Baso, adalah pemimpin dan gerilyawan Toraja yang beroperasi di Sulawesi bagian
selatan, sekarang bagian dari Indonesia.
Tiku adalah putra penguasa Pangala'. Setelah Tiku menduduki kerajaan Baruppu', ia
menjadi raja, lalu menguasai Pangala' setelah ayahnya meninggal dunia. Lewat
perdagangan kopi dan persekutuan dengan Suku Bugis di dataran rendah, Tiku
mendapatkan kekayaan, tanah, dan kekuasaan yang besar. Semasa Perang
Kopi (1889–1890), kota Tondon diserang oleh penguasa lain, tetapi direbut kembali pada
hari yang sama. Ketika pasukan Belanda menyerbu Sulawesi pada awal 1900-an, Tiku
dan pasukannya melancarkan serangan dari benteng. Ia ditangkap pada bulan Oktober
1906. Bulan Januari 1907, ia kabur dan menjadi buronan sampai Juni tahun itu. Ia
dieksekusi mati beberapa hari setelah tertangkap.
Tiku merupakan pemimpin pemberontakan terlama di Sulawesi. Gubernur Jenderal J. B.
van Heutsz menganggap Tiku sebagai ancaman bagi kestabilan pemerintahan Belanda
di kawasan itu. Van Heutsz mengutus Gubernur Sulawesi untuk memimpin
penangkapannya. Sejak kematiannya, Tiku menjadi simbol pemberontakan Toraja. Ia
diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 2002.
Kehidupan awal
Tiku lahir di Pangala', (sekarang Kecamatan Rindingallo) dekat Rantepao di dataran
tinggi Sulawesi (sekarang Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan) pada tahun
1846.[1] Waktu itu, Sulawesi Selatan merupakan pusat perdagangan kopi dan dikuasai
oleh beberapa panglima perang. Tiku adalah anak terakhir dari enam bersaudara yang
lahir dari salah satu keluarga panglima perang tersebut. Ia merupakan putra dari Siambe'
Karaeng, penguasa Pangala', dan istrinya, Lai' Le'bok. Sebagai pemuda yang
atletis,[2] Tiku sangat ramah terhadap pedagang kopi yang mengunjungi desanya. [3]
Pada tahun 1880, pecah perang antara Pangala' dan Baruppu', negara tetangga yang
dikuasai Pasusu. Tiku pun memimpin serangan ke negara tetangganya. Setelah Pasusu
dikalahkan, Tiku menggantikannya sebagai penguasa Baruppu'.[3] Kerajaan yang baru
dicaplok ini memiliki sawah yang luas dan aman sehingga Tiku memiliki kekuasaan yang
besar. Meski suku Toraja umumnya lebih menghargai tenaga manusia dan membunuh
orang secukupnya saja, sejarah lisan Baruppu' mendeskripsikan Tiku sebagai sosok
pembunuh yang tidak memandang pria, wanita, atau anak-anak.[4]
Tak lama kemudian, ayah Tiku meninggal dunia. Tiku naik sebagai penguasa Pangala'.
Sebagai pemimpin, Tiku berusaha memperkuat ekonomi setempat dengan
meningkatkan perdagangan kopi dan persekutuan strategis dengan suku-suku Bugis di
dataran rendah. Kesuksesan ekonomi ini membuat para penguasa di sekitarnya
menghormati dan mengagumi Tiku
Serbuan Belanda
Pada 1905, tanah-tanah Bugis dan Toraja sebelumnya telah disatukan dalam empat
wilayah utama, yang salah satunya dibawah kepemimpinan Tiku.[14] Pada bulan Juli
tahun tersebut, raja Gowa, sebuah negara tetangga, mulai mengumpulkan prajurit untuk
bertarung melawan para tukang invasi dan mempertahankan sisa-sisa tanah Toraja dari
penaklukan. Ma'dika Bombing, seorang pemimpin dari negara selatan, menunjuk Tiku
sebagai asistennya. Sebulan setelah para pengirim kabar disebar, para pemimpin
berkumpul di Gowa untuk membuka rencana aksi. Hasilnya, para penguasa lokal
berhenti berperang satu sama lain dan berfokus pada Belanda, yang memiliki kekuatan
unggul;[15] namun, konflik-konflik internal tak secara keseluruhan mereda.[16] Pada saat
sebuah pertemuan dilangsungkan, Belanda mulai membuat penyerduan ke Luwu. Tiku,
memerintahkan pengusiran Belanda dari kota pertahanan Rantepo dengan mulai
menghimpun pasukannya dan menempatkan pada pertahanan-pertahanannya.[17][18]
Pada Januari 1906, Tiku mengirim para pengintai ke Sidareng dan Sawitto, sementara
Belanda yang melakukan invasi, menyelidiki cara bertempur mereka. Ketika para
pengintai melaporkan bahwa pasukan Belanda memiliki kekuatan yang besar dan
tampaknya menggunakan kekuatan sihir saat melawan pasukan Bugis, ia
memerintahkan para pasukan di benteng-bentengnya untuk bersiap dan mulai
mengumpulkan cadangan makanan berupa beras;[17][18] sebulan kemudian, Luwu jatuh
ke tangan pasukan Belanda, yang membuat pasukan Tiku berpindah ke tempat yang
lebih pelosok. Pada bulan Februari, para pasukan Tiku, yang dikirim ke kerajaan-kerajaan
selatan, mengabarkan bahwa tak lama lagi kepemimpinan koheren dan dua kerajaan
kalah melawan bangsa Eropa. Kabar tersebut membuat Tiku menghimpun pasukan yang
lebih banyak lagi dan membentuk dewan militer yang beranggotakan sembilan orang,
dengan dirinya sendiri sebagai pemimpinnya.[19]
Pada Maret 1906, kerajaan-kerajaan lainnya semuanya runtuh, meninggalkan Tiku
sebagai penguasa Toraja terakhir.[19] Belanda mengambil alih Rantepao tanpa
perlawanan, tanpa menyadari bahwa penyerahan kota tersebut diatur oleh Tiku. Melalui
sebuah surat, Kapten komandan Belanda Kilian meminta Tiku untuk menyerah, sebuah
permintaaan yang enggan ditepati Tiku.[20] Menyadari bahwa Tiku memiliki pasukan dan
sejumlah benteng, Kilian tidak berniat untuk melakukan serangan secara langsung.
Sehingga, pada April 1906, ia mengirim sebuah kelompok ekspedisioner ke Tondon.
Namun pendekatan kelompok tersebut ditolak, setelah pada tengah malam pasukan Tiku
menyerang kamp Belanda di Tondon; peristiwa tersebut memaksa pasukan Belanda
untuk mundur ke Rantepao sementara pasukan Tiku mengejar serta membuat banyak
korban menderita di sepanjang jalan.[21]
Aksi militer Tiku berdasarkan pada pengalamannya bertarung dengan penguasa
lain.[22] Sementara itu, Belanda dan pasukan pribumi campuran mereka,[b] tak berhasil
mengalahkan pasukan Tiku dan tak tahan dengan cuaca dingin yang terbilang tinggi.
Perlawanan pertama
Pasukan ekspedisioner gagal melakukan kesepakatan terbuka antara Tiku, yang
bersembunyi di bentengnya di Buntu Batu, dan pasukan Belanda. Tiku mengirim mata-
mata kepada pasukan Belanda di Rantepao. Pada 22 Juni, mata-mata melaporkan
bahwa pada malam sebelumnya sebuah batalion Belanda yang terdiri dari sekitar 250
pria dan 500 pengangkut berangkat ke desa tersebut, berjalan ke atas selatan menuju
benteng Tiku di Lali' Londong. Tiku memerintahkan agar jalanan disabotase, di mana
perjalanan pada saat itu membutuhkan waktu dari satu sampai lima hari. Pada malam 26
Juni, pasukan Tiku menyerang pasukan Belanda di luar Lali' Londong, sebuah serangan
di mana Belanda belum mempersiapkan apapun; tidak ada yang dibunuh pada serangan
tersebut. Pagi berikutnya, Belanda mempersiapkan sebuah pengepungan di Lali'
Londong,[24] menggunakan granat tangan dan tangga. Meskipun tidak biasanya pasukan
Belanda tidak menggunakan granat terhadap pemimpin wilayah lainnya, pada siang
harinya, benteng tersebut ditaklukan.[25][23]
Sumber : Wikipedia