Anda di halaman 1dari 3

Pong Tiku dilahirkan di Pangala, Toraja, Sulawesi Selatan pada tahun 1846.

Sebagai anak
seorang pemimpin adat yang mempunyai pengaruh besar di Pangala dan daerah sekitarnya,
Pong Tiku sering diajak sang ayah untuk menghadiri pertemuan dengan para pemimpin adat
lainnya.

Maksud pertemuan tersebut adalah untuk membahas segala hal yang berhubungan dengan
masalah kemasyarakatan.

Karena seringkali mendampingi sang ayah ketika menjalankan perannya sebagai pemimpin
adat, kemampuan kepemimpinan Pong Tiku pun semakin terlihat.

Saat terjadi konflik bersenjata yang melibatkan Pangala dan daerah Baruppu, ia mengambil alih
kepemimpinan pasukan dari ayahnya yang sudah memasuki usia senja.

Selanjutnya pada tahun 1898, ia terlibat dalam "Perang Kopi". Dinamakan perang kopi karena
Toraja sebagai penghasil kopi yang bermutu tinggi menjadi rebutan para penguasa daerah di
sekitarnya.

Dalam peperangan itu, Pong Tiku berhadapan dengan pasukan Bone. Namun pada akhirnya
peperangan antara Pangala dan Bone dapat diselesaikan dengan damai.

Berkaca dari pengalamannya ketika terlibat dalam Perang Kopi, Pong Tiku kemudian mulai
menyadari bahwa ia harus memperkuat pertahanan daerahnya.

Ia memanfaatkan kopi sebagai alat barter untuk memperoleh senjata. Benteng-benteng pun
mulai dibangunnya di tempat yang dianggapnya strategis, yakni di atas bukit-bukit karang yang
terjal sehingga sulit dicapai oleh pihak lawan. Salah satu benteng yang kuat itu bernama
benteng Buntubatu.

Selain memperkuat pertahanan daerahnya dengan memperbanyak persenjataan dan


membangun benteng, ia juga menjalin persahabatan dengan para penguasa lain di Toraja.

Persiapan yang telah dilakukan itu memang sangat berguna di kemudian hari ketika harus
menghadapi gempuran Belanda.

Seperti pada saat Belanda melancarkan ekspedisi militer guna menaklukan kerajaan-kerajaan
di Sulawesi Selatan yang tidak mau mengakui kekuasaan mereka.

Ekspedisi militer tersebut terjadi pada tahun 1905. Saat itu sejumlah kerajaan berhasil
ditaklukkan, seperti Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa.

Masih di tahun yang sama di bulan September, menyusul Datu Luwu yang terpaksa mengakui
kekuasaan Belanda.
Kemudian komandan militer Belanda di Palopo, yang merupakan ibu kota Luwu mengirim surat
kepada Pong Tiku yang meminta agar Pong Tiku melaporkan diri di Rantepao dan
menyerahkan semua senjatanya kepada Belanda.

Karena tekad Pong Tiku sudah bulat untuk terus memperjuangkan kemerdekaan bagi
rakyatnya, tentu saja permintaan tersebut ditolaknya.

Akibat penolakan itu, pecahlah perang antara Belanda dan Pong Tiku. Pada tanggal 12 Mei
1906, Belanda mulai melancarkan serangan pertamanya ke Pangala, namun serangan itu
gagal.

Masih di tahun yang sama, tepatnya di awal Juni 1906, kegagalan kembali diterima Belanda
ketika melakukan penyerangan terhadap benteng Buntuasu.

Dua kegagalan itu membuat Belanda menambah jumlah pasukan dan persenjataannya.
Blokade pun dilakukan untuk mencegah masuknya logistik terutama air ke dalam benteng-
benteng Pong Tiku.

Untuk menahan serangan Belanda, kondisi alam di daerah Toraja yang berbukit-bukit pun ikut
dimanfaatkan pasukan Pong Tiku. Batu-batu berukuran besar digelindingkan bila pasukan
Belanda berusaha memanjat bukit-bukit karang menuju benteng.

Air cabaipun digunakan untuk menghalau pasukan Belanda yang berhasil mendekati dinding
benteng. Akan tetapi, Belanda yang berbekal peralatan perang yang jauh lebih lengkap
menyebabkan peperangan tak seimbang.

Pasukan Pong Tiku pun lebih banyak menderita kerugian, gempuran meriam yang secara
bertubi-tubi merusak bangunan benteng.

Pong Tiku pun terpaksa mengosongkan beberapa benteng. Akan tetapi, benteng Buntubatu
yang merupakan benteng utama sekaligus markas Pong Tiku belum berhasil dikuasai Belanda
sampai bulan Oktober 1906.

Belanda kemudian menawarkan perdamaian kepada Pong Tiku. Namun tawaran itu ditolaknya
dan ia hanya bersedia mengadakan gencatan senjata.

Hal itu bertujuan agar ia dapat menghadiri upacara pemakaman jenazah orang tuanya secara
adat. Oleh karena itu, ia pun meninggalkan benteng Buntubatu.

Kesempatan itu langsung digunakan pihak Belanda untuk memasuki benteng tersebut meski
pun masa gencatan senjata belum berakhir.

Seusai menghadiri pemakaman jenazah orang tuanya, Pong Tiku kemudian menuju benteng
Alla. Di sana telah berkumpul para pejuang dari berbagai daerah Sulawesi Selatan.
Benteng Alla pun diserang Belanda pada tanggal 12 Maret 1907. Akibat serangan itu puluhan
pejuang gugur dan ditawan. Namun, Pong Tiku berhasil menyelamatkan diri.

Dalam pelariannya dari satu tempat ke tempat lain, ia terus berusaha mengobarkan semangat
perjuangan melawan Belanda.

Belanda masih terus melakukan pengejaran hingga akhirnya ia berhasil ditangkap di Lilikan
pada awal bulan Juli 1907.

Setelah berhasil ditangkap, ia kemudian dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan yang
isinya mengakui kekuasaan Belanda. Namun, meskipun berada dalam tekanan, Pong Tiku
tetap menolak menandatangani surat tersebut.

Karena terus-menerus melawan dan menolak bekerjasama, Pong Tiku pun ditembak mati
Belanda di tepi Sungai Sa'dan.

Kematian Pong Tiku sekaligus menandai berakhirnya perlawanan terhadap Belanda di Toraja.
Toraja merupakan daerah terakhir di Sulawesi Selatan yang jatuh ke tangan Belanda.

Atas jasa-jasanya kepada negara, Pong Tiku alias Ne'baso dianugerahi gelar Lihat Daftar
Pahlawan Nasional pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No.
73/TK/Tahun 2002, tanggal 6 November 2002.

Anda mungkin juga menyukai