Mata Kuliah: -
Dosen Pengampu :
Disusun
O
L
E
H
IHSANUL FIKRI
(1901026006)
Ihsanul Fikri; Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Walisongo Semarang
itsmeihsanf@gmail.com
Abstrak
Fokus makalah ini diangkat dari pengamatan pribadi saya dimana cara-cara komunukasi di antara Masyarakat
Minangkabau telah diabaikan oleh kebanyakan masyarakat. hal ini dapat dilihat dari percakapan masyarakat
luas yang saat ini terdengar sangat gamblang menggunakan Bahasa tabu ataupun Bahasa yang bertentangan
dengan adat istiadat Minangkabau. Terdapat percakapan-percakapan yang terjadi tanpa mempeetimbangkan
psikologis lawan bicara. Sayangnya, selain tanpa mempertimbangkan aspek psikologi di dalam dunia Pendidikan
juga terdapat kata-kata kasar yang terjadi antara guru dan murid. Misalnya Ketika guru menginstruksikan atau
bahkan menasehati guru, kata-kata yang diucapkan guru tersebut adalah: “kamu bodoh, hal seperti ini saja
tidak mengerti”, “ kamu budek apa gimana?”, “bodoh, masa itu doang gak ngerti?”. Meski bertentangan
dengan nilai adab dan kebijaksanaan masyarakat Minangkabau. Namun, hal ini benar-benar terjadi dan nyata.
Disisi lain, di tingkat SD Negeri terdapat regulasi yang memungkinkan guru berkomunikasi dengan siswa tahun
pertama hingga tahun ketiga menggunakan Bahasa daerah, yaitu Bahasa Minangkabau. Menurut saya regulasi
ini merupakan peluang bagus untuk menerapkan kearifan berbahasa dimana guru dapat mendemonstrasikan
bagaimana cara berkomunikasi yang baik menurut adat-istiadat Minangkabau. Sebagai bagian dari masyarakat
Minangkabau, guru juga wajib melanjutkan kearifan berbahasa dengan memberikan contoh bagaimana
komunikasi yang baik kepada yang lebih tua, lebih muda, dan yang usia sama. Dalam ajaran Minangkabau hal
ini disebut dengan “Tau Jo Nan Ampek” atau dalam padanan Bahasa Indonesianya “Paham Dengan Yang
Empat”. Yaitu: Kato Mandaki (Kata Mendaki), Kato Malereang (Kata Melereng), Kato Mandata ( Kata
Mendatar), Kato Manurun (Kata Menurun).
3|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebuah pepatah Minang berbunyi "Nan Kuriak Iyolah Kundi, Nan Merah Iyolah Sago", "Nan
Baiak Iyolah Budi, Nan Indah Iyolah Baso". (" Yang kurik adalah kendi, yang merah adalah saga,
yang baik adalah budi, yang indah adalah basa (bahasa)". Dalam pepatah ini juga terlihat bahwa budi
dan bahasa seseorang menjadi ukuran baik buruknya seseorang.
Namun yang terjadi saat ini masyarakat Minangkabau telah meninggalkan budi berbicara,
meninggalkan tata krama berbicara. Seringkali terdengar kata kasar, kata umpatan, kata yang penuh
dengan kemarahan dan dendam, kata yang didengar lebih mengedepankan prinsip pokoknya pesan
sampai" tanpa mempertimbangkan aspek psikologis lawan bicara. Tragisnya kekerasan berbahasa ini
pun sudah masuk ke dunia pendidikan. Guru sebagai tokoh panutan tega menggunakan kata kasar
kepada murid. Ketika guru menegur, menyuruh atau menasehati murid, kata hardikan, kata ejekan
kerapkali terdengar. Begitu juga ketika guru memarahi murid di depan temannya, ketika guru
menasehati murid dengan kemarahan, dan ketika guru menyampaikan ilmunya di dalam kelas.
Ucapan kasar seperti: "Pakak bana waang mah ! "( Kamu bodoh sekali!). "Andia bana, iko se indak
mangarati juo ! "(Bodoh sekali, seperti ini belum mengerti juga!). "Katepong gadang, sumbarang se
dilatakan!" (Pantat besar, sembarangan saja diletakkan!). "Sia amak ang, iko se indak paham”, ibumu
siapa heh, seperti ini tidak paham juga!) seringkali dilontarkan guru.
Pengamatan dilakukan di Sekolah Dasar walaupun fenomena bahasa guru ini juga dijumpai di
sekolah tingkat menengah. Fakta yang menyedihkan kemampuan berkomunikasi guru seperti ini
sudah dimulai dari tingkat pendidikan dasar. Kenyataannya di tengah upaya membangun cita-cita
mulia ini, profesi guru kerap dirusak oleh perilaku yang tidak sepatutnya dilakukan oleh guru.
Banyak guru sudah menjadi 'pengkhianat intelektual'. Maksudnya, perilaku yang dilakukan guru
tidak mencirikan ilmu yang dipunyai guru berkenaan, perilaku yang dilakukan guru tidak sesuai
dengan profesi seorang guru yang seharusnya dapat dijadikan contoh dan teladan bagi muridnya.
4|
B. Rumusan Masalah
5|
BAB II
PEMBAHASAN
Untuk mendeskripsikan kearifan berbahasa guru Minangkabau serta hubungannya dengan komunikasi
interpersonal maka pembicaraan pada makalah ini akan dimulai dengan pembahasan tentang kato nan
ampek (AA Navis, 1994:101-102).
6|
banyak berisi nasihat dan petunjuk yang dapat menjadi pedoman bagi yang kecil. Kata-kata ini
penuh berisi kasih sayang, menjadi suri teladan. Jarang berisi kata-kata marah, jauh dari
hardikan dan kemarahan, indak pulo mahantak kaki, jauh dari manampiak dado (tidak
menghantamkan kaki ke bumi, jauh dari membusungkan dada).
Kata pengganti orang pertama, kedua, dan ketiga juga bersifat khusus. Misalnya wak
den atau awak den asalnya dari kata awak den untuk orang pertama. Awak ang atau wak ang
untuk orang kedua laki-laki, awak kau atau vak kau untuk orang kedua perempuan. Wak ang
atau awak nyo untuk orang ketiga. Kata awak atau wak yang artinya sama dengan kita selalu
dipakai sebagai pernyataan bahwa setiap orang sama dengan kita atau di antara kita juga.
Kato malereang (kata melereng), yaitu bahasa yang digunakan orang yang posisinya
sama, saling segan-menyegani, seperti orang yang mempunyai hubungan kekerabatan karena
perkawinan, misalnya ipar, besan, mertua, menantu, atau antara orang-orang yang jabatannya
dihormati, seperti penghulu, ulama, dan guru. Kata-kata ini banyak berisi kias dan
perumpamaan, berisi petunjuk dan pengajaran. Biasanya dipakai dalam pembicaraan antara
orang arif bijaksana. Ada tempat meletakkan sesuatu pada tempatnya. Tidak hanya sekadar
membaca apa yang terlihat. Seseorang tidak berkata apa yang teringat saja tetapi terlebih
dahulu mempertimbangkan apa yang akan disampaikan,
Pemakaian tatabahasa kato malereang rapi, tetapi lebih menggunakan peribahasa, seperti
perumpamaan, kiasan, atau sindiran. Kata panggilan kekerabatan yang diberikan keluarganya
untuk orang kedua dan beliau untuk orang ketiga.
7|
Kato mandata (kata mendatar), yaitu bahasa yang digunakan di antara orang yang status
sosialnya sama dan hubungannya akrab. Kata ini biasanya digunakan pada komunikasi dua arah.
8|