Perjuangan
Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku
Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak
diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni. Pada awalnya
timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di kerajaan
Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal
Jamaah yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi
wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta
Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk
meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam. Dalam beberapa perundingan
tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari
dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan
Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto
Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota
kerajaan ke Lubukjambi.
Pada tahun 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi
melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula
bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran,
mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu
sendiri. Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang
dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat
basandi Syarak (Adat berdasarkan agama).
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala
jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal dan
para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang
terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Tiga kali Belanda
mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan
benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16
Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung. Pada bulan Oktober
1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat tersebut dia
langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan
akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada
tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat tersebut.
Penghargaan
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan
kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia,
Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November
1973.
Riwayat perjuangan
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di
desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai
adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas
saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di
sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah
perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro
membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta,
Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun
dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro.
Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.
Penangkapan dan pengasingan
16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen
(sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya
berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari
Batavia. 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa
mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak
Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro
ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan
langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April. 11 April 1830 sampai di Batavia dan
ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian
dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro,
Raden Ayu Retnaningsih, TumenggungDiposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti
Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado. 3 Mei 1830 Diponegoro
dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. 8 Januari 1855 Diponegoro
wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.
Makam
Lokasi makam Pangeran Diponegoro di Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam perjuangannya,
Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo
melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen. Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah
Putera Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu Citrowati Puteri Bupati Madiun Raden Ronggo. Raden
Ayu Citrowati adalah saudara satu ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon
atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo snediri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas
Darah Dalem Keraton Yogyakarta. Perjuangan Ki Sodewo untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa
dendam pada kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah
karena memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan
oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan.
Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai
barang bukti suksesnya penyerbuan. Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro
lalu dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu
berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu
sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda. Atas
kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama Singlon yang artinya penyamaran. Keturunan
Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki Sodewo pada saat itu dengan
bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan dimotori oleh keturunan ke 7 Pangeran
Diponegoro yang bernama Raden Roni Muryanto, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban
dengan nama Paguyuban Trah Sodewo. Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5
orang putri, yang semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku
Sultan Hasanuddin Pahlawan Nasional Muslim Indonesia
Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6
November 1973.
Sejarah
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja
Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili Kompeni
sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah
timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan. Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana
Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil
menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan
kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.
Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa
terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian
Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan
lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai
tempat. Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan
pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng
Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta
kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.