Anda di halaman 1dari 4

Labelisasi dan Mandeknya Budaya Kritis

Oleh : Adib Dian Mahmudi


Refleksi
Mendiang Farag Fouda, seorang doktor ekonomi pertanian Mesir,
pernah menulis ungkapan bernada satire; kebanyakan orang hanya ingin
mendengar apa yang mereka sukai. Ungkapan tersebut ditulis pada
mukadimah buku al-Haqiqah al-Ghaybah terbitan Dar wa Matabi alMustaqbal, Aleksandria (Mesir). Buku ini hanya menjelaskan babakan
sejarah kelam praktik politik kaum Muslim di masa klasik, sembari
mengajak pembacanya mengambil hikmah dari realitas sejarah itu.
Mestinya, hal ini bukanlah sebuah kegiatan berbahaya. Fouda bahkan
berharap bukunya akan menambah khazanah historis dan intelektual
umat Islam.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Tanggal 3 Juni 1992, beberapa
ulama dari Universitas al-Azhar mengeluarkan pernyataan bahwa Fouda
beserta buah karyanya telah menghujat agama dan karenanya keluar dari
Islam. Ini berarti, ia adalah musuh Islam dan halal darahnya. Labelisasi
halal berarti boleh dibunuh. Sebelumnya, kelompok ulama yang sama
menerbitkan daftar nama-nama orang yang memusuhi Islam, dan Fouda
berada di urutan pertama. Tanggal 8 Juni 1992, Fouda ditembak mati di
Madinat al-Nasr (Kairo). Ia dibunuh oleh dua penyerang bertopeng dari
kelompok Jamaah Islamiyah (Gamaa Islamiyya).
Situasi serupa juga kerap terjadi di realitas sejarah Indonesia, salah
satunya dialami oleh mendiang Pramoedya Ananta Toer. Penulis novel dan
sastrawan produktif ini pernah ditangkap dan diasingkan ke Pulau Buru
sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan. Bukunya sempat
dilarang dari peredaran, sebagian lagi dibakar oleh TNI Angkatan Darat
tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Oleh pemerintah, karya-karyanya
diberikan label bahaya laten, subversif, dan provokatif. Padahal sebagian
besar tema dalam novelnya hanya berkisah tentang dirinya, keluarganya,
dan sejarah Indonesia.
Pada ruang lain di tahun 1984, di bawah otoritas Daud Joesoef sebagai
Menteri Pendidikan, dibuatlah program Normalisasi Kehidupan Kampus
(NKK) dan membangun Badan Koordinasi Kampus (BKK). BKK terdiri dari
Senat perguruan tinggi dan Senat mahasiswa dengan fungsi utama untuk
meredam aktivitas politik mahasiswa pasca 1978. Selain membuat
NKK/BKK, pemerintah juga mempropagandakan labelisasi bagi mahasiswa
lewat adagium; apabila kita memberi makan orang miskin, kita akan
disebut orang suci, namun apabila kita bertanya kenapa mereka lapar,
kita dicap komunis. Mahasiswa yang tidak terlalu mempedulikan
propaganda tersebut tetap melanjutkan momentum kritisisme, sampai
Saat ini penulis aktif sebagai Sekretaris Front Perjuangan Pemuda Indonesia
(FPPI) Dewan Kota Kediri.

pada tahun 1989 aksi mahasiswa menolak NKK/BKK mengakibatkan


bentrok dan pemenjaraan mahasiswa seperti pada tahun-tahun
sebelumnya.
Situasi
Situasi represif seperti di atas kembali terulang dalam sejarah
Indonesia, kali ini terjadi di Universitas al-Asyariyah Mandar (Unasman)
Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Polemik ini berawal ketika
pihak rektorat Unasman mengeluarkan kebijakan saat masa perkenalan
kampus (taaruf) kepada mahasiswa baru. Kebijakan tersebut tentang
diwajibkannya mahasiswa baru mengikuti kursus Bahasa Inggris, namun
tidak dipungut biaya. Kursus tersebut dilaksanakan hanya 1 kali
pertemuan dalam seminggu, dan tiap pertemuan hanya membutuhkan
waktu 60 menit.
Keanehan muncul ketika pihak rektorat menarik biaya sejumlah Rp
200.000,- untuk mahar kursus Bahasa Inggris, dan kursus tersebut
diberlakukan sampai semester 4. Padahal, pihak kampus juga menyajikan
Bahasa Inggris sebagai mata kuliah. Alasan yang disampaikan pihak
rektorat terkait pemberlakuan dan pengenaan biaya kursus adalah
sebagai pendamping ijazah kampus. Kemudian mahasiswa yang
tergabung dalam organisasi Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)
Polewali Mandar melakukan kajian kritis terhadap kebijakan kursus Bahasa
Inggris Unasman, sampai terbentuklah solidaritas untuk mahasiswa baru
yang terkena kebijakan tersebut.
Dua kali upaya mediasi dilakukan dengan pihak rektorat dan Badan
Eksekutif Mahasiswa Unasman (tanggal 22 dan 24 Desember 2016),
namun mediasi tersebut tidak menghasilkan keputusan yang jelas.
Beberapa hari setelah mediasi, mahasiswa menggelar aksi di kampus
Unasman dan secara tegas mahasiswa menyatakan sikap menolak
diberlakukannya kebijakan kursus Bahasa Inggris dan pemungutan biaya
sejumlah Rp 200.000,- pada kursus tersebut. Aksi ini tidak berjalan lancar
karena adanya intimidasi yang dilakukan oleh pihak rektorat kepada
mahasiswa baru.
Tanggal 28 Desember 2016, mediasi kembali dilakukan dan dipimpin
secara langsung oleh Dr. Hj. Chuduriah Sahabuddin, M.Si (Rektor
Unasman). Dalam menyampaikan pidatonya, Chuduriah secara terangterangan melabeli FPPI sebagai organisasi perusak mental mahasiswa,
cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Islamic State of Iraq and
Syria (ISIS). Dasar pelabelan ini adalah hasil kesimpulan subjektif dan
terburu-buru seseorang yang melakukan spionase terhadap gerakan FPPI
Polewali Mandar. Pihak rektorat Unasman pun berencana melakukan Drop
Out (DO) kepada mahasiswa yang menjadi anggota FPPI Polewali Mandar
dan melakukan pembredelan terhadap organisasi FPPI Polewali Mandar.
Mediasi

Apa yang telah dilakukan oleh Rektor Unasman tersebut merupakan


bentuk hilangnya nalar dialektis akademis. Nalar dialektis ini berkembang
dalam iklim yang demokratis dan humanitarian. Segala bentuk
determinisme dan totalitarianirme yang kontra produktif dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dihapuskan. Dengan cara seperti ini,
putaran dialektika yang dihasilkan akan terus bergerak maju tanpa
meninggalkan prinsip keadilan dan keadaban, sehingga kampus akan
benar-benar menjalankan fungsinya sebagai produsen sekaligus lumbung
ilmu pengetahuan.
Dalam melakukan pelabelan terhadap FPPI, Rektor Unasman juga telah
melakukan penghakiman sepihak tanpa memperhatikan aspek historis,
aspek epistemologis, dan aspek sosiologis yang melatarbelakangi
kelahiran dan pergerakan FPPI. Pada konteks akademis, tri dharma
perguruan tinggi seharusnya menjadi dasar pola pikir dan pola tindak
setiap insan akademis. Insan akademis haruslah menjalankan pendidikan,
penelitian, dan pengabdian. Tanggung jawab intelektual dan moral
tersebut tidak hanya berlaku bagi mahasiswa, namun juga berlaku bagi
seluruh jajaran dosen maupun rektorat. Semuanya ditujukan bagi
tercapainya tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa yang adil dan
bermartabat.
Jika mau menyandingkan tri dharma perguruan tinggi dengan
pergerakan FPPI, sebenarnya tidak ada titik perbedaan yang tajam antara
keduanya. Bahkan, bisa dikatakan FPPI menjadi pendukung praktik tri
dharma perguruan tinggi. Landasan epistemologis dan ideologis yang
digunakan FPPI dalam berpergerakan tercantum dalam Manifesto Politik
(Manipol) FPPI. Di dalam Manipol FPPI dituliskan bahwa; FPPI didirikan
sebagai satuan kesadaran dan tindakan memilitankan pengorganisiran ...
sebagai langkah intensif dan efektif menyusun martabat ekonomi politik
rakyat Indonesia menuju kehidupan nasional yang demokratis dan
berkedaulatan.
Dari dasar tersebut, kiranya sudah jelas bahwa pendidikan yang
dilakukan oleh FPPI adalah untuk membuka ruang kesadaran kritis
masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan ini tak terbatas ruang dan
waktu, tidak terbatas pada adanya bangku dan 4 dinding pembatas,
namun pendidikan bisa diselenggarakan oleh setiap manusia dimanapun
dan kapanpun. Penekanan pada setiap anggota untuk membudayakan
membaca juga mutlak dilakukan. Karena apabila membaca tidak
dibudayakan, sesungguhnya sama halnya dengan merawat kebodohan
dan membiarkan kemiskinan struktural terjadi.
Berbagai advokasi atas kasus tanah di Probolinggo, Blitar, Kediri,
Salatiga, Sumatra Utara, dan beberapa wilayah lain di Indonesia,
merupakan sebagian dari kerja yang dilakukan oleh FPPI. Pada sektor
buruh, FPPI juga turut melakukan advokasi buruh di Jombang, Tangerang,
Surabaya, dan Yogyakarta. Semua kerja tersebut didasarkan pada
gagasan Nasional Demokrasi Kerakyatan (Nademkra). Nademkra adalah

suatu ide dalam rangka perang posisi ditingkat lokal, nasional, maupun
internasional dengan menyandarkan pada gerakan ekonomi politik
berbasiskan emansipasi massa. Semua hal tersebut ditujukan bagi
terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sangat gegabah dan serampangan apabila menyebut FPPI sebagai
gerakan perusak moral, cikal bakal PKI dan ISIS. Apalagi jika yang
melakukan hal demikian mempunyai latar belakang intelektual mumpuni
dan hidup dalam ruang akademis, ruang dimana kritisisme dibangun.
Parahnya lagi, kesimpulan yang diambil tidak didasarkan pada fakta
objektif, namun hanya tembung jare (kata seseorang). Meminta maaf
secara terbuka, mencabut pernyataan negatif tentang FPPI, dan
mengembalikan ruang berkespresi FPPI Polewali Mandar di kampus
Unasman kiranya bisa menjadi bentuk pertanggungjawaban rasional bagi
Rektor Unasman. Tanpa melakukan hal tersebut, sesungguhnya Unasman
tengah mencederai asas tri dharma perguruan tinggi dan menyatakan diri
sebagai kampus yang totaliter. Bukankah iklim totaliter menjadi iklim
pendukung tumbuhnya suburnya fasisme?

Anda mungkin juga menyukai