Anda di halaman 1dari 36

Perang Paderi

(1812-1837)
Perang Paderi terjadi di Sumatera Barat, antara kaum Paderi melawan Belanda
Kaum Paderi adalah kaum yang ingin memurnikan ajaran Islam di Sumatera Barat
Latar belakang
Terjadinya pertikaian antara kaum Adat dengan kaum Paderi karena perbedaan hokum dan
struktur kekerabatan ( matrilineal dan patrilineal) juga adanya beberapa adat yang tidak sesuai
ajaran agama, seperti pesta, mabuk dan judi
Dalam pertikaian tersebut Belanda datang dan memihak kaum Adat
Namun pada 1831 Kaum Adat dan Kaum Paderi bersatu melawan Belanda
Tokoh- tokoh Perang Paderi

Sumatera Barat Belanda


Tuanku Imam
Bonjol
Kol. Elout
Tuanku Nan
Kol.Raaf
renceh
Kol. F.D Cochius
Tuanku Mesiangan
Mayor Michiels.
Tuanku Pasaman
Haji Sumanik
Haji Miskin
Haji Piobang
Jalannya Perang
Tahap I (tahun 1812 – 1821)

Ciri perang tahap pertama ini adalah murni perang saudara dan belum ada campur tangan
pihak luar, dalam hal ini Belanda. Perang ini mengalami perkembangan baru saat kaum Adat
meminta bantuan kepada Belanda. Sejak itu dimulailah Perang padri melawan Belanda.
Tahap II (tahun 1822 – 1832)
Tahap ini ditandai dengan meredanya pertempuran karena Belanda berhasil mengadakan
perjanjian dengan kaum Paderi yang makin melemah. Pada tahun 1825, berhubung dengan
adanya perlawanan Diponegoro di Jawa, pemerintah Hindia Belanda dihadapkan pada kesulitan
baru. Kekuatan militer Belanda terbatas, dan harus menghadapi dua perlawanan besar yaitu
perlawanan kaum paderi dan perlawanan Diponegoro.
Oleh karena itu, Belanda mengadakan perjanjian perdamaian dengan Kaum padri. Perjanjian
tersebut adalah Perjanjian Masang (1825) yang berisi masalah gencatan senjata di antara kedua
belah pihak. Setelah Perang Diponegoro selesai, Belanda kembali menggempur
kaum padri di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ellout tahun 1831. Kemudian, disusul juga oleh
pasukan yang dipimpin Mayor Michiels.
Tahap III, tahun 1832 – 1837

Perang pada tahap ini adalah perang semesta rakyat Minangkabau mengusir Belanda. Sejak
tahun 1831 kaum Adat dan kaum Paderi bersatu melawan Belanda yang dipimpin oleh Tuanku
Imam Bonjol.
Pada tanggal 16 Agustus 1837 jam 8 pagi, Bonjol secara keseluruhan diduduki Belanda. Tuanku
Imam mengungsi ke Marapak.
Akhir Perang
Pertempuran itu berakhir dengan penangkapan Tuanku Imam Bonjol, yang langsung dibawa ke
Padang. Selanjutnya atas perintah Letkol Michiels, Tuanku Imam diasingkan ke Cianjur, Jawa
Barat pada tahun 1838. Kemudian pada tahun 1839 dipindah ke Ambon. Tiga tahun kemudian
dipindah ke Manado sampai meninggal pada tanggal 6 November 1964 pada usia 92 tahun.
Kota Bonjol jatuh ke tangan Belanda
Kaum Adat
Perang Diponegoro
(1825-1830)
Sebab Umum
Belanda campur tangan dalam kerajaan Mataram
Para ulama tidak menyukai perilaku Belanda
Pajak-pajak yang dibebankan Belanda kepada rakyat:
Pajak tanah,Pajak jumlah pintu,Pajak ternak,Pajak pindah rumah
Pajak pindah nama,Pajak menyewa tanah atau menerima jabatan
Sebab Khusus
Belanda akan membuat jalan melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro
Sesuai dengan namanya, perang ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro yang didukung oleh
pihak istana, kaum ulama, dan rakyat Yogyakarta. Perseteruan pihak Keraton Jawa dengan
Belanda dimulai semenjak kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels di Batavia pada
tanggal 5 Januari 1808.
Tokoh- tokoh Perang Diponegoro

Mataram Belanda
• Pangeran
Diponegoro
Jend. De Kock
• Kyai Mojo
• Sentot Alibasyah
Prawirodirjo
• Pangeran
Mangkubimi
Pangeran Diponegoro bernama Bendoro Raden mas Ontowiryo yang merupakan anak sulung
dari Sultan Hamengkubuwana III raja Mataram.
Jalannya Perang
Pada awalnya Pangeran Diponegoro dan pasukannya mengalami kemenangan dan menewaskan
sekitar 2000 prajurit Belanda
Pangeran Diponegoro menggunakan strategi serangan gerak cepat dan berpindah markas
Belanda menggunakan strategi Benteng Stelsel dan devide et impera
Akhir Perlawanan
Belanda mengajak Kyai Mojo untuk berunding, namun ia ditangkap dan diasingkan ke Minahasa
(Sulut)
Pangeran Managkubumi berhenti melanjutkan perlawanan karena factor usia
Sentot Alibasyah Prawirodirjo menyerah dengan beberapa syarat
Akhir Perang
Pada 28 Maret 1830 Belanda pura-pura mengajak berunding Pangeran Diponegoro dan
menangkap Pangeran Diponegoro dan mengasingkannya ke Manado dan ke Makassar(Benteng
fort Roterdam)
Akibat Perang Diponegoro
Sekitar 200 ribu pejuang rakyat Jawa gugur dan di kubu Belanda menewaskan sekitar 8000
tentara Belanda.
Bagi Belanda, Perang Diponegoro adalah perang paling berat dan memakan banyak biaya
disbanding perang-perang lain di Indonesia
PERANG ACEH
(1873-1904)
Sebab Perang Aceh
Sultan Aceh menolak permintaan Belanda untuk tunduk terhadap pemerintah Hindia Belanda
Pada 26 Maret 1873 Belanda mulai menembakkan meriam dari kapal perang Citadel van
Antwerpen ke daratan Aceh
Tokoh Tokoh Perang Aceh
1. Teuku Umar
2. Cut Nyak Dien
3. Panglima Polim
4. Cut Mutiah
5. Teungku Cik di Tiro

6. Mayjend Kohler
7. Jendral Van Swieten
8. Kolonel van Heutz
9. Jendral Pel
10. Snouck Hurgronje
Jalannya Perang Aceh
Perang Aceh terjadi dalam beberapa fase sepanjang puluhan tahun tersebut seperti berikut ini:
Perang Aceh Pertama (1873 – 1874)

Perang ini dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah, melawan Belanda yang
berada di bawah kepemimpinan Mayor Jenderal Kohler.
Mereka dapat mengalahkan Kohler dan 3000 orang prajuritnya, bahkan Kohler tewas pada 14
April 1873. Perang lalu berkecamuk di mana – mana sepuluh hari setelahnya.
Perang paling besar terjadi untuk merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman bersama bantuan
dari beberapa kelompok pasukan dari Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu’uk, Peukan Bada,
Lambada, Krueng Raya.
Perang Aceh Kedua (1874 – 1880)

Belanda dibawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten berhasil menduduki Keraton Sultan pada
26 Januari 1874. Keraton dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda, untungnya sebelum itu
Sultan dan keluarganya sudah melarikan diri ke Lheungbata.
Para ulama Aceh membentuk pasukan Jihad dipimpin Teungku Cik Di Tiro, sedangkan rakyat
membentuk pasukan besar dibawah pimpinan Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien.
Perang Aceh Ketiga (1881 – 1899)
Dalam sejarah perang Aceh ketiga, perang dilanjutkan melalui cara gerilya yang dipimpin Teuku
Umar, Panglima Polim dan Sultan Aceh
Dr.Snouck Hurgronje diutus oleh Belanda untuk menyusup ke masyarakat Aceh dan menyamar
selama 2 tahun. Sebelumnya ia diharuskan mempelajari tentang Islam selama beberapa waktu
sehingga fasih berbahasa Arab. Hasil pengamatannya ia gunakan untuk memberi rekomendasi
kepada pasukan Belanda mengenai bagaimana cara mengalahkan rakyat Aceh.
Akhir Perang Aceh
Pada tahun 1899, Belanda mulai menerapkan siasat kekerasan dengan mengadakan serangan
besar-besaran ke daerah-daerah pedalaman. Serangan ini disebut dengan Serangan Sapurata
yang dipimpin oleh van Heutz.
Teuku Umar gugur karena terkena peluru musuh tahun 1899.
Pada tanggal 26 November 1902, Belanda berhasil menemukan persembunyian rombongan
Sultan dan menawan Sultan Muhammad Daud Syah pada tahun 1903. Disusul menyerahnya
Panglima Polim dan raja Keumala.
Jatuhnya Benteng Kuto Reh pada tahun 1904, memaksa Aceh harus menandatangani Plakat
pendek atau Perjanjian Singkat (Dokumen Korte Verklaring) yang dikeluarkan oleh Van Heutsz.
Perjanjian ini menandakan bahwa Aceh tunduk kepada Belanda.
"The Queen of Aceh Battle",
Cut Nyak Dien berhasil dikepung oleh Belanda. Cut Nyak Dien sendiri ditangkap dan dibuang ke
Sumedang sampai akhirnya meninggal di tanggal 8 Nobember 1908.
Strategi Perang Aceh
Gerilya
Jihad
Pura-pura menyerah

Adu domba
Penelitian
Sapurata oleh pasukan Gerak Cepat (Marchausse)

Anda mungkin juga menyukai