Anda di halaman 1dari 5

Pelestarian Kawasan Empang Bogor 1

A. Sejarah Perkembangan Kawasan Empang


Perkembangan kawasan empang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Kota Bogor
itu sendiri. Kawasan empang merupakan kawasan permukiman awal yang menjadi inti
pertumbuhan Kota Bogor yang mengalami perubahan besar terhadap penggunaa lahan sejak
masa Kerajaan Pajajaran (1482-1579), masa Kolonial Belanda (1754-1945) dan masa
Kemerdekaan (1945-sekarang). Letak Kawasan Empang yang strategis karena dekat dengan
pusat Kota Bogor pada saat ini yang menyebabkan kawasan ini dipengaruhi oleh
perkembangan kota yang cepat baik fisik maupun non fisik.
1. Periode Kerajaan Pajajaran (1482-1579)
Pada masa ini wilayah kawasan empang ini menjadi bagian dari pusat pemerintahan sekaligus
ibukota Kerajaan Hindu yang cukup berkuasa, ibukota Kerajaan Pajajaran ini dikenal dengan
nama Pakuan. Terdapat benteng yang berfungsi sebagai pertanahan dan sekaligus sebagai
batas kota yang membentang sepanjang Sungai Cisadane dan Sungai Cipakancilan.
Berdasarkan ekspedisi Abraham van Riebeck menemukan alun-alun sebagai mana umumnya
terdapat tiga batang pohon beringin yang menjadi salah satu kelengkapan alun-alun
tradisional. Pada tahun 1579 alun-alun ini menjadi medan pertempuran saat melawan laskar
Banten yang ini menguasi wilayah Pajajaran (Danasasmita, 1983).
2. Periode Kolonial Belanda (1754-1945)
Pada masa Kolonial Belanda, setelah masa Kerajaan Pajajaran kawasan ini telah berkembang
menjadi sebuah wilayah pusat pemerintahan Karesidenan Kampung Baru (1754-1872).
Kemudian dihapuskannya karesidenan kampung baru oleh pemerintah kolonial belanda dan
kawasan empang mulai berkembang menjadi konsentrasi permukiman bagi warga keturunan
arab (1835-1945). Sejak ditetapkannya nama kawasan ini dengan nama Empang pada tahun
1815 mulai di keluarkannya peraturan wijkenstelsel yaitu diberlakukannya zona permukiman
etnis, dengan adanya peraturan ini serta adanya surat ijin keluar kawasan permukiman
menyebabkan adanya pembatasan ruang gerak etnis Arab yang akhirnya menjadi penghambat
perkembangan bisnis para pedagang Arab. Pada tahun 1815 dibangun pula Masjid An Nur.
Pada masa ini kawasan empang mulai membentuk pola-pola ruang yang menjadi dasar
perkembangan kawasan selanjutnya.
3. Periode masa Kemerdekaan (1945-sekarang)
Pada masa ini Buitenzorg mengalami tiga fase perkembangan kota yaitu :
Fase pertama (1845-1965), nama Buitenzorg berubah menjadi Kota Besar Bogor pada
tahun 1950, kemudian tahun 1957 berubah menjadi Kota Praja Bogor yang meliputi 2
subdistrik dan 7 desa. Pada fase ini Kota Praja Bogor menjadi daya tarik masyarakat
untuk bermukim.
Fase kedua (1965-1995), Kota Praja Bogor kembali berganti nama menjadi
Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor. Pada fase ini terjadi alih fungsi lahan kebunkebun campuran menjadi bangunan tempat tinggal.
Fase ketiga (1995-sekarang), Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor mengalami
perluasan wilayah serta berubah nama menjadi Kota Bogor. Pada fase ini mengalami
alih fungsi lahan dari permukiman menjadi kawasan perdangan dan jasa.

Pelestarian Kawasan Empang Bogor 2


B. Karakteristik Lanskap Sejarah Kawasan Empang
Kawasan Empang sebagai pusat pemerintahan Kampung Baru, yang memiliki pola
ruang konsentrik dimana kegiatan pemerintahan berpusat disekitar alun-alun. Hal tersebut
memiliki kesamaan dengan konsep pusat kota tradisional Jawa dengan pola tata letak dengan
adanya pendopo bupati, masjid, pasar dan penjara menjadi satu komplek yang berpusat pada
alun-alun sebagai berikut.

Gambar 1. Peta Pola Tata Letak Elemen Lanskap


Pusat Pemerintahan Kampung Baru
Berdasarkan identifikasi sejarah Kawasan Empang terdapat 32 elemen pembentuk lanskap
sejarah yang terbagi menjadi 3 zona elemen pembentuk kawasan empang, zona yang menjadi
kawasan studi adalah zona 1 atau zona pemerintahan yaitu Alun-alun Empang, Masjid Agung
Empang, Pasar Bogor, Kediaman Resmi Bupati Kampung Baru dan Kediaman Resmi
Kapiten Arab. Berdasarkan UU Nomor 5 tahun 1992 yang termasuk ke dalam kategori Benda
Cagar Budaya adalah Masjid Agung Empang, Kediaman Resmi Bupati Kampung Baru dan
Kediaman Resmi Kapiten Arab.
C. Pelestarian Kawasan
Pelestarian kawasan untuk studi kasus Kawasan Empang ini sendiri mengalami
perbedaan tahap rancang bangun berbasis pelestarian, untuk elemen Alun-alun Empang
berada di step III yaitu Post Action, sedangkan untuk elemen Masjid Agung Empang berada
di step II yaitu Field Action.

Alun-alun Empang

Pelestarian Kawasan Empang Bogor 3


Fungsi Alun-alun Empang pada masa pemerintahaan Kerajaan Pajajaran sebagai tempat
latihan keprajuritan bagi para laskar Pajajaran, kemudian untuk segala jenis acara yang
diadakan oleh pihak keraton maupun diluar keraton. Alun-alun pun sebagai ruang terbuka
yang menjadi simbol kekuasaan dan identitas pusat pemerintahan karisidenan Kampung
Baru.

Gambar 2. a. Alun-alun Empang tahun 1880 dan b. Tahun 2010


Kondisi Alun-alun Empang saat ini mengalami degradasi, karena adanya penambahan
elemen fisik berupa pagar pembatas yang dipasang untuk membatasi keterkaitan fungsi
dan hubungan bersejarah antara alun-alun dengan Masjid Agung Empang serta adanya
penambahan elemen vegetasi yang tidak sesuai dengan konteks alun-alun, hal ini yang
mengakibatkan pudarnya nilai budaya dan sejarah dari alun-alun tersebut. Eksistensi Alunalun Empang sebagai saksi sejarah di Kota Bogor menjadi semakin tenggelam dengan
adanya pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar alun-alun, kemungkinan banyak
warga Kota Bogor itu sendiri yang tidak tau dengan adanya Alun-alun Empang.
Masjid Agung Empang
Masjid ini merupakan masjid pertama yang dibangun di Buitenzorg pada masa
pemerintahan Kampung Baru. Gaya bangunan masjid mendapat pengaruh dari arsitektur
kolonial Belanda, sedangkan untuk gaya arsitektur tradisional terlihat dari bentuk atap
menara berundak tiga. Masjid Agung Empang ini sudah melalui berberapa kali tahap
pemugaran.
Tabel 1. Tahapan Pemugaran Masjid Agung Empang
Tahun
Tahap Pemugaran
1873
Dari mushola kecil menjadi bangunan permanen berupa
pendopo bergaya arsitektur tradisional yang memiliki atap
berundak dua tingkat. Kompleks masjid merupakan hasil tanah
waqaf para pesyiar agama
1952

Bangunan joglo/pendopo diubah menjadi bangunan yang


mendapat pengaruh gaya arsitektur kolonial, tetapi bentuk atap
bangunan utama masih bergaya arsitektur jawa dengan bentuk
segitiga, sedangkan atap menara tidak lagi berundak melainkan
diganti dengan atap menara tinggi yang memiliki kubah. Pada

Pelestarian Kawasan Empang Bogor 4

tahun ini merupakan pemugaran yang terakhir

1952-sekarang

Masjid Agung Empang sampai saat ini masih berfungsi sebagai


tempat ibadah, hanya saja ada pengecatan ulang masjid

Pada tahun 2007 Masjid Agung Empang ditetapkan menjadi Benda Cagar Budaya (BCB),
sehingga pelestarian masjid ini berada di pengawasan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
PemKot Bogor, untuk pengelolaan sehari-hari dilakukan oleh masyarakat setempat yang
tergabung falam Yayasan Masjid Agung At Tohirriyah. Sayangnya Pemerintah Kota Bogor
tidak begitu meperhatikan BCB ini sehingga ada beberapa bagian bangunan yang rusak
tidak segera diperbaiki.
Elemen pembentuk Kawasan Empang lainnya seperti Pasar Bogor dibentuk pada tahun
1777 awalnya menjadi pasar kelontong bagi pedagang cina dan tempat petani menjual
hasil bumi kepada Pemerintah Belanda dan sekarang menjadi pasar tradisional pada
umumnya dan menjadi semakin padat karena adanya terminal dan PKL yang tidak teratur
dengan baik, Kediaman Resmi Bupati Kampung Baru, dahulu berupa pendopo sekarang
berubah menjadi rumah tinggal seorang keturunan Arab-Sunda, masih berdiri kokoh hanya
saja tidak begitu terawat kediaman ini ditetapkan menjadi BCB Kota Bogor karena sudah
berusia lebih dari 200 tahun dan Kediaman Resmi Kapiten Arab menjadi tempat tinggal
keturunan keluarga Bajenet, hanya saja pagar rumah ini sering kali menjadi objek
vandalisme yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak bertanggungjawab, sudah
ditetapkan menjadi BCB Kota Bogor.
D. Kesimpulan
Alun-alun Empang pada step III post action dimana sudah memiliki interaksi dan
pengaruh ke lingkungan sekitar seperti untuk kegiatan sosial dan ekonomi yang
terjadi di kawasan Alun-alun Empang, tetapi cara pelestarian kawasan yang dilakukan
tidak sesuai dengan cara menambahkan komponen fisik di alun-alun tersebut. Artinya,
pelestarian alun-alun tidak sustainable dan harus di evaluasi lagi di step II field
action untuk strategi pelestarian alun-alun yang harus di lakukan adalah revitalisasi
karena terjadi degradasi kualitas fisik dan pergeseran fungsi ke arah private space,
strategi yang dilakukan untuk mempertahankan keaslian bentuk dan karakter alunalun adalah memperbaiki infrastruktur alun-alun dengan menghilangkan pagar

Pelestarian Kawasan Empang Bogor 5


disekeliling alun-alun yang berfungsi sebagai pembatas antara masjid dan alun-alun,
merelokasi PKL yang berada di sekeliling alun-alun agar dapat terlihat eksistensi
dari alun-alun tersebut, serta membangkitkan kembali kegiatan masyarakat yang
terlebih dahulu dilakukan di alun-alun.

Masjid Agung Empang berada di step II field action sudah mengalami tiga kali tahap
pemugaran sehingga implementasi dan pengaplikasian konsep sudah sesuai sebagai
tempat menyebarkan agama islam pada zaman dahulu dan sampai sekarang masih
berfungsi sebagai tempat ibadah, selanjutnya masuk ke step III post action sudah
memiliki integrasi sosial maupun rohani dan memiliki pengaruh ke lingkungan sekitar
dan sudah berkelanjutan karena tetap mepertahankan bangunan asal dari masjid
tersebut dan mempertahankan fungsi bangunan. Adanya penambahan fungsi dan
aktivitas baru antara masjid dan alun-alun guna saling mendukung dan memperkuat
karakter sejarah yang telah dibentuk dari beradab-abad yang lalu, serta melakukan
peningkatan volume kegiatan rohani dan sosial seperti kegiatan berdakwah yang
dipadukan dengan kegiatan kesenian tradisional masyarakat sunda.

Daftar Pustaka
http://kampoengbogor.org/alun-alun-empang-dan-masalah-pelestariannya/
http://visitbogor.com/wisata/wisata-sejarah-kampung-arab-empang-bogor.html
Assessment Lanskap Sejarah Kawasan Empang untuk Mendukung Perencanaan Tata
Ruang Kota Bogor, Anggraeni Rani, 2010

Anda mungkin juga menyukai