Kelas
No. Abs
menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk
diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga
jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.
Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda
Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari
dekat proses operasi militer yg dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, ia
melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz &
Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan
Padri. Riesz & Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yg baik untuk mengadakan
serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih
disangsikan & mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang.
Tetapi Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat
tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari sehingga
jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yg diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil memperlambat
gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dlm beberapa perlawanan hampir
semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat
dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata & pakaian yg melekat di tangan
& badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal HindiaBelanda digantikan oleh Jean Chrtien Baud, Van den Bosch membuat laporan bahwa
penyerangan ke Bonjol gagal & sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan
selanjutnya.
Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan &
jembatan yg mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini
dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dlm menaklukkan Bonjol. Selain itu
pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yg
dekat dengan kubu pertahanannya. Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk
kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol & sekitarnya.
Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan
Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yg bergerak
masing-masing dari Matur & Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yg saat itu
tengah dilanda banjir, & terus masuk menyelusup ke dlm hutan rimba; mendaki gunung &
menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai
tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya & berkumpul di Batusari. Dari sini hanya
ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yg masih dikuasai oleh Kaum Padri.
Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum
Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak
korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yg jauh tak sebanding, pasukan
Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah
Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan
sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban,
hampir sebulan waktu yg diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan Panjang. Sebagai
front terdepan dari Alahan Panjang ialah daerah Padang Lawas yg secara penuh masih
dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil
menguasai daerah ini. Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali
bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang & membuat kubu pertahanan disana,
sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dlm jarak kira-kira hanya 250 langkah
pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu
pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir & meriam, pasukan
Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tak tinggal diam dengan
menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yg kurang
menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban. Pada tanggal 17 Juni 1835
kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yg dikirim oleh Residen
Francis di Padang & pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yg besar pasukan Belanda
memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade
terhadap Bonjol dengan maksud untuk melumpuhkan suplai bahan makanan & senjata
pasukan Padri. Blokade yg dilakukan ini ternyata tak efektif, karena justru kubu-kubu
pertahanan pasukan Belanda & bahan perbekalannya yg banyak diserang oleh pasukan
Kaum Padri secara gerilya. Disaat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai
berdatangan dari daerah-daerah yg telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai
negeri di Minangkabau & sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas
besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali
sesudah bala bantuan tentara yg terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan
Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yg
berada di Bukit Tajadi, & pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dlm
merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yg berada disekitar Bukit
Tajadi. Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai
Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu
pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yg
dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali
masuk ke dlm Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah
Luhak Limo Puluah & Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan
kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan
Belanda menderita sakit & terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan
oleh Mayor Prager. Blokade yg berlarut-larut & keberanian Kaum Padri, membangkitkan
semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak & menyerang pasukan Belanda,
sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang & Alahan Mati mengangkat
senjata & menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan
mengatasi perlawanan ini. Namun sesudah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yg
berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan
Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha
terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng
Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu & berhasil membunuh beberapa
keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan & semangat juang yg tinggi Kaum
Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir & terpaksa
kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masingmasing pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal
Hindia-Belanda di Jakarta yg waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens,
kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yg bernama
Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng
Bonjol untuk kesekian kalinya. Cochius merupaken seorang perwira tinggi Belanda yg
memiliki keahlian dlm strategi perang Benteng Stelsel.
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar
enam bulan [16 Maret-17 Agustus 1837] dipimpin oleh jenderal & beberapa perwira.
Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis
& Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1. 103 tentara Eropa, 4. 130
tentara pribumi, termasuk didalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen
[pasukan pembantu Sumenap alias Madura]. Dalam daftar nama para perwira pasukan
Belanda tersebut di antaranya ialah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor
Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu
Steinmetz, & seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche [pribumi] seperti Kapitein
Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro
Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero & lainnya.
Dari Jakarta didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada
tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa & Sepoys,
serdadu dari Afrika yg berdinas dlm tentara Belanda, direkrut dari Ghana & Mali, terdiri dari
1 sergeant, 4 korporaals & 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe. Serangan
yg bergelombang serta bertubi-tubi & hujan peluru dari pasukan artileri yg bersenjatakan
meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri &
kavaleri yg terus berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel
Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai
keadaan, & akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, & pada
tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun
Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh
beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.
perundingan. Perundingan itu dikatakan tak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari
berkibar bendera putih & gencatan senjata berlaku.
Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa
membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam
Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 & kemudian Tuanku Imam Bonjol dlm
kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk
selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan ke Cianjur, &
pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19
Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Menado, & di daerah inilah
sesudah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November
1864, Tuanku Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya.
Sumber :
http://www.sejarahnusantara.com/penjajahan-belanda/sejarah-perjuangan-tuanku-imambonjol-dalam-mengadapi-penjajahan-belanda-10018.htm