Anda di halaman 1dari 10

Bangunan Kolonial di Kota Malang

Gereja Kayoetangan
Gereja Hati Kudus Yesus
Gereja merupakan salah satu bangunan tua yang bernilai historis. Perlunya belajar sejarah
melalui gereja dikarenakan gereja merupakan peninggalan sejarah dan menjadi saksi dari
kolonialisme Belanda di Kota Malang. Beberapa gereja tua yang mencetak sejarah Kota Malang
memang wajib untuk dikunjungi oleh para wisatawan. Salah satu gereja lawas yang memiliki memori
historis adalah Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus, atau biasa disebut sebagai Gereja
Kayutangan. Disebut Gereja Kayutangan karena gereja ini berdiri menjulang di ujung timur kawasan
Kayutangan.

Di Malang pada zaman kolonial, terdapat dua buah gereja Katolik yang besar. Pertama
adalah Gereja Hati Kudus Yesus yang ada di Jalan Kayoetangan (sekarang Jl. Basuki Rachmad), dan
Gereja Santa Theresia (Theresia Kerk) yang berada di Jalan Ijen. Yang tertua adalah Gereja Hati
Kudus di Jalan Kayoetangan, yang didirikan pada tahun 1905. Dari kejauhan, Gereja Kayutangan
menjadi penanda Kota Malang, terutama dengan dua menaranya yang menjulang. Saat itu, Malang
masih merupakan sebuah kota kabupaten, belum merupakan sebuah pemerintah kota. Sebenarnya
sejak tahun 1880 sudah ada sebuah gereja yang terletak di sebelah utara alun-alun (sekarang sudah
dibongkar) yang dipakai bersama-sama oleh umat Katolik dan umat Protestan.

Pada tahun 1897 umat Katolik menumpang pendopo Kabupaten Malang sebagai tempat
peribadatan. Saat itu paroki dipimpin oleh Romo Godefriedus Daniel Augustinus Jonckbloet.
Sementara itu Bupati Malang adalah R.A. Notodiningrat III yang memerintah pada 1854-1898.
Pendopo kabupaten beberapa lama menjadi gereja Katolik lengkap dengan orgel, kamar pengakuan
dosa, mimbar dan bangku komuni. Delapan tahun kemudian, tepatnya pada 1905 barulah Gereja
Kayutangan dibangun di utara alun-alun. Hal ini menjadikannya sebagai gereja Katolik tertua di Kota
Malang.
Pendirian Gereja Hati Kudus Yesus di Jalan Kayoetangan ini sebenarnya secara tidak
langsung mempunyai hubungan erat dengan sejarah perkembangan arsitektur kolonial di Hindia
Belanda. Gereja ini termasuk golongan bangunan yang dibangun oleh arsitek antara tahun 1900-
1915. Segolongan dengan bangunan Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia) yang didirikan tahun
1914, yang teletak di sebelah utara alun-alun, dan Palace Hotel (sekarang Hotel Pelangi) didirikan
tahun 1916 yang terletak di sebelah selatan alun-alun.

Gereja ini terletak di Jalan Monseigneur Sugiyopranoto No. 2 Kelurahan Kidul Dalem,
Kecamatan Klojen, Kota Malang, Provinsi Jawa Timur. Lokasi gereja ini berada di sebelah utara Mall
Sarinah atau bersebarangan dengan Toko Oen.

Gereja Katolik Paroki Hadi Kudus Yesus dibangun pada akhir tahun 1905 dan merupakan
gereja tertua di Kota Malang. Secara arsitektonis, bangunan Gereja Kayutangan tersebut sebenarnya
tidak berpengaruh terhadap perkembangan bangunan di Malang.Bangunan gereja ini merupakan
hasil rancangan arsitek Ir. Marius J. Hulswit. Hulswit adalah arsitek tamatan Kunstniverheidschool
Quellinus (Sekolah Seni Rupa Quellinus) di Amsterdam, memiliki pengaruh besar terhadap
perkembangan arsitektur di Hindia Belanda. Hulswit (1862-1921) adalah salah seorang pelopor
arsitektur kolonial modern di Hindia Belanda sesudah tahun 1900.Perancangan Gereja Hati Kudus
Yesus di Malang ini dikerjakannya setelah menyelesaikan pembangunan gereja katedral di Lapangan
Banteng Batavia pada tahun 1898. Hulswit adalah murid sekolah Quelinus yang dikepalai oleh PJH
Cuypers, seorang arsitek Neogothik di Belanda. Tidak mengherankan jika perancangan gereja bukan
menjadi masalah asing baginya. Gereja yang dirancang Marius itu dengan pemborong C Vi dibantu
Van Pad. Sedangkan Bourguignon sebagai pembantu pemborong dan Molijn sebagai pengawas
pembangunan.Pada tahun 1876, ia bekerja di firma arsitektur milik Petrus Josephus Hubertus
Cuypers (paman dari Eduard Cuypers yang kelak menjadi rekan kerjanya di Hindia Belanda). Di
Belanda, Hulswit terlibat dalam pembangunan Rijkmuseum Amsterdam, dan juga mengajar di
Sekolah Seni Rupa Quellinus yang dikepalai oleh P.J.H. Cuypers.
Pada tahun 1880, Hulswit pergi ke Hindia Belanda selama lima tahun, kemudian pada tahun
1890 ia kembali lagi ke Hindia Belanda. Ia sempat menetap di Surabaya sampai tahun 1895, sesudah
itu ia pindah ke Batavia yang kemudian mendirikan biro arsitek bersama rekan-rekannya. Sebelum
tergabung ke dalam biro arsitek, ia merancang Gereja Katedral (1901) di daerah yang dulu bernama
Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Setelah menyelesaikan Gereja Katedral tersebut,
Hulswit pergi ke Malang untuk mengerjakan Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus.Sebelum
dijadikan sebuah gereja, Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus merupakan tempat darurat yang
sewaktu-waktu dapat digunakan apabila diperlukan. Kemudian pada bulan Juni 1897 stasi Malang
secara resmi lepas dari stasi Surabaya dan usaha perbaikan gereja dilakukan agar dapat menampung
orang-orang yang pergi ke gereja, di saat Malang masih menjadi daerah bagian dari Karesidenan
Pasuruan.

Dilihat dari fasad bangunannya, gereja ini mengambil gaya Neo-Gothic sebagai ide gagasan
desainnya. Sementara Neo-Gothic sendiri adalah gaya arsitektur yang berkembang di Belanda pada
saat itu Neogothik yang memang sedang melanda banyak bangunan gereja di Eropa pada abad XIX .
Langgam Neo-Gothic ditunjukkan dengan penggunaan lancet, tracery, rose window, pointed arch
dan menara. Namun, di Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus ini juga terdapat penyesuaian
arsitekturalnya dengan kondisi geografis lokal. Keindahan arsitekturnya sangatlah memukai mata.

Ini terlihat dari struktur gedung yang tinggi. Struktur bangunan memiliki kerangka kokoh
pada dinding dan atap yang berfungsi sebagai penutup. Gereja ini juga memiliki jendela dan pintu
yang besar pada dinding yang dibangun dengan konstruksi skelet. Hal ini tampak pada tembok luar
gereja yang ditopang tiang peyangga dinding berbentuk persegi. Ukuran gereja yang ada di Malang
ini lebih kecil jika dibandingkan dengan yang ada di Batavia. Hal ini tentu saja disesuaikan dengan
kota dan banyaknya umat Katolik di Malang. Memang bentuknya memiliki ciri-ciri Neogothik yang
kuat meskipun tidak dapat dibandingkan dengan gereja-gereja Gothik yang megah di Eropa seperti
Notre Dame di Paris atau Westminster Abbey di Inggris. Pembangunan gereja ini disesuaikan dengan
bahan bangunan serta teknik membangun setempat.
Denahnya tidak berbentuk salib seperti pada umumnya gereja gaya Gothik. Karena atapnya
tidak begitu tinggi (jika dibandingkan dengan gereja Gothik yang ada di Eropa), maka tidak ada
penyangga yang sering disebut Flying Buttress. Denahnya berbentuk kotak, tidak ada ruang yang
dinamakan double aisle atau nave, dan sebagainya seperti layaknya gereja-gereja Gothik. Lebar
bentang denahnya kurang lebih 11,4 meter dan panjangnya kurang lebih 40 meter. Di sebelah depan
dari denahnya, di sisi kiri dan kanan, terdapat tangga yang dipakai untuk naik ke lantai dua yang
tidak penuh. Pada kedua tangga inilah, pada tampak luarnya, dibuat dua tower (menara), yang biasa
kita lihat pada gereja-gereja Neogothik. Pada tahap pertama pembangunan gereja ini, karena biaya
dan kesulitan konstruksi, menara ini belum dibangun,namun pada tanggal 14 Desember 1930
didirikan dua menara dengan pemberkatan dari Monseignur Clemens van der Pas.

Baru pada tanggal 17 Desember 1930 menara tersebut dibangun secara utuh dengan
ketinggian 33 meter. Menara itu dibangun pada masa Mgr Clemens van der Pas, O.Carm ketika
diangkat sebagai Prefek Apostolik Malang pertama tahun 1927. Pembangunan dilakukan sesuai
rencana arsitek Ir Albert Grunberg. Konstruksinya adalah konstruksi rangka (tetapi bukan sistem
cross vault) seperti umumnya sistem konstruksi Gothik. Jendela-jendela kacanya khas Gothik yang
berbentuk busur lancip yang terkenal itu. Plafon pada langit-langitnya juga berbentuk lekukan khas
Gothik yang terbuat dari besi, yang merupakan rekayasa dari arsitek Hulswit sendiri. Tercatat,
menara tersebut runtuh dua kali sejak dibangun 1930. Pertama, pada 10 Februari 1957 menara
runtuh ketika sedang ada khotbah di dalam gereja. Sebuah salib di ujung menara runtuh, dan
menimbulkan lubang besar pada atap gereja. Kemudian kedua terjadi pada 27 November 1967,
menara kembali runtuh akibat ditabrak sebuah pesawat TNI AU.

Ciri yang lain adalah bangunan dengan konsep yang memberi keleluasaan cahaya dalam
gedung gereja, Allah dipahami hadir di mana saja seperti cahaya. Memang, yang terindah dari
sumbangan Gotik terhadap konsep cahaya adalah pemakaian kaca bergambar yang disebut stained
glass sebagai pencerahan mistik, Ngalamers.
Seperti juga arsitek asal Amsterdam pada masa itu yang sangat menyukai detail-detail
bangunan dengan desain keterampilan tangan yang tinggi, sebagai warisan dari aliran art and craft-
nya William Morris, Hulswit juga merancang sendiri altar gereja ini. Altar itu dibuat dari kayu yang
dipesan dari tukang kayu Cina di Surabaya. Namun altar yang dipakai pada gereja itu sekarang bukan
altar yang didesain oleh Hulswit karena altar yang lama itu sudah disingkirkan pada tahun 1965.
Arsitektur gereja ini memang tidak terlalu istimewa tetapi cukup besar pada jamannya untuk skala
Kota Malang. Jika dinilai secara keseluruhan, memang desain dari Gereja Kayutangan ini tidak
berpengaruh besar pada perkembangan arsitektur kolonial di Malang.

Di dalam gereja terdapat prasasti yang ditulis dalam bahasa Belanda yang artinya Gereja ini
dipersembahkan kepada hati Kudus Yesus, didirikan berkat kemurahan hati Monseigneur
Edmundus Sijbrandus (ES) Luypen, dirancang oleh Marius J. Hulswit dan semasa penggembalaan
romo-romo Godefriedus Daniel Augustinus (GDA) Joncbloet dan FB Meurs pada tahun 1905,
dilaksanakan pemborong YM. Monseigneur ES Luypen, Uskup Tituler dari Eropa, Vikaris Apostolik
dari Batavia.

Sampai saat ini, Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus ini masih berdiri kokoh dan
menjulang. Sejak awal didirikan hingga saat ini bangunan gereja tersebut tidak mengalami
perubahan, bentuk bangunan dan gaya arsitekturalnya tetap sama seperti awal berdirinya. Nilai
historis yang dimilikinya telah mewarnai dan sekaligus menjadi landmark tersendiri bagi Kota
Malang.
Balaikota Malang

Sebelum tahun 1914 Malang masih merupakan daerah bagian dari Karesidenan Pasuruan
dan kekuasaan tertinggi di Malang adalah Assisten Residen dan kantornya berada di selatan Alun-
alun (sekarang kantor Perbendaharaan dan Kas Negara). Setelah Kota Malang dinaikkan statusnya
menjadi Gemeente(pemerintah kota) tanggal 1 April 1914, Kota Malang berhak memerintah daerah
sendiri dengan dipimpin oleh seorang Burgemeester (Walikota). Semula jabatan walikota itu
dirangkap oleh Asisten Residen sampai tahun 1918. Baru tahun 1919 Malang mempunyai walikota
pertama HI Bussemaker, yang menduduki jabatannya sampai 1929. Meskipun walikotanya telah
ditunjuk, tetapi sampai tahun 1926 Kota Malang masih belum memiliki kantor balaikota yang
permanen.

Dari sisi belakang sebelah kanan Balai Kota Malang


Dari sisi depan sebelah kiri Balai Kota Malang

Alasan untuk membentuk daerah pusat pemerintahan baru membuat pihak kota
(Gemeente) membuat rencana perluasan kota kedua (Bouwplan II) yang diputuskan pada 26 April
1920. Daerah ini dinamakan sebagai Gouverneur-Generaalbuurt. Rencana tersebut baru
dilaksanakan pada tahun 1922. Lapangan yang menjadi orientasi utama daerah baru tersebut
kemudian dinamakan sebagai Jan Pieterszoon Coenplein(Lapangan JP. Coen). Karena lapangan
tersebut berbentuk bulat (bahasa Jawa: bunder), maka sering disebut sebagai Alun-alun Bunder. Di
tengah Alun-alun Bunder tersebut dibuat kolam air mancur. Di sekitar Alun-alun Bunder tersebut,
kemudian didirikan berbagai bangunan resmi dan monumental seperti Balaikota Malang, gedung
sekolah HBS (AMS), sekarang SMA Negeri, tempat kediaman panglima militer, Hotel Splendid, dan
Kantor Dinas Topografi, serta bangunan villa lainnya. Lingkungan baru tersebut kemudian terkenal
sebagai daerah yang menjadi ciri khas Kota Malang.

Gagasan perencanaan Balaikota Malang tersebut baru muncul pada akhir tahun 1926. Pada
saat itu walikota H.I. Bussemaker mengadakan sayembara perancangan Balaikota Malang, yang
lokasinya sudah ditentukan di selatan lapangan JP. Coen. GemeenteMalang menunjuk Ir. W. Lemei
sebagai juri dengan dibantu oleh Ir. Ph. N. te Winkel dan Ir. A. Grunberg. Ir. W. Lemei adalah pejabat
Landsgebouwendienst (Kepala Jawatan Gedung Negara). Pada sayembara tersebut terdapat 22
gambar yang masuk.

Laporan yang diberikan para juri kepada Gemeente Malang pada dasarnya memberikan
penekanan bahwa tidak seorang pun dari peserta sayembara yang berhasil memenuhi persyaratan
sebagai pemenang. Denah-denah yang masuk yang masuk memberikan gambaran bahwa
pembuatnya kurang ahli, demikian komentar juri. Kekurangan yang paling menonjol dari hampir
semua peserta menurut laporan juri antara lain opset yang terlalu mewah, distribusi ruangan yang
kurang baik, perbandingan ukuran yang kurang serasi dari ruang-ruangnya. Kemungkinan untuk
perluasannya pun tidak dipenuhi oleh beberapa peserta. Ada beberapa peserta yang mencoba untuk
memenuhinya tetapi hasilnya dinilai sangat acak-acakan. Hanya satu dua saja yang memang benar-
benar memikirkannya dengan layak. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa akhirnya juri
memutuskan bahwa tidak ada pemenang di antara pengikut sayembara tersebut.

Namun setelah diadakan penelitian kembali, kemudian diputuskan untuk mengambil tiga
buah rancangan untuk dipilih. Setelah diadakan penilaian kembali maka di antara ketiga unggulan
tersebut tidak ada yang diberi nomor satu. Pemenang nomer dua dan tiga diberikan kepada dua
peserta terbaik. Oleh pihak juri dinilai bahwa kedua proyek yang dipilih sebagai pemenang tersebut
dapat dilaksanakan dengan biaya kurang lebih f 175.000,-.

Pada tanggal 14 Februari 1927 diputuskan oleh Dewan Perwakilan (Gemeenteraad) agar
rancangan yang dianggap terbaik dapat diwujudkan dengan berbagai perubahan yang diusulkan oleh
juri. Keputusan jatuh kepada rancangan HF Horn dari Semarang dengan motto Voor de Burgers van
Malang (Untuk Warga Malang). Pekerjaan pembangunan balaikota tersebut dilaksanakan oleh pihak
kota sendiri pada 1927-1929, dengan biaya saat itu sebesar f 287.000,- dan perabotannya sebesar f
12.325,-. Pada bulan November 1929 gedung tersebut baru bisa dipakai. Yang pertama kali
menempati gedung tersebut adalah pengganti HI Bussemaker, yaitu Ir. EA Voorneman.

Beberapa tahun kemudian apa yang dikemukakan oleh juri sebagai kekurangan, yaitu
tentang pembagian ruangannya, ternyata terbukti benar. Akibat pertumbuhan Kota Malang yang
sangat cepat, beberapa dinas memerlukan perluasan. Ada bagian-bagian yang harus bertukar
tempat dan sebagian lagi rungannya sudah tidak mencukupi lagi. Untuk mengatasi kekurangan
tempat tersebut, kemudian ruang baca dan ruang perpustakaan kota dipindahkan Rumah Dinas Kota
di Jalan Arjuna. Dengan kosongnya ruang-ruang ini maka untuk sementara kekurangan ruang
tersebut dapat dipecahkan.
Perancangan interior dari Balaikota Malang dipercayakan kepada C. Citroen, arsitek terkenal
dari Surabaya. Bagian interior yang dirancang oleh Citroen adalah interior balai sidang, ruang
walikota dan sekretarisnya. Karena biaya pembangunan gedungnya ternyata sungguh di luar dugaan,
maka anggaran untuk interiornya memang menjadi terbatas. Meskipun demikian Citroen telah
berhasil membuat interior yang memerikan kesan cukup berwibawa. Kayunya menggunakan jati
putih, sedangkan kursinya diberi bekled dari kulit kaleb kuning.

Bangunan balaikota terdiri dari dua lantai. Orientasi bangunannya menghadap utara-selatan.
Karena letak dan bentuk utama lokasinya, maka balaikota tersebut seolah-olah ingin menguasai
lapangan JP. Coen (Alun-alun Bunder) dengan indahnya. Bentuk utama dari denahnya sesuai benar
dengan kehendak situasinya yang harus mengarah ke lapangan JP Coen. tampak bangunannya
berbentuk simetri dengan pintu utama tepat berada di tengah. Di atas pintu masuk tersebut terletak
ruang rapat beserta teras besar yang diapit oleh ruang walikota dan Dewan Harian. Semua lalu lintas
harus melalui pintu utama. Dinas-dinas yang berhubungan dengan publik berada di lantai bawah.
Situasi bangunannya sangat mendukung sehingga tampak bangunan menjadi monumental dan
megah.

Berbeda dengan rancangan kantor-kantor kolonial lainnya di Hindia Belanda pada waktu itu,
Balaikota Malang mengambil model selasarnya (sirkulasi penghubung) di bagian belakang. Pada
umumnya kantor kolonial yang dibangun hampir bersamaan dengan Balaikota Malang pada waktu
itu, seperti kantor Balaikota Surabaya, Kantor Gubernur Jawa Timur atau Kantor Pusat HVA di
Surabaya mengambil selasar mengelilingi gedung. Karena tidak ada perlindungan langsung pada
jendela tampak depannya, maka jendela-jendela pada Balaikota Malang ini sekarang terpaksa diberi
overstek tambahan, untuk menahan tampiasan air hujan dan masuknya sinar matahari langsung
(meskipun orientasi bangunannya diusahakan ke arah utara-selatan, tetapi tidak tepat). Pemerintah
Kota (Gemeente) Malang saat itu sadar akan adanya beberapa kekurangan desain bangunan
tersebut, maka untuk interior bangunannya pihak Gemeente terpaksa meminta bantuan C. Citroen
yang berdomisili di Surabaya.

Pada tanggal 29 Juli 1947 Belanda menyerbu Malang yang dikenal sebagai Agresi Militer
Belanda I. Pada tanggal 31 Juli 1947 pukul 9.30 pagi tentara Belanda menduduki Kota Malang.
Sebelum tentara Belanda memasuki kota, gedung balaikota sudah dibumihanguskan oleh para
pejuang. Bukan gedung balaikota saja yang dihancurkan, gedung-gedung penting lainnya meliputi
seribu bangunan turut dibakar. Baru setelah perang kemerdekaan gedung Balaikota Malang kembali
dibangun.

Anda mungkin juga menyukai