Dalam pandangan Islam, tentu saja, pola pikir semacam itu tidak benar. Sebab,
dalam Islam ada kewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Kemunkaran yang
berat dalam Islam adalah kemunkaran ilmu. Dosen yang mengajarkan paham
Pluralisme Agama, misalnya, jelas-jelas telah melakukan tindakan munkar, yang
tidak kalah destruktifnya dibandingkan dengan dosen yang menilep uang kampus.
Akibat diterapkannya asas kebebasan itulah, maka banyak mahasiswa menjadi
korban. Mereka harus berjuang sendiri menyaring, mana pemikiran dosen yang
keliru dan mana pemikiran yang benar. Biasanya, karena kebingungan dan tidak
dapat menemukan jawaban, yang terjadi adalah sikap bingung dan apatis. Setiap
hari belajar Islam, tetapi dirinya tidak kunjung mendapatkan ilmu yang
meyakinkan dan menenangkan hati. Yang seringkali terjadi justru keragu-raguan,
skeptis, kebingungan, dan keresahan.
”Sejak awal di McGill, aku sudah melihat pemikiran Muktazilah maju sekali.
Kaum Muktazilah-lah yang bisa mengadakan satu gerakan pemikiran dan peradaban
Islam. Selanjutnya malah mendirikan universitas di Eropa. Ini yang membuatku
berfikir: kalau Islam zaman dulu begitu, mengapa Islam sekarang tidak. Sebaiknya
Islam zaman sekarang lebih didorong lagi ke sana.
Sejak itu harapanku cuma satu: pemikiran Asy’ariyah mesti diganti dengan
pemikiran-pemikiran Muktazilah, pemikiran para filosof atau pemikiran rasional.
Atau dalam istilah sekarang, metodologi rasional Muktazilah. Sebaliknya, metodologi
tradisional Asy’ariyah harus diganti.”
Sejak awal tahun 1970-an sebenarnya sudah banyak yang memberikan kritik
terhadap pemikiran Harun Nasution. Salah satu kritik yang serius diberikan oleh
senior Harun Nasution di McGill, yaitu Prof. Dr. HM Rasjidi. Tetapi, kritik Rasjidi
dianggap angin lalu. Proyek ’Muktazilahisasi’ IAIN pun sebenarnya hanya batu
pijakan untuk melakukan Westernisasi IAIN, sebab pemikiran yang dikembangkan
kemudian, bukanlah benar-benar pemikiran Muktazilah, tetapi pemikiran Islam ala
Barat.
Karena itulah, kini, dengan mudah kita bisa mengamati, luasnya peredaran
virus lieral ini. Virus! Sekecil apa pun dia, tetaplah virus. Dia mempunyai daya yang
merusak seluruh jasad. Virus pemikiran ini pun tidak berbeda hakekatnya dengan
virus penyakit yang mempunyai daya rusak yang tinggi terhadap jasad. Jika pikiran
seseorang sudah dirusak oleh virus liberal, maka dia pun otomatis akan menjadi
penyebar virus yang sama ke pada orang lain.
Saat berada di Kota Malang, 6 April 2008 itu, saya menemukan sebuah buku
berjudul ”Intelektualisme Islam: Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama
Seri Ensiklopedia Islam dan Sains,” terbitan Lembaga Kajian Al-Qur’an dan Sains
(LKQS) Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 2006. Inilah salah satu lembaga
yang diandalkan oleh UIN Malang untuk mengeluarkan konsep-konsep yang Qur’ani.
Untuk meraih cita-cita itu, maka para dosen dan khususnya pimpinan kampus
Islam perlu sangat serius dalam merumuskan konsep keilmuan Islam dan
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari di kampusnya. Sebagai layaknya
seorang yang menanam padi, maka petani bukan hanya harus rajin memupuk dan
merawat tanamannya, tetapi pada saat yang sama, juga harus menjaga tanamannya
dari serangan hama yang merusak tanaman. Adalah aneh, jika ada petani yang rajin
memupuk padinya, tetapi membiarkan saja tanamannya dimangsa tikus, ulat tanaman,
atau jenis-jenis hama lainnya. Virus-virus liberal yang bergentayangan di dunia
kampus dan masyarakat saat ini tak ubahnya seperti hama yang menggerogoti
tanaman.
Jika kita telaah buku ”Intelektualisme Islam” terbitan UIN Malang ini, kita
mendapati pemikiran yang kontradiktif. Banyak pemikiran yang baik, tetapi sekaligus
juga pemikiran yang merusak. Antara obat dan racun dipadukan menjadi satu. Salah
satu artikel yang berisi racun pemikiran berjudul, ”Pengembangan Ilmu Agama
Islam Berbasis Integrasi”, ditulis oleh seorang dosen UIN Malang yang
menyelesaikan pendidikan S-1 dan S-2 di UIN Yogyakarta.
Mengikuti garis pemikiran Harun Nasution, dosen UIN Malang ini juga
memuji habis-habisan paham Muktazilah dan mencaci maki paham Ahlu Sunnah dan
para tokohnya. Simaklah kutipan dari artikel tersebut:
Begitulah pendapat seorang dosen UIN Malang tentang Muktazilah dan Ahlu
Sunnah. Kita mungkin bertanya, virus apa yang menjangkiti dosen UIN Malang itu,
4
sampai begitu rupa menjadi pemuja Muktazilah dan menistakan Ahlu Sunnah?
Padahal, dia adalah alumnus pesantren Ihyaul Ulum Dukun Gresik, salah satu
pesantren NU yang tentunya berpaham Ahlu Sunnah, dan bukan Muktazilah. Kita
bisa menebak, si dosen ini terjangkit virus liberal semacam ini di tempat dia
menimba ilmu, yaitu di UIN Yogya.
Jika kita mau menggunakan akal kita sedikit saja, maka kita dengan mudah
dapat menemukan bahwa pemikiran dosen UIN Malang tersebut tentang Muktazilah
dan Ahlu Sunnah adalah ”asbun”. Menyebut bahwa watak pemikiran sunni adalah
”anti akal” adalah sangat keterlaluan. Jawaban-jawaban kaum Sunni terhadap
pemikiran-pemikiran Muktazilah adalah jawaban-jawaban yang menggunakan akal,
dan bukan menggunakan ”dengkul”.
Sebagai pengidap virus liberal, dosen semacam ini juga aktif menyebarkan
virusnya, baik melalui pengajaran maupun tulisan. Sebagai salah satu kampus yang
membawa nama Islam, seyogyanya UIN Malang juga peduli dengan virus-virus
liberal yang merusak pemikiran mahasiswanya. Kita sebenarnya kasihan dengan
dosen muda semacam ini. Pintar tapi keliru. Tapi, kita tahu, dia pun sebenarnya
juga merupakan korban virus, yang mungkin tidak dia sadari. Kita juga kasihan
kepada mahasiswanya. Belum jadi apa-apa nanti sudah rajin memaki-maki para
ulama yang alim, shalih, begitu besar jasanya terhadap Islam.
Sebagai bagian dari umat Islam, kita wajib mengingatkan mereka. Mudah-
mudahan pimpinan kampus UIN Malang mau peduli dengan masalah pemikiran
semacam ini. Kita semua akan bertanggung jawab di hadapan Allah, kelak di Hari
Kiamat. (Depok, 4 Rabiul akhir 1429 H/11 April 2008/www.hidayatullah.com)
Sumber: Catatan Akhir Pekan [CAP] DR. Adian Husaini MA. adalah hasil kerjasama
antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com