Anda di halaman 1dari 39

SEJARAH NAMA

JALAN DI KOTA
BANDUNG
MTH, DZULHIJJAH 1440 H
ASAL NAMA “BANDUNG”
Ada beberapa versi

1. Bandung berasal dari kata bendung atau bendungan karena terbendungnya sungai
Citarum oleh lava Gunung Tangkuban Perahu yang lalu membentuk telaga.
2. Adapun legenda yang menceritakan "Bandung" diambil dari sebuah kendaraan air yang
terdiri dari dua perahu yang diikat berdampingan yang disebut perahu bandung. Perahu ini
digunakan oleh Bupati Bandung, R.A. Wiranatakusumah II, untuk melayari Citarum dalam
mencari tempat kedudukan kabupaten yang baru untuk menggantikan ibukota yang lama
di Dayeuhkolot.
3. Ada juga sejarah kata "bandung" dalam bahasa Indonesia, identik dengan kata "banding"
berarti berdampingan. Ngabanding (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan.
4. Sedangkan, berdasarkan filosofi Sunda, kata "bandung" berasal dari kalimat "Nga-
Bandung-an Banda Indung," yang merupakan kalimat sakral dan luhur karena
mengandung nilai ajaran Sunda. Kata Bandung mempunyai nilai filosofis sebagai alam
tempat segala makhluk hidup maupun benda mati yang lahir dan tinggal di Ibu Pertiwi
yang keberadaanya disaksikan oleh yang Maha Kuasa.
MOMENT PENTING KOTA BANDUNG
1) AKHIR TAHUN 1808/AWAL TAHUN 1809
Bupati Wiranatakusumah II (memerintah sejak tahun 1794-1829) beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Krapyak
(kini Dayeuhkolot) mendekati lahan bakal ibukota baru. Mula-mula bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti),
kemudian pindah ke Balubur Hilir, selanjutnya pindah lagi ke Kampur Bogor (Kebon Kawung, pada lahan
Gedung Pakuan sekarang).
2) 25 SEPTEMBER 1810
Pemerintahan kolonial Hindia Belanda, melalui Gubernur Jenderalnya waktu itu Herman Willem Daendels,
mengeluarkan surat keputusan tanggal 25 September 1810 tentang pembangunan sarana dan prasarana untuk
kawasan ini. Dikemudian hari peristiwa ini diabadikan sebagai hari jadi kota Bandung.
3) 1 APRIL 1906
Pada tanggal ini Kota Bandung secara resmi mendapat status Gemeente (kota) dari Gubernur Jenderal J.B. van
Heutsz dengan luas wilayah waktu itu sekitar 900 ha, dan bertambah menjadi 8.000 ha pada tahun 1949, sampai
terakhir bertambah menjadi luas wilayah saat ini.
4) 24 MARET 1946
Terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api, untuk mencegah tentara Sekutu dan NICA Belanda menggunakan kota
Bandung sebagai markas strategis militer. Tentara Republik Indonesia (TRI) di bawah kepemimpinan Kolonel
Abdul Haris Nasution sebagai Komandan Divisi III (atau saat ini bernama) Kodam III Siliwangi memerintahkan
operasi Bumi Hangus. Peristiwa ini terjadi selama 7 jam, 200 ribu warga membakar rumah mereka dan
mengungsi. Moh Toha dan Moh Ramdan menjadi syuhada yang meledakkan gudang senjata di Dayeuhkolot.
5) 18 APRIL 1955
Bertempat di Gedung Merdeka yang dahulu bernama Societeit Concordia (Jl. Asia Afrika sekarang)
berseberangan dengan Hotel Savoy Homann, diadakan untuk pertama kalinya Konferensi Asia-Afrika.
BANDUNG CALON IBUKOTA
HINDIA BELANDA
Banyak alasan dan pertimbangan kenapa pusat pemerintahan akan dipindahkan ke Bandung. Keputusan itu
telah diambil Negeri Belanda setelah melalui berbagai penelitian dan kajian.

Salah satu yang memicu perpindahan itu adalah penelitian yang dilakukan oleh HF Tillema, seorang penilik
kesehatan lingkungan dan apoteker yang tinggal di Semarang. Dalam laporannya Tillema menyimpulkan kota-
kota pelabuhan di pantai Jawa adalah kawasan yang tidak sehat.

Hal itu dipengaruhi oleh banyaknya rawa yang menyebabkan kerentanan terhadap penyakit. Selain itu, kota-kota
pelabuhan di Pantai Jawa juga memiliki hawa yang panas dan lembab. Akibatnya penghuninya mudah
berkeringat, susah bernapas, dan membuat badan cepat lelah.

Penelitian Tillema itu juga memuat Batavia juga memiliki kecenderungan itu, tanpa kecuali. Tillema menyebutkan
Batavia saat itu sudah tidak layak dan tidak memenuhi persyaratan sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda.
Maka tidak mengherankan dalam rekomendasinya, Tillema mengusulkan Bandung menjadi kota pilihan untuk
menggantikan Batavia.

Itulah cuplikan kecil tentang Bandung dari buku kanon: Wajah Bandung Tempo Doeloe karya Haryoto Kunto.
Buku itu terbit kali pertama pada 1984. Salah satu buku penting tentang sejarah Bandung.
https://www.merdeka.com/peristiwa/menilik-bandung-sebagai-calon-ibu-kota-hindia-belanda.html
BANDUNG CALON IBUKOTA
HINDIA BELANDA
Pilihan Bandung menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu, karena dipengaruhi karena iklimnya
yang lebih sejuk dari Batavia. Selain itu, pilihan Bandung juga dipengaruhi karena bentuk topografinya yang
berbentuk cekungan dengan daratan yang luas di bagian tengah dan dikelilingi oleh pegunungan dan
perbukitan.

Kondisi perang dunia saat itu lebih banyak menentukan lokasi pusat pemerintahan dari sisi strategi militer.
Dengan adanya pegunungan dan perbukitan yang terjal sudah bisa dijadikan menjadi benteng alam untuk
berlindung dari serangan musuh. Belum lagi lokasi Bandung yang jaraknya tidak begitu jauh dari Batavia.

Setelah mendapat persetujuan dari berbagai pihak, mulailah dibangun gedung-gedung yang dipersiapkan untuk
pemerintahan dan kamp-kamp untuk pertahanan militer. Salah satunya pada 27 Juli 1920 dengan dilakukannya
peletakan batu pertama Gedung Sate, salah satu gedung termegah di Hindia Belanda saat itu.

Selain pembangunan gedung-gedung. Pemerintah Kolonial Belanda juga mulai melakukan pemindahan kantor-
kantor pusat pemerintahan lainnya. Seperti Jawatan Kereta Api Negara, Jawatan Geologi, Jawatan Metrologi,
Departement van Geouvernements Bedrijven atau Departemen Pekerjaan Umum dan Pengairan.

Setelah semua fasilitas kebutuhan pusat pemerintahan dan militer Hindia Belanda di Bandung selesai hingga
1940-an. Belum ada data dan arsip pasti akan kepindahan ibu kota pemerintahan Hindia Belanda dari Batavia ke
Bandung.
https://www.merdeka.com/peristiwa/menilik-bandung-sebagai-calon-ibu-kota-hindia-belnda.html
BANDUNG : UTARA - SELATAN
Sejak masa pemerintahan kolonial Belanda, sejak Daendels dan para penerusnya, ada aturan
rasialis yang tegas : PRIBUMI TIDAK BOLEH MENGGUNAKAN JALAN RAYA POS (kini Jl Sudirman,
Jl Asia Afrika, Jl A Yani). Jalan itu hanya boleh digunakan oleh orang Eropa, Jepang, dan timur asing
lainnya : Tionghoa dan Arab.

Orang-orang Eropa banyak mendirikan vila-vila di kawasan utara (sebelah utara Jalan Raya Pos/Asia
Afrika). Pada tahun 1906, kawasan utara Bandung ditetapkan sebagai kota di bawah kepemimpinan
seorang wali kota Belanda. Sementara Bupati Bandung mengurusi urusan-urusan pribumi dengan
wilayah di sebelah selatan Jalan Raya Pos ditandai dengan berdirinya Pendopo dan Masjid Agung.
Kawasan Utara identik dengan kawasan elit, bersih, tertib dan indah dengan banyak taman kota,
sedangkan Selatan identik dengan kemiskinan, kebodohan dan jorok.

Di era perang kemerdekaan, Bandung juga dibagi dua, namun garis pembatasnya bukan lagi Jalan
Raya Pos tapi REL KERETA API. Sisi selatan rel kereta api menjadi wilayah kaum republik,
sementara sisi utara menjadi wilayah sekutu. Di sepanjang rel kereta waktu itu kerap terjadi aksi
saling tembak menembak antara milisi Indonesia dengan tentara sekutu.

https://www.dw.com/id/bandung-si-kota-kembang-dengan-wajah-kolonialisme/a-44565819
Jalan Raya Pos (bahasa Belanda : De Grote Postweg) adalah jalan yang panjangnya kurang lebih 1000 km
yang terbentang sepanjang utara Pulau Jawa dari Anyer sampai Panarukan. Dibangun pada masa
pemerintahan Gubernur-Jenderal Herman Willem Daendels. Tujuan pembangunan Jalan Raya Pos adalah
memperlancar komunikasi antar daerah yang dikuasai Daendels di sepanjang Pulau Jawa dan sebagai
benteng pertahanan di Pantai Utara Pulau Jawa menghadapi Inggris. Dengan tangan besinya jalan itu
diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja (1808). Suatu prestasi yang luar biasa pada zamannya. Karena
itulah nama Daendels dan Jalan Raya Pos dikenal dan mendunia hingga kini.
Didirikan per 27 Juli 1920, awalnya sebagai Pusat Pemerintahan Hindia Belanda
Ornamen 6 “tusuk sate” bermakna 6 Juta Gulden, jumlah biaya pembangunan Gedung Sate/Gedung Gebe
LP Sukamiskin
Alun-alun Bandung dan Masjid Raya Bandung (pertama dibangun tahun 1810)
JALAN DALEM KAUM
Jalan yang berada tepat di sebelah selatan Masjid Raya
Bandung ini awalnya bernama Moskee weg (Jalan Masjid),
pada periode kebangkitan bangsa (1900-1928) nama
Moskee weg ini sangat terkenal. Popularitasnya bahkan
mampu menyaingi Braga weg.

Dalem Kaum sendiri adalah gelar atau nama lain dari R.A.
Wiranatakusumah II, bupati Kabupaten Bandung ke-6, yang
juga dikenal sebagai founding father kota Bandung, yang Raden Adipati Wiranatakusumah II

makamnya juga berada di jalan ini. Nama Dalem biasanya


diberikan kepada seorang menak Priangan setelah ia
meninggal. Julukan Dalem Kaum juga diperoleh karena
letak makamnya yang berada di daerah Kauman, yaitu
wilayah di sekitar masjid yang penduduknya mayoritas
beragama Islam.

Walikota Bandung, Mang Oded berziarah ke makam


Dalem Kaum, pendiri Kota Bandung
JALAN NARIPAN
Naripan ternyata adalah seorang nama orang biasa. Bukan
pahlawan apalagi kalangan pejabatan dan kerajaan. Ia hanyalah
seorang pengusaha asal Betawi yang memiliki usaha
menyewakan Bendi (sejenis kereta kuda yang biasanya dihias
indah). Pada zaman itu para Menak Bandung (Kaum Bangsawan
di Kota Bandung) jika ingin mencari kereta kuda seperti Bendi
yang sangat bagus dan mewah biasanya membeli pada Firma
Hallerman yang ada di sepanjang jalan Braga.

Sementara bagi kaum bangsawan yang low budget atau memang


tidak ingin membeli Bendi, biasanya hanya menyewa pada Bang
Gedung Denis (sekarang sudah bertransformasi menjadi gedung
Naripan. Seorang lelaki asal Betawi yang membukan usahanya di Bank BJB) di jalan Naripan. Yang merobeknya pun adalah tiga
orang pemuda yang namanya masih melekat di setiap benak
jalan tersebut. Karena memang pada saat itu lebih banyak yang masyarakat Bandung. Yakni, Mulyono, Bari Lukman, dan serta
menyewa daripada membeli Bendi, nama pemilik penyewaan seorang lagi bernama Muhammad Endang Karmas.

Bendi (Bang Naripan) lebih dikenal orang. Sehingga jalan tersebut


lebih dikenal dengan sebutan Naripan hingga pada akhirnya Di jalan ini telah lahir Koran Pribumi pertama di
Pemerintah Bandung menetapkan jalan tersebut dengan nama Indonesia. Medan Prijaji namanya. Koran milik
Jalan Naripan karena sudah biasa disebut masyarakat. pribumi ini lahir di Gedung YPK (Yayasan Pusat
Kebudayan) saat ini.
JALAN DIPATI UKUR
Jadi sebenarnya namanya adalah Wangsanata. Dikenal dengan nama Dipati Ukur karena ia
adalah seorang Bupati pada saat itu. Dipati memiliki arti Bupati (di zaman sebelum
kemerdekaan). Sedangkan Ukur berasal dari kata Tatar Ukur. Yakni nama daerah yang dalam
bahasa Sunda berarti tanah atau wilayah. Karena itulah Wangsanata dikenal dengan sebutan
Dipati Ukur.

Wangsanata atau Dipati Ukur ini mulai dikenal sosoknya setelah berusaha melepaskan tanah
Bandung dari jajahan Mataram. Karena pada saat itu Mataram lebih kuat daripada Belanda
yang masih lemah dalam hal militer. Wangsanata menjadi Dipati Ukur setelah menikahi putri
Dipati Ukur Agung (Dipati Ukur sebelumnya. Oleh karena itu banyak riwayat yang mengatakan
bahwa Dipati Ukur itu berjumlah lebih dari 1. Iya karena Dipati Ukur adalah jabatan. Bukan
nama seseorang).

Dipati Ukur Wangsanata dikenal sebagai seorang sosok yang heroik. Ia berhasil menggalang
massa dari tanah Pasundan agar semua kerajaan di Pasundan berjuang melepaskan diri dari
Mataram, dan tidak tunduk kepada Mataram.
JALAN ABC
Jalan di sebelah utara Alun-alun ini kini terkenal sebagai pusat elektronik. Dulu sekitar tahun
1917, di Bandung diberlakukan kewajiban membangun pemukiman mengelompok secara etnis.
Kemudian pada tahun 1926 Pemerintah mengatur lagi penggolongan menjadi 3 golongan,
yakni Eropa, Bumiputera, dan Timur Asing (Tionghoa, Arab dan India). Golongan Timur Asing
ditempatkan di sebelah selatan stasiun kereta api Bandung dan di sekeliling Pasar Baru.

Jejak keberhasilan para saudagar ini termonumenkan menjadi jalan-jalan di seputaran area ini
seperti Jalan Al Katiri, Gang Al Jabri, Jalan Tamim, Jalan Encek Azis, Jalan Soeniaradja,
Pecinan, dll

Jalan ABC menjadi tempat bercampurnya etnis-etnis tersebut, yaitu Arabieren (A), Boemipoetra
(B) dan Chinezen (C). Sejak tahun 1892 nama ABC Straat (Jalan ABC) sudah dipetakan dalam
Map of Bandoeng: The Mountain City of Netherland Hindia. Di sini juga terdapat toko terkenal
waktu itu yaitu Toko ABC.
JALAN LINGKAR SELATAN
Di bagian selatan Kota Bandung, terdapat sebuah jalan yang melingkar mulai dari Ujung Jl.
Jamika hingga tembus ke Jl. Jenderal Ahmad Yani, jalan ini dikenal dengan nama Jl. Lingkar
Selatan. Namun kini walaupun nama tersebut masih melekat di benak warga Bandung,
sebenarnya Jl. Lingkar Selatan telah dipecah menjadi 4 bagian.

Nama-nama jalan tersebut adalah :


1. Jl. PETA (mulai dari ujung Jl. Jamika hingga perempatan Tegallega)
2. Jl. BKR (mulai dari perempatan Tegallega hingga perempatan Jl. Buah Batu)
3. Jl. Pelajar Pejuang 45 (mulai dari perempatan Jl. Buah Batu hingga perempatan Jl.Jenderal
Gatot Soebroto)
4. Jl. Laswi (mulai dari perempatan Jl. Jenderal Gatot Soebroto hingga perempatan Jl.
Jenderal Ahmad Yani dan Jl. L.L.R.E Martadinata).

Keempat nama jalan tersebut dinamakan berdasarkan wadah-wadah perjuangan rakyat yang
ikut serta membela dan mempertahankan keamanan rakyat Indonesia. Selain itu, lokasi sekitar
di mana keempat jalan tersebut berada memang menjadi pusat pertahanan dan keamanan.
Laskar Wanita Indonesia (LASWI) adalah badan pergerakan dan perjuangan kaum perempuan yang
berkontribusi dalam era menegakkan Republik Indonesia. Laswi merupakan organ afiliasi Musyawarah
Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) yang sebelumnya bernama Markas Dewan Pimpinan
Perjuangan (MDPP), yang mengkoordinir 61 kesatuan perjuangan di seluruh Jawa Barat. Laswi dibentuk
pada 12 Oktober 1945 oleh Sumarsih Subiyati biasa dipanggil Yati Aruji, istri Arudji Kartawinata,
komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Divisi III Jawa Barat yang kelak menjadi Divisi
Siliwangi Anggota Laswi beragam, dari gadis, ibu rumah tangga hingga janda, umumnya berusia 18 tahun
ke atas.
LAPANGAN GASIBU
Menurut buku Album Bandung Tempo Doeloe karya Sudarsono Katam, pada zaman
Belanda, lapangan di depan Gedung Sate itu awalnya bernama Wilhelmina Plein
(Lapangan Wilhelmina), nama dari Ratu Belanda. Sekitar 1950-an, nama lapangan
berganti menjadi lapangan Diponegoro.

Namun karena sering digunakan oleh perkumpulan sepak bola Bandung Utara,
masyarakat akhirnya mengenal lapangan itu sebagai GASIBU (Gabungan Sepak Bola
Indonesia Bandung Utara). Untuk mengelolanya, saat itu dibentuk panitia kecil yang
terdiri dari PORL (Persatuan Olahraga Rukun Luyu dari Balubur), PAKSI dari Sekeloa,
PORAS dari Sadang Serang, Lapangan ini sempat menjadi tempat tinggal liar pada
tahun 1960-an. Pemerintah kemudian mengembalikan fungsinya sebagai tempat
berlatih sepak bola.
PASAR BARU BANDUNG
Pasar Baru saat ini sebenarnya dulu merupakan
lokasi pengganti pasar lama di daerah Ciguriang
(sekitar pertokoan Kings, Jalan Kepatihan sekarang)
yang terbakar akibat kerusuhan Munada pada tahun
1842. Di sekitar kawasan Kepatihan memang masih
dapat ditemukan ruas jalan kecil bernama
Ciguriang. Waktu itu Munada dendam pada tuannya
dan membakar pasar lama ini.

Untuk menampung para pedagang yang tercerai


berai serta aktivitas pasar yang tidak teratur, maka
pada tahun 1884 lokasi penampungan baru mulai
dibuka di sisi barat kawasan Pecinan. Kawasan
inilah yang kemudian dikenal hingga hari ini sebagai
kawasan Pasar Baru.
JALAN CIBADUYUT
Apakah nama Cibaduyut ada hubungannya dengan icon sepatu?
Ternyata eh ternyata, menurut sesepuh masyarakat sekitar,
nama Cibaduyut ternyata adalah karena banyaknya tumbuhan
bernama Baduyut yang tumbuh di daerah sana.

Sedangkan Cibaduyut sendiri pun sebenarnya berasal dari dua kata,


yakni Ci dan Baduyut. Dimana Ci atau Cai adalah air, karena memang
tumbuhan Baduyut ini selalu tumbuh disekitar tanah yang basah oleh air.
Dari sinilah masyarakat sekitar menyebut daerahnya dengan
sebutan Cibaduyut.

Baduyut itu adalah sejenis tanaman merambat yang dari klasifikasinya


masuk keluarga dari Cucurbitaceae. Jadi masuk satu keluarga dengan
mentimun, melon, maupun semangka. Kalau nama latinnya sih
Baduyut ini biasa disebut Trichosanthes villosa Blume. Buahnya memiliki
warna hijau agak putih saat mentah, dan ketika masak berwarna kuning
pucat dengan adanya garis putih. Daging buahnya berwarna putih yang
memiliki rasa sangat manis.
JALAN LENGKONG
Zaman dahulu kala, Bandung bukan merupakan sebuah kota
yang ramai seperti sekarang ini. Kawasan yang ditinggali oleh kita
sekarang ini merupakan sebuah danau raksasa yang diceritakan
bernama Danau Bandung Purba.

Di beberapa titik area danau ada beberapa cekungan yang


menjorok ke daratan yang kita kenal sebagai teluk. Konon
keberadaan teluk inilah yang menginisiasi sejarah asal mula nama
Jl. Lengkong di Bandung.

Lengkong dalam Bahasa Indonesia memiliki artian Teluk. Di


Bandung, Jl. Lengkong dibagi menjadi dua bagian yaitu Jl.
Lengkong Besar dan Jl. Lengkong Kecil. Bila Jl. Lengkong Besar
membentang dari Jl. Tamblong hingga Jl. Cikawao, Jl. Lengkong
Kecil membentang dari perempatan Jl. Lengkong Besar dan Jl.
Dalem Kaum hingga ke Jl. Sunda.
JALAN TAMBLONG

Dulu sekitar tahun 1874, hanya ada enam


keluarga Tionghoa saja yang ada di Bandung.
Orang Tionghoa pertama yang tinggal menetap
di Bandung bernama Tam Long, keluarga
tersebut berprofesi sebagai tukang meubeul.
Akhirnya nama jalan yang kini membentang dari
ujung Jl. Sumatra hingga Jl. Lengkong Besar ini
diberi nama Jalan Tamblong. Sebelumnya, Jalan
Tamblong dikenal dengan nama Jl. Akip Prawira
Suganda.

Pada tahun 1997, H. Ali Karim seorang muslim


keturunan Tionghoa mendirikan masjid bernama
Masjid Lautze 2, untuk membedakan dengan
Masjid Lautze yang berdiri di Jakarta.
JALAN BANCEUY

Dulu, sebelum adanya kendaraan bermotor di


kawasan Banceuy (Bantjeuyweg), kawasan ini
pernah dijadikan tempat peristirahatan dan
tempat mengganti kuda. Di situ pula para kusir
kereta bisa mendapakan bantuan air (cai)
minum untuk kuda-kudanya, yang dalam
bahasa Sunda “bantuan cai”. Dari situlah
diserap kata Banceuy.

Kandang kuda tersebut bersebelahan dengan


penjara di mana Presiden R.I pertama dibui
karena dianggap memberontak Pemerintah
Kolonial Belanda. Penjara tersebut pun diberi
nama Banceuy.
JALAN KEBON KAWUNG

Jalan Kebon Kawung terletak tepat berada di


kawasan bagian muka Stasiun Bandung yang
menghadap ke arah utara. Penamaan jalan ini
berdasarkan adanya sebuah kebun yang
ditanami banyak pohon kawung (aren) di
kawasan tersebut.

Kini pohon kawung memang sudah nyaris tak


dapat ditemui di jalan ini, namun bila kita masuk
ke salah satu gang, kita dapat menemukan satu-
satunya pohon kawung yang tersisa yang
menjadi bagian dari sejarah kawasan ini.

Stasiun Bandung
JALAN INGGIT GARNASIH
Jalan ini kini dikenal dengan nama Jl. Ibu Inggit Garnasih
untuk mengenang jasa istri ke-2 Presiden RI yang pertama
ini. Ibu Inggit Garnasih memang dikenal pernah tinggal di
salah satu rumah yang berada di jalan tersebut. Kini rumah
bersejarah tersebut telah dijadikan salah satu cagar
budaya masih dengan bentuk dan lokasi lamanya yang
masih utuh. Rumah Bersejarah Ibu Inggit Garnasih dapat
dikunjungi oleh siapa saja dan tanpa dipungut biaya.

Sebelum menjadi Jl. Ibu Inggit Garnasih, ruas jalan ini lebih
familiar dengan nama Jl. Ciateul. Bahkan sampai sekarang
pun warga Bandung masih lebih suka menyebutnya
dengan Jl. Ciateul. Penamaan nama jalan tersebut
berkenaan dengan pernah terjadinya banjir di daerah
tersebut yang airnya menyebabkan gatal-gatal bila
disentuh kulit. Dalam Bahasa Sunda sendiri ‘ci’ memiliki arti
‘air’, sedangkan ‘memiliki arti ‘gatal’. Jadi arti nama Ciateul
adalah ‘air yang gatal.’
JALAN BUAH BATU
Ribuan tahun yang lalu, tentunya Kota
Bandung tidak seperti sekarang. Kota yang
dikenal dengan julukan Kota Kembang ini
merupakan sebuah danau raksasa yang
disebut dengan Danau Bandung Purba.
Setelah danau tersebut surut, sisa-sisa dasar
danau yang berbentuk cekungan-cekungan
kecil masih tampak tergenang air.

Dari beberapa cekungan tersebut, terdapat


sebuah telaga yang penuh dengan batu
namun ditumbuhi dengan pohon mangga di
sekitarnya. Melihat kondisi tersebut, warga
yang tinggal di sekitar kawasan tersebut
spontan saja menyebutnya dengan Buah
Batu (Buah merupakan sebutan Bahasa
Sunda dari Mangga).
JALAN ASIA AFRIKA
Jalan Asia Afrika memiliki kaitan yang sangat erat dengan pendirian
Kota Bandung. Karena di sinilah Gubernur Jenderal Herman Willem
Daendels menancapkan tongkatnya saat memerintahkan pendirian
kota ini. Bekas ditancapkannya tongkat tersebut kini dijadikan Tugu
Bandung Nol Kilometer.

Sebelum peristiwa Konferensi Asia Afrika, Jalan Asia Afrika


bernama Grote Postweg atau disebut juga Jalan Raya Pos. Jalan ini
merupakan sebuah ruas jalan yang dibangun oleh Daendels yang
membentang dari Anyer sampai Panarukan yang memakan korban
sampai ribuan jiwa dalam proses pembangunannya.

Tujuan dibangunnya Jalan Raya Pos adalah untuk melancarkan


komunikasi antar daerah kekuasaan sepanjang Pulau Jawa, serta
sebagai jalur pertahanan militer. Nama Jl Raya Pos kemudian
berganti menjadi Jl. Asia Afrika setelah Konferensi Asia Afrika
dilaksanakan di Gedung Merdeka yang berada di jalan ini.
JALAN BRAGA
Jalan Braga, salah satu ruas paling populer di kota Bandung. Gedung-gedung bergaya arsitektur
Eropa masih lestari di sepanjang jalan ini, hingga jalan ini menjadi tempat favorite untuk berwisata
dan berfoto ria. Ada beberapa versi yang menyatakan asal usul nama Jalan Braga, salah satunya
menyebutkan bahwa nama Jalan Braga diambil dari kata Bahasa Sunda yaitu “baraga” atau
‘ngabaraga” yang memiliki arti berjalan menyusuri sungai, karena memang Jalan Braga ini berada
tepat di samping Sungai Cikapundung.

Namun ada versi lain yang menyebutkan bahwa Braga diambil dari sebuah grup kesenian tonil dan
musik yang bernama Toneelvereeniging Braga yang sering tampil di jalan tersebut. Selain itu ada
juga versi yang menyebutkan bahwa Braga diambil dari sebuah minuman khas Rumania yang biasa
disajikan di Societeit Concordia yang berada di ujung jalan tersebut.

Sebelum dikenal dengan nama Jalan Braga atau Braga Weg, jalan ini diberi nama Pedati Weg atau
Jalan Pedati yang memang dulu banyak dilalui oleh moda transportasi tersebut. Dalam bahasa
Belanda, Pedati Weg juga disebut dengan Karren Weg.
JALAN DAGO
Nama ini lebih sering dipakai ketimbang nama versi
formalnya yakni Jalan Ir H Juanda. Penyebutan nama
Dago (artinya “tunggu”) konon dahulu kala pada masa
kolonial Belanda, penduduk di kawasan bandung Utara
memiliki kebiasaan untuk saling menunggu sebelum pergi
ke kota. Jalan yang digunakan masih berupa jalur setapak
yang kala itu menjadi satu-satunya akses bagi penduduk
ke pasar. Katanya pula, jalan menuju pasar di Kota
bandung saat itu masih dikuasai oleh para perampok dan
rawan bianatang buas, terutama di daerah hutan sekitar
Terminal Dago.

Versi lainnya menyebutkan nama Dago berasal karena


dulu rakyat pribumi yang bekerja di sektor pertanian harus
menunggu upah dari Belanda setiap hari tertentu,
Aktivitas pribumi menunggu ini dilakukan di lokasi yang
sekarang menjadi Terminal Dago
JALAN WASTUKANCANA
Jl. Wastukancana sering disingkat menjadi Wastu. Nama ini diambil
dari nama seorang raja Pajajaran bernama Niskala Wastukancana.
Pada saat perang Bubat, Wastukancana masih berumur 9 tahun.
Ayah dan kakak Wastukancana, Prabu Linggabuana dan Dyah
Pitaloka, gugur di medan Bubat. Wastukancana naik tahta saat
umurnya 23 tahun. Beliau memegang singgasana Pajajaran selama
103 tahun 6 bulan dan 15 hari. Patung Kapten Engelbert

Dahulu nama jalan Wastukancana ini adalah Engelbert Van


Bevervoordeweg. Kapten Engelbert van Bevervoorde adalah pelopor
dunia penebangan militer Belanda. Beliau meninggal dunia pada
tahun 1918 setelah pesawat Glenn Martin yang dikemudikannya jatuh
di Bandara Sukamiskin. Untuk mengenang jasanya, pemerintah
Belanda membuat patung dirinya pada tahun 1920. Patung tersebut
diletakkan di sebuah tikungan jalan yang sekarang adalah Jalan
Wastu Kencana. Setelah Indonesia merdeka, patung tersebut
dipindahkan ke Museum Bronbeek di Arnhem, Belanda. Loji Sint Jan yang awalnya menjadi pusat
Freemasonry kini menjadi Masjid Al Ukhuwwah
RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN
Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin dibangun oleh
pemerintah Belanda pada tahun 1920 dan diresmikan pada
tanggal 15 Oktober 1923 dengan nama Het Algemeene
Bandoengsche Ziekenhuijs (Rumah Sakit Umum Bandung). Pada
awalnya rumah sakit ini didirikan atas prakarsa
dari Vereniging Bandoengsche Ziekenhuis (Asosiasi Rumah Sakit
Bandung) yang sudah dibentuk sejak tahun 1914.

Rumah Sakit Hasan Sadikin yang kita kenal sekarang mulai dipakai
pada tahun 1967. Hasan Sadikin merupakan salah satu mantan
direktur rumah sakit ini. Saat itu Dr. Hasan Sadikin (kakak Ali
Sadikin, Gubernur DKI) yang sedang menjabat sebagai direktur
rumah sakit diminta oleh menteri kesehatan untuk mengubah nama
rumah sakit yang dipimpinnya. Sebelum permintaan itu dipenuhi
beliau meninggal dunia karena sakit yang dideritanya. Untuk
mengenang jasa beliau sebagai dokter, pada 8 Oktober 1967
pemerintah menetapkan namanya sebagai nama rumah sakit yang
baru.
JALAN MAJAPAHIT
Ini adalah jalan yang sebelumnya bernama Jalan Gasibu, tepat sebelah barat Lapangan Gasibu.
Perubahan nama ini diinisiasi oleh Gubernur Jawa Barat saat itu, Ahmad Heryawan atau Aher pada 11
Mei 2018. Selain Jalan Majapahit, Aher juga meresmikan dua jalan lainnya yaitu Jalan Hayam Wuruk,
menggantikan Jalan Cimandiri dan Jalan Citraresmi yang menggantikan Jalan Pusdai. Saat peresmian
jalan itu, Aher didampingi oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta Sri
Paduka Paku Alam.

Aher mengatakan, peresmian tiga jalan itu sebagai bagian dari harmoni budaya yang diinisiasi
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Hamengku Buwono X. Di Yogya, sejak 2017, ada Jalan
Pajajaran dan Siliwangi. Di Jawa Timur, tepatnya Surabaya, ada Jalan Prabu Siliwangi dan Jalan
Sunda. Aher mengatakan rekonsiliasi Jawa-Sunda ini diharapkan bisa meredam sekat budaya yang
kadang muncul dalam momen tertentu.

Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengatakan sekat budaya Jawa-Sunda bersumber dari peristiwa
Perang Bubat antara Majapahit dan Pajajaran yang terjadi tahun 1348, sekitar 661 tahun yang lalu.
Soekarwo meyakini kisah Perang Bubat yang merenggangkan hubungan suku Jawa dan Sunda itu
sengaja diciptakan sebagai bagian dari politik pecah belah, atau devide et impera, saat pendudukan
Belanda. “Ini strategi budaya yang sama (yang dilakukan) ke Aceh.”
referensi
http://bandungpenuhsejarah.blogspot.com/2009/11/sejarah-singkat-kota-bandung.html
https://negorijbandoeng.com/tokoh/wangsanata-lebih-dikenal-dengan-nama-dipati-ukur/
https://www.wisatabdg.com/2018/08/inilah-asal-usul-nama-nama-tempat-di.html
http://disdik.jabarprov.go.id/news/461/asal-muasal-dan-sejarah-bandung
http://www.infobdg.com/v2/perjalanan-sejarah-rumah-sakit-hasan-sadikin/
https://id.wikipedia.org/wiki/Laskar_Wanita_Indonesia
http://meisukwon.blogspot.com/2011/11/tempat-wisata-di-bandung.html
https://satujam.com/bandung-tempo-dulu/
https://www.merdeka.com/peristiwa/menilik-bandung-sebagai-calon-ibu-kota-hindia-belanda.html
https://kumeokmemehdipacok.blogspot.com/2013/05/photo-photo-pasar-baru-bandung-tempo.html
https://www.flickr.com/photos/thisisinbalitimur/44849352034
https://www.dara.co.id/2019/03/20/pasar-baru-bandung-tempo-dulu-utang-poya-poya-dan-pembunuhan
https://www.ayobandung.com/read/2015/08/12/1547/ini-dia-7-sejarah-jalan-bandung-dari-jalan-culik-sampai-jalan-bantuan-cai
https://jabar.tribunnews.com/2016/03/14/berita-foto-hati-hati-atap-kanopi-jatuh-ke-badan-jalan-di-tamblong
http://historyare.blogspot.com/2016/03/sejarah-penangkapan-sukarno-dari.html
https://alif.id/read/rizki-amalia/inggit-ganarsih-perempuan-di-samping-soekarno-b210850p/
https://situsbudaya.id/rumah-inggit-garnasih-bandung/
https://twitter.com/mustaqim1508/status/790819445874630656
https://luk.staff.ugm.ac.id/itd/Bandung/03.html
https://kumparan.com/@kumparannews/aher-resmikan-jl-majapahit-di-bandung
https://nasional.tempo.co/read/1087914/rekonsiliasi-jawa-sunda-aher-resmikan-jalan-majapahit-di-bandung/full&view=ok
https://www.dw.com/id/bandung-si-kota-kembang-dengan-wajah-kolonialisme/a-44565819
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/f/f7/Java_Great_Post_Road.svg
Hatur Nuhun
Muhammad Trieha
0811 2247 261

Anda mungkin juga menyukai