Anda di halaman 1dari 14

Kisi-Kisi Ujian Semester I

A. Perang Aceh
Perang Aceh berlangsung dalam tiga fase, yaitu :
1. Fase pertama (1873 – 1884)
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda melakukan serangan terhadap Aceh. Serangan
ini dapat digagalkan oleh perlawanan rakyat Aceh. Dalam serangan tersebut Jenderal
J.H.R. Kohler terbunuh. Terbunuhnya jenderal ini memicu kemarahan Belanda. Oleh
karena itu, Belanda kembali mengirim pasukan untuk menyerang Aceh.
Pada tanggal 18 Desember 1873 Belanda melipatgandakan kekuatan dan melakukan
serangan kedua terhadap Aceh. Belanda yang dilengkapi dengan persenjataan dan
pasukan lengkap dan terstruktur, mampu menguasai Kotaraja, tetapi perlawanan dari
rakyat Aceh berhasil mendesak pasukan Belanda.
Oleh karena itu, pasukan Belanda mengalami kegagalan dalam serangan ini.
2. Fase kedua (1884 – 1896)
Perlawanan terhadap rakyat Aceh semakin memanas. Belanda menerapkan siasat
konsentrasi stelsel. Konsentrasi stelsel adalah strategi memusatkan perhatian dan
kekuatan pertahanan di wilayah yang telah dikuasainya. Akan tetapi, siasat tersebut
belum efektif mengakhiri Perang Aceh.
Di bawah pimpinan Teuku Umar, rakyat Aceh melancarkan perang gerilya. Dia juga
pernah pura-pura menyerah kepada Belanda untuk mencuri persenjataan dan uang dari
militer Belanda, lalu bergabung kembali dengan pasukan Cut Nyak Dien. Strategi ini
berhasil memperdaya Belanda dan memperkuat pasukan rakyat Aceh.
Pasukan gabungan Teuku Umar dan Cut Nyak Dien semakin kuat. Mereka melakukan
perampasan senjata milik pasukan Belanda dan melancarkan perang gerilya.

Perlawanan rakyat Aceh berhasil membuat Belanda kewalahan. Belanda segera


menyusun strategi untuk mengakhiri Perang Aceh. Strategi Belanda dilakukan dengan
mendatangkan tokoh yang menguasai agama Islam bernama Snouck Hurgronje ke
Aceh. Tugas Snouck Hurgronje adalah menyelidiki adat istiadat dan sosial budaya
masyarakat Aceh.
Setelah melakukan penyelidikan, Snouck Hurgronje memberikan beberapa saran
kepada pemerintah kolonial Belanda tentang rakyat Aceh. Saran-sarannya sebagai
berikut.
a. Pasukan Aceh tidak menghiraukan sultan karena sultan tidak berkuasa.
b. Pasukan Belanda harus mengadakan perang dengan gerak cepat sehingga
pasukan Aceh mengalami kesulitan untuk mencari perlindungan.
c. Pasukan Belanda sebaiknya tidak menawarkan perundingan karena perundingan
tidak akan diterima pasukan Aceh.
d. Pasukan Belanda harus memerangi golongan agama karena golongan ini sangat
berpengaruh.
e. Pasukan Belanda menggunakan siasat untuk kemakmuran rakyat.
3. Fase Ketiga (1896 – 1904)
Pada Perang Aceh fase ketiga Belanda menerapkan taktik yang disarankan oleh
Snouck Hurgronje. Melalui taktik tersebut, Belanda berhasil mencerai-beraikan
para pemimpin perlawanan rakyat Aceh. Teuku Umar bergerak ke Aceh bagian
barat dan Panglima Polim bergerak di Aceh bagian timur. Di Aceh bagian barat
Teuku Umar mempersiapkan pasukannya melakukan penyerangan secara besar-
besaran. Akan tetapi, persiapan serangan Teuku Umar sudah diketahui Belanda.
Belanda segera menyerang benteng pertahanan Teuku Umar. Dalam pertempuran
yang terjadi pada 1899 Teuku Umar gugur. Sementara itu, Panglima Polim
akhirnya menyerah kepada Belanda pada 1903.
Perlawanan rakyat Aceh belum berakhir. Perlawanan tetap berlanjut di bawah
komando Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien terus melakukan perang gerilya. Namun,
pos pertahanan Cut Nyak Dien berhasil dikepung tentara Belanda pada 1906. Dalam
pengepungan tersebut Cut Nyak Dien berhasil ditangkap.

B. Perang Diponegoro
Perang ini berlangsung pada 1825 – 1830. Terdapat dua faktor yang melatarbelakangi
terjadinya Perang Diponegoro.
Sebab umum terjadinya perang ini ialah kekuasaan raja-raja di Yogyakarta yang
semakin sempit karena daerah pantai utara Jawa Tengah dikuasai oleh Belanda.
Selain itu, golongan bangsawan dilarang menyewakan tanahnya kepada golongan
swasta.
Kondisi tersebut pun semakin diperparah oleh kehidupan rakyat Yogya yang
semakin menderita karena tindakan Belanda yang selalu memeras rakyat.
Sebab khusus terjadinya perang ini ialah pematokan tanah milik Pangeran
Diponegoro (tanah makam leluhur) di Tegalrejo tanpa izin untuk dijadikan jalan.
Semua patok itu pun dicabut, lalu diganti dengan bambu runcing sebagai tanda
perlawanan terhadap Belanda.
Perang Diponegoro dipimpin oleh Pangeran Diponegoro yang dibantu oleh dua
tokoh yaitu Kiai Mojo dan Sentot Prawirodirjo. Perang ini yang awalnya bermula
dari Yogyakarta meluas hingga ke banyak daerah di Jawa, sehingga perang ini disebut
sebagai Perang Jawa.

Pasukan Pangeran Diponegoro berhasil mengalahkan pasukan Belanda pada 1825 –


1826. Keberhasilan ini disebabkan oleh beberapa faktor berikut.
a. Semangat perang pasukan Pangeran Diponegoro yang masih tinggi.
b. Siasat perang gerilya Pangeran Diponegoro yang masih belum tertandingi.
c. Sebagian Pasukan Belanda masih berada di Sumatrea Barat menghadapi Perang
Padri.

Karena Belanda sudah mulai kewalahan, maka Jenderal H.M. de Kock merancang
sebuah taktik perang yang ampuh sekali, yaitu taktik benteng stelsel. Taktik ini
mencakup patroli secara teratur dan terus menerus di daerah yang sudah dikuasai
untuk memaksa lawan ke suata daerah yang dikehendaki.
Melalui taktik ini kedudukan pasukan Pangeran Diponegoro semakin lemah. Daerah
pertahanan perlahan-lahan jatuh ke tangan Belanda. Bahkan salah satu panglima
perang terkuat Pangeran Diponegoro, Sentot Prawirodirjo menyerah. Meskipun
demikian, Pangeran Diponegoro tetap melancarkan perlawanan secara gerilya.

Taktik benteng stelsel ini tidak mampu membuat Pangeran Diponegoro menyerah,
sehingga Belanda mengusulkan sebuah perundingan damai. Namun, perundingan
tersebut merupakan siasat licik Belanda untuk memancing Pangeran Diponegoro
keluar dari persembunyiannya. Dalam perundingan tersebut, Pangeran Diponegoro
ditangkap.

C. Perang Batak
Perang ini disebabkan oleh mulai meluasnya pengaruh Belanda di tanah Batak, seperti
Tapanuli, Mandailing, Angkola, Padang Lawas, dan Sipiro. Kondisi ini menjadi
ancaman bagi kekuasaan Sisingamangaraja XII. Masuknya dominasi ini juga
disertai dengan misi penyebaran agama Kristen di tanah Batak. Penyebaran agama
ini dikhawatirkan dapat menghilangkan tatanan tradisional dan bentuk kesatuan
negeri yang telah terjaga secara turun temurun. Oleh karena itu, Sisingamangaraja XII
menyerukan perlawanan terhadap Belanda.
Pada 1878 Belanda secara resmi melancarkan gerakan militer untuk menaklukkan
Batak. Penyerangan dan perlawanan pertama terjadi di Bahal Batu. Dalam
perkembangannya, perang ini meluas ke banyak daerah Batak dan perlawanan
pasukan Sisingamangaraja XII berhasil digagalkan. Belanda pun mulai bergerak ke
Bakkara dan melancarkan serangan masif untuk menduduki banteng pertahanan
dan istana Sisingamangaraja XII.
Sisingamangaraja XII dan pasukannya berhasil meloloskan diri, tetapi Belanda terus
melakukan pengejaran terhadap Sisingamangaraja XII. Pengejaran ini tidaklah efektif,
sehingga pada tahun 1907, pasukan Belanda melakukan penyisiran di kampung-
kampung daerah Tapanuli untuk menangkap Sisingamangaraja XII. Dalam penyisiran
ini, Belanda berhasil menangkap Boru Salaga, istri Sisingamangaraja XII dan
kedua putranya. Kemudian, ibu kandung Sisingamangaraja XII juga tertangkap dan
dijadikan tawanan oleh Belanda. Penangkapan dan penyanderaan anggota
keluarganya ini menyebabkan mental Sisingamangaraja XII menurun drastis. Bersama
dengan para pengikutnya, Sisingamangaraja XII tetap berjuang melawan Belanda
hingga akhirnya gugur dalam sebuah pertempuran di tepi Sungai Aek Sibulbulon
pada 17 Juni 1907.

D. Perang Banjar
Kesultanan Banjar yang kaya akan kekayaan alam, seperti tambang batu bara
merupakan alasan mengapa Belanda menyerang Banjar. Belanda berupaya untuk
mencampuri urusan politik, ekonomi, dan sosial keagamaan Kesultanan Banjar.
Tindakan campur tangan yang paling tampak pada bidang politik yaitu penyingkiran
putra mahkota Kesultanan Banjar, Pangeran Hidayatullah.
Pada 1 November 1857, Sultan Adam meninggal. Sebagai pengganti raja, Pangeran
Hidayatullah seharusnya dinyatakan sebagai pengganti ayahnya, tetapi Belanda
menunjukan Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan Banjar. Pengangkatan Pangeran
Tamjidillah sebagai Sultan Banjar oleh Belanda mengakibatkan kekecewaan di
kalangan rakyat, para rakyat dan kerabat keraton. Ditambah lagi, tindakan
sewenang-wenang Pangeran Tamjidillah yang patuh terhadap perintah Belanda tanpa
menghiraukan rakyatnya. Hal inilah yang memicu terjadinya Perang Banjar.

Perang Banjar dimulai pada 1859 yang ditandai dengan pemberontakan di bawah
pimpinan Pangeran Antasari dan Demang Lehman. Keduanya mendukung
Pangeran Hidayatullah sebgai Sultan Banjar dan berusaha menggulingkan
pemerintahan Pangeran Tamjidillah yang pro-Belanda dan merebut kembali
kedaulatan Kesultanan Banjar dari tangan Belanda.
Pemberontakan diawali dari gerakan Muning yang mendukung Pangeran
Hidayatullah. Pasukan Antasari menerapkan semangat perang habis-habisan untuk
mengalahkan Belanda. Pangeran Hidayatullah pun pada akhirnya memilih untuk
keluar dari istana Martapura dan bergabung dengan pasukan Pangeran Antasari.
Untuk memecahkan perlawanan Pangeran Antasari, Belanda membangun benteng
pertahanan di Tapin serta memperkuat benteng Munggu Thayor dan benteng
Amawang. Akan tetapi, berbagai serangan Belanda belum mampu mengakhiri
peperangan .

Perlawanan ini terus berlanjut hingga akhirnya pada 1860, Belanda memutuskan
untuk menghaspus Kesultanan Banjar. Penghapusan ini tidak berarti berakhirnya
perlawanan rakyat Banjar. Rakyat tetap memperjuangkan kedaulatan Kesultanan
Banjar. Walaupun Pangeran Hidayatullah ditangkap oleh Belanda pada 1862,
semangat para pejuang tidak surut. Bahkan, rakyat Banjar mengangkat Pangeran
Antasari sebagai Sultan Banjar.
Tujuh bulan setelah penobatan Pangeran Antasari, wabah penyakir cacar melanda
daerah pedalaman Banjar. Penyakit cacar ini memakan banyak korban, termasuk
Pangeran Antasari. Oleh karena itu, perlawanan dilanjutkan oleh putranya, tetapi
sayangnya, pada 1905 putranya gugur dalam sebuah pertempuran yang menyebabkan
melemah dan berakhirnya perlawanan rakyat Banjar.

E. Perang Banten
Tindakan VOC yang menghalangi kegiatan perdagangan di Banten mendorong
terjadinya perlawanan rakyat. Sebagai balasan atas tindakan VOC, Sultan Ageng
Tirtayasa mengirim beberapa pasukan untuk mengganggu kapal-kapal dagang
VOC dan daerah kekuasaan VOC di Batavia. Selain itu, rakyat Banten merusak
perkebunan tebu milik VOC untuk melemahkan kedudukan VOC. Pada 1659
Kerajaan Banten menyerang VOC.
Akan tetapi, VOC tidak dapat bertindak banyak karena pada saat bersamaan VOC
harus menghadapi pemberontakan Trunojoyo di Mataram.
Untuk menghadapi serangan pasukan Banten, VOC berupaya memperkuat Batavia
dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan, salah satunya benteng Noordwijk.

Sementara itu, Sultan Ageng Tirtayasa membangun saluran irigasi yang


membentang dari Sungai Untung Jawa hingga Pontang. Selain untuk
meningkatkan produksi pertanian, pembangunan saluran irigasi tersebut digunakan
untuk mempermudah transportasi perang.
Di tengah-tengah berkobarnya semangat anti-VOC, Sultan Ageng Tirtayasa
melakukan perubahan sistem birokrasi. Pada 1671 Sultan Ageng Tirtayasa
mengangkat putra mahkota Abdulnazar Abdulkahar yang lebih dikenal dengan nama
Sultan Haji sebagai raja pembantu. Sebagai raja pembantu, Sultan Haji
bertanggungjawab terhadap urusan dalam negeri Banten. Sementara itu, Sultan
Ageng Tirtayasa dan Pangeran Arya Purbaya bertanggung jawab atas urusan luar
negeri Banten.
Pemisahan kekuasaan ini dimanfaatkan VOC untuk menerapkan politik devide et
impera (adu domba). VOC menghasut Sultan Haji dengan menyatakan Pangeran
Arya Purbaya yang akan naik takhta menjadi Sultan Banten menggantikan Sultan
Ageng Tirtayasa. Hasutan VOC ini menyebabkan Sultan Haji mencurigai
Sultan Ageng Tirtayasa dan Pangeran Arya Purbaya.
Tanpa berpikir panjang Sultan Haji kemudian menjalin kerja sama dengan VOC
untuk merebut takhta Kesultanan Banten. VOC bersedia membantu Sultan Haji
dengan beberapa syarat berikut.
1. Banten menyerahkan Cirebon kepada VOC.
2. Perdagangan lada di Banten menjadi hak monopoli VOC.
3. Pedagang Tiongkok, Persia, dan India dilarang berdagang di Banten.
4. Pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman harus ditarik.
5. Apabila Banten mengingkari perjanjian ini, Banten wajib membayar 600.000
ringgit kepada VOC.

Syarat-syarat yang diajukan VOC tersebut disetujui oleh Sultan Haji. Persetujuan
tersebut menyebabkan perselisihan antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji.
Pada 1681 VOC atas nama Sultan Haji berhasil merebut kekuasaan Banten. Sultan
Haji menjadi Sultan Banten yang berkedudukan di istana Surosowan. Sultan Ageng
Tirtayasa berusaha merebut kembali Kesultanan Banten dengan membentuk
pemerintahan baru yang berpusat di Tirtayasa. Pada 1682 pasukan Sultan Ageng
Tirtayasa berhasil mengepung istana Surosowan. Sultan Haji yang terdesak segera
meminta bantuan VOC. Dengan bantuan tentara VOC, pasukan Sultan Ageng
Tirtayasa dapat dipukul mundur dan terdesak hingga ke benteng Tirtayasa. Benteng
Tirtayasa juga dikepung oleh VOC. Meskipun demikian, Sultan Ageng Tirtayasa dan
Pangeran Arya Purbaya berhasil meloloskan diri.
Sultan Ageng Tirtayasa bersama dengan Pangeran Arya Purbaya terus melakukan
serangan secara gerilya terhadap VOC dan Sultan Haji.
Akan tetapi, pada 1683 Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan ditawan di
Batavia hingga wafat.
F. Maluku Angkat Senjata
Maluku merupakan salah satu daerah di wilayah Kepulauan Indonesia bagian timur
yang terkenal memiliki sumber daya rempah-rempah yang saat itu sangat laku di
pasaran Eropa. Kekayaan rempah-rempah yang tersimpan di Kepulauan Maluku
menjadi daya tarik bagi bangsa Eropa, salah satunya Portugis.
Setelah menguasai Malaka, Portugis mengalihkan perhatian untuk menguasai
perdagangan rempah-rempah di Maluku. Dalam perkembangannya, pengaruh Portugis
di Maluku menimbulkan perlawanan rakyat.
1. Latar Belakang Perlawanan
Portugis berhasil mencapai wilayah Kepulauan Maluku pada 1521. Saat itu
rombongan Portugis berhasil mendarat di Ternate. Kedatangan Portugis di Ternate
mendapat sambutan baik dari Sultan Ternate. Sejak saat itu, Portugis memusatkan
aktivitasnya di Ternate. Tidak lama berselang Spanyol datang ke Maluku dan
diterima baik oleh Sultan Tidore. Pada waktu yang bersamaan, Kesultanan
Ternate dan Tidore yang merupakan dua kerajaan Islam terbesar di Kepulauan
Maluku sedang berseteru. Portugis memanfaatkan situasi ini dengan mendukung
Ternate. Penguasa Ternate saat itu, Sultan Bayanullah, berjanji akan menyerahkan
monopoli perdagangan rempah-rempah kepada Portugis. Di sisi lain, Spanyol
berpihak kepada Kesultanan Tidore. Oleh karena itu, pecahlah perang
berkepanjangan di tanah Maluku yang melibatkan dua kesultanan serumpun dengan
dibantu oleh dua kelompok asing.

Portugis --->Kesultanan Ternate


Spanyol --->Kesultanan Tidore

Pada 1529 terjadi perang antara Tidore melawan Portugis. Perang ini terjadi karena
kapal-kapal Portugis menembak jung-jung dari Banda yang akan membeli
cengkih ke Tidore. Tindakan tersebut memicu amarah penguasa Tidore. Bersama
rakyat, penguasa Tidore mengangkat senjata melawan Portugis. Terjadilah perang
antara Tidore dan Portugis. Dalam peperangan ini Portugis memperoleh
kemenangan berkat bantuan dari Ternate dan Bacan. Kemenangan Portugis makin
bertambah setelah konflik persaingan antara Spanyol dan Portugis di Kepulauan
Maluku diakhiri dengan kesepakatan penandatanganan perjanjian Saragosa pada
22 April 1529. Berdasarkan perjanjian tersebut, Spanyol harus meninggalkan Maluku.
Sementara itu, Portugis berhak sepenuhnya berkuasa di wilayah Kepulauan
Maluku. Kedua kemenangan Portugis ini menyebabkan Portugis leluasa menerapkan
monopoli perdagangan rempah-rempah di wilayah Kepulauan Maluku.

2. Jalannya Perlawanan
Dominasi Portugis makin kuat setelah berhasil menyingkirkan Spanyol dari
Kepulauan Maluku. Portugis memiliki kebebasan melakukan praktik monopoli
perdagangan di wilayah Maluku. Praktik monopoli Portugis tersebut difokuskan ke
daerah Ternate sebagai pusat perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Maluku.
Dalam perkembangannya, Portugis turut campur dalam urusan pemerintahan
Kesultanan Ternate. Kedudukan Portugis makin mengancam kedaulatan kerajaan-
kerajaan yang ada di Maluku.
Melihat kesewenang-wenangan Portugis, pada 1565 muncul perlawanan rakyat
Ternate di bawah pimpinan Sultan Hairun. Sultan Hairun menyerukan seluruh rakyat
mengangkat senjata melawan Portugis. Dalam menghadapi perlawanan rakyat
Ternate, Gubernur Portugis di Maluku, Lopez de Mesquita mengajukan perundingan
damai kepada Sultan Hairun. Lopez de Mesquita pun mengundang Sultan
Hairun berkunjung ke benteng Sao Paulo untuk berunding. Dengan berbagai
pertimbangan, akhirnya Sultan Hairun menerima ajakan Portugis untuk berunding.
Perundingan tersebut dilaksanakan pada 1570 di benteng Sao Paulo.
Ternyata, ajakan berunding tersebut hanya taktik tipu muslihat Portugis. Pada saat
perundingan sedang berlangsung, Sultan Hairun ditangkap dan dibunuh oleh
Portugis.
Lopez de Mesquita menganggap terbunuhnya Sultan Hairun mengakhiri perlawanan
rakyat Ternate. Akan tetapi, peristiwa pembunuhan Sultan Hairun justru makin
menyulut kemarahan rakyat Ternate. Bahkan, seluruh rakyat Maluku bersatu
melawan Portugis. Perlawanan rakyat Maluku pasca terbunuhnya Sultan Hairun
dipimpin oleh Sultan Baabullah (putra Sultan Hairun). Sultan Baabullah menuntut
Lopez de Mesquita untuk diadili, tetapi permintaan tersebut mendapat penolakan dari
Portugis. Atas penolakan tersebut, Sultan Baabullah melakukan perlawanan terhadap
Portugis. Dalam melakukan penyerangan terhadap Portugis, Sultan Baabullah
mendapat bantuan dari seluruh rakyat Maluku dan para ulama Islam.

Sultan Baabullah melakukan penyerangan dengan menghancurkan benteng-benteng


pertahanan milik Portugis di Maluku. Pos-pos perdagangan dan pertahanan
Portugis di berbagai tempat dihancurkan sejak 1571. Benteng pertahanan Portugis
satu per satu direbut dan dihancurkan, kecuali benteng Sao Paulo. Sultan Baabullah
memang sengaja tidak langsung menyerang benteng yang didiami Lopez de Mesquita
karena benteng tersebut merupakan lokasi pembunuhan ayahnya. Sultan Baabullah
kemudian menerapkan strategi pengepungan benteng Sao Paulo dengan menutup
semua akses, baik jalan maupun distribusi bahan makanan. Pengepungan benteng Sao
Paulo berlangsung selama lima tahun. Selama itu pula, orang-orang Portugis yang
tinggal di dalamnya merasakan penderitaan dengan segala keterbatasan karena tidak
bisa menjalin hubungan dengan dunia luar. Akhirnya, pada 1575 Portugis berhasil
diusir dari Ternate. Orang-orang Portugis kemudian meninggalkan Ternate dan
menetap di Ambon.

G. Perang Mangkubumi
1. Latar Belakang Perlawanan
a. Umum
Pada 11 Desember 1749, Raja Mataram, Paku Buwono II, menyerahkan Mataram
kepada VOC dalam sebuah perjanjian antara Pakubuwono II dengan Gubernur
Jendral Baron van der Hohendorff yang ia tandatangani pada saat sakit keras.

b. Khusus
 Permohonan naik pangkat Mas Said yang mendapat cercaan dan hinaan dari
keluarga kepatihan, dan dikait-kaitkan dengan tuduhan ikut membantu
pemberontakan Cina yang sedang berlangsung.
 Pakubuwana II ingkar janji, tidak memberikan tanah Sukowati kepada
Pangeran Mangkubumi sebagai hadiah sayembara yang telah dijanjikan.
 Pangeran Mangkubumi merasa tersinggung atas tindakan Gubernur Jenderal
Van Imhoff yang turut campur tangan dalam permasalahan antara Pangeran
Mangkubumi dengan Paku Buwono III.

Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono) akibat berselisih dengan


Pakubuwono II mengenai masalah pergantian tahta yang dipandang terlalu dicampuri
Belanda, ia mulai menentang Pakubuwono II yang mendapat dukungan Belanda (VOC) pada
tahun 1747.

Raden Mas Said (Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I) pada usia 14 tahu, sudah
diangkat sebagai gendrek keraton. Selama tahun 1741 – 1742, ia memimpin laskar Tionghoa
yang melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangku Bumi melawan
Mataram dan Belanda pada 1743 – 1752. Dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena
dianggap oleh musuh-musuhnya sebagai penyebar maut.

2. Jalannya Perlawanan
Raden Mas Said yang mendapatkan celaan dan hinaan dari keluarga kepatihan saat
pengajuan kenaikan pangkat, dan dikaitkan dengan tuduhan ikut membantu
pemberontakan orang-orang Cina yang sedang berlangsung; merasa sakit hati dan
melakukan perlawanan terhadap Mataram dan VOC yang terlah membuat kerajaan
Mataram kacau. Dia pun pergi ke Nglaroh untuk memulai perlawanan. Perlawanan
Mas Said cukup kuat karena mendapatkan dukungan dari rakyat, sehingga menjadi
ancaman serius bagi eksistensi Pakubuwana II.
Pada tahun 1745, Pakubuwana II mengumumkan sayembara untuk memadamkan
perlawanan Mas Said dengan hadiah sebidang tanah di Sukowati. Mendengar hal ini,
Adik Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi melakukan sayembara tersebut dan
berhasil memadamkan perlawanan tersebut.

Namun, Pakubuwana II ingkar janji ditambah lagi hinaan dari Gubernur Jenderal
Van Imhoff. Hal ini menyebabkan Pangeran Mangkubumi dan pengikutnya pertama
kali pergi ke Sukowati untuk menemui Mas Said. Keduanya bersekutu untuk
melawan Mataram dan VOC.
Mas Said bergerak di bagian timur, daerah Surakarta ke selatan terus ke Madium,
Ponorogo dengan pusatnya Sukawati.
Pangeran Mangkubumi konsentrasi di bagian barat Surakarta terus ke barat dengan
pusat di Hutan Beringin dan Desa Pacetokan. Kekuatan pasukan Pangeran
Mangkubumi saat itu adalah 13.000 prajurit, termasuk di dalamnya 2.500 pasukan
kalvaleri.
Kemenangan demi kemenangan diraih oleh Mas Said dan Pangeran Mangkubumi,
tetapi pada 1749, Pakubuwana II sakit keras. Karena kondisinya yang tidak menentu,
Gubernur Jenderal menyodorkan sebuah perjanjian Het Allerbelangrijkste yang
isinya menyerahkan seluruh kedaulatan kerajaan kepada VOC.

Isi perjanjian itu antara lai sebagai berikut.


 Susuhan Pakubuwana II menyerahkan Kerajaan Mataram baik secara de facto
maupun de jure kepada VOC.
 Hanya keturunan Pakubuwana II yang berhak naik tahta dan akan dinobatkan oleh
VOC menjadi raja Mataram dengan tanah Mataram sebagai pinjaman dari VOC.
 Putra mahkota akan segara dinobatkan. Setelah Pakubuwana II wafat, kemudian
tanggal 15 Desember 1749 Van Hohendorff mengumumkan pengangkatan putera
mahkota sebagai Susuhan Pakubuwana III.

Kerajaan Mataram yang pernah berjaya di masa Sultan Agung, akhirnya oleh para
pewarisnya diserahkan begitu saja kepada pihak asing. Hal ini membuat Mas Said dan
Pangeran Mangkubumi semakin kesal dan meningkatkan perlawanannya terhadap
VOC.

Pada saat perjanjian Het Allerbelangrijkste ditandatangani, Pakubuwana II tidak


dinyatakan lagi sebagai raja Mataram, sementara itu VOC juga belum mengangkat
raja baru. Mataram dalam keadaan vakum. Dalam masa itu, Pangeran Mangkubumi
diangkat sebagai raja dengan gelar Sri Susuhan Pakubuwana.

Tahun 1750 merupakan tahun kemenangan bagi Mas Said dan Pangeran
Mangkubumi. Kemenangan demi kemengan diraih, bahkan banyak pihak VOC,
seperti Van Hogendorp dan Van Imhoff mengundurkan diri dari jabatannya karena
frustasi dan putus asa. Nicolas Hartingh dan Jacob Mosel (Gubernur Jenderal yang
baru) mengajukan perundingan kepada Mas Said dan Pangeran Mangkubumi.

Karena perlawanan Mas Said dan Pangeran Mangkubumi yang masih belum berakhir,
penguasa VOC terus membujuk Pangeran Mangkubumi untuk berunding dan pada
akhirnya dia bersedia berunding dengan VOC. Di sanalah tercapai sebuah perjanjian
yang dikenal sebagai Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755. Isi pokok
perjanjian itu adalah bahwa Mataram terbagi menjadi dua. Wilayah bagian barat
(daerah Yogyakarta) diberikan kepada Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sri
Sultan Hamengkubuwana I, sedangkan wilayah bagian timur (daerah Surakarta)
tetap diperintah oleh Pakubuwana III.

Perjanjian ini membuat Mas Said dan Pangeran Mangkubumi pecah. Mas Said tetap
melakukan perlawanan hingga pada Februari 1757 Mas Said menyerah kepada
Pakubuwana III. Pada tanggal 17 Maret 1757, Mas Said diangkat sebgai penguasa di
sebagian wilayah Surakarta dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.
H. Dampak penjajahan bangsa Eropa
1. Dampak dalam aspek politik dan pemerintahan
a. Masa kekuasaan VOC
Pergantian kekuasaan di lingkungan kerajaan lokal yang disebabkan oleh ikut campur
tangan VOC dalam proses pengangkatan raja atau putra mahkota di kerajaan.
Bahkan, VOC pada saat itu sering sekali menerapkan praktik adu domba (devide et
impera) untuk memecah belah keluarga kerajaan.

b. Masa pemerintahan Republik Bataaf


Pada masa ini Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels menerapkan sistem
pemerintahan sentralistik di mana seluruh unsur birokrasi berada di bawah
pengawasan kolonial Belanda yang berpusat di Batavia. Selain itu, pada masa itu
Raad van Indie berperan sebagai dewan penasehat pemerintah kolonial Belanda.
Pulau Jawa dibagi menjadi delapan wilayah besar atau delapan keresidenan, di mana
setiap keresidenan dibagi menjadi beberapa kabupaten.

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels terjadi dualisme


pemerintahan, yaitu pemerintahan Eropa dan pemerintahan bumiputra (inlands
bestuur). Pada masa ini kekuasaan tertinggi berada di tangan pemerintahan
Eropa (Europees bestuur) yang dipegang oleh residen. Residen bertugas memimpin
wilayah keresidenan. Di bawah residen terdapat asisten residen. Asisten residen
bertugas mengepalai suatu wilayah bagian dari keresidenan yang dinamakan afdeling.
Di bawah asisten residen terdapat pegawai kontrolir (controleur) yang bertugas
memimpin wilayah controle-afdeling.
Pada struktur pemerintahan bumiputra kekuasaan tertinggi di lingkungan
pemerintahan dijabat oleh bupati (regent). Dalam menjalankan tugasnya, bupati
dibantu oleh patih. Di bawah bupati dan patih terdapat wedana. Wedana bertugas
memimpin sebuah distrik dan membawahi asisten wedana atau camat yang bertugas
memimpin onderdistrik. Selanjutnya, di bawah onderdistrik terdapat pemerintahan
desa. Untuk mengetahui struktur pemerintahan pada masa pemerintahan Gubernur
Jenderal Daendels, perhatikan bagian berikut.
Saat menjabat sebagai gubernur jenderal di Indonesia, Daendels mengangkat para
penguasa bumiputra sebagai pegawai pemerintah kolonial (pegawai
negeri/binnenland bestuur). Para pegawai pemerintah tersebut digaji secara bulanan
dan dilarang menerima upeti. Dengan demikian, pada masa ini penguasa bumiputra,
khususnya para bupati kehilangan jabatan secara turun-temurun. Sementara itu,
para pegawai Eropa diberi kekuasaan besar untuk memperketat pengawasan
administrasi dan keuangan penguasa bumiputra. Kondisi ini berdampak pada
merosotnya kedudukan bupati dan berkurangnya kekuasaan bupati.

c. Masa pemerintahan Inggris


Thomas Stamford Raffles, letnan gurbernur jenderal menjalankan pemerintahan
Inggris di Indonesia. Dia berupaya mereformasi sistem pemerintahan di Indonesia
menjadi sistem pemerintahan Eropa. Reformasi tersebut berupa pembaruan di
bidang ketatanegaraan, penghapusan ikatan feodal dalam masyarakat Jawa, dan
kepastian hukum bagi masyarakat.
Raffles membagi Pulau Jawa menjadi delapan belas keresidenan. Dia juga
menerapkan sistem pemerintahan tidak langsung, yaitu pemerintah pusat
memerintah rakyat melalui perantara pernguasa lokal, tetapi pengawasan langsung
atas tanah-tanah dilakukan oleh pemerintah kolonial.

Dampak yang timbul dari kebijakan-kebijakan Raffles di atas :


 Para penguasa bumiputra tidak mampu mencari keuntungan bagi diri sendiri.
 Ruang gerak para bupati makin sempit karena diawasi oleh residen.
 Rakyat memiliki kebebasan berusaha karena tidak ada sistem kerja paksa.
 Penguasa bumiputra tidak lagi memiliki kuasa yang besar atas rakyat.

d. Masa pemerintahan Kolonial Belanda


Kekuasaan tertinggi dipegang oleh gubernur jenderal dan Raad van Indie bertugas
sebagai dewan penasehat pemerintah kolonial Belanda.
Pada abad ke-XX pemerintah kolonial Belanda berusaha menyatukan seluruh wilayah
Hindia Belanda yang saat itu masih berbentuk kerajaan-kerajaan melalui gagasan Pax
Neerlandica (penyatuan seluruh wilayah Hindia Belanda di bawah kekuasaan
Belanda) yang dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Johannes Benedictus van Heustz.
Penyatuan tersebut berhasil pada 1905.
Dampak yang timbul pada masa pemerintahan ini adalah lahirnya organisasi-
organisasi pergerakan nasional dan terbentuknya volksraad (dewan rakyat).
Volksraad dibentuk sebagai penasehat Gubernur Jenderal Hindia Belanda bukan
sebagai parlemen perwakilan rakyat Indonesia. Namun, organisasi pergerakan
nasional dan volksraad digunakan sebagai wadah perjuangan agar bangsa Indonesia
mampu meraih kemerdekaan atau setidaknya mampu meraih wilayah otonomi
tersendiri.
2. Dampak dalam aspek ekonomi
a. Pada masa kekuasaan VOC
VOC memonopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia dengan
melaksanakan berbagai kebijakan, yang sebagian besarnya merugikan rakyat. Untuk
memudahkan aktivitas perdagangan di wilayah Indonesia, VOC mendirikan De Bank
van Leening pada 1746 dan bank ini akan berganti nama menjadi De Bank Courant en
Bank van Leening pada 1752. Bank ini adalah bank pertama yang beroperasi di
Indonesia.
Dampak monopoli perdagangan :
 Dampak positif adalah aktivitas perdaganan di wilayah Kepulauan Indonesia
menjadi semakin ramai. Selain itu, pedagang bumiputra dapat mengetahui
indormasi mengenai komoditas yang laku di pasar internasional.
 Dampak negatif monopoli perdagangan adalah rakyat harus menjual rempah
rempah kepada VOC dengan harga yang telah ditentukan oleh VOC. Akibatnya,
pendapatan rakyat menurun. Selain itu, terjadi penurunan jumlah penduduk
karena penduduk dipaksa bekerja terlalu keras. Bahkan, produksi padi mengalami
penurunan karena rakyat dipaksa menanam tanaman yang laku di pasar
internasional.

b. Pada masa pemerintahan Republik Bataaf


Pada masa pemerintahannya, Gubernur Jenderal Daendels mengubah sistem
pemerintahan tradisional menjadi sistem pemerintahan modern. Dalam sistem
pemerintahan modern, status tanah-tanah raja berubah menjadi tanah milik
pemerintah kolonial Belanda. Selain itu, para petani diwajibkan membayar pajak
dari penjualan hasil bumi kepada pemerintah kolonial Belanda. Pajak tersebut
digunakan untuk membiayai keperluan pemerintah kolonial Belanda.
Selain itu, penduduk di wilayah pesisir utara Pulau Jawa dikerahkan untuk
membangun Groote Post-weg atau jalan raya pos Anyer–Panarukan pada 1808–
1809. Kebijakan yang diterapkan pada masa pemerintahan Gubernul Jenderal
Daendels ini menimbulkan penderitaan rakyat. Akibatnya, kesejahteraan rakyat
mengalami penurunan.

c. Pada masa pemerintahan Inggris


Pada masa pemerintahan Raffles terjadi perubahan kepemilikan tanah, yaitu tanah
milik raja dan penguasa lokal menjadi milik pemerintah kolonial. Perubahan
tersebut menyebabkan pemerintah mempunyai kewenangan untuk menyewakan
tanah. Akibatnya, terjadi perubahan hubungan antara raja dan rakyatnya, yaitu dari
patron-client menjadi hubungan komersial.

Menurut Scott dalam Kusnadi (2000) hubungan patron-klien merupakan hubungan


antara dua orang dimana seseorang memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi
(patron) menggunakan pengaruh sumberdaya yang dimilikinya untuk memberikan
perlindungan atau keuntungan kepada orang yang memiliki status sosial yang lebih
rendah (client).
Sistem sewa tanah yang diterapkan Raffles mendorong pemerintah menerapkan
pajak tanah. Dari sistem sewa tanah tersebut, pemerintah Inggris mendapat
penghasilan pajak tanah untuk mengisi kas pemerintah. Dalam perkembangannya,
sistem sewa tanah memberikan peluang bagi perusahaan swasta untuk menjalankan
usaha yang didukung oleh kepastian hukum sehingga muncul perdagangan bebas.
Perdagangan bebas menyebabkan sistem ekonomi uang di desa-desa di Hindia
Belanda (ekonomi swadaya) berubah menjadi sistem ekonomi komersial.

d. Pada masa Kolonial Belanda


Sistem tanam paksa merupakan salah satu kebijakan ekonomi pada masa
pemerintahan kolonial Belanda. Melalui sistem tanam paksa, rakyat dikenai
kewajiban menanam tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi di pasaran
Eropa, misalnya kopi, tebu, dan indigo. Tanaman-tanaman tersebut dibudidayakan
pada seperlima dari tanah yang ditanami padi oleh rakyat. Bagian tanah tersebut
mendapatkan kebebasan pajak. Akan tetapi, apabila jumlah surplus dari hasil
penjualan melebihi jumlah sebesar pajak perlu diserahkan kepada pihak desa.

Pemerintah kolonial Belanda mengembangkan sektor agraris (perkebunan) sebagai


aktivitas perekonomian utama. Untuk meningkatkan hasil industri agraris,
pemerintah kolonial Belanda menyewakan tanah-tanah pertanian kepada pihak swasta
(pedagang Tionghoa dan Eropa). Dari hasil penyewaan tersebut pemerintah kolonial
Belanda mendapat keuntungan besar.

Sistem sewa tanah yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda berdampak pada
peralihan kegiatan ekonomi masyarakat. Pada awalnya para penyewa tanah
(pengusaha asing) hanya menyewa lahan-lahan kosong. Dalam perkembangannya,
mereka menyewa tanah pertanian milik petani. Para petani yang dahulu berhak atas
tanah pertanian kemudian harus menyewakan tanahnya kepada pengusaha asing.
Mata pencarian para petani pun beralih menjadi buruh.

Munculnya industri-industri manufaktur yang memproduksi makanan, minuman,


gula, dan tembakau. Selain itu, industri sektor pertambangan menyebabkan
munculnya golongan majikan dan golongan buruh serta jabatan kuli dan mandor
dalam masyarakat.

Munculnya bank-bank dengan sistem modern, yang bermula dari De Javasche Bank
di Batavia, lalu diikuti dengan berdirinya bank-bank lainnya seperti salah satunya
Escompto Bank. Selain itu, bank-bank dari luar negeri seperti Inggris mulai
berkembang dan bank milik bumiputra, seperti bank desa dan lumbung desa mulai
muncul.
Perluasan aktivitas perekonomian menyebabkan berkembangnya sistem ekonomi
uang. Sistem ini memperkenalkan masyarakat Indonesia dengan sistem permodalan.
Pada periode liberal muncul praktik usaha dalam bidang permodalan bagi para
pengusaha.
Berkembangnya ekonomi di Hindia Belanda mentebabkan munculnya kota-kota
baru yang ditandai dengan pembangunan jaringan transportasi, seperti jalur kereta
api, pelabuhan dan bandara udara (seperti bandara Polonia).

Anda mungkin juga menyukai