaikan dan kemaslahatan rakyat, demikian
pula raja akan senantiasa mengayomi rakyatnya dengan dasar Ade,
Pengadereng (hukum).
PENINGGALAN-PENINGGALAN BERSEJARAH
KABUPATEN WAJO
Allangkanangnge, Kampung Sarepao, Desa We Cudai, Kecamatan
Pammana, Kabupaten Wajo di Sulawesi Selatan. Ini adalah salah satu
situs yang memiliki nilai sejarah tinggi. Allangkanangnge terkenal
sebagai istana dari We Cudai (Epos I La Galigo), dan dikenal sebagai
pusat istana kerajaan Cina sampai Cina berubah nama menjadi
Pammana. Dikumpulkan 251 keramik (tradeware) pecahan yang
berserakan di permukaan, dan digali pola sistem meter persegi di dalam
wilayah yang diidentifikasi oleh Kaharuddin sebagai daerah pusat utama
(sherdage konsentrasi).
Semua keramik (tradewares) itu buatan antara abad ke-13-17 M.
Selain itu, ada sebagian yang berasal dari abad ke-19-20 M. Pusat
permukaannya mencerminkan penggunaan terbaru dari situs—
terutama, yang ditingkatkan menjadi situs monumen oleh masyarakat
lokal (Bulbeck, 2000; Bulbeck dan Caldwell, 2000). Kutipan dari
76 / NAIDAH NAING
yang berlayar dari jauh seolah-olah tempat ini berada di tepi pantai
(Pelras, 2006). Pada saat itu, Danau Tempe menjadi poros dua jalur
pelayaran strategis di Sulawesi Selatan, yaitu jalur yang menghubungkan
Selat Makassar dengan Teluk Bone serta jalur Teluk Bone hingga
hulu Sungai WalanaE. Jalur pertama adalah jalur pelayaran dari Selat
Makassar melalui Pare-Pare, Danau Sidenreng, Danau Tempe dan
keluar ke Teluk Bone melalui Sungai CenranaE. Sedangkan jalur
kedua adalah dari Teluk Bone masuk melalui Sungai CenranaE dan
terus sampai hulu Sungai WalanaE yang berada di daerah pegunungan
Soppeng, Bone dan Maros. Kedua jalur ini menjadi jalur strategis
pada masa itu karena belum adanya jalur darat yang menghubungkan
tempat-tempat tersebut. Hal ini seperti yang dikemukakan pula oleh
Manual Pinto, seorang berkebangsaan Portugis, dalam Muh Ta’ng
(2006) yang menyatakan bahwa hingga tahun 1828, Danau Tempe
dapat dilayari perahu-perahu besar seperti kapal layar Portugis dari
laut menuju Sidenreng (sekarang Kabupaten Sidrap). Di kampung-
kampung (wanua-wanua) di tepi danau, perdagangan berkembang
pesat. Berbagai pedagang dari dalam dan luar negeri datang dengan
menggunakan perahu-perahu layar yang besar seperti dari pelabuhan
Gresik, Palembang, Malaka, India, Campa, dan Eropa. Kondisi ini
berlangsung sebelum abad ke-10 hingga akhir abad ke-14. Maka,
tidak mengherankan jika pada tahun 1970-an ditemukan jangkar kapal
berukuran besar di Danau Tempe dan jangkar tersebut kini disimpan
di museum kota Sengkang.
Jauh sebelum Bandar Niaga Makassar menjadi pusat pelayaran niaga
di kawasan timur Nusantara, kawasan Danau Tempe telah menjadi
pusat perniagaan emas, perak, biji besi, tembaga, arang, beras, sutra,
keramik, rempah-rempah, hasil hutan, hasil laut, hasil danau, budak,
dan lain-lain. Hal ini terbukti dari berbagai temuan arkeologi di Tosora,
Kecamatan Majauleng, Kabupaten Wajo, seperti keramik, kerajinan
sutra dan kuburan orang Cina. Selain itu, beberapa situs kuburan para
pedagang dari luar yang telah berusia ratusan tahun juga ditemukan
di Lagosi, Kecamatan Pitumpanua di Kabupaten Wajo (Naing, 2008).
Akulturasi bahasa juga ditemukan terkait penggunaan beberapa nama
tempat yang tidak ditemukan dalam bahasa Bugis. Hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat kawasan Teluk Bone pada umumnya, dan komunitas
Danau Tempe pada khususnya, telah menjalin kontak internasional dan
telah melakukan proses akulturasi yang panjang dan luas.
Adanya jalur pelayaran yang cukup besar melalui Danau Tempe
pada masa lalu dapat juga ditelusuri melalui perubahan kondisi
78 / NAIDAH NAING
laut tawar. Penyebutan ini karena tawarnya air dari Tappareng Karaja
meskipun merupakan bagian langsung dari laut. Masyarakat Bugis
mengartikan kata “tappareng” dengan kata danau, sementara masyarakat
Makassar mengartikan kata “tamparang” dengan kata laut. Terlepas dari
perbedaan pengertian antara suku Bugis dan Makassar, pemberian nama
oleh kedua suku yang berada di sekitar danau tersebut membenarkan
keberadaan danau yang sangat besar di masa lalu. Sedemikian besarnya
hingga Suku Makassar menyamakannya dengan laut.
80 / NAIDAH NAING
Gambar 3.2. Peta administratif Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
(Sumber: Bappeda Kabupaten Wajo, 2016)
82 / NAIDAH NAING