Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1772 - wafat
dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864),
adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam
peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838. Tuanku Imam
Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor
087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
1
Nama dan gelar
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol
pada tahun 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah) dan Hamatun
(ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari
Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat
setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin
Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang
pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam
(pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan
Tuanku Imam Bonjol.
Riwayat perjuangan
Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis
dalam memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang
berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di
kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus
Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah
Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam
Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung
beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam
(bid'ah).
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi
kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung
bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman
menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu
Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke
Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-
Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang,
sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek
(pedalaman Minangkabau).[4] Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan
Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang
waktu itu.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit
Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah
Residen James du Puy di Padang, Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang
karena "diundang" oleh kaum Adat.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan
Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes
van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku
2
Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini
dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi
peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian
ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi
melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula
bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran,
mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu
sendiri. Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang
dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat
basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan
Kitabullah (Al-Qur'an)).
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang,
Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun hukum Kitabullah banyak lah
malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah
terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?).
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala
jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal
dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi
yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama
para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer,
Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz.
dan seterusnya, tetapi juga terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto
Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko,
Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi,
Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura).
Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan
dalam penyerangan pertahanan Padri.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20
Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan
Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada
serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka
juga disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan,
dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia
masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda
mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan
benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16
Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
3
Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding.
Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian
dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir
itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di
tempat pengasingannya tersebut.
Penghargaan
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan
kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari pemerintah
Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.
Selain itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan,
nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6
November 2001.
4
Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien
1848
Lahir
Lampadang, Kesultanan Aceh
Agama Islam
Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 –
Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang)
adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda
pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara
suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle
Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan
bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada
awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta
dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880.
5
Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang.[1] Setelah pernikahannya dengan
Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku
Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang
sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah
tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang
Laot melaporkan keberadaannya karena iba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda
Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun, keberadaannya menambah
semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang
belum tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang ke Sumedang. Tjoet Nyak Dhien meninggal
pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Kehidupan awal
Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar,
wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang
uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari
Minangkabau. Datuk Makhudum Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika
kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut
Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri
uleebalang Lampagar.
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan
pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga
(memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik
oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha
melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862
dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki
satu anak laki-laki.
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen.
Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh
Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang dipimpin
Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal
8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan
langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Kesultanan Aceh
dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali
dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873.
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat
diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut
Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada
tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah
VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini
membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.[2]
6
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien
menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan
perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada
tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan
Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak
yang diberi nama Cut Gambang.
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875,
Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang
Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang
berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda
sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka
memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan
unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk
menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut
Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya. Cut Nyak Dien berusaha
menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus
berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda,
sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai.
Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana
palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.
Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat,
senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het
verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).
Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan melancarkan
operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun,
gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda
sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel,
7
dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan. Belanda lalu mencabut
gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.
Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan
Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jendral yang
bertugas. Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat
sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan
orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya. Akibat dari hal
ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan
unit "De Marsose". Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena
banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan
masih tetap ada pada penduduk Aceh.
Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa
orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda
menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari
1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak
Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya
dan berkata:
“ Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang
sudah syahid ”
Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh
bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur
sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di
medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai
rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit
memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada
Belanda karena ibaAkibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le
Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Dhien berusaha mengambil rencong dan
mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda.
Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan
meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.
Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya
seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang
ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan
semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum
tunduk.
8
Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian
bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut
Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan. Ia ditahan
bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli
dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu".
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua.
Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur
Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
Makam
Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959
berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data
yang ditemukan di Belanda. Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara
sarasehan. Pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak
sekitar dua kilometer. Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung
sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran. Selain
itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap bulan November
Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen
peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani
oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien
dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam
terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan
sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.
Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surah At-
Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.
9
Jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien berkurang karena Gerakan Aceh Merdeka
melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia. Selain itu, daerah
makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat.
Kini, makam ini mendapat biaya perawatan dari kotak amal di daerah makam karena
pemerintah Sumedang tidak memberikan dana.
Apresiasi
Perjuangan Cut Nyak Dien diinterpretasi dalam film drama epos berjudul Tjoet Nja' Dhien
pada tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot dan dibintangi Christine Hakim sebagai
Tjoet Nja' Dhien, Piet Burnama sebagai Pang Laot, Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar
dan juga didukung Rudy Wowor. Film ini memenangkan Piala Citra sebagai film terbaik, dan
merupakan film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (tahun 1989).
Biografinya juga pernah dituangkan dalam bentuk cerita bergambar secara berseri dalam
majalah anak-anak Ananda.
Pengabadian
Sebuah kapal perang TNI-AL diberi nama KRI Cut Nyak Dhien.
Mata uang rupiah yang bernilai sebesar Rp10.000,00 yang dikeluarkan tahun 1998
memuat gambar Cut Nyak Dhien dengan deskripsi Tjoet Njak Dhien.
Namanya diabadikan di berbagai kota Indonesia sebagai nama jalan.
Masjid Aceh kecil didirikan di dekat makamnya untuk mengenangnya.
Diponegoro
10
Dipanegara
Pasangan Kedhaton
Ratnaningsih
Ratnaningrum
Anak
Nama lahir
Mustahar / Antawirya
Wangsa Hamengkubuwana
11
memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830) melawan pemerintah Hindia-
Belanda. Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban paling besar dalam sejarah
Indonesia.
Asal-usul Dipanegara
Dipanegara adalah putra sulung Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram di Yogyakarta.
Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang
selir bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang
berasal dari Pacitan. Pangeran Dipanegara bernama kecil Raden Mas Antawirya.
Dipanegara lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka
tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng
Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak
kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Dipanegara menjadi salah satu anggota
perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan
pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara
perwalian seperti itu tidak disetujui Dipanegara.
Riwayat perjuangan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Babad Dipanegara
Patung Pangeran Dipanegara yang sedang menaiki kuda "Turangga Seta" di Undip
12
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Dipanegara
di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak
menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan
pajak.
Sikap Dipanegara yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan
rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Dipanegara menyingkir dari Tegalrejo,
dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Dipanegara
menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir.
Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Dipanegara membawa pengaruh luas hingga ke
wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut
bergabung dengan pasukan Dipanegara di Goa Selarong.Perjuangan Pangeran Dipanegara ini
didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya Bupati
Gagatan.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta
gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Dipanegara. Bahkan sayembara
pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap
Dipanegara. Sampai akhirnya Dipanegara ditangkap pada 1830.
Perang Diponegoro
13
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal
yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti
Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut
kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam
sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metoda perang
gerilya (geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. ini
bukan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan
berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. perang ini juga dilengkapi dengan
taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi
oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan
telik sandi (spionase) dimana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi
mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putera Pangeran Diponegoro. Pangeran
Alip atau Ki Sodewo atau bagus Singlon, Diponingrat, diponegoro Anom, Pangeran Joned
terus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat Putera Pangeran
Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan,
begitu juga Ki Sodewo.
Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa
ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu
berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini
jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton
Yogyakarta Dipanegara dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak
diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan HB IX memberi amnesti
bagi keturunan Dipanegara, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai
Dipanegara kala itu. Kini anak cucu Dipanegara dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk
mengurus Silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.[rujukan?]
14
Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock tanggal 28
Maret 1830 yang mengakhiri Perang Diponegoro (1825-1830), karya Nicolaas Pieneman.
20 Februari 1830 Pangeran Dipanegara dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal,
Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran
dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur
Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum
Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den
Bosch.
30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Dipanegara, Raden Ayu Retnaningsih,
Tumenggung Dipasana dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng
Wereng, dan Nyai Sotaruna akan dibuang ke Manado.
3 Mei 1830 Dipanegara dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan
ditawan di benteng Amsterdam.
Dalam perjuangannya, Pangeran Dipanegara dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon
atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.
Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Dipanegara dengan Raden Ayu
Citrawati . Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo sendiri telah
masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta.
15
Perjuangan Ki Sadewa untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian
eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena
memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah
dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil
dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti
suksesnya penyerbuan.
Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Dipanegara lalu dititipkan pada
sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-
pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu
sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang
Belanda. Atas kehendak Pangeran Dipanegara, bayi tersebut diberi nama Singlon yang
artinya penyamaran.
Mata uang kertas IDR 100 bergambar Dipanegara, diterbitkan tahun 1952 setelah kemerdekaan.
Sebagai penghargaan atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan. Di beberapa kota
besar Indonesia terdapat jalan Diponegoro. Kota Semarang sendiri juga memberikan apresiasi
agar nama Pangeran Diponegoro akan senantiasa hidup. Nama nama tempat yang
menggunakan nama beliau antara lain Stadion Diponegoro, Jalan diponegoro, Universitas
Diponegoro, Kodam IV Diponegoro. Juga ada beberapa patung yang dibuat, patung
Diponegoro di Undip Pleburan, patung Diponegoro di Kodam IV Dipanegara serta di pintu
masuk Undip Tembalang.
Pemerintah Republik Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pada tanggal 8
Januari tahun 1955 pernah menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100 tahun
wafatnya Pangeran Diponegoro, sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional diperoleh
Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No.87/TK/1973.
16
Penghargaan tertinggi justru diberikan oleh Dunia, pada 21 Juni 2013 Organisasi PBB untuk
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO) menetapkan Babad Diponegoro
sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World). Babad Diponegoro merupakan
naskah klasik yang dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado,
Sulawesi Utara, pada 1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran
Diponegoro yang memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo.
Kartini
R.A. Kartini
21 April 1879
Lahir
Jepara, Jawa Tengah, Hindia Belanda
17
17 September 1904 (umur 25)
Meninggal Rembang, Jawa Tengah, Hindia
Belanda
Agama Islam
Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di
Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih tepat
disebut Raden Ayu Kartini[1] adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional
Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
Biografi
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa,
putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama,
tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah
dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya,
silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu
mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah
bukanlah bangsawan tinggi[2], maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan
(Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini
diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan,
R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara
sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro
IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang
pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS
(Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah
usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
18
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis
surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah
Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa,
Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk
memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada
status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter
Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada
langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup
berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian
beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-
suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-
catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa
kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah
sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan
persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca
Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya
Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht
(Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi,
karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-
Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen
Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario
Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada
tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi
kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks
19
kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung
Pramuka.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13
September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia
25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di
Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan
daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini
didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Surat-surat
Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat
yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu
menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu
diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya".
Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali,
dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang
diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan
terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah
Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi
lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu
korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam
bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat
Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.
Pemikiran
20
Uang kertas pecahan IDR 5 cetakan tahun 1952 dengan gambar Kartini.
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu,
terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan
dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat
kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar.
Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht,
Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar
Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan),
ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada
perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk
menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat
kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan
dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika
bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang
tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai
umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah,
namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala
besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu
mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di
Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda
ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam
surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan
Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud
tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana
untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh
Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi
menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini
mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja,
bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan
kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu
kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
21
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia
menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri
dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu.
Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung
keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra
saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya
dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir
mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk
mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati
Rembang.
Buku
Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu
dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai
Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai
salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia pun
juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.
Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang
berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku terjemahan
Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah
diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan surat-
surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan
surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk
22
menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama
berkorespondensi. Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat
Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang". Penyebab
tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht,
adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga jalan
cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat dibaca
sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan
mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.
Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya Sulastin
menerjemahkan Door Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden, Belanda, saat ia melanjutkan
studi di bidang sastra tahun 1972. Salah seorang dosen pembimbing di Leiden meminta
Sulastin untuk menerjemahkan buku kumpulan surat Kartini tersebut. Tujuan sang dosen
adalah agar Sulastin bisa menguasai bahasa Belanda dengan cukup sempurna. Kemudian,
pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis
Tot Licht pun terbit.
Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan judul Surat-surat Kartini,
Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Menurut Sulastin, judul terjemahan seharusnya
menurut bahasa Belanda adalah: "Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsa
Jawa". Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah
kemajuan seluruh bangsa Indonesia.
Buku terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap surat-surat Kartini yang ada pada
Door Duisternis Tot Licht. Selain diterbitkan dalam Surat-surat Kartini, Renungan Tentang
dan Untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno juga dipakai dalam buku Kartini, Surat-
surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya.
Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini, An
Indonesian Feminist 1900-1904. Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak hanya
menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon.
Joost Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya Abendanon-Mandri
hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa ditemukan surat-surat yang
tergolong sensitif dan tidak ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Menurut
Joost Coté, seluruh pergulatan Kartini dan penghalangan pada dirinya sudah saatnya untuk
diungkap.
Buku Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904 memuat 108 surat-surat Kartini
kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya JH Abendanon. Termasuk
di dalamnya: 46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan Soematrie.
23
Sampul Panggil Aku Kartini Saja, dikompilasi oleh Pramoedya Ananta Toer.
Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran Kartini juga
diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer.
Buku Panggil Aku Kartini Saja terlihat merupakan hasil dari pengumpulan data dari berbagai
sumber oleh Pramoedya.
Akhir tahun 1987, Sulastin Sutrisno memberi gambaran baru tentang Kartini lewat buku
Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya. Gambaran sebelumnya
lebih banyak dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis untuk Abendanon, diterbitkan dalam
Door Duisternis Tot Licht.
Kartini dihadirkan sebagai pejuang emansipasi yang sangat maju dalam cara berpikir
dibanding perempuan-perempuan Jawa pada masanya. Dalam surat tanggal 27 Oktober
1902, dikutip bahwa Kartini menulis pada Nyonya Abendanon bahwa dia telah memulai
pantangan makan daging, bahkan sejak beberapa tahun sebelum surat tersebut, yang
menunjukkan bahwa Kartini adalah seorang vegetarian.[3] Dalam kumpulan itu, surat-surat
Kartini selalu dipotong bagian awal dan akhir. Padahal, bagian itu menunjukkan kemesraan
Kartini kepada Abendanon. Banyak hal lain yang dimunculkan kembali oleh Sulastin Sutrisno.
Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar
1899-1903
Sebuah buku kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar periode 1899-1903 diterbitkan
untuk memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya memperlihatkan wajah lain Kartini. Koleksi
surat Kartini itu dikumpulkan Dr Joost Coté, diterjemahkan dengan judul Aku Mau ...
Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903.
"Aku Mau ..." adalah moto Kartini. Sepenggal ungkapan itu mewakili sosok yang selama ini
tak pernah dilihat dan dijadikan bahan perbincangan. Kartini berbicara tentang banyak hal:
sosial, budaya, agama, bahkan korupsi.
24
Kontroversi
Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H. Abendanon,
Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat Kartini.
Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial
Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang
berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli
surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno, jejak keturunan
J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.
Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak yang
tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun
merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah
agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada
pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini seperti Cut Nyak Dhien, Martha
Christina Tiahahu,Dewi Sartika dan lain-lain.Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu
hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan
penjajah. Sikapnya yang pro terhadap poligami juga bertentangan dengan pandangan kaum
feminis tentang arti emansipasi wanita. Dan berbagai alasan lainnya. Pihak yang pro
mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat
derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional; artinya, dengan ide dan
gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara
pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.
Peringatan
Hari Kartini
25
Makam R.A. Kartini di Bulu, Rembang.
Utrecht: Di Utrecht Jalan R.A. Kartini atau Kartinistraat merupakan salah satu jalan utama,
berbentuk 'U' yang ukurannya lebih besar dibanding jalan-jalan yang menggunakan nama
tokoh perjuangan lainnya seperti Augusto Sandino, Steve Biko, Che Guevara, Agostinho
Neto.
Venlo: Di Venlo Belanda Selatan, R.A. Kartinistraat berbentuk 'O' di kawasan Hagerhof, di
sekitarnya terdapat nama-nama jalan tokoh wanita Anne Frank dan Mathilde Wibaut.
Amsterdam: Di wilayah Amsterdam Zuidoost atau yang lebih dikenal dengan Bijlmer, jalan
Raden Adjeng Kartini ditulis lengkap. Di sekitarnya adalah nama-nama wanita dari seluruh
dunia yang punya kontribusi dalam sejarah: Rosa Luxemburg, Nilda Pinto, Isabella Richaards.
Haarlem: Di Haarlem jalan Kartini berdekatan dengan jalan Mohammed Hatta, Sutan Sjahrir
dan langsung tembus ke jalan Chris Soumokil presiden kedua Republik Maluku Selatan.
26
Pattimura
Thomas Matulessy Pattimura
Julukan Pattimura
08 Juni 1783
Lahir Haria, Saparua, Maluku, Hindia
Belanda
Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija
menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina
(Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali
Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama
orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan".
27
Namun berbeda dengan sejarawan Mansyur Suryanegara. Dia mengatakan dalam bukunya
Api Sejarah bahwa Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di
Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah).
Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan
Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten
Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.
Istilah Kapitan
Dari sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, gelar kapitan adalah pemberian
Belanda. Padahal tidak.
Menurut Sejarawan Mansyur Suryanegara atas saran abdul gafur, leluhur bangsa ini, dari
sudut sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka
terhadap sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang
sulit dicerna rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan kekuatan-
kekuatan alam yang mereka takuti.
Perjuangan
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai
mantan sersan Militer Inggris. Kata "Maluku" berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al
Malik yang berarti Tanah Raja-Raja. mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan
kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente),
pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat
London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon
harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian
tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku
maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih
untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi
dalam pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan Kedatangan kembali kolonial
Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena
kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat
Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura ] Maka
pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para
Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang
karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang,
Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia
berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan,
28
memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-
benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih
maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan
dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura
yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat
dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk
menghadapi Patimura.
Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut
dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior
Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang
menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede,
pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau
Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu
domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat
ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817
di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai
“PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN” oleh pemerintah Republik Indonesia.
Pahlawan Nasional Indonesia.
Soedirman
Raden
29
Soedirman
24 Januari 1916[a]
Lahir
Purbalingga, Hindia Belanda
Kekaisaran Jepang
Pengabdian (1944–1945)
Indonesia (1945–1950)
30
Tanda tangan
Jenderal Besar Raden Soedirman (EYD: Sudirman; lahir 24 Januari 1916 – meninggal 29
Januari 1950 pada umur 34 tahun) adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa
Revolusi Nasional Indonesia. Menjadi panglima besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia
secara luas terus dihormati di Indonesia. Terlahir dari pasangan rakyat biasa di Purbalingga,
Hindia Belanda, Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi. Setelah
keluarganya pindah ke Cilacap pada tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa
rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan
yang dijalankan oleh organisasi Islam Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah,
Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan
dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam. Setelah berhenti kuliah keguruan,
pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di
sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan
menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937. Setelah Jepang
menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia
bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat
sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya
sesama prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.
Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit,
Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta. Di saat pemimpin-
pemimpin politik berlindung di kraton sultan, Soedirman, beserta sekelompok kecil tentara
dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya
selama tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan
pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung
Lawu. Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk
31
Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto.
Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan
Juli 1949. Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia
dilarang oleh Presiden Soekarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan
pindah ke Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Kematian Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang
dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman.
Soedirman terus dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai
sarana pengembangan esprit de corps bagi tentara Indonesia, dan rute gerilya sepanjang 100-
kilometer (62 mil) yang ditempuhnya harus diikuti oleh taruna Indonesia sebelum lulus dari
Akademi Militer. Soedirman ditampilkan dalam uang kertas rupiah keluaran 1968, dan
namanya diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada
tanggal 10 Desember 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Kehidupan awal
Soedirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem saat pasangan ini tinggal di
rumah saudari Siyem yang bernama Tarsem di Rembang, Bodas Karangjati, Purbalingga,
Hindia Belanda. Tarsem sendiri bersuamikan seorang camat bernama Raden Cokrosunaryo.[b]
[c][1][2]
Menurut catatan keluarga, Soedirman –dinamai oleh pamannya –lahir pada Minggu pon
di bulan Maulud dalam penanggalan Jawa; pemerintah Indonesia kemudian menetapkan 24
Januari 1916 sebagai hari ulang tahun Soedirman. Karena kondisi keuangan Cokrosunaryo
yang lebih baik, ia mengadopsi Soedirman dan memberinya gelar Raden, gelar
kebangsawanan pada suku Jawa Soedirman tidak diberitahu bahwa Cokrosunaryo bukanlah
ayah kandungnya sampai ia berusia 18 tahun. Setelah Cokrosunaryo pensiun sebagai camat
pada akhir 1916, Soedirman ikut dengan keluarganya ke Manggisan, Cilacap. Di tempat
inilah ia tumbuh besar.Di Cilacap, Karsid dan Siyem memiliki seorang putra lain bernama
Muhammad Samingan. Karsid meninggal dunia saat Soedirman berusia enam tahun, dan
Siyem menitipkan kedua putranya pada saudara iparnya dan kembali ke kampung
halamannya di Parakan Onje, Ajibarang..
Soedirman dibesarkan dengan cerita-cerita kepahlawanan, juga diajarkan etika dan tata krama
priyayi. serta etos kerja dan kesederhanaan wong cilik, atau rakyat jelata.. Untuk pendidikan
agama, ia dan adiknya mempelajari Islam di bawah bimbingan Kyai Haji Qahar; Soedirman
adalah anak yang taat agama dan selalu shalat tepat waktu. Ia dipercaya untuk
mengumandangkan adzan dan iqamat. Saat berusia tujuh tahun, Soedirman terdaftar di
sekolah pribumi (hollandsch inlandsche school).[6][9] Meskipun hidup berkecukupan, keluarga
Soedirman bukanlah keluarga kaya. Selama menjabat sebagai camat, Cokrosunaryo tidak
mengumpulkan banyak kekayaan, dan di Cilacap ia bekerja sebagai penyalur mesin jahit
Singer..
Pada tahun kelimanya bersekolah, Soedirman diminta untuk berhenti sekolah sehubungan
dengan ejekan yang diterimanya di sekolah milik pemerintah; permintaan ini awalnya ditolak,
namun Soedirman dipindahkan ke sekolah menengah milik Taman Siswa pada tahun ketujuh
sekolah. Pada tahun kedelapan, Soedirman pindah ke Sekolah Menengah Wirotomo setelah
sekolah Taman Siswa ditutup oleh Ordonansi Sekolah Liar karena diketahui tidak
terdaftar.Kebanyakan guru Soedirman di Wirotomo adalah nasionalis Indonesia, yang turut
mempengaruhi pandangannya terhadap penjajah Belanda. Soedirman belajar dengan tekun di
32
sekolah; gurunya Suwarjo Tirtosupono menyatakan bahwa Soedirman sudah mempelajari
pelajaran tingkat dua di saat kelas masih mempelajari pelajaran tingkat satu. Meskipun lemah
dalam pelajaran kaligrafi Jawa, Soedirman sangat pintar dalam pelajaran matematika, ilmu
alam, dan menulis, baik bahasa Belanda maupun Indonesia. Soedirman juga menjadi semakin
taat agama di bawah bimbingan gurunya, Raden Muhammad Kholil. Teman-teman
sekelasnya memanggilnya "haji" karena ketaatannya dalam beribadah, dan Soedirman juga
memberikan ceramah agama kepada siswa lain. Selain belajar dan beribadah, Soedirman juga
berpartisipasi dalam kelompok musik sekolah dan bergabung dengan tim sepak bola sebagai
bek.Kematian Cokrosunaryo pada tahun 1934 menyebabkan keluarganya jatuh miskin,
namun ia tetap diizinkan untuk melanjutkan sekolahnya tanpa membayar sampai ia lulus pada
akhir tahun. Setelah kepergian ayah tirinya, Soedirman mencurahkan lebih banyak waktunya
untuk mempelajari Sunnah dan doa.Pada usia 19 tahun, Soedirman menjadi guru praktek di
Wirotomo.
Mengajar
Setelah lulus dari Wirotomo, Soedirman belajar selama satu tahun di Kweekschool (sekolah
guru) yang dikelola oleh Muhammadiyah di Surakarta, tetapi berhenti karena kekuarangan
biaya. Pada 1936, ia kembali ke Cilacap untuk mengajar di sebuah sekolah dasar
Muhammadiyah, setelah dilatih oleh guru-gurunya di Wirotomo. Pada tahun yang sama,
Soedirman menikahi Alfiah, mantan teman sekolahnya dan putri seorang pengusaha batik
kaya bernama Raden Sastroatmojo. Setelah menikah, Soedirman tinggal di rumah mertuanya
di Cilacap agar ia bisa menabung untuk membangun rumah sendiri. Pasangan ini kemudian
dikaruniai tiga orang putra; Ahmad Tidarwono, Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, dan
Taufik Effendi, serta empat orang putri; Didi Praptiastuti, Didi Sutjiati, Didi Pudjiati, dan Titi
Wahjuti Satyaningrum.
33
Selama waktu-waktu ini, Soedirman juga terus bergiat sebagai anggota Kelompok Pemuda
Muhammadiyah. Dalam kelompok ini, ia dikenal sebagai negosiator dan mediator yang
lugas, berupaya untuk memecahkan masalah antar para anggota; ia juga berdakwah di masjid
setempat. Soedirman terpilih sebagai Ketua Kelompok Pemuda Muhammadiyah Kecamatan
Banyumas pada akhir 1937. Selama menjabat, ia memfasilitasi seluruh kegiatan dan
pendidikan para anggota, baik dalam bidang agama ataupun sekuler. Ia kemudian mengikuti
seluruh kegiatan Kelompok Pemuda di Jawa Tengah dan menghabiskan sebagian besar waktu
luangnya dengan melakukan perjalanan dan berdakwah, dengan penekanan pada kesadaran
diri. Alfiah juga aktif dalam kegiatan kelompok putri Muhammadiyah Nasyiatul Aisyiyah.
Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Jenderal Hein ter Poorten dibawa ke
sebuah kamp penahanan, keduanya menyerah setelah tentara Jepang menyerang pada tanggal 9
Maret 1942, yang berlanjut ke penjajahan selama tiga setengah tahun.
Ketika Perang Dunia II pecah di Eropa, diperkirakan bahwa Jepang, yang telah bergerak
mendekati Cina daratan, akan berupaya menginvasi Hindia. Sebagai tanggapan, pemerintah
kolonial Belanda –yang sebelumnya membatasi pelatihan militer bagi pribumi – mulai
mengajari rakyat cara-cara menghadapi serangan udara. Menindaklanjuti hal ini, Belanda
kemudian membentuk tim Persiapan Serangan Udara. Soedirman, yang disegani oleh
masyarakat, diminta untuk memimpin tim di Cilacap. Selain mengajari warga setempat
mengenai prosedur keselamatan untuk menghadapi serangan udara, Soedirman juga
mendirikan pos pemantau di seluruh daerah. Ia dan Belanda juga menangani pesawat udara
yang menjatuhkan material untuk mensimulasikan pengeboman; hal ini bertujuan untuk
mempertinggi tingkat respon.
Jepang mulai menduduki Hindia pada awal 1942 setelah memenangkan beberapa
pertempuran melawan pasukan Belanda dan tentara Koninklijk Nederlands-Indische Leger
(KNIL) yang dilatih oleh Belanda. Pada 9 Maret 1942, Gubernur Jenderal Tjarda van
Starkenborgh Stachouwer dan Jenderal KNIL Hein ter Poorten menyerah. Peristiwa ini
menimbulkan perubahan drastis dalam pemerintahan nusantara dan dan semakin
memperburuk kualitas hidup warga non-Jepang di Hindia, banyak masyarakat pribumi yang
menderita dan mengalami pelanggaran hak asasi manusia di tangan Jepang. Di Cilacap,
sekolah tempat Soedirman mengajar ditutup dan dialih fungsikan menjadi pos militer; ini
adalah bagian dari upaya pemerintah untuk menutup sekolah-sekolah swasta. Setelah
Soedirman berhasil meyakinkan Jepang untuk membuka kembali sekolah, ia dan guru lainnya
34
terpaksa menggunakan perlengkapan standar. Selama periode ini, Soedirman juga terlibat
dalam beberapa organisasi sosial dan kemanusiaan, termasuk sebagai ketua Koperasi Bangsa
Indonesia. Hal ini membuatnya semakin dihormati di kalangan masyarakat Cilacap.
Pada awal 1944, setelah menjabat selama satu tahun sebagai perwakilan di dewan
karesidenan yang dijalankan oleh Jepang (Syu Sangikai), Soedirman diminta untuk
bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA). Jepang sendiri mendirikan PETA
pada Oktober 1943 untuk membantu menghalau invasi Sekutu, dan berfokus dalam merekrut
para pemuda yang belum "terkontaminasi" oleh pemerintah Belanda. Meskipun sempat ragu-
ragu, terutama karena cedera lutut yang dialaminya ketika masih remaja, Soedirman akhirnya
setuju untuk memulai pelatihan di Bogor, Jawa Barat. Sehubungan dengan posisinya di
masyarakat, Soedirman dijadikan sebagai komandan (daidanco) dan dilatih bersama orang
lain dengan pangkat yang sama. Di Bogor, ia dilatih oleh para perwira dan tentara Jepang,
para taruna dipersenjatai dengan peralatan yang disita dari Belanda. Setelah empat bulan
pelatihan, Soedirman ditempatkan di batalion Kroya, Banyumas, Jawa Tengah, tidak jauh
dari Cilacap
Jabatan Soedirman sebagai komandan PETA berlalu tanpa banyak peristiwa hingga tanggal
21 April 1945, ketika tentara PETA di bawah komando Kusaeri mulai melancarkan
pemberontakan terhadap Jepang. Diperintahkan untuk menghentikan pemberontakan
tersebut, Soedirman setuju untuk melakukannya dengan syarat agar pemberontak PETA tidak
dibunuh, dan lokasi persembunyian mereka tidak dimusnahkan; syarat ini diterima oleh
komandan Jepang, dan Soedirman beserta pasukannya mulai mencari para pemberontak.
Meskipun anak buah Kusaeri berhasil menembak komandan Jepang, Soedirman melalui
pengeras suara mengumumkan bahwa mereka tidak akan dibunuh, dan para pemberontak pun
mundur. Kusaeri menyerah pada tanggal 25 April. Peristiwa ini meningkatkan dukungan
terhadap Soedirman di kalangan tentara Jepang, meskipun beberapa perwira tinggi Jepang
menyatakan keprihatinannya atas dukungan Soedirman bagi kemerdekaan Indonesia.
Soedirman dan anak buahnya kemudian dikirim ke sebuah kamp di Bogor dengan alasan
akan dilatih; namun sebenarnya mereka dipekerjakan sebagai pekerja kasar dalam upaya
untuk mencegah pemberontakan lebih lanjut, dan desas-desus mengatakan bahwa perwira
PETA akan dibunuh.
Revolusi Nasional
Panglima besar
35
Rumah dinas Soedirman di Yogyakarta; saat ini menjadi Museum Sasmitaloka.
Setelah berita tentang pengeboman Hiroshima dan Nagasaki mencapai Hindia pada awal
Agustus 1945, yang kemudian diikuti oleh proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal
17 Agustus,] kontrol Jepang sudah mulai melemah. Soedirman memimpin pelarian dari pusat
penahanan di Bogor. Meskipun rekannya sesama tahanan ingin menyerang tentara Jepang,
Soedirman menentang hal itu. Setelah memerintahkan yang lainnya untuk kembali ke
kampung halamannya, Soedirman berangkat menuju Jakarta dan bertemu dengan Presiden
Soekarno, yang memintanya untuk memimpin perlawanan terhadap pasukan Jepang di kota.
Karena tidak terbiasa dengan lingkungan Jakarta, Soedirman menolaknya, ia malah
menawarkan diri untuk memimpin pasukan di Kroya. Soedirman bergabung dengan
pasukannya pada tanggal 19 Agustus 1945. Di saat yang bersamaan, pasukan Sekutu sedang
dalam proses merebut kembali kepulauan Indonesia untuk Belanda tentara Inggris pertama
kali tiba pada tanggal 8 September 1945
Pada tanggal 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam
sidangnya memutuskan untuk membentuk tiga badan sebagai wadah untuk menyalurkan
potensi perjuangan rakyat. Badan tersebut adalah Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai
Nasional Indonesia (PNI), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR merupakan bagian dari
Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama Badan Pembantu
Prajurit, dan kemudian menjadi Badan Pembantu Pembelaan (BPP). BPP sudah ada sejak
zaman Jepang dan bertugas memelihara kesejahteraan anggota-anggota tentara PETA dan
Heihō.] Pada tanggal 18 Agustus 1945, Jepang membubarkan PETA dan Heihō. Tugas untuk
menampung mantan anggota PETA dan Heihō ditangani oleh BPKKP. Pembentukan BKR
merupakan perubahan dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang telah
memutuskan untuk membentuk Tentara Kebangsaan, yang diumumkan oleh Presiden
Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945. BKR ini berfungsi sebagai organisasi kepolisian,
terutama karena pemimpin politik saat itu yang berniat memanfaatkan diplomasi sebagai
sarana penggalangan bantuan internasional terhadap negara baru, dan juga untuk
memungkinan tentara Jepang melihatnya sebagai sebuah ancaman bersenjata sehingga
mencegah kemunculan tentara Jepang yang masih ada di nusantara
Soedirman dan beberapa rekannya sesama tentara PETA mendirikan cabang BKR di
Banyumas pada akhir Agustus, setelah sebelumnya singgah di Kroya dan mengetahui bahwa
batalion di sana telah dibubarkan. Dalam pertemuannya dengan komandan wilayah Jepang,
Saburo Tamura, dan Residen Banyumas, Iwashige, Soedirman dan Iskak Cokroadisuryo
memaksa Jepang untuk menyerahkan diri dan memberikan senjata mereka, sementara
kerumunan warga Indonesia bersenjata mengepung kamp Jepang. Sebagian besar senjata ini
kemudian digunakan oleh unit BKR Soedirman, menjadikan unitnya sebagai salah satu unit
36
dengan senjata terbaik di Indonesia; sisa senjata juga dibagikan kepada batalion lain. [54][55][56]
[57]
Sebagai negara yang baru merdeka dan belum memiliki militer yang professional, pada
tanggal 5 Oktober 1945 Soekarno mengeluarkan dekrit pembentukan Tentara Keamanan
Rakyat (TKR, sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia). Sebagian besar
personilnya adalah mantan tentara KNIL, sedangkan perwira tinggi berasal dari PETA dan
Heihō. Dekrit mengangkat Soeprijadi sebagai Panglima Besar TKR, namun ia tidak muncul
dan kepala staff Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo ditetapkan sebagai pemimpin
sementaraPada bulan Oktober, pasukan Inggris, yang bertugas melucuti senjata tentara
Jepang dan memulangkan tawanan perang Belanda, tiba di Semarang, dan kemudian
bergerak menuju Magelang. Ketika Inggris mulai mempersenjatai kembali tentara Belanda
yang menjadi tawanan perang dan sepertinya sedang mempersiapkan sebuah pangkalan
militer di Magelang, Soedirman –yang sekarang menjadi kolonel – mengirim beberapa
pasukannya di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman untuk mengusir mereka; misi ini
berhasil, dan tentara Eropa menarik diri dari Ambarawa, di tengah-tengah Magelang dan
Semarang. Pada 20 Oktober, Soedirman membawahi Divisi Vsetelah Oerip membagi Pulau
Jawa menjadi divisi militer yang berbeda
Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, Soedirman terpilih sebagai
pemimpin TKR setelah melalui pemungutan suara buntu dua tahap. Pada tahap ketiga, Oerip
mengumpulkan 21 suara, sedangkan Soedirman unggul dengan 22 suara; para komandan
divisi Sumatera semuanya memilih SoedirmanSoedirman, yang saat itu berusia 29 tahun,
terkejut atas hasil pemilihan dan menawarkan diri untuk melepas posisi tersebut kepada
Oerip, namun para peserta rapat tidak mengizinkannya. Oerip, yang telah kehilangan kendali
dalam pertemuan bahkan sebelum pemungutan suara dimulai, merasa senang karena tidak
lagi bertanggung jawab atas TKR. Soedirman tetap menunjuk Oerip sebagai kepala staff.
Sesuai dengan jabatan barunya, Soedirman dipromosikan menjadi Jenderal. Setelah
pertemuan, Soedirman kembali ke Banyumas sembari menunggu persetujuan pemerintah dan
mulai mengembangkan strategi mengenai bagaimana mengusir tentara Sekutu Rakyat
Indonesia khawatir bahwa Belanda, yang diboncengi oleh Nederlandsch Indië Civil
Administratie (NICA), akan berupaya untuk merebut kembali nusantara. Tentara gabungan
Belanda-Inggris telah mendarat di Jawa pada bulan September, dan pertempuran besar telah
terjadi di Surabaya pada akhir Oktober dan awal November. Ketidakstabilan ini, serta
keraguan Soekarno atas kualifikasi Soedirman,menyebabkan terlambatnya pengangkatan
Soedirman sebagai pemimpin TKR
Markas TKR pertama, terletak di Gondokusuman, Yogyakarta; saat ini menjadi Museum Dharma
Wiratama.
37
Sambil menunggu pengangkatan, pada akhir November Soedirman memerintahkan Divisi V
untuk menyerang pasukan Sekutu di Ambarawa, sekali lagi dikomandoi oleh Isdiman; kota
itu dianggap penting secara strategis karena memiliki barak militer dan fasilitas pelatihan
yang sudah ada sejak zaman penjajahan. Serangan ini dilumpuhkan oleh serangan udara dan
tank-tank Sekutu, yang memaksa divisi untuk mundur, Isdiman sendiri tewas dalam
pertempuran, terbunuh oleh pemberondong P-51 Mustang. Soedirman kemudian memimpin
Divisi dalam serangan lain terhadap pasukan Sekutu; tentara Indonesia dipersenjatai dengan
berbagai senjata, mulai dari bambu runcing dan katana sitaan sebagai senjata, sedangkan
tentara Inggris dipersenjatai dengan peralatan modern. Soedirman memimpin di barisan
depan sambil memegang sebuah katana. Sekutu, yang fasilitas serangan udaranya telah
musnah saat tentara gerilya menyerang Lapangan Udara Kalibanteng di Semarang, berhasil
dipukul mundur dan bersembunyi di Benteng Willem. Pada 12 Desember, Soedirman
memimpin pengepungan empat hari, yang menyebabkan pasukan Sekutu mundur ke
Semarang.
38
kemudian diganti lagi menjadi Tentara Repoeblik Indonesia (TRI). Pergantian nama ini
diakhiri dengan membentuk secara resmi angkatan laut dan angkatan udara pada awal 1946.
Sementara itu, pemerintah Indonesia memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta –
sekarang di bawah kontrol Belanda – ke Yogyakarta pada bulan Januari; delegasi yang
dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir melakukan negosiasi dengan Belanda pada
bulan April dan Mei terkait dengan pengakuan kedaulatan Indonesia, namun tidak berhasil.
Pada tanggal 25 Mei, Soedirman dikukuhkan kembali sebagai panglima besar setelah
reorganisasi dan perluasan militer. Dalam upacara pengangkatannya, Soedirman bersumpah
untuk melindungi republik "sampai titik darah penghabisan." Menteri Pertahanan yang
berhaluan kiri, Amir Sjarifuddin, memperoleh kekuasaan yang lebih besar setelah
reorganisasi militer. Ia mulai mengumpulkan para tentara sosialis dan komunis di bawah
kontrolnya, termasuk unit paramiliter (laskar) sayap kiri yang setia dan didanai oleh berbagai
partai politik. Sjarifuddin melembagakan program pendidikan politik di tubuh angkatan
perang, yang bertujuan untuk menyebarkan ideologi sayap kiri. Memanfaatkan militer
sebagai alat manuvering politik tidak disetujui oleh Soedirman dan Oerip, yang pada saat itu
disibukkan dengan penerapan perlakuan yang sama bagi tentara dari latar belakang militer
berbeda. Namun, rumor yang beredar mengabarkan bahwa Soedirman sedang
mempersiapkan sebuah kudeta; upaya kudeta tersebut terjadi pada awal Juli 1946, dan peran
Soedirman, kalaupun ada, tidak dapat dipastikan. Pada bulan Juli, Soedirman mengonfirmasi
rumor ini melalui pidato yang disiarkan di Radio Republik Indonesia (RRI), menyatakan
bahwa ia, seperti semua rakyat Indonesia, adalah abdi negara, dan jika dirinya ditawari
jabatan presiden, ia akan menolaknya. Di kemudian hari, ia menyatakan bahwa militer tidak
memiliki tempat dalam politik, begitu juga sebaliknya.
Sementara itu, Sjahrir terus berusaha bernegosiasi dengan pasukan Sekutu. Pada tanggal 7
Oktober 1946, Sjahrir dan mantan Perdana Menteri Belanda, Wim Schermerhorn, sepakat
untuk melakukan gencatan senjata. Perundingan ini dimoderatori oleh diplomat Inggris Lord
Killearn, dan juga melibatkan Soedirman. Ia berangkat ke Jakarta dengan menggunakan
kereta khusus pada tanggal 20 Oktober. Namun, ia diperintahkan untuk kembali ke
Yogyakarta setelah tentara Belanda tidak mengijinkan dirinya dan anak buahnya memasuki
Jakarta dengan bersenjata. Soedirman merasa bahwa perintah tersebut melanggar harga
dirinya; Belanda kemudian meminta maaf, menyatakan bahwa peristiwa ini hanyalah
kesalahpahaman. Soedirman berangkat dengan kereta lainnya pada akhir Oktober, dan tiba di
Stasiun Gambir pada tanggal 1 November. Di Jakarta, ia disambut oleh kerumunan besar. [91]
39
[92]
Perundingan di Jakarta berakhir dengan perumusan Perjanjian Linggarjati pada tanggal 15
November; perjanjian ini disahkan pada 25 Maret 1947, meskipun ditentang oleh para
nasionalis Indonesia. Soedirman secara lantang juga menentang perjanjian tersebut karena ia
tahu bahwa perjanjian itu akan merugikan kepentingan Indonesia, namun menganggap
dirinya juga wajib mengikuti perintah.
Pada awal 1947, kondisi sudah relatif damai setelah Perjanjian Linggarjati. Soedirman mulai
berupaya untuk mengonsolidasikan TKR dengan berbagai laskar. Dalam upayanya ini,
Soedirman mulai melaksanakan reorganisasi militer; kesepakatan baru bisa tercapai pada Mei
1947, dan pada 3 Juni 1947, Tentara Nasional Indonesia (TNI) diresmikan. TNI terdiri dari
TKR dan tentara dari berbagai kelompok laskar, yang berhasil dirangkul Soedirman setelah
mengetahui bahwa mereka dimanfaatkan oleh partai-partai politik Namun, gencatan senjata
yang berlangsung pasca Perjanjian Linggarjati tidak bertahan lama. Pada tanggal 21 Juli
1947, tentara Belanda –yang telah menduduki wilayah peninggalan Inggris selama penarikan
mereka – melancarkan Agresi Militer, dan dengan cepat berhasil menguasai sebagian besar
Jawa dan Sumatera. Meskipun demikian, pemerintahan pusat di Yogyakarta tetap tak
tersentuhSoedirman menyerukan kepada para tentara untuk melawan dengan menggunakan
semboyan "Ibu Pertiwi memanggil!, dan kemudian menyampaikan beberapa pidato melalui
RRI, namun upayanya ini gagal mendorong tentara untuk berperang melawan Belanda.
Terlebih lagi, tentara Indonesia sedang tidak siap dan pertahanan mereka ditaklukkan dengan
cepat.
Garis Van Mook, wilayah yang dikontrol oleh Indonesia ditandai dengan warna merah; [102] pada 1947
Soedirman terpaksa menarik kembali lebih dari 35.000 tentara dari wilayah taklukan Belanda.
Setelah ditekan oleh PBB, yang memandang situasi di bekas Hindia dengan remeh, pada 29
Agustus 1947 Belanda menciptakan Garis Van Mook. Garis ini membagi wilayah-wilayah
yang dikuasai oleh Belanda dan Indonesia. Di sepanjang garis ini, gencatan senjata
diberlakukan. Soedirman memanggil para gerilyawan Indonesia yang bersembunyi di
wilayah taklukan Belanda, memerintahkan mereka agar kembali ke wilayah yang dikuasai
Indonesia. Untuk tetap mengobarkan semangat mereka, ia menyebut penarikan ini dengan
hijrah, merujuk pada perjalanan nabi Muhammad ke Madinah pada tahun 622 M, dan
meyakinkan bahwa mereka akan kembali. Lebih dari 35.000 tentara meninggalkan Jawa
bagian barat dan berangkat menuju Yogyakarta dengan menggunakan kereta dan kapal laut.
Perbatasan ini diresmikan melalui Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948; penandatangan
perjanjian ini di antaranya adalah Amir Sjarifuddin, yang pada saat itu menjabat sebagai
perdana menteri. Di saat yang bersamaan, Sjarifuddin mulai merasionalisasi TNI (Program
Re-Ra) dengan memangkas jumlah pasukan. Pada saat itu, tentara reguler terdiri dari 350.000
personil, dan lebih dari 470.00 terdapat di laskar
Dengan adanya program ini, pada tanggal 2 Januari 1948 Presiden Soekarno mengeluarkan
Keputusan Presiden No.1 Tahun 1948, yang memecah pucuk pimpinan TNI menjadi Staf
Umum Angkatan Perang dan Markas Besar Pertempuran. Staf Umum dimasukkan ke dalam
Kementerian Pertahanan di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP).
Sementara itu, Markas Besar Pertempuran dipimpin oleh seorang Panglima Besar Angkatan
40
Perang Mobil. Pucuk pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang beserta seluruh
perwira militer dihapus, dan pangkatnya diturunkan satu tingkat. Presiden kemudian
mengangkat Soerjadi Soerjadarma sebagai Kepala Staf Angkatan Perang dengan Kolonel
T.B. Simatupang sebagai wakilnya. Sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil
diangkat Soedirman. Staf Umum Angkatan Perang bertugas sebagai perencana taktik dan
siasat serta berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan, sedangkan Staf Markas Besar
Angkatan Perang Mobil adalah pelaksana taktis operasional.
Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi di kalangan angkatan perang. Pada tanggal 27
Februari 1948, presiden mengeluarkan Ketetapan Presiden No.9 Tahun 1948 yang
membatalkan ketetapan yang lama. Dalam ketetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang
tetap di bawah Soerjadi Soerjadarma, sedangkan Markas Besar Pertempuran tetap di bawah
Soedirman, ditambah wakil panglima yaitu Djenderal Major. A.H. Nasution. Angkatan
perang berada di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP) yang membawahi
Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL), dan Kepala
Staf Angkatan Udara (KASAU). Dalam penataannya, organisasi ini dibagi menjadi 2 bagian;
penataan kementerian dan pimpinan tertinggi ditangani oleh KASAP, sementara mengenai
pasukan serta daerah-daerah pertahanan ditangani oleh Wakil Panglima Besar Angkatan
Perang.
Tak lama setelah itu, Sjafruddin digulingkan dalam mosi tidak percaya atas keterlibatannya
dalam Perjanjian Renville, dan perdana menteri yang baru, Muhammad Hatta, berupaya
untuk menerapkan program rasionalisasi. Hal ini menimbulkan perdebatan di antara
kelompok yang pro dan anti-rasionalisasi. Soedirman menjadi tempat mengadu dan
pendorong semangat bagi para tentara, termasuk sejumlah komandan senior yang menentang
program rasionalisasi. Soedirman secara resmi dikembalikan ke posisinya pada tanggal 1 Juni
1948. Untuk menyelesaikan penataan organisasi ini, Soedirman membentuk sebuah panitia
yang anggotanya ditunjuk oleh Panglima sendiri. Anggota panitia terdiri dari Djenderal
Major Susaliy (mantan PETA dan laskar), Djenderal Major Suwardi (mantan KNIL) dan
Djenderal Major A.H. Nasution dari perwira muda. Penataan organisasi TNI selesai pada
akhir tahun 1948, setelah Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, Kolonel Hidajat
Martaatmadja, menyelesaikan penataan organisasi tentara di Pulau Sumatera.
Setelah program rasionalisasi mereda, Sjarifuddin mulai mengumpulkan tentara dari Partai
Sosialis, Partai Komunis, dan anggota Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia untuk
mengobarkan revolusi proletar di Madiun, Jawa Timur, yang berlangsung pada tanggal 18
September 1948. Soedirman, yang saat itu sedang sakit, mengirim Nasution untuk
memadamkan revolusi; Soedirman juga mengirim dua perwira lainnya sebagai antena
41
perdamaian sebelum serangan. Meskipun pemimpin revolusi, Muso, telah sepakat untuk
berdamai Nasution dan pasukannya berhasil menumpas pemberontakan pada 30 September.
Soedirman mengunjungi Madiun tidak lama setelah pertempuran; ia mengatakan kepada
istrinya bahwa ia tidak bisa tidur di sana karena pertumpahan darah yang terjadi.
Rumah Sakit Umum Panti Rapih, tempat Soedirman dirawat karena tuberkulosis.
Meskipun ia terus mengeluarkan perintah, Soedirman baru kembali aktif bertugas pada
tanggal 17 Desember. Seiring dengan semakin meningkatnya ketegangan antara tentara
Indonesia dan Belanda, ia memerintahkan TNI untuk meningkatkan kewaspadaan; ia juga
memerintahkan latihan militer skala besar dalam upayanya – yang gagal – untuk meyakinkan
Belanda bahwa TNI terlalu kuat untuk diserang. Dua hari kemudian, diumumkan bahwa
mereka tak lagi terikat dengan Perjanjian Renville. Pada 19 Desember, Belanda melancarkan
Agresi Militer Kedua untuk merebut ibu kota Yogyakarta. Pukul 07.00 Waktu Indonesia
Barat, lapangan udara di Maguwo berhasil diambil alih oleh pasukan Belanda di bawah
pimpinan Kapten Eekhout. Soedirman, yang telah menyadari serangan itu, memerintahkan
stasiun RRI untuk menyiarkan pernyataan bahwa para tentara harus melawan karena mereka
telah dilatih – sebagai gerilyawan
Perintah Kilat
No. 1/PB/D/48
42
1. Kita telah diserang.
2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan
lapangan terbang Maguwo.
3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan Gencatan Senjata.
4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi
serangan Belanda.
Perang gerilya
43
Soedirman, dikelilingi oleh para gerilyawan selama perang gerilya.
Di dekat Trenggalek, Soedirman dan kelompoknya dihentikan oleh prajurit TNI dari Batalion
102., Para tentara ini diberitahu bahwa Soedirman –yang saat itu berpakaian sipil dan dan
tidak dikenali oleh tentara yang menghentikan mereka – adalah tahanan dan menolak untuk
melepaskan Soedirman dan kelompoknya, mereka mencurigai konvoi Soedirman yang
membawa peta dan catatan militer Indonesia, benda yang mungkin dimiliki oleh mata-mata. ,
Ketika sang komandan, Mayor Zainal Fanani, datang untuk memeriksa keadaan, ia
menyadari bahwa orang itu adalah Soedirman dan segera meminta maaf. Fanani beralasan
bahwa tindakan anak buahnya sudah tepat karena menjaga wilayah dengan saksama. Ia juga
menyebutkan tentang sebuah pos di Kediri dan menyediakan mobil untuk mengangkut
Soedirman dan pasukannya. Setelah beberapa saat di Kediri, mereka melanjutkan perjalanan
lebih jauh ke timur; setelah mereka meninggalkan kota pada tanggal 24 Desember, Belanda
berencana untuk menyerang Kediri,
Soedirman dan pasukannya terus melakukan perjalanan melewati hutan dan rimba, akhirnya
tiba di Sobo, di dekat Gunung Lawu, pada tanggal 18 Februari. Selama perjalanannya ini,
Soedirman menggunakan sebuah radio untuk memberi perintah pada pasukan TNI setempat
jika ia yakin bahwa daerah itu aman. Merasa lemah karena kesulitan fisik yang ia hadapi,
termasuk perjuangannya melewati hutan dan kekurangan makanan, Soedirman yakin bahwa
44
Sobo aman dan memutuskan untuk menggunakannya sebagai markas gerilya. , Komandan
tentara setempat, Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, berperan sebagai perantara antara
dirinya dengan pemimpin TNI lain. Mengetahui bahwa opini internasional yang mulai
mengutuk tindakan Belanda di Indonesia bisa membuat Indonesia menerima pengakuan yang
lebih besar, Soedirman dan Hutagalung mulai membahas kemungkinan untuk melakukan
serangan besar-besaran., Sementara itu, Belanda mulai menyebarkan propaganda yang
mengklaim bahwa mereka telah menangkap Soedirman; propaganda tersebut bertujuan untuk
mematahkan semangat para gerilyawan.,
Karena semakin meningkatnya tekanan dari PBB, pada 7 Mei 1949 Indonesia dan Belanda
menggelar perundingan, yang menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Perjanjian ini
menyatakan bahwa Belanda harus menarik pasukannya dari Yogyakarta, beserta poin-poin
lainnya, Belanda mulai menarik pasukannya pada akhir Juni, dan para pemimpin Indonesia di
pengasingan kembali ke Yogyakarta pada awal Juli. Soekarno lalu memerintahkan
Soedirman untuk kembali ke Yogyakarta, tapi Soedirman menolak untuk membiarkan
Belanda menarik diri tanpa perlawanan; ia menganggap pasukan TNI pada saat itu sudah
cukup kuat untuk mengalahkan pasukan Belanda. Meskipun ia dijanjikan akan diberi obat-
obatan dan dukungan di Yogyakarta, Soedirman menolak untuk kembali ke kalangan politisi,
yang menurutnya telah sepaham dengan Belanda. Soedirman baru setuju untuk kembali ke
Yogyakarta setelah menerima sebuah surat, yang pengirimnya masih diperdebatkan. , Pada
tanggal 10 Juli, Soedirman dan kelompoknya kembali ke Yogyakarta, mereka disambut oleh
ribuan warga sipil dan diterima dengan hangat oleh para elit politik di sana, Wartawan
45
Rosihan Anwar, yang hadir pada saat itu, menulis pada 1973 bahwa "Soedirman harus
kembali ke Yogyakarta untuk menghindari anggapan adanya keretakan antar pemimpin
tertinggi republik".,
Pada awal Agustus, Soedirman mendekati Soekarno dan memintanya untuk melanjutkan
perang gerilya; Soedirman tidak percaya bahwa Belanda akan mematuhi Perjanjian Roem-
Royen, belajar dari kegagalan perjanjian sebelumnya. Soekarno tidak setuju, yang menjadi
pukulan bagi Soedirman. Soedirman menyalahkan ketidak-konsistenan pemerintah sebagai
penyebab penyakit tuberkulosisnya dan kematian Oerip pada 1948, ia mengancam akan
mengundurkan diri dari jabatannya, namun Soekarno juga mengancam akan melakukan hal
yang sama., Setelah ia berpikir bahwa pengunduran dirinya akan menyebabkan
ketidakstabilan, Soedirman tetap menjabat, , dan gencatan senjata di seluruh Jawa mulai
diberlakukan pada tanggal 11 Agustus 1949.,
Soedirman terus berjuang melawan TBC dengan melakukan pemeriksaan di Panti Rapih. , Ia
menginap di Panti Rapih menjelang akhir tahun, dan keluar pada bulan Oktober; ia lalu
dipindahkan ke sebuah sanatorium di dekat Pakem., Akibat penyakitnya ini, Soedirman
jarang tampil di depan publik., Ia dipindahkan ke sebuah rumah di Magelang pada bulan
Desember., Di saat yang bersamaan, pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan
konferensi panjang selama beberapa bulan yang berakhir dengan pengakuan Belanda atas
kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. , Meskipun sedang sakit, Soedirman saat itu
juga diangkat sebagai panglima besar TNI di negara baru bernama Republik Indonesia
Serikat. Pada 28 Desember, Jakarta kembali dijadikan sebagai ibu kota negara,
46
Keranda Soedirman dibopong oleh para tentara.
Soedirman wafat di Magelang pada pukul 18.30 tanggal 29 Januari 1950; kabar duka ini
dilaporkan dalam sebuah siaran khusus di RRI.[147] Setelah berita kematiannya disiarkan,
rumah keluarga Soedirman dipadati oleh para pelayat, termasuk semua anggota Brigade ke-9
yang bertugas di lingkungan tersebut. Keesokan harinya, jenazah Soedirman dibawa ke
Yogyakarta, diiringi oleh konvoi pemakaman yang dipimpin oleh empat tank dan delapan
puluh kendaraan bermotor, dan ribuan warga yang berdiri di sisi jalan. Konvoi tersebut
diselenggarakan oleh anggota Brigade ke-9,
Jenazah Soedirman disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman pada sore hari, yang dihadiri
oleh sejumlah elit militer dan politik Indonesia maupun asing, termasuk Perdana Menteri
Abdul Halim, Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX, Menteri Kesehatan Johannes
Leimena, Menteri Keadilan Abdoel Gaffar Pringgodigdo, Menteri Informasi Arnold
Mononutu, Kepala Staff TNI AU Soerjadi Soerjadarma, Kolonel Paku Alam VIII, dan
Soeharto. Upacara ini ditutup dengan prosesi hormat 24 senjata, Jenazah Soedirman
kemudian dibawa ke Taman Makam Pahlawan Semaki dengan berjalan kaki, sementara
kerumunan pelayat sepanjang 2 kilometer (1.2 mil) mengiringi di belakang., Ia dikebumikan
di sebelah Oerip setelah prosesi hormat senjata. Istrinya menuangkan tanah pertama ke
makamnya, lalu diikuti oleh para menteri. Pemerintah pusat memerintahkan pengibaran
bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung di seluruh negeri, dan Soedirman
dipromosikan menjadi jenderal penuh Djenderal Major Tahi Bonar Simatupang terpilih
sebagai pemimpin angkatan perang yang baru. Memoar Soedirman diterbitkan pada tahun
itu, dan rangkaian pidato-pidatonya juga diterbitkan pada tahun 1970,
Peninggalan
Makam Soedirman di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta; makam ini telah menjadi tujuan
para peziarah.
Surat kabar harian Yogyakarta, Kedaulatan Rakjat, menulis bahwa Indonesia telah
kehilangan seorang "pahlawan yang jujur dan pemberani." Kolonel Paku Alam VIII, yang
bertanggung jawab atas wilayah Yogyakarta, mengatakan kepada kantor berita nasional
Antara bahwa seluruh rakyat Indonesia, khususnya angkatan perang, telah "kehilangan
seorang bapak yang tidak ternilai jasa-jasanya kepada tanah air". Tokoh Muslim Indonesia,
47
Haji Abdul Malik Karim Amrullah, menggambarkan sosok Soedirman sebagai "lambang dari
kebangunan jiwa pahlawan Indonesia", sedangkan politisi Muslim Muhammad Isa Anshary
menyatakan bahwa Soedirman adalah "putra revolusi, karena dia lahir dalam revolusi, dan
dibesarkan oleh revolusi". Dalam sebuah pidato radio, Hatta mengungkapkan bahwa
Soedirman adalah sosok yang tidak mungkin bisa dikontrol dan keras kepala, tapi tetap
bertekad untuk melakukan yang benar bagi negara; Hatta berkata meskipun Soedirman tidak
menyukai jabatan pemerintahan, ia secara umum tetap mematuhi perintahnya. Namun,
Hamengkubuwono IX mengungkapkan bahwa tentara terlatih seperti Abdul Haris Nasution
dan Tahi Bonar Simatupang kecewa terhadap Soedirman karena latar belakang dan
pengetahuan teknik militernya yang buruk.
Opini modern yang berkembang di Indonesia mengenai Soedirman cenderung berupa pujian.
Sardiman, seorang profesor sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta, menulis bahwa
Soedirman hidup sebagai pembicara seperti Soekarno, yang dikenal karena pidatonya yang
berapi-api dan pemimpin yang berbakti dan tidak bisa disuap. [157] Sejarawan Indonesia dan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto menggambarkan Soedirman
sebagai "satu-satunya idolanya", menyatakan bahwa masa-masa gerilya sang jenderal adalah
asal esprit de corps TNI. Kampanye gerilya Soedirman lebih ditekankan dalam biografinya
karena pada masa ini, angkatan perang memiliki peran yang lebih besar jika dibandingkan
dengan pemimpin politik di pengasingan. Sejak 1970-an, semua taruna militer harus
menelusuri kembali rute gerilya Soedirman sepanjang 100-kilometer (62 mil) sebelum lulus
dari Akademi Militer, bentuk "ziarah" yang bertujuan untuk menanamkan rasa perjuangan.
Makam Soedirman juga menjadi tujuan ziarah, baik dari kalangan militer ataupun masyarakat
umum. Menurut Katharine McGregor dari Universitas Melbourne, militer Indonesia telah
memuliakan status Soedirman menjadi semacam orang suci.
Soedirman telah menerima berbagai tanda kehormatan dari pemerintah pusat secara
anumerta, termasuk Bintang Sakti, Bintang Gerilya Bintang Mahaputra Adipurna,[163]
Bintang Mahaputra Pratama, Bintang Republik Indonesia Adipurna,[165] dan Bintang
Republik Indonesia Adipradana.[166][ae] Pada 10 Desember 1964, Soedirman ditetapkan
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 314 Tahun 1964.
Oerip juga dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional oleh keputusan yang sama Soedirman
dipromosikan menjadi Jenderal Besar pada tahun 1997.
Terdapat banyak museum yang didedikasikan untuk Soedirman. Rumah masa kecilnya di
Purbalingga saat ini menjadi Museum Soedirman, sedangkan rumah dinasnya di Yogyakarta
48
dijadikan Museum Sasmitaloka Jenderal Soedirman Rumah kelahirannya di Magelang juga
dijadikan Museum Soedirman, yang didirikan pada tanggal 18 Mei 1967 dan menyimpan
barang-barang milik sang jenderal. Museum lainnya, termasuk Monumen Yogya Kembali di
Yogyakarta dan Museum Satria Mandala di Jakarta, memiliki ruangan khusus yang
didedikasikan untuk dirinya. Sejumlah jalan juga dinamai sesuai namanya, termasuk sebuah
jalan utama di Jakarta; McGregor menyatakan bahwa hampir setiap kota di Indonesia
memiliki jalan bernama Soedirman. Patung dan monumen yang didedikasikan untuk dirinya
juga tersebar di seluruh negeri, sebagian besarnya dibangun setelah tahun 1970. Universitas
Jenderal Soedirman di Purwokerto, Banyumas, didirikan pada 1963 dan dinamai sesuai
namanya.
49