Anda di halaman 1dari 6

BAB 6

PERLAWANAN TOMBOLOTUTU

Perlawanan Tombolotutu terhadap Belanda di Moutong terjadi

dalam kurun waktu 1896-1904 1. Hasrat Belanda menguasai Moutong,

berawal ketika Magalatung mangkat sebagai raja diganti oleh putranya

Pondatu. Pada masa kepemimpinan Pondatu, Belanda mulai menyodorkan

kontrak kerjasama untuk ditandangani tetapi ditolak. Belanda tetap

berusaha meyakinkan dengan amemanfaatkan keadaan Pondatu yang

sakit, untuk kali kedua Belanda mengajukan kontrak, tetapi tetap ditolak.

Hingga wafat, sikap menentang Belanda tetap terpelihara.

Pengganti Pondatu sebagai raja Moutong adalah Tombolotutu yang

sikapnya tidak berbeda dengan Pondatu, tegas, berani, dan tidak mau

tunduk kepada Belanda. Pada saat Tombolotutu memegang tampuk

kerajaan, Daeng Malino diangkat sebagai Punggawa untuk mengatur

pemerintahan di wilayah Tinombo. Belanda kemudian mengubah

kebijakan politik dengan mendekati Daeng Malino untuk menadatangani

kontrak pengakuan atas kekuasaan Belanda.

Tawaran Belanda kepada Daeng Malino sangat menggiurkan karena

akan mengakui Daeng Malino sebagai raja Moutong sepanjang Daeng

Malino mengakui pula kekuasaan Belanda. Karena itu, pada tanggal 1 Mei

1896 Belanda mengakui Daeng Malino sebagai raja Moutong dan pada

tanggal 16 September 1896 Daeng Malino menandatangani Lang


1
Masyhuddin Mashyuda dkk. 1982. Sejarah Perlawanan terhadap
Imprealisme dan Kolonialisme di Sulawesi Tengah. Jakarta. Depdikbud, hal 74
Contract.2 Dengan demikian, perubahan prilaku politik Belanda dari

“Politik Menekan Pondatu dan Tombotutu)ke politik merayu Daeng

Malino” terbukti efektif sekaligus menanamkan politik devide et impera.

Setelah diangkat menjadi raja, Daeng Malino menunjukkan sikap

membangkang kepadaa Tombolotutu. Hal ini terlihat dari penolakan

membayar upeti sehingga Tombolotutu sangat marah. Daeng Malino

menyadari sepenuhnya implikasi yang muncul terhadap pilihan sikapnya.

Karena itu, segera menuju Gorontalo untuk meminta bantuan Belanda

yang telah menguasai Gorontalo. Pertemuan dilansungkan untuk

menyelesaikan sengketa antara Tombolotutu dan Daeng Malino. Bertindak

sebagai mediator Ulea Wabu Jogugu Gorontalo. Diakhiri pertemuan

tersebut dilakukan jabatan tangan. Akan tetapi, uluran tangan kanan

Daeng Malino disambut dengan tangan kiri Tombolotutu sedangkan

tangan kanannya memegang hulu keris 3. Hal ini mengindikasikan bahwa

Tombolotutu tidak mengakui Daeng Malino sebagai raja melainkan tetap

menganggapnya sebagai bawahan. Pertemuan gagal mencapai kata

sepakat, Jogugu Gorontalo dan Daeng Malino berjanji akan datang tiga

hari kemudian untuk menuntaskan permasalahan yang sedang dihadapi.

Ternyata yang datang adalah pasukan Belanda dari Gorontalo dan

langsung menyerang Moutong, akhirnya Tombolotutu terdesak dan dua

orang pasukannya tewas yakni Laringgi dan Moloagu. Pertahanan

Tombolotutu berhasil dibumihanguskan sehingga peristiwa yang terjadi

pada tahun 1901 tersebut dinamakan Buluye Napowa’e, gunung terbakar.


2
Sutrisno Kutoyo dkk, op.cit., hal 111.
3
H. Rusdi Toana dkk, oc. cit., hal 71
4
Setelah terdesak, Tombolotutu menginstruksikan pasukannya untuk

berlayar menuju gugusan pulau Walean, Togian. Di tempat ini,

Tombolotutu mempunyai dua orang saudara tiri yakni Pawajoi dan

Makarua5.

Belanda melakukan pengejaran sampai ke Togian sehingga

pertempuran tidak terelakkan sebelum Tombolotutu berhasil melakukan

konsolidasi kekuatan. Keadaan yang kurang menguntungkan ini memaksa

pasukan Tombolotutu kembali ke Moutong, sementara pasukan Belanda

yang ada di Moutong sudah siap menjemput pasukan Tombolotutu

dengan serangan. Tombolotutu tidak mau terlalu lama menghadapi

Belanda di front terbuka, sehingga mengarahkan pasukan ke gunung

Labu dan Taopa6 yang terus diburu oleh pasukan Belanda hingga sampai

ke Bolanu.

Raja Bolanu memberikan bantuan kepada Tombolotutu dengan

membuat benteng pertahanan di Bolanu Sau. Hal ini dilakukan sebagai

bentuk komitmen atas kesepakatan yang pernah dibuat sebelumnya

dengan Kerajaan tetangga Moutong bahwa jika salah satu diserang oleh

pihak luar, maka Moutong dan Bolanu saling membantu. Mengetahui

keberadaan Tombolotutu yang mendapat bantuan di Bolano dan

membangun benteng pertahanan, maka Belanda semakin bernafsu untuk

segera menghancurkan kekuatan Tombolotutu. Pasukan Belanda dalam

jumlah besar dikerahkan untuk menggempur pertahanan Tombolotutu. Di

4
Minarni Nongtji, 1993. Perlawanan Tombolututu terhadap Imperialisme
Belanda Tahun 1896-1904 (skripsi). Palu. FKIP Untad, hal 46
5
Ibid, hal 47
6
Masyhuddin Masyhuda dkk, op. cit, hal 76
Bolanu Sau inilah terjadi pertempuran yang menegangkan dari seluruh

rangkaian pertempuran yang pernah dilakukan oleh Tombolotutu.

Bolanu Sau sangat strategis untuk pertahanan karena berada pada

ketinggian menghadap ke laut dan berbentuk teluk sehingga pasukan

Belanda yang merangsek masuk akan segera diketahui dan sangat mudah

diserang dengan menggunakan sumpitan dan batu-batu besar yang

digulirkan ke bawah atau senajata lain. Karena itu, pada pertempuran ini,

Belanda banyak mengalami kerugian seperti; tenggelamnya kapal

pendarat.

Perlahan tapi pasti, pasukan Belanda dapat menguasai benteng

Bolanu Sau bersamaan dengan mundur pasukan Tombolotutu. Benteng

diporak-porandakan oleh Belanda, sementara pasukan Tombolotutu

sudah jauh menuju pegunungan sebelah barat mendekati daerah Tolitoli.

Dari daerah Tolitoli terus menuju selatan ke pegunungan Tinombo,

sementara pasukan Belanda terus mengikuti jejak pasukan Tombolotutu.

Ketika berada di pegunungan Tinombo, Belanda berusaha membujuk

Tombolotutu dengan mengirim kurir menyampaikan pesan agar

menyerah. Bujukan Belanda diabaikan oleh Tombolotutu yang terus

bergerak dari gunung ke gunung hingga akhirnya tiba di Sojol. Penguasa

Sojol yakni Kaleolangi atau dikenal dengan nama Toma I Tarima

memberikan bantuan, yang kemudian menjadi alasan bagi Belanda

menyerang Sojol dan menangkap Toma I Tarima lalu mengasingkan ke

Jawa hingga wafat.


Satu hal yang menarik sekaligus mengharukan adalah sejak dari

Moutong hingga di Sojol, Tombolotutu terus didampingi istri meskipun

dalam keadaan hamil. Dua hari setelah tiba di Sojol, istri Tombolotutu

melahirkan seorang anak laki-laki yang oleh Singgalam, anak Kaleolangi,

diberi nama Datupamusu, raja perang yang kemudian dikenal dengan

Kuti Tombolotutu7. Dua tahun bertahan di Sojol bukan waktu yang

singkat untuk sebuah perlawanan dan hal ini dapat terjadi antara lain

karena bantuan Kaleolangi. Akan tetapi, Belanda tidak ingin memberi

waktu lebih lama pada Tombolotutu untuk memperkuat pasukannya

sehingga selalu dikejar-kejar. Menyadari hal tersebut, Tombolotutu dan

pasukan kembali melakukan maraton tanpa mengetahui di mana dan

kapan finis, karena tidak rela dijajah oleh Belanda. Pengejaran yang

dilakukan oleh Belanda, membawa Tombolotutu sampai di Pantoloan dan

mendapat bantuan dari Banawa Raja Lamakagili.

Lamakagili menyadari dampak memberi bantuan terhadap

Tombolotutu. Akan tetapi, hal itu harus dilakukan seperti yang juga

pernah ditunjukan oleh Toma I Tarima. Akhirnya Belanda memperoleh

alasan kuat untuk menangkap dan mengasingkan Makagili ke Makassar

hingga wafat tahun 1903. Di Pantoloan, Tombolotutu tidak terlalu lama

karena Belanda terus memburunya kemudian mengarahkan pasukannya

ke utara menuju Toribulu dengan harapan mertua dan keluarganya dapat

memberikan bantuan. Harapan tersebut tidak diwujudkan karena mertua

dan keluarga Tombolotutu khawatir Belanda akan mengancam

7
Ibid.,
keselamatannya. Menyadari hal itu, dengan kaki yang sakit, bisul besar 8

bergerak menuju Kasimbar. Sebelum tiba di Kasimbar, Belanda dengan

politik licik mengumumkan kepada rakyat Donggulu bahwa “barang siapa

berhasil menangkap atau membunuh Tombolotutu, akan diberi hadiah

dan dibebaskan dari kerja paksa.

Mertua dan keluarga Tombolotutu ditangkap Belanda untuk

dijadikan sandra agar Tombolotutu mau menyerah, sementara kapal

perang Java milik Belanda sudah berlabuh di pantai Donggulu yang

membawa pasukan untuk menangkap Tombolotutu. Posisi Tombolotutu

semakin terjepit dan lebh memilih dibunuh oleh pasukanya daripada

tunduk kepada Belanda. Keris pusaka “Lacori” diberikan kepada salah

seorang pengikutnya agar ditikam ketubuhnya sebab Tombolotutu

percaya bahwa hanya keris “Lacori” yang dapat menembus tubuhnya.

Amanat Tombolotutu akhirnya dilaksanakan pada saat sedang bersandar

pada sebuah batu. Pejuang yang pantang menyerah ini akhirnya wafat,

mayatnya kemudian diambil oleh mertuanya dan dimakamkan di Toribulu.

8
H. Rusdi Toana dkk, op. cit, hal 74

Anda mungkin juga menyukai