Anda di halaman 1dari 5

Revitalisasi Hotel Toegoe di Yogyakarta

Jane Ligawan
160116445
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
160116445@students.uajy.ac.id

Abstraksi— Revitalisasi Hotel Toegoe di Yogyakarta dilakukan Malioboro, yang kemudian menjadi struktur utama Kota
dengan pendekatan Arsitektur Indis yang memiliki fungsi utama Yogyakarta.
sebagai hotel boutique dan museum dengan suasana fotogenik.
Diharapkan dengan revitalisasi ini, bangunan ini dapat Bangunan ini dahulu merupakan bangunan mewah sebagai
meningkatkan citra kawasan dan dirawat dengan baik. Sebagai tempat peristirahatan sementara bagi para pelancong yang
sebuah hotel boutique, Hotel Toegoe mampu memenuhi berpergian dengan kereta. Peranannya tidak hanya sebagai
kebutuhan wisatawan Kota Yogyakarta dengan mengusung sebuah hotel semata, namun juga sebagai markas tentara
konsep yang berbeda. Sebagai sebuah museum, Hotel Toegoe Belanda pada masa Kemerdekaan. Seiring berjalannya waktu,
menjadi sarana edukasi sejarah bagi masyarakat. Perancangan banyak peristiwa yang terjadi dan mengikis secara perlahan
bangunan dilakukan dengan pengelolaan tata ruang luar dan pesona Hotel Toegoe.
dalam untuk menciptakan fleksibilitas ruang sehingga tercipta
suasana ruang yang fotogenik. Permasalahan pada Revitalisasi Hotel Toegoe perlu melakukan adaptasi terhadap
Hotel Toegoe di Yogyakarta adalah bagaimana wujud perkembangan zaman yang terjadi. Adapun adaptasi pada
perancangan Revitalisasi Hotel Toegoe di Yogyakarta yang bangunan antara lain dapat dilakukan dengan tetap
memiliki fungsi utama sebagai hotel boutique dan museum mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada Cagar Budaya,
dengan suasana fotogenik melalui pengelolaan tata ruang dalam mengubah susunan ruang secara terbatas, dan mempertahankan
dan tata ruang luar dengan pendekatan gaya Arsitektur Indis. gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika
lingkungan di sekitarnya (UU RI No. 11, 2010). Namun, untuk
Kata kunci; Revitalisasi Hotel Toegoe, fotogenik, fleksibilitas, menghidupkan kembali fungsi bangunan maka perlu memahami
Arsitektur Indis fungsi ruang yang banyak diminati oleh masyarakat.
I. LATAR BELAKANG II. TUJUAN DAN LINGKUP PEMBAHASAN
Kota Yogyakarta terpilih sebagai Kota Budaya ASEAN A. Tujuan
pada tahun 2018 lalu. Predikat City of Culture ini membuat
Pemerintah Daerah menyusun rencana untuk melestarikan Tujuan dari penulisan ini adalah mewujudkan rancangan
kebudayaan yang ada[1]. Selain itu, Yogyakarta akan diajukan Revitalisasi Hotel Toegoe di Yogyakarta yang memiliki fungsi
UNESCO sebagai World Heritage City. Ide pengajuan ini utama sebagai hotel boutique dan museum dengan suasana
sebenarnya sudah ada sejak tahun 2014 dari Pemda DIY [2]. fotogenik melalui pengelolaan tata ruang dalam dan tata ruang
Maka dari itu, penguatan keberadaan sumbu filosofis di luar dengan pendekatan gaya Arsitektur Indis.
Yogyakarta perlu dilakukan melalui semangat konservasi dan B. Lingkup Pembahasan
pelestarian bangunan cagar budaya.
Bagian-bagian obyek studi yang akan diolah sebagai
Hotel Toegoe merupakan salah satu bangunan cagar budaya penekanan studi pada revitalisasi Hotel Toegoe adalah bagian
dengan peringkat nasional. Bangunan ini berdiri di atas lahan ruang luar dan ruang dalam. Bagian-bagian ruang luar dan ruang
seluas 6.320 m2 dengan luas bangunan 1.527,63 m2. Hotel ini dalam pada Hotel Toegoe yang akan diolah sebagai penekanan
digunakan sebagai tempat rapat antara Indonesia dengan studi adalah suprasegmen arsitektur – yang mencakup bentuk,
Comitee of Good Offices for Indonesia pada tahun 1949, sebagai jenis bahan, warna, tekstur, dan ukuran/skala/proporsi – pada
persiapan Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan pada elemen-elemen pembatas, pengisi dan pelengkap ruangnya.
tahun yang sama di Belanda. Bangunan ini juga pernah menjadi Rancangan ini diharapkan akan dapat menjadi penyelesaian
salah satu sasaran massa ketika peristiwa Serangan Umum 1 terhadap revitalisasi Hotel Toegoe untuk kurun waktu 25 tahun.
Maret 1949 karena dipakai sebagai markas tentara Belanda.
Kemudian pada tahun 2004 dilakukan pembongkaran pada III. LANDASAN TEORI
bagian belakang bangunan induk dan bangunan di sisi selatan [3]. Pelestarian bangunan cagar budaya dilakukan berdasarkan
Hotel Toegoe dibangun pada masa pemerintahan Sultan HB hasil studi kelayakan yang dapat dipertanggung jawabkan dan
VII pada tahun 1877-1921. Pendirian bangunan ini dikarenakan pelaksanaannya dilakukan oleh Tenaga Ahli Pelestarian. Dalam
pembangunan sumbu utara-selatan pada tahun 1759 yang proses pelestarian, pelaksana harus mempertimbangkan
menghubungkan antara Kraton dengan Tugu Pal Putih. Selain kemungkinan dikembalikannya kondisi bangunan seperti
menghubungkan antar daerah, pembangunan ini juga bertujuan sebelum dilakukan kegiatan pelestarian. Setiap orang yang
untuk memperkuat sumbu Kraton yang berorientasi ke Gunung berupaya untuk melestarikan berhak mendapat dukungan teknis
Merapi dan Laut Selatan. Jalur ini dikenal dengan Jalan dari Pemerintah.
Adapun bangunan yang perlu diselamatkan adalah bangunan kamar tamunya, membuat setiap kunjungan terasa unik dan
cagar budaya yang terancam rusak, hancur atau musnah. Baik mendorong orang untuk menginap kembali di hotel tersebut.
pemerintah maupun setiap orang yang melakukan penyelamatan
cagar budaya, wajib menjaga dan merawat bangunan dari Namun, tidak ada standar khusus yang disepakati terkait
pencurian, pelapukan atau kerusakan baru. ukuran dari hotel boutique. Masing-masing memiliki
karakteristiknya tersendiri, namun lokasi hotel menjadi peranan
Pemugaran bangunan cagar budaya dilakukan untuk penting dalam kesuksesan sebuah hotel boutique. Lokasi yang
memperbaiki, memperkuat, dan mengawetkannya melalui baik tidak hanya ditentukan dari segi kenyamanan, namun juga
pekerjaan rekonstruksi, konsolidasi, rehabilitasi dan restorasi. ‘trendiness’ dan ‘chic-ness’ dari lingkungan di sekitarnya.
Pemugaran yang dilakukan harus memperhatikan:
C. Museum
a. Keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya, dan/atau Museum memiliki fungsi utama sebagai area pameran,
teknologi pengerjaan namun di sisi lain bangunan ini merupakan pusat kebudayaan.
b. Kondisi semula dengan tingkat perubahan sekecil Sebagai sebuah ruang pameran dibutuhkan pencahayaan yang
mungkin baik, ia dapat menyajikan barang-barang koleksinya untuk
dilihat oleh publik tanpa rasa lelah. Penyusunan koleksi
c. Penggunaan teknik, metode, dan bahan yang bersifat mempengaruhi suasana yang tercipta dalam ruangan, maka dari
tidak merusak itu bentuk ruang memiliki pengaruh besar terhadap penataan tata
d. Kompetensi pelaksana di bidang pemugaran ruang dalam museum.

Pemugaran yang dilakukan harus memungkinkan apabila D. Tinjauan Lokasi


akan dilakukan penyesuaian pada masa mendatang. Apabila Berdasarkan lokasinya, nilai historikal pada kawasan sangat
berpotensi menimbulkan dampak negatif maka harus dilakukan kuat. Maka dari itu, terdapat beberapa ketentuan dalam
analisis mengenai dampak lingkungan lebih lanjut (UU RI No. pengelolaan bangunan pada kawasan cagar budaya yang perlu
11, 2010). diperhatikan:
A. Hotel Toegoe • Langgam arsitektur yang memperkuat citra kawasan
Awalnya bangunan ini memiliki nama Naamloose • Bangunan baru harus menggunakan gaya arsitektur
Gennootschap Grand Hotel de Djogja yang kemudian berubah bangunan yang berciri khas Yogyakarta
nama menjadi Naamloose Gennotschap Marba pada tanggal 2
Maret 1973. Namun pada tanggal 18 Mei 1982, berdasarkan SK • Ketinggian bangunan
Gubernur No.399/HAK/KPTS/1982 hal-hal yang berkaitan
dengan Naamloose Gennotschap Marba dimatikan. Bangunan • Berdasarkan Peraturan Daerah Istimewa DIY No.2
ini diberikan kepada PT. Expra Baru di Yogyakarta, dan dijual Tahun 2017, tinggi bangunan pada ruang Sumbu
kepada Haji Probosutedjo pada tanggal 26 Mei 1992. Filosofis mengikuti sudut 45º dari as jalan.

Pada masa Agresi Belanda II, Hotel Toegoe digunakan • Pemanfaatan ruang yang mendukung makna dari
sebagai pusat markas kekuatan tentara Belanda dibawah sumbu filosofi
kepemimpinan Letnan Kolonel D.B.A. van Langen. Hotel • Ketentuan intensitas pemanfaatan ruangnya yaitu:
Toegoe menjadi pusat kekuatan tentara Belanda dan menyimpan
beberapa informasi militer, sehingga pada tahun 1960-an • KDB ≤ 90%
bangunan ini dimanfaatkan sebagai markas KODIM. Hal ini
terlihat dari 4 buah relief yang ada pada dinding timur gedung • KLB ≤ 4,5
pertemuan pada bangunan utama. Relief pertama • KDH ≤ 10%
menggambarkan serangan gerilyawan terhadap tentara Belanda,
relief kedua tentang Sri Sultan Hamengku Buwono IX E. Arsitektur Indis
berunding dengan pihak Belanda, relief ketiga menggambarkan Arsitektur Indis merupakan gaya arsitektur yang berasal dari
Jenderal Sudirman ditandu dan pada relief keempat campuran unsur-unsur budaya Barat terutama Belanda dengan
menggambarkan pertemuan Pak Dirman dengan Presiden budaya Indonesia khususnya dari Jawa. Arsitektur Indis juga
Sukarno [4]. dimaksud untuk membedakan dengan bangunan tradisional
B. Hotel Boutique dengan bangunan baru. Pemerintah Belanda juga menentukan
bahwa bentuk bangunan Indis adalah gaya arsitektur yang harus
Boutique Hotel adalah hotel kecil yang mewah, biasanya ditaati, sebagai simbol kekuasaan, status sosial, dan kebesaran
berbintang 3, 4 atau 5. Hotel ini mewah dari segi fasilitas dan penguasa saat itu.
kelengkapan fasilitasnya. Bangunan hotel dapat berupa gedung
antik, bersejarah namun peralatannya serba mewah [5]. Bentuk rumah bergaya Indis sepintas tampak seperti
bangunan tradisional dengan atap berbentuk Joglo Limasan.
Suasana ruang yang unik dan hangat merupakan kunci dari Bagian depannya memiliki selasar terbuka sebagai tempat untuk
desain arsitektur hotel boutique. Pendefinisian dan ekspresi dari penerimaan tamu. Kamar tidur terletak pada bagian tengah, di
tema yang diangkat merupakan kunci kesuksesannya. Setiap sisi kiri dan kanan, sedang ruang yang terapit difungsikan untuk
hotel masing-masing memperkenalkan tema yang berbeda pada ruang makan atau perjamuan makan malam. Bagian belakang
terbuka untuk minum teh pada sore hari sambil membaca buku
dan mendengarkan radio, merangkap sebagai ruang dansa.
Pengaruh budaya Barat terlihat pada pilar-pilar besar, gaya
bangunan Parthenon dari zaman Yunani dan Romawi. Lampu-
lampu gantung dari Italia dipasang pada serambi depan
membuat bangunan tampak megah terutama pada malam hari.
Pintu terletak tepat di tengah diapit dengan jendelajendela besar
pada sisi kiri dan kanan. Antara jendela dan pintu dipasang
cermin besar dengan patung porselen[6].
F. Arsitektur Fotogenik
Tujuan dari arsitektur fotogenik adalah menghasilkan ruang
yang mengantisipasi dan menerima keberadaannya sebagai
bagian dari lingkungan fisik yang memfasilitasi jejak manusia
terhadap ruang. Ruang-ruang dapat dialami secara langsung
maupun melalui representatifnya, seperti gambar denah,
potongan, dan perspektif. Fotografi menyediakan pembacaan (sumber: analisis penulis)
ruang yang terstruktur, dengan bias atau momen tertentu yang
ditangkap oleh sang fotografer. Melalui fotografi, seseorang Tapak berada di sudut persimpangan jalan dan keduanya
dapat melihat catatan pribadinya terkait representasi suatu merupakan jalan arteri sekunder, dengan lahan seluas 7.342 m2.
ruang[7]. Terdapat 3 bangunan eksisting yang sudah ada di tapak, dimana
ketiga-tiganya menghadap ke arah barat. Bangunan-bangunan
Fotogenik tidak hanya terkait keindahan, namun berbagai ini adalah bangunan asli Hotel Toegoe yang masih berdiri
hal lain yang bisa menambah informasi secara visual dalam hingga kini. Ketiganya akan dilestarikan dengan cara
proses pengambilan gambar. Beberapa hal yang mempengaruhi mempertahankan keaslian pada fasadnya
visualisasi sebuah ruang dalam fotografi yaitu:
B. Penekanan Studi
a. The Surface
Bangunan baru memiliki ketinggian yang berbeda dengan
Permukaan menjadi media penyusun informasi visual bangunan lama. Pengelolaan fasadnya yang terlihat dari
ruangan. Aspek ini tidak menjadi perhatian bagi sang seberang Jalan Margo Utomo hanya sebagian saja, maka bagian
arsitek, namun menjadi perhatian supaya foto yang ini dimanfaatkan sebagai mahkota bangunan. Peletakannya di
dihasilkan mampu menyatu dan mengkomunikasikan sejajarkan dengan fasad bangunan lama, sehingga menciptakan
suasana yang diciptakan dengan baik. satu kesatuan fasad yang selaras.
b. Touch Gambar 4.2 Analisis Fasad di Jalan Margo Utomo
Kualitas cahaya dan tekstur ruangan adalah aspek
penting karena sifatnya yang melekat pada sentuhan
atau dengan permukaan untuk menghasilkan efek
fenomenal pada foto. Manusia berinteraksi dengan
permukaan melalui kontak visual atau sentuhan, tetapi
“foto” bersifat tetap begitu ia diabadikan. Tugas
arsitektur fotogenik adalah menemukan media, yang
mampu memberikan aspek ruang yang sangat spesifik
dan memberi kontribusi pada pengalaman ruang.
IV. ANALISIS
Merespons kondisi iklim tropis Kota Yogyakarta serta
(sumber: analisis penulis)
kondisi budaya di sekitar tapak, maka digunakan Arsitektur
Indis. Arsitek Belanda melakukan beberapa perubahan pada Bangunan baru akan berada di sisi timur tapak, dengan fasad
gaya bangunan kolonial untuk merespons iklim Indonesia. utamanya di sisi selatan. Bentuk bangunan diselaraskan dengan
ketiga bangunan yang sudah ada. Bangunan ini merupakan
A. Perencanaan Tapak
bangunan dengan 3 lantai, dengan bentuk mengelilingi sehingga
Tapak berada di sudut persimpangan jalan dan keduanya terdapat taman di tengah tapak. Bangunan ini akan dibuat lebih
merupakan jalan arteri sekunder, dengan lahan seluas 7.342 m2. tinggi ketimbang ketiga bangunan lainnya. Ketinggian
Terdapat 3 bangunan eksisting yang sudah ada di tapak, dimana bangunan maksimal adalah 10,5 meter, ketentuan ini mengikuti
ketiga-tiganya menghadap ke arah barat. Bangunan-bangunan peraturan sudut 45º dari as jalan.
ini adalah bangunan asli Hotel Toegoe yang masih berdiri
hingga kini. Ketiganya akan dilestarikan dengan cara Fasad bangunan di selatan cenderung lebih panjang, maka
mempertahankan keaslian pada fasadnya. dari itu dibagi menjadi beberapa segmen untuk mempertahankan
ciri khas bangunan Indis yang cenderung ramping. Fasad dibuat
selaras dengan ketiga bangunan yang ada dengan penggunaan
Gambar 4.1 Analisis View Ke Arah Tapak gable. Membuat area balkon yang menghadap ke arah barat
maupun selatan. Balkon menjadi area foto bagi pengunjung a. Bentuk penataan ruang yang saling berhubungan
sekaligus menambah angle wajah bangunan bagi orang-orang ditinjau dari jenis kegiatan yang diwadahinya
yang melihatnya dari jalan.
b. Fleksibilitas ruang dalam mewadahi berbagai jenis
Dibuat suatu ruang di tengah-tengah tapak sebagai pusatnya. kegiatan yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan
Penyusunan ruang diatur terpusat. Ruang ini dikelola sebagai
taman hotel, sekaligus menjadi oase di tengah-tengah c. Pengelolaan fasad bangunan dan tata ruang luar yang
lingkungan kota yang padat. Ruang-ruang lain ditata menciptakan kemenerusan dan selaras dengan
mengelilingi taman hotel yang berperan sebagai penghubung bangunan lama
sekaligus daya tarik bagi tamu-tamu dan pengunjung hotel. d. Pengelolaan tekstur pada eksterior maupun interior
Sementara ruang-ruang lainnya ditata secara linier mengelilingi bangunan
pusatnya.
e. Pelestarian bangunan lama Hotel Toegoe.
Gambar 4.3 Analisis Pengelolaan Tata Ruang Tapak
Sebagai upaya revitalisasi bangunan cagar budaya, maka
bangunan yang baru haruslah menyelaraskan gaya arsitekturnya
dengan bangunan lama yang sudah ada. Fasad bangunan harus
dipertahankan, begitu pula tatanan ruang luarnya. Tidak hanya
itu, namun keberlangsungan bangunan perlu diperhatikan. Maka
dari itu digunakan konsep bangunan dengan suasana fotogenik
dengan pendekatan arsitektur Indis.
Gambar 5.1 Konsep Perencanaan Berdasarkan Kultural Wilayah

(sumber: analisis penulis)

C. Interior Bangunan
(sumber: analisis penulis)
Suasana fotogenik yang ingin dicapai perlu mengelola
beberapa elemen arsitektur lebih dalam, supaya mampu Zonasi pada tapak dikelompokkan menjadi zonasi hotel,
menciptakan keterkaitan antara suatu objek dengan lingkungan dan zonasi museum. Untuk zonasi hotel, dibuat area yang
dibatasi oleh bangunan-bangunan lainnya sehingga menciptakan
sekitarnya, maupun bayangannya. Pengelolaan elemen
ruang baru yang terisolasi dari kebisingan sekitar tapak.
arsitektural sebagai berikut:
a. Pengelolaan bentuk bangunan perlu memperbanyak Gambar 5.2 Konsep Zonasi Ruang Dalam Tapak
angle wajah bangunan. Dibuat dengan
mensubstraktif fasad, sehingga menciptakan variasi
bentuk namun tetap mempertahankan sifat arsitektur
Indis yang memiliki fasad bangunan ramping.
b. Pengelolaan ruang-ruang diatur dengan
memanfaatkan orientasi selasar dengan arah view
yang telah direncanakan, yaitu arah barat dan
selatan. Selasar dikelola sebagai ruang bersama
untuk para tamu, hal ini didukung dengan pemberian
balkon pada bangunan baru.
c. Pengelolaan skala ruangan bagian dalam disesuaikan
dengan fungsi serta luasan ruang. (sumber: analisis penulis)
d. Pengelolaan tata ruang dalam menyesuaikan dengan Gambar 5.3 Pengelompokkan Ruang Berdasarkan Jenis Kegiatan
tuntutan fungsi ruang. Ruangan seperti kamar tidur
dikelola dengan pencahayaan yang cenderung redup
dan berwarna kuning.
V. KONSEP PERANCANGAN
Revitalisasi Hotel Toegoe memiliki fungsi utama sebagai
hotel boutique dan museum yang memiliki suasana fotogenik
dengan pendekatan Arsitektur Indis. Perencanaan dan (sumber: analisis penulis)
perancangan bangunan dilakukan dengan pertimbangan aspek Bentuk bangunan dirancang dengan pendekatan arsitektur
fleksibilitas dan aspek fotogenik dari bangunan. Untuk Indis, dan juga pertimbangan fleksibilitas ruang. Pengelolaan
mencapainya, beberapa elemen yang perlu diperhatikan adalah: bentuk diwuj Gambar 5.6 Tampak Keseluruhan Bangunan Sisi
Selatan
udkan melalui pertimbangan fisik dan fungsi ruang. Gambar 5.8 Perspektif Eksterior Bangunan Sisi Selatan
Gambar 5.4 Penekanan Studi

(sumber: analisis penulis) (sumber: analisis penulis)


Ruang-ruang yang saling berkaitan erat kegiatannya Gambar 5.9 Interior Lobi Hotel
diletakkan berkaitan. Area sirkulasi dari lobi hotel menuju area
inap dibuat supaya pengunjung melewati area retail, resto dan
fasilitas hotel. Hal ini dengan tujuan pengunjung dapat melihat
area-area yang dikomersiilkan dalam hotel.
Gambar 5.5 Site Plan Revitalisasi Hotel Toegoe

(sumber: analisis penulis)


Gambar 5.10 Interior Museum Hotel Toegoe

(sumber: analisis penulis)

Gambar 5.6 Tampak Keseluruhan Bangunan

(sumber: analisis penulis)

(sumber: analisis penulis)


REFERENCES
Gambar 5.7 Perspektif Eksterior Bangunan Sisi Barat
[1] https://jogjaprov.go.id/berita/detail/yogyakarta-menjadi-kota-budaya-
asean-karena-memiliki-toleransi-tinggi
[2] https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/02/25/o33j6g384-
yogyakarta-diusulkan-jadi-world-heritage-city-ke-unesco
[3] https://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/public/objek/detailcb/PO20131010
00001/hotel-toegoe
[4] Prasetyo, D. B. (1999). Laporan Pendataan Bangunan Indis. Hotel
Toegoe, 4-7.
[5] Soenarno, A. (2006). Front Office Management. Yogyakarta: Penerbit
Andi.
[6] Jessup, H. (1988). Netherlands Architecture in Indonesia 1900-1942.
London: Courtland Institute of Art.
(sumber: analisis penulis) [7] Nowaczyk, M. (2012). Photogenic Architecture. Photogenic Architecture

Anda mungkin juga menyukai