Anda di halaman 1dari 5

1

Virus Liberal di UIN Malang


(Senin, 14 April 2008 - Hidayatullah.com) Pada hari Ahad, 6 April 2008,
dalam sebuah acara Lembaga Dakwah Kampus di Malang, Jawa Timur, sejumlah
mahasiswa UIN dan STAIN dari beberapa kampus mengajukan pertanyaan kepada
saya, bagaimana cara menghadapi dosen-dosen yang mengajarkan paham liberalisme.
Ada yang menyatakan, bahwa di kampusnya, posisinya terjepit, karena tidak mudah
untuk mengkritik dosen-dosen yang dalam mengajar jutsru menanamkan keragu-
raguan terhadap Islam.

Pertanyaan semacam itu sudah berulangkali dilontarkan para mahasiswa


dalam berbagai kesempatan. Dan itu tidaklah aneh. Sebab, kampus-kampus saat ini
memegang prinsip kebebasan berpendapat. Di kampus itu dijamin kebebasan
berpendapat. Dosen berpikiran sesat atau tidak, itu bukan urusan pimpinan kampus.
Tapi, dianggap urusan individu masing-masing. Ada yang beralasan, bahwa
keragaman pemikiran dalam kampus adalah bagian dari kekayaan dan kebebasan
akademis.

Dalam pandangan Islam, tentu saja, pola pikir semacam itu tidak benar. Sebab,
dalam Islam ada kewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Kemunkaran yang
berat dalam Islam adalah kemunkaran ilmu. Dosen yang mengajarkan paham
Pluralisme Agama, misalnya, jelas-jelas telah melakukan tindakan munkar, yang
tidak kalah destruktifnya dibandingkan dengan dosen yang menilep uang kampus.
Akibat diterapkannya asas kebebasan itulah, maka banyak mahasiswa menjadi
korban. Mereka harus berjuang sendiri menyaring, mana pemikiran dosen yang
keliru dan mana pemikiran yang benar. Biasanya, karena kebingungan dan tidak
dapat menemukan jawaban, yang terjadi adalah sikap bingung dan apatis. Setiap
hari belajar Islam, tetapi dirinya tidak kunjung mendapatkan ilmu yang
meyakinkan dan menenangkan hati. Yang seringkali terjadi justru keragu-raguan,
skeptis, kebingungan, dan keresahan.

Kebingunan dan skeptisisme adalah buah dari penanaman paham relativisme


kebenaran yang diajarkan kepada para mahasiswa. Virus ini sudah begitu luas
menyebar. Seringkali orang yang mengidapnya tidak sadar. Bahkan, banyak yang
bangga mengidapnya; bangga karena tidak lagi meyakini Islam sebagai suatu
kebenaran. Virus ini memang tidak menyerang tubuh manusia, yang diserang adalah
pikiran.

Pengidap virus liberal ini biasanya sangat membanggakan akalnya dan


mengecam orang Islam yang menjadikan wahyu sebagai pegangan kebenaran. Akal,
kata mereka, lebih penting daripada wahyu. Mereka berpikir secara dikotomis, bahwa
akal dan wahyu adalah dua entitas yang bertentangan. Jika akal bertentangan dengan
wahyu, kata mereka, maka tinggalkan wahyu, dan gunakan akal. Karena mereka
merelatifkan semua pemikiran yang merupakan produk akal manusia, maka jadilah
2

mereka manusia-manusia relativis, yang tidak mengakui bahwa manusia bisa


mencapai kebenaran yang hakiki yang meyakinkan (’ilm).

Paham yang mendewakan akal semacam ini sudah lama ditanamkan di


Perguruan Tinggi Islam. Pelopornya adalah Prof. Harun Nasution. Seperti dikatakan
sendiri oleh Harun Nasution, bahwa misi dia dalam melakukan pembaruan pemikiran
dan kurikulum di IAIN adalah mengembangkan paham Mu’tazilah di IAIN. Dalam
buku ”Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution”, Harun
Nasution mengatakan:

”Sejak awal di McGill, aku sudah melihat pemikiran Muktazilah maju sekali.
Kaum Muktazilah-lah yang bisa mengadakan satu gerakan pemikiran dan peradaban
Islam. Selanjutnya malah mendirikan universitas di Eropa. Ini yang membuatku
berfikir: kalau Islam zaman dulu begitu, mengapa Islam sekarang tidak. Sebaiknya
Islam zaman sekarang lebih didorong lagi ke sana.

Sejak itu harapanku cuma satu: pemikiran Asy’ariyah mesti diganti dengan
pemikiran-pemikiran Muktazilah, pemikiran para filosof atau pemikiran rasional.
Atau dalam istilah sekarang, metodologi rasional Muktazilah. Sebaliknya, metodologi
tradisional Asy’ariyah harus diganti.”

Sejak awal tahun 1970-an sebenarnya sudah banyak yang memberikan kritik
terhadap pemikiran Harun Nasution. Salah satu kritik yang serius diberikan oleh
senior Harun Nasution di McGill, yaitu Prof. Dr. HM Rasjidi. Tetapi, kritik Rasjidi
dianggap angin lalu. Proyek ’Muktazilahisasi’ IAIN pun sebenarnya hanya batu
pijakan untuk melakukan Westernisasi IAIN, sebab pemikiran yang dikembangkan
kemudian, bukanlah benar-benar pemikiran Muktazilah, tetapi pemikiran Islam ala
Barat.

Karena itulah, kini, dengan mudah kita bisa mengamati, luasnya peredaran
virus lieral ini. Virus! Sekecil apa pun dia, tetaplah virus. Dia mempunyai daya yang
merusak seluruh jasad. Virus pemikiran ini pun tidak berbeda hakekatnya dengan
virus penyakit yang mempunyai daya rusak yang tinggi terhadap jasad. Jika pikiran
seseorang sudah dirusak oleh virus liberal, maka dia pun otomatis akan menjadi
penyebar virus yang sama ke pada orang lain.

Saat berada di Kota Malang, 6 April 2008 itu, saya menemukan sebuah buku
berjudul ”Intelektualisme Islam: Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama
Seri Ensiklopedia Islam dan Sains,” terbitan Lembaga Kajian Al-Qur’an dan Sains
(LKQS) Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 2006. Inilah salah satu lembaga
yang diandalkan oleh UIN Malang untuk mengeluarkan konsep-konsep yang Qur’ani.

Kita berharap, mudah-mudahan UIN Malang benar-benar menjadi kampus


Islam yang serius dalam menegakkan konsep keilmuan Islam dan menerapkannya
dalam kehidupa akademis di kampusnya. Kita berharap, dari kampus-kampus Islam
akan lahir cendekiawan-cendekiawan Muslim yang mumpuni keilmuannya dan
3

memiliki keyakinan dan komitmen yang kuat dalam perjuangan menegakkan


kebenaran.

Untuk meraih cita-cita itu, maka para dosen dan khususnya pimpinan kampus
Islam perlu sangat serius dalam merumuskan konsep keilmuan Islam dan
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari di kampusnya. Sebagai layaknya
seorang yang menanam padi, maka petani bukan hanya harus rajin memupuk dan
merawat tanamannya, tetapi pada saat yang sama, juga harus menjaga tanamannya
dari serangan hama yang merusak tanaman. Adalah aneh, jika ada petani yang rajin
memupuk padinya, tetapi membiarkan saja tanamannya dimangsa tikus, ulat tanaman,
atau jenis-jenis hama lainnya. Virus-virus liberal yang bergentayangan di dunia
kampus dan masyarakat saat ini tak ubahnya seperti hama yang menggerogoti
tanaman.

Jika kita telaah buku ”Intelektualisme Islam” terbitan UIN Malang ini, kita
mendapati pemikiran yang kontradiktif. Banyak pemikiran yang baik, tetapi sekaligus
juga pemikiran yang merusak. Antara obat dan racun dipadukan menjadi satu. Salah
satu artikel yang berisi racun pemikiran berjudul, ”Pengembangan Ilmu Agama
Islam Berbasis Integrasi”, ditulis oleh seorang dosen UIN Malang yang
menyelesaikan pendidikan S-1 dan S-2 di UIN Yogyakarta.

Mengikuti garis pemikiran Harun Nasution, dosen UIN Malang ini juga
memuji habis-habisan paham Muktazilah dan mencaci maki paham Ahlu Sunnah dan
para tokohnya. Simaklah kutipan dari artikel tersebut:

“Matinya filsafat di dalam tradisi pemikiran Islam menunjukkan, secara


implisit, hilangnya otoritas kelompok Muktazilah dalam mengendalikan
pemerintahan, karena ia satu-satunya aliran yang mengagungkan akal. Mereka
digantikan oleh kelompok sunni yang lebih menjunjung tinggi wahyu dari pada
akal. Watak pemikiran sunni yang anti akal, pada giliran selanjutnya, menjelma ke
dalam bentuk propaganda “anti-filsafat” dan “filsafat bertentangan dengan
agama. Maka tidak heran jika kemudian muncul tokoh semisal sang hujjah al-
Islam, Imam al-Ghazali, seorang tokoh besar dari kalangan sunni, sangat anti
filsafat, meskipun sebelumnya ia termasuk pecinta filsafat. Bukunya Tahafut al-
Falasifah” merupakan bukti sejarah atas ketidaksenangannya terhadap filsafat

Propaganda seperti itu semakin mendapat justifikasi di tangan seorang ahli


fiqih yang juga tokoh sunni, Imam Syafi’i, dengan kitabnya “ar-Risalah”. Sejak
saat itu, terjadi penyeragaman pemikiran keagamaan. Lewat karya itu, nalar
agama diresmikan. Ketika kita bicara tentang Islam dan bagaimana cara untuk
menyelesaikan persoalan yang muncul di muka bumi, maka semua jawabannya
ada di dalam Al-Qur’an, sebuah ortodoksi keagamaan yang dipaksakan.” (hal. 279-
280).

Begitulah pendapat seorang dosen UIN Malang tentang Muktazilah dan Ahlu
Sunnah. Kita mungkin bertanya, virus apa yang menjangkiti dosen UIN Malang itu,
4

sampai begitu rupa menjadi pemuja Muktazilah dan menistakan Ahlu Sunnah?
Padahal, dia adalah alumnus pesantren Ihyaul Ulum Dukun Gresik, salah satu
pesantren NU yang tentunya berpaham Ahlu Sunnah, dan bukan Muktazilah. Kita
bisa menebak, si dosen ini terjangkit virus liberal semacam ini di tempat dia
menimba ilmu, yaitu di UIN Yogya.

Jika kita mau menggunakan akal kita sedikit saja, maka kita dengan mudah
dapat menemukan bahwa pemikiran dosen UIN Malang tersebut tentang Muktazilah
dan Ahlu Sunnah adalah ”asbun”. Menyebut bahwa watak pemikiran sunni adalah
”anti akal” adalah sangat keterlaluan. Jawaban-jawaban kaum Sunni terhadap
pemikiran-pemikiran Muktazilah adalah jawaban-jawaban yang menggunakan akal,
dan bukan menggunakan ”dengkul”.

Peneliti INSISTS, Henri Shalahuddin MA yang menulis skripsi (di ISID


Gontor) tentang Muktazilah dan tesis Masternya (di IIUM) tentang al-Ghazali telah
menerbitkan sejumlah makalahnya tentang kekeliruan pemikiran Harun Nasution
dalam soal Muktazilah dan Ahlu Sunnah. Misalnya, dalam permasalahan tentang
rasionalitas baik dan buruk (al-Husnu wa l-qubhu aqliyani) yang menjadi perdebatan
antara Mu'tazilah dan Asy'ariyah. Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H) menyatakan,
bahwa perbedaan antara Muktazilah dan Ahlu Sunnah bukan pada soal “kemampuan
akal”, apakah ia dapat mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan. Sebab
keduanya sepakat bahwa akal manusia dapat mengetahuinya. Namun yang menjadi
perdebatan adalah apakah suatu perbuatan yang berhak mendapatkan pahala atau
siksa kelak di Akhirat, ditetapkan oleh akal atau wahyu?

Tokoh-tokoh Mu'tazilah, seperti Abu l-Hudzail al-'Allaf, Ibrahim al-


Nazhzham dan al-Qadhi 'Abd al-Jabbar berpendapat bahwa sebelum datangnya
wahyu, manusia tetap wajib mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi hal-hal buruk,
sesuai dengan kemampuan akalnya. Sedangkan menurut Imam Asy'ari, pahala dan
siksa hanya bisa ditetapkan dengan wahyu. Beliau mengutip ayat Al-Quran, antara
lain: "...dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul" (QS.
Isra': 15).

Jadi, dalam menjawab argumementasi Muktazilah, Asy’ari juga menggunakan


akal. Tetapi, akal yang tidak lepas begitu saja dari wahyu. Dalam kajiannya terhadap
pemikiran Harun tentang Muktazilah, Henri Shalahuddin menyimpulkan:

“Klaim Prof. Dr. Harun Nasution tentang rasionalisme Mu'tazilah dengan


menafikan sisi rasionalitas paham Asy'ariyah, tidaklah tepat. Golongan Mu'tazilah
yang diklaim paham yang paling rasional oleh Harun, sejatinya tidaklah demikian.
Bahkan, Mu'tazilah seringkali membebani akal melebihi kapasitasnya, sehingga
berlaku arogan di depan Sang Khalik. Seperti mewajibkan Tuhan mengutus Rasul,
memberikan pahala atau siksa sesuai amal perbuatan manusia, membuat "kebijakan
sendiri" kategori masuk surga atau neraka dan sebagainya.”
5

Tentang kedudukan akal dan wahyu, dalam kitabnya, “al-Iqtishad fi l-I'tiqad”,


Al-Ghazali membuat gambaran yang indah: "Perumpamaan akal adalah laksana
penglihatan yang sehat dan tidak cacat. Sedangkan perumpamaan Al-Qur'an adalah
seperti matahari yang cahayanya tersebar merata, hingga memberi kemudahan bagi
para pencari petunjuk. Amatlah bodoh jika seseorang mengabaikan salah satunya.
Orang yang menolak akal dan merasa cukup dengan petunjuk Al-Qur'an, seperti
orang yang mencari cahaya matahari tapi memejamkan matanya. Maka orang ini
tidak ada bedanya dengan orang buta. Akal bersama wahyu adalah cahaya di atas
cahaya. Sedangkan orang yang memperhatikan pada salah satunya saja dengan mata
sebelah (picak, red), niscaya akan terperdaya".

Menistakan kemampuan dan peran kaum sunni dalam membangun peradaban


Islam juga sangat a-historis. Kaum sunni telah terbukti dalam sejarah mampu
mewujudkan peradaban Islam yang hebat. Yang membawa Islam ke berbagai
pelosok dunia, termasuk ke wilayah Nusantara adalah kaum Sunni, bukan kaum
Muktazilah. Karena itu, adalah berlebihan dan tidak beradab terlalu mudah
mencaci maki kaum Sunni dan tokoh-tokohnya seperti Imam al-Ghazali, Imam al-
Syafii, dan sebagainya. Sebagai gantinya, seperti kita baca dalam artikelnya, dosen
UIN Malang ini pun akhirnya taklid buta pada tokoh-tokoh liberal seperti Nasr
Hamid Abu Zayd dan Mohammed Arkoun.

Sebagai pengidap virus liberal, dosen semacam ini juga aktif menyebarkan
virusnya, baik melalui pengajaran maupun tulisan. Sebagai salah satu kampus yang
membawa nama Islam, seyogyanya UIN Malang juga peduli dengan virus-virus
liberal yang merusak pemikiran mahasiswanya. Kita sebenarnya kasihan dengan
dosen muda semacam ini. Pintar tapi keliru. Tapi, kita tahu, dia pun sebenarnya
juga merupakan korban virus, yang mungkin tidak dia sadari. Kita juga kasihan
kepada mahasiswanya. Belum jadi apa-apa nanti sudah rajin memaki-maki para
ulama yang alim, shalih, begitu besar jasanya terhadap Islam.

Sebagai bagian dari umat Islam, kita wajib mengingatkan mereka. Mudah-
mudahan pimpinan kampus UIN Malang mau peduli dengan masalah pemikiran
semacam ini. Kita semua akan bertanggung jawab di hadapan Allah, kelak di Hari
Kiamat. (Depok, 4 Rabiul akhir 1429 H/11 April 2008/www.hidayatullah.com)

Sumber: Catatan Akhir Pekan [CAP] DR. Adian Husaini MA. adalah hasil kerjasama
antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Anda mungkin juga menyukai