Anda di halaman 1dari 52

MELACAK

SEJARAH
KELAHIRAN
DAN
PERKEMBANGAN
IMM
BAB I

PENDAHULUAN

Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) produk


Muktamar ke-5 IMM tanggal 5-9 Sya‟ban 1406 H, bertepatan dengan tanggal 14-18 April 1986
M, di Padang Sumatera Barat, sesungguhnya telah diamanati Muktamirin untuk menyusun buku
sejarah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) secara resmi, dalam arti bisa dijadikan
literatur tunggal yang syah dalam masalah sejarah kelahiran IMM yang selama ini masih
simpang siur. Langkah yang telah ditempuhnya, yaitu dengan membentuk team penulisan
Sejarah resmi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, yang diketuai oleh immawan Drs. Sudarnoto
Azeth, M.A dan Noor Chozin Agham sebagai sekretaris. Dan team tersebut, kendatipun telah
berusaha, tampaknya masih akan sulit untuk diharapkan hasilnya.

Ada alasan etis (ketimuran?) yang menyebabkan kenapa penulisan sejarah IMM secara
resmi masih belum terwujudkan. Sebab, untuk dan atau dalam rangka menulis sejarah,
memerlukan ketelitian, kejujuran dan keikhlasan dalam mengkaji fakta dan data historis, serta
memerlukan kemampuan daya nalar yang tinggi untuk memberi interpretasi terhadap fakta dan
data historik tersebut, terutama sekali terhadap pelaku sejarah itu sendiri. Kemudian,
sebagaimana layaknya organisasi masyarakat dan pemuda serta mahasiswa lainnya, pada saat-
saat dilahirkannya tentu harus berbenturan dengan berbagai hambatan dan rintangan, baik dalam
bentuk manusia maupun material yang dibutuhkannya. Begitu pula dengan sejarah kelahiran dan
perkembangan IMM, tidak berbeda dengan organisasi yang lainnya yaitu mempunyai hambatan
dan atau rintangan. Hambatan dan atau rintangan yang dimaksud inilah yang menjadi alasan etik
ketimuran, karena para pelaku sejarah termasuk para penghambat dan perintangnya dewasa ini
masih hidup dan makin untuk kelanjutan dalam memberi pengaruh yang bersifat instruktif.

Tanggungjawab moral yang saya punyai ternyata lebih kuat untuk mengusik dan melacak
kelahiran IMM dan perkembangannya. Walaupun ada sementara pihak yang berbarengan dengan
penampilan sejarah resmi IMM senantiasa berusaha untuk menghalangi misalnya, untuk
menaruh rasa curiga misalnya dan lain-lain misalnya, tetapi kepentingan organisatorik ternyata
lebih dominan dan karenanya berikut ini saya ingin mencoba melakukan lacakan terhadap fakta
dan data historik mengenai kelahiran IMM dan perkembangannya, dengan maksud untuk
mengusir kesan negatif terhadap prospek IMM, yang pada umumnya kesan tersebut berada
dalam angan-angan mereka yang kurang setuju terhadap kelahiran Ikatan mahasiswa
Muhammadiyah (IMM).

Sekedar ungkapan informatik-historik, bahwa mereka yang kurang setuju tersebut, yaitu
mereka yang senantiasa dihinggapi oleh rasa phobisism, dan senantiasa memanipulir sejarah
IMM yang kono dikatakannya bahwa IMM itu lahir karena HMI (Himpunan Mahasiswa Islam)
akan dibubarkan, yang notabene IMM tidak perlu lahir karena ternyata HMI tidak dibubarkan.
Inilah salah satu pemanipulasian fakta dan historik yang ingin saya beberkan dan atau saya
luruskan, sehingga tidak tampak lagi interpretasi pincang seperti itu. Dan ini pulalah yang
menjadi alasan mendasar disusunnya lacakan sejarah kelahiran dan perkembangan IMM ini.
BAB II

LACAKAN TERHADAP

PROSES SEJARAH KELAHIRAN

IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH (IMM)

Sesungguhnya, ada dua faktor integral yang mendasari kelahiran Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern, yaitu faktor yang terdapat
dalam diri Muhammadiyah itu sendiri. Sedangkan faktor ekstern yaitu faktor yang datang dari
luar Muhammadiyah, khususnya ummat Islam dan umumnya apa yang terjadi di Indonesia, yang
masing-masing faktor tersebut akan diurai by singkat di bawah ini

1. Faktor Intern
Faktor intern ini sebenarnya lebih dominan dalam bentuk motivasi idealis, yakni suatu motif
untuk mengembangkan ideologi Muhammadiyah, yakni dfaham dan akal dan atau cita-cita
Muhammadiyah. Sebagaimana kita ketahui bahwa Muhammadiyah pada hakikatnya adalah
sebuah wadah (organisasi) yang cita-citanya, atau yang maksud dan tujuannya yaitu menegakkan
dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur
yang diridlai Allah Subhanahu Wata’ala (AD Muhammadiyah Bab II pasal 3). Dan dalam
merefleksikan cita-citanya ini, Muhammadiyah mau tidak mau harus bersinggungan dengan
lapisan masyarakat yang beraneka ragam; ada masyarakat petani, ada masyarakat pedagang,
masyarakat padat karya, masyarakat administratif dan lain-lain termasuk di dalamnya yaitu
masyarakat mahasiswa.
Persinggungan Muhammadiyah dalam menyatakan maksud dan tujuannya, terutama terhadap
masyarakat mahasiswa, cara dan tekhnisnya bukan secara langsung terjun mendakwahi dan
mempengaruhi mahasiswa yang berarti orang-orang Muhammadiyah khususnya para
muballighnya terjun ke kampus-kampus. Tetapi, dalam upaya ini, Muhammadiyah memakai
teknis dan taktik yang jitu, yaitu dengan menyediakan fasilitas yang memungkinkan bisa
menarik animo mahasiswa untuk mempergunakan fasilitas yang disiapkannya.
Pada mulanya, para mahasiswa yang bergabung atau yang mengikuti jejak-langkah
Muhammadiyah, oleh Muhammadiyah dianggap cukup bergabung dengan organisasi otonom
yang telah ada dalam hal ini yaitu Nasyi‟atul „Aisyiyah (NA) bagi yang putri (mahasiswi) dan
Pemuda Muhammadiyah bagi yang mahasiswa. NA didirikan oleh „Aisyiyah (Ortom tertua di
lingkungan Muhammadiyah) pada tanggal 27 Dzulhijjah 1349 H/16 Mei 1931 M. Sedangkan
Pemuda Muhammadiyah berdiri pada tanggal 25 Dzulhijjah tahun 1350 H/bertepatan dengan
tanggal 2 Mei 1932 M.
Anggapan Muhammadiyah tersebut lahir pada saat Mukatamar Muhammadiyah ke-25
(Kongres seperempat abad kelahiran Muhammadiyah) tahun 1936 di Jakarta yang pada saat ini
dihembuskan pula cita-cita besar Muhammadiyah untuk mendirikan Universitas atau Perguruan
Tinggi Muhammadiyah, dan yang pada saat itu PP Muhammadiyah diketuai oleh K.H. Hisyam
(periode 1933-1937). Dapat dikatakan bahwa anggapan dan pemikiran mengenai perlunya
menghimpun mahasiswa yang sehaluan dengan Muhammadiyah yaitu sejak kongres
Muhammadiyah ke-25 tahun 1936 di Jakarta.
Namun demikian, keinginan untuk menghimpun dan membina mahasiswa Muhammadiyah
tersebut, cenderung didiamkan lantaran Muhammadiyah sendiri saat itu belum memiliki
perguruan tinggi. Akhirnya, para mahasiswa di berbagai universitas atau Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) yang secara ideologis berittiba‟ pada Muhammadiyah, senang atau tidak senang
terpaksa bergabung dengan NA atau Pemuda Muhammadiyah. Dan untuk perkembangan
berikutnya, mereka yang di NA dan yang di Pemuda Muhammadiyah atau Hizbul Wathan,
merasa perlu adanya perkumpulan mahasiswa yang secara khusus anggotanya terdiri dari
mahasiswa Islam, dan alternatif yang mereka pilih, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
yang berdiri pada tahun 1947. Di HMI inilah para mahasiswa yang seideologi dengan
Muhammadiyah bergabung bahkan turut aktif merintis dan mendirikan serta
mengembangkannya. Bahkan sampai konon, ada tokoh Muhammadiyah yang menyebutkan
bahwa HMI adalah anak Muhammadiyah, dalam arti membawa ideologi Muhammadiyah. Prof.
Dr. Lafran Pane, seorang pencetus ide berdirinya HMI adalah orang Muhammadiyah yang
berniat untuk menggiring HMI kepada pemahaman atau cita-cita dan ideologi keagamaan yang
dianut Muhammadiyah, yang pada akhirnya memang ternyata banyak tokoh Muhammadiyah
yang turut aktif mengelola dan membina Himpunan Mahasiswa Islam.
Sehubungan dengan itu, sekarang terdengar suara sumbang untuk mengklaim bahwa tokoh-
tokoh Muhammadiyah di tingkat pusat seperti almarhum H.M.S Mintareja, S.H., Prof. Dr. H.
Ismail Sunny, S.H. MCL, almarhum Prof. Dr. H. Peunnoh Daly, H. Ramli Thaha, S.H., Drs. H.
Lukman Harun, Dr. H. M. Amin Rais, M.A., Dr. Kuntoeijoyo, Dr. Ahmad Syafii maarif, Drs. H.
Rusydi Hamka, dan lain-lain, adalah tokoh yang dibina oleh HMI. Klaim seperti ini
sesungguhnya – walaupun ada sedikit nilai kebenarannya tetapi –wajib untuk ditepiskan atau
direndam dalam-dalam. Sebab, fakta dan data sejarah, menyebutkan bahwa beliau-beliau itulah
yang secara ikhlas berpartisipasi aktif membina HMI. Jadi, bukan HMI yang berjasa untuk
Muhammadiyah, tetapi Muhammadiyah yang berjasa untuk HMI.
Bukti nyata yang dapat disaksikan kita sekarang, yaitu bahwa sebelum HMI lahir, beliau-
beliau tersebut sudah berada dalam Muhammadiyah. Lagi pula, beliau-beliau itu pulalah yang
secara moral dan ideologis turut merintis berdirinya dan atau lahirnya IMM (Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah) dan melepas HMI yang kelihatan berkembang baik, walaupun perkembangan
ini senantiasa menekan independen dan yang akhirnya secara ideologis berbeda dengan
Muhammadiyah. Kalau dahulu, Muhammadiyah secara kelembagaan turut mengembangkan
HMI, baik dari segi moral maupun dari segi material. Yang saya sebut terkahir ini, yakni
Muhammadiyah secara material turut membiayai aktifitas HMI di hampir setiap kongres atau
aktifitasnya, terbukti dari hasil lacakan terhadap arsip-arsip PP Muhammadiyah dan lembaga-
lembaga amal usaha Muhammadiyah (terutama PTM-PTM dan Rumah Sakit). Di sini, sekali lagi
layaknya dikatakan bahwa bukan HMI yang turut menelorkan tokoh-tokoh Muhammadiyah yan
dulu turut aktif mengendalikan HMI.
Kenapa Muhammadiyah membantu perkembangan HMI? Di atas sudah saya singgung,
bahwa HMI dulu dirintis dan dikembangkan oleh tokoh-tokoh Pemuda Muhammadiyah, yang
diharapkan supaya HMI tetap konsisten dengan paham keagamaan yang dianut Muhammadiyah
untuk kemudian dikembangkan di kalangan mahasiswa Islam. Namun akhirnya, HMI tidaklah
seperti yang diharapkan oleh Muhammadiyah. Penekanan independensi yang dikembangkan
HMI lama-kelamaan tidak sesuai lagi dengan independen yang dikehendaki Muhammadiyah.
Independensi HMI sekarang cenderung lebih liberal dalam segala aspek, segala aliran yang ada
dalam sejarah teologi Islam bisa masuk ke dalam tubuh HMI. Sehingga ada kesan lain bahwa
dalam HMI ada orang yang beraliran Asy‟ariyah, ada yang beraliran Syi‟ah, ada yang beraliran
Mu‟tazilah, ada pula yang beraliran nasionalisme, sekularisme, pluralisme dan lain-lain.
Sementara dalam Muhammadiyah ditekankan pada kebebasan berpendapat tetapi kesatuan dalam
ideologi Islam (baca Al-Qur‟an dan As-Sunnah), sehingga dalam Muhammadiyah tidak ada
mdzhab Syafi‟i, tidak ada madzhab Hanbali, tidak ada pula madzhab-madzhab lain. Jadi,
independensi dalam Muhammadiyah, yaitu dalam bidang madzhab fiqhiyah.
Melihat perkembangan HMI yang kian meluncur ke kancah dan dalam kebebasan ideologi
tersebut, maka Pimpinan Pusan Muhammadiyah via Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
memandang perlu menyelamatkan kader-kader Muhammadiyah yang masih berada dalam
jenjang pendidikan menengah atau pendidikan tinggi.
Pada tanggal 18 November 1955, Muhammadiyah baru bisa membuktikan cita-citanya untuk
mendirikan Perguruan Tinggi yang sesungguhnya dicita-citakan sejak tahun 1936, dan dengan
didirikannya Perguruan Tinggi ini, maka PP Pemuda Muhammadiyah melalui struktur
kepemimpinannua dibentuk Departemen Pelajar dan Mahasiswa, atau suatu departemen yang
dimaksudkan untuk menampung Pelajar dan Mahasiswa. Muktamar Pemuda Muhammadiyah ke-
1 di Palembang pada tahun 1956, di antara keputusannya ditetapkan yaitu “Langkah ke Depan
Pemuda Muhammadiyah Tahun 1956-1959”, dan dalam langkah ini ditetapkan pula usaha untuk
menghimpun pelajar dan mahasiswa Muhammadiyah yang mampu mengembangkan amanah.
Untuk lebih merealisasikan usaha PP Pemuda Muhammadiyah tersebut, maka lewat Konpida
(Konferensi Pimpinan Daeran Pemuda Muhammadiyah) se-Indonesia tanggal 5 Shafar 1382
H/18 Juli 1961 M di Surakarta, antara lain memutuskan untuk mendirikan IPM (Ikatan Pelajar
Muhammadiyah), PP Pemuda Muhammadiyah, saat berlangsung Konpida ini, belum berhasil
melahirkan organisasi khusus di kalangan mahasiswa Muhammadiyah. Sebab, pada saat ini
masih ada argumentasi bahwa untuk mahasiswa Muhammadiyah yang kurang berminat dalam
struktur Pemuda Muhammadiyah diperbolehkan duduk dalam kepemimpinan atau keanggotaan
Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Dan memang kepemimpinan IPM periode awal bahkan sampai
sekarang lebih didominasi oleh mereka yang sudah berpredikat sebagai mahasiswa, khususnya
untuk tingkat Cabang, Daerah dan Wilayah serta Pusat. Mereka yang masih berstatus sebagai
pelajar, seolah hanya boleh untuk kepemimpinan di tingkat ranting/kelompok.
Sehubungan dengan semakin berkembangnya Perguruan Tinggi Muhammadiyah dalam hal
ini Fakultas Hukum dan Filsafat di Padang Panjang yang berdiri pada tanggal 18 November 1955
tetapi kemudian sehubungan dengan adanya peristiwa PRRI, maka kedua Fakultas tersebut
mandeg, dan kemudian berdiri di Jakarta dengan nama Perguruan Tinggi Gruru (PTGP) yang
kemudian setelah melalui kemajuan-kemajuan berganti dengan nama IKIP. Tahun 1958 fakultas
yang serupa dibangun pula di Surakarta, di Yogyakarta berdiri Akdemisi Tabligh
Muhammadiyah, dan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial (FIS) berdiri di Jakarta yang kini berkembang
menjadi Universitas Muhammadiyah.
Jelasnya, sejak tahun 1960, kegiatan pendidikan tinggi atau Perguruan Tinggi
Muhammadiyah (PTM) pun mulai membanyak. Lantas, pada tahun 1960-an inilah mulai santer
ide-ide tentang perlunya penanganan khusus bagi mahasiswa Muhammadiyah, sehingga PP
Muhammadiyah pun mulai segera memikirkannya.
PP Pemuda Muhammadiyah yang oleh PP Muhammadiyah dan amanat Muktamar ke-1-nya
di Palembang (1956) dibebani tugas untuk menampung para mahasiswa yang seideologi dengan
Muhammadiyah, segera membendung “Study Group” yang khusus untuk mahasiswa. Dan dari
studi ini, kemudian setelah melihat perkembangannya, dijadikanlah Depertemen yang khusus
untuk mengembangkan studi grup ini. Sementara itu, para mahasiswa Muhammadiyah dari
berbagai kota seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Medan, Ujung Pandang, Padang
dan jakarta, yang pada umumnya merupakan pimpinan Pemuda Muhammadiyah, menjelang
Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad tahun 1962 di Jakarta, mereka mengadakan Kongres
Mahasiswa Muhammadiyah di Yogyakarta. Dan dari kongres inilah semakin santer upaya tokoh
Pemuda Muhammadiyah untuk melepaskan Departemen Kemahasiswaan supaya berdiri sendiri.
Pada tanggal 15 Desember 1963, PP Pemuda Muhammadiyah mulai mengadakan penjajakan,
didirikan lembaga dakwah Mahasiswa yang dikoordinir oleh Ir. Margono, Soedibjo Markoes dan
A. Rosyad Shaleh. Sedangkan ide pembentukannya yaitu dari Moh. Djasman yang saat itu duduk
sebagai Sekretaris Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah.
Sementara itu, desakan untuk segera membentuk organisasi khusus mahasiswa
Muhammadiyah, datang pula dari para mahasiswa Muhammadiyah yang ada di Jakarta seperti
Nurwijoyo Sarjono, M.Z Suherman, M. Yasin, Sutrisno Muhdam dan lain-lain yang saat itu
termasuk pula Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Maka, dengan semakin banyaknya
desakan tersebut, akhirnya PP Pemuda Muhammadiyah segera memohon restu kepada PP
Muhammadiyah yang saat itu diketuai oleh H.A Badawi. Giliran berikutnya, maka dengan penuh
bijaksana dan kearifan, akhirnya PP Muhammadiyah menerima usulan dari para pemimpin PP
Pemuda Muhammadiyah untuk mendirikan organisasi yang khusus untuk mahasiswa
Muhammadiyah. Moh. Djazman selaku sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah saat itu
mengusulkan nama yang tepat, yaitu IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH (IMM).
Tepat pada tanggal 29 Syawal 1384 H/ 14 Maret 1964, PP Muhammadiyah menunjuk Formatur
sebagai berikut:
Ketua Formatur : M. Djazman
Anggota Formatur : A. Rosyadi Shaleh
Soedibjo Markoes
Moh. Arief
Zulkabir
Sutrisno Muhdam
Syamsu Udaya Nurdin
Nurwijoyo Sarjono
Basri Tambun
Fathhurrahman
Soemarwan
Ali Kiai Demak
Sudar
M. Husni Thamrin
M. Susanto
Siti Ramlah
Deddy Abu Bakar.

Selanjutnya, termasuk juga faktor intern dalam melahirkan Ikatan Mahasiswa


Muhammadiyah (IMM), yaitu adanya motivasi etis di kalangan keluarga besar Muhammadiyah.
Dalam usaha mencapai maksud dan tujuan Muhammadiyah, seluruh jajaran keluarga besar
Muhammadiyah, baik yang berada dalam kepemimpinan ataupun yang masih jadi anggota dan
simpatisan biasa, baik yang berada dalam orang tua, kelas orang muda, kelas remaja maupun
kelas anak-anak, semuanya saja harus mampun hidup dalam lingkungannya dengan mengetahui
sekaligus memeliharanya.
Bagi para mahasiswa Muhammadiyah, yang berada (berkuliah di) dalam Perguruan Tinggi
Muhammadiyah maupun perguruan tinggi lainnya, dengan motivasi etis ini harus memahami
lingkungan tempat (kampus) perkuliahannya. Sehingga, dengan motivasi etis ini, mereka (para
mahasiswa Muhammadiyah) terdorong untuk melakukan dakwah amar ma’ruf nahi munkar,
yang salah satu jalannya yaitu mengajak teman-temannya untuk ikut serta mencipta diri sebagai
orang yang bersedia membantu mewujudkan masyarakat yang menjunjung tinggi agama Islam
yang bersumber langsung Al-Qur‟an dan Sunna Rasulullah SAW.
Penegasan motivasi etis tadi, sesungguhnya merupakan interpretasi rasional dari apa yang
dikehendaki oleh Allah SWT lewat firman-Nya yang antara lain terdapat dalam Al-Qur‟an surat
Ali-Imran ayat 104, yang tersohor dengan sebutan Ayat Muhammadiyah, yaitu yang terjemah
bebasnya sebagai berikut:
Seungguhnya di kalangan kita – mahasiswa Muhammadiyah – segera bersatu membentuk
sebuah organisasi yang dapat dijadikan sarana untuk berdakwah amar ma’ruf nahi munkar,
agar kita – mahasiswa Muhammadiyah – memperoleh keberuntungan.
Ayat Muhammadiyah (baca QS. Ali Imran: 104) yang mengandung amar atau perintah
tersebut oleh para Mufassir (ahli tafsir) dikatakan sebagai “amar fadhliyah” atau perintah wajib,
minimal wajib “kifayah”. Artinya, andai tak seorang pun dari Keluarga Muhammadiyah tidak
mengorganisir mahasiswa Muhammadiyah, maka semua keluarga besar Muhammadiyah akan
berdosa. Inilah sebabnya, PP Muhammadiyah yang tahu betul tentang hukum segera mendirikan
IMM tanpa memperhatika organisasi mahasiswa yang sudah ada.

2. Faktor Ekstern
Yang dimaksudkan faktor ini – sebagaimana yang telah disebut di atas – yaitu faktor di luar
Muhammadiyah, baik yang terjadi di kalangan ummat Islam secara umum, maupun yang
terdapat dalam sejarah pergolakan bangsa Indonesia, khususnya pemuda dan mahasiswa.
Yang terjadi di kalangan ummat Islam, yaitu masih menyuburnya tradisi-tradisi yang
sesungguhnya tidak lagi cocok dengan ajaran Islam murni khususnya dan juga tidak lagi sesuai
dengan perkembangan zaman. Di sana-sini ummat Islam, termasuk di kalangan mahasiswanya,
masih terlenan dengan praktek-prektek peribadatan yang penuh dengan bid‟ah, khurafat dan
tahayul. Kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap keramat seperti jimat, batu aki, keris,
dan lain-lain, masih membudaya. Kepercayaan terhadap ramalan dan mantra-mantra para dukun
masih membudaya. Kepercayaan terhadap tempat-tempat yang dianggap keramat, masih
digandrungi.
Budaya yang paling mengganggu kreatifitas aqliyah dan ijtihadiyah, yaitu keterpakuan
terhadap fatwa-fatwa para kiai yang sesungguhnya kadang-kadang tidak dilandasi dalil-dalil
qath‟i, bahkan mereka menganggap lebih suci dan patut dita‟ati ketimbang Al-Qur‟an dan
Sunnah. Dan masih banyak lagi aktifitas ritualis yang menjadi langganan yang sesungguhnya
mencerminkan sinkristik dan bahkan animistik. Dampak yang jelas ada gara-gara budaya
masyarakat Islam termasuk mahasiswa yang seperti tersebut itu, adalah semakin menancapnya
keterbelakangan dan atau kebodohan. Kendatipun negara saat itu sudah merdeka, tetapi
kemerdekaannya masih dalam arti sempit.
Parahnya lagi, asal mereka mengaku sudah shalat, sudah bayar zakat, puasa, dianggap beres,
tidak ada masalah. Ancaman ideologi yang komunistik, yang sesungguhnya sangat berbahaya
bagi keutuhan beragama dan bernegara, masih diabaikan. Akibatnya, banyak sekali di antara
kaum muslimin tua dan muda yang tergelincir terjun, sekaligus menjadi pendukung-pendukung
karib kaum Penjajah Ideologi dalam hal ini komunis. Akibat berikutnya, kemerajalelaan
komunis semakin menapak dan mengikat, yang pada gilirannya Bung karno sebagai presiden
saat itu kelihatan benar-benar tergoda oleh bujuk rayu komunis, sampai begitu tega menyegel
bahkan membubarkan Ormas dan partai-partai Islam. Masyumi sendiri sudah kena getahnya,
begitu pula PSI (Partai Sosialis Islam) dibubarkan pada tahun 1960.
Di samping itu, pergolakan organisasi-organisasi mahasiswa di tahun 1950-an sampai
terjadinya G.30 S/PKI 1965, kelihatan menemui jalan buntu dalam mempertahankan partisipasi
aktifnya dalam era kemerdekaan RI, terutama sejak Kongres Mahasiswa Indonesia 8 Juni 1947
di Malang yang terdiri dari HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMKRI (Persatuan Mahasiswa
Katholik Republik Indonesia), PMKI (Persatuan Mahasiswa Kristen Indonesia). PMJ (Persatuan
Mahasiswa Yogyakarta), PMD (Persatuan Mahasiswa Jakarta), MMM (Masyarakat Mahasiswa
Malang), PMKH (Persatuan Mahasiswa Kedokteran Hewan) dan SMI (Serikat Mahasiswa
Indonesia) yang kemudian berfungsi menjadi PPMI (Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan
Mahasiswa Indonesia) yang bersifat independen.
Pada mulanya, independensi PPMI memang kompak sebagai penggalang kekuatan anti
imperialisme, tetapi setelah melaksanakan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika (KMAA) di
Bandung tahun 1957 – yang merupakan prestasi puncak dari PPMI – masing-masing organisasi
anggotanya memisahkan diri. Ini, gara-gara dalam tubuh PPMI pada tahun 1958 telah menerima
masukan anggota baru yaitu CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) selundupan
dari PKI. Badan Kongres Mahasiswa Indonesia (BKMI) yang terdiri dari selain PPMI yaitu
PMID (Persatuan Mahasiswa Indonesia Jakarta), HMD (Himpunan Mahasiswa Jakarta), MMB
(Masyarakat Mahasiswa Bogor), PMB (Perhimpunan Mahasiswa Bandung), GMS (Gerakan
Mahasiswa Surabaya) dan GMM (Gerakan Mahasiswa Makassar), gara-gara CGMI tersebut juga
telah memisahkan diri dari PPMI tersebut. Akhirnya, masing-masing unsur bercerai-berai
mencari keselamatan sendiri-sendiri bahkan konon akhrinya banyak pula yang membubarkan diri
sebelum PKI membubarkannya, atau jelaskan yaitu karena pengaruh-pengaruh yang lahir dan
CGMI dan atau PKI sejak tahun dimasukinya yaitu 1958 maka akhirnya di sekitar bulan oktober
1965 – setelah PKI dilumpuhkan – PPMI kehilangan anggota dan sekaligus secara resmi
membubarkan diri.

Membantu HMI
Sebelum PPMI membubarkan diri, antara tahun 1964-1965 masing-masing organisasi
mahasiswa yang berfungsi ke dalam PPMI tersebut (yaitu PMID, HMD, MMD, PMB, GMS,
GMM, HMI, PMKRI, PMKI/GMKI, PMD, PMI, PMKH dan SMI) saling jor-joran atau sok
revolusioner, terutama setelah CGMI (PKI) masuk ke dalamnya. CGMI (PKI) kelihatan semakin
besar pengaruhnya dan kemampuannya untuk membujuk para penguasa termasuk Bung Karno.
HMI (Himpunan mahasiswa Islam) yang saat itu juga turut berlomba merevolusionerkan diri
menjadi sasaran CGMI dan atau PKI, yang akhirnya HMI hampir-hampir rapuh karena memang
PKI dalam hal ini para pendukungnya senantiasa mengeluarkan yel-yel menuntut supaya HMI
dibubarkan. Dengan demikian, HMI pun semakin bringas (baca tegar) untuk memperkokoh
sayapnya, semakin gesit bertindak membela diri. Dengan kluyuran (mengadakan lobby) ke sana
ke mari, HMI mencari pembela untuk memperkuat supaya dirinya tidak mempan terhadap
serangan PKI yang berusaha membubarkannya.
Pada saat-saat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) semakin terdesak itulah IKATAN
MAHASISWA MUHAMMADIYAH (IMM) lahir, tepatnya pada tanggal 29 Syawal 1384 H/14
Maret 1964 M. Inilah sebabnya, ada persepsi yang keliru bahwa IMM lahir untuk persiapan
sebagai penampung anggota-anggota HMI manakala bernasib sial organisasinya (HMI)
dibubarkan.
Persepsi yang keliru tersebut menghubung-hubungkan HMI dengan Muhammadiyah.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa HMI pada mulanya didirikan oleh orang-orang
Muhammadiyah, maka kalau HMI dibubarkan otomatis Muhammadiyah harus menyiapkan
wadah baru selain HMI. Logisnya, menurut persepsi isi, berarti IMM tidak perlu lahir kerana
ternyata HMI berhasil mempertahankan diri dan tidak jadi dibubarkan oleh PKI. Jelas, kalau
diperhatikan sejarah pergolakan organisasi-organisasi mahasiswa yang secara singkat tersebut di
atas, maka anggapan dan atau klaim yang mengatakan bahwa IMM lahir karena HMI akan
dibubarkan adalah anggapan yang sangat keliru, yang lahir karena kurang cerdas dalam memberi
interpretasi terhadap fakta dan data sejarah.
Sebaliknya, justru yang benar, yang rasional, yang berlandaskan analisis ilmiah terhadap
fakta dan data sejarah, adalah bahwa kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) salah
satu faktor historisnya yaitu untuk membantu eksistensi HMI supaya tidak mempan dengan
usaha-usaha PKI yang akan membubarkannya, sekali lagi, bahwa kelahiran IMM salah satu
maksudnya yaitu untuk membantu dan atau turut serta mempertahankan HMI dari usaha-usaha
komunis yang berniat jahat dan berambisi ingin membubarkan HMI. Dan ini, sesuai dengan sifat
IMM itu sendiri yang akan senantiasa menjalin kerjasama dengan organisasi mahasiswa Islam
lainnya dalam upaya ber-amar ma’ruf nahi munkar yang jadi prinsip dasar perjuangannya.
Itulah sejarah kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang dapat saya lacak
selama 3 (tiga) tahun, tepatnya selama saya bekerja di sekretariat PP Muhammadiyah Jl.
Menteng Raya 62 Jakarta dari tahun 1984 sampai tahun 1987, yang ketepatan pula waktu itu
saya sebagai Ketua Lembaga Pers & Pustaka (LPP) DPP IMM DKI Jakarta. Hasil lacakan yang
kemudian dilengkapi dengan buku-buku sejarah pergolakan pemuda dan mahasiswa ini, jelas
memberi ilmu kepada segenap peminat sejarah IMM, yang memang pada dasarnya dilahirkan
untuk melengkapi kebutuhan Muhammadiyah dalam mengembangkan sayap dakwahnya dan
sekaligus merupakan kebutuhan bangsa dan negara guna turut berpartisipasi aktif dalam mengisi
dan memberi bobot kemerdekaan Republik Indonesia di bawah naungan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.
Karena IMM merupakan kebutuhan intern dan ekstern itu pulalan, maka tokoh-tokoh
Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sebelumnya bergabung dengan Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI), mereka kembali sekaligus membina dan mengembangkan ideologi
Muhammadiyah antara lain melalui keseriusannya membina Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM). Bukti nyata niat mereka ini, yaitu bahwa untuk dan setelah sekian lama mereka
bergabung dengan HMI, ternyata HMI yang sudah dimasuki oleh kalangan mahasiswa dari
berbagai unsur Ormas Islam itu pada akhirnya berbeda bahkan bertentangan dengan orientasi
Muhammadiyah.
Karenanya, suatu hal yang wajar kalau kemudian mereka berbalik atau kembali ke
Muhammadiyah sekaligus turut mengembangkan IMM. Walaupun tidak semuanya begitu, tetapi
ini suatu hal yang susah untuk dihindari. Hampir di setiap daerah, informasi yang saya dapat,
misalnya dari dan di DKI Jakarta, DIY, Riau, Ujung-Pandang, Sumbar dan lain-lain, di sana ada
yang telah bergabung dengan HMI kemudian hijrah ke IMM yang lahir kemudian.
Yang perlu dicatat pula, bahwa para aktifis PP Pemuda Muhammadiyah dan NA yang
dengan susah payah mengusahakan berdiri atau melahirkan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM), adalah mereka yang betul-betul tidak pernah masuk HMI, atau tidak pernah bergabung
dengan HMI. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah murni didirikan oleh PP Muhammadiyah yang
saat itu di ketuai oleh H.A. Badawi dan yang dipercayakan kepada PP Pemuda Muhammadiyah
dalam hal ini Drs. Moh. Djazman Al-Kindi yang saat itu selaku Sekretaris PP Pemuda
Muhammadiyah untuk mengkoordinir pembentukannya.
Sehubungan hal tersebut, kalau selama ini keluarga besar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM) hampir saja semuanya terkecoh oleh kekurang-jelian mereka dalam menginterpretasikan
proses sejarah kelahiran organisasinya (IMM), yang keterkecohannya ini ditandai dengan adanya
tafsiran mereka bahwa pendiri IMM adalah Moh. Djazman Al-Kindi, maka dari lacakan
kelahiran ini, dapat dipahami bahwa sesungguhnya Moh. Djazman Al-Kindi bukan satu-satunya
pendiri IMM, sebaliknya beliau adalah hanya ketepatan sebagai seorang koordinator dan
sekaligus ketua pertama. Sedangkan pendiri yang benar adalah Pimpinan Pusat Muhammadiyah
atas desakan atau usulan Kongres Mahasiswa Muhammadiyah yang dilaksanakan oleh Pimpinan
Pusat Pemuda Muhammadiyah yang saat itu diketua-umumi oleh M. Fachrurrazi dan Moh.
Djazman sebagai sekretarisnya.
Penegasan bahwa Pak Djazman bukan satu-satunya pendiri adalah sangat penting dalam
kaitannya dengan penanaman keutuhan dan kelestarian IMM di masa mendatang. Pasalnya, di
samping Pak Djazman sendiri tidak pernah menyatakan secara egoistik mengaku hanya dirinya
yang berperan mendirikan IMM, juga karena Pak Djazman sangat memahami tradisi dan atau
ajaran Muhammadiyah yang tidak membenarkan “menonjolkan” diri. Bila ada seseorang
anggota Muhammadiyah yang memprakarsai mendirikan sebuah Pesantren misalnya, maka
orang tersebut bukanlah sebagai pendiri yang mempunyai konotasi menguasai dan enggan
digusur dari kepemimpinannya, melainkan hanya sebagai pemrakarsa “atas nama”
Muhammadiyah. Inilah esensi dari makna “Hidup-hidupilah Muhammadiyah”, yang berarti pula
“maju dan jayakanlah Muhammadiyah, jangan mencari kemajuan dan kejayaan dalam
Muhammadiyah.”
Kini, setelah kita melacak sejarah kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM),
sekarang tibalah kita membicarakan sejarah perkembangannya. Untuk maksud ini, dan agar lebih
sistematik dalam pengungkapannya. Maka dalam bab-bab berikut ini akan dibicarakan sejarah
perkembangan IMM dari Muktamar ke Muktamar khususnya yaitu dari Muktamar I, II, III, IV
dan V, karena kelima Muktamar inilah yang dinilai penting dalam proses pemapanan IMM untuk
masa perkembangan berikutnya.
Mengenai Muktamar ke-6 dan seterusnya, kalau ada kesempatan Insya Allah akan ditulis
kemudian, mungkin oleh saya sendiri atau ada kader IMM yang lain, yang berminat mengkaji
sejaran kelahiran dan perkembangan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
BAB III
SEJARAH PERKEMBANGAN
IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH
(Dari Muktamar I sampai V)

1. Muktamar Ke-1
Moh. Djazman Al-Kindi (Drs. H. MBA) selaku koordinator bersama anggota-anggotanya
sebagaimana tersebut di atas, memang menampakkan semangan dan amat rajin mengusahakan
agar IMM kian eksis dan kian berbobot dalam mengambil peran. Baru satu tahun usia IMM
waktu itu, sudah sangat banyak aktivitas yang dilakukan. Di antara kegiatan-kegiatan yang
paling bersejarah, yaitu melaksanakan Munas (Muktamar) I tanggal 1-5 Mei 1965, yang
menelorkan Deklarasi Kota Barat (Solo, 1965), yang isi deklarasi tersebut yaitu:
1. IMM, adalah gerakan mahasiswa Islam.
2. Kepribadian Muhammadiyah, adalah landasan perjuangan IMM.
3. Fungsi IMM, adalah sebagai eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah (stabilisator
dan dinamisator).
4. Ilmu, adalah amaliyah IMM dan amal adalah ilmiah IMM.
5. IMM, adalah organisasi yang sah mengindahkan segala hukum, undang-undang,
peraturan dan falsafah negara yang berlaku.
6. Amal IMM, dilahirkan dan diabadikan untuk kepentingan agama nusa dan bangsa.

Muktamar ke-1 Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) tersebut, lebih dikenal dalam
sejarah IMM yaitu dengan nama Musyawarah Nasional (Munas). Untuk yang pertama kalinya
dilakukan setelah IMM resmi direstui oleh PP Muhammadiyah dan bahkan oleh Presiden
pertama RI Bung Karno.
Dalam Muktamar ke-1 IMM inilah yang telah menelorkan Deklarasi Kota Barat (Solo) 1965
tersebut di atas dan Komposisi Personalia Dewan Pimpinan Pusat IMM Periode 1964-1967
sebagai berikut:
Ketua Umum : Mohammad Djazman Al-Kindi
Wakil Ketua : A. Rosyad Sholeh
Wakil Ketua : Moh. Amien Rais
Wakil Ketua : Soedibjo Markoes
Wakil Ketua : Zainuddin Sialla
Wakil Ketua : Sofyan Tanjung
Wakil Ketua : Marzuki Usman
Sekretaris Jendral : Sjamsu Udaya Nurdin
Wakil Sekjen : Bahransjah Usman
Wakil Sekjen : Sugiarto Qosim
Bendahara Umum : Abuseri Dimiyanti
Anggota-anggota : Mohammad Arief
Yahya A. Muhaimin
Ummi Kalsum
Aida Saleh
Sukiriyono
Zulkabir
Tabrani Dris
Zulfaddin Hanafiah
R. Adnan Razak
Djaginduang Dalimunthe
Bachtiar Achsan
Biro Organisasi Kader : A. Rosjad Sholeh
Zainuddin Sialla
Biro Politik & Lembaga
Pengembangan Ilmu : Moh. Amien Rais
Jahja A. Muhaimin
Dep. Penerangan : Marzuki Usman
Dep. Keputrian : Ummi Kalsum
Aida Saleh
Lembaga Penyiaran Islam : Soedibjo Markoes
Dep. Kesejahteraan Lembaga
Seni dan Budaya : Moh. Arief
Abdul Hadi WM
Satu hal yang patut dicatat, yaitu bahwa pada saat deklarasi atau pada saat berlangsungnya
Muktamar IMM ke-1 ini, situasi bangsa dan Ormas mahasiswa sedang dalam keadaan kurang
tegap, sempoyongan, gara-gara asap kota Madiun yang terberontak PKI sekitar tahun 1948
(setelah merdeka) sampai tahun 1965, hal yang mana pemberontakan PKI terdapat di mana-
mana, yang konon tercatat dalam sejarah bahwa Jawa Tengah termasuk basis PKI.
Sekitar tahun 1963-1965, adalah merupakan era kejayaan PKI, dan pada saat-saat itulah IMM
bangkit yaitu di tengah-tengah era kejayaan PKI itu. Jelasnya, pada pertengahan tahun 1965, atau
tepatnya 1-5 mei 1965, IMM mengadakan Muktamar I sementara PKI pun di setiap tempat
sedang mengatur strategi untuk merebut kekuasaan RI yang berpuncak pada tanggal 30
September 1965 yang kini dikenal G. 30 S/PKI yang telah melakukan penculikan terhadap 7
orang jenderal.
Jadi, secara historik, kehadiran Munas (Muktamar ke-1 IMM) merupakan langkah politis
yang tepat untuk menanamkan semangat juang mempertahankan kemerdekaan RI sekaligus pula
menambah kekuatan Ormas mahasiswa terutama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Secara historis-politis pula, pada saat kelahiran IMM tahun 1964, kehadiran IMM antara lain
– dalam tinjauan politis ini – yaitu bertujuan untuk memperkuat barisan MMI (Majelis
Mahasiswa Indonesia) yang lahir pada tahun 1962 di manaa Drs. Lukman Harun sebagai wakil
sekjennya. Tetapi, pada kongres MMI tahun 1964, yang semula diniatkan tetap mampu
menyatukan Ormas mahasiswa ternyata gagal, PKI tampaknya lebih kuat, akhirnya dengan dan
setelah melalui lika-liku organisatoris yang tidak pernah lepas dari niatan untuk mengganyang
PKI, bubarnya MMI tidak menggoyahkan niatan kelahiran IMM dan karenanya IMM tetap
melangkah mantap dan sangat tegap.
Masih dalam situasi menjelang Munas I, yaitu sekitar bulan Januari 1965, tepatnya yaitu
tanggal 13 Januari 1965, antek-antek PKI telah melakukan serbuan ganasnya terhadap PII
(Pelajar Islam Indonesia) yang saat itu sedang melangsungkan Mentra (Mental Training) di
sebuah Desa Kanigoro (Jawa Timur). Dengan, ganasnya PKI menyerbu arena Mentra di tengah
Masjid Jami‟, pada saat peserta mendengarkan kuliah subuh. PKI datang bersenjata, apapun yang
dilihatnya, dirusaknya. Kemudian, peristiwa ini tersiar dan sekaligus mengusik keimanan kaum
muslimin, maka pada tanggal 1 Februari 1965, ummat Islam di Jatim tersentak dan langsung
mulai melakukan aksi. Di jateng, di Jabar (Jakarta) dan lain-lain, pada bulan-bulan berikutnya
menyusul dan mulai santer melakukan aksi protes. IMM sebagai organisasi yang baru lahir,
segera ambil bagian dalam gerakan-gerakan protes, aksi dan teriakan-teriakan “Ganyang PKI”.
Para pemimpin IMM hasil Munas I yang diamanati untuk memimpin IMM periode 1965-
1968, dalam melaksanakan program kerjanya senantiasa harus berhadapan secara sengit dengan
CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI),
Pemuda Rakyat dan lain-lain yang termasuk organ PKI. Organ-organ PKI yang senantiasa
mengganggu aktivitas Ormas pemuda dan mahasiswa Islam termasuk IMM, selalu mengeluarkan
yel-yel “bubarkan HMI” dan lain-lain, sesungguhnya tidak membuat IMM jadi gentar apalagi
mundur. Pemuda Muhammadiyah yang secara organisatoris sebagai kaka kandung IMM,
senantiasa menggandeng IMM untuk maju ke medan pengganyangan PKI untuk
mempertahankan HMI dan bangsa yakni negara Pancasila serta berusaha mendekati Bung Karno
yang semakin terdesak dibujuk dan difitnah PKI.
Pada hari Kamis 30 September 1965, yang pada malam harinya terjadi G.30 S/PKI, kira-
kiranya jam 20-an, para anggota dan Pimpinan IMM yang berada di Jakarta, ikut mendengarkan
ceramah yang disampaikan oleh kasad Jenderal TNI A.H. Nasution di depan peserta latihan
Kader Pemuda Muhammadiyah Jakarta di kompleks UMJ Jl. Limau Jakarta Selatan (kini IKIP
Muhammadiyah). Kemudian, pagi harinya – setelah terdengar berita adanya penculikan terhadap
7 jenderal (termasuk Pak Nas, yang Alhamdulillah, lolos) atau G.30 S/PKI – maka Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang juga telah bergabung dengan GEMUIS dan telah
melakukan aksi membela HMI pada tanggal 11 September 1965 dan 13 September 1965, secara
cepat melakukan komunikasi dengan tokoh-tokoh Pemuda Muhammadiyah atas anjuran PP
Muhammadiyah yang ada di Jakarta, yang kemudian turut berkumpul di tempat yang sama.
Drs. Lukman Harun yang saat itu sebagai Ketua PP Pemuda Muhammadiyah memberi
briefing bersama H.S. Projokusumo (almarhum Rahimahullah), Sutrisno Muhdam, Mohd.
Suwardi, Sam‟ani, Sumarsono, Djalal Sayuti (almarhum Rahimahullah), Drs. Haiban HS dan H.
Suyitno. Beliau-beliau inilah yang kemudian mengadakan rapat (briefing) tertutup di ruang
rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta yang kemudian salah satu hasilnya yaitu membentuk
KOKAM (Komando Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Muhammadiyah atau Komando
Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah), Sumarsono dan Sutrisno
Muhdam dalam konteks ini adalah sebagai anggota sekaligus mewakili Dewan Pimpinan Pusat
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM).
Hal itu menujukkan, bahwa dalam KOKAM IMM berperan penting, sebagai Ortom
Muhammadiyah yang beranggotakan para mahasiswa militan, senantiasa bergerak dan
menggerakkan aksi-aksi protes menentang PKI, menuntut pembubaran PKI. Dan lewat KOKAM
ini pulalah IMM bisa bekerja sama dengan semua unsur TNI dan ABRI yang anti PKI.
Pada hari Senin 4 Oktober 1965, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) turut ambil
bagian dalam pembentukan KAP GESTAPU (Kesatuan Aksi Pengganyangan Kontra Revolusi
G.30 S/PKI) yang kemudian bergabung pula dengan aksi-aksi lain, seperti KAMI (Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia). Di sini, IMM pun ambil bagian. Immawan Saiful Alam termasuk
penandatangan Kebulatan Tekad yang isinya antara lain: “Mengutuk sekeras-kerasnya terhadap
tindakan teror dan penculikan para jenderal. Mendesak Bung Karno selaku Presiden untuk
membubarkan PKI dan antek-anteknya dan seluruh Ormas yang simpati terhadap G.30 S/PKI...”
Sesungguhnya, masih banyak peran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) kalau kita
lacak dokumen-dokumen sejarah perkembangannya. Apa yang tertuang di atas, itu bagian yang
saya anggap penting. Gerakan-gerakan yang dilakukan IMM sampai Muktamar II dan III (yang
secara singkat akan penulis kemukakan) sesungguhnya memperjelas kedudukan dan fungsi IMM
di tengah ummat dan bangsa.
Secara intern Muhammadiyah, sesungguhnya Munas I IMM tanggal 1-5 Mei 1965, juga
dipersiapkan untuk menghimpun ide-ide baru yang akan dibawa ke arena Muktamar
Muhammadiyah ke-36 bulan Juli 1965 di Bandung. Dan ternyata, Muhammadiyah pun
menerima dengan baik terhadap usaha IMM yang disampaikannya, yang dalam hal ini terutama
sekali yaitu rumusan Deklarasi Kota barat Solo 1965 yang garis-garis poko pikirannya tersebut
di atas. Sehingga Muhammadiyah sendiri lewat Muktamar ke-36-nya itu telah memutuskan pula
suatu kebijakan khusus untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang di dalamnya secara
otomatis terdapat anggota Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
Seusai Muktamar, tepatnya tanggal 27-29 November 1965, PP Muhammadiyah dengan dan
atau beserta Ortomnya termasuk IMM mengadakan Pleno di Yogyakarta. Salah satu
keputusannya yaitu menjumpai Presiden Soekarno dan dilaksanakan pada hari Rabu, 16 Februari
1966 di Istana Merdeka, yang sebelumnya pun sekitar bulan Mei 1965 di tempat yang sama PP
Muhammadiyah beserta Ortomnya termasuk DPP IMM, telah menyematkan lambang
Muhammadiyah di dada Bung Karno.
Pada saat kunjungan ke Pak Karno itulah kehadiran (kelahiran) IMM mendapat restu dari
Bung Karno, yang mungkin hanya IMM-lah satu-satunya Ormas mahasiswa yang mendapatkan
nota restu dari Presiden.
Sekitar tahun 1966, anggota IMM dan DPP-nya (hasil Muktamar I) di samping senantiasa
menampakkan keutuhan organisasi, juga masih sering berada di arena perjuangan untuk
menuntut supaya PKI dan antek-anteknya dibubarkan. Yang perlu dicatat di sini, yaitu
keterlibatan IMM dalam Komite Nasional WAY (World Asembly of Youth), yang mulai
diaktifkan kembali gerakannya pada tahun 1966. Komite ini lahir pada tahun 1952 (dan
dinonaktifkan setelah Indonesia keluar dari PBB tangaal 1 Januari 1965), kemudian pada tahun
1966 sehubungan dengan kembalinya Indonesia ke PBB Komite Nasional WAY diaktifkan lagi.
Komite yang merupakan konfederasi dari Ormas pemuda dan mahasiswa. Ia juga merupakan
komite yang berjuang di dalam dan di luar negeri. Di luar negeri, antara lain turut
memperjuangkan kembalinya Irian Barat ke pangkuan Indonesia, dan di dalam negeri turut
memperjuangkan berbagai kebutuhan pembangunan bangsa. Drs. Lukman harun, orang penting
dalam WAY tersebut dan saksi penting terhadap Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang
turut andil di dalam Komite WAY tersebut.
Begitu pula dalam aksi TRITURA, yang terjadi di sekitar tahun 1966, IMM turut serta di
dalamnya, bahkan Immawan Slamet Sukirnanto, pada saat terbentuknya KAMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia) termasuk salah seorang ketua presidium KAMI pusat, yang salah satu
tuntutannya yaitu merubah sistem dan struktur politik, yang memang kemudian berhasil sehingga
Bung Karno terpaksa turun dari jabatannya sebagai Presiden RI. Di sini, kalau boleh kita
katakan, bahwa IMM adalah termasuk eksponen angkatan ‟66 dalam perjuangan bangsa.
Pada tanggal 25-28 Juni 1967, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) telah
melaksanakan Konferensi Nasional II atau sekarang kita kenal dengan TANWIR II (yang
pertama yaitu tanggal 14 Maret 1964 pada saat pencetusan berdirinya IMM). Dalam TANWIR II
masa kepemimpinan Periode Muktamar I ini, di samping melengkapi rumusan-rumusan AD-
ART yang digarap pada Muktamar I, juga telah merumuskan DEKLARASI. Karena Tanwir II
ini berlangsung di Garut (Jawa Barat), maka Deklarasi tersebut kini kita kenal dengan
DEKLARASI GARUT 1967, yaitu:

DEKLARASI GARUT
Modernisasi dan Pembangunan
1. Menyadari perlunya peningkatan mutu Ikatan sebagai aparat pembaharu dan pengabdian.
2. IMM menegakkan lagi strategi dasar untuk pembinaan organisasi, kaderisasi, kristalisasi
dan konsolidasi:
2.1 Membina setiap anggota IMM sebagai kader yang taqwa kepada Allah dan sanggup
memadukan Intelektual dengan ideologi. Karena suksesnya perjuangan ummat Islam
Indonesia banyak ditentukan oleh para intelegensianya untuk selalu berjuang dengan
landasan ideologi Islam.
2.2 Membina setiap anggota IMM sebagai subyek aktifis yang selalu setia sepenuhnya
kepada ideologi dan loyal kepada organisasi. Pengalaman dan sejarah menunjukkan
bahwa untuk mencapai sasaran perjuangan tersebut harus didukung oleh anggotanya
yang meyakini kebenaran ideologi dan mengamalkan serta menunjang setiap aktifitas
gerakan.
2.3 Terus-menerus menyempurnakan dan menertibkan organisasi, sehingga organisasi
sebagai aparat perjuangan mampu mengantarkan Ikatan dalam mempelajari
perjuangan.

Memperlihatkan isi deklarasi garut tersebut, bila dihubungkan dengan kondisi bangsa saat
itu, sesungguhnya merupakan suatu penegasan dan atau kebulatan tekad IMM untuk mendukung
pemerintah Orde baru pimpinan Jenderal Soeharto. Dan dukungan yang dideklarasikan ini
merupakan dukungan yang bersifat mendasar dalam arti mendukung dengan syarat. Maksudnya,
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dalam mendukung keutuhan Orba lewan satu tekad
yang berintikan ideologi Islam yang berarti bahwa syarat mendukungnya harus dengan upaya
pemantapan dari dan lebih dahulu dengan potensi iman dan taqwa kepada Allah SWT. yang
proses pemantapannya yaitu dengan melakukan kaderisasi yang mengarah pada imanisasi dan
intelektualisasi, sehingga benar-benar kader IMM disebut sebagai aparat pembaharu dan
pengabdian terhadap agama, nusa dan bangsa, dan sehingga masyarakat yang sedang dirindukan
oleh Muhammadiyah tercipta dengan sendirinya.

Di samping itu, deklarasi tadi juga merupakan penegasan ulang bahwa Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM) sesungguhnya bukanlah organisasi massa, bukan organisasi politik
praktis dan juga bukan sembarang organisasi, melainkan IMM adalah benar-benar sebagai
organisasi kader Muhammadiyah, yang secara otomatis berarti pula kader agama, kader ummat
dan kader bangsa, yang secara otomatis pula akan bertanggungjawab terhadap masa depan
Muhammadiyah dan bangsa Indonesia.

2. Muktamar ke-2
Muktamar ke-2 Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) (waktu itu istilahnya masih
Munas II), dilaksanakan pada tanggal 26-30 november 1967 di Banjarmasin. Dalam Muktamar II
ini, rupanya Drs. M. Djazman Al-Kindi masih populer, seperti disebutkan di atas yaitu sangat
rajin memimpin IMM. Tidak heran kalau beliau terpilih kembali sebagai ketua Umum.
Jelasnya, susunan DPP IMM Periode Muktamar II (1967-1970) yaitu sebagai berikut:
Ketua Umum : Mohammad Djazman Al-Kindi
Ketua : A. Rosyad Sholeh
Ketua : Soedibjo Markoes
Ketua : Moh. Amien Rais
Ketua : Zulkabir
Ketua : Sofyan Tanjung
Ketua : Sjamsu Udaya Nurdin
Sekretaris Jendral : Bahransjah Usman
Sekretaris : M. Rusli
Bendahara Umum : Abuseri Dimiyanti
Bendahara : Usman Rahman
Anggota : Mohammad Arief
Zahir Khan
Abdul Malik
Abdul Muis ZA
Djaginduang Dalimunthe
Tabrani Dris
Sukiriyono
Moh. Ihsan
Zulfaddin Hanafiah
R. Adnan Razak
Bachtiar Achsan
Drs. Zainuddin Sialla
Staff Pembantu DPP : Koesnarata, B.Sc
dr. Joernalis Etik
H. Mawardi A.S
Drs. Abd. Ghani
dr. Dentjik Qosim
Korp Immawati : Dra. Siti Ramlah
Dra. Sariani

DPP Produk Muktamar II tersebut, dalam langkahnya telah melaksanakan langkahnya dua
kali konferensi nasional (Tanwir), yang pertama disebut dengan Konferensi Nasional ke-3
dilaksanakan pada tahun 1969, dan yang kedua merupakan Konferensi Nasional (Konfernas) ke-
4 atau Tanwir IV tahun 1970 tepatnya yaitu tanggal 1-4 Juli di Kalibening Magelang.
Yang paling penting untuk dicatat dalam periode kepemimpinan produk Muktamar II ini
adalah tersusunnya Identitas Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah beserta penjelasannya. Identitas
tersebut, yaitu:

IDENTITAS
IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH

Bismillahirrahmanirrahim

Untuk terus mengembangkan hidup dan kehidupan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah


(IMM) serta amal geraknya, maka perlu ditetapkan Identitas IMM yaitu sebagai berikut:
- Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) adalah organisasi kader yang bergerak di
bidang keagamaan, kemasyarakatan dan kemahasiswaan dalam rangkan mencapai tujuan
Muhammadiyah.
- Sesuai dengan gerakan Muhammadiyah, maka Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
menetapkan gerakan dakwah di tengah-tengah masyarakat khususnya di kalangan
mahasiswa.
- Setiap anggota Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) harus mampu memadukan
kemampuan ilmiah dan aqidahnya.
- Oleh karena itu, setiap anggota harus tertib dalam ibadah, tekun dalam study dan
mengamalkan ilmunya untuk melaksanakan ketaqwaan dan pengabdiannya kepada Allah
SWT.

PENJELASAN IDENTITAS IMM


I

Pengamalan sejarah mengajarkan kepada kita, bahwa sesuatu organisasi di dalam melintasi
perjalanan-perjalanan hidupnya akan bergerak secara mantap, apabila identitasnya atau
kepribadiannya atau syakhsyiyahnya nampak jelas dan tegas. Selama identitas itu masih kabur,
tidak jelas menggatra, maka raison d’etre dari organisasi itu akan tetap dipersoalkan, yakni
apakah organisasi itu mampu menjawab tantangan zamannya atau tidak. Selain itu masih juga
bisa dipersoalkan, yakni apakah organisasi itu dengan identitasnya as such benar-benar harus
dikembangkan merealisir idea yang menyertai kelahirannya. Hal seperti ini berlaku pula bagi
ikatan kita, yang bertujuan membentuk akademisi Islam dalam rangka mencapai tujuan
Muhammadiyah.
Untuk mengembangkan hidup dan kehidupan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM),
maka perlu dirumuskan identitasnya dalam satu formulasi yang jelas. Namun harus selalu diingat
identitas ini harus inherent dalam tubuh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sejak ia lahir
di tengah masyarakat bangsa Indonesia. Dalam pada itu harus diingat pula dengan adanya
identita IMM yang telah dirumuskan tersebut di atas sama sekali tidak terkandung makna bahwa
IMM memiliki kepribadian yang berbeda dengan kepribadian Muhammadiyah, sehingga seolah-
olah memiliki kepribadian ganda.
Kepribadian Muhammadiyah adalah secara concurent juga kepribadian IMM akan tetapi
dikarenakan fungsi IMM sebagai eksponen dalam tubuh mahasiswa Muhammadiyah memiliki
ciri-ciri khusus. Dan sebagai ikatan dari mahasiswa Muhammadiyah ia juga memiliki ciri-ciri
yang membedakannya dari perkumpulan-perkumpulan mahasiswa lainnya. Ciri-ciri khusus dan
ciri-ciri yang membedakannya dengan organisasi-organisasi mahasiswa lain itulah yang
dirumuskan dalam identitas mahasiswa Muhammadiyah.
II

Di dalam gerak perjuangannya di bidang-bidang keagamaan, kemasyarakatan dan


kemahasiswaan untuk mencapai tujuan Muhammadiyah IMM telah meletakkan beberapa dasar
falsafah yang harus dipegang adalah:
- Semua amal geraknya diabdikan semata-mata untuk Allah
- Keikhlasan harus menjadi landasan gerakannya
- Ridha Allah harus menjadi ghayah terakhirnya, karena tanpa ridha-Nya tidak akan pernah
ada sesuatu hasil yang dicapai
- Tenaga perbuatan (power of action) sangatlah menentukan karena nasib kita akan banyak
tergantung pada usaha dan perbuatan kita sendiri
- Falsafah Al-Ghayatu yabarriru al-washilah atau apa yang disebut dengan the ... justifies
the means haruslah disingkirkan jauh-jauh karena tidak sesuai dengan ajaran Islam
Walaupun dasar perjuangan di atas juga bisa dianggap sebagai dasar perjuangan mmuslim
pada umumnya, namun toh perlu kita tekankan mengingat banyak prang muslim yang sering
berjuang kehilangan arah di samping untuk mencegah dan mengingatkan IMM agar jangan
sampai jatuh ke jurang hipokrasi. Sementara itu, apabila dasar falsafah perjuangan seperti
dituntunkan Islam tersebut kita pegang benar-benar, maka penyakit hubburriyasah dan
hubbuliyah yang sering menjadi fenomena umum di kalangan kita ummat Islam bisa kita atasi.
Kita seringkali melihat kelesuan jalan roda organisasi dan perkumpulan-perkumpulan hanya
disebabkan pimpinan yang diperebutkan, akibat adanya semacam perbuatan ambisi di antara para
pemimpin. Insya Allah bagi IMM seperti organisasi yang berpegang teguh kepada ajaran-ajaran
Islam, hal demikian tidak boleh terjadi karena tujuan akhir perjuangan kita sekali lagi adalah
Ridha Allah dan bukan selain-Nya.
Keikhlasan berjuang memang sengaja kita tekankan, karena itu merupakan pokok
keberhasilan usaha kita, di samping itu selalu menjadi benteng yang kuat terhadap penyakit-
penyakit patah semangat dan lain-lain, kiranya sangat baik rangkaian kata-kata berikut selalu kita
ingat:
- Semua orang pada hakekatnya mati kecuali beriman
- Semua orang yang berilmu akan bingung kecuali mereka yang beramal
- Seseorang yang beramal akan menjadi tanpa arah kecuali mereka yang ikhlas

III

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah adalah organisasi kader, jadi bukan organisasi massa.
Pengertian IMM sebagai organisasi kader harus ditafsirkan bahwa setiap mahasiswanya yang
akan menjadi anggota IMM tidak cukup hanya dengan memahami dan menyetujui AD/ART
IMM saja, akan tetapi ia harus bersedia dan sanggup mendukung secara aktif cita-cita dan
program organisasi serta berusaha untuk melaksanakan tuntunan-tuntunannya.
Di samping pengertian yang demikian, maka terkandung pula bahwa IMM sebagai organisasi
kader bersifat sebagai penggerak massa, yakni massa angkatan muda Islam pada umumnya dan
angkatan muda Muhammadiyah khususnya.
Konsekwensi logis dari watak organisasi kader yang demikian adalah mutlaknya pelaksanaan
konsolidasi organisasi, kaderisasi dan kristalisasi yang bagi IMM K-3 itu merupakan organisasi
pourtujuors atau kegiatan rutin bagi dirinya, selain itu pengertian IMM sebagai organisasi kader,
otomatis harus difahami bahwa IMM adalah kader Muhammadiyah yakni intelegensia atau
ulama yang akan menjadi tulang punggung dari pergerakan di lingkungan Muhammadiyah, IMM
adalah Pelopor, Pelangsung dan Penyempurna Amal Usaha Muhammadiyah.

IV

Sikap dari gerakan IMM adalah sama dengan Muhammadiyah yakni sebagai gerakan dakwah
Islamiyah (Amar bi al-Ma’ruf wa Nahyi ‘ann al-Munkar) sudah barang tentu usaha dan
perjuangannya adalah sesuai dengan keadaan/kadar kemampuannya. Dalam usaha-usaha yang
besar ia harus menggabungkan kekuatannya dengan Muhammadiyah, bahkan kadang-kadang
harus sudah puas menjadi kekuatan suplementer bagi Muhammadiyah, pola-pola kegiatan IMM
pada pokoknya juga sama dengan perjuangan Muhammadiyah, yakni:
- Pembinaan Aqidah
- Menyebarluaskan ilmu ajaran-ajaran Islam
- Penyatalaksanaan amalan-amalan Islam
Dalam pada itu oleh karena banyaknya di antara kita yang sering mempersoalkan kedudukan
politik dalam rangka perjuangan kita, maka soal ini haruslah kita jelaskan memisahkan dengan
tajam politik dengan dakwah dalam ekstrim yang lain adalah keliru. Hubungan antara politik
dengan dakwah bagi IMM dapatlah kita katakan sebagai hubungan species dengan geusan-nya,
yakni hubungan antaracabang dengan pokoknya, dan selain itu politik adalah salah satu dari
bidang-bidang dakwah (seperti pendidikan, tabligh, kesejahteraan dan lain-lain). Maka semua
gerakan yang bersifat politis harus disubordinir di bawah intreset dakwah. Hal ini perlu kita
jelaskan mengingat banyak anggota IMM yang menilai politik sebagai centrum perjuangan
utama.
Kemudian, IMM dalam meletakkan sasaran-sasaran perjuangan lebih mengutamakan
golongan-golongan masyarakat yang berada di luar tubuh ummat Islam. Walaupun regenerasi
dan reyuvenasi ajaran-ajaran Islam bagi ummat (Ummat Ijabah) adalah penting sekali akan tetapi
sasaran-sasaran di luar tubuh ummat Islam (Ummat Dakwah) dianggap lebih penting.
Kita sering merasakan bahwa sudah terlalu banyak saudara-saudara kita yang menjadi ummat
Islam sendiri sebagai sasaran utama perjuangan, yang karena kehilafan-kehilafan strategi
maupupn taktis sering memperoleh sebaliknya dari apa yang diharapkan semula.

Setiap anggota Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah harus sanggup memadukan kemampuan


ilmiah dan aqidah Islamiahnya. Penjelasan dari pengertian ini ialah bahwa selama masa studi
setiap anggota IMM harus berusaha mencapai kemampuan ilmiah di bidangnya masing-masing
sebaik mungkin sambil mengintegrasikan kemampuan ilmiah itu dengan aqidah guna persiapan
perjuangan di mana depan. Oleh karena perjuangan yang panjang, yang sesungguhnya (yakni
berat) akan kita hadapi di masa pasca studi atau setelah berakhirnya mahasiswa/kuliah.
Kemampuan ilmiah yang dipadukan dengan aqidah yang kokoh, kiranya akan sangat
menentukan penyelamatan Islam di zaman modern ini. Hampir kebanyakan ulama sepakat
bahwa salah satu masalah sentral yang dihadapi dunia Islam pada zaman modern sekarang
adalah bagaimana menyelamatkan Islam dan ummatnya dari serbuan isme-isme, kultur dan
peradaban non-Islam terutama yang datang dari Barat.
Biasanya masyarakat Islam dalam menghadapi serbuan itu terpecah menjadi tiga golongan:
Pertama, kaum konservative yang berpendirian bahwa ummat Islam bisa menyelamatkan
dirinya dari serba pengaruh non-Islam asal mau tetap berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional
yang sudah ada. Demikian pula gaya dan cara hidup yang sudah established harus tetap
diawetkan, karena hanya dengan jalan inilah kemurnian Islam bisa dijaga.
Kedua, kaum modernis yang beranggapan bahwa karena ummat Islam sudah ketinggalan
dibandingkan dengan bangsa-bangsa Barat, maka untuk mengejar ketinggalan itu jalan satu-
satunya adalah dengan mengabsorber kultur Barat dalam semua segi-seginya. Mudah kita
bayangkan, kaum modernis ini kemudian kehilangan kehilangan identitas sebagai muslim,
kendatipun masih mengklaim dirinya sebagai muslim tulen.
Ketiga, kaum renaissance yang berkeyakinan bahwa Islam pasti bisa menjawab persoalan-
persoalan zaman, asalkan ummat Islam sendiri sanggup menegakkan Islam secara konsekuen.
Kelompok ini berbeda dengan kelompok pertama, yang picik memandang penyelamatan ummat
Islam hanyalah dengan jalan isolasionisme. Juga berbeda dengan kelompok kedua yang
tenggelam dalam arus kultur Barat dan sudah dis-oriented sama sekali dari dasar-dasar Islam.
Akan tetapi sebaliknya, kaum renaissance itu anggota-anggota Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM) harus berusaha memadukan aqidah dengan kemampuan ilmiahnya,
yakni memadukan secara berimbang ideologi dengan intelektualitasnya. Meskipun kekurangan-
kekurangan masih banyak dialami, perjuangan kaum renaissance untuk menyelenggarakan
revival Islam harus kita jadikan perjuangan IMM pula, terlebih-lebih dalam masa-masa post-
study.
Akhirnya, baik pula dijelaskan tentang keharusan setiap anggota Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah untuk tertib dalam ibadah, tekun dalam studi dan mengamalkan ilmunya guna
memanifestasikan atau mewujudkan ketaqwaan dan pengabdiannya kepad Allah.
Soal ibadah, bagi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah adalah soal pokok. Khususnya shalat,
harus benar-benar dijalankan dengan kaifiyyat yang benar, dijaga waktunya dan senantiasa
diusahakan berjama‟ah. Dalam kegiatan-kegiatan di mana anggota-anggota IMM berkumpul
bersama, maka shalat berjama‟ah sebaiknya dijadikan keharusan.
Shalat, shalat dan shalat, tidak boleh diabaikan oleh anggota-anggota IMM. Kita harus
sanggup melenyapkan kenyataan yang tragis-ironis di lingkungan kita, yakni banyak orang Islam
yang suka berbicara tentang perjuangan Islam, tentang masyarakat Islam, tentang ideologi Islam,
tentang pelaksanaan syariat Islam, tentang negara Islam, dan berbagai macam serba Islam, akan
tetapi mereka dalam kehidupan sehari-harinya mengabaikan shalat sebagai tiangnya agama.
Orang-orang semacam ini sesungguhnya meremehkan faktor terpenting yang menentukan baik-
buruknya dan berhasil tidaknya sesuatu perjuangan, yakni izin dan Ridha Allah Subhanahu
Wata‟ala.
Kemudian perihal tekun dalam study kiranya sudah cukup jelas. Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM) tidak mengharapkan study anggota-anggotanya dalam bangku kuliah
berlarut-larut, apalagi kalau kesibukan dalam organisasi dijadikan alasan dan sandaran.
Mengingat bahwa anggota-anggota Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) terutama
dipersiapkan untuk perjuangan di masa depan, study yang berkepanjangan tak menentu terang
tidak sesuai dengan maksud sebenarnya.
Terakhir sekali baik kita tekankan, bahwa pengamalan ilmu bagi angoota-anggota IMM
merupakan kewajiban yang sifatnya serentak dengan kewajiban belajar, oleh karena trilogi kita
adalah belajar, beramal dan berjuang.
Magelang, 4 Juli 1970 M.
ttd.
DPP IMM

Rumusan identitas IMM dan penjelasannya tersebut – yang dikutip dengan perubahan EYD –
adalah merupakan catatan yang paling bersejarah bagi DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Periode Muktamar II. IMM merumuskan identitas tersebut, sesungguhnya merupakan penjaga
gawang jangan sampai ada anggota atau pimpinan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
yang hanya mengerti AD dan ART IMM saja. Tanpa disertai dengan peletakan identitas dalam
diri anggota IMM, maka suatu hal yang tidak wajar baginya untuk berpredikat Immawan atau
Immawati.
Dengan identitas lengkap penjelasannya, itulah sesungguhnya yang menggiring Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) tetap konsisten dengan kepribadian Muhammadiyah, dan
yang juga membopong Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai organisasi mahasiswa
ISLAM ke tengah pergolakan budaya dan politik yang tidak pernah lekang dan tidak pernah
layu. Dalam masa-masa pengganyangan PKI yang sesungguhnya setelah Orde Baru lahir masih
terdapay kasak-kusuk dari kalangan simpatisan PKI, IMM masih tetap di atas pendiriannya, yaitu
tidak pernah dan tidak akan kompromi dengan organisasi-organisasi pendukung atau simpatisan
PKI. Itu jelas sekali.
IMM, dalam proses perkembangannya, sejak lahir sampai periode Muktamar II tersebut,
senantiasa konsisten dengan ciri-cirinya sebagai organisasi kader yang bergerak di bidang
keagamaan, kemasyarakatan dan kemahasiswaan. Kader yang ditelorkan oleh IMM Periode
Muktamar I dan II, untuk sekarang sudah dapat kita lihat hasilnya. Tampilnya nama-nama beken
seperti Dr. H. M. Amien Rais, MA, Drs. H.M. Djazman Al-Kindi, MBA, Drs. H. Sutrisno
Muhdam, Drs. H. A. Rasyad Shaleh, Dr. Sudibyo Markus, Dr. H. Yahya A. Muhaimin, Abdul
Hadi WM, Drs. H. Slamet Sukirnanto, Drs. H. Marzuki Usman, M. A, H. Yudo Paripurno, S. H,
Drs. H. Sofyan Tanjung dan lain-lain (maaf yang tidak disebutkan), semuanya membuktikan
bahwa Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) (periode awal) ternyata tidak sia-sia dalam
pengembangan dan penampilan tokoh-tokoh muda yang mengharumkan nama Muhammadiyah
di kelas dunia dan atau kelas berat di seantero alam raya ini.
Selain itu, dalam era kepemimpinan Drs. Moh. Djazman Al-Kindi (1964-1970) yang bisa
kita sebut sebagai era perintisan dan pemantapan, sesungguhnya banyak sekali yang dihasilkan
untuk mengayomi dinamika IMM periode berikutnya. AD dan ART, Mars dan Himne IMM,
identitas, dan lain-lain yang berkaitan erat dengan Muhammadiyah khususnya dan ummat Islam
serta bangsa Indonesia umumnya.

3. Muktamar Ke-3
Muktamar atau musyawarah Nasional ke-3 Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM),
semula akan dilangsungkan di jakarta pada tanggal 14-19 Maret 1970, dengan panitia Sjamsu
Udaya Nurdin dan Abdul Muis ZA sebagai ketua dan wakil ketua. Namun, karena kondisi pilitik
di Jakarta saat itu kurang mendukung, maka akhirnya DPD IMM DIY Jakarta mengembalikan
amanat tersebut. DPP IMM pun menerimanya.
Akhirnya, rencana Munas (Muktamar) III yang semula akan dilangsungkan bulan Maret
1970 tadi, diundur dan dilaksanakan pada tahun 1971, tepatnya yaitu pada tanggal 14-19 Maret
1971 di Yogyakarta. Setelah ditentukan di Yogyakarta, walaupun kondisi pilitik saat ini semakin
menghangat lantaran akan ada pesta demokrasi tingkat nasional yaitu Pemilu 1971, tetapi
Muktamar III IMM tetap dilaksanakan pada tanggal yang telah ditentukan, yaitu 14-19 Maret
1971 dengan acara yang cukup sederhana.
Dalam Muktamar III IMM ini, terpilih formatur sebanyak sembilan orang yang sekaligus
pula tersusu Personalia DPP IMM Periode 1971-1974 dengan komposisi sebagai berikut:
Ketua Umum : A. Rosyad Sholeh
Ketua I : Soedibjo Markoes
Ketua II : Zulkabir
Ketua III : Moch. Zahir Khan
Ketua IV : Abdul Muis ZA
Sekretaris Jendral : Drs. Machnun Husein
Sekretaris : M. Rusli
Sekretaris II : Yurnalis Etek
Bendahara Umum : Mawardi Abbas
Bendahara I : Abuseri Dimyati
Bendahara II : Makmur Santosa
Bendahara III : Rustan Sulaiman Amir
Anggota-anggota : Bachransyah Usman
Abdul Malik
Syamsu Udaya Nurdin
Siti Ramlah
Slamet Sukirnanto
Moh. Arief
Isa Anwari
Abbas Muttaqin
Hajid Harnawidagda
Biro Administrasi
Ketua : Bachransyah Usman
Anggota-anggota : Moh. Isa Anwari
Muswan Thalib
Arif Hasbu
Suwito Laksono
Bakhtiar Ihsan
Asad Subagyo
Hermain T.
Biro Hubungan LN
Ketua : M. Zahir Khan
Anggota : Hajid Harnawidagda
Biro Sosial Kultural dan
Politik
Ketua : Syamsu Udaya Nurdin
Anggota-anggota : Slamet Sukirnanto
Abdul Malik
Departemen Kader
Ketua : Sudibjo Markoes
Anggota : M. Rusli
: M. Badrun Kaim
: Elly Suheili
: Siti Dahlia
: Makhnun Husein
: M. Mawardi As
: Siti Ramlah
: Yurnalis Etek
: M. Arief Hasbu
: Abbas Mustaqiem
: Yanusin Rasuk
Departemen Kemahasiswaan
Ketua : Zulkabir
Anggota : Mundari Muhada
Zainuddin Nawawi
Ading Ahmaddin
Nasaruddin Azwar
Chandra Ismail
Habiri M. Saleh
Hylmi Sayuti
Departemen Pengabdian
Masyarakat
Ketua : Moh. Arief
Anggota : Samedi
: Hakimi
Cipta Bahtera
Djailan
Suroso
Departemen Penyiaran Islam
Ketua : Abd. Muis ZA
Anggota : Abbas Mustaqiem
: Abuseri Dimyati
: Ojo Zainuddin
: Husni Thoyyar
Toto Abd. Rahman
Fatoni Aviva

Kemudian, setelah berkembang sekitar satu tahun, DPP IMM tersebut karena suatu hal
diperlukan adanya penyegaran atau penyempurnaan. Dalam upaya ini, Sekretaris Jenderal
Machrun Husein diganti M. Alfian Darmawan, Bendahara Umum Mawardi Abbas diganti
dengan Abuseri Dimyati, Yurnalis Etek sebagai sekretaris II naik menjadi Sekretaris I. Di
samping itu, terdapat penambahan anggota DPP IMM Periode 1971-1974 ini (Selain Alfian
Darmawan) yaitu:
- Abbas Sani
- Mahsum Sa‟id
- Ajeng Kartini
- Dahlan Rais
- Ahmad Syaikhu

Perkembangan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pada periode Abd. Rosyad Shaleh
ini, secara umum dapat dikatakan sudah baik sekali. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sudah
berkembang ke mana-mana. Tercatat dalam laporan pertanggungjawabannya yang disampaikan
dalam/pada acara Muktamar berikutnya yaitu DPD IMM sudah mencapai 22 (dua puluh dua)
Daerah (DPD IMM).
Begitu pula mengenai program-programnya. Pada periode Muktamar III ini, di samping
melanjutkan program DPP IMM Periode Muktamar II yang lebih terfokuskan pada pembenahan
organisasi di kampus-kampus atas dasar instruksi PP Muhammadiyah No. f/9-460/1965 tanggal
5 Juni 1968 dan instruksi sebelumnya yaitu No. 5/1965, juga telah memantapkan kembali
program yang terjabarkan dari Deklarasi Garus 1967. Sedangkan strategi dasar dalam upaya
penyatalaksanaan program yang dihasilkan lewat Muktamar III ini, yaitu tercatat sebagai berikut:
- Tajdid
- Konsolidasi Anggota
- Konsolidasi Organisasi/Administrasi
- Persatuan dan Kesatuan Mahasiswa
Berangkat dari strategi dasar itulah, DPP IMM Periode Muktamar III melaksanakan program
umum yang meliputi program intern dan ekstern. Yang intern, meliputi:
a. Mengintensifkan pengkaderan dalam tubuh IMM, di mana program K3 (keagamaan,
kemasyarakatan dan kemahasiswaan) sebagai basic programnya
b. Membina dan menyiapkan anggota sebagai kader yang sanggup memadukan aqidah dan
kemampuan ilmiah dalam rangka menyatalaksanakan ketaqwaan dan pengabiannya
kepada Allah SWT
c. Mengadakan konsolidasi organisasi dan administrasi sehingga Ikatan dapat hidup dan
melembaga sesuai dengan sifat-sifat (identitas) Ikatan
Yang ekstern meliputi:
a. Membina kerjasama dengan organisasi ekstra dan intra universitas serta organisasi
mahasisaw internasional
b. Mendorong dan menjdai tulang punggung bagi proses pembangunan dan pembaharuan di
negeri ini dalam rangka memerangi keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan dan
kesengsaraan
c. Mengintensifkan pelaksanaan dakwah Islam dan amar ma‟ruf nahi munkar, khususnya
kepada masyarakat mahasiswa
Lantas, dalam penelitian administrasi, yang patut dicatat, yaitu diberlakukannya kode indek
surat-menyurat yang masih berlaku sampai sekarang, kemudia pengesahan kembali lagu mars
dan hymne IMM (abadi IMM), penyempurnaan bentuk lambang, jaket, seragam Immawati dan
lain-lain, termasuk mengenai perubahan AD dan ART IMM.
Mengenai yang terakhir tadi, yakni masalah perubahan AD/ART IMM, terutama ditekankan
kepada Bab IV (Organisasi), mulai dari keanggotaan, susunan pimpinan, keuangan dan
permusyawaratan. Pada bagian yang terakhir ini, istilah Munas (Musyawarah Nasional) diganti
dengan Muktamar, dan istilah Konferensi Nasional (Konfernas) diganti dengan Tanwir.
Sedangkan istilah “Dewan” untuk tingkat “level” cabang, dihilangkan. Begitu pula penandasan
kembali penggunaan istilah Pimpinan. Dalam IMM, mulai dari tingkat Komisariat/Kelompok
sampai tingkat Pusat istilah kelembagaan yang dipakai yaitu Pimpinan, bukan Pengurus.
Selanjutnya, dalam periode kepemimpinan A. Rasyad Shaleh, juga masih dihadapkan dengan
kondisi dalam negeri khususnya di kalangan mahasiswa yang belum menentu. Banyak surat-
surat yang dialamatkan untuk pemerintah Orde baru dalam berbagai bentuk, ada yang berbentuk
pernyataan, persetujuan, himbauan dal lain-lain. Dalam kaitannya dengan pembentukan KNPI
misalnya, DPP IMM sesungguhnya turut aktif. Tetapi bukan secara kelembagaan, melainkan
perorangan.
Immawan Slamet Sukirnanto, yang saat itu sebagai Biro Sosial, Kulturan dan Politik adalah
penyusun konsep piagam berdirinya KNPI. Drs. Sutrisno Muhdam, mantan perintis berdirinya
IMM dan wakil DPP IMM di Jakarta, juga sebagai mantan staf ketua DPP KNPI periode awal.
Dukungan IMM terhadap KNPI tersebut, segera disebarluaskan ke seluruh DPD IMM di
Indonesia. Dan di DPD IMM Sumatera Barat (Sumbar) dalam hal ini Immawan Syahrul Ujud,
segera membentuk KNPI, dan konon Sjahrul Ujud, sekarang berkedudukan sebagai Wali Kota
Padang untuk Repelita III dan IV (dua periode). Pernyataan dan dukungan DPP IMM terhadap
KNPI tersebut, dinyatakan setelah situasi terasa agak tenang, yaitu setahun setelah KNPI
dibentuk pada tanggal 27 Juli 1973.
Tepatnya lagi, setelah pemerintah merestui pembentukan KNPI di DT I dan DT II tahun
1974. DPP IMM lewat suratnya No. 25/A.1/1974 tertanggal 14 Sya‟ban 1394 H. bertepatan
dengan tanggal 1 September 1974 M. ditujukan kepada selurh DPD IMM se-Indonesia yang saat
itu berjumlah 22 DPD (DT-I), yang sisinya memberi petunjuk dan saran dalam upaya pelibatan
dirinya pada usaha pembentukan KNPI di DT I dan DT II (Daerah Tingkat I dan II). Sedangkan
surat yang ditujukan kepada pemerintah kaitannya dengan sikap DPP IMM terhadap
pembentukan KNPI pusat dan daerah-daerah, yaitu surat No. 28/C-7/1974 tertanggal 30
Ramadhan 1394 H/16 Oktober 1974 M. tentang Penjelasan Pendirian IMM tentang KNPI, yang
surat tersebut ditujukan kepada: Bapak menteri P & K RI (kini Mendikbud); Bapak Menteri
Dalam Negeri RI; Bapak Menteri Penerangan RI; Bapak Menteri Agama RI; Bapak menteri
Hankam RI dan KNPI Pusat.
Adapun selain hal di atas, berbarengan dengan peristiwa MALARI (15 Januari 1974), yang
merupakan gerakan aksi protes dan kebringasan pemuda dan mahasiswa, DPP Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah, dalam menghadapi hal tersebut senantiasa mempelajarinya dengan cermat.
Secara organisatoris, IMM tidak melibatkan diri, tetapi secara perorangan ada kemungkinan. Hal
seperti ini, setelah aparat keamanan juga turun tangan dengan sikap yang sama dalam
menghadapi gerakan pemuda dan mahasiswa tadi, maka DPP IMM sehari setelah peristiwa
tersebut atau tepatnya tanggal 16 Januari 1974 langsung mengirimkan kawat/surat kepada Bapak
Jenderal Soeharto Presiden Republik Indonesia dengan suratnya Nomor 3/A-1/1974 tertanggal
22 Zulhijjah 1393 H/16 januari 1974 perihal “Mohon Referendum”, yang sinya antara lain
memohon kepada Presiden RI supaya betul-betul memperhatikan aspirasi para pemuda dan
mahasiswa, dan mendukung peranan dan fungsi ABRI tetapi dalam menghadapi protes tersebut
seyogyanya tidak sampai memadamkan aspirasi dan idealisme pemuda dan mahasiswa.
Sesungguhnya, banyak sekali aktivitas yang dilakukan oleh DPP IMM Periode Muktamar III
ini, baik yang secara intern organisasi IMM dan Muhammadiyah serta Ortom (AMM), maupun
yang secara ekstern dalam hal ini yang melibatkan ummat Islam khususnya Ormas pemuda dan
mahasiswa termasuk keterlibatan dan pengisian serta keutuhan Pembangunan bangsa yang
dirintis oleh era Orde baru. Sesuai dengan sifat dan identitas serta strategi dasarnya, IMM
memang semakin lama semakin berkembang dan semakin dibutuhkan oleh Muhammadiyah dan
Bangsa, khususnya mahasiswa.

4. Muktamar Ke-4
Amanat Muktamar III IMM yang berlangsung pada tanggal 14-19 Maret 1971 di Yogyakarta
berisikan antara lain bahwa Muktamar IV IMM akan dilaksanakan di Medan atau Jakarta.
Sebelumnya, telah diputuskan oleh tANWIR IV yaitu di Medan (Sumut). Kemudian karena
pertimbangan integrasi sesama AMM cq. Pemuda Muhammadiyah, maka DPP IMM
memutuskan untuk memindahkan tempat Muktamar dari Medan ke Malang jawa Timur. Akan
tetapi, setelah berembug dengan PP Pemuda Muhammadiyah dan OC Muktamar, diputuskan
tempat Muktamar IV yaitu di Semarang (Jateng) tanggal 18-22 Dzulhijjah 1395 H/21-25
Desember 1975 M. berbarengan dengan Muktamar Pemuda Muhammadiyah ke-6.
Susunan DPP IMM hasil Muktamar IV (Periode 1975-1978) tersebut, yaitu:
Ketua Umum : Zulkabir
Kabid Pemb. Alumni : Soedibyo Markoes
Kabid Program dan Kegiatan
Sosial : Syamsu Udaya Nurdin
Kabid Daerah dan Cabang : Yurnalis Etek
Kabid Pengadaan Dana : Nizamuddin
Kabid Pemb. Kader : Arief Hasbu
Kabid Pem. Immawati : Siti Ramlah
Sekretaris Jenderal : M. Alfian Darmawan
Sekretaris : Abassani
Sekretaris : Taifiq Dahlan
Bendahara : M. Alfian Darmawan (merangkap)
Wakil Bendahara : AS Abuka
Dep. Kader : Arief Hasbu
Basuki Haryono
Dep Kemahasiswaan : A. Dahlan Rais
Ahmad Syaikhu
Dep. Kegiatan Sosial : Moh. Arief
Deddy Abubakar
Mudjahid
Dep. Penyiaran Islam : A. Abuseri Dimyati
Husni Thoyyar
Dep. Usaha : AS Abuka
Dep. Immawati : Fatimah Hasan
Ajeng Kartini
Zahro Lamruni
Nina Aznin
Biro Organisasi : Samedi
Biro Hub. LN : Machnun Husein
Biro Sosial Kultural : Mundari Muhada
: Abdul Malik
Anggota : Jaginduang Dalimunthe
Nasri Tambun
Achmad Soekarjo
M. Faqih
Ishaq Shaleh
N. A. Razaq
Ahmad Yassin
Husni Thamrin
Dewan Pertimbangan : M. Djazman Al-Kindi
Abd. Rasyad Shaleh

Dalam Muktamar IV IMM, di samping menyusun personalian DPP IMM periode 1975-1978
tersebut juga telah menelorkan Deklarasi yang dalam perkembangan sejarah IMM mengalahkan
popularitas DPP IMM sekaligus menggusur program produk Muktamar yang ditanfizkan dengan
SK No. 002/A-1/76 tanggal 8 Shafar 1396 H/8 Februari 1976 M. Deklarasi yang dimaksudkan
yaitu secara lengkap sebagai berikut:

DEKLARASI
MASJID RAYA BAITURRAHMAN

Bismillahirrahmanirrahim

1. Sejarah perjalanan Ikatan dimulai dengan Deklarasi Kota Barat Solo, 5 Mei 1965 yang
berisikan hasrat dan tekad kami untuk mewujudkan satu wadah pembinaan Generasi Muda
Indonesia yang kemudian kami namakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Walaupun
masih dalam usia muda, namun kami sadari bahwa segenap ide dan cita yang didukung dan
diembannya bukanlah baru sama sekali, melainkan adalah ide dan cita yang dilahirkan,
dikembangkan dan diperjuangkan oleh segenap pewaris Nusantara yang terdahulu, yang
bertekad untuk mewujudkan satu bangsa Indonesia yang besar dengan satu kata masyarakat
baru yang damai, adil, sejahtera dalam naungan Ridha Ilahi. Kami mengemban ide dan cita
yang dikembangkan oleh K.H. Ahmad Dahlan pendiri Persyarikatan Muhammadiyah. Kami
mendukung dan mengemban pula segenap ide dan cita yang didengungkan pada Proklamasi
17 Agustus 1946, pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, pada Hari Kebangkitan Nasional
20 Mei 1908, bahkan ide dan cita yang diperjuangkan oleh para pahlawan nasional yang
terdahulu.
2. Deklarasi Kota Garut, 28 Juli 1967, berisikan hasrat dan tekad kami untuk menjadikan Ikatan
sebagai aparat pembaharu, satu proses yang selalu dituntut oleh satu bangsa ataupun satu
kaum yang selalu menginginkan kemajuan. Demikian pula kami tegaskan dalam deklarasi
tersebut, suatu identitas kepribadian Ikatan yang menuntut setiap pendukung Ikatan untuk
membekali dan melengkapi dirinya dengan kemantapan aqidah serta kematangan intelektual,
sebab kami yakin bahwa tantangan kehidupan dewasa di masa kini dan mendatang hanya
akan bisa dijawab oleh pribadi-pribadi yang matang, dewasa dalam keharmonisan serta
perpaduan antara aqidah dan intelektualitas.
3. Di tengah-tengah kepanikan ummat manusia dewasa ini akibat krisis kependudukan,
moneter, pangan, sumber-sumber alam yang tak tergantikan serta lingkungan hidup, maka
kami berpendapat bahwa sebenarnya di balik segala krisis tersebut masih ada satu krisis yang
disadari atau tidak, diakui atau tidak, justru merupakan krisis utama yang (yaitu, ed) krisis
kemanusiaan. Tanpa diakuinya krisis kemanusiaan ini, maka krisis-krisis tersebut tadi akan
merupakan lingkaran setan tanpa akhir. Krisis kemanusiaan ini timbul akibat modernisasi
tanpa arah ataupun sebagai akibat dipaksakannya suatu sistem hidup yang kurang
memperhatikan faktor waktu, tempat dan kemampuan, dengan hanya mementingkan tujuan-
tujuan jangka pendek. Krisis ini timbul sebagai akibat cara berfikir yang terlalu rasional dan
mekanis sebagai bagian dari satu program hidup yang pragmatis materialistis di mana
manusia menjadi semakin kehilangan cakrawala hidup dan idealismenya. Oleh karena itu
Ikatan menyadari bahwa di samping tugas dan kewajiban kita untuk memberikan sumbangan
dalam wujud sarana-sarana fisik di dalam pembangunan bangsa, maka kaum muslimin
Indonesia mempunyai kewajiban pula untuk memberikan sumbangan dalam bentuk
pembinaan manusia-manusia Indonesia baru, yang tidak saja berilmu, berkemampuan dan
berketerampilan tetapi juga yang memiliki sikap/sistem nilai budaya yang insaniah yang akan
mampu memberikan arah, struktur dan percepatan yang proporsional dalam pembangunan.
4. Dalam usaha mewujudkan masyarakat adil makmur materiil dan spirituiil berdasarkan UUD
1943 dan Pancasila, Ikatan beranggapan bahwa “asas kekeluargaan dalam demokrasi
Pancasila seyogyanya tidak diartikan sebagai suatu status hierarkis-administrasi
pemerintahan, melainkan sebagai suatu bentuk persaudaraan yang universil yang bernilai
filosofis.” Kaum muslimin Indonesia mempunyai tanggungjawab moral untuk memberikan
sumbangan yang berwujud satu perangkat sistem nilai yang tangguh, yang kita gali dari
khazanah sistem iman dan Islam bagi dasar filsafat persaudaraan universil tersebut di atas.
5. Proses perubahan sosial adalah satu proses yang selalu terjadi dalam sejarah kehidupan
ummat manusia. Proses ini dapat terjadi secara alami, namun dapat pula pada suatu waktu
dan tempat, didorongkan atau dipaksakan baik dalam arah struktur maupun faktor
percepatannya. Diperlukan suatu kemampuan, keuletan serta seni untuk dapat “membawakan
diri” dalam segala macam bentuk perubahan tersebut di atas, agar peran dan fungsi Ikatan
sebagai aparat dakwah Islamiyah dan amar ma’ruf nahi munkar tidak terhenti karenanya.
Dalam keadaan semacam itu jangan sampai Ikatan kita kehilangan motivasi arah serta
ghairah maupun dinamika hidup perjuangan. Kami generasi awal yang telah mengantarkan
kelahiran dan perjalanan hidup Ikatan sampai hari ini dan kami generasi penerus yang kini
memegang pimpinan kendali Ikatan senantiasa bertekad untuk terus mengembangkan amanat
perjuangan ini demi kelangsungan peran dan fungsi Ikatan dalam masyarakat yang selalu
berubah dan berkembang.
Semarang, 22 Dzulhijjah 1395 H
25 Desember 1975

Generasi awal yang dimaksudkan dan generasi penerus yang juga dimaksudkan dalam
Deklarasi tersebut adalah generasi yang sekaligus menandatangani Deklarasi Masjid Raya
Baiturrahman Semarang yaitu sebanyak 36 orang. 17 orang generasi awal dan 19 orang generasi
penerus.
Ke-17 orang generasi awal tersebut yaitu:
- Moh. Djazman Al-Kindi
- Sudibyo Markoes
- A. Rasyad Shaleh
- Moh. Arief
- Syamsu Udaya Nurdin
- Zulkabir
- Sutrisno Muhdam
- Nurwijoyo Sarjono
- Basri Tambun
- Fathurrahman
- Ali Kyai Demak
- Husni Thamrin
- M. Susanto
- Siti ramlah
- Deddy Abubakar

Sedangkan ke-19 orang penerus, yaitu wakil-wakil dari DPP IMM se-Indonesia yang
mengikuti Muktamar IMM IV tersebut yang berarti secara otomatis deklarasi tersebut
merupakan kebulatan tekad pimpinan dan anggota IMM seluruh Indonesia. Mereka itu adalah:
- Hindun Rosidi (Aceh)
- M. Jaginduang Dalimunthe (Sumut)
- Agus Aman (Riau)
- Bazar Abbas (Sumbar)
- A. Roni Umar (Jambi)
- Fauzi Fatah (Lampung)
- Rafles (DKI Jakarta)
- Anda Suhanda (Bandung/Jawa Barat)
- Ahmad Sukarjo (Jawa Tengah)
- Taufiq Dahlan (DIY/Yogyakarta)
- Ishak Sholeh (Kalbar/Pontianak)
- Mahrani Said (Kalsel)
- M. Nurdin Hs (Samarinda/Kaltim)
- M. Yasin Ahmad (Sulslra/Ujung Pandang)
- M. Yunus Hamid (Sulawesi Tengah)
- M. Nur Abdullah (Nusa Tenggara Barat/NTB)
- Joko Santoso (Malang/jawa Timur)
- A. Muis ZA (DPP IMM Periode 1971-1974) dan
- Mahnun Husein (DPP IMM Periode 1971-1974)

Dewan Pimpinan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Periode Muktamar IV atau Peiode


1975-1978 dalam pelaksanaan program hasil Muktamar yang telah ditanfizkannya melalui surat
keputusan No. 002/A-1/1976 tenggal 8 Februari 1976, kurang banyak melakukan suatu aktifitas
Ikatan tingkat nasional.
Namun, perlu dicatat sebagai langkah “emas” dari kerja DPP IMM periode 197501978 yaitu
telah mengusulkan kepada pemerintah RI dalam melakukan pembinaan bagi generasi muda dan
mahasiswa diperlukan adanya seorang pembantu presiden yakni seorang menteri yang khusus
bertugas menangani masalah kepemudaan, yang akhirnya lahirlan dalam komposisi kabinet,
tepatnya mulai Kabinet Pembangunan III (1983-1988) dengan dr. Abdul Gafur sebagai
menterinya, yaitu Menpora (Menteri urusan Pemuda dan Olahraga), dan Ir. Akbar Tanjung untuk
kabinet Pembangunan IV (1988-1993). Bisa dikatakan, bahwa kehadiran menteri pemuda
tersebut adalah merupakan inisiatif atau usulan DPP IMM Periode 1975-1978 yang diketuai oleh
Drs. Zulkabir.
Kemudian, kaitannya dengan pembangunan Ikatan, pada dan atau lewat Muktamar IMM IV
di Semarang tersebut, telah merekomendir penggeseran asas pengorganisasian IMM dari asas
teritorial kepada asas potensial. Penggeseran ini menurut pola aktivitas dimaksudkan supaya
IMM senantiasa berorientasi kepada bidang-bidang gerak Muhammadiyah dan kebutuhan dasar
Mahasiswa.
Kalau sekarang anggota IMM mempunyai keyakinan penuh bahwa Komisariat adalah
sebagai institusi terbawah dalam jenjang kepemimpinan Ikatan dan adalah merupakan basis
kegiatan, maka dengan penggeseran asa tersebut berarti posisi Komisariat dan atau Kelompok
dipandang penting dan menentukan. Program yang seperti ini sesungguhnya merupakan hasil
rumusan Muktamar IV IMM tersebut, dan dengan ini memang terjadilah upaya peluasan IMM
melalui rekomendasinya kepada PP Muhammadiyah.
Atas dasar rekomendasi dari Muaktamar IV IMM kepada Muhammadiyah kaitannya dengan
pengembangan IMM tersebut, maka Muhammadiyah dhi. Majelis Pendidikan Pengajaran dan
Kebudayaan (sekarang Majelis ini dipecah menjadi dua; Majelis Diktilitbang dan Majelis
Pendidikan dan Kebudayaan) telah mengeluarkan Petunjuk Mengenai Pembinaan Mahasiswa
Perguruan Tinggi Muhammadiyah, yang juga merupakan rekomendasi dari hasil Lokakarya
yaitu dengan suratnya No. E.1/234/1978 tertanggal 31 Oktober 1978, No. E.1/001/79 tanggal 2
Januari 1979 dan No. E.3/014/1979 tertanggal 9 Januari 1979.
Selain itu, DPP IMM periode Zulkabir, yang sebenarnya harus berakhir pada tahun 1978 atau
akhir tahun 1979 (paling lambat), ternyata msaih merasa kurang cukup waktu dalam
melaksanakan amanah hasil Muktamar III dan IV. Tahun 1979, bukannya Muktamar IMM ke-5
yang diadakan, tetapi justru Tanwir V yang diadakan di Jakarta yang salah satu keputusannya
akan bermuktamar pada bulan Oktober 1979. Dan Tanwir V ini pun sesungguhnya merupakan
desakan dari DPD IMM DKI Jakarta yang saat itu diketu-umumi oleh Drs. Yunan Yusuf. Dan
dalam Tanwir IMM V Jakarta tahun 1979 ini pun terdapat rekomendasi untuk Muhammadiyahh
dan untuk DPP itu sendiri supaya segera melaksanakan Muktamar ke-5 IMM.
Sampai beberapa tahun kemudian, DPP IMM Periode 1975-1978 tidak mampu mengadakan
Muktamar IMM lanjutan (ke-5). Personalia DPP IMM periode ini yang terpencar-pencar, ada
yang di Yogyakarta, Surakarta (Solo), Bandung, Jakarta, dan lain-lain, mengakibatkan
komunikasi antar anggota DPP menjadi renggang bahkan terputus, yang pada gilirannya
terjadilah kevakuman IMM di tingkat nasional.
Dewan Pimpinan Daerah (DPD) IMM DKI Jakarta pada tanggal 14-15 Maret 1981
mengadakan Musyda ke-5 dan dalam Musyda inilah disuarakan bahkan mendesak supaya DPP
IMM Periode 1975-1978 segera melaksanakan amanah Muktamar. DPP IMM tampaknya kurang
mendengarkan suara Musyda IMM DKI Jakarta tersebut.
Perkembangan berikutnya, maka pada tanggal 3 Juni 1982, para alumni IMM DKI Jakarta,
yaitu:
- Rustan
- Rusaini Rusin
- E. Kusnadi
- Husni Thoyyar
- Hajid Harnawidgda
- Yudi Ruspandi
- A. Sabuki
- Abd. Muis ZA
- Yusuf Muchtar
- Salman Harun
- Sadimin
- M. Yunan Yusuf
- Moh. Isa Anwari Bah
- Firdaus Jamain

Semuanya itu, telah menandatangani surat himbauan kepad PP Muhammadiyah supaya turun
tangan dan segera membantu melaksanakan Muktamar V IMM, dan surat ini ditembuskan ke
seluruh seluruh PWM se-Indonesia, tetapi juga ... Muktamar masih tetap belum dilaksanakan.
Kemudian, bulan Mei 1983, DPD IMM DKI mengadakan silaturrahmi DPD IMM se-
Indonesia, yang hasilnya yaitu – antara lain – mendesak kembali DPP IMM untuk segera
melaksanakan Muktamar. Desakan ini, dialamatkan kepada PP Muhammadiyah dengan
mengutus 6 (enam) orang untuk menghadap PP Muhammadiyah di Yogyakarta. Keenam orang
tersebut, yaitu:
- Anwar Abbas (DPD IMM DKI Jakarta)
- Syafhaini Ts. Tanjung (DPD IMM DKI Jakarta)
- Nandi Rahman Campay (DPD IMM DKI Jakarta)
- Marsal (DPD Palembang)
- Sufyan (DPD Palembang)
- Ahlaq Siddiq (DPD IMM Sumut)

Namun, Muktamar IMM masih belum juga dilaksanakan, maka pada tahun 1984 DPD IMM
DKI Jakarta memprakarsai untuk membentuk Care Taker DPP IMM, yang tujuannya akan
menghantarkan IMM untuk segera melaksanakan Muktamar, tetapi Care Taker ini banyak
tantangan, akhirnya bubar sendiri.
Kembali pada permasalahan, bahwa penilaian yang obyektif, sesungguhnya DPP IMM sejak
periode 1975-1978/79, terjadilah kekosongan, atau sejak itulah IMM tidak mempunyai DPP
IMM-nya. IMM yang pada periode Drs. H. M. Djazman Al-Kindi dan Drs. H. A. Rosyad Shaleh
memiliki potensi nasional yang meyakinkan, ternyata hampir tenggelam gara-gara ketiadaan
DPP IMM-nya.
Ketiadaan DPP IMM tersebut sesungguhnya sama sekali tidak mempengaruhi aktivitas IMM
di setiap Daerah dan cabang. Walaupun DPP IMM tidak ada, tetapi semangat ber-IMM begitu
melekat pada institusi di bawah DPP IMM, dan karenanya di daerah-daerah dan cabang-cabang,
IMM masih tetap tumbuh bahkan semakin subur. IMM saai ini ibarat sebuah pohon besar yang
rindang kemudia terserang kemarau panjang yang menggugurkan dedaunannya tetapi akarnya
semakin menerobos ke perut bumi. Atasannya rontok, tetapi bawahannya semakin mantap, itulah
kondisi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah pasca Muktamar ke-4 saat itu.
Kondisi DPP IMM yang banyak memerlukan cerita nyata yang “menyedihkan” tersebut,
lama-kelamaan terdengar pula oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Satu hal yang amat
menguntungkan bagi IMM, yaitu bahwa anggota-anggota Pimpinan Pusat saat itu banyak mantan
DPP IMM, seperti Drs. Moh. Djazman, Drs, Sutrisno Muhdam, Drs. A. Rosyad Shaleh, Drs.
Abuseri Dimyati dan lain-lain. Sementara itu, H.S. Projokusumo sendiri selaku Ketua PP
Muhammadiyah Mapendappu saat itu merasa terpanggil, yang akhirnya keluarlah animo beliau
untuk menulis tentang IMM yang nadanya hampir menjerit dengan judul IMM Anakku,
Bangkitlah! Yang kemudian tulisan ini di samping dimuat di Suara Muhammadiyah No. 12
tahun ke-63 Juni 1983 juga disebarluaskan oleh BKP-AMM dalam bentuk buku diterbitkan pada
tahun 1983.
Perkembangan berikutnya, rupanya PP Muhammadiyah yang merasa telah melahirkan dan
mengesahkan berdirinya IMM ikut merasakan bahwa IMM yang sebagai anak kandungnya
sedang sakit, akhirnya segera turun tangan, turut campur ke dalam pembenahan Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah dalam hal ini DPP-nya.
Rupanya pula, PP Muhammadiyah, diam-diam turut memantau perkembangan IMM setelah
DPP IMM periode 1975-1978 tidak mampu melaksanakan Muktamar. Sejak Muhammadiyah
melangsungkan Sidang Tanwir di Yogyakarta pada tahun 1981 telah mengamanatkan PP
Muhammadiyah untuk membentuk DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang telah habis
masa baktinya, yang kemudian ditandaskan lagi pada Rapat Kerja PP Muhammadiyah tahun
1982. Paling tidak, inilah jawaban PP Muhammadiyah terhadap kondisi IMM tingkat pusat
sebagaimana tergambarkan di atas.
Lewat Rapat Kerja PP Muhammadiyah itulah kemudian PP Muhammadiyah membentuk
team yang terdiri dari 5 orang yaitu H.S. Projokusumo, Drs. Lukman Harun, Drs. H. Moh.
Djazman, Drs. H. Sutrisno Muhdam dan Drs. A. Rosyad Shaleh. Kemudian, team ini pun mulai
bekerja setelah disederhanakan menjadi 3 orang yaitu Drs. H. M. Djazman, Drs. H. Sutrisno
Muhdam dan Drs. H. A. Rosyad Shaleh (yang ketiganya benar-benar sebagai alumni IMM).
Dalam mengemban tugas tersebut, team yang terdiri dari 3 orang pakar IMM tersebut mulai
lakukan penelitian dan atau pengamatan serta peninjauan ke beberapa pihak, terutama pada
anggota-anggota DPP IMM yang sudah tidak berdaya (periode 1975-1978) dan pendekatan-
pendekatan terhadap beberapa PWM atau DPD-DPD IMM. Akhirnya setelah merasa yakin akan
hasil yang dicapai team tersebut, maka PP Muhammadiyah pun mulai menilai hasil kerja yang
dimaksudkan tadi. Dan dalam menilainya ini, PP Muhammadiyah segera melaksanakan Rapat
Plenonya, tentu untuk menambah kekuatan dan keyakinan dalam penilaian terhadap hasil team
tersebut.
Konon, PP Muhammadiyah sampai tiga kali mengadakan Pleno untuk membahas DPP IMM
tersebut, mulai dari orang-orang yang akan ditunjuk, sampai pada kemungkinan-kemungkinan
yang timbul dari kalangan IMM sendiri. Rapat yang pertama dilaksanakan pada tanggal 12-14
Mei 1984, yang kedua dilaksanakan pada tanggal 25-26 Agustus 1984 dan terakhir dilaksanakan
pada tanggal 10-12 Agustus 1985.
Dari hasil upaya team dan PP Muhammadiyah lewat rapat-rapatnya itu, maka akhirnya, tepat
pada tanggal 15 Dzulhijjah 1405 H/31 Agustus 1985, lahirlah Surat Keputusan PP
Muhammadiyah No. 10/PP/1985 tentang: Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah. Dalam SK ini PP Muhammadiyah menunjuk dan mengesahkan susunan DPP
IMM (sementara) dengan formasi sebagai berikut:
Ketua : Immawan Wahyudhi
Wakil Ketua : Anwar Abbas
Wakil Ketua II : M. Din Syamsuddin
Wakil Ketua III : Farid Fathoni Af
Sekretaris I : Mukhlis Ahsan Uji
Sekretaris II : Nizam Burhanuddin
Sekretaris III : Agus Syamsudin
Bendahara I : Daulab Khoiriati
Bendahara II : Asmuyeni Muchtar

Susunan hasil (keterpaksaan) PP Muhammadiyah karena sayangnya terhadap IMM yang


sudah lama kehilangan DPP-nya itu, kemudian pada hari berikutnya yaitu tanggal 1 September
1985 dilantik oleh PP Muhammadiyah. Drs. Sutrisno Muhdam memimpin acara pelantikan
tersebut dan pengarahan PP Muhammadiyah disampaikan oleh alamrhun Bapak dr. H. Kusnadi.
Isi dari pengarahan PP Muhammadiyah ini intinya antara lain sebagaimana yang dikutip oleh
Bulletin DPP IMM yaitu IMAM No. 001/DPP-IMM/1985 yaitu:
1. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah tidak sama dengan organisasi lain seperti organisasi
di luar Muhammadiyah. IMM adalah organisasi kader, bukan organisasi massa. Oleh
karena itu, supaya pertumbuhan sebagai organisasi kader ini tetap dijaga, karena hal itu
merupakan harapan dari Muhammadiyah
2. Kami mengharapkan pada anggota dan pimpinan IMM agar tetap menjaga kelancaran
studinya. Jangan sampai karena aktif dalam IMM lalu studinya menjadi terbengkalai.
Hal ini tidak sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh berdirinya IMM itu sendiri
3. Adanya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sebagai bagian dari Angkatan Muda
Muhammadiyah, memang menjadi harapan Muhammadiyah di masa mendatang, oleh
karena itu kami sekali (lagi meminta, ed) kesungguhannya untuk mengabdikan diri dalam
Persyarikatan.

Begitulah harapan PP Muhammadiyah terhadap DPP IMM yang baru saja dilantiknya.
Ternyata memang motif PP Muhammadiyah untuk membantu proses dinamika IMM sangat
bernilai tinggi, baik dinilai dari segi futurologi maupun dilihat dari segi kepemimpinan itu
sendiri. PP Muhammadiyah secara kelembagaan merupakan rumah yang dihuni oleh anak-
anaknya dalam hal ini Ortom, secara konstitusi berhak membubarkan IMM atau mengusir dari
rumahnya. Akan tetapi, karena begitu sayangnya, maka PP Muhammadiyah tidak mungkin akan
mengusir atau membubarkan IMM, tetapi sebaliknya justru akan senantiasa menjadi sebuah
lembaga yang amat memperhatikan kepentingan anak atau ortomnya.
Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 10/PP/1985, yang boleh disebut
sebagai intervensi terhadap keotonomian IMM, ternyata terbukti sebagai penyelamat kehadiran
dan atau keberadaan IMM. Walaupun kebijaksanaan PP Muhammadiyah ini sempat menyengat
sebagian kecil aktivis IMM yang kurang memperdalam Identitas IMM, tetapi kebijaksanaa itu
secara aklamasi disambut baik oleh kalangan fungsionaris DPD-DPD IMM seluruh Indonesia.
Suara-suara sumbang yang bernilai ambisius dan atau (mungkin) ngiri (iri hati) melihat
temannya yang duduk di Dewan Pimpinan Pusat IMM lewat jalan tol (tanpa susah payah melalui
Muktamar), pada akhirnya reda juga. DPP (s) IMM produk SK PP Muhammadiyah pun berjalan
mulus. Terbukti dengan adanya kemampuan mereka dalam jangka waktu lebih-kurang 4 bulan
telah menyeret IMM untuk melangsungkan sidang Tanwir VI berbarengan dengan Muktamar
Muhammadiyah ke-41 tanggal 7-11 Desember 1985 di Surakarta.
Dalam sidang Tanwir ke-6 tersebut, salah satu keputusannya yaitu akan melangsungkan
Muktamar ke-5 Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Padang Sumatera Barat. Waktu itu,
direncanakan tanggal 14-18 Maret, tetapi kemudian baru terlaksana pada tanggal 14-18 April
1986 dengan Ketua Panitia Firman Noor, S. H. dan Noor Chozin Agham sebagai Sekretarisnya.
Jadi DPP (Sementara) IMM yang dibentuk (karena keterpaksaan) Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, yang hanya berumur lebih 7 bulan ini telah mampu mengadakan Tanwir dan
Muktamar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.

5. Muktamar Ke-5
Setelah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) selama kurang lebih 10 tahun tidak
melangsungkan Muktamar, maka kehadiran DPP (s) tersebut ternyata bisa menggiring IMM
untuk melaksanakan Muktamar ke-5-nya, yaitu dilaksanakan pada tanggal 14-18 April 1986 di
Kota Awak Padang Sumatera Barat. Dengan terlaksananya Muktamar ini, para aktivis bilang
bahwa Muktamar IMM ke-5 ini adalah masa kebangkitan IMM yang selama kurang lebih 10
tahun terserang rayap dan hampir ambruk.
Adapun personalia DPP IMM periode 1986-1989 (Muktamar ke-5), struktur dan atau
komposisinya adalah sebagai berikut:
Ketua Umum : Nizam Burhanuddin
Ketua Bidang Kader dan
Alumni : Farid Fathoni Af
Kabid Organisasi : Agus Syamsuddin
Kabid Kemahasiswaan : Susilo Wardoyo
Kabid Pengkajian dan
Kemasyarakatan : Firman Noor
Kabid Immawati : Asmuyeni Muchtar
Sekretaris Jenderal : Moh. Arifin Nawawi
Wakil Sekjen : Moh. Ali Taher Parasong
Wakil Sekjen : Hassan Kunio
Wakil Sekjen : Darmaji Hurmadi
Bendahara Umum : Chadrawati Arifin
Bendahara : Oka Gunawan
Bendahara : Nurhaida
Departemen Kader : Agus Sumiyanto
Dep. Kemasyarakatan : Firmanstah Langkisau
Qomari Anwar
Lembaga Pengkajian dan
Pengembangan : Bambang Setiaji
Lembaga Pers dan Pusat
Informasi : Sudarnoto Azath
Alfian Mujani
Biro Hubungan LN : Yunahar Ilyas
Achmad Purnomo

Yang perlu dicatat dalam Muktamar IMM V yang menghasilkan komposisi DPP IMM
tersebut di atas, yaitu pengangkutan kantor pusat DPP IMM dan penyimpan atau memeti-emas-
kan asas organisasi. DPP IMM yang sejak lahir berkedudukan di Yogyakarta, maka melalui
Muktamar tersebut dengan dan setelah melalui berbagai pertimbangan akhirnya dibopong
menuju Jakarta.
Begitu pula mengenai asasnya, IMM yang sejak lahir berasaskan Islam, kemudian pada
Muktamar IMM ke-5 di Padang asas tersebut disimpan dalam peti emas lalu diganti dengan
Pancasila. Perubahan asas ini, merupakan bentuk ittiba’ organisatoris terhadap Muhammadiyah
yang telah menetapkan asa Pancasila dalam Muktamar yang ke-41 di Surakarta tahun 1985, dan
Muhammadiyah sendiri ittiba’ pada pemerintah yang syah, yaitu Republik Indonesia lewat
Undang-undang Keormasan No. 8/1985.
Di samping itu, juga telah dirumuskan kembali maksud dan tujuan IMM dengan
menambahkan kalimat “yang berakhlak mulia” di tengah-tengah kalimat yang telah dirumuskan
melalui Muktamar III di Yokyakarta. Seklanjutnya, Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM) periode Nizam Burhanuddin ini, tugas pokoknya ternyata masih terfokus
pada konsolidasi Organisasi, sama dengan pada masa DPP (s) IMM versi SK No. 10/PP
Muhammadiyah. Ini mengingat bahwa sebagaimana tersebut di atas, Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM) selama lebih kurang 10 tahun tidak terkoordinir secara sentral. Masing-
masing level kepemimpinan IMM mulai dari Komisariat/Kelompok, Cabang dan Daerah
berjalan sendiri-sendiri, sehingga ada kemungkinan besar terdapat pelainan pola gerak dalam
mencapai maksud dan tujuannya. AD/ART IMM produkMuktamar I, II ...(hlm. 91-92 hilang)
(hlm. 93) Musyawirin menerima sistem tersebut untuk diseminarkan oleh dan di tingkat DPP,
yang pada gilirannya dilaksanakan acara Seminar dan Lokakarya Pengkaderan IMM pada
tanggal 26-28 Desember 1986. Setelah itu DPP IMM merumuskan sekaligus lahirlah buku
Sistem Pengkaderan IMM 1988. Buku inilah yang barangkali akan bersejarah bagi DPP IMM
periode 1986-1989.
Entah mampu atau tidak DPP IMM produk Muktamar V untuk menanamkan pengaruh
sekaligus membopong IMM untuk tetap bangkit di periode-periode berikutnya, sekarang tinggal
kita yang menilainya. DPP IMM produk Muktamar V sudah habis masa jabatannya dan akan
bermuktamar lagi yaitu bulan Juli di Ujung Pandang. Kita tunggu saja. Insya Allah akan saya
beber kembali sebagai kelanjutan dari karya penting ini.
BAB IV
PENUTUP

Pada saat disusunnya tulisan penting ini, Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah sedang mempersiapkan Muktamar ke-6 di Ujung Pandang Sulawesi Selatan.
Satu hal yang patut diinformasikan sekaligus layak disesali, bahwa kondisi DPP IMM menjelang
Muktamar VI tersebut masih diselimuti isu kubu Jakarta dan Yogyakarta. Entah siapa yang bakal
menggantikan Nizam Burhanuddin, masih teka-teki.
Namun demikian, sebagai penutup karya penting ini, kita berharap siapapun yang akan
mengetuaumumi DPP IMM di masa mendatang, hendaknya menjauhkan istilah “pengkubuan”
yang berakibat pada nihilnya penyusunan dan pelaksanaan program-program IMM era keakanan.
Kita berharap pula, siapapun dan dari manapun asalnya yang akan jadi Ketua Umum kita, harus
memberanikan diri untuk hidup di Jakarta sebagai konsekwensi dari AD dan ART yang
terumuskan dengan susah payah dalam (lewat) Muktamar V IMM di Padang Sumatera Barat.
Dan yang penting diinformasikan pula, bahwa penulisan tentang sejarah berdiri dan
berkembangnya IMM semestinya tidak hanya sampai pada Muktamar ke-5 ini saja. Dan
karenanya, bila masih ada kesempatan, Insya Allah saya akan melanjutkan penulisan ini,
sekaligus melengkapi data dan fakta berikut reinterpretasi terhadap apa yang sudah ditulis ini.
Dan karenanya pula, kritik dan saran serta informasi tambahan dari para pembaca sangat saya
harapkan agar bisa dikirim ke alamat rumah saya, Kompleks P & K RT. 04/05 No. 242-B
Cipondoh Indah Kodya Tangerang 15148, telp. (021) 5544458, atau ke alamat DPP IMM di
Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta.

Jakarta. Februari 1989

Anda mungkin juga menyukai