Anda di halaman 1dari 5

Nama

Kelas
No. Abs

: Sofyan Devi Erwanto


: X TSM 1
:

Sejarah Perjuangan Tuanku Imam Bonjol


dalam Mengadapi Penjajahan Belanda
Setelah berakhirnya perang Diponegoro & pulihnya kekuatan Belanda di Jawa,
Pemerintah Hindia-Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini
sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yg sedang meluas di
kawasan pedalaman Minangkabau [darek]. Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi
merupaken salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya
lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat
Minangkabau dlm liku-liku perdagangan di pedalaman & pesisir pantai barat atau pantai
timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli. Selanjutnya
untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yg telah dibuat
sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yg merupaken salah satu kawasan yg
mampu memproduksi mesiu & senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya,
Belanda membangun benteng di Bukittinggi yg dikenal dengan nama Fort de Kock.
Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak
Tanah Datar berada dlm kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan
perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel Elout
melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831-1832, ia memperoleh
tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo salah seorang panglima pasukan
Pangeran Diponegoro yg telah membelot & berdinas pada Pemerintah Hindia-Belanda
sesudah usai perang di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat,
kehadiran Sentot yg ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa
dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yg telah melakukan
persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot & legiunnya dikembalikan
ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda
terhadap dirinya, & Belanda pun juga tak ingin ia tetap berada di Jawa & mengirimnya
kembali ke Sumatera. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan & ditahan di
Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya
dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.
Sentot Prawirodirdjo, yg diilustrasikan oleh G. Kepper.
Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dlm jumlah besar di
bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat
penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut pada bulan Oktober 1832,
Luhak Limo Puluah telah berada dlm kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya
Tuanku Lintau. Kemudian Kaum Padri terus melakukan konsolidasi & berkubu di Kamang,
namun seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda
sesudah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa
mundur dari kawasan luhak & bertahan di Bonjol. Selanjutnya pasukan Belanda mulai
melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yg masih menjadi basis Kaum Padri. Pada
awal Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi,
namun sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh
Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yg mengakibatkan banyak korban di pihak
Belanda. Namun dlm pertempuran di Air Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao

menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk
diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga
jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.
Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda
Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari
dekat proses operasi militer yg dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, ia
melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz &
Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan
Padri. Riesz & Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yg baik untuk mengadakan
serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih
disangsikan & mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang.
Tetapi Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat
tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari sehingga
jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yg diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil memperlambat
gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dlm beberapa perlawanan hampir
semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat
dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata & pakaian yg melekat di tangan
& badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal HindiaBelanda digantikan oleh Jean Chrtien Baud, Van den Bosch membuat laporan bahwa
penyerangan ke Bonjol gagal & sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan
selanjutnya.
Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan &
jembatan yg mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini
dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dlm menaklukkan Bonjol. Selain itu
pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yg
dekat dengan kubu pertahanannya. Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk
kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol & sekitarnya.
Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan
Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yg bergerak
masing-masing dari Matur & Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yg saat itu
tengah dilanda banjir, & terus masuk menyelusup ke dlm hutan rimba; mendaki gunung &
menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai
tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya & berkumpul di Batusari. Dari sini hanya
ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yg masih dikuasai oleh Kaum Padri.
Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum
Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak
korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yg jauh tak sebanding, pasukan
Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah
Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan
sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban,
hampir sebulan waktu yg diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan Panjang. Sebagai

front terdepan dari Alahan Panjang ialah daerah Padang Lawas yg secara penuh masih
dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil
menguasai daerah ini. Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali
bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang & membuat kubu pertahanan disana,
sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dlm jarak kira-kira hanya 250 langkah
pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu
pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir & meriam, pasukan
Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tak tinggal diam dengan
menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yg kurang
menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban. Pada tanggal 17 Juni 1835
kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yg dikirim oleh Residen
Francis di Padang & pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yg besar pasukan Belanda
memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade
terhadap Bonjol dengan maksud untuk melumpuhkan suplai bahan makanan & senjata
pasukan Padri. Blokade yg dilakukan ini ternyata tak efektif, karena justru kubu-kubu
pertahanan pasukan Belanda & bahan perbekalannya yg banyak diserang oleh pasukan
Kaum Padri secara gerilya. Disaat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai
berdatangan dari daerah-daerah yg telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai
negeri di Minangkabau & sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas
besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali
sesudah bala bantuan tentara yg terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan
Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yg
berada di Bukit Tajadi, & pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dlm
merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yg berada disekitar Bukit
Tajadi. Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai
Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu
pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yg
dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali
masuk ke dlm Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah
Luhak Limo Puluah & Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan
kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan
Belanda menderita sakit & terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan
oleh Mayor Prager. Blokade yg berlarut-larut & keberanian Kaum Padri, membangkitkan
semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak & menyerang pasukan Belanda,
sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang & Alahan Mati mengangkat
senjata & menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan
mengatasi perlawanan ini. Namun sesudah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yg
berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan
Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha

terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng
Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu & berhasil membunuh beberapa
keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan & semangat juang yg tinggi Kaum
Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir & terpaksa
kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masingmasing pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal
Hindia-Belanda di Jakarta yg waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens,
kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yg bernama
Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng
Bonjol untuk kesekian kalinya. Cochius merupaken seorang perwira tinggi Belanda yg
memiliki keahlian dlm strategi perang Benteng Stelsel.
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar
enam bulan [16 Maret-17 Agustus 1837] dipimpin oleh jenderal & beberapa perwira.
Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis
& Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1. 103 tentara Eropa, 4. 130
tentara pribumi, termasuk didalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen
[pasukan pembantu Sumenap alias Madura]. Dalam daftar nama para perwira pasukan
Belanda tersebut di antaranya ialah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor
Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu
Steinmetz, & seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche [pribumi] seperti Kapitein
Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro
Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero & lainnya.
Dari Jakarta didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada
tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa & Sepoys,
serdadu dari Afrika yg berdinas dlm tentara Belanda, direkrut dari Ghana & Mali, terdiri dari
1 sergeant, 4 korporaals & 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe. Serangan
yg bergelombang serta bertubi-tubi & hujan peluru dari pasukan artileri yg bersenjatakan
meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri &
kavaleri yg terus berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel
Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai
keadaan, & akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, & pada
tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun
Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh
beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.

Perundingan Tuanku Imam Bonjol


Dalam pelarian & persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba
mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yg telah bercerai-berai & lemah,
namun karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata
hanya sedikit saja yg tinggal & masih siap untuk bertempur kembali. Dalam kondisi seperti
ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang untuk mengajak
berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan

perundingan. Perundingan itu dikatakan tak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari
berkibar bendera putih & gencatan senjata berlaku.
Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa
membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam
Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 & kemudian Tuanku Imam Bonjol dlm
kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk
selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan ke Cianjur, &
pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19
Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Menado, & di daerah inilah
sesudah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November
1864, Tuanku Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya.

Penangkapan Tuanku Imam Bonjol


Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, & Tuanku Imam Bonjol
berhasil ditipu & ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng
terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu [Rokan Hulu], yg waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku
Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838. Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku
Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di
Semenanjung Malaya, & akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan
Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Neerlandica & wilayah Padangse
Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda.
Sikap Patriotisme Kepahlawanan
Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masingmasing pihak yg terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia-Belanda
membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini. Kemudian sejak
tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu &
dimasukan sebagai kawasan wisata di Minangkabau. Begitu juga selepas kemerdekaan
Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum & monumen di Bonjol & dinamai
dengan Museum & Monumen Tuanku Imam Bonjol. Perjuangan beberapa tokoh dlm Perang
Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol &
Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.

Sumber :
http://www.sejarahnusantara.com/penjajahan-belanda/sejarah-perjuangan-tuanku-imambonjol-dalam-mengadapi-penjajahan-belanda-10018.htm

Anda mungkin juga menyukai