PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pelestarian dalam bangunan maupun arsitektur perkotaan merupakan salah satu daya tarik bagi sebuah
kawasan. Dengan terpeliharanya suatu bangunan bersejarah pada suatu kawasan akan memberikan
ikatan kesinambungan yang erat antara masa kini dan masa lalu. Seorang ahli hukum dari Universitas
Kopenhagen, Denmark, JJA Worsaae pada abad ke 19 mengatakan, bangsa yang besar adalah
bangsa yang tidak hanya melihat masa kini dan masa mendatang, tetapi mau berpaling ke masa
lampau untuk menyimak perjalanan yang dilaluinya. Melihat hal tersebut, maka masa lalu yang
diungkapkan dengan keberadaan fisik dari bangunan berejarah akan ikut menentukan dan
memberikan identitas yang khas bagi suatu kawasan perkotaan dimasa mendatang.
Kota Banda Aceh yang sudah berumur ratusan tahun tentu memiliki tempat-tempat dan bangunan
peninggalan bersejarah baik itu pada Masa Kolonial Belanda, Masa Kesultanan dan Masa Pasca
Tsunami. Salah satu bangunan bersejarah peninggalan Masa Kesultanan adalah Masjid Teungku
Dianjong. Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Alaidin MahmudSyah, tepatnya pada
abad ke 18.
Masjid Teungku Di Anjong sebagai salah satu asset peninggalan sejarah masa kesultanan, penuntut
penanganan khusus baik dari Pemerintah maupun dari masyarakat setempat. Hal tersebut harus
dilakukan sebagai upaya pelestarian terhadap nilai sejarah masa kesultanan, mengingat beberapa
tahun belakangan banyak pendatang dari Persia, Malaysia, Jakarta atau Medan yang berziarah ke
makan Teungku Di Anjong yang terletak persis di sebelah Masjid. Oleh karna itu, Pemerintah Kota
Banda Aceh perlu melakukan konservasi terhadap Masjid Teungku Di Anjong sehingga dapat
menjaga nilai-nilai sejarah pada masjid tersebut.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Kajian Teori
Masjid atau mesjid adalah rumah tempat ibadah umat Muslim. Masjid artinya tempat sujud, dan
mesjid berukuran kecil juga disebut musholla, langgar atau surau. Selain tempat ibadah masjid juga
merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. Kegiatan - kegiatan perayaan hari besar, diskusi,
kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur'an sering dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah
Islam, masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran.
Kata Masjid berasal dari kata sajada yang berarti berarti sujud atau tunduk. Kata masjid sendiri
berakar dari bahasa Aram, Kata masgid (m-s-g-d) ditemukan dalam sebuah inskripsi dari abad ke 5
Sebelum Masehi. Kata masgid (m-s-g-d) ini berarti "tiang suci" atau "tempat sembahan". Dalam
bahasa Inggris Masjid disebut mosque. Kata mosque ini berasal dari kata mezquita. dalam bahasa
Spanyol. Dan kata mosque kemudian menjadi populer dan dipakai dalam bahasa Inggris secara luas
BAB III
PEMBAHASAN
3
Peran Teungku Di Anjong dalam menyelamatkan kerajaan Aceh tertulis dalam naskah
penelitian lapangan yang ditulis oleh Adnan Abdullah dari Pusat Pengembangan Ilmu Sosial
Universitas Syiah Kuala (1987) yang mengemukakan tentang kejadian pada masa Sultan
Alauddin Mahmud Syah. Saat itu kerajaan Aceh mengalami defisit neraca pembayaran
(utang) dalam jumlah besar kepada kerajaan Inggris. Hal ini sangat mencemaskan Sultan,
karena menyangkut martabat kerajaan. Konon kabarnya pula, meskipun semua hasil emas
yang diperoleh dari tambang di Pariaman dikumpulkan, bersama-sama dengan seluruh
kekayaan kerajaan, namun jumlahnya masih belum mencukupi untuk melunasi utang kepada
kerajaan Inggris. Sultan kemudian diberi pendapat oleh majelis kerajaan agar meminta
bantuan Teungku Di Anjong. Saran tersebut diterima dan dikirimlah utusan menghadap
Teungku Di Anjong yang dibekali dengan seperangkat hidangan makanan untuk memuliakan
ulama tersebut. Mengetahui maksud kedatangan utusan, Teungku Di Anjong menyarankan
agar persoalan ini dibicarakan dengan Teungku Syiah Kuala, mufti kerajaan Aceh. Namun,
Teungku Syiah Kuala menyatakan ketidakmampuannya memenuhi permintaan Sultan dan
4
beliau menyatakan bahwa hanyalah Teungku Di Anjong yang sanggup membantu Sultan.
Teungku Di Anjong pun bersedia dan meminta untuk disediakan beberapa buah goni ke salah
satu tempat di pinggir Krueng Aceh. Semua goni diisi dengan pasir dan diangkut ke Pantai
Cermen, Ulee Lheue. Sedangkan hidangan dari Sultan beliau kembalikan dengan pesan
bahwa salah satu dari hidangan tersebut hanya boleh dibuka oleh Sultan sendiri. Ketika
Sultan membuka hidangan itu, ternyata isinya emas dan permata. Begitu juga pasir dalam
goni yang dibawa ke Pantai Cermen sudah berubah menjadi perak. Dengan logam mulia
itulah Sultan Aceh membayar utang kepada kerajaan Inggris. Dengan demikian, martabat
Aceh yang nyaris luntur karena tidak mampu membayar utang tetap terpelihara dalam
pandangan kerajaan Inggris.
Masjid ini berdiri di atas tanah seluas empat hektar, tak hanya ada bangunan masjid saja dikompleks
ini, tetapi juga ada makam Teungku Di Kandang dan makam-makam lainnya yang terdiri dari
sahabat-sahabatnya.
Sebelum mendirikan masjid, Teungku Di Anjong terlebih dahulu memanfaatkan rumahnya (Rumoh
Cut, atau rumah kecil) yang sangat sederhana sebagai tempat pengajian dan asrama bagi muridmuridnya yang memperdalam agama Islam dan bermalam di sana. Oleh karena perkembangannya
semakin pesat, rumahnya tidak mampu lagi menampung murid- muridnya. Akhirnya beliau
mendirikan masjid yang bukan hanya difungsikan sebagai tempat ibadah, tetapi juga dimanfaatkan
untuk bermusyawarah, kepentingan pengajian, dan lain-lainnya.
Mesjid Teungku Di Anjong selain berfungsi sebagai sarana tempat shalat dan kegiatan - kegiatan
ibadah lainnya, pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia masjid ini pernah dijadikan
markas perjuangan kemerdekaan oleh laskar perjuangan Aceh dalam rangka mempertahankan
kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Dayah ini pernah dibakar oleh Belanda karena
dianggap sebagai pusat doktrin anti penjajahan (Tgk.H. Ibrahim Bardan, 2008). Snouck Hurgronje,
dalam bukunya The Atjehers, juga menyaksikan bahwa makam Teungku Di Anjong menjadi tempat
melakukan tradisi Peuleuh Kaoy atau bernazar, dan mencatatnya sebagai makam ulama yang paling
dihormati di Aceh dan Masjid ini tercatat sebagai salah satu masjid bersejarah di Kota Banda Aceh.
(Makalah Drs. Husaini Ibrahim, MA, 2006).
Masjid Teungku Di Anjong yang ada sekarang dahulunya dikenal oleh masyarakat dengan sebutan
dayah yang terdiri atas tiga lantai. Lantai pertama disebut dengan Hakikat, lantai kedua Tarekat, dan
lantai ketiga Makfirat. Di kawasan masjid Teungku Di Anjong dahulunya juga dibangun semacam
asrama untuk menampung jemaah haji yang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Rumoh Raya.
Bisa dikatakan bahwa gelar Aceh Serambi Mekah sangat erat kaitannya dengan peran Tengku Di
Anjong dalam membimbing jamah haji yang mendapatkan dukungan kerajaan Aceh pada masa itu.
Sebelum direnovasi lantai masjid ini dulunya tidak rata seperti sekarang. Di bagian belakang
posisinya lebih tinggi 50 centimeter. Ada dua anak tangga yang bisa digunakan untuk turun ke bagian
yang lebih rendah. Seluruh jendela masjid dari lantai pertama sampai lantai ke tiga terbuat dari kayu
berukuran lebar.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Konservasi merupakan tindakan melestarikan dan memelihara bangunan bersejarah dalam berbagai
aspek, yaitu rektifikasi, replacement, dan retrofitting
2. Masjid Teungku Dianjong patut dijdikan bangunan konservasi, karena pada bangunan ini terdapat
banyak sejarah peninggalan Masa Kesultanan Aceh.
3. Pemerintah kota Banda Aceh harus lebih memberikan perhatian dalam melestarikan Masjid
Teungku Dianjong
4.2 Saran
1. Perlu ada Peraturan Daerah atau Qanun tentang pelestarian bangunan bersejarah di Banda Aceh
2. Pemerintah harus lebih baik lagi dalam memperkenalkan bangunan konservasi sebagai saran
pembelajaran bagi pelajar.
3. Masyarakat di sekitar Masjid Teungku Dianjong harus memberikan peran serta dalam pelestarian
masjid Teungku Dianjong sehingga beban pelestarian tempat-tempat dan bangunan di Banda Aceh
tidak sepenuhnya ada di pemerintah.
10