Anda di halaman 1dari 8

Bagian-Bagian Lambang Daerah

1. Sebuah bintang bersegi lima


2. Sebuah tugu kepahlawanan yang berdiri tegak diatas sebuah denah bertingkat lima
3. Kesatuan gelombang air yang terjadi dari lima arus dengan masing-masing terdiri dari
empat riak
4. Tangkai padi yang memiliki empat puluh lima butir dan tangkai kapas yang memiliki
tujuh belas rangkai bunga yang tengah merekah
5. Sehelai pita pelangi
Susunan Lambang Daerah
1. Dibagian atas terdapat bintang bersegi lima yang bersinar di atas tugu kepahlawanan
yang berdenah lima tingkat
2. Dibawah tugu kepahlawanan terlukis gelombang air terdiri dari lima arus dengan
masing-masing 4 riak
3. Seluruh lukisan lambang bertatahkan kata-kata hikmah: JER KARTA RAHARJA
MAWA KARYA
Bentuk, Warna, Isi dan Arti Lambang Daerah
1. Bentuk perisai dengan warna dasar Merah dan Putih berbingkai warna hitam pekat,
melambangkan kesiap-siagaan, kewaspadaan dan dengan penuh keberanian serta segala
kesucian hati, untuk menangkis menanggulangi dan mengatasi segala pengaruh yang
datang dari luar, yang dapat merugikan perjuangan bangsa dan negara
2. Segi 8 dari perisai mengandung makna bulan delapan sebagai bulan Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia
3. Bintang bersegi 5 dengan warna kuning emas yang bersinar di atas tugu kepahlawanan
menggambarkan pancaran keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME, telah menjiwai
semangat perjuangan yang tak pernah padam dalam mencapai, mempertahankan serta
mengisi Kemerdekaan
4. Denah Tugu Kepahlawanan bertingkat 5 melambangkan tegaknya cita-cita dan semangat
Proklamasi Kemerdekaan diatas landasan falsafah hidup Pancasila yang tidak kunjung
padam
5. Gelombang air dengan warna biru kelam diatas hamparan air berwarna biru muda
melambangkan sumber potensi alam dan makhluk Tuhan yang tersebar diseluruh penjuru
daerah serta tekad dan usaha yang dinamis untuk membebaskan diri dari masalah air
6. Tangkai padi dengan 45 butir berwarna kuning keemasan, dalam satu ikatan dengan
tangkai kapas yang berbunga 17 kuntum yang tengah merekah berwarna putih perak
melambangkan ketinggian cita-cita dan besarnya tekad berjuang kearah terciptanya
kebutuhan pangan sandang masyarakat dengan berlandaskan jiwa Proklamasi
Kemerdekaan mencapai kebahagiaan dan Kesejahteraan rakyat
7. 45 butir dengan 17 kuntum bunga kapas mengambil makna tahun dan tanggal Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia
8. Lukisan kata BOJONEGORO dengan warna huruf hitam pekat mengandung makna
bahwa Bojonegoro adalah daerah yang gagah perkasa dan teguh hati dalam menghadapi
setiap tantangan
9. Pita pelangi dengan warna coklat kayu yang berlukiskan kata: JER KARYA RAHARJA
MAWA KARYA merupakan tema hidup masyarakat adil dan makmur dengan Ridlo
Tuhan Yang Maha Esa dengan kekayaan alam yang ada di daerah
10. JER KARTA RAHARJA MAWA KARYA mengandung makna kiasan bahwa suatu usaha
untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat tak pernah kunjung tiba
tanpa dibarengi dengan bekerja keras dan bekerja nyata atas dasar pengabdian yang tulus
dan ikhlas
11. Keseluruhannya dirangkum oleh untaian tangkai padi dan bunga kapas bertemu pada
kedua pangkal tangkai.

Sejarah Bojonegoro

Di waktu masa Maha Raja Balitung (th 910 M) yang menguasai Jawa Tengah dan Jawa
Timur daerah yang sekarang dikenal dengan nama Bojonegoro belumlah ada. Yang ada hanyalah
hutan luas yang diimpit oleh pegunungan kapur di sebelah selatan dan utara yang dilewati sungai
bengawan solo dan sungai brantas.

Hutan ini baru ditempati kira-kira tahun 1000 masehi oleh orang-orang Keratin Madang
Kemulan. Awal mulanya hutan ini diberi nama alas tuo (hutan tua), namun setelah masyarakat
imigran dari Jawa Tengah datang, mulailah banyak didirikan desa-desa di sekitar hutan.
Diantaranya adalah Desa Gadung, Desa Dander dan sebagainya.

Para pendatang yang mendirikan desa-desa itu membuat masyarakat sendiri


berdasarakan hubungan keluarga. Di tiap-tiap masyarakat tersebut terdapat kepala desa. Di
antara kepala desa tersebut, ada yang bernama Ki Rahadi yang menguasai Dukuh Randu
Gempol. Akibat masuknya kebudayaan hindu yang di terima Ki Rahadi, maka cara
pemerintahan yang sedang ia pegang cenderung meniru cara pemerintahan hindu.

Kemudian nama Ki Raharadi di ubah menjadi Rakai Purnawakilan. Dukuh Randu


Gempol diubah menjadi Kerajaan Hurandhu Purwo (sekarang tempatnya di Plesungan, Kapas).
Beliau mengangkat dirinya sendiri menjadi raja yang mempunyai aliran Syiwa. Kerajaan
diperluas dari Gunung Pegat hutan Babatan (sekarang Babat), sampai Purwosari Cepu dan
Jatirogo (Tuban) sampai layaknya benteng pertahanan kerajaan. Pusat kerajaan berlokasi di
daerah Kedaton (sekarang di daerah Kapas).

Jalan propinsi kota Bojonegoro antara lain ; Jl. Gajah Mada, Dipenogoro, Kartini, AKBP
M. Soeroko sampai Jalan Jaksa Agung Suprapto. Jalan-jalan tersebut dulunya masih berupa
sungai besar yang sekarang dinamakan Sungai Bengawan Solo yang waktu itu ramai sekali
digunakan untuk perdagangan. Dulu, raja senang sekali berburu, dan saat ini tempat yang dulu
sering digunakan sebagai tempat berburu raja berada di Desa Padang dan Sumberarum. Kerajaan
Hurarandu Purwa musnah bersamaan dengan hilangnya raja rakai pikatan secara turun menurun.

Di awal abad 19, Indonesia berada dibawah kekuasaan pemerintahan Belanda. Di tahun
1824 ada 3 daerah di sekitar Bojonegoro yang belum ikut dalam pemerintahan Belanda yaitu
daerah:

1. Kabupaten Mojoranu (dander) yang dipimpin oleh bupati R.T. Sosrodiningrat.


2. Kabupaten Padangan (desa pasinan) yang di pimpin oleh bupati R.T. Prawirogdo
3. Kabupaten Baurno (desa kauman) yang dipimpin oleh Bupati R.T. Honggrowikomo

Ketiga bupati di atas, berada di bawah pengawasan Bupati Madiun yang bernama R.T
Ronggo yang mewakili Kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Waktu itu nama Bojonegoro belum
ada. Pemerintahan Belanda menginginkan ketiga kabupaten dijadikan satu dan dibentuk sebuah
kabupaten baru yang ikut dalam wilayah pemerintahan Belanda. Untuk keperluan tersebut,
akhirnya tiga bupati di atas diajak bermusyawarah di daerah Padangan. Hal ini terjadi pada
tahun 1826. Akan tetapi ketidakhadiran Bupati Mojoranu yaitu R.T Sosrodinigrat yang sedang
berpergian ke Desa Cabean di daerah Rejoso Nganjuk, dapat dijadikan alasan untuk
mengurungkan niat penggabungan kabupaten tersebut.

Selama perginya Bupati Mojoranu, pemerintahan Kabupaten Mojoranu diserahkan


kepada Pateh Demang R. Sumosirjo beserta putra-putrinya yaitu R.M Sosrodilogo, dan R.M
Surratin yang waktu itu masih bertempat tinggal di daerah Nganjuk, dan masih belajar agama di
daerah Ngithitik. Keinginan Pemerintahan Belanda untuk menyatukan tiga daerah tersebut
akhirnya gagal. Kemudian Pemerintah Belanda memasang rambu-rambu di wilayah Mojoranu,
dan membuat sebuah daerah tandingan yang di beri nama Kabupten Rajekwesi, sekaligus
membuat penjara. Pemerintahan Belanda mengangkat R.T Purwonegoro menjadi Bupati
Rajekwesi yang waktu itu masih berstatus sebagai Bupati Probolinggo, namun hanya untuk
semestara. Pusat kabupaten waktu itu berlokasi di daerah Ngumpak Dalem.

Karena pemerintahan R.T Purwonegoro di Rejekwesi tidak sesuai dengan yang


diharapkan oleh Belanda, maka Belanda mengangkat R.T Joyonegoro, anak R.T Purwonegoro
untuk menggantikan bapaknya. Di masa pemerintahan Belanda, Kapubaten Mojoranu dianggap
tidak ada. Melihat kenyataan yang demikian, R.T Sosrodilogo akhirnya mengadakan hubungan
dengan Pangeran Dipenogoro di Mataram.

Disuatu waktu R.T Joyonegoro malihat R.M Suratin, dan R.T Sosrodiningrat sebagai
Bupati Mojoranu memakai kebesan kerajaan. Saat itu juga R.M Suratin ditangkap dan
dijebloskan ke penjara Rajekwesi. Kejadian itu diketahui R.T Sorodilogo. Setelah berunding
dengan Patih Demangan R. Sumodirojo dan Demang Kapoh, maka R.T Sosrodilogo meminta
bantuan kepada Pengeran Dipenogoro dari mataram. Akhirnya dikirimlah bala bantuan sebanyak
40 orang. Kejadian tersebut sengaja di buat hingga akhirnya terjadi peperangan kecil diantara
Mojoranu dan Rajekwesi. Ke-40 orang dari Mataram kemudian ditawan dan Pateh Demangan R.
Sumodirjo gugur dan dimakamkan di Desa Bendo (kapas). R.T Sosrodilogo juga dimasukan ke
penjara dan dituduh sebagai pemberontak. Dipenjara Rajekwesi, R.T Sosrodilogo bertemu
dengan adiknya R.M Suratin. Keduanya bekerjasama untuk mengadakan pemberontakan dengan
perencanaan yang lebih matang dan rapi.

Akhirnya keduanya bisa lepas dari penjara dan peperangan dimulai kembali. Kabupaten
Rajekwesi dikepung dari berbagai arah. Dalam peperangan ini Patih Somodikaran gugur dan
dimakamkan di desa yang sekarang disebut Desa Sumodikaran (dander). Kekuatan Kerajaan
Rajegwesi melemah. Pasukan Mojoranu terus maju dan mendesak pasukan rajekwesi. Pada
akhirnya Rajekwesi pun hancur.

Pemerintahan Belanda mendirikan markas kecil dan pos-pos pertahanan di daerah yang
masih mereka kuasai, diantaranya; Rembang Blora. Rajekwesi, Bancar, Jatirogo, Planturan,
Babat, Kapas dll. Pasukan Belanda semakin meningkatkan pertahanannya untuk mengimbangi
pemberontakan rakyat. Sementara itu pahlawan R.T Sosrodilogo di rajekwesi dan sekitarnya.
Kemenangan Sosrodilogo bersama pengikut merebut rajekwesi akhirnya menimbulkan semangat
perlawanan terhadap belanda di daerah lain. Kota Baorno yang diduduki belanda yang berada di
perbatasan Surabaya dan tuban meraka kewalahan dan terancam. Pasukan rakyat juga menguasai
daerah selatan padangan. Diteruskan kemudian akanmenyerang kota ngawi. Bisa dikatakan
diakhiri. Tahun 1827 di daerah rajekwesi di penuhi dengan pemberontakan dan peperangan.

Pahlawan rakyat melawan pemrenthan belnda si awali dari pecahnya oerang di penogoro
di mataram pda tahun 1825. R.T Sosrodilogo yang memimpin pasukannya merebut rejekwesi
sempat juga di jadikan perwira pasukan kraton Yogyakrata dan pangeran dipenogoro.
Perlawanan rakyat juga dialami di kota blora dipimpin oleh Raden Ngabel Tortonoto yang
akhirnya menguasai kota blora. Akhirnya kota rajekwesi dibakar hangus oleh pasukan mojoranu
R.T Sosrodilogo bersama pasukannya menguasai semua daerah sekitar kabupaten rejekwesi.
Bupati rajekwesi R.T joyonegoro melarikan diri meminta ke bupati sedayu. Sebelum sampai
kabupaten sedayu teryata R.T joyonegoro bertemu dengan bupati sedayu di bengawan solo yang
sudah siap dengan bala tentaranya yang akan membantu R.T joyonegoro.

Kabupaten sedayu merupakan sekutu rajekwesi yang sama-sama mengakui kekuasaan


pemerentahan belanda. Di pinggir daerah rajekwesi bupati sedayu bersama pasukanya
mendirikan markas-marakas kecil sementara pasukan lainya diperentah untuk menyerbu
kabupaten mojoranu. Sesampai di kabupaten mojoranu pasukan sedayu bertempur dengan
pasukan mojoranu. Pasukan sedayu yang berasal dari orang-orang masura dan makasar akhirnya
terdesak dan kembali ke markasanya.

Kota rajekwesi akhirnya diduduki oleh R.T Sosrodilogo salah satu kesalahan besar
pasukan rakyat adalah setelah mengalami kemenangan dalam peperangan. Banyak dari pasukan
itu mau bersenang-senang dahulu sebelum meneruskan peperangan selanjutnya. Hal ini di
manfaatkan oleh belanda untuk mengumpulkan dan menata kekuatan kembali. Bantuan dari
belanda mengalir terus menerus ke rembang dan rejekwesi. Pasukan belandaa dari padangan
akhirnya dikirim masuk ke kota rajekwesi pasukan rakyat semakin terdesak. mojoranu dapat
dikalahkan R.T Sosrodilogo bersama pasukan yang tersisa melarikan diri.

Pada tanggal 26 januari 1828 belanda dapat memasuki kota rajekwesi. R.T Sorodilogo
malarikan diri ke arah selatan planturan. Semangat pangikut R.T Sosrodilogo menjadi lemah.
Pada tanggal 7 maret 1828 bisa dikatakan pahlawan rakyat di daerah rembang. Rajekwesi dan
lain-lain dianggap rampung. R.T Sosrodilogo bersama saudarannya yaitu raden bagus menjadi
buronan oleh pihak belanda. Belanda mengadakan seyembara untuk menangkap kesua orang
tersebut. Raden bagus akhirnya diserahkan kepada bupati setempat R.T Sosrodilogo melarikan
diri ke jawa tengah dan bergabung dalam peperangan dipenogoro. Namun ahirnya pada tanggal
3 oktober 1828 R.T Sosrodilogo menyerah kepada belanda.
Setelah peperangan usai maka pemerentahan belanda mengundang R.T Sosorodilogo dan
bupati sedayu menghadiri pesta besar-besaran (suka-suka bojono) untuk merayakan keberhasilan
mengalahkan pasukan mojoranu. Saat itu pula pemerentah belanda mengangkat R.T Joyonegoro
menjadi bupati bojonegoro. Nama kabupaten bojonegoro di ambil untuk menggantikan kerajaan
rajekwesi yang sudah hancur. BOJO yang berarti bersenang-senang dalam perayaan tersebut.
Sedangkan NEGORO berati Negara. Saat itu pemerentahan belanda dipimpin oleh H. Marcus
De Kock dengan perangkat Letnan Gubernur Jendar (1826-1830).

R.T Joyonegoro Bupati Bojonegoro 1827-1844.

Berdasarkan cerita pusat kabupaten rejekwesi dulunya terletak di daerah Ngumpak


Dalem, maka setelah peperangan dipindah ke daerah boghadung yang terletak di sebelah utara
rajekwesi. Berdasarkan pertimbangan pada pejabat waktu itu. Tidak baik mendirikan Negara di
lokasi yang sama dengan alas an rejekwesi pernah kalah dalam peperangan mojoranu. Desa
Boghadung yang terletak sebelah utara bengawan solo masih ikut darah tuban waktu itu.

Di tahun 1828 bengawan solo sudah terpecah menjadi dua aliran. Desa Boghadung yang
tedinya berada di sebelah utara bengawan. Setelah pindah di Boghadung ini kabupaten rajekwesi
berubah menjadi nama Bojonegoro.

Di sini di berkembang cerita bahwa kata BO dari bojonegoro diambil dari kata
Boghadung yang akhirnya menjadi kata Bojonegoro. Ada pula cerita lain yang mengatkan
bahwa bojonegoro berasal dari kata BOJON yang artinya SUGU atau tanah yang diberikan
untuk Negara dari daerah Tuban. R.T Joyonegoro beserta keluarganya pindah ke bojonegoro dan
pension menjadi bupati bojonegoro pada tahun 1844.

dan sekarang ini bupati bojonegoro yang peduli dan mau terjun langsung ke masyarakat desa
dan mampu menunjukan perkembangan masyarakat-masyarakat desa dengan sangat pesat dan
insyaallahtidah lagi GAPTEK adalah KANG YOTO
Letnan Satu (Anumerta) Raden Mas Soejitno Koesoemobroto, (lahir di Tuban, Jawa
Timur, 4 November 1925 meninggal di , Bojonegoro, 15 Januari 1949 pada umur 23 tahun)
adalah Pahlawan nasional Indonesia dari Kabupaten Bojonegoro dan seorang putra dari
R.M.A.A Koesumobroto Bupati Tuban ke-37 (1927-1944), yang pada masa itu bapaknya
menjadi orang nomor satu di Kabupaten Tuban. R.M Soejitno Koesoemobroto mengeyam
Pendidikan Dasar (ELS) di Tuban kemudian melanjutkan (HOS) nya di Surabaya akan tetapi
belum sampai lulus kemudian menyelesaikan pendidikan setingkat SMP nya di Tuban. Setelah
itu Soejitno melanjutkan pendidikan di Syodenco (Perwira PETA) di Bogor. Karier Soejitno
diawali pada Zaman Penjajahan Jepang sebagai perwira PETA (Syodenco) di Dai Ni Daidan
Tuban.

Setelah Indonesia merdeka Soejitno masuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara
Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), Tentara Republik Indonesia
(TRI), dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Batalyon Suharto Resimen 30 Divisi V di
Tuban, Lettu Soejitno sempat berpindah ke Batalyon 16 Brigade Ronggolawe dengan Pangkat
Letnan Satu dengan jabatan sebagai Perwira Operasi, tepatnya pada awal tahun 1948. Dan ketika
kles II tahun 1949 Lettu Soejitno menjadi komandan perlawanan dan pertempuran di Palagan
Temayang. pada masa peperangan tepatnya tanggal 15 Januari 1949, Lettu Soejitno Gugur
dalam pertempuran melawan Belanda. Pada tanggal 15 Januari 1949 terjadi pertempuran yang
dahsyat dan Lettu Soejitno sebagai komando perlawanan dalam pertempuran di Palagan
Temayang, dalam pertempuran tersebut ia Gugur sebagai kusuma bangsa Di Desa Mulyoagung.
Kecamatan Balen, Kabupaten Bojonegoro.

Anda mungkin juga menyukai