Sejarah Bojonegoro
Di waktu masa Maha Raja Balitung (th 910 M) yang menguasai Jawa Tengah dan Jawa
Timur daerah yang sekarang dikenal dengan nama Bojonegoro belumlah ada. Yang ada hanyalah
hutan luas yang diimpit oleh pegunungan kapur di sebelah selatan dan utara yang dilewati sungai
bengawan solo dan sungai brantas.
Hutan ini baru ditempati kira-kira tahun 1000 masehi oleh orang-orang Keratin Madang
Kemulan. Awal mulanya hutan ini diberi nama alas tuo (hutan tua), namun setelah masyarakat
imigran dari Jawa Tengah datang, mulailah banyak didirikan desa-desa di sekitar hutan.
Diantaranya adalah Desa Gadung, Desa Dander dan sebagainya.
Jalan propinsi kota Bojonegoro antara lain ; Jl. Gajah Mada, Dipenogoro, Kartini, AKBP
M. Soeroko sampai Jalan Jaksa Agung Suprapto. Jalan-jalan tersebut dulunya masih berupa
sungai besar yang sekarang dinamakan Sungai Bengawan Solo yang waktu itu ramai sekali
digunakan untuk perdagangan. Dulu, raja senang sekali berburu, dan saat ini tempat yang dulu
sering digunakan sebagai tempat berburu raja berada di Desa Padang dan Sumberarum. Kerajaan
Hurarandu Purwa musnah bersamaan dengan hilangnya raja rakai pikatan secara turun menurun.
Di awal abad 19, Indonesia berada dibawah kekuasaan pemerintahan Belanda. Di tahun
1824 ada 3 daerah di sekitar Bojonegoro yang belum ikut dalam pemerintahan Belanda yaitu
daerah:
Ketiga bupati di atas, berada di bawah pengawasan Bupati Madiun yang bernama R.T
Ronggo yang mewakili Kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Waktu itu nama Bojonegoro belum
ada. Pemerintahan Belanda menginginkan ketiga kabupaten dijadikan satu dan dibentuk sebuah
kabupaten baru yang ikut dalam wilayah pemerintahan Belanda. Untuk keperluan tersebut,
akhirnya tiga bupati di atas diajak bermusyawarah di daerah Padangan. Hal ini terjadi pada
tahun 1826. Akan tetapi ketidakhadiran Bupati Mojoranu yaitu R.T Sosrodinigrat yang sedang
berpergian ke Desa Cabean di daerah Rejoso Nganjuk, dapat dijadikan alasan untuk
mengurungkan niat penggabungan kabupaten tersebut.
Disuatu waktu R.T Joyonegoro malihat R.M Suratin, dan R.T Sosrodiningrat sebagai
Bupati Mojoranu memakai kebesan kerajaan. Saat itu juga R.M Suratin ditangkap dan
dijebloskan ke penjara Rajekwesi. Kejadian itu diketahui R.T Sorodilogo. Setelah berunding
dengan Patih Demangan R. Sumodirojo dan Demang Kapoh, maka R.T Sosrodilogo meminta
bantuan kepada Pengeran Dipenogoro dari mataram. Akhirnya dikirimlah bala bantuan sebanyak
40 orang. Kejadian tersebut sengaja di buat hingga akhirnya terjadi peperangan kecil diantara
Mojoranu dan Rajekwesi. Ke-40 orang dari Mataram kemudian ditawan dan Pateh Demangan R.
Sumodirjo gugur dan dimakamkan di Desa Bendo (kapas). R.T Sosrodilogo juga dimasukan ke
penjara dan dituduh sebagai pemberontak. Dipenjara Rajekwesi, R.T Sosrodilogo bertemu
dengan adiknya R.M Suratin. Keduanya bekerjasama untuk mengadakan pemberontakan dengan
perencanaan yang lebih matang dan rapi.
Akhirnya keduanya bisa lepas dari penjara dan peperangan dimulai kembali. Kabupaten
Rajekwesi dikepung dari berbagai arah. Dalam peperangan ini Patih Somodikaran gugur dan
dimakamkan di desa yang sekarang disebut Desa Sumodikaran (dander). Kekuatan Kerajaan
Rajegwesi melemah. Pasukan Mojoranu terus maju dan mendesak pasukan rajekwesi. Pada
akhirnya Rajekwesi pun hancur.
Pemerintahan Belanda mendirikan markas kecil dan pos-pos pertahanan di daerah yang
masih mereka kuasai, diantaranya; Rembang Blora. Rajekwesi, Bancar, Jatirogo, Planturan,
Babat, Kapas dll. Pasukan Belanda semakin meningkatkan pertahanannya untuk mengimbangi
pemberontakan rakyat. Sementara itu pahlawan R.T Sosrodilogo di rajekwesi dan sekitarnya.
Kemenangan Sosrodilogo bersama pengikut merebut rajekwesi akhirnya menimbulkan semangat
perlawanan terhadap belanda di daerah lain. Kota Baorno yang diduduki belanda yang berada di
perbatasan Surabaya dan tuban meraka kewalahan dan terancam. Pasukan rakyat juga menguasai
daerah selatan padangan. Diteruskan kemudian akanmenyerang kota ngawi. Bisa dikatakan
diakhiri. Tahun 1827 di daerah rajekwesi di penuhi dengan pemberontakan dan peperangan.
Pahlawan rakyat melawan pemrenthan belnda si awali dari pecahnya oerang di penogoro
di mataram pda tahun 1825. R.T Sosrodilogo yang memimpin pasukannya merebut rejekwesi
sempat juga di jadikan perwira pasukan kraton Yogyakrata dan pangeran dipenogoro.
Perlawanan rakyat juga dialami di kota blora dipimpin oleh Raden Ngabel Tortonoto yang
akhirnya menguasai kota blora. Akhirnya kota rajekwesi dibakar hangus oleh pasukan mojoranu
R.T Sosrodilogo bersama pasukannya menguasai semua daerah sekitar kabupaten rejekwesi.
Bupati rajekwesi R.T joyonegoro melarikan diri meminta ke bupati sedayu. Sebelum sampai
kabupaten sedayu teryata R.T joyonegoro bertemu dengan bupati sedayu di bengawan solo yang
sudah siap dengan bala tentaranya yang akan membantu R.T joyonegoro.
Kota rajekwesi akhirnya diduduki oleh R.T Sosrodilogo salah satu kesalahan besar
pasukan rakyat adalah setelah mengalami kemenangan dalam peperangan. Banyak dari pasukan
itu mau bersenang-senang dahulu sebelum meneruskan peperangan selanjutnya. Hal ini di
manfaatkan oleh belanda untuk mengumpulkan dan menata kekuatan kembali. Bantuan dari
belanda mengalir terus menerus ke rembang dan rejekwesi. Pasukan belandaa dari padangan
akhirnya dikirim masuk ke kota rajekwesi pasukan rakyat semakin terdesak. mojoranu dapat
dikalahkan R.T Sosrodilogo bersama pasukan yang tersisa melarikan diri.
Pada tanggal 26 januari 1828 belanda dapat memasuki kota rajekwesi. R.T Sorodilogo
malarikan diri ke arah selatan planturan. Semangat pangikut R.T Sosrodilogo menjadi lemah.
Pada tanggal 7 maret 1828 bisa dikatakan pahlawan rakyat di daerah rembang. Rajekwesi dan
lain-lain dianggap rampung. R.T Sosrodilogo bersama saudarannya yaitu raden bagus menjadi
buronan oleh pihak belanda. Belanda mengadakan seyembara untuk menangkap kesua orang
tersebut. Raden bagus akhirnya diserahkan kepada bupati setempat R.T Sosrodilogo melarikan
diri ke jawa tengah dan bergabung dalam peperangan dipenogoro. Namun ahirnya pada tanggal
3 oktober 1828 R.T Sosrodilogo menyerah kepada belanda.
Setelah peperangan usai maka pemerentahan belanda mengundang R.T Sosorodilogo dan
bupati sedayu menghadiri pesta besar-besaran (suka-suka bojono) untuk merayakan keberhasilan
mengalahkan pasukan mojoranu. Saat itu pula pemerentah belanda mengangkat R.T Joyonegoro
menjadi bupati bojonegoro. Nama kabupaten bojonegoro di ambil untuk menggantikan kerajaan
rajekwesi yang sudah hancur. BOJO yang berarti bersenang-senang dalam perayaan tersebut.
Sedangkan NEGORO berati Negara. Saat itu pemerentahan belanda dipimpin oleh H. Marcus
De Kock dengan perangkat Letnan Gubernur Jendar (1826-1830).
Di tahun 1828 bengawan solo sudah terpecah menjadi dua aliran. Desa Boghadung yang
tedinya berada di sebelah utara bengawan. Setelah pindah di Boghadung ini kabupaten rajekwesi
berubah menjadi nama Bojonegoro.
Di sini di berkembang cerita bahwa kata BO dari bojonegoro diambil dari kata
Boghadung yang akhirnya menjadi kata Bojonegoro. Ada pula cerita lain yang mengatkan
bahwa bojonegoro berasal dari kata BOJON yang artinya SUGU atau tanah yang diberikan
untuk Negara dari daerah Tuban. R.T Joyonegoro beserta keluarganya pindah ke bojonegoro dan
pension menjadi bupati bojonegoro pada tahun 1844.
dan sekarang ini bupati bojonegoro yang peduli dan mau terjun langsung ke masyarakat desa
dan mampu menunjukan perkembangan masyarakat-masyarakat desa dengan sangat pesat dan
insyaallahtidah lagi GAPTEK adalah KANG YOTO
Letnan Satu (Anumerta) Raden Mas Soejitno Koesoemobroto, (lahir di Tuban, Jawa
Timur, 4 November 1925 meninggal di , Bojonegoro, 15 Januari 1949 pada umur 23 tahun)
adalah Pahlawan nasional Indonesia dari Kabupaten Bojonegoro dan seorang putra dari
R.M.A.A Koesumobroto Bupati Tuban ke-37 (1927-1944), yang pada masa itu bapaknya
menjadi orang nomor satu di Kabupaten Tuban. R.M Soejitno Koesoemobroto mengeyam
Pendidikan Dasar (ELS) di Tuban kemudian melanjutkan (HOS) nya di Surabaya akan tetapi
belum sampai lulus kemudian menyelesaikan pendidikan setingkat SMP nya di Tuban. Setelah
itu Soejitno melanjutkan pendidikan di Syodenco (Perwira PETA) di Bogor. Karier Soejitno
diawali pada Zaman Penjajahan Jepang sebagai perwira PETA (Syodenco) di Dai Ni Daidan
Tuban.
Setelah Indonesia merdeka Soejitno masuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara
Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), Tentara Republik Indonesia
(TRI), dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Batalyon Suharto Resimen 30 Divisi V di
Tuban, Lettu Soejitno sempat berpindah ke Batalyon 16 Brigade Ronggolawe dengan Pangkat
Letnan Satu dengan jabatan sebagai Perwira Operasi, tepatnya pada awal tahun 1948. Dan ketika
kles II tahun 1949 Lettu Soejitno menjadi komandan perlawanan dan pertempuran di Palagan
Temayang. pada masa peperangan tepatnya tanggal 15 Januari 1949, Lettu Soejitno Gugur
dalam pertempuran melawan Belanda. Pada tanggal 15 Januari 1949 terjadi pertempuran yang
dahsyat dan Lettu Soejitno sebagai komando perlawanan dalam pertempuran di Palagan
Temayang, dalam pertempuran tersebut ia Gugur sebagai kusuma bangsa Di Desa Mulyoagung.
Kecamatan Balen, Kabupaten Bojonegoro.