Anda di halaman 1dari 20

PAHLAWAN NASIONAL MALUKU

1. SULTAN HAIRUN (1538 - 1575)

Hairun diangkat menjadi Sualtan Ternate menggantikan Sultan Tabarija pada tahun 1538. Pada
permulaan pemerintahannya, hubungan dengan orang-orang Portugis agak baik. Tetapi kemudian
timbul pertentangan-pertentangan karena ulah Portugis yang memulai dengan politik menopoli
perdagangan rempah-rempah yang ditentang kerajaan Ternate. Sejak tahun 1515 hubungan baik
dengan Portugis terganggu. Gubernur Duarto dEca menuntut penyerahan hasil cengkih dari Pulau
Makian. Hairun menolak. Tindakan penghinaan terjadi lagi. Sultan Hairun dan ibunya ditangkap dan
dipenjarakan. Rakyat Ternate angkat senjata dan perdamaian tidak akan terjadi lagi.

Peperangan yang timbul di antara tahun 1563 1570 menghancurkan usaha-usaha perdagangan Portugis.
Sultan Hairun mengirim putranya Babullah dengan suatu armada yang kuat menyerang orang-orang
Portugis di Ambon. Mereka dibantu oleh rakyat Hitu dan orang-orang Jawa. Sebaliknya armada Portugis
yang dipimpin Antonio Peaz menyerang armada Ternate dan sekutunya. Peperangan di Ambon dan
sekitarnya berlangsung seru bahkan beralih menjadi perang agama antara penduduk beragama Islam
melawan penduduk beragama Kristen, jalan ke perdamaian dicari.

Pada tanggal 27 Pebruari 1570 diadakan perdamaian antara Ternate dan Portugis. Dengan hikmat Sultan
Hairun bersumpah atas Quran dan Gubernur Lopez de Mesquita atas Kitab Misa, bahwa mereka akan
memelihara perdamaian yang kekal. Tetapi keesokan harinya Mesquita berkhianat. Ketika Hairun datang
mengunjunginya di benteng, Mesquita menyuruh saudaranya Antoni Pimentel membunuhnya. Sejak
tanggal 28 Pebruari 1570 sampai tahun 1575 terjadi perang antara kerajaan Ternate dan Portugis. Yang
memaklumkan perang itu adalah Babullah putera Sultan Hairun yang diangkat menjadi Sultan Ternate.
Pada saat itu ia bersumpah tidak akan menghentikan perang sebelum semua orang Portugis terusir dari
kerajaannya

2. SULTAN BABULLAH (1570 1583)

Babullah diangkat menjadi Sultan Ternate pada tahun 1570 menggantikan ayahnya Sultan Hairun yang
dibunuh Portugis pada tanggal 28 Peberuari 1570. Sejak tahun 1570 sampai 1575 terjadi perang antara
kerajaan Ternate dan Portugis. Sejak kematian ayahnya, Babullah bersumpah tidak akan menghentikan
perang sebelum semua orang Portugis terusir dari kerajaannya. Tindakan pertamanya ialah mengepung
benteng Portugis (Sao Paulo). Kepungan itu sangat erat sehingga tidak seorangpun dapat masuk atau
keluar benteng. Dengan demikian diharapkan orang-orang Portugis akan menyerah setelah persediaan
makanan mereka habis. Pengepungan berlangsung selama lima tahun dan akhirnya orang-orang
Portugis menyerah.

Babullah memberikan kesempatan selama 24 jam bagi orang-orang Portugis untuk meninggalkan
kerajaan Ternate. Ia berjanji bahwa semua orang Portugis dengan harta miliknya boleh berangkat ke
Ambon atau Malaka secara damai. Tiga hari sesudah penyerahan benteng, tibalah sebuah kapal Portugis
dan diterima dengan baik oleh Sultan. Kemudian semua orang Portugis bersama-sama orang Kristen
Ternate berpindah ke Ambon. Orang-orang Portugis yang kawin dengan wanita-wanita Ternate boleh
menetap. Dikemudian hari mereka berpindah ke Tidore.

Sultan Tidore mempergunakan kesempatan ini untuk bersahabat dengan Portugis yang kemudian
mengizinkan mereka mendirikan benteng di Tidore. Sultan Babullah terus berusaha mencari pembunuh
ayahnya dengan mengirim utusan ke Spanyol. (Tahun 1580 Portugis dipersatukan dengan Spanyol) yang
dipimpin oleh Naik. Tugas mereka menuntut agar Raja Spanyol menghukum pembunuh Hairun. Namun
ternyata bahwa si pembunuh yaitu Mesquita sudah meninggal. Sultan Babullah akhirnya wafat pada
bulan Juli tahun 1583 dan diganti oleh Sultan Said (1583 1606). Perang terhadap bangsa Portugis masih
terus berlanjut dan berkobar sampai di Mabon. Peperangan terus berlanjut sampai masuknya penjajah
baru yaitu orang-orang Belanda yang mengalahkan Portugis tahun 1605

3. KAPITAN KAKIALI

Kakiali adalah putera Tepil yang bergelar Kapitan Hitu dan berketurunan dari Perdana Jamilu (Nusapati)
adalah seorang dari para Perdana (pemimpin) Hitu di Jasirah Hitu Pulau Ambon. Kakiali terkenal sebagai
pahlawan dalam perang Hitu I tahun 1634 1643 melawan penjajah Belanda (VOC). Politik monopoli
perdagangan dan hongi tochten pada zaman VOC sangat menyengsarakan rakyat di kerajaan Hitu
(Tanah Hitu). Karena itu rakyat Hitu (Ambon) di Maluku Tengah mengadakan perlawanan yang dipimpin
oleh Kakiali.

Pada tahun 1634 peperangan mulai berkobar melawan Belanda dan rakyat Hitu dibantu oleh Gimelaha
Luhu dari Jasirah Hoamual di Seram Barat dan para pejuang dari Hatuhaha di Pulau Haruku dan rakyat
Iha dari Pulau Saparua. Selain itu rakyat Hitu mendapat bantuan dari Makassar dan Ternate. Setelah
digempur dengan armada oleh pasukan Belanda yang dikirim dari Batavia (Jakarta), para pejuang Hitu
terpaksa menyingkir dan bertahan di gunung Wawani yang dijadikan benteng pertahanan yang kuat dan
dipimpin panglima Hitu Patiwani. Pada tahun 1635 Kakiali dapat ditangkap melalui suatu tipu daya
dalam perundingan dengan Belanda. Ia dibuang ke Batavia. Tahun 1637, Kakiali dipulangkan ke Hitu
untuk menentramkan rakyat Hitu yang semakin bergolak.

Bersama dengan Kakiali datang pula Gubernur Jenderal van Diemen. Ia meminta bantuan Sultan
Hamzah dari Ternate (politik adu domba) untuk bersama-sama melawan Hitu. Kemudian diangkatlah
Gubernur Gerard Demmer. Tokoh Belanda yang keras ini mulai mengadakan serangan besar-besaran ke
benteng Wawani. Pada tahun 1643 Belanda dapat menduduki Wawani setelah perang tersebut
dikosongkan pasukan Hitu dan Panglima Patiwani. Kakiali kembali menyusun siasat baru melawan
Belanda dengan rencana meminta bantuan Makassar, namun dia dikhianati oleh teman-temannya
sendiri. Kakiali gugur bukan karena peluru VOC. Pada tanggal 16 Agustus 1643 seorang kenalannya yang
baik yaitu Fransisco de Toire (seorang Spanyol) setelah disogok uang oleh Belanda, ia membunuh Kakiali
pada saat sedang tidur. Kakiali ditikam dengan sebilah keris. Pahlawan dari Wawani ini meninggal
seketika. Namun perlawanan rakyat Hitu belum berhenti. Peperangan diteruskan pada tahun 1643 1646
sebagai perang Hitu II yang dipimpin oleh Kapitan Tulukabessy dan Imam Rijali.
4. KAPITAN TULUKABESSY

Hairun diangkat menjadi Sualtan Ternate menggantikan Sultan Tabarija pada tahun 1538. Pada
permulaan pemerintahannya, hubungan dengan orang-orang Portugis agak baik. Tetapi kemudian
timbul pertentangan-pertentangan karena ulah Portugis yang memulai dengan politik menopoli
perdagangan rempah-rempah yang ditentang kerajaan Ternate. Sejak tahun 1515 hubungan baik
dengan Portugis terganggu. Gubernur Duarto dEca menuntut penyerahan hasil cengkih dari Pulau
Makian. Hairun menolak. Tindakan penghinaan terjadi lagi. Sultan Hairun dan ibunya ditangkap dan
dipenjarakan. Rakyat Ternate angkat senjata dan perdamaian tidak akan terjadi lagi.

Peperangan yang timbul di antara tahun 1563 1570 menghancurkan usaha-usaha perdagangan Portugis.
Sultan Hairun mengirim putranya Babullah dengan suatu armada yang kuat menyerang orang-orang
Portugis di Ambon. Mereka dibantu oleh rakyat Hitu dan orang-orang Jawa. Sebaliknya armada Portugis
yang dipimpin Antonio Peaz menyerang armada Ternate dan sekutunya. Peperangan di Ambon dan
sekitarnya berlangsung seru bahkan beralih menjadi perang agama antara penduduk beragama Islam
melawan penduduk beragama Kristen, jalan ke perdamaian dicari.

Pada tanggal 27 Pebruari 1570 diadakan perdamaian antara Ternate dan Portugis. Dengan hikmat Sultan
Hairun bersumpah atas Quran dan Gubernur Lopez de Mesquita atas Kitab Misa, bahwa mereka akan
memelihara perdamaian yang kekal. Tetapi keesokan harinya Mesquita berkhianat. Ketika Hairun datang
mengunjunginya di benteng, Mesquita menyuruh saudaranya Antoni Pimentel membunuhnya. Sejak
tanggal 28 Pebruari 1570 sampai tahun 1575 terjadi perang antara kerajaan Ternate dan Portugis. Yang
memaklumkan perang itu adalah Babullah putera Sultan Hairun yang diangkat menjadi Sultan Ternate.
Pada saat itu ia bersumpah tidak akan menghentikan perang sebelum semua orang Portugis terusir dari
kerajaannya

5. JOHAN PAIS

Johan Pais adalah Orang Kaya Hative di Pulau Ambon Jasirah Laitimor. Ia juga menjabat sebagai
pembantu pendeta. Jan Pais ini dituduh mengepalai perlawanan di Leitimor. Gubernur Belanda yaitu
Arnold de Vlamingh van Oudshoorn menangkapnya. Ia disiksa untuk mengakui kesalahannya. Dia
dituduh berkomplot dengan Kimelaha Madjiraa yaitu wakil Sultan Ternate yang berkuasa di Jasirah
Huamoal Pulau Seram untuk mengusir kompeni Belanda. Sesudah itu dia akan menjadi kepala dari
semua orang Kristen dan Madjira dari semua orang Islam.

Sewaktu disiksa Jan Pais mengaku, tetapi dalam keadaan tidak disiksa dia menyangkal. De Vlamingh
berpendapat bahwa dia bersalah. Pada malam hari dia dieksekusi mati. Kepalanya dipancung dan
tubuhnya dibagi empat. Peristiwa ini terjadi secara rahasia agar tidak diketahui rakyat, mungkin juga
supaya jangan menimbulkan kegoncangan di kalangan rakyat. Keesokan harinya Orang-Orang Kaya
(pemimpin Negeri) diundang ke benteng Victoria dan mereka menyaksikan keganasan de Vlamingh itu,
maksudnya untuk menakutkan mereka.

Bersalah tidaknya Jan Pais ini, memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Namun yang jelas bahwa di daerah
Leitomor, rakyat yang sudah lama menderita dan jenuh dengan tuntutan-tuntutan VOC, bangkit
menyerang Belanda dimana-mana. Jan Pais adalah pahlawan mereka yang tampil membela kebenaran
dan keadilan dan diakui sebagai salah seorang pejuang kemerdekaan rakyat Maluku

6. KAPITAN ULUPAHA

Kapitan Ulupaha berasal dari Negeri (Desa) Seith di Jasirah Hitu Pulau Ambon. Ia adalah pembantu dari
Thomas Matulessy alias Kapitan Pattimura pemimpin perang Pattimura melawan Belanda tahun 1817.
Kapitan yang sudah berumur lanjut ini (80 tahun) ditugaskan Pattimura untuk mempertahankan Front
Hitu di Pulau Ambon dan menjadi pemimpin pasukan. Rakyat Jasirah Hitu mengangkat senjata setelah
mendengar jatuhnya Benteng Duurstede di Pulau Saparua.

Pada permulaan peperangan, pasukan Ulupaha telah mengancam dan menyerang benteng Amsterdam
di Negeri Hila dan pos-pos penjagaan Belanda di Larike, Liang dan Waai. Pada waktu peperangan sedang
berkobar di kepulauan Lease melawan Belanda pada tanggal 15 Oktober 1817, Ulupaha menggerakkan
pasukan menyerang benteng Belanda di Negeri Larike. Namun gagal diduduki, oleh karena Belanda
mengerahkan pasukannya yang besar dari laut dan darat yang dipimpin Mayor Meyer. Serangan Belanda
kemudian ditujukan ke pusat pertahanan Ulupaha di Seith dan Negeri-Negeri di sekitarnya. Ulupaha dan
pasukannya berjuang mempertahankan Negeri-Negeri di Jasirah Utara Hitu dengan bantuan pasukan
Alifuru dari Seram.

Pada tanggal 16 oktober 1817, Laksamana Buyskes sebagai Panglima tertinggi Belanda yang datang
sendiri ke Maluku memerintahkan serangan umum ke Hitu menyebabkan terjadilah pertempuran yang
seru antara kedua belah pihak. Pasukan Ulupaha akhirnya terdesak dan bergerilya di hutan-hutan.
Ulupaha lalu menyingkir ke Seram Barat dan menggabungkan diri dengan pasukan dari Negeri Luhu
menyerang benteng Belanda di Luhu. Benteng tersebut akhirnya jatuh ke tangan pasukan Ulupaha.

Belanda kembali menyerang Seram Barat dan menduduki benteng Luhu. Kemudian ekspedisi khusus
diadakan untuk menangkap Ulupaha. Pada bulan Januari 1818 pahlawan tua ini digotong dengan tanda
memasuki benteng Victoria, tanggal 19 Pebruari 1818, sidang kilat Pengadilan Ambon menjatuhkan
hukuman mati dan pada tanggal 20 Pebruari 1818 pahlawan tua ini dieksekusi hukuman mati gantung di
lapangan yang berada di depan benteng Victoria

7. SAID PRINTAH

Said Printah alias Pattikakang adalah raja pertama Negeri (Desa) Siri Sori Islam di Pulau Saparua dari
marga Pattisahusiwa. Penulis-penulis Belanda menulis nama Said juga sebagai Sayat (Sayat Printah).
Tokoh ini ikut berjuang menentang Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817 bersama Sarasa Sanaki
yaitu Patti Siri Sori Islam yanag diangkat Thomas Matulessy Kapitan Pattimura dan yang
menandatangani Proklamasi Haria. Verheull menulis bahwa Said Printah dihukum mati gantung pada
pagi hari tanggal 16 Desember 1817 bersama ketiga pahlawan lainnya yaitu Anthone Rhebok Kapten
Borgor, Philip Latumahina Letnan Borgor, Melchior Kesaulya alias Pattisaha dan Thomas Matulessy alias
Pattimura.

Sebenarnya nama Said Printah sebagai Raja Siri Sori Islam yang mati digantung pada pagi hari tanggal 16
Desember 1817 itu tidak ada namanya dalam surat keputusan eksekusi dari Buyskes bersama ketiga
pahlawan di atas. Hal ini diperkuat lagi oleh daftar silsilah keturunan raja-raja Siri Sori Islam, yang
menjelaskan bahwa raja mereka yang pertama adalah Said Printah alias Pattikahang. Ia diberhentikan
dengan hormat pada tahun 1819, meninggalnya kapan tidak diketahui. Dengan demikian jelas bahwa
Said Printah tidak termasuk pahlawan yang dihukum mati gantung pada pagi tanggal 6 Desember 1817.
Sejarahwan I. O. Nanulaitta, mengatakan bahwa Said Printah adalah raja Siri Sori Islam, tokoh historis
yang berjuang melawan Belanda, juga dihukum mati gantung. Hanya saja vonis Raad van Yustitie harus
membuktikan missing link ini dan juga keputusan Buyskes. Tapi kedua-duanya belum ditemui atau tidak
ada. Sejarahwan J. A. Pattikayhatu berpendapat bahwa yang dimaksud Verheull dengan Said atau Sayat
Printah itu adalah Melchior Kasaulya yaitu tokoh yang diangkat Pattimura untuk mewakili raja Siri Sori
yaitu Salomon Kesaulya yang telah berkhianat dan tewas dalam pertempuran Waisisil

8. ANTHONE RHEBOK

Anthone Rhebok Kapten orang Borgor, salah satu dari keempat pahlawan dalam perang Pattimura pada
tahun 1817 yang dipimpin oleh Thomas Matulessy Kapitan Pattimura. Anthone Rhebok bersama Thomas
Matulessy dan pasukan rakyat merebut benteng Duurstede dan memimpin pertempuran melawan
ekspedisi tentara Belanda di pantai Waisisil di Pulau Saparua. Anthone Rhebok juga diserahi tugas oleh
Thomas Matulessy untuk mengatur pertahanan rakyat di Pulau Nusalaut dan merebut benteng Belanda
yaitu Beverwijk di Sila Leinitu. Ia juga aktif di medan-medan pertempuran di Pulau Saparua dan
sekitarnya.

Pahlawan dari staf inti Thomas Matulessy Kapitan Pattimura yang juga bekas mantan pasukan Korps
Limaratus tentara cadangan Inggris itu tertangkap bersama Patih Negeri Tiouw Jacobus Pattiwael pada
tanggal 13 November 1817. Mereka diangkut dengan kapal perang Evertsen ke Ambon. Di atas kapal dia
bertemu dengan panglimanya Thomas Matulessy dan lain-lain tawanan. Anthone Rhebok mendapat
hukuman mati gantung oleh Pengadilan Belanda Ambonsche Raad van Justitie. Laksamana Buyskes
mengesahkan hukuman tersebut dengan Surat Keputusan tanggal 13 Desember 1817 Nomor 131.
Akhirnya pada tanggal 16 Desember 1817 Anthone Rhebok menaiki tiang gantungan sebagai orang
kedua bersama Thomas Matulessy di lapangan eksekusi di depan benteng Victoria di kota Ambon
9. PHILIPS LATUMAHINA

Philips Latumahina Letnan orang Borgor, salah satu dari keempat pahlawan dalam perang Pattimura di
tahun 1817. Bersama Thomas Matulessy dan pasukan rakyat merebut benteng Duurstede pusat
pertahanan Belanda di kota Saparua dan membantu Thomas dalam pertempuran melawan tentara
Belanda di pantai Waisisil di Saparua. Philips juga ikut memimpin pertempuran-pertempuran di Saparua,
Tiouw dan tempat-tempat pertempuran lainnya di Jasirah Hatawano dan Jasirah Tenggara (Ouw Ullath).

Pahlawan yang adalah staf inti Thomas Matulessy Kapitan Pattimura ini juga bekas mantan pasukan
Korps Limaratus. Ia tertangkap bersama Johanis Matulessy kakak Thomas Matulessy pada tanggal 13
Nopember 1817 oleh pasukan Letnan Veerman di Hutan Booi Paperu. Mereka ditahan dan diangkut
dengan kapal perang Reygersbergen. Pada tanggal 12 Desember 1817, Ambonsche Raad van Justitie
(Pengadilan Belanda di Kota Ambon) menjatuhkan hukuman mati gantung atas diri Letnan Philips
Latumahina. Vonis ini disahkan oleh Laksanaman Buyskes dengan Surat Keputusan tanggal 13 Desember
1817 Nomor 129.

Pada tanggal 16 Desember 1817 pagi hari, dengan disaksikan oleh para hakim, pasukan Alifuru dari
Ternate dan Tidore serta rakyat kota Ambon, Philips Latumahina menjalani hukuman gantung. Philips
yang pertama-tama naik tiang gantungan. Ketika algojo melaksanakan tugasnya, Philips jatuh
terpelanting karena tali gantungannya putus, sebab badannya besar, gemuk dan kuat. Dengan sudah
payah, dia diseret ke atas lagi kemudian dipasang lagi jerat yang baru maka beberapa saat kemudian
pahlawan ini tewas

10. MELCHIOR KESAULYA

Melchior Kesaulya yang namanya dieja sebagai Melojier Kesaulya alias Kapitan Pattisaha adalah raja Siri
Sori yang diangkat Thomas Matulessy sebagai pembantuanya menggantikan raja Salomon Kesaulya yang
berkhianat dan tewas dalam pertempuran di pantai Waisisil dengan Mayor Beetjes tanggal 20 Mei 1817.
Melchior-lah yang menandatangani Proklamasi Haria pada musyawarah besar di Baileu Haria tanggal 28
Mei 1817. Ia diangkat oleh Thomas Matulessy Kapitan Pattimura sebagai salah satu komandan pasukan
rakyat di Pulau Haruku untuk merebut benteng Belanda Zeelandia dibawah pimpinan Kapitan Lukas
Selanno yang dibantu oleh Kapitan Lukas Lisapaly alias Kapitan Aron.

Ketiga kapitan ini pernah berdinas dalam kesatuan tentara Inggris yaitu Korps Limaratus dibawah
pimpinan Sersan Mayor Thomas Matulessy. Pada akhir peperangan, Melchior tertangkap dan dibawa
bersama para kapitan lain ke Ambon. Dia diputuskan mendapat hukuman mati gantung oleh Ambonsche
Raad van Yustitie (Pengadilan Belanda di Ambon). Vonisnya disahkan Laksamana Buyskes dengan Surat
Keputuan tanggal 13 Desember 1817 Nomor 132. Ia naik tiang gantungan pada pagi hari tanggal 16
Desember 1817 bersama Thomas Matulessy, Anthone Rhebok dan Philips Latumahina. Melchior
Kesaulya merupakan orang ketika yang naik tiang gantuangan dan yang terakhir adalah pahlawan
Thomas Matulessy
Pada tanggal 16 Desember 1817 pagi hari, dengan disaksikan oleh para hakim, pasukan Alifuru dari
Ternate dan Tidore serta rakyat kota Ambon, Philips Latumahina menjalani hukuman gantung. Philips
yang pertama-tama naik tiang gantungan. Ketika algojo melaksanakan tugasnya, Philips jatuh
terpelanting karena tali gantungannya putus, sebab badannya besar, gemuk dan kuat. Dengan sudah
payah, dia diseret ke atas lagi kemudian dipasang lagi jerat yang baru maka beberapa saat kemudian
pahlawan ini tewas

11. KAPITAN PAULUS TIAHAHU

Paulus Tiahahu adalah seorang Kapitan perang dari Negeri Abubu di Pulau Nusalaut yang turut dalam
perang Pattimura tahun 1817. Paulus dan Anthone Rhebok ditugaskan Pattimura untuk mengatur
pertahanan di Nusalaut. Bersama-sama dengan pasukan rakyat ia merebut benteng Beverwyik di Negeri
Sila Leinitu. Pasukan Belanda di benteng tersebut disergap dan dibunuh. Para pejuang dari Nusalaut
mengambil bahagian pula dalam pertempuran-pertempuran di Saparua, Haruku dan Jasirah Hatawano
di Pulau Saparua. Juga raja-raja dan pati di Pulau Nusalaut ikut menandatangani Proklamasi Haria di
Baileu Haria tanggal 28 Mei 1817.

Paulus mempunyai seorang putri yang bernama Martha Christina. Putrinya selalu mendampingi dirinya
dalam medan-medan pertempuran. Semangat tempur srikandi Nusalaut yang masih remaja ini selalu
mengobarkan semangat pasukan Pattimura. Selain memimpin kaum wanita ikut pertempuran, ia berada
juga di tengah-tengah pasukan dengan ayahnya menghadang musuh dan menggabungkan
keberaniannya dalam medan pertempuran di Ouw Ullath Jasirah Tenggara Pulau Saparua. Pertempuran
heroik di Front Ouw Ullath berakhir dengan kekalahan pejuang-pejuang rakyat. Kapitan Paulus Tiahahu,
putrinya Martha Christina, Raja Hehanussa dari Negeri Titawaai, Raja Ullath dan Pati Ouw tertangkap.
Mereka dibawa ke kapal perang Everstsen.

Di kapal ini para pejuang bertemu dengan Thomas Matulessy dan para tawanan lainnya. Sesudah
diinterogasi, Buyskes menjatuhkan hukuman mati terhadap Paulus Tiahahu. Tanggal 16 Nopember 1817,
Kapitan Paulus dengan putrinya Martha Christina diangkut ke Nusalaut dan ditahan di benteng
Beverwyik. Pada tanggal 17 Nopember 1817, sesuai dengan vonis yang dijatuhkan Buyskes ia dihukum
mati tembak oleh regu penembak Belanda di depan benteng Beverwyik. Putrinya tidak dapat
membelanya. Setelah itu Martha dilepaskan dan ia berkeliaran di hutan-hutan, sehingga akhirnya
ditangkap dan meninggal di atas kapal perang Eversten pada tanggal 2 Januari 1818

12. KAPITAN LUKAS SELANNO

Lukas Selanno berasal dari Negeri Noloth di Pulau Saparua. Setelah membantu Kapitan Pattimura dan
Anthone Rhebok, mengatur strategi dan pertempuran melawan pasukan Marinir Belanda yang dipimpin
Mayor Beetjes di pantai Waisisil di Pulau Saparua. Ia diangkat Pattimura sebagai komandan pasukan
rakyat di Pulau Haruku dengan tugas menyerbu dan menduduki benteng Belanda Zeelandia di Haruku
Sameth.

Lukas dibantu oleh Kapitan Pattisaha yaitu Melchior Kesaulya dan Kapitan Lukas Lisapally alias Kapitan
Aron. Ia ikut juga membantu Kapitan Pattimura menyerbu benteng Duurstede di kota Saparua. Lukas
Selanno akhirnya ditangkap dan dibawa ke Ambon. Ia dijatuhi vonis hukuman mati gantung oleh Raad
van Justitie (Pengadilan Belanda di Ambon) karena dipersalahkan menyerang benteng Duurstede dan
turut dalam pembunuhan dengan tuduhan pokok membunuh Nyonya Residen van den Berg. Pada
tanggal 26 Januari 1818, Lukas naik tiang gantungan di lapangan eksekusi di depan benteng Victoria di
kota Ambon, dan gugur sebagai pahlawan rakyat

13. KAPITAN LUKAS LISAPALY (ARON)

Lukas Lisapaly berasal dari Negeri Ihamahu di Pulau Saparua. Terkenal pula dengan sebutan atau nama
Kapitan Aron. Dia mengambil bagian bersama pasukan rakyat dari Hatawano dalam penyerangan
benteng Belanda Duurstede di kota Saparua dan penghancuran tentara Mayor Beetjes dalam
pertempuran di pantai Waisisil di Pulau Saparua. Sesudah itu dia diangkat sebagai salah seorang
komandan pasukan rakyat di Pulau Haruku, dibawah pimpinan Kapitan Lukas Selanno untuk merebut
benteng Zeelandia dan juga diserahi tugas memimpin pasukan di Jasirah Hatawano untuk menangkis
serangan pasukan Belanda. Pada akhir peperangan, Lukas Lisapaly alias

Kapitan Aron tertangkap dan dibawa ke Ambon. Ambonsche Raad van Yustitie memutuskan hukuman
mati gantung. Dia dipersalahkan menyerang benteng Duurstede di kota Saparua dan turut dalam
pembunuhan seorang guru di Amahai dengan kakak dan anak-anaknya serta terhadap pembunuhan
Yulianus Tuankotta, kakak dari Patih Akoon yang berkhianat. Pada tanggal 16 Januari 1818 Lukas
menjalani eksekusi mati gantung di depan benteng Victoria kota Ambon

14. YAKOB SAHETAPY

Yakob Sahetapy adalah kepala sekolah rakyat sekaligus guru agama di Saparua. Dia adalah Bapak Rohani
bagi rakyat yang berjuang khususnya bagi pejuang di medan pertempuran. Menjelang penyerbuan
benteng Duurstede di kota Saparua, ia menaikkan doa untuk para pejuang.

Di dalam musyawarah, guru Sahetapy juga menaikkan doa agar Tuhan selalu menyertai perjuangan
rakyat. Mazmur 17 menjadi pedoman untuk memperkuat iman para pejuang. Pengaruh Sahetapy sangat
besar di kalangan rakyat dan pimpinan perang, khususnya bagi Thomas Matulessy Kapitan Pattimura.
Pada akahir peperangan Yakob Sahetapy tertangkap dan dibawa ke Ambon. Pengadilan menjatuhkan
hukuman mati gantung kepadanya. Tetapi Laksanaman Buyskes mengubah hukuman itu menjadi
hukuman pembuangan ke Jawa. Yakob kemudian dibuang bersama Yohannis Matulessy (kakak Thomas
Matulessy) ke Surabaya untuk bekerja di perkebunan pemerintah.
15. YEREMIAS LATUIHAMALLO

Yeremias Latuihamallo adalah penasihat utama Thomas Matulessy Kapitan Pattimura, ia berasal dari
Negeri Porto di Pulau Saparua, berumur 47 tahun waktu pecah perang Pattimura tahun 1817. Ia disebut
pula dengan nama Salemba. Pada waktu pemerintahan Inggris, dituduh membunuh Residen Inggris di
Saparua. Karena itu ia ditangkap dan dibuang ke Jawa, lalu ke Madras (India). Kemudian dibebaskan dan
kembali menetap di Porto. Dia diangkat oleh Pattimura menjadi raja Negeri Porto menggantikan Raja W.
P. Nanlohy dan Yeremias ikut menandatangani Proklamasi Haria tanggal 28 Mei 1817 di Baileu Negeri
Haria sebagai perwujudan tekad seluruh rakyat menentang kelaliman pemerintahan Belanda.

\Yeremias Latuihamallo alias Salemba pada akhir peperangan tertangkap. Tanggal 24 Desember 1817
diinterogasi dan pada tanggal 2 Pebruari 1818 dia dihukum mati gantung oleh Ambonsche Raad van
Justitie (Pengadilan Belanda di Ambon). Dia dipersalahkan menjadi penasehat utama Thomas Matulessy
Kapitan Pattimura dan turut bertanggung jawab atas segala peristiwa yang telah terjadi. Tetapi nasibnya
agak baik. Buykes memberi keampunan kepadanya karena tidak terbukti pernah membunuh seseorang.
Hukumannya diperingan menjadi hukuman pembungan ke Pulau Jawa selama 25 tahun. Yeremias
Latuihamallo berangkat ke pengasingan dengan kapal perang Wilhelmina

16. THOMAS MATULESSY/KAPITAN PATTIMURA (1783 1817)

Thomas Matulessy alias Kapitan Pattimura lahir di Desa Haria, Pulau Saparua pada tanggal 8 Juni 1783.
Thomas Matulessy adalah seorang borgor (burger) berketurunan dari keluarga besar Matulessia
(Matulessy) di Desa Haria Pulau Saparua. Pemuda Thomas Matulessy mantan Sersan Mayor dalam
ketentaraan Inggris mempunyai pengalaman memimpin pasukan. Ia adalah seorang komandan dengan
sifat-sifat kesatria yaitu gagah perkasa dan pemberani, postur tubuh yang tinggi, kekar dan kuat,
berwatak keras namun jujur dan disiplin. Seorang Kristen Protestan yang saleh dan berperikemanusiaan.

Pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua
Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan
memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Thomas Matulessy mengatur strategi
perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam
melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan
dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh
para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang
persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura
yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan
mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.

Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut
dikoordinir Thomas Matulessy Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain
Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan
pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil
dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura
hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para
tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada
tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Thomas Matulessy
dikukuhkan sebagai PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN oleh pemerintah Republik Indonesia.

17. MARTHA CHRISTINA TIAHAHU (1800 1817)

Martha Christina Tiahahu adalah seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut. Lahir sekitar tahun
1800 dan pada waktu mengangkat senjata melawan penjajah Belanda berumur 17 tahun. Ayahnya
adalah Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga pembantu Thomas Matulessy
Kapitan Pattimura dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda.

Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu seorang puteri remaja
yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam perang
Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, gadis
molek ini terkenal sebagai gadis pemberani dan konsekwen terhadap cita-cita perjuangannya.

Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bahagian dan pantang mundur. Dengan rambutnya
yang panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang (merah) ia tetap mendampingi
ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua. Siang dan malam
ia selalu hadir dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata,
tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita di negeri-negeri agar ikut membantu kaum pria
disetiap medan pertempuran sehingga Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut
berjuang.

Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw Ullath jasirah Tenggara Pulau Saparua yang nampak
betapa hebat srikandi ini menggempur musuh bersama para pejuang rakyat. Namun akhirnya karena
tidak seimbang dalam persenjataan, tipu daya musuh dan penghianatan, para tokoh pejuang dapat
ditangkap dan menjalani hukuman. Ada yang harus mati digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa.
Kapitan Paulus Tiahahu divonis hukum mati tembak. Martha Christina berjuang untuk melepaskan
ayahnya dari hukuman mati, namun ia tidak berdaya dan meneruskan bergerilyanya di hutan, tetapi
akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Pulau Jawa.

Di Kapal Perang Eversten, srikandi yang berjiwa kesatria ini menemui ajalnya dan dengan penghormatan
militer jasadnya diluncurkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818. Menghargai jasa dan
pengorbanan, Martha Christina dikukuhkan sebagai PAHLAWAN KEMERDEKAAN NASIONAL oleh
Pemerintah Republik Indonesia.
18. SULTAN NUKU (1797 1805)

Muhamad Amiruddin alias Nuku adalah putra Sultan Jamaluddin (1757 1779) dari kerajaan Tidore. Pada
tanggal 13 April 1779, dinobatkan sebagai Sultan Tidore dengan gelar Sri Paduka Maha Tuan Sultan
Saidul Jehad el Mabus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan. Nuku juga dijuluki sebagai Jou Barakati artinya
Panglima Perang. Dalam zaman pemerintahan Nuku (1797 1805), Kesultanan Tidore mempunyai wilayah
kerajaan yang luas yang meliputi Pulau Tidore, Halmahera Tengah, pantai Barat dan bagian Utara Irian
Barat serta Seram Timur. Sejarah mencatat bahwa hampir 25 tahun, Nuku bergumul dengan
peperangan untuk mempertahankan tanah airnya dan membela kebenaran.

Dari satu daerah, Nuku berpindah ke daerah lain, dari perairan yang satu menerobos ke perairan yang
lain, berdiplomasi dengan Belanda maupun dengan Inggris, mengatur strategi dan taktik serta terjun ke
medan perang. Semuanya dilakukan hanya dengan tekad dan tujuan yaitu membebaskan rakyat dari
cengkeraman penjajah dan hidup damai dalam alam yang bebas merdeka. Cita-citanya membebaskan
seluruh kepulauan Maluku terutama Maluku Utara (Maloko Kie Raha) dari penjajah bangsa asing. Untuk
itu Nuku berjuang tanpa mengenal istirahat sampai di hari tuanya.

Pemerintah Kolonial Belanda yang berpusat di Batavia (Jakarta) dengan gubernur-gubernurnya yang ada
di Ambon, Banda dan Ternate selalu berhadapan dengan Prince Rebel (raja pemberontak) ini yang terus
mengganjal kekuasaan Kompeni (Belanda) tanpa kompromi. Mereka semua tidak mampu menghadapi
konfrontasi Nuku. Nuku merupakan musuh bebuyutan yang tidak bisa ditaklukan, bahkan tidak pernah
mundur selangkahpun saat bertempur melwan Belanda di darat maupun di laut.

Ia adalah seorang pejuang yang tidak dapat diajak kompromi. Semangat dan perjuangannya tidak
pernah padam, walaupun kondisi fisiknya mulai dimakan usia. Kodrat rohaninya tetap kuat dan
semangat tetap berkobar sampai ia meninggal dalam usia 67 tahun pada tahun 1805. Sebagai
penghargaan terhadap jasa-jasa dan pengorbanannya, Pemerintah Republik Indonesia mengukuhkan
Sultan Nuku sebagai PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN

19. Mr. JOHANES LATUHARHARY (1900 1957

Johanes Latuharhary dilahirkan dalam satu keluarga guru pada tanggal 6 Juli 1900 di Desa Ullath Pulau
Saparua. Ia keturunan keluarga besar Latuharhary dari Desa Haruku di Pulau Haruku. Setelah
menamatkan pendidikan dasar pada Eerste Europeesche School di Ambon tahun 1917, Johanes
melanjutkan studi ke Batavia (Jakarta) dan masuk Sekolah Menengah Umum HBS dan tamat pada tahun
1923.

Kemudian ke Negeri Belanda dan berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden. Pada tahun 1927
berhasil meraih gelar Master in de Rechten. Mr. Latuharhary adalah putera Maluku pertama yang
meraih gelar Master di Universitas Leiden Negeri Belanda. Setelah kembali ke Indonesia tahun 1927, Mr.
J. Latuharhary segera bekerja dan diangkat sebagai Amtenaar Fer Beschikleing van Yustitie (pegawai
yang diperbantukan pada President van de Rood van Justitie (Ketua Pengadilan Tinggi di Surabaya). Di
sana ia bekerja sampai tahun 1929.

Sebagai pengacara (advokat) kawakan, Mr. Latuharhary berjuang menolong rakyat kecil dalam
menegakan hukum dan keadilan melawan kesewenangan pemerintah Belanda. Mr. Latuharhary
kemudian terjun ke dunia politik dan pemerintahan. Di Surabaya di segera aktif dalam organisasi politik
Sarekat Ambon dan pergerakan nasional. Ide persatuan dan kemerdekaan yang dibawa dari Eropa
(Belanda) dimasukkan dalam Sarekat Ambon yang kemudian dipimpinnya.

Bersama dengan para pemimpin organisasi-organisasi politik lainnya, Mr. Latuharhary dengan Sarekat
Ambon membawa masyarakat Maluku ke pintu gerbang Kemerdekaan Indonesia. Bersama Bung Karno
dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Mr. J.
Latuharhary kemudian diangkat menjadi Gubernur Maluku yang pertama dan berkedudukan di
Yogyakarta.

Setelah pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dapat ditumpas pada tahun 1950, Gubernur
Latuharhary dan stafnya menuju Ambon dan memimpin rakyat Maluku membangun daerah. Setelah
menunaikan tugas pengabdiannya di daerah yang ia cintai melalui berbagai tantangan, pada akhir tahun
1954, Mr. J. Latuharhary menyerahkan jabatan gubernur kepada penggantinya dan kembali ke Jakarta
dan memangku tugas barunya pada Kementrian Dalam Negeri. TOKOH NASIONAL DAN PEJUANG
KEMERDEKAAN ini meninggal dunia pada tanggal 8 Nopember 1959 di Jakarta. Sebagai penghargaan
dari negara dan bangsanya, Mr. Johanes Latuharhary dihargai sebagai seorang MAHAPUTRA INDONESIA
dan dianugerahi bintang jasa tertinggi MAHAPUTRA PRATAMA

20. Dr. JOHANES LEIMENA (1905 1977)

Johanes Leimena dilahirkan dalam suatu keluarga guru, pada tanggal 6 Maret 1905 di Ambon. Ia
keturunan keluarga besar Leimena dari Desa Ema di Pulau Ambon dan dikenal dengan nama panggilan
Oom Jo. Ia seorang Kristen yang berbudi luhur. Johanes menempuh pendidikan dasarnya pada sekolah
Ambonesche Burgerchool di Ambon dan menyelesaikannya pada sekolah ELS (Europeesche Lagere
School) di Jakarta tahun 1919.

Kemudian melanjutkan ke sekolah menengah MULO Kristen dan tamat pada tahun 1922. Selanjutnya
menempuh pendidikan tinggi pada sekolah kedokteran STOVIA di Jakarta dan tamat pada tahun 1930.
Setelah bekerja sebagai dokter swasta, ia melanjutkan studi dan mendalami ilmu kedokteran meraih
gelar Doktor pada tahun 1939.

Sejak menjadi mahasiswa, Leimena sudah aktif di kalangan nasional dan masuk organisasi politik Sarekat
Ambon. Sejak tahun 1925 aktif dalam perkumpulan pemuda Yong Ambon sebagai Ketua Umum serta
turut dalam persiapan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada zaman Jepang dan revolusi
kemerdekaan ia ikut berjuang dan mengabdi penuh kepada bangsa dan negara Republik Indonesia.
Sebagai seorang negarawan ia duduk dalam pemerintahan, memegang berbagai jabatan di antaranya
yang paling lama ialah menduduki jabatan Menteri Kesehatan RI yaitu selama delapan kali masa jabatan
dan tujuh kali menjadi pejabat Presiden RI. Sikap pribadinya yang sederhana dengan Iman Kristen yang
sejati dan teguh, menyebabkan ia dapat diterima oleh semua golongan. Sebagai pemimpin Partai Kristen
Indonesia (PARKINDO) ia selalu dapat duduk dalam berbagai kabinet karena pendiriannya untuk
kepentingan negara di atas segala-galanya

Setelah pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dapat ditumpas pada tahun 1950, Gubernur
Latuharhary dan stafnya menuju Ambon dan memimpin rakyat Maluku membangun daerah. Setelah
menunaikan tugas pengabdiannya di daerah yang ia cintai melalui berbagai tantangan, pada akhir tahun
1954, Mr. J. Latuharhary menyerahkan jabatan gubernur kepada penggantinya dan kembali ke Jakarta
dan memangku tugas barunya pada Kementrian Dalam Negeri. TOKOH NASIONAL DAN PEJUANG
KEMERDEKAAN ini meninggal dunia pada tanggal 8 Nopember 1959 di Jakarta. Sebagai penghargaan
dari negara dan bangsanya, Mr. Johanes Latuharhary dihargai sebagai seorang MAHAPUTRA INDONESIA
dan dianugerahi bintang jasa tertinggi MAHAPUTRA PRATAMA

21. Ir. MARTINUS PUTUHENA (1901 1982)

Martinus Putuhena dilahirkan dalam suatu keluarga nelayan pada tanggal 27 Mei 1901 di Desa Ihamahu
Pulau Saparua. Ia keturunan keluarga besar Putuhena dari Desa Ihamahu di Pulau Saparua. Setelah
menamatkan pendidikan dasar pada Saparoeasche School di Saparua tahun 1916, ia melanjutkan studi
ke sekolah menengah yaitu MULO di Tondano (Minahasa) dan tamat pada tahun 1919.

Kemudian melanjutkan ke AMS Jurusan B di Jogyakarta dan lulus pada tahun 1929. Sesudah itu ia ke
Bandung dan berkuliah di Technese Hoge School (THS) yaitu Sekolah Tinggi Teknik (Pendahulu ITB), lulus
tahun 1927 dan menyandang gelar Insinyur Sipil. Putuhena adalah putera Maluku (Ambon) pertama
alaumnus THS Bandung.

Ir. Martinus Putuhena memulai kariernya dengan bekerja pada Jawatan Pekerjaan Umum dan Tenaga di
Bandung dan kemudian bertugas diberbagai tempat antara lain di Jakarta, Purwakerto, Curebon.
Menjelang Perang Dunia II bertugas ke Lombok sebagai Kepala Jawatan Pekerjaan Umum dan Tenaga.
Dimasa berkuliah di Bandung, Putuhena mulai berkenalan dengan politik dan sangat dekat dengan Bung
Karno teman yang karib. Ia pun menjadi anggota Algemeene Studie Club yang didirikan tahun 1925 dan
selalu ikut dalam kegiatan-kegiatan politik dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Pada zaman
Jepang, Ir. Martinus Putuhena sering dipenjara dan nyaris terbunuh karena tuduhan menentang
kekuasaan Jepang. Setelah kembali bertugas ke Jakarta, Putuhena segera terlibat dalam revlusi
kemerdekaan.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan dan pembentukan pemerintahan negara Indonesia, Ir. Martinus
Putuhena sampai tiga kali menjabat Menteri Pekerjaan Umum. Selama revolusi kemerdekaan, ia
bertugas sesuai dengan profesinya, dan dalam kegiatan-kegiatan politik selalu bersama dengan Dr. J.
Leimena dan Mr. J. Latuharhary. Tugas penting dan berat yang dipercayakan kepadanya dalam rangka
perjuangan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah melikuidasi NIT (Negara
Indonesia Timur) dan menumpas pemberontakan RMS di Maluku. Misi diplomasinya berhasil dengan
baik pada waktu ia menjabat Perdana Menteri NIT dn menjadi anggota dari Panitia Perundingan dengan
RMS dipimpin Dr. J. Leimena.

Sesudah melewati purna bakti, Ir. Martinus Putuhena masih tetap mengabdi pada masyarakat. Tokoh
nasional dan pejuang ini meninggal dunia pada tanggal 20 September 1982 di Jakarta. Pemerintah RI
dan bangsa Indonesia menghargainya sebagai salah seorang MAHAPUTERA INDONESIA dan dianugerahi
bintang jasa tertinggi MAHAPUTERA UTAMA

22. Prof. Dr. GERRIT A. SIWABESSY (1914 1981)

Gerrit A. Siwabessy dilahirkan dalam suatu keluarga petani dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga
guru pada tanggal 19 Agustus 1914 di Desa Ullath Pulau Saparua. Ia keturunan keluarga besar Siwabessy
dari Desa Ullath di Pulau Saparua. Setelah menamatkan pendidikan dasar, kemudian ke sekolah
menengah MULO di Ambon dan tamat tahun 1931. Selanjutnya melanjutkan studi ke sekolah
kedokteran NIAS di Surabaya. Tahun 1942 memperoleh ijazah dokter dan dalam tahun yang sama
ditempatkan pada rumah sakit Siampang di Surabaya, mengepalai bagian radiologi sampai tahun 1945.

Pada zaman Jepang, ia dianiaya dan nyaris meninggal. Selain tugas pokok pelayanan kesehatan, ia
mengurus pula para pengungsi orang-orang Maluku. Pada masa perang kemerdekaan, Siwabessy
dengan pemuda Maluku turut berjuang dalam pertempuran Surabaya melawan tentara Inggris dan
Belanda. Ia menjadi anggota Komite Nasional Daerah dan menghimpun pemuda Maluku dalam
oraganisasi PRIM (Pemuda Republik Indonesia Maluku). Kemudian dibentuk Devisi Pattimura dan
Siwabessy kepala stafnya. Bersama Mr. J. Latuharhary dan Dr. J. Leimena, memimpin masyarakat
Maluku di Jawa dalam revolusi kemerdekaan. Pada tahun 1949 melanjutkan studi ke Inggris (London)
dan mendalami bidang Radiologi dan Kedokteran Nuklir di London University.

Kembali ke Indonesia tahun 1962 diangkat sebagai Kepala Bagian Radiologi (Ilmu Sinar) pada rumah
sakit pusat RSCM. Kemudian Dr. Siwabessy merintis pembinaan di bidang radiologi antara lain :
mendirikan Sekolah Asisten Rontgen di RSCM, melatih para dokter penyakit paru-paru, mengatur dan
membina kegiatan-kegiatan klinis dalam bidang radiologi di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Dr.
Siwabessy kemudian diangkat sebagai Kepala Lembaga Radiologi Departemen Kesehatan dan juga
menjadi ketua dari Panitia Penyilidikan Radioaktivitas dan Tenaga Atom. Pada tahun 1954 didirikanlah
Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan Siwabessy menjadi direkturnya.

Pada tahun 1956a, ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Radiologi pada Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Prof. Dr. G. A. Siwabessy juga mengepalai Tim Dokter Kepresidenan. Pada Kabinet
Pembangunan ia menjadi Menteri Kesehatan selama dua periode. Prof. G. A. Siwabessy juga mempunyai
reputasi internasional dalam bidang keahliannya. Ia meninggal dunia di Jakarta pada tahun 1981. Tokoh
nasional dan Bapak Atom Indonesia ini dihargai jasa-jasa dan pengabdiannya oleh Pemerintah RI dan
bangsa Indonesiaa sebagai seorang MAHAPUTERA INDONESIA yang besar dan dianugerahi bintang
tertinggi yaitu BINTANG MAHAPUTERA UTAMA
23. Dr. JACOB BERNADUS SITANALA (1889 1958)

Jacob Bernadus Sitanala dilahirkan dalam suatu keluarga pengusaha kecil pada tanggal 18 Septemaber
1889 di Kayeli Pulau Buru. Ia keturunan keluarga besar Sitanala dari Desa Suli di Pulau Ambon. Setelah
menamatkan pendidikan dasar pada Ambonsche Burger School di Ambon dan pendidikan menengah
MULO pada tahun 1904, ia melanjutkan pendidikannya ke sekolah kedokteran yaitu STOVIA di Jakarta.
Pada tahun 1912 Jacob berhasil memperoleh ijazah dokter dan ditempatkan diberbagai tempat di
Indonesia. Karena prestasinya yang tinggi dalam tugas pelayanan kedokteran dan penelitian ilmiah, ia
mendapat tugas belajar ke negeri Belanda tahun 1923 dan mendalami Ilmu Penyakit Kusta (Lepra). Pada
tahun 1926 berhasil memperoleh diploma Nederlandsche arts, dan pada tahun 1927 mendapat gelar
Doktor dan Guru Besar dalam ilmu Penyakit Kusta. Setelah kembali ke Indonesia dan bertugas sebagai
ahli penyakit kusta, Dr. Sitanala diangkat sebagai Kepala Pemberantasan Penyakit Kusta di Indonesia.

Sitanala adalah ahli penyakit kusta yang pertama di Indonesia. Sebagai perintis pemberantasan penyakit
kusta, ia dikenal pula di dunia internasional karena karya-karya ilmiah hasil penelitian dan metode baru
pengobatan penyakit kusta yang ia kembangkan. Untuk itu raja kerajaan Swedia berkenan memberikan
bintang kehormatan tertinggi Wasa Orde yang setaraf dengan Nobelprijs (Hadiah Nobel) kepadanya dan
juga sebuah bintang jasa dari perkumpulan Sarjana-Sarjana Internasional dalam bidang kesehatan.

Dr. J. B. Sitanala terkenal pula sebagai pejuang dan perintis kemerdekaan Indonesia. Selama studi di
negeri Belanda menjabat wakil ketua Perhimpunan Indonesia, sangat aktif dalam pergerakan dan
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Menjadi penasehat dari organisasi politik Sarekat Ambon. Perasaan
nasionalismenya sangat tinggi dan terlihat dalam usaha-usaha untuk membela rakyat kecil yang
diperlakukan tidak manusiawi dalam bidang kesejahteraan dan kesehatan, juga menentang ras
diskriminasi di kalangan profesi kedokteran.

Dr. J. B. Sitanala dikenal pula sebagai salah seorang pendiri Palang Merah Indonesia. Setelah bertugas ke
Ambon pada tahun 1947, masih tetap mengabdi sepanjang hayatnya. Beliau meninggal dunia pada
tanggal 30 Agustus 1958, dan oleh Pemerintah RI dihargai sebagai PERINTIS KEMERDEKAAN dan tokoh
nasional yang besar

24. dr. MELKIANUS HAULUSSY (1902 1983)

Melkianus Haulussy dilahirkan dalam suatu keluarga petani pada tanggal 20 Mei 1902 di Desa Ihamahu
Pulau Saparua. Ia keturunan keluarga besar Haulussy dari Desa Ihamahu diPulau Saparua. Setelah
menamatkan pendidikan dasar pada Saparoeasche School di Saparua tahun 1921, Melkianus
melanjutkan studi ke Surabaya dan memasuki sekolah kedokteran NIAS (Nederlandsch Indische Aartsens
School) dan tamat pada tanggal 4 Mei 1932. Sebagai dokter muda, pertama kali ditempatkan pada
rumah sakit CBZ Surabaya bagian penyakit dalam. Kemudian dipindahkan ke Medische Propaganda di
Jogyakarta sampai tahun 1935.
Pada tahun 1935 pindah ke Saparua sebagai dokter Pemerintah dan tahun 1936 ke Flores sampai 1940.
Sesudah itu ke Surabaya dan Bandung dengan tugas khusus memberantas penyakit malaria dan penyakit
pes. September tahun 1940, dr. Melkianus Haulussy dipindahkan sebagai Wakil Insperktur Kesehatan
Jawa Barat. Dalam revolusi kemerdekaan beliau memimpin delegasi Kesehatan Jawa Barat untuk
berunding dengan Belanda. Juga menjadi dokter pada Resimen Pattimura Jawa Barat.

Dalam pengembangan kariernya dokter Haulussy pindah ke Jogyakarta dan diangkat menjadi Kepala
Obat-Obatan Kementrian Kesehatan RI dari tahun 1947 1951. Setelah pengakuan kemerdekaan beliau
dipindahkan ke Amahai (Pulau Seram tahun 1951) dan di detasir ke Makassar tahun 1952, kemudian
dipindahkan lagi Jogyakarta. Beberapa bulan sesudah itu pada tahun 1952, kemudian dipindahkan ke
Maluku sebagai Pimpinan Pemberantasan Penyakit Kusta dan ditempatkan di Saparua.

Tahun 1954 dr. Haulussy diangkat menjadi Inspektur Kesehatan Propinsi Maluku dan ditunjuk sebagai
tenaga yang diperbantukan pada Jawatan Kesehatan Resimen Infantri 25 di Ambon. Tanggal 4 Oktober
1958 beliau memasuki masa pensiun, namun pada tanggal 20 Mei 1960 diangkat kembali oleh
Departemen Kesehatan RI sebagai pegawai bulanan pada RST Kodam Maluku dan Irian Barata di Ambon.
Pada tanggal 22 Juli 1960 dengan SK Kepala Staf Angkatan Darat diperbantukan pada Kesdam XV Maluku
Irian Barat di Ambon.

Dokter Haulussy terkenal pula sebagai tokoh pendiri Universitas Pattimura Ambon. Beliau adalah Ketua
Yayasan Perguruan Tinggi Maluku dan Irian Barat yang merupakan embrio dari perguruan tinggi ini dan
memperjuangkannya menjadi universitas negeri tahun 1962. Di samping tugas-tugasnya sebagai dokter
dan pengabdi pendidikan, beliau juga menekuni membuat obat tradisional dengan nama sepahit yang
dapat dijangkau oleh rakyat kecil dengan harga yang murah untuk berbagai jenis penyakit.

Sebagai pejuang kemerdekaan, dr. Haulussy turut dalam perebutan kekuasaan dari Jepang di
Majalengka, turut bergerilya dengan paa pejuang di Jawab Barat dan Jogyakarta. Atas jasa-jasanya itu
maka oleh Pemerintah Republik Indonesia beliau dianugerahi bintang SATYA LENCANA KEBAKTIAN
SOSIAL. Pejuang dan pengabdi bangsa dan kemanusiaan ini meninggal di Ambon pada tanggal 27 Juli
1983 dalam usia 81 tahun

25. ELIZA URBANUS PUPELLA (1910 1996)

Eliza Urbanus Pupella dilahirkan dari suatu keluarga guru pada tanggal 24 April 1910 di Desa Hila Pulau
Ambon. Ia keturunan dari keluarga Pupella di Desa Amahusu Pulau Ambon. Setelah menamatkan
pendidikan dasar pada Europeesche Lagere School di Ambon, Eliza melanjutkan studinya ke Makassar
(Ujung Pandang) dan masuk sekolah MULO. Setelah tamat belajar di MULO, Eliza langsung bekerja pada
perusahaan minyak pelumas Belanda (BPM). Jiwa nasionalisme yang diwarisi dari ayahnya mendorong ia
segera terjun ke dunia politik dan aktif dalam zaman pergerakan nasional. Ia mulai aktif di organisasi
Yong Ambon dan Sarekat Ambon dan Partai Indonesia Raya (PARINDRA) yang memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia.
Pupella dipecat pemerintah Belanda dan pindah ke Bali tahun 1930. Di Bali ia aktif lagi dengan teman-
teman seperjuangan di sana dan dipecat lagi. Tahun 1933 kembali ke Makassar, kemudian pada tahun
1934 ke Jogyakarta dan belajar di Perguruan Nasional Taman Siswa yang dipimpin Ki Hajar Dewantara.
Setelah kembali ke Ambon, Pupella mendirikan Balai Pendidikan yang berazas nasionalisme seperti
Taman Siswa. Di Ambon ia kembali aktif dalam bidang politik dan memimpin organisasi politik Sarekat
Ambon cabang Ambon, dan berjuang dengan rekan-rekannya di lembaga Ambon Raad melawan
organisasi-organisasi sosial dan politik yang pro Belanda.

Pada zaman pendudukan Jepang, Pupela diangkat oleh pemerintah militer Jepang untuk mengatur
masyarakat Ambon karena ia mempunyai wibawa baik terhadap masyarakat Kristen maupun Islam.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Pupella meneruskan perjuangan
mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan rekan-
rekannya ia berjuang di Ambon dan Makassar. Sebagai anggota Parlemen NIT (Negara Indonesia Timur)
ia terkenal sebagai tokoh yang melikuidir Negara Bagian ini ke dalam negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kemudian Elisa Urbanus Pupella menjadi anggota Parlemen RIS dan DPR Ri (1950 1956)
mewakili rakyat Maluku. Wadah perjuangannya adalah organisasi politik PIM (Partai Indonesia Merdeka)
dan PNI (Partai Nasional Indonesia). Pada usia lanjutnya, Bapak E. U. Pupella masih tetap mengabdi pada
masyarakat sebagai seorang wiraswasta. Pupella meninggal dunia pada tanggal 16 Agustus 1996 di
Ambon, karena jasa-jasa dan pengabdiannya ia dihargai dan diakui sebagai TOKOH PEJUANG DAN
PERINTIS KEMERDEKAAN INDONESIA

26. ALEXANDER JACOB PATTY (1901 1957)

Alexander Jacob Patty lahir pada tanggal 15 Agustus 1901 di Desa Nolloth Pulau Saparua. Ia keturunan
keluarga besar Patty di negeri Nolloth Pulau Saparua. Setelah menamatkan pendidikan dasarnya pada
Saparoeasche School di kota Saparua, Alex melanjutkan studinya ke Surabaya dan memasuki sekolah
kedokteran NIAS (Nederlandsche Indische Aartsens School). Baru pada tingkat pertama Alex sudah
dikeluarkan dari sekolah karena sifat dan tingkah lakunya yang ekstrim. Ia tidak senang dengan
Pemerintah Belanda karena politik diskriminasi terhadap kaum militer Ambon dalam KNIL.

Pada tahun 1919, Alex pindah ke Semarang dan mulai aktif dalam dunia kewartawanan. Pertama kali
mendirikan Perkumpulan Kemakmuran Rakyat Ambon (Maluku). Kemudian karena perkembangan
gerakan kebangsaan, organisasi yang bersifat sosial ini ditinggalkan oleh Patty dan mendirikan organisasi
baru yang bersifat politik yaitu Sarekat Ambon pada tanggal 9 Mei 1920 dan membawa ide organisasi ini
ke dalam ide Nasionalis Indonesia. Pada tahun 1922, A. J. Patty masuk dalam Radikale Consentratie
(gabungan partai radikal). Sifat-sifat radikal dan revolusioner Patty, ditentang oleh para rekannya dari
Ambonsche Studie Fonds, namun ia tetap membawa Sarekat Ambon dalam semangat kebangsaan
Indonesia. Ide Sarekat Ambon terus disiarkan melalui majalah Mena Muria dan di kota-kota besar di
Jawa dibuka cabang Sarekat Ambon.

Sarekat Ambon juga mempunyai bagian khusus untuk wanita, yaitu organisasi Ina Tuni. April 1923, A. J.
Patty memperkenalkan ide Sarekat Ambon kepada masyarakat Ambon. Sesuai kondisi didirikan dahulu
suatu Komite Sarekat Ambon dan A. J. Patty segera berkeliling ke negeri-negeri mempropaganda ide
Sarekat Ambon. Tahun 1924, Patty berhasil dipilih sebagai anggota Ambon Raad dan di lembaga
perwakilan ini ia mulai memperjuangkan nasib rakyat, namun politiknya ditentang keras oleh para raja,
yaitu Regenten Bond. Ia dituduh berbahaya oleh pemerintah, padahal rakyat sangat simpatik pada
Sarekat Ambon. Karena dituduh melanggar hukum (adat) dan menghasut rakyat, ia ditangkap dan
ditahan oleh Asisten Residen. Kemudian dibawa ke Makassar dan diadili oleh Raad van Justitie. Setelah
dihukum, tahun 1942, Patty diringkus ke Bengkulu (Suamatera) kemudian ke Boven Digul (Irian Jaya)
sampai pecah Perang Dunia II. Pada masa Jepang, dapat meloloskan diri ke Australia dan pada masa
revolusi kemerdekaan, berjuang bersama Bung Karno dalam mempertahankan Proklamasi 17 Agustus
1945 dan Negara Kesatuan RI. Alexander Jacob Patty meninggal dunia di Badung pada tanggal 15 Juli
1947. Tokoh pejuang ini dihargai sebagai seorang PERINTIS dan PEJUANG KEMERDEKAAN

27. ABDUL MUTHALIB SANGAJI

Abdul Muthlib Sangaji lahir di keluarga besar Sangaji dari Pulau Haruku. Menamatkan pendidikan dasar
pada Sekolah Belanda HIS dan pendidikan menengah MULO. Abdul Muthlib Sangaji tidak lagi
melanjutkan studi lebih tinggi dan segera terjun dalam dunia politik. Ia masuk organisasi politik Sarekat
Islam (SI) dan bergabung dengan kedua tokoh politik SI, yaitu Haji Agus Salim dan H. O. S.
Tjokroaminoto.

Di SI Abdul Muthlib Sangaji terkenal sebagai juru pidato yang ulung dalam menggerakkan semangat
perjuangan kemerdekaan. Setelah H. O. S. Tjokroaminoto meninggal dunia, maka Sarekat Islam mulai
retak. Abdul Muthlib Sangaji dan Agus Salim mengundurkan diri dan mendirikan Penyadar sebagai suatu
partai baru.

Partai baru ini diperkuat tokoh-tokoh muda seperti Sarjan dan Mohammad Roem. Abdul Muthlib Sangaji
kemudian pindah ke Makassar dan Samarinda (Kalimantan). Di kedua tempat ini ia terus mengobarkan
semangat perjuangan dan pidato-pidatonya dinilai pemerintah Belanda sangat berbahaya.

Ia ditangkap dan dipenjarakan. Kemudian dilepaskan dari penjara dan ikut lagi dalam perjuangan para
revolusi fisik. Bersama tokoh-tokoh pejuang lainnya, Abdul Muthlib Sangaji pindah ke Jogyakarta dan
berjuang di sana. Di ibukota perjuangan ini, ia meninggal sebagai seorang pejuang dan pemerintah RI
menghargai jasa-jasanya sebagai salah seorang PERINTIS KEMERDEKAAN

WILLEM JOHANNES LATUMETEN (1916 1965)

Willem Johanes Latumeten lahir tanggl 16 April 1916 di Saparua. Ia keturunan keluarga besar
Latumetena dari Desa Rutong di Pulau Ambon dan adalah putera sulung dari Prof. DR. Y. A. Latumeten,
tokoh pejuang dan ahli penyakit jiwa. Pendidikan ELS di Sabang tahun 1930, HBS di Malang tahun 1937,
Geneeskundige Hogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran) di Jakarta.

Pengabdian beliau dimulai sejak zaman revolusi fisik sampai pengisian kemerdekaan, baik di Kementrian
Penerangan maupun di Departemen Olahraga ataupun sebagai Pembina Olahraga. Mulai bekerja pada
Kementrian Penerangan Jakarta permulaan tahun 1946. Pertengahan tahun 1947 memimpin surat kabar
Het Nieuws Blad. Selaku Kepala Pewartaan / Press Service Kemper RIS mulai tahun 1950 dan merangkap
juru bicara Departemen Penerangan.

Pada zaman RI menjadi Kepala Bagian Pewartaan Kementrian Penerangan merangkap Juru Bicara. Pada
tahun 1958 diperbantukan pada Menteri Penerangan dan tahun 1962 ditugaskan ke Departemen
Olahraga sebagai Pembantu Khusus Menteri Olahraga.

Usaha-usahanya sebagai pembina olahraga antara lain : mendirikan Sekolah Tinggi Olahraga di Jakarta,
membentuk keorganisasian olahraga (PERBASI), membina para atlet untuk terjun ke ASEAN GAMES IV
yahun 1962 dan GANEFO tahun 1963, menjadi Sekretaris Umum Komite Olympiade Indonesia Pusat
(1955 1964). Willem Johanes Latumeten adalah juga seorang pejuang dan nasionalis sejati. Dalam
perundiangan antara Indonsia dengan Belanda, sering bertindak sebagai juru bicara delegasi Indonesia.
Willem Johanes Latumeten meninggal dunia 23 Maret 1965, dan sebagai pahlawan dimakamkan di
Taman Pahlawan Kalibata Jakarta. Karena jasa-jasa dan pengabdiannya, ia dianugerahi pemerintah
LENCANA BAKTI.

Purnawirawan Kolonel Infantri Herman Pieter lahir di Ambon tanggal 12 Desember 1924 dari keluarga
besar Pieters di Desa Eri (Nusaniwe) Pulau Ambon. Pendidikan yng diraihnya adalah Sekolah Teknik
Elektro di Surabaya dari tahun 1939 1942. Kemudian pada tahun 1954 sampai tahun 1955 dan tahun
1961 sampai 1962 mengikuti Sekolah Staf Pimpinan Angkatan Darat.

Karier beliau sebagai seorang militer dan seorang pejuang dapat dicatat sebagai berikut :

Asisten Gubernur Militer pada komperensi Linggarjati dan Komperensi Renville antara Indonesia dan
Belanda (1945 1948) dan sekaligus Perwira Penghubung membantu Perdana Menteri Sultan Syahrir. Ikut
dalam perang gerilya melawan Belanda di Jawa Timur (Surabaya dan Malang) dalam Divisi Pattimura.

Anggota Panitia Pertimbangan Gencatan Senjata dengan Belanda di Malang, Mojokerto dan Surabaya
(1948 1949) dan Panitia Militer Negara Indonesia Timur di Makassar.

Menumpas Pemberontakan Andi Azis di Makassar dan RMS di Maluku (1950 1953), kemudian menjadi
Asisten Komandan Teritorium VII dan Perwira Peradilan Pengadilan Militer di Ambon (1953 1956).

Komandan Residen Infantri 25 Maluku dan Daerah Militer Maluku dan Irian Barat (1956 1957) dan
Komandan Kodam XV Pattimura (1957 0 1959). Tahun 1958 menjabat Perwira Hakim pada Pengadilan
Daerah Militer di Makassar.
Aisten D-II dari Kepala Staf Angkatan Darat (1961 1962). Tahun 1963 pensiun Angkatan Darat (ABRI)a
dan menjadi Presiden Direktur PT. Kora-Kora.

Anggota MPR RI dari Golkar tahun 1977 dan 1983 1987.

Meninggal dunia tahun 1998 di Yogyakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tanda
jasa dan penghargaan dari negara antara lain : BINTANG GERILYA, BINTANG SETYA LENCANA AKSI
MILITER I dan II, BINTANG SETYA LENCANA SAPTA MARGA, BINTANG SETYA LENCANA KESETIAAN,
BINTANG MEDALI GARUDA I / MESIR, BINTANG SEWINDU, BINTANG GOM II, III dan IV

28. KAREL SADSUITUBUN (1928 1965)

Karel Satsuitubun lahir di Ramadian (Tual) Maluku Tenggara tanggal 14 Oktober 1928. Ia bersekolah
pada SD Kristen Katolik sejak tahun 1935 dan tamat tahun 1941. Sejak kecil ia telah anti Belanda karena
ketidakadilan terhadap pamannya seorang mantan tentara KNIL, dan hal inilah yang mendorongnya
memasuki dinas Angkatan Kepolisian Republik Indonesia.

Pada tahun 1951 setelah diterima menjadi anggota kepolisian, ia bertugas di Ambon. Dalam kariernya
sebagai anggota kepolisian (Brigade Mobile) ia pernah bertugas di Ambon, Sulawesi, Sumatera,
Yogyakarta dan Irian jaya. Di Ambon setelah bertugas, Karel mengikuti Sekolah Polisi Mobile Brigade
(SPMB) Megamendung (Bogor). Kemudian mengikuti Latihan Penyegaran I di Ambon dalam rangka
menumpas RMS. Dua kali ditugaskan di Sumatera Utara (Aceh) dalam menumpas pemberontakan DI /
TII yang dipimpin oleh Daud Beureeh. Kemudian di Sulawesi menumpas DI / TII yang dipimpin Kahar
Muzakark. Dua kali ditugaskan di Sumatera Barat menumpas pemberontakan PRRI. Kemudian
ditugaskan di Irian Barat (Trikora) untuk pembebasan wilayah ini dari penjajahan Belanda. Juga bertugas
dalam pengamanan GANEFO I Jakarta. Terakhir ditugaskan selaku pengawal rumah kediaman
Waperdam II Dr. S. Leimena. Di sinilah Karel Satsuitubun gugur karena serangan gerombolan penculik G
30S PKI. Karel gugur sebagai seorang patriot dan pahlawan. Dan pemerintah menghargainya dengan
menganugerahi bintang REPUBLIK INDONESIA KELAS III dengan gelar PAHLAWAN REVOLUSI.

Anda mungkin juga menyukai