Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

Tentang
TUANKU IMAM BONJOL DAN SULTAN HASANUDIN

DISUSUN OLEH :
NAMA : NURIATIFAH
KELAS :

DIBIIMBING OLEH:
IBU RIRIN, S.Pd

SMP NEGERI 1 WOHA


TAHU AJARAN 2019 / 2020
KATA PENGANTAR

         Puji syukur saya panjatkan atas anugrah Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya kami dapat
membuat makalah mengenai “ Imam Bonjol dan Sultan Hasanudin“ yang berhubungan
dengan pelajaran Pendidikan dan Kewarganegaraan . Makalah yang kami buat ini sebagai
sumber informasi pendamping buku pelajaran. Kami menyusun makalah ini berdasarkan
materi kurikulum yang berlaku, kami juga berusaha untuk menyesuaikannya dengan
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan.
          Semoga makalah ini memberikan informasi bagi kita semua dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua .

Bima, Januari 2020

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sekilas tentang biografi Imam Bonjol, dengan nama asli dari Imam bonjol ini ialah
Imam Shahab. Semasa remaja, ia biasa di panggil dengan sebutan Peto Syarif. Imam bonjol
ini mendapat gelar Malim basa setelah menuntut ilmu tentang keagamaannya di Aceh dari
tahun 1800 hingga tahun 1802. Setelah gelar yang ia dapat tersebut ia kemudian kembali ke
Minang Kabau kemudian menuntut ilmu kepada gurunya ang bernama Tuanku nan renceh
yang menjadikan ia sebagai murid kesayangannya tersebut.
Semasa berguru pada Tuanku Nan Renceh ini ia banyak mendapatkan pengajaran
tentang ilmu perang dari gurunya tersebut. Pada tahun 1807 beliau mendirikan benteng yang
terletak di kaki bukit Tajadi yang ia beri nama Imam Bonjol. Nah dari situlah ia di kenal
dengan nama Imam Bonjol.
Dengan nama barunya ini, yaitu Tuanku Imam Bonjol ia disebut sebagai pahlawan
dari tanah Minang Kabau Sumatera Selatan. Sebelum ia dikenal sebagai pahlawan dari perang
Padri, ia merupakan seorang alim ulama yang dterpandang oleh masyarakat sekitar. Namun
semenjak ia turu ke medan perang padri tersebut kemudian ia menjadi sosok pahlawan yang
tidak bisa di lupakan oleh masyarakatnya.
I Mallombasi, nama kecil dari Sultan Hasanuddin yang dilahirkan pada tanggal 12
Januari 1631. Ayahnya bernama I Manuntungi Daeng Mattola, Karaeng Lakiung yang
bergelar Sultan Malikussaid dan ibunya bernama I Sabbe To'mo Lakuntu, Putri bangsawan
Laikang adalah salah seorang istri Sultan Malikussaid. Sultan Hasanuddin atau I Mallombasi
mempunyai seorang saudara perempuan yang bernama I Sani atau I Patimang Daeng
Nisaking Karaeng Bonto Je'ne yang kemudian menjadi permaisuri Sultan Bima, Ambela Abul
Chair Sirajuddin. Masa Kelahiran Dan Remaja Pada saat kelahiran dan masa kecil I
Mallombasi Sultan Hasanuddin Ayahnya belum menjadi raja Gowa. Sejak kecil Sultan
Hasanuddin telah menunjukan kelebihannya dari saudara-saudaranya yang lain. Kecerdasan
dan kerajinannya dalam belajar sangat menonjol. Walaupun Hasanuddin adalah putra
bangsawan, pada masa kecilnya sangat rendah hati dan perbuatannya selalu jujur. Dia sangat
disayangi karena sifatnya itu. Pendidikannya di Pusat Pendidikan dan Pengajaran Islam di
Mesjid Bontoala membentuk Hasanuddin menjadi pemuda yang beragama dan memiliki
semangat perjuangan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perjuangan Imam Bonjol?
2. Bagaimana sejarah perjuangan Sultan Salahudin?

C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan tentang sejarah perjuangan Imam Bonjol
2. Untuk menjelaskan tentang sejarah perjuangan Sultan Salahudin
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perjuangan Imam Bonjol

BIOGRAFI
TUANKU IMAM BONJOL

Tuanku Imam Bonjol merupakan seorang ulama,pemimpin dan perjuangan yang berjuang
berperang melawan Belanda dalam peperangan yang disebut sebagai perang Padri pada tahun
1803-1838. Tuanku Imam Bonjol di angkat menjadi pahlawan nasional berdasarkan SK
Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973. Untuk mengetahui lebih
lengkap,berikut biografinya.

Biografi Singkat Tuanku Imam Bonjol


Nama Asli : Muhammad Shahab
Lahir : di Bonjol tahun 1772
Wafat : 6 November 1864
Orangtua : Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu)
Agama : Islam

Biografi dan Profil Lengkap Tuangku Imam Bonjol


Tuanku Imam Bonjol memiliki nama asli Muhammad Shahab, yang lahir pada tahun 1772. Ia
lahir dari pasangan Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya merupakan seorang alim
ulama yang berasal dari sungai Rimbang, Suliki. Imam Bonjol belajar agam di Aceh pada
tahun 1800-1802, dan dia mendapatkan gelar Malin Basa.

Asal nama Tuanku Imam Bonjol


Setelah dewasa, Tuanku Imam Bonjol menjadi seorang ulama dan pemimpin setempat.
Tuanku Imam Bonjol memiliki beberapa gelar, yang diantaranya Peto Syarif, Malin Basa dan
Tuanku Imam. Hingga akhirnya Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam yaitu seorang
pemimpin dari Harimau nan Salapan menunjuknya sebagai Imam bagi kaum Padri di Bonjol.
Akhirnya masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

Perjuangan Tuanku Imam Bonjol


Tuanku Imam Bonjol terkenal ketika ia melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda
dalam perang Padri. Perang Padri merupakan perang terlama yang berlangsung dari tahun
1803 hinggan 1838 yang melibatkan sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak.
Pada awalnya perang tersebut dikenal sebagai perang saudra di Sumatera, Perang tersebut
terjadi karena adanya pertentangan antara kaum Padri dengan kaum dari kerajaan padaruyung.
Dalam perang ini kaum Padri menginginkan agar hukum di daerahnya dijalankan sesuai
dengan syariat Islam yang berpegang teguh pada Al-1uran dan Sunnah nabi MUhammmad
SAW. Terjadinya perang Padri karena masyarakat disana masih memiliki kebiasaan buruk
seperti melakukan perjudian, sabung ayam, penggunaan madat, minuman keras serta hukum
yang terlalu longgar, padahal masyarakat disana sudah banyak yang beragama Islam. Karena
tidak adanya kesepakatan antara kedua pihak, sehinggan meletuslah perang Padri yang
terkenal.
Awalnya perang Padri dipimpin oleh Tuanku Pasaman. Tuanku Pasaman kemudian
menyerang kaum adat yang dipimpin oleh Sultan Arifin Muningsyah. Serangan pertama di
Padaruyuh terjadi pada tahun 1815 dan pertemuran selanjutnya terjadi di kota tengah dekat
Batu Sangkar. Pertem[uran ini kemudian membuat Sultan Arifin Muningsyah menjdai
terdesak dan terpaksa melarikan diri dari kerajaanya ke Lubuk Jambi.

Tuanku Imam Bonjol Memimpin Perang Padri


Akibat merasa terdesak, akhirnya kaum adat meminta bantuan Belanda, dan secara resmi
Belanda membantu kaum adat untuk berperang melawan kaum Padri melalui sebuah
perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1821 di Padang. Dalm perjanjian tersebut
menyatakan bahwa Belanda akan mendapat penguasaan wilayah di pedalaman Minangkabau.
Perjanjian tersebut dihadiri oleh Sultan Tangkal Alam Bagagr. Adanya campur tangan Belanda
yang membantu kaum adat untuk melawan kaum Padri membuat situasi menjadi semakin
sulit.
Meskipun Belanda turut campur dalam perang tersebut, Belanda cukup kesulitan dalam
melawan Kaum Padri yang ketika itu sudah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Akibatnya
Belanda yang merasa kesulitan kemudian mengajak Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai.
Perdamaian tersebut kemudian dituangkan dalam perjanjian Masang tahun 1824.
Perjanjian tersebut dilakukan oleh Belanda karena mengingat saat itu Belanda sudah
kehabisan dana untuk melakukan perang, sebab Belanda juga harus memadamkan perang
yang terjadi di daerah lain seperti perang Diponegoro. Tetapi perjanjian tersebut tidak
berlangsung lama sebab Belanda kemudian kembali menyerang Nagari Pandai Sikek.
Hingga pada tahun 1833, perang Padri memasuki babak baru, yaitu pada akhirnya kaum adat
dan kaum Padri bersatu untuk melawan Belanda. Mereka menyadari ternyata perang tersebut
hanya menyengsarakan rakyat Minangkabau. Bersatunya Kaum Adat dan Kaum Padri
ditandai dengan Plakt Puncak Pati di Tabek Patah.
Belanda kemudian melakukan pengepungan dan penyerangan ke Benteng Kaum Padri.
Pengepungan dan Penyerangan tersebut berlangsung selama enam bulan. Agar pengepungan
dan penyerangan tersebut berhasil, Belanda terus menerus meminta bantuan pasukan dari
Batavia. Hal ini membuat posisi Tuanku Imam Bonjoil menjadi semakin terjepit. Namun
Tuanku Imam Bonjol tetap melakukan perlawanan dan tidak mau menyerah.

Penangkapan Tuanku Imam Bonjol menjadi Akhir Perang Padri


Setelah sekian lamanya dikepung hingga akhirnya pada tanggal 16 Agustus 1837 benteng
Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda. Untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, Belanda
mengajak Tuanku Imam Bonjol untuk berunding di Palupuh pada bulan Oktober 1837. Di
tempat itu kemudian ia ditangkap dan oleh Belanda kemudian di asingkan di Cianjur, Jawa
Barat. Dari Cianjur, ia kemudian dibawa ke Ambon hingga kemudian dipindahkan di Lotak,
Minahasa, dekat Manado. Hingga pada tanggal 8 November 1864, ia kemudian meninggal
dunia dan dimakamkan di tempat tersebut.
Berkat perjuangannya melawan penjajah Belanda, pemerintah Belanda kemudian
mengangkay Tuanku Imam Bonjol sebagai pahlawan nasional. Ia diberi gelar sebagai
pahlawan nasional pada tanggal 3 November 1973. Untuk mengenang jasa beliau, nama
Tuanku Imam Bonjol banyak diabadika sebagai nama jalan, dan digambarkan dalam uang
pecahan 5.000 rupiah.
B. Sejarah Perjuangan Sultan Salahuddin
Nusantara kita terdiri dari ribuan pulau dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah.
Diantara pulau-pulau itu, ada sebuah pulau yang bentuknya menyerupai huruf K. Pulau itu
tidak lain adalah Pulau Sulawesi. Dahulu, pada abad ke-15 sampai abad ke-17, di bagian
pulau sulawesi terletak sebuah kerajaan yang besar dan disegani bernama kerajaan gowa.
Menurut catatan para ahli, kerajaan gowa ini didirikan pada sekitar tahun 1300 Masehi dan
dikenal serta disegani oleh bangsa Eropa kerena kebesaran dan kekuatan armada perangnnya.
Salah satu raja yang memerintah kerajaan gowa itu adalah I Mallombasi Daeng Mattawang,
Karaeng Bonto Mangape, Sultan Hasanuddin, Tumenanga ri Ballapangkana (yang meninggal
di istananya yang indah). Beliau dikenal sebagai Sultan Hasanuddin, yang dijuluki "Ayam
Jantan Dari Timur". Raja Gowa ke-16 yang memerintah kerajaan gowa tahun 1653-1669
menggantikan ayahnya Sultan Malikussaid yang memerintah pada tahun 1639-1653.
I Mallombasi, nama kecil dari Sultan Hasanuddin yang dilahirkan pada tanggal 12
Januari 1631. Ayahnya bernama I Manuntungi Daeng Mattola, Karaeng Lakiung yang
bergelar Sultan Malikussaid dan ibunya bernama I Sabbe To'mo Lakuntu, Putri bangsawan
Laikang adalah salah seorang istri Sultan Malikussaid. Sultan Hasanuddin atau I Mallombasi
mempunyai seorang saudara perempuan yang bernama I Sani atau I Patimang Daeng
Nisaking Karaeng Bonto Je'ne yang kemudian menjadi permaisuri Sultan Bima, Ambela Abul
Chair Sirajuddin. Masa Kelahiran Dan Remaja
Pada saat kelahiran dan masa kecil I Mallombasi Sultan Hasanuddin Ayahnya belum
menjadi raja Gowa. Sejak kecil Sultan Hasanuddin telah menunjukan kelebihannya dari
saudara-saudaranya yang lain. Kecerdasan dan kerajinannya dalam belajar sangat menonjol.
Walaupun Hasanuddin adalah putra bangsawan, pada masa kecilnya sangat rendah hati dan
perbuatannya selalu jujur. Dia sangat disayangi karena sifatnya itu. Pendidikannya di Pusat
Pendidikan dan Pengajaran Islam di Mesjid Bontoala membentuk Hasanuddin menjadi
pemuda yang beragama dan memiliki semangat perjuangan.
Pada umur 8 tahun, Sultan Alauddin Mangkat setelah memerintah selama 46 tahun.
Hasanuddin merasa sangat sedih sekali. Kemudian ayahnya yang mengantikan kakek Beliau
menjadi raja Gowa ke-15. Beliau dilantik pada tanggal 15 Juni 1639. Masa remaja
Hasanuddin diisi dengan kesibukan belajar dan bergaul dengan kawan-kawannya dan juga
dengan putra-putra raja Bone yang waktu itu menjadi tawanan kerajaan Gowa.
Pada usia 16 tahun Hasanuddin kerap kali hadir menyertai ayahnya dalam
perundingan-perundingan penting. Dalam kesempatan itulah I Mallombasi Sultan Hasanuddin
mulai belajar ilmu pemerintahan, diplomasi dan ilmu perang. Kecakapan dalam bidang ini
sudah menonjol, Hasanuddin juga banyak mendapat bimbingan dari ayahnya serta
mangkubumi kerajaan Gowa Karaeng Pattingaloang tokoh yang paling berpengaruh dan
cerdas. Pergaulan Hasanuddin tidak hanya dalam lingkungan bangsawan istana dan
rakyatnya, tetapi meluas kepada orang asing, melayu, bangsa portugis dan inggris yang pada
saat itu banyak berkunjung ke Makassar untuk berdagang.
Pada usia 20 tahun, Sultan Hasanuddin beberapa kali menjadi utusan mewakili
ayahnya mengunjungi kerajaan nusantara yang bersahabat, membawa titah persatuan
nusantara. Juga terutama pada daerah-daerah dalam gabungan pengawalan kerajaan Gowa,
Hasanuddin selalu mendapat tugas membawa amanat Raja Gowa yang tak lain adalah
ayahnya sendri. Menjelang umurnya 21 tahun, Sultan Hasanuddin dipercaya untuk menjabat
urusan Pertahanan Kerajaan Gowa dan banyak membantu ayahnya mengatur pertahanan guna
menangkis serangan Belanda yang saat itu mulai dilancarkan.

Penobatan Sultan Hasanuddin Menjadi Raja Gowa Ke-16


I Mallombasi bukanlah putra mahkota yang mutlak menjadi pewaris kerajaan. Apalagi
derajat kebangsawanan ibunya lebih rendah dari ayahnya. I Mallombasi diangkat menjadi raja
karena adanya pesan dari ayahnya sebelum wafat. Mangkubumi Kerajaan Karaeng
Pattingaloang juga mendukung keputusan almarhum Raja Gowa Malikussaid. Dukungan itu
diberikan karena sifat-sifat Hasanuddin yang tegas dan berani. Juga kemampuan serta
pengetahuan yang luas dan menonjol dari saudaranya yang lain. Kerajaan Gowa memang
memerlukan Raja yang berani serta bijaksana menghadapi perang dengan penjajah Belanda.
I Mallombasi Daeng Mattawang dinobatkan menjadi Raja Gowa ke-16 dengan gelar
Sultan Hasanuddin pada bulan Nopember 1653 menggantikan ayahnya pada saat beliau
berusia 22 tahun. Dua tahun setelah dinobatkan Sultan Hasanuddin kemudian menikahi I Bate
Daeng Tommi atau I lo'mo Tombong Karaeng Pabineang dan menjadi permaisurinya. I Bate
Daeng Tommi adalah putri Mangngada' Cinna Daeng Sitaba, Karaeng Pattingaloang
mangkubumi Kerajaan Gowa.

Masa Jaya Kerajaan Gowa


Lama sebelum Sultan Hasanuddin dilahirkan, Kerajaan Gowa adalah kerajaan yang
besar. Pelabuhan Makassar ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Portugis, Ingris dan
Belanda. Pada masa Sultan Alauddin memerintah, Kerajaan Gowa telah tumbuh semangat
persatuan nusantara dari kerajaan-kerajaan besar. Persahabatan akrab antara Raja Mataram di
Pulau Jawa, Sultan Aceh di Sumatra, Sultan Ternate di Maluku, Sultan Banten di Jawa Barat
dan lainnya.
Persaingan antara Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda menimbulkan ketegangan-
ketegangan keren ketiga bangsa penjajah itu masing-masing mau memonopoli perdagangan
rempah-rempah dari Maluku dan perdagangan di Malaka. Kekuatan armada perang Kerajaan
Gowa sudah terkenal kemana-mana. Persahabatan dengan Ternate, Bima, Ambon dan
kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi dan Maluku memberi kewajiban kepada armada perang
Kerajaan Gowa untuk melindungi kerajaan itu dari serangan penjajah.
Sultan Muhammad Said ayah dari Sultan Hasanuddin terkenal sebagai seorang raja
yang berani, bijaksana, hormat kepada orang tua, tahu membalas budi serta tidak mebeda-
bedakan antara bangsawan dan orang kebanyakan. Pandai bergaul dengan sesamanya raja dan
dipuji sebagai orang yang meperlakukan rakyatnya sebagai manusia. Dia bersahabat dengan
Gubernur Spanyol di Manila, Raja Muda Portugis di Goa India, Presiden di Keling
(Koromandel India), Saudagar di Masulipatan (India). Bersahabat dengan Raja Ingris, Raja
Portugal, Raja Kastilia (Spanyol) dan dengan Mufti di Mekah. Mufti inilah yang mula-mula
meberi gelar "Sultan Muhammad Said" Karena memang nama Arabnya adalah Malikussaid.

Awal Masa Perang


Perang pertama dengan Belanda terjadi pada saat Hasnuddin berumur 3 tahun. Tahun
1631 sampai 1634 armada Gowa dan Ternate saling serang dengan armada Belanda di
perairan Maluku. Tahun 1634 Raja Gowa mengirim armada terdiri dari 100 perahu perang ke
Ambon membantu rakyat Ambon melawan Belanda yang memusnahkan pohon-pohon
cengkeh dan pala di Maluku.
Raja Gowa berkewajiban melindungi kerajaan sekutunya di Ambon. Perang itu
dikenal dengan nama perang Hongi. Setahun sesudah itu belanda mengirim 12 kapal ke
perairan Makassar dan memulai menembaki benteng galesong. Untunglah setahun
sebelumnya benteng yang terbuat dari tanah itu sudah diubah dan dibuat dari batu, sedangkan
perahu dan kapal perang armada Gowa sudah meninggalkan perairan Makassar sebagai taktik
untuk menghindari bentrokan. Serangan Belanda ini gagal total.
Keinginan Kompeni Belanda untuk mengusai dan menaklukkan Gowa makin kuat.
Berbagai cara dipergunakan. Pada bulan Juni 1637 Kompeni Belanda yang dipimpin
Gubernur Jendral Anthony Van Diemen berhasil membuat perjanjian dengan Kerajaan Gowa.
Van Diemen meminta agar Raja Gowa melarang Portugis dan inggris berdagang di Makassar,
tetapi permintaan itu ditolak oleh Sultan Alauddin. Orang Belanda belum diluaskan untuk
tinggal dan menetap di Makassar. Pada waktu itu Raja Gowa menerima tamu-tamu asing di
istananya yang terdapat di dalam benteng Somba Opu.
Benteng Pertahanan
Pengepungan beberapa kali oleh kompeni Belanda terhadap pantai makassar
menambah keyakinan bahwa kompeni Belanda pada suatu saat akan menyerbu dan
melaksanakan niatnya untuk merebut dan menaklukkan kerajaan Gowa. Kompeni Belanda
memang mau memonopoli perdagangan rempah dari maluku. Sultan Hasanuddin yang waktu
itu telah sering menjadi duta dan mengurus pertahanan Kerajaan Gowa dengan dukungan
Karaeng Pattingaloang Mangkubumi Kerajaan Gowa mulai memperkuat benteng di sepanjang
pantai.
Ada tiga 3 Benteng yang diperkuat dan dipasangi meriam. Benteng Somba Opu yang
menjadi pertahanan utama, dan menjadi kediaman Sultan, tebalnya 12 kaki. Benteng ini
dipasangi meriam besar yang dijuluki "Anak Mangkasara" dan ada lebih 270 meriam-meriam
kecil lainnya. Meriam "Anak Mangkasara" ini dibuat pada tahun 1593 dengan panjang 3
meter dan garis tengah lubang mulutnya 41,5cm serta beratnya 500kg (11.000 Pound).
Selama perang antara Gowa dan Belanda berlangsung, tahun-tahun berikutnya Sultan
Hasanuddin kemudian membangun lagi benteng Mariso, Anak Gowa dan kale Gowa serta
beberapa benteng lagi di daerah Bantaeng dan juga sebuah parit yang panjangnya 3 setengah
kilometer antara Binanga Beru dan Ujung Tanah. Benteng yang memperkuat Pantai Kota
Makassar itu berjajar dari utara keselatan : Tallo (Mangngara' Bombang), Benteng
Ujungpandang atau Ford Rotterdam, Benteng Somba Opu dan Benteng Barombong. Antara
Tallo dengan Ujungpandang terdapat Benteng kecil Ujung tanah, antara Benteng
Ujungpandang dengan Benteng Somba Opu dan Benteng Barombong terdapat benteng kecil
Panakkukang, yaitu sebuah kastil kecil tempat raja beristirahat. Benteng Somba Opu, sebagai
tempat kediaman Raja, dilindungi pula oleh sebuah benteng besar di sebelah timurnya yang
bernama Anak Gowa, sedangkan di sebelah timur benteng Anak Gowa terdapat benteng
Tamalate (Het Ringmuur Van Gowa).

Masa Perang Perlawanan


Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa memiliki kewajiban untuk kerajaan sahabat-
sahabat bawahannya, mulai dari sepanjang pesisir Pulau Sulawesi sampai Maluku. Satu-
satunya halangan Belanda untuk menguasai perdagangan di Maluku adalah Kerajaan Gowa
dan armadanya. Selama lebih dari 200 tahun kedua armada ini telah saling menyerang.
Belanda memiliki kapal dan perlengkapan perang yang baik, sedangkan laskar dan pelaut
armada Kerajaan Gowa memiliki semangat juang yang tinggi dan tidak takut mati ini karena
budaya siri' na pacce telah berakar dihati sanubari para pejuang Kerajaan Gowa dan Aru atau
sumpah setia para prajurit Kerajaan Gowa.
Tahun 1645 adalah tahun yang penuh cobaan bagi Sultan Hasanuddin, belum cukup
setahun menduduki tahta, Mangkubumi yang berani dan bijaksana I Mangngada' Cinna
Karaeng Pattingaloang wafat. Cobaan ini tidaklah menyurutkan tekad Sultan Hasanuddin,
Karaeng Karunrung Putra Karaeng Pattingaloang naik menggantikan ayahnya sebagai
mangkubumi kerajaan Gowa.
Perang dua hari dengan pasukan Belanda pada April 1655 di Buton yang dipimpin
langsung oleh Sultan Hasanuddin. Benteng pertahanan Kompeni Belanda di Buton berhasil
direbut dan 35 orang Belanda terbunuh dalam peperangan ini. Belanda menyadari bahwa
perang dengan Sultan Hasanuddin telah menelan biaya yang dan kerugian yang besar, maka
diutuslah duta ke somba opu mewakili gubernur jendral belanda di Batavia. Utusan itu
bernama Willem Van der beek dan menerima perjanjian tanggal 28 Desember 1655 yang
berisi: "Pasukan Makassar yang berada di Maluku di tarik kembali, tukar menukar tawanan
perang. Belanda berjanji, bila kerajaan Gowa berperang dengan salah satu bangsa maka
kompeni Belanda tidak boleh ikut campur. Musuh Belanda bukanlah musuh Kerajaan Gowa".
Tahun 1657 Belanda mengutus lagi Willem Bastingh karena tidak senang melihat
perdagangan antara Hitu, Seram dan Makassar berjalan lancar, karena ingin memonopoli
perdagangan. Utusan itu membawa ultimatum yang bersifat mengancam kepada Sultan
Hasanuddin. Ultimatum itu dibalas dengan surat yang juga bernada keras. Sultan Hasanuddin
tidak mau menyerah. Semangatnya semakin membara, setiap benteng diperlengkapi.
Kompeni Belanda memilih perang, armada besar dipersiapkan 31 kapal perang dan 2700
tentara terlatih dipimpin oleh Johan van Dam dan dibantu oleh Johan Truytman. Peperangan
ini berlangsung selama hampir 2 tahun lamanya.
Pada tangal 12 Juni 1660 Benteng Panakkukang jatuh ketangan Belanda. Dengan
semangat lebih baik mati daripada menyerah kepada Belanda, pasukan Sultan Hasanuddin
bertempur selama dua hari, lebih dari 2000 orang portugis diusir dari Makassar dan
armadanya dihancurkan. Orang Portugis ini oleh Belanda dikirim ke Pulau Timor, dari kedua
belah pihak berjatuhan banyak korban yang tewas dan luka.
Setelah itu gencatan senjata dilakukan. Perundingan damai dilaksanakan. Karaeng
Popo dan sejumlah bangsawan kerajaan Gowa berangkat ke Batavia untuk berunding.
Hasilnya, adalah sebuah perjanjian yang merugikan Kerajaan Gowa.

Perjanjian itu bernama Perjanjian Batavia yang berisi:


 Makassar tidak boleh campur tangan soal Buton, Ternate dan Ambon. Banda, Buton,
Maluku, Manado tidak boleh didatangi oleh orang-orang Makassar.
 Orang Portugis dilarang berdagang di Makassar.
 Belanda Boleh Menetap di Makassar.
Sultan Hasanuddin terpaksa menanda tangani perjanjian itu,. Namun, perjanjian ini
tidak berlangsung lama. Belum hilang bekas perang dengan Belanda, Raja Bone melakukan
pemberontakan dengan mulai memerangi Kerajaan Gowa. La Tenri Tatta to Erung Bergelar
Arung Palakka, sahabat sepermainan Sultan Hasanuddin semasa kecil yang memimpin
pemberontakan itu. Namun, laskar kerajaan Gowa dapat mematahkan pemberontakan itu pada
tanggal 11 Oktober 1660. Arung Palakka bersama 4000 orang pasukannya menyingkir ke
Buton dan mendapat perlindungan di sana. karena pada saat itu Sultan Buton telah bersekutu
dengan Belanda.

Politik Memecah Belah


Belanda punya cara menaklukkan lawan. Kerajaan-Kerajaan Nusantara yang terpecah-
pecah diadu satu sama lain. Kedatangan Arung Palakka di Batavia disambut hangat oleh
Kompeni Belanda. Kerugian yang diderita Belanda untuk menundukkan Sultan Hasanuddin
cukup banyak dan sudah memakan waktu yang lama. Kesempatan menaklukkan Gowa sudah
terbuka, Arung Palakka bisa diadu dengan Sultan Hasanuddin. Perang saudara bisa dilakukan.
Sambutan terhadap Arug Palakka sangat meriah. Daerah Angke di Batavia diberikan untuk
tempat tinggal Arung Palakka bersama pengikutnya.
Sultan Hasanuddin sangat sedih mendengarnya. Persiapan sudah dilakukan. Benteng-
bentang sudah diperbaiki. Merian dan alat perang sudah ditambah, prajurit juga ditambah.
Sementara itu Belanda sudah mempersiapkan suatu armada besar, pukulan terakgir untuk
Kerajaan Gowa akan segera dilancarkan.
Pada tahun 1662 kapal Belanda De Walvis masuk ke perairan Makassar tanpa
pemberitahuan. Pengawal pantai mencegat dan perangpun terjadi, 16 pucuk merian disita.
Pihak Belanda menuntut pengembalian meriam itu. Belanda kemudian mulai meniupkan
perang saudara. Tahun 1664, Sultan Ternate, Sultan Buton dan Arung Palakka dikumpulkan
dalam suatu pertemuan di Batavia. Mereka harus memerangi Sultan Hasanuddin, dan Belanda
akan memberi bantuan. Sultan Hasanuddin sudah mengetahui cara Belanda itu, sikap lunak
ditunjukkan karen aperang saudara harus dihindari.
Sultan Hasanuddin mau berdamai tetapi meminta Belanda agar Bone, Buton dan
Seram tidak dianak emaskan. Akan tetapi Belanda sudah berniat untuk menghancurkan
Kerajaan Gowa. Untuk mempersiapkan perang besar melawan Belanda, Sultan Hasanuddin
harus menundukkan kerajaan yang sudah berhasil dibujuk oleh Belanda. Buton harus
dibebaskan terlebih dahulu, Sultan Hasanuddin memerintahkan untuk menyiapkan sebuah
ekspedisi ke timur. 700 buah kapal perang dan 20.000 prajurit di bawah pimpinan Laksamana
Alimuddin Karaeng Bontomarannu beserta Sultan Bima dan Raja Luwu yang telah diangkat
menjadi laksamana muda kerajaan Gowa memimpin armada tersebut.
Akhir Oktober 1666 Buton berhasil diduduki oleh Laksamana Karaeng
Bontomarannu, akan tetapi Buton dapat dibebaskan oleh armada Belanda yang dipimpin oleh
Admiral Speelman dan Arung Palakka yang ikut dalam armada itu. Belanda telah berhasil
mengadu domba antara kerajaan-kerajaan Nusantara di belahan timur sehingga saling
menyerang.

Perang Terbuka
Rapat penguasa Kolonial Belanda di Batavia tanggal 5 Oktober 1666 memutuskan
untuk segara menaklukkan Kerajaan Gowa dan merebut Makassar. Armada Belanda dipimpin
oleh Cornelius Speelman dibantu oleh Arung Palakka dan Kapten Jongker dari Manipa dan
sekutu-sekutu Belanda. Armada itu berangkat dari Batavia 24 Nopember 1666
dengankekuatan yang besarnya 21 buah kapal perang besar 600 orang tentara Belanda, 400
laskar Arung Palakka dan Kapten Jongker. Armada itu tiba di depan bentang Somba Opu
tanggal 15 Desember 1666.
Di dalam Kota Makassar di pusat Ibu Kota Gowa dan daerah di sepanjang pantai
menjadi tegang. Menunggu saat-saat penyerangan Belanda. Para pedagang asing yang
bermukim disana menghentikan kegiatannya dan membuat perlindungan. Semua meriam dan
pasukan di seluruh benteng sudah siap, bahan makanan sudah dipersiapkan untuk persiapan
perang beberapa bulan, sepanjang pantai dari Tallo sampai Bantaeng pasukan perlawanan
rakyat sudah dipersiapkan pula. Satu-satunya yang dikhawatirkan Sultan Hasanuddin adalah
pasukan Bone yang berada di dalam daerah pertahanan Gowa yang sudah memberontak, dan
armada perangnya dengan 700 kapal di bawah pimpinan Laksamana Karaeng Bontomarannu
yang masih berada di Buton.
Saat-saat tegang Speelman mengirim utusan menemui Sultan Hasanuddin, utusan itu
membawa tuntutan agar Sultan Hasanuddin menyerah saja dan membayar kerugian Belanda
dalam perang terdahulu. Tuntutan Speelman ini hanya alasan untuk memulai penyerangan.
Sultan Hasanuddin menjawab surat itu dengan berkata "Bila kami diserang, maka kami akan
mempertahankan diri dan menyerang kembali dengan segenap kemampuan yang ada. Kami
berada dipihak yang benar. Kami ingin mempertahankan kebenaran dan kemerdekaan negeri
kami." Saat yang ditunggu akhirnya tiba. Pagi buta tanggal 21 Desember 1666 Bendera merah
dikibarkan armada perang Speelman. Meriam-meriam Belanda mulai memuntahkan
pelurunya, udarapun dipenuhi asap mesiu. Semangat perlawanan para prajurit Gowa terbakar
dan menyala-nyala. Perahu kecil bersenjata menyerbu mendekati kapal perang Belanda.
Dengan dilindungi oleh hujan yang sangat lebat armada semut perahu perang milik
Kerajaan Gowa mulai menghantam dari dekat inti armada perang Speelman. Speelman
menhgundurkan diri dari Somba Opu ke selatan meninggalkan pantai. Di Laikang pantai
sebelah selatan Makassar, pasukan-pasukan pendarat Speelman dan Arung Palakka mencoba
mengadakan pendaratan. Pasukan Gowa bersama rakyat telah menanti dengan semangat
pantang menyerah.
Pasukan penjajah dibuat kocar-kacir olehnya. Tanggal 24 Desember 1666, armada
Speelman mundur dan meninggalkan pantai Laikang, berlayar ke selatan dan mendaratkan
pasukannya di Bantaeng esok harinya. Perahu-perahu dagang yang ramai dipantai waktu itu
dihantam dan ditenggelamkan. Bantaeng dan 30 desa di sekitarnya dibumihanguskan, tak
luput pula lumbung beras Kerajaan Gowa ikut dibakar. Laskar kerajaan Gowa menyerbu dan
perangpun berkecamuk Perkelahian satu lawan satu terjadi. Korban berjatuhan dikedua belah
pihak.
Setelah bertempur sehari semalam Speelman mundur dan semua pasukannya ditarik
naik ke kapal. Speelman memutuskan untuk menghadapkan Sultan Hasanuddin dengan
pasukan Raja-raja Buton, Ternate dan Bone untuk mengurangi kerugian dipihak mereka.
Kabar dari mata-mata Speelman juga memberitahukan bahwa armada inti kerajaan Gowa
dibawah pimpinann Laksamana Karaeng Bontomarannu masih berada di Buton dengan 700
kapal perangnnya. Inilah kesempatan menghancurkan kekuatan laut Sultan Hasanuddin.
Tanggal 1 Januari 1667 armada Speelman tiba di Buton dan langsung menghantam armada
Karaeng Bontomarannu yang sudah kelelahan menghadapi pasukan Buton di darat. Akhirnya
Karaeng Bontomarannu menyerah tanpa syarat kepada Speelman pada tanggal 4 januari 1667.
Kemenangan ini dirayakan Speelman. Kepada Sultan Buton, pihak Belanda memberikan
hadiah 100 ringgit setahun. Armada Speelman berlayar ke Ternate. Arung Palakka mengirim
pasukannnya sebanyak 2000 orang ke Bone untuk membentuk pasukan baru untuk persiapan
menyarang Gowa. Bulan Juni 1667 Speelman bersama Sultan Mandarsyah yang membawa
pasuka Ternate, Bacan dan Tidore bergabung dengan pasukan Arung Palakka dan Kapten
Jongker. Perang pecah tanggal 7 Juli setelah sekitar 7000 orang pasukan Gowa menyerang
tiba-tiba. Empat hari kemudian armada Belanda berlayar menuju pusat Kerajaan Gowa.
tanggal 19 Juli perairan Makassar sudah dipenuhi oleh kapal perang Belanda. Benteng Somba
Opu sudah dikepung dari laut.

Perang Menentukan
Perang yang menentukan telah tiba. Bau mesiu dan darah memenuhi udara. Benteng
Somba Opu yang menjadi pusat pertahanan utam kerajaan Gowa langsung dipimpin oleh
Sultan Hasanuddin dan Sultan Harun Al Rasyid Raja Tallo. Karaeng Bontosunggu memimpin
benteng Ujungpandang dan Karaeng Popo memimpin pertahanan di benteng Panakkukang.
Tanggal 19 Agustus 1667 pagi hari, Benteng Galesong diserang oleh meriam pasukan
Belanda, dalam serangan ini persedian beras kerajaan Gowa di Galesong berhasil dibakar
Belanda. Hari demi hari perang berkecamuk.
Diawal September 1667 Speelman memindahkan perhatiannya. Di daratan 6000 orang
pasukan Arung Palakka bersama Kapten Poolman menyerang Galesong dan Barombong.
Dengan meriam besar jarak jauh milik pasukan Gowa mengusir armada Speelman. Di darat
pasukan Arung Palakka berhasil dipukul mundur. Keadaan ini membuat Speelman meminta
bantuan dari Batavia. Belanda mengirim 5 kapal perang besar dibawah komando Kapten P.
Dopun. Tanggal 22 Oktober 1667 Armada Speelman dan Dupon mengepung rapat Makassar.
Dengan meriam-meriam besar, benteng Barombong dibobol. Pasukan Speelman didaratkan di
Galesong dibantu Arung Palakka. Somba Opu dikepung dari laut maupun darat. Terjadi
pertempuran yang sangat sengit antara Gowa dan pasukan Bone, Ternate, Buton dan Maluku,
korban berjatuhan dari bangsa sendiri yang diadu oleh Belanda. Kedua belah pihak sudah
sangat kelelahan. Tanggal 5 Nopember 1667 Speelman melapor ke Batavia bahwa
pasukannya sudah sangat lelah, semangat tempur merosot. 182 serdadu dan 95 matros jatuh
sakit. Pasukan Buton, Ternate dan Bugis juga diserang sakit perut. Speelman minta dikirimi
lagi perlengkapan dan prajurit.
Pasukan Sultan Hasanuddin juga mengalami hal serupa. Pertempuran selama berbulan
dan pengepungan benteng sangat mencemaskan dan merisaukan Sultan Hasanuddin. Setelah 4
hari bertempur, benteng Barombong direbut Belanda, tetapi semangat semangat prajurit Gowa
masih membara. Sultan Hasanuddin masih mampu meneruskan perang. Sultan Hasanuddin
dikenal arif dan bijaksana. Beliau merasa sedih karena harus bertempur melawan keluarga
sendiri. Arung Palakka La Tenri Tatta to Erung sudah seperti saudara kandung sendiri.
Speelman kemudian mengusulkan perdamaian. Sultan Hasanuddin mempertimbangkan
bahwa pertumpahan darah di kalangan orang Makassar dan Bugis harus segera dihentikan.
Meneruskan perang hanya akan menguntungkan Belanda. Perundingan antara Speelman dan
Sultan Hasanuddin diadakan di Bungaya dekat benteng Barombong yang sudah direbut
Belanda. Setalah berkali-kali berunding, maka pada hari Jum'at tanggal 18 November 1667,
tercapailah suatu perjanjian perdamaian yang dikenal sebagai "Cappaya Ri Bungaya" atau
perjanjian Bungaya. Perjanjian ini tidak berlangsung lama karena memberatkan kerajaan
Gowa. Benteng Ujungpandang diserahkan kepada Speelman dan diganti namanya menjadi
"Fort Rotterdam". Speelman juga mempersiapkan benteng ini untuk bertahan dan menyerang,
karena keyakinannya bahwa perjanjian Bungaya akan segera batal.
Perang Terakhir
Raja Tallo Sultan Harun Al Rasyid, Karaeng Lengkese, dan Arung Matowa Wajo tidak
menerima perjanjian Bungaya. Pasukannya ditarik, tekad mereka tetap. "Hanya Mayat yang
bisa menyerah". Karaeng Karunrung mendesak Sultan Hasanuddin membatalkan Perjanjian
Bungaya. Akhirnya perang pecah kembali tanggal 21 April 1668. Karaeng Karunrung
menyerang benteng Ujungpandang (Fort Rotterdam). Hari demi hari bulan demi bulan perang
terus berkecamuk. Dalam catatan buku harian Speelman tertulis antara lain: "Pertempuran
berlangsung sengit. Banyak orang Belanda mati atau luka, Arung Palakka juga menderita
luka. Setiap hari 7 atau 8 orang serdadu Belanda dikuburkan. Speelman jatuh sakit. 5 orang
dokter, 15 pandai besi tewas.
Tenaga bantuan dari Batavia hanya 8 orang yang masih sehat. Dalam tempo 4 minggu,
139 orang mati dalam benteng Ford Rotterdam dan 52 orang tewas di kapal". Sultan
Hasanuddin memerintahkan untuk melakukan perbaikan kembali benteng yang rusak. Tanggal
5 Agustus 1668, Karaeng Karunrung membawa pasukannya menyerbu Fort Rotterdam. Pada
serangan ini Arung Palakka nyaris tewas. Speelman meminta bantuan dari Batavia. Pasukan
dan peralatan perang dari Batavia tiba pada bulan April 1669. Meriam besar dibuat dan
larasnya diarahkan ke benteng Somba Opu. Parit-parit pertahanan ke benteng Somba Opu
sudah dibuat, persiapan Belanda sudah matang. Akhirnya pada tanggal 15 Juni 1669 pasukan
Speelman menyerang benteng Somba Opu. Pertempuran berlangsung siang dan malam.
Meriam Belanda menembakkan lebih 30.000 biji peluru ke benteng Somba Opu. Patriot
kerajaan Gowa tetap memberikan perlawanan yang gigih atas serangan Belanda dan hujan
peluru.
Setelah perang selama selama 10 hari siang dan malam, maka pada tanggal 24 Juni
1669 seluruh benteng Somba Opu dikuasai Belanda. Tdak kurang 272 pucuk meriam besar
dan kecil termasu meriam keramat "Anak Mangkasara" dirampas Speelman. Sultan
Hasanuddin mundur ke benteng Kale Gowa di Maccini Sombala dan Karaeng Karunrung
meninggalkan istananya di Bontoala mundur ke Benteng Anak Gowa. Benteng Somba Opu
kemudian diratakan dengan tanah, beribu-ribu kilo amunisi meledakkan benteng yang
tebalnya 12 kaki ini. Udara merona merah dan tanah seakan gempa. Mayat-mayat
bergelimpangan dimana-mana. Hangus dibakar ledakan mesiu dan api yang menjilat. Seluruh
Istana Somba Opu dihancurkan. Sultan Hasanuddin kalah perang, tetapi menurut pengakuan
Belanda, pertempuran inilah yang paling dahsyat dan terbesar serta memakan waktu yang
paling lama dari yang pernah dialami Belanda dibumi Nusantara waktu itu. Sultan
Hasanuddin dan Pasukannya dijuluki "Ayam Jantan Dari Timur" karena semangatnya yang
pantang mundur. Turun Tahta Dan Wafat Setelah kekalahan yang diderita Kerajaan Gowa dan
mundurnya Sultan Hasanuddin dari benteng Somba Opu ke benteng Kale Gowa, maka usaha
Speelman memecah belah persatuan kerajaan Gowa terus dilancarkan. Usaha ini berhasil,
setelah diadakan "pengampunan umum". Siapa yang mau menyerah diampuni Belanda.
Beberapa pembesar kerajaan menyatakan menyerah. Karaeng Tallo dan Karaeng Lengkese
menyatakan tunduk pada Perjanjian Bungaya.
Sultan Hasanuddin sudah bersumpah tidak akan sudi bekerja sama dengan penjajah
Belanda. Pada tanggal 29 Juni 1669 Sultan Hasanuddin meletakkan jabatan sebagai Raja
Gowa ke-16 setelah selama 16 tahun berperang melawan penjajah dan berusaha
mempersatukan kerajaan Nusantara. Sebagai penggantinya ditunjuk putranya I Mappasomba
Daeng Nguraga Bergelar Sultan Amir Hamzah. Sesudah turun tahta, Sultan Hasanuddin
banyak mencurahkan waktunya sebagai pengajar Agama Islam dan berusaha menanamkan
rasa kebangsaan dan persatuan. Pada hari Kamis tanggal 12 Juni 1670 bertepatan dengan
tanggal 23 Muharram 1081 Hijriah. Sultan Hasanuddin wafat dalam usia 39 tahun. Beliau
dimakamkan disuatu bukit di pemakaman Raja-raja Gowa di dalam benteng Kale Gowa di
Kampung Tamalate. I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Sultan
Hasanuddin Tumenanga Ri Balla'Pangkana telah tiada. Tetapi semangatnya tetap berkobar di
dada setiap insan bangsa yang mendambakan perdamaian dan kebebasan di Bumi Pancasila
ini. Nama Sultan Hasanuddin abadi dalam dada. Menghormati jasanya dengan mengabadikan
namanya menjadi nama jalan pada hampir disetiap Kota di Nusantara. Universitas
Hasanuddin sebagai salah satu universitas terkemuka di INdonesia bagian Timur,
mempergunakan namanya dan memakai lambangnya "Ayam Jantan Dari Timur". Komando
Daerah Militer (KODAM) XIV Hasanuddin mengabadikan namanya dan menjadikan
semboyannya "Abbatireng Ri Pollipukku" (setia pada Negeriku). Dan dengan keputusan
Presiden RI No. 087/TK/1973 Tanggal 6 November 1973, Sultan Hasanuddin dianugerahi
gelar Pahlawan Nasional, untuk menghargai jasa-jasa kepahlawanannya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tuanku Imam Bonjol terkenal ketika ia melakukan perlawanan terhadap penjajah
Belanda dalam perang Padri. Perang Padri merupakan perang terlama yang berlangsung dari
tahun 1803 hinggan 1838 yang melibatkan sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak.
Pada awalnya perang tersebut dikenal sebagai perang saudra di Sumatera, Perang tersebut
terjadi karena adanya pertentangan antara kaum Padri dengan kaum dari kerajaan padaruyung.
Dalam perang ini kaum Padri menginginkan agar hukum di daerahnya dijalankan sesuai
dengan syariat Islam yang berpegang teguh pada Al-1uran dan Sunnah nabi MUhammmad
SAW. Terjadinya perang Padri karena masyarakat disana masih memiliki kebiasaan buruk
seperti melakukan perjudian, sabung ayam, penggunaan madat, minuman keras serta hukum
yang terlalu longgar, padahal masyarakat disana sudah banyak yang beragama Islam. Karena
tidak adanya kesepakatan antara kedua pihak, sehinggan meletuslah perang Padri yang
terkenal.
I Mallombasi, nama kecil dari Sultan Hasanuddin yang dilahirkan pada tanggal 12
Januari 1631. Ayahnya bernama I Manuntungi Daeng Mattola, Karaeng Lakiung yang
bergelar Sultan Malikussaid dan ibunya bernama I Sabbe To'mo Lakuntu, Putri bangsawan
Laikang adalah salah seorang istri Sultan Malikussaid. Sultan Hasanuddin atau I Mallombasi
mempunyai seorang saudara perempuan yang bernama I Sani atau I Patimang Daeng
Nisaking Karaeng Bonto Je'ne yang kemudian menjadi permaisuri Sultan Bima, Ambela Abul
Chair Sirajuddin. Masa Kelahiran Dan Remaja

B. Saran
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat banyak
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang membangun dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Peranginangin,Marlon dkk,.(2007). Buku Pintar Pahlawan Nasional. Batam: Scientific Press.


Buku Riwayat Perjuangan Sultan Hasanuddin Raja Gowa XVI | Oleh Moh. Alwi | Penerbit
Bhakti Baru Sejarah Gowa - Abdurrazak Dg. Patunru | Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan
dan Tenggara Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah | Prof. Dr. Mattulada |
Bhakti Baru Berita Utama 1982

Anda mungkin juga menyukai