A. Perang Aceh
Perang Aceh berlangsung dalam tiga fase, yaitu :
1. Fase pertama (1873 – 1884)
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda melakukan serangan terhadap Aceh. Serangan
ini dapat digagalkan oleh perlawanan rakyat Aceh. Dalam serangan tersebut Jenderal
J.H.R. Kohler terbunuh. Terbunuhnya jenderal ini memicu kemarahan Belanda. Oleh
karena itu, Belanda kembali mengirim pasukan untuk menyerang Aceh.
Pada tanggal 18 Desember 1873 Belanda melipatgandakan kekuatan dan melakukan
serangan kedua terhadap Aceh. Belanda yang dilengkapi dengan persenjataan dan
pasukan lengkap dan terstruktur, mampu menguasai Kotaraja, tetapi perlawanan dari
rakyat Aceh berhasil mendesak pasukan Belanda.
Oleh karena itu, pasukan Belanda mengalami kegagalan dalam serangan ini.
2. Fase kedua (1884 – 1896)
Perlawanan terhadap rakyat Aceh semakin memanas. Belanda menerapkan siasat
konsentrasi stelsel. Konsentrasi stelsel adalah strategi memusatkan perhatian dan
kekuatan pertahanan di wilayah yang telah dikuasainya. Akan tetapi, siasat tersebut
belum efektif mengakhiri Perang Aceh.
Di bawah pimpinan Teuku Umar, rakyat Aceh melancarkan perang gerilya. Dia juga
pernah pura-pura menyerah kepada Belanda untuk mencuri persenjataan dan uang dari
militer Belanda, lalu bergabung kembali dengan pasukan Cut Nyak Dien. Strategi ini
berhasil memperdaya Belanda dan memperkuat pasukan rakyat Aceh.
Pasukan gabungan Teuku Umar dan Cut Nyak Dien semakin kuat. Mereka melakukan
perampasan senjata milik pasukan Belanda dan melancarkan perang gerilya.
B. Perang Diponegoro
Perang ini berlangsung pada 1825 – 1830. Terdapat dua faktor yang melatarbelakangi
terjadinya Perang Diponegoro.
Sebab umum terjadinya perang ini ialah kekuasaan raja-raja di Yogyakarta yang
semakin sempit karena daerah pantai utara Jawa Tengah dikuasai oleh Belanda.
Selain itu, golongan bangsawan dilarang menyewakan tanahnya kepada golongan
swasta.
Kondisi tersebut pun semakin diperparah oleh kehidupan rakyat Yogya yang
semakin menderita karena tindakan Belanda yang selalu memeras rakyat.
Sebab khusus terjadinya perang ini ialah pematokan tanah milik Pangeran
Diponegoro (tanah makam leluhur) di Tegalrejo tanpa izin untuk dijadikan jalan.
Semua patok itu pun dicabut, lalu diganti dengan bambu runcing sebagai tanda
perlawanan terhadap Belanda.
Perang Diponegoro dipimpin oleh Pangeran Diponegoro yang dibantu oleh dua
tokoh yaitu Kiai Mojo dan Sentot Prawirodirjo. Perang ini yang awalnya bermula
dari Yogyakarta meluas hingga ke banyak daerah di Jawa, sehingga perang ini disebut
sebagai Perang Jawa.
Karena Belanda sudah mulai kewalahan, maka Jenderal H.M. de Kock merancang
sebuah taktik perang yang ampuh sekali, yaitu taktik benteng stelsel. Taktik ini
mencakup patroli secara teratur dan terus menerus di daerah yang sudah dikuasai
untuk memaksa lawan ke suata daerah yang dikehendaki.
Melalui taktik ini kedudukan pasukan Pangeran Diponegoro semakin lemah. Daerah
pertahanan perlahan-lahan jatuh ke tangan Belanda. Bahkan salah satu panglima
perang terkuat Pangeran Diponegoro, Sentot Prawirodirjo menyerah. Meskipun
demikian, Pangeran Diponegoro tetap melancarkan perlawanan secara gerilya.
Taktik benteng stelsel ini tidak mampu membuat Pangeran Diponegoro menyerah,
sehingga Belanda mengusulkan sebuah perundingan damai. Namun, perundingan
tersebut merupakan siasat licik Belanda untuk memancing Pangeran Diponegoro
keluar dari persembunyiannya. Dalam perundingan tersebut, Pangeran Diponegoro
ditangkap.
C. Perang Batak
Perang ini disebabkan oleh mulai meluasnya pengaruh Belanda di tanah Batak, seperti
Tapanuli, Mandailing, Angkola, Padang Lawas, dan Sipiro. Kondisi ini menjadi
ancaman bagi kekuasaan Sisingamangaraja XII. Masuknya dominasi ini juga
disertai dengan misi penyebaran agama Kristen di tanah Batak. Penyebaran agama
ini dikhawatirkan dapat menghilangkan tatanan tradisional dan bentuk kesatuan
negeri yang telah terjaga secara turun temurun. Oleh karena itu, Sisingamangaraja XII
menyerukan perlawanan terhadap Belanda.
Pada 1878 Belanda secara resmi melancarkan gerakan militer untuk menaklukkan
Batak. Penyerangan dan perlawanan pertama terjadi di Bahal Batu. Dalam
perkembangannya, perang ini meluas ke banyak daerah Batak dan perlawanan
pasukan Sisingamangaraja XII berhasil digagalkan. Belanda pun mulai bergerak ke
Bakkara dan melancarkan serangan masif untuk menduduki banteng pertahanan
dan istana Sisingamangaraja XII.
Sisingamangaraja XII dan pasukannya berhasil meloloskan diri, tetapi Belanda terus
melakukan pengejaran terhadap Sisingamangaraja XII. Pengejaran ini tidaklah efektif,
sehingga pada tahun 1907, pasukan Belanda melakukan penyisiran di kampung-
kampung daerah Tapanuli untuk menangkap Sisingamangaraja XII. Dalam penyisiran
ini, Belanda berhasil menangkap Boru Salaga, istri Sisingamangaraja XII dan
kedua putranya. Kemudian, ibu kandung Sisingamangaraja XII juga tertangkap dan
dijadikan tawanan oleh Belanda. Penangkapan dan penyanderaan anggota
keluarganya ini menyebabkan mental Sisingamangaraja XII menurun drastis. Bersama
dengan para pengikutnya, Sisingamangaraja XII tetap berjuang melawan Belanda
hingga akhirnya gugur dalam sebuah pertempuran di tepi Sungai Aek Sibulbulon
pada 17 Juni 1907.
D. Perang Banjar
Kesultanan Banjar yang kaya akan kekayaan alam, seperti tambang batu bara
merupakan alasan mengapa Belanda menyerang Banjar. Belanda berupaya untuk
mencampuri urusan politik, ekonomi, dan sosial keagamaan Kesultanan Banjar.
Tindakan campur tangan yang paling tampak pada bidang politik yaitu penyingkiran
putra mahkota Kesultanan Banjar, Pangeran Hidayatullah.
Pada 1 November 1857, Sultan Adam meninggal. Sebagai pengganti raja, Pangeran
Hidayatullah seharusnya dinyatakan sebagai pengganti ayahnya, tetapi Belanda
menunjukan Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan Banjar. Pengangkatan Pangeran
Tamjidillah sebagai Sultan Banjar oleh Belanda mengakibatkan kekecewaan di
kalangan rakyat, para rakyat dan kerabat keraton. Ditambah lagi, tindakan
sewenang-wenang Pangeran Tamjidillah yang patuh terhadap perintah Belanda tanpa
menghiraukan rakyatnya. Hal inilah yang memicu terjadinya Perang Banjar.
Perang Banjar dimulai pada 1859 yang ditandai dengan pemberontakan di bawah
pimpinan Pangeran Antasari dan Demang Lehman. Keduanya mendukung
Pangeran Hidayatullah sebgai Sultan Banjar dan berusaha menggulingkan
pemerintahan Pangeran Tamjidillah yang pro-Belanda dan merebut kembali
kedaulatan Kesultanan Banjar dari tangan Belanda.
Pemberontakan diawali dari gerakan Muning yang mendukung Pangeran
Hidayatullah. Pasukan Antasari menerapkan semangat perang habis-habisan untuk
mengalahkan Belanda. Pangeran Hidayatullah pun pada akhirnya memilih untuk
keluar dari istana Martapura dan bergabung dengan pasukan Pangeran Antasari.
Untuk memecahkan perlawanan Pangeran Antasari, Belanda membangun benteng
pertahanan di Tapin serta memperkuat benteng Munggu Thayor dan benteng
Amawang. Akan tetapi, berbagai serangan Belanda belum mampu mengakhiri
peperangan .
Perlawanan ini terus berlanjut hingga akhirnya pada 1860, Belanda memutuskan
untuk menghaspus Kesultanan Banjar. Penghapusan ini tidak berarti berakhirnya
perlawanan rakyat Banjar. Rakyat tetap memperjuangkan kedaulatan Kesultanan
Banjar. Walaupun Pangeran Hidayatullah ditangkap oleh Belanda pada 1862,
semangat para pejuang tidak surut. Bahkan, rakyat Banjar mengangkat Pangeran
Antasari sebagai Sultan Banjar.
Tujuh bulan setelah penobatan Pangeran Antasari, wabah penyakir cacar melanda
daerah pedalaman Banjar. Penyakit cacar ini memakan banyak korban, termasuk
Pangeran Antasari. Oleh karena itu, perlawanan dilanjutkan oleh putranya, tetapi
sayangnya, pada 1905 putranya gugur dalam sebuah pertempuran yang menyebabkan
melemah dan berakhirnya perlawanan rakyat Banjar.
E. Perang Banten
Tindakan VOC yang menghalangi kegiatan perdagangan di Banten mendorong
terjadinya perlawanan rakyat. Sebagai balasan atas tindakan VOC, Sultan Ageng
Tirtayasa mengirim beberapa pasukan untuk mengganggu kapal-kapal dagang
VOC dan daerah kekuasaan VOC di Batavia. Selain itu, rakyat Banten merusak
perkebunan tebu milik VOC untuk melemahkan kedudukan VOC. Pada 1659
Kerajaan Banten menyerang VOC.
Akan tetapi, VOC tidak dapat bertindak banyak karena pada saat bersamaan VOC
harus menghadapi pemberontakan Trunojoyo di Mataram.
Untuk menghadapi serangan pasukan Banten, VOC berupaya memperkuat Batavia
dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan, salah satunya benteng Noordwijk.
Syarat-syarat yang diajukan VOC tersebut disetujui oleh Sultan Haji. Persetujuan
tersebut menyebabkan perselisihan antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji.
Pada 1681 VOC atas nama Sultan Haji berhasil merebut kekuasaan Banten. Sultan
Haji menjadi Sultan Banten yang berkedudukan di istana Surosowan. Sultan Ageng
Tirtayasa berusaha merebut kembali Kesultanan Banten dengan membentuk
pemerintahan baru yang berpusat di Tirtayasa. Pada 1682 pasukan Sultan Ageng
Tirtayasa berhasil mengepung istana Surosowan. Sultan Haji yang terdesak segera
meminta bantuan VOC. Dengan bantuan tentara VOC, pasukan Sultan Ageng
Tirtayasa dapat dipukul mundur dan terdesak hingga ke benteng Tirtayasa. Benteng
Tirtayasa juga dikepung oleh VOC. Meskipun demikian, Sultan Ageng Tirtayasa dan
Pangeran Arya Purbaya berhasil meloloskan diri.
Sultan Ageng Tirtayasa bersama dengan Pangeran Arya Purbaya terus melakukan
serangan secara gerilya terhadap VOC dan Sultan Haji.
Akan tetapi, pada 1683 Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan ditawan di
Batavia hingga wafat.
F. Maluku Angkat Senjata
Maluku merupakan salah satu daerah di wilayah Kepulauan Indonesia bagian timur
yang terkenal memiliki sumber daya rempah-rempah yang saat itu sangat laku di
pasaran Eropa. Kekayaan rempah-rempah yang tersimpan di Kepulauan Maluku
menjadi daya tarik bagi bangsa Eropa, salah satunya Portugis.
Setelah menguasai Malaka, Portugis mengalihkan perhatian untuk menguasai
perdagangan rempah-rempah di Maluku. Dalam perkembangannya, pengaruh Portugis
di Maluku menimbulkan perlawanan rakyat.
1. Latar Belakang Perlawanan
Portugis berhasil mencapai wilayah Kepulauan Maluku pada 1521. Saat itu
rombongan Portugis berhasil mendarat di Ternate. Kedatangan Portugis di Ternate
mendapat sambutan baik dari Sultan Ternate. Sejak saat itu, Portugis memusatkan
aktivitasnya di Ternate. Tidak lama berselang Spanyol datang ke Maluku dan
diterima baik oleh Sultan Tidore. Pada waktu yang bersamaan, Kesultanan
Ternate dan Tidore yang merupakan dua kerajaan Islam terbesar di Kepulauan
Maluku sedang berseteru. Portugis memanfaatkan situasi ini dengan mendukung
Ternate. Penguasa Ternate saat itu, Sultan Bayanullah, berjanji akan menyerahkan
monopoli perdagangan rempah-rempah kepada Portugis. Di sisi lain, Spanyol
berpihak kepada Kesultanan Tidore. Oleh karena itu, pecahlah perang
berkepanjangan di tanah Maluku yang melibatkan dua kesultanan serumpun dengan
dibantu oleh dua kelompok asing.
Pada 1529 terjadi perang antara Tidore melawan Portugis. Perang ini terjadi karena
kapal-kapal Portugis menembak jung-jung dari Banda yang akan membeli
cengkih ke Tidore. Tindakan tersebut memicu amarah penguasa Tidore. Bersama
rakyat, penguasa Tidore mengangkat senjata melawan Portugis. Terjadilah perang
antara Tidore dan Portugis. Dalam peperangan ini Portugis memperoleh
kemenangan berkat bantuan dari Ternate dan Bacan. Kemenangan Portugis makin
bertambah setelah konflik persaingan antara Spanyol dan Portugis di Kepulauan
Maluku diakhiri dengan kesepakatan penandatanganan perjanjian Saragosa pada
22 April 1529. Berdasarkan perjanjian tersebut, Spanyol harus meninggalkan Maluku.
Sementara itu, Portugis berhak sepenuhnya berkuasa di wilayah Kepulauan
Maluku. Kedua kemenangan Portugis ini menyebabkan Portugis leluasa menerapkan
monopoli perdagangan rempah-rempah di wilayah Kepulauan Maluku.
2. Jalannya Perlawanan
Dominasi Portugis makin kuat setelah berhasil menyingkirkan Spanyol dari
Kepulauan Maluku. Portugis memiliki kebebasan melakukan praktik monopoli
perdagangan di wilayah Maluku. Praktik monopoli Portugis tersebut difokuskan ke
daerah Ternate sebagai pusat perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Maluku.
Dalam perkembangannya, Portugis turut campur dalam urusan pemerintahan
Kesultanan Ternate. Kedudukan Portugis makin mengancam kedaulatan kerajaan-
kerajaan yang ada di Maluku.
Melihat kesewenang-wenangan Portugis, pada 1565 muncul perlawanan rakyat
Ternate di bawah pimpinan Sultan Hairun. Sultan Hairun menyerukan seluruh rakyat
mengangkat senjata melawan Portugis. Dalam menghadapi perlawanan rakyat
Ternate, Gubernur Portugis di Maluku, Lopez de Mesquita mengajukan perundingan
damai kepada Sultan Hairun. Lopez de Mesquita pun mengundang Sultan
Hairun berkunjung ke benteng Sao Paulo untuk berunding. Dengan berbagai
pertimbangan, akhirnya Sultan Hairun menerima ajakan Portugis untuk berunding.
Perundingan tersebut dilaksanakan pada 1570 di benteng Sao Paulo.
Ternyata, ajakan berunding tersebut hanya taktik tipu muslihat Portugis. Pada saat
perundingan sedang berlangsung, Sultan Hairun ditangkap dan dibunuh oleh
Portugis.
Lopez de Mesquita menganggap terbunuhnya Sultan Hairun mengakhiri perlawanan
rakyat Ternate. Akan tetapi, peristiwa pembunuhan Sultan Hairun justru makin
menyulut kemarahan rakyat Ternate. Bahkan, seluruh rakyat Maluku bersatu
melawan Portugis. Perlawanan rakyat Maluku pasca terbunuhnya Sultan Hairun
dipimpin oleh Sultan Baabullah (putra Sultan Hairun). Sultan Baabullah menuntut
Lopez de Mesquita untuk diadili, tetapi permintaan tersebut mendapat penolakan dari
Portugis. Atas penolakan tersebut, Sultan Baabullah melakukan perlawanan terhadap
Portugis. Dalam melakukan penyerangan terhadap Portugis, Sultan Baabullah
mendapat bantuan dari seluruh rakyat Maluku dan para ulama Islam.
G. Perang Mangkubumi
1. Latar Belakang Perlawanan
a. Umum
Pada 11 Desember 1749, Raja Mataram, Paku Buwono II, menyerahkan Mataram
kepada VOC dalam sebuah perjanjian antara Pakubuwono II dengan Gubernur
Jendral Baron van der Hohendorff yang ia tandatangani pada saat sakit keras.
b. Khusus
Permohonan naik pangkat Mas Said yang mendapat cercaan dan hinaan dari
keluarga kepatihan, dan dikait-kaitkan dengan tuduhan ikut membantu
pemberontakan Cina yang sedang berlangsung.
Pakubuwana II ingkar janji, tidak memberikan tanah Sukowati kepada
Pangeran Mangkubumi sebagai hadiah sayembara yang telah dijanjikan.
Pangeran Mangkubumi merasa tersinggung atas tindakan Gubernur Jenderal
Van Imhoff yang turut campur tangan dalam permasalahan antara Pangeran
Mangkubumi dengan Paku Buwono III.
Raden Mas Said (Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I) pada usia 14 tahu, sudah
diangkat sebagai gendrek keraton. Selama tahun 1741 – 1742, ia memimpin laskar Tionghoa
yang melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangku Bumi melawan
Mataram dan Belanda pada 1743 – 1752. Dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena
dianggap oleh musuh-musuhnya sebagai penyebar maut.
2. Jalannya Perlawanan
Raden Mas Said yang mendapatkan celaan dan hinaan dari keluarga kepatihan saat
pengajuan kenaikan pangkat, dan dikaitkan dengan tuduhan ikut membantu
pemberontakan orang-orang Cina yang sedang berlangsung; merasa sakit hati dan
melakukan perlawanan terhadap Mataram dan VOC yang terlah membuat kerajaan
Mataram kacau. Dia pun pergi ke Nglaroh untuk memulai perlawanan. Perlawanan
Mas Said cukup kuat karena mendapatkan dukungan dari rakyat, sehingga menjadi
ancaman serius bagi eksistensi Pakubuwana II.
Pada tahun 1745, Pakubuwana II mengumumkan sayembara untuk memadamkan
perlawanan Mas Said dengan hadiah sebidang tanah di Sukowati. Mendengar hal ini,
Adik Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi melakukan sayembara tersebut dan
berhasil memadamkan perlawanan tersebut.
Namun, Pakubuwana II ingkar janji ditambah lagi hinaan dari Gubernur Jenderal
Van Imhoff. Hal ini menyebabkan Pangeran Mangkubumi dan pengikutnya pertama
kali pergi ke Sukowati untuk menemui Mas Said. Keduanya bersekutu untuk
melawan Mataram dan VOC.
Mas Said bergerak di bagian timur, daerah Surakarta ke selatan terus ke Madium,
Ponorogo dengan pusatnya Sukawati.
Pangeran Mangkubumi konsentrasi di bagian barat Surakarta terus ke barat dengan
pusat di Hutan Beringin dan Desa Pacetokan. Kekuatan pasukan Pangeran
Mangkubumi saat itu adalah 13.000 prajurit, termasuk di dalamnya 2.500 pasukan
kalvaleri.
Kemenangan demi kemenangan diraih oleh Mas Said dan Pangeran Mangkubumi,
tetapi pada 1749, Pakubuwana II sakit keras. Karena kondisinya yang tidak menentu,
Gubernur Jenderal menyodorkan sebuah perjanjian Het Allerbelangrijkste yang
isinya menyerahkan seluruh kedaulatan kerajaan kepada VOC.
Kerajaan Mataram yang pernah berjaya di masa Sultan Agung, akhirnya oleh para
pewarisnya diserahkan begitu saja kepada pihak asing. Hal ini membuat Mas Said dan
Pangeran Mangkubumi semakin kesal dan meningkatkan perlawanannya terhadap
VOC.
Tahun 1750 merupakan tahun kemenangan bagi Mas Said dan Pangeran
Mangkubumi. Kemenangan demi kemengan diraih, bahkan banyak pihak VOC,
seperti Van Hogendorp dan Van Imhoff mengundurkan diri dari jabatannya karena
frustasi dan putus asa. Nicolas Hartingh dan Jacob Mosel (Gubernur Jenderal yang
baru) mengajukan perundingan kepada Mas Said dan Pangeran Mangkubumi.
Karena perlawanan Mas Said dan Pangeran Mangkubumi yang masih belum berakhir,
penguasa VOC terus membujuk Pangeran Mangkubumi untuk berunding dan pada
akhirnya dia bersedia berunding dengan VOC. Di sanalah tercapai sebuah perjanjian
yang dikenal sebagai Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755. Isi pokok
perjanjian itu adalah bahwa Mataram terbagi menjadi dua. Wilayah bagian barat
(daerah Yogyakarta) diberikan kepada Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sri
Sultan Hamengkubuwana I, sedangkan wilayah bagian timur (daerah Surakarta)
tetap diperintah oleh Pakubuwana III.
Perjanjian ini membuat Mas Said dan Pangeran Mangkubumi pecah. Mas Said tetap
melakukan perlawanan hingga pada Februari 1757 Mas Said menyerah kepada
Pakubuwana III. Pada tanggal 17 Maret 1757, Mas Said diangkat sebgai penguasa di
sebagian wilayah Surakarta dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.
H. Dampak penjajahan bangsa Eropa
1. Dampak dalam aspek politik dan pemerintahan
a. Masa kekuasaan VOC
Pergantian kekuasaan di lingkungan kerajaan lokal yang disebabkan oleh ikut campur
tangan VOC dalam proses pengangkatan raja atau putra mahkota di kerajaan.
Bahkan, VOC pada saat itu sering sekali menerapkan praktik adu domba (devide et
impera) untuk memecah belah keluarga kerajaan.
Sistem sewa tanah yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda berdampak pada
peralihan kegiatan ekonomi masyarakat. Pada awalnya para penyewa tanah
(pengusaha asing) hanya menyewa lahan-lahan kosong. Dalam perkembangannya,
mereka menyewa tanah pertanian milik petani. Para petani yang dahulu berhak atas
tanah pertanian kemudian harus menyewakan tanahnya kepada pengusaha asing.
Mata pencarian para petani pun beralih menjadi buruh.
Munculnya bank-bank dengan sistem modern, yang bermula dari De Javasche Bank
di Batavia, lalu diikuti dengan berdirinya bank-bank lainnya seperti salah satunya
Escompto Bank. Selain itu, bank-bank dari luar negeri seperti Inggris mulai
berkembang dan bank milik bumiputra, seperti bank desa dan lumbung desa mulai
muncul.
Perluasan aktivitas perekonomian menyebabkan berkembangnya sistem ekonomi
uang. Sistem ini memperkenalkan masyarakat Indonesia dengan sistem permodalan.
Pada periode liberal muncul praktik usaha dalam bidang permodalan bagi para
pengusaha.
Berkembangnya ekonomi di Hindia Belanda mentebabkan munculnya kota-kota
baru yang ditandai dengan pembangunan jaringan transportasi, seperti jalur kereta
api, pelabuhan dan bandara udara (seperti bandara Polonia).