Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Sekilas tentang biografi Imam Bonjol, dengan nama asli dari Imam bonjol ini ialah Imam
Shahab. Semasa remaja, ia biasa di panggil dengan sebutan Peto Syarif. Imam bonjol ini mendapat
gelar Malim basa setelah menuntut ilmu tentang keagamaannya di Aceh dari tahun 1800 hingga tahun
1802. Setelah gelar yang ia dapat tersebut ia kemudian kembali ke Minang Kabau kemudian menuntut
ilmu kepada gurunya ang bernama Tuanku nan renceh yang menjadikan ia sebagai murid
kesayangannya tersebut.
Semasa berguru pada Tuanku Nan Renceh ini ia banyak mendapatkan pengajaran tentang
ilmu perang dari gurunya tersebut. Pada tahun 1807 beliau mendirikan benteng yang terletak di kaki
bukit Tajadi yang ia beri nama Imam Bonjol. Nah dari situlah ia di kenal dengan nama Imam Bonjol.
Dengan nama barunya ini, yaitu Tuanku Imam Bonjol ia disebut sebagai pahlawan dari tanah
Minang Kabau Sumatera Selatan. Sebelum ia dikenal sebagai pahlawan dari perang Padri, ia
merupakan seorang alim ulama yang dterpandang oleh masyarakat sekitar. Namun semenjak ia turu
ke medan perang padri tersebut kemudian ia menjadi sosok pahlawan yang tidak bisa di lupakan oleh
masyarakatnya.
Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat dan simak biografi Imam Bonjol pahlawan dari
Minang Kabau tersebut
BAB II
PEMBAHASAN

A. IMAM BONJOL

Pahlawan Nasional Dari Minangkabau - Nama tokoh yang satu ini mungkin tidak
asing lagi bagi kita semua, apalagi bagi kita yang berasal dari Sumatera Barat
(Minangkabau). Beliau merupakan salah satu dari pahlawan nasional Republik Indonesia dari
tanah Sumatra. Kita semua mengenalnya dengan nama Tuanku Imam Bonjol. Sejatinya sosok
Imam Bonjol merupakan seorang ulama. Namun karena pada saat itu terjadi tindakan yang
semena-mena dari Belanda membuat Tuanku Imam Bonjol berontak kepada pihak Belanda
hingga terjadi perang antara rakyat minang yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol
melawan Belanda. Pepeperangan ini kita kenal dengan nama Perang Padri yang terjadi pada
tahun 1803-1838.

Biografi Tuanku Imam Bonjol


Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat 1772 - wafat dalam
pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah
seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda, peperangan itu
dikenal dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1837. Tuanku Imam Bonjol diangkat
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun
1973, tanggal 6 November 1973.

Nama dan gelar


Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol,
Pasaman, Sumatra Barat pada tahun 1772. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat
setempat, ia memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam.
Tuanku nan Renceh dari Kamang sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan
adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya
lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

B. Riwayat perjuangan

Perang Padri
Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus
traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821)
praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.

Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin


ulama di Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalan syariat Islam sesuai dengan
Mazhab Wahabi yang waktu itu berkembang di tanah Arab (Arab Saudi sekarang). Kemudian
pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk
mengajak Raja Pagaruyung Sultan Muning Alamsyah beserta Kaum Adat untuk
meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam.

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan
bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam Kerajaan
Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku
Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah
dekat Batu Sangkar. Sultan Muning Alamsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan.

Pada 21 Februari 1821, kaum Adat resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman
Minangkabau) kepada Belanda dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi
kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Padri. Perjanjian itu dihadiri juga
oleh sisa keluarga Dinasti Kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam
Bagagar yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Padri.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang
dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas
perintah Residen James du Puy di Padang. Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam
perang karena "diundang" oleh kaum Adat.

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan paderi cukup tangguh sehingga sangat
menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur
Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah
dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang"
pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana
dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi
kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Nagari Pandai
Sikek.

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum
Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang
semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul
kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat
Minangkabau itu sendiri. Bersatunya kaum Adat dan kaum Paderi ini dimulai dengan adanya
kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan
konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama,
Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an).
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang
Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya "Adopun hukum Kitabullah
banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?" (Adapun banyak hukum Kitabullah
yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?)

Penyesalan dan perjuangan heroik Tuanku Imam Bonjol bersama pengikutnya


melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16
Maret-17 Agustus 1837) juga dapat menjadi apresiasinya akan kepahlawanannya menentang
penjajahan, serta rincian laporan G. Teitler yang berjudul Akhir Perang Paderi: Pengepungan
dan Perampasan Bonjol 1834-1837.

Penyerangan benteng kaum Paderi di Bonjol oleh Belanda dipimpin oleh jenderal dan
para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang
terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para
perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor
Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan
seterusnya, tetapi juga terda[at nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto
Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko,
Prawiro Brotto, dan Merto Poero.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara
pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep,
Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di
bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri.

Penangkapan dan Pengasingan


Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali
pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah
sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk
ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah
negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit.
Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.

Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk
berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.
Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di
tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol
dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.
KAUM ADAT DAN KAUM PADRI BERSATU
Dalam peristiwa peristiwa yang melibatkan kaum adat dan kaum yang secara langsung di
pimpin oleh Imam Bonjol itu sendiri. kaum adat disini ialah masyarakat Minang yang telah
menyimpang dari ajaran ajaran agama Islam. Perbuatan yang umumnya terjadi di sekitaran
masyarakat kaum adat ini ialah minum-minuman keras, berjudi, dan mejadikan hewan sebagai objek
untuk perjudian seperti sabung ayam dan sebagainya.

Sedangkan seperti yang sudah kita jelaskan di atas kaum Padri merupakan kaum atau
golongan yang mentaati ajara-ajaran agama Islam dan berusaha memperbaiki akhlak dari kaum adat
yaitu masyarakat Minang yang menyimpang dengan ajaran agama Islam tersebut. Dengan kesadaran
dari kedua belah pihak yang telah di manfaatkan oleh pihak Belanda ini, maka timbullah perdamaiana
dari kaum adat dan kaum Padri ini untuk memperbaiki hubungan kesaudaraan yang telah pecah
selama 18 tahun berperang tersebut.

Kedua kaum antara kaum adat dan kaum Padri pun bersatu untuk mengusir pasukan Belanda
yang sangat merugikan tersebut, sehingga pasukan Belnada pun akhirnya berhasil di kalahkan oleh
kaum Padri.

C. Tuanku Imam Bonjol, Dikenang dan Digugat


Selama 62 tahun Indonesia merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir di ruang
publik bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan di lembaran Rp
5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001. Tuanku Imam Bonjol (1722-1864), yang
diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun
1973, 6 November 1973, adalah pemimpin utama Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-
1837) yang gigih melawan Belanda.

Namun, baru-baru ini muncul petisi, menggugat gelar kepahlawanannya. Tuanku


Imam Bonjol dituduh melanggar HAM karena pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak
(1816-1833) yang menewaskan “jutaan” orang didaerah itu.

Kekejaman Paderi disorot dengan diterbitkannya buku MO Parlindungan,


Pongkinangolngolan Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di
Tanah Batak, 1816-1833 (2006) (Edisi pertama terbit 1964, yang telah dikritisi Hamka,
1974), kemudian menyusul karya Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (2007).
Kedua penulisnya, kebetulan dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek moyangnya
dan orang Batak umumnya selama serangan tentara Paderi 1816-1833 di daerah Mandailing,
Bakkara, dan sekitarnya (Tempo, Oktober 2007).
Mitos kepahlawanan
Munculnya koreksi terhadap wacana sejarah Indonesia belakangan ini mencuatkan
kritisisme terhadap konsep pahlawan nasional. Kaum intelektual dan akademis, khususnya
sejarawan adalah pihak yang paling bertanggung jawab jika evaluasi wacana historis itu
hanya mengakibatkan munculnya friksi di tingkat dasar yang berpotensi memecah belah
bangsa ini.

Ujung pena kaum akademis harus tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya seyogianya
tidak mengandung “hawa panas”. Itu sebabnya dalam tradisi akademis, kata-kata bernuansa
subyektif dalam teks ilmiah harus disingkirkan si penulis.

Setiap generasi berhak menafsirkan sejarah (bangsa)-nya sendiri. Namun, generasi


baru bangsa ini yang hidup dalam imajinasi globalisme harus menyadari, negara-bangsa apa
pun di dunia memerlukan mitos-mitos pengukuhan. Mitos pengukuhan itu tidak buruk. la
adalah unsur penting yang diadakan sebagai “perekat” bangsa. Sosok pahlawan nasional,
seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja XII, juga Tuanku Imam
Bonjol, dan lainnya adalah bagian dari mitos pengukuhan bangsa Indonesia.

Jeffrey Hadler dalam “An History of Violence and Secular State in Indonesia: Tuanku
Imam Bonjol and Uses of History” (akan terbit dalam Journal of Asian Studies, 2008)
menunjukkan, kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol telah dibentuk sejak awal kemerdekaan
hingga zaman Orde Baru, setidaknya terkait tiga kepentingan, yaitu:

Menciptakan mitos tokoh pahlawan yang gigih melawan Belanda sebagai bagian
wacana historis pemersatu bangsa Mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya
menciptakan negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya
“Merangkul” kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah mendapat stigma
negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI.

Kita tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan Tuanku
Imam Bonjol dan tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai
pahlawan nasional.

Kita juga tahu pada zaman itu perbudakan adalah bagian sistem sosial dan beberapa
kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan menyerang beberapa
kerajaan tetangga. Para pemimpin lokal berperang melawan Belanda karena didorong
semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi keinginan untuk mempertahankan
hegemoni sebagai penguasa yang mendapat saingan akibat kedatangan bangsa Eropa.
Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan nasional karena bangsa memerlukan mitos
pemersatu.
D. Bukan manusia sempurna

Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus


traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821)
praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minangkabau, Mandailing (catatan:
Mandailing adalah salah satu suku Minangkabau) dan Batak pada umumnya.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang
dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas
perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang itu karena
“diundang” kaum Adat.

Pada 21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman


Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai
kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut
“mengundang” sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah
yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto
Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-
41).

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum
Agama melawan Belanda. Memorie Tuanku Imam Bonjol transliterasinya oleh Sjafnir Aboe
Nain (Padang: PPIM, 2004), se-buah sumber pribumi yang penting tentang Perang Paderi
yang cenderung diabaikan sejarawan selama ini - mencatat, bagaimana kedua pihak bahu-
membahu melawan Belanda.

Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Di ujung


penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan
masyarakat Minangkabau sendiri.

Dalam Memorie Tuanku Imam Bonjol, terefleksi rasa penyesalan Tuanku Imam
Bonjol atas tindakan kaum Paderi atas sesama orang Minang dan Mandailing. Tuanku Imam
Bonjol sadar, perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama. “Adapun hukum Kitabullah
banyaklah yang terlampau dek oleh kita. Bagaimana pikiran kita?” (Adapun banyak hukum
Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kita?), tulis Tuanku Imam
Bonjol dalam MemoireTuanku Imam Bonjol (hal 39).
Penyesalan dan perjuangan heroik Tuanku Imam Bonjol bersama pengikutnya
melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16
Maret-17 Agustus 1837) — seperti rinci dilaporkan De Salis dalam Het einde Padri Oorlog:
Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie [AkhirPerang
Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; Sebuah Publikasi Sumber] (2004):
59-183 - mungkin dapat dijadikan pertimbangan untuk memberi maaf bagi kesalahan dan
kekhilafan yang telah diperbuat Tuanku Imam Bonjol.

Pada hari-hari terakhirnya di Minangkabau, Tuanku Imam Bonjol diusung di atas


tandu oleh rakyat dalam perjalanan dari Bukittinggi ke Padang menuju tanah pembuangan
(Memoire Tuanku Imam Bonjol, hal 176-178). Meski sudah dalam tawanan Belanda,
keyakinan agama Tuanku Imam Bonjol tak goyah: “Jikalau tidak boleh berhenti sembahyang,
apa gunanya hidup, lebih baik mati,” katanya kepada tentara Belanda saat tandu sampai di
Kayu Tanam (Memoire Tuanku Imam Bonjol hal 176).

Kini bangsa inilah yang harus menentukan, apakah Tuanku Imam Bonjol akan tetap
ditempatkan atau diturunkan dari “tandu kepahlawanan nasional” yang telah “diarak” oleh
generasi terdahulu bangsa ini dalam kolektif memori mereka.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat 1772 - wafat dalam
pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864. Nama asli
dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab. Sebagai ulama dan pemimpin
masyarakat setempat, ia memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan
Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang sebagai salah seorang pemimpin dari
Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri
di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol

Perang Padri ini muncul dengan adanya gerakan Kaum Padri atau bisa di sebut pula dengan
Kaum Ulama yang menentang tentang perbuatan-perbuatan yang marak terjadi di kalangan
masyarakat pada saat itu yang sangat tidak mencerminkan masyarakat yang beragama di dalam
kawasan kerajaan Paguyuban yang merupakan tempat Tuanku Imam Bonjol berasal. pihak kerajaan
yang termasuk di dalamnya kaum adat meminta bantuan kepada Belanda untuk mengirimkan pasukan
militer untuk membantu dalam peperangan antar saudara ini. Namun dengan bantuan yang di kirim
Belanda ini, kaum adat dan kerajaan pun harus menelan kenyataan bahwa imbas dari bantuan yang di
kirim Belanda tersebut adalah dengan menguasai sebagian wilayah dari kaum adat tersebut.

Dengan kekuatan dan trik-trik yang di lancarkan oleh Kaum Padri yang di pimpin oleh Imam
Bonjol ini, maka pihak Belanda yang di pimpin oleh Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pun
mengalami kekalahan. Selanjutnya pihak Belanda pun menawarkan suatu perjanjian yang dikenal
sebagai perjanjian Masang pada tahun 1824 yang di langgar sendiri oleh pihak Belanda tersebut.

Akhirnya Kedua kaum antara kaum adat dan kaum Padri pun bersatu untuk mengusir pasukan
Belanda yang sangat merugikan tersebut, sehingga pasukan Belnada pun akhirnya berhasil di
kalahkan oleh kaum Padri.
Daftar Pustaka

Radjab, M., (1964). Perang Paderi di Sumatera Barat, 1803-1838. Balai Pustaka.
Direktorat Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan, (1991), Wajah dan
sejarah perjuangan pahlawan nasional, Vol. 3, Departemen Sosial R.I., Direktorat Urusan
Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan.
Aboe Nain, , (2004), Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.
Muhammad Syamsu As, Ulama pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya, Lentera,
1996
http://www.tokohindonesia.com Imam Bonjol, Tuanku
http://www.minahasa.net/en/history-imambonjol.html
PERLAWANAN IMAM BONJOL TERHADAP
BELANDA

D
I
S
U
S
U
N
OLEH

TEUKU HASRIZAL
RANGGA FIRTA PRATAMA

Anda mungkin juga menyukai