Anda di halaman 1dari 33

1

A. Judul Penelitian
Gaya Bahasa Guru dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas X
SMA AS-SALAM Cenlecen Pakong Pamekasan.
B. Konteks Penelitian
Dalam pendidikan formal di sekolah menengah, kalau ditanyakan apakah
bahasa itu, biasanya akan dijawab, “bahasa adalah alat komunikasi”. Jawaban
ini tidak salah, sebab jawaban itu tidak hanya menyatakan “bahasa adalah
alat”. Jadi, fungsi dari bahasa itu yang dijelaskan, bukan “sosok” bahasa itu
sendiri. Memang benar, fungsi bahasa adalah alat komunikasi bagi
manusia,tetapi pertanyaan yang diajukan di atas bukan “apakah fungsi
bahasa?”, melainkan “apakah bahasa itu?”, maka, jawabanya haruslah
berkenaan dengan “sosok” bahasa itu, bukan tentang fungsinya. Jawaban,
bahwa “bahasa adalah alat komunikasi” untuk pertanyaan “apakah bahasa
itu?”, memang wajar terjadi karena bahasa itu adalah fenomena sosial yang
banyak seginya. Sedangkan segi fungsinya tampaknya merupakan segi yang
paling menonjol diantara segi-segi lainya. Karena itu tidak mengherankan
kalau banyak juga pakar yang membuat definisi tentang bahasa dengan
pertama-tama menonjolkan segi fungsinya itu, seperti Sapir, Badudu, dan
Keraf. Jawaban terhadap pertanyaan “apakah bahasa itu?” yang tidak
menonjolkan fungsi, tetapi menonjolkan “sosok” bahasa itu adalah seperti
yang dikemukakan Kridalaksana dan juga dalam Djoko Kentjono: “Bahasa
adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota
kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi
diri”. Definisi ini sejalan dengan definisi dari barber, Wardhaugh, Trager, de
saussure, dan Bolinger.1
Bahasa bukan sekedar alat komunikasi, bahasa itu bersistem. Pengunaan
bahasa dengan baik menekankan aspek komunikatif bahasa. Hal itu berarti
bahwa kita harus memperhatikan sasaran bahasa kita. Kita harus
memperhatikan kepada siapa kita akan menyampaikan bahasa kita. Oleh
sebab itu, unsur umur, pendidikan, agama, status sosial, lingkungan sosial,
dan sudut pandang khlayak sasaran kita tidak boleh kita abaikan. Cara kita

1
Abdul Chaer. Linguistik Umum (Jakarta:PT RINEKACIPTA, 2003). Hlm.31-32.
2

berbahasa kepada anak kecil dengan cara kita berbahasa kepada orang dewasa
tentu berbeda. Penggunaan bahasa untuk lingkungan yang berpendidikan
tinggi dan berpendidikan rendah tentu tidak dapat disamakan. Kita tidak dapat
menyampaikan pengertian mengenai jembatan, misalnya,dengan bahasa yang
sama kepada seorang anak SD dan kepada orang dewasa. Selain umur yang
berbeda, daya serap seseorang anak dengan orang dewasa tentu sangat
berbeda.
Lebih lanjut lagi, karena berkaitan dengan aspek komunikasi, maka
unsur-unsur komunikasi menjadi penting, yakni pengirim pesan, isi pesan,
media penyampaian pesan, dan penerima pesan. Mengirim pesan adalah
orang yang akan menyampaikan suatu gagasan kepada penerima pesan,
pendengar atau pembacanya, bergantung pada media yang digunakanya. Jika
mengirim pesan menggunakan telepon media yang digunakan adalah media
lisan. Jika ia menggunakan surat, media yang digunakan adalah media tulis.
Isi pesan adalah gagasan yang ingin disampaikannya kepada penerima pesan.2
Kita mengenal istilah pertanyaan retoris di Indonesia, khususnya dalam
pengajaran bahasa. Sering dikatakan, pertanyaan retoris ialah pertanyaan
yang tidak memerlukan jawaban dari yang ditanya. Yang menjawab adalah
penanya sendiri.
Retorika disini dimaksudkan sebagai kajian tentang tutur terpilih
(selected speech) salah satu cabangnya kajian tentang gaya bahasa (style).
Seseorang yang akan bertutur mempunyai kesempatan untuk menggunakan
berbagai variasi, dan untuk itu bahasa menyediakan bahan-bahanya.
Seseorang yang menyuruh orang lain didepanya untuk pergi dapat
menggunakan berbagai cara atau ungkapan. Dia bisa menggunakan sebuah
kata saja. “pergi!” dengan suara keras. Bisa pula menggunakan kalimat
perintah yang lebih halus, “silahkan anda pergi!”; tetapi bisa pula
menggunakan kalimat tanya, “apalagi yang anda tunggu di sini?”. Untuk
memilih bentuk atau kalimat yang diucapkan dia bisa mempertimbangakan
yang paling efektif untuk situasi atau kondisi pada waktu itu. Bagaimana si
penutur menggunakan sesuatu bentuk ujaran, situasi dan kondisi yang
2
Moh. Hafid effendy. Kasak kusuk Bahasa Indonesia (pamekasan:stain pamekasan press, 2015).
Hlm. 60-62.
3

mendukung pemilihan bentuk itu, dan kekuatan yang terkandung dalam


ucapan, sehingga orang yang disuruh pergi misalnya, betul-betul mau pergi,
merupakan persoalan retorika.3
Gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata-kata
dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau mempengaruhi
penyimak dan pembaca. Kata retorik berasal dari bahasa yunani rhetor yang
berarti orator atau ahli pidato. Pada masa yunani kuno retorik memang
merupakan bagian bagian penting dari suatu pendidikan dan oleh karena itu,
berbagai macam gaya bahasa sangat penting dan harus dikuasai benar-benar
oleh orang-orang yunani dan romawi yang telah memberi nama terhadap
berbagai macam seni ini.
Secara singkat dapat dikatan bahwa “gaya bahasa” adalah cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khasnyang memperlihatkan
jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).sebuah gaya bahasa yang baik
harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik.
Gaya bahasa dan kosakata mempunyai hubungan erat, hubungan timbal
balik. Semakin kaya kosakata seseorang, semakin beragam pulalah gaya
bahasa yang dipakainya. Peningkatan pemakaian gaya bahasa jelas
memperkaya kosakata pemakainya. Itulah sebabnya dalam pengajaran
bahasa, pengajaran gaya bahasa merupakan suatu teknik penting untuk
mengembangkan kosakata para siswa.4
Interaksi belajar mengajar pada kenyataanya masih sama seperti
dulu,banyak guru yang mendominasi peserta didik dalam kegiatan belajar
mengajar,walaupun banyak juga sekolah yang sudah menggunakan teknologi
yang semakin maju. Dalam hal ini peserta didik memilih sendiri metode
belajarnya,akan tetapi interaksi dalam kelas masih tetap saja terkesan
membosankan,kurang nyaman, dan kurang efisien. Adanya pendapat tersebut
pada kenyataannya bukan lagi permasalahan teknologi yang digunakan dalam
proses belajar mengajar akan tetapi kembali lagi pada peran masing-masing
guru dalam interaksi proses belajar mengajar di kelas antara guru dan peserta
didik dibutuhkan gaya bahasa yang bisa memberikan motivasi peserta didik
3
Sumarsono. Sosiolinguistik (yogyakarta: pustaka belajar, 2017). Hlm,11-12.
4
Henry guntur tarigan. Pengajaran gaya bahasa (Bandung: Percetakan Angkasa,2009). Hlm,4-5.
4

demi peran sosialnya didalam lingkungan masyarakat. Pemanfaatan gaya


bahasa juga sangat berpengaruh dalam lingkungan masyarakat karena dengan
adanya gaya bahasa baik dan benar, seseorang dapat berinteraksi degan baik
tanpa menyakiti perasaan orang lain. Dalam hal ini berlaku juga oleh seorang
guru dalam pembelajaran siswa di kelas.
Melihat gaya bahasa yang sering digunakan dalam interaksi belajar
mengajar peneliti ingin mengetahui gaya bahasa guru yang dapat memotivasi
siswa dalam proses belajar mengajar, sehingga tercipta suasana yang nyaman,
efisien, dan tidak membosankan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di
dalam Kelas X SMA AS-SALAM Cenlecen Pakong Pamekasan dengan
menguji kebenaranya dengan mengambil judul: Gaya Bahasa Guru dalam
pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas X SMA AS-SALAM Cenlecen
Pakong Pamekasan.
C. Fokus penelitian
Berdasarkan konteks penelitian diatas, rincian fokus penelitianya sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah jenis gaya bahasa guru dalam pembelajaran Bahasa
Indonesia siswa Kelas X SMA AS-SALAM Cenlecen Pakong
Pamekasan?
2. Bagaimanakah makna gaya bahasa guru dalam pembelajaran Bahasa
Indonesia siswa Kelas X SMA AS-SALAM Cenlecen Pakong
Pamekasan?
3. Bagaimanakah sendi gaya bahasa guru dalam pembelajaran Bahasa
Indonesia siswa Kelas X SMA AS-SALAM Cenlecen Pakong
Pamekasan?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari Penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Mendeskripsikan jenis gaya bahasa guru dalam pembelajaran Bahasa
Indonesia siswa Kelas X SMA AS-SALAM Cenlecen Pakong
Pamekasan.
5

2) Mendeskripsikan makna bahasa guru dalam pembelajaran Bahasa


Indonesia siswa Kelas X SMA AS-SALAM Cenlecen Pakong
Pamekasan.
3) Mendeskripsikan sendi gaya bahasa guru dalam pembelajaran Bahasa
Indonesia siswa Kelas X SMA AS-SALAM Cenlecen Pakong
Pamekasan.
E. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari Penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan perkembangan
tentang gaya bahasa guru dalam kajian retorika, khususnya berkaitan
dengan gaya bahasa. Secara teoretis, penelitian ini memberikan masukan
dalam menganalisis jenis,makna dan sendigaya bahasa dengan
keterlibatan dominasi guru terhadap peserta didik di dalam pembelajaran.
2. Secara Praktis
Bagi guru, penelitian ini memberikan masukan tentang penggunaan
gaya bahasa dalam pembelajaran sehingga dapat lebih memaksimalkan
hasil belajar siswa. Selain itu, menjadi rujukan dalam membangun
interaksi dengan peserta didik untuk meningkatkan efektivitas
pembelajaran dan menambah pengetahuan serta pemahaman tentang
jenis gaya bahasa, makna gaya bahasa maupun sendi gaya bahasadalam
interaksi pembelajaran.
F. Definisi Istilah
Untuk mencegah terjadinya kesalah pahaman serta persepsi dari
pembaca, maka penulis perlu menjelaskan istilah-istilah pokok yang ada dan
kata kunci dalam memahami penelitian ini. Sehingga tidak terjadi kesalah
pahaman antara penulis dengan pembaca. Istilah-istilah tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Gaya bahasa atau langgam bahasa dan sering juga disebut majas adalah
cara penutur mengungkapkan maksudnya.5
2. Guru adalah jabatan atau profesi yang membutuhkan keahlian khusus.6

5
Lamuddin finoza. KOMPOSISI BAHASA INDONESIA (Jakarta: Mawar Gempita,1993). Hlm. 97
6

3. Pembelajaran Bahasa Indonesia merupakan salah satu materi pelajaran


yang sangat penting di sekolah. Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia
adalah agar siswa memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik
dan benar serta dapat menghayati bahasa dan sastra Indonesia sesuai
dengan situasi dan tujuan berbahasa serta tingkat pengalaman siswa
sekolah.7
Jadi yang dimaksud peneliti dengan judul penelitian ini adalah gaya
bahasa yang dipakai oleh guru bahasa indonesia dalam proses
pembelajaran bahasa indonesia di kelas X SMA As-Salam Cenlecen
Pakong Pamekasan
G. Kajian Pustaka
1. Kajian Teoritis
a. Pengertian Gaya bahasa
Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan
istilah style. Kata style diturunkan dari kata latin stilus, yaitu semacam
alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini
akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi,. Kelak
pada waktu penekanan dititik beratkan pada keahlian untuk menulis
indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk
menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah.
Karena perrkembangan itu, gaya bahasa atau style menjadi masalah
atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok
tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk menghadapi
situasi tertentu. Sebab itu, persoalan gaya bahasa meliputi semua hirarki
kebahasaaan: pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kaliamat,
bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan. Malahan nada
yang tersirat dibalik sebuah wacana secara termasuk pula gaya persoalan
gaya bahasa. Jadi jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak

6
Rani, Penggunaan Majas Sindiran dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas IX SMP
Negeri 1 Balaesang Desa Tambu Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala. Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tadulako Palu. 2018.
7
https://lenterakecil.com/pembelajaran-bahasa-indonesia/
7

hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung corak-corak


tertentu, seperti yang umum terdapat dalam retorika-retorika klasik.8
Gaya bahasa atau langgam bahasa dan sering juga disebut majas
adalah cara penutur mengungkapkan maksudnya. Banyak cara yang
dapat dipakai untuk menyampaikan sesuatu. Ada cara yang memakai
perlambang (majas metafora, personifikasi); ada cara yang menekankan
kehalusan (majas eufemisme, litotes); dan masih banyak lagi majas yang
lainnya. Semua itu pada prinsipnya merupakan corak seni berbahasa atau
retorika untuk menimbulkan kesan tertentu pada mitra berkomunikasi
kita.9
Majas ialah bahasa yang maknanya melampaui batas yang lazim.
Hal itu disebabkan oleh pemakaian kata yang khas atau karena
pemakaian bahasa yang menyimpang dari kelaziman ataupun karena
rumusannya yang jelas. Olen karena itu, majas erat kaitannya dengan
diksi. Selanjutnya, diksi atau pilihan kata yang tepat akan memperkuat
gaya bahasa. Jadi, majas juga merupakan alat untuk menunjang gaya.
Semakin jelas bahwa majas seperti simile, metafor, personifikasi bukan
gaya bahasa, melainkan salah satu unsur gaya bahasa.10
Majas sering dianggap sebagai sinonim dari gaya bahasa, namun
sebenarnya majas termasuk dalam gaya bahasa. Gaya bahasa mempunyai
cakupan yang sangat luas. Menurut penjelasan Harimurti Kridalaksana
(Kamus Linguistik, 1982) gaya bahasa (style) mempunyai tiga
pengertian, yaitu:
1. pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau
menulis;
2. pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efekefek tertentu;
3. Keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.
Beberapa pakar linguistik telah mencoba memberikan batasan
mengenai gaya bahasa. Menurut Ahmadi (1990: 170) "gaya bahasa
merupakan penggunaan bahasa yang istimewa, dan tidak dapat

8
Gorys keraf. Diksi dan Gaya Bahasa (jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008). Hlm.112.
9
Lamuddin finoza. KOMPOSISI BAHASA INDONESIA (Jakarta: Mawar Gempita,1993). Hlm. 97.
10
Dedy Sugono. BUKU PRAKTIS BAHASA INDONESIA (Jakarta: Pusat Bahasa, 2003). Hlm.174.
8

dipisahkan dari cara atau teknik seorang pengarang dalam merefleksikan


(memantulkan, mencerminkan) pengalaman, nilai-nilai kualitas
kesadaran pikiran dan pandangan yang istimewa atau khusus”.
Ahmadi membagi gaya bahasa menjadi dua, yaitu gaya bahasa
penekanan yang terdiri dari 25 jenis gaya bahasa dan gaya bahasa
perbandingan yang terdiri dari empat belas jenis.
Lain halnya menurut Keraf (2009:113) "gaya bahasa merupakan cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperhatikan
ciri dan kepribadian penulis (pemakai bahasa)”. Berdasarkan langsung
tidaknya makna, Keraf membagi gaya bahasa menjadi dua macam, yaitu
gaya bahasa retoris yang terdiri atas 21 jenis dan gaya bahasa kiasan
yang terdiri atas enam belas jenis gaya bahasa.
Beberapa pakar linguistik telah mencoba memberikan batasan
mengenai gaya bahasa. Menurut Ahmadi (1990: 170) ‘gaya bahasa
merupakan penggunaan bahasa yang istimewa, dan tidak dapat
dipisahkan dari cara atau teknik seorang pengarang dalam merefleksikan
(memantulkan, mencerminkan) pengalaman, nilai-nilai kualitas
kesadaran pikiran dan pandangan yang istimewa atau khusus”.
Ahmadi membagi gaya bahasa menjadi dua, yaitu gaya bahasa
penekanan yang terdiri dari 25 jenis gaya bahasa dan gaya bahasa
perbandingan yang gerdiri dari empat belas jenis.
Lain halnya menurut Keraf (20092113) "gaya bahasa merupakan cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperhatikan
tiri dan kepribadian penulis (pemakai bahasa)”. Berdasarkan langsung
tidaknya makna, Keraf membagi gaya bahasa menjadi dua macam, yaitu
gaya bahasa netoris yang terdiri atas 21 jenis dan gaya bahasa kiasan
yang terdiri atas enam belas jenis gaya bahasa.
Sedangkan dalam Tarigan dinyatakan bahwa gaya bahasa adalah
bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan
memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu
dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Tarigan membagi gaya
bahasa menjadi empat varian, yaitu gaya bahasa perbandingan yang
9

terdirt atas sebelas macam, gaya bahasa pertentangan yang terdirl atas 21
macam, gaya bahasa pertautan yang terdiri atas empat belas macam, dan
gaya bahasa perulangan yang terdiri atas tiga belas macam.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa
merupakan kemampuan dari seorang pengarang dalam mempergunakan
ragam bahasa tertentu dalam menulis sebuah karya sastra, dan ragam
bahasa tersebut sudah mempunyai pola-pola tertentu dan akan memberi
kesan pada pembaca atau pendengar karya itu.11
b. Fungsi Majas
Sebenarnya, apakah fungsi penggunaan gaya bahasa? Bila dilihat dari
fungsi bahasa, penggunaan gaya bahasa termasuk ke dalam fungsi puitik.
Yaitu menjadikan pesan Iebih berbobot. Pemakaian gaya bahasa yang
tepat (sesuai dengan waktu dan penerima yang menjadi sasaran) dapat
menarik perhatian penerima. Sebaliknya, bila penggunaannya tidak tepat,
maka penggunaan gaya bahasa akan sia-sia belaka, bahkan mengganggu
pembaca. Misalnya apabila dalam novel remaja masa kini terdapat
banyak gaya bahasa dari masa sebelum kemerdekaan, maka pesan tidak
sampai dan novel remaja itu tidak akan disukai pembacanya. Pemakaian
gaya bahasa juga dapat menghidupkan apa yang dikemukakan dalam
teks, karena gaya bahasa dapat mengemukakan gagasan yang penuh
makna dengan singkat.12
Penggunaan macam ragam majas yang kita kenal dapat kita temukan
di dalam bahasa susastra, tetapi yang akan dicontohkan berikut diambil
dari tulisan dalam bahasa umum. Sering kali kita menemukan iklan di
media massa yang bunyinya “Dengan kendaraan seperti ini, tantangan
setangguh apa pun mudah terlewati. Sistem power steering, menjadikan
kendaraan perkasa ringan...” (iklan di atas pengungkapannya
menggunakan hiperbol, yaitu pernyataan yang berlebih-Iebihan).
Ungkapan “sebuah panggung kemelaratan” (Tempo, No. 34. 1992)
menggunakan majas. Metafor menyatakan hal yang satu sama dengan hal
11
Danang SB, Vita Sari Damayanti. MENGENAL MAJAS (Bandung: CV.ARYA MEDIA
YTAMA, 2011). Hlm. 21-22.
12
Danang SB, Vita Sari Damayanti. MENGENAL MAJAS (Bandung: CV.ARYA MEDIA
YTAMA, 2011). Hlm. 22
10

lain yang sesunggunnya tidak sama. Pada ungkapan “Para buruh bekerja
seperti kuda” (Suara Pembaruan, 13 Mei 1992) kita akan menemukan
majas simile, yaitu menyamakan hal yang satu dengan yang Iain dengan
menggunakan pembanding seperti. Dua pernyataan berikut mengandung
majas personifikasi. yaitu mempersamakan benda dengan sifat manusia.
“Solo Iagi bersolek mepghadapi Penilaian Adipura” (Suara Pembaman,
13 Mei 1992) dan Bila berahi berkecamuk” (Tempo. No. 34. 1992).13
c. Sendi dan Gaya Bahasa
Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga sendi berikut:
a. kejujuran
Kejujuran dalam bahasa berarti: kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-
kaidah yang baik dan benar daIam berbahasa. Bahasa adaIah alat untuk
kita bartemu dan bergaul. Sebab itu, ia harus digunakan pula secara tepat
dengan memperhatikan sendi kejujuran.
b. Sopan-santun
Yang dimaksud dengan sopan-santun adalah memberi penghargaan atau
menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau
pembaca. Rasa hormat daIam gaya bahasa dimanifestasikan melalui
”kejelasan” dan ’kesingkatan”. Menyampaikan sesuatu secara jelas
berarti tidak membuat pembaca atau pendengar memeras keringat untuk
mencari tahu apa yang ditulis atau dikatakan. ”Kejelasan" dengan
demikian akan diukur daIam beberapa butir kaidah berikut, yaitu:
1) kejelasan dalarn struktur gramatikal kata dan kalimat;
2) kejelasan dalam korespondensi dengan fakta yang diungkapkan. melalui
kata-kata atau kalimat tadi;
3) kejelasan dalam pengurutan ide secara logis:
4) kejelasan dalam penggunaan kiasan dan perbandingan.
”Kesingkatan” dapat dicapai melalui usaha untuk mempergunakan kata-
kata secara efisien, meniadakan penggunaan dua kata atau lebih , yang
bersinonim secara longgar, menghindari tautologi; atau mengadakan
repetisi yang tidak perlu.

13
Dedy Sugono. BUKU PRAKTIS BAHASA INDONESIA (Jakarta: Pusat Bahasa, 2003). Hlm.174.
11

“ Di antara "kejelasan" dan "kesingkatan" sebagai ukuran sopan santun,


syarat kejelasan masih jauh Iebih penting dari pada syarat kesingkatan.
c. Menarik
Sebuah gaya bahasa yang menarik dapat diukur melalui beberapa
komponen berikut: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik,
tenaga hidup (vitalitas), dan penuh daya khayal (imajinasi).
Penggunaan variasi akan menghindari monotoni dalam nada, struktur,
dan pilihan kata. Humor yang sehat berarti gaya bahasa itu mengandung
tenaga untuk menciptakan rasa gembira dan nikmat. Vitalitas dan daya
khayal adalah pembawaan yang berangsur-angsur dikembangkan melalui
pendidikan, latihan, dan pengalaman.14
d. Jenis-Jenis Gaya Bahasa
Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandangan.
Olehnsebab itu, sulit diperoleh kata sepakat mengenai suatu pembagian
yang bersifat menyeluruh dan dapat diterima oleh semua pihak.
Pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat tentang gaya bahasa
sejauh ini sekurang-sekurangnya dapat dibedakan, pertama, dilihat dari
segi nonbahasa, dan kedua dilihat dari segi bahasanya sendiri. Untuk
melihat gaya secara luas, maka pembagian berdasarkan masalah
nonbahasa tetap diperlukan.tetapi untuk memberi kemampuan dan
keterampilan, maka uraian mengenai gaya dilihat dari aspek kebahasaan
akan lebih diperlukan.
1. Segi nonbahasa
Pengikut Aristoteles menerima style sebagai hasil dari bermacam-
macam unsur. Pada dasarnya style dapat dibagi atas tujuh pokok sebagai
berikut:
a) Berdasrkan pengarang: gaya yang disebut sesuai dengan nama pengarang
dikenal berdasrkan ciri pengenal yang digunakan pengarang atau penulis
dalam karangannya. Pengarang yang kuat dapat memengaruhi orang-
orang sejamanya, atau pengikut-pengikutnya, sehingga dapat membentuk
sebuah aliran. Kita mengenal gaya Chairi, gaya takdir dan sebagainya.
14
Danang SB, Vita Sari Damayanti. MENGENAL MAJAS (Bandung: CV.ARYA MEDIA
YTAMA, 2011). Hlm. 24-25.
12

b) Berdasarkan masa: gaya bahasa yang didasarkan pada masa dikenal


karena ciri-ciri tertentu yang berlangsung dalam suatu kurun waktu
tertentu. Misalnya ada gaya lama, gaya klasik, gaya sastra modern, dan
sebagainya.
c) Berdasarkan medium: yang dimaksud dengan medium adalah bahasa
dalam arti alat komunikasi. Karena tiap bahasa, struktur dan situasi sosial
pemakainya memiliki corak tersendiri. Sebuah karya yang ditulis dalam
jerman akan memiliki gaya yang berlainan, bila ditulis dalam bahasa
indonesia, prancis atau jepang. Dengan demikian kita mengenal gaya
jerman, inggris, prancis, indonesia, dan sebagainya.
d) Berdasarkan subyek: subyek yang menjadi pokok pembicaraan dalam
sebuah karangan dapat mempengaruhi pula gaya bahasa sebuah
karangan. Berdasarkan hal ini kita mengenal gaya filsafat, ilmiah,
(hukum, teknik, sastra, dsb), populer, didaktik, dan sebagainya.
e) Berdasarkan tempat: gaya ini mendapatkan namanya dari lokasi
geografis, karena ciri-ciri kedaerahan memengaruhi ungkapan atau
ekpresi bahasanya. Ada gaya jakarta, gaya jogya, gaya medan, dan
sebagainya.
f) Berdasarkan hadirin: seperti halnya dengan subyek, maka hadirin atau
jenis pembaca juga memengaruhi gaya yang dipergunakan seorang
pengarang. Ada gaya populer atau gaya demagog yang cocok untuk
rakyat banyak. Ada gaya sopan yang cocok untuk lingkungan istana atau
lingkunga yang terhormat. Ada pula gaya intim (familiar) yang
cocokuntuk lingkungan keluarga atau untuk orang yang akrab.
g) Berdasarkan tujuan: gaya yang berdasarkan pada maksudyang ingin
disampaikan oleh pengarang. Ada gaya sentimental, gaya sarkastik, gaya
diplomatis, gaya agung atau luhur, gaya teknis atau informasional, dan
ada gaya humor.

2. Segi bahasa
13

Adapun jika dilihat dari sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang
digunakan, maka gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak
unsur bahasa yang dipergunakan, yaitu:
a) Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata
Gaya bahasa ini mempersonalkan ketepatan dan kesesuaian dalam
menghadapi situasi-situasi tertentu. Dalam bahasa standar (bahasa baku)
dapatlah dibedakan: gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi dan gaya
bahasa percakapan.
1. Gaya bahasa resmi
Gaya bahasa resmi adalah gaya dalam bentuknya yang lengkap, gaya
yang dipergunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi, gaya yang
dipergunakan oleh mereka yang diharapkan mempergunakannya dengan
baik dan terpelihara. Misalnya: amanat kepresidenan, berita negara,
khotbah-khotbah mimbar, tajuk rencana, pidato-pidato yang penting,
artikrl-artikel yang serius, atau esei yang memuat subyek-subyek yang
penting, semuanya dibawakan dengan gaya bahasa resmi.
2. Gaya Bahasa tak resmi
Gaya bahasa tak resmi juga merupakan gaya bahasa yang
dipergunakan dalam bahasa standar, khususnya dalam kesempatan-
kesempatan yang tidak formal atau kurang formal. Singkatnya gaya
bahasa tak resmi adalah gaya bahasa yang umum dan normal bagi kaum
terpelajar. Misalnya: editorial, buku-buku pegangan, artikel-artikel
mingguan atau bulanan, dalam perkuliahan, kolumnis, karya-karya tulis,
dan sebagainya.
3. Gaya bahasa percakapan
Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan
kata-kata percakapan.
b) Gaya bahasa berdasarkan nada
Gaya bahasa berdasarkan nada didasarkan pada sugesti yang dipancarkan
dari rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Sering kali
sugesti ini akan lebih nyata kalau diikuti dengan sugesti suara dari
pembicara, bila sajian yang dipahadapi adalah bahasa lisan. Gaya bahasa
14

dilihat dari sudut nada yang terkandung dalam sebuah wacana, dibagi
atas:
1. Gaya sederhana
Gaya ini biasanya cocok untuk memberi intruksi, perintah, pelajaran,
perkuliahan, dan sejenisnya. Maka, gaya ini cocok pula digunakan untuk
menyampaikan fakta atau pembuktian-pembuktian.
2. Gaya mulia dan bertenaga
Sesuai dengan namanya, gaya ini penuh dengan vitalitas dan energi, dan
biasanya dipergunakan untuk menggerakkan sesuatu tidak saja dengan
mempergunakan tenaga dan vitalitas pembicara, tetapi juga dapat
mempergunakan nada keagungan dan kemuliaan. Nada yang agung dan
mulia akan sanggup pula menggerakkan emosi setiap pendengar.
Misalnya: khotbah tentang kemanusiaan dan keagamaan, kesusilaan, dan
ketuhanan.
3. Gaya menengah
Gaya menengah adalah gaya yang diarahkan kepada usaha untuk
menimbulkan suasana senang dan damai. Karena tujuanya adalah
menciptakan suasana senang dan damai, maka nadanya juga bersifat
lemah lembut, penuh kasih sayang, dan mengandung humor yang sehat.
Misalnya: pada kesempatan-kesempatan khusus seperti pesta, pertemuan,
dan rekreasi.
c) Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat
Yang dimaksud dengan struktur kalimat disini adalah kalimat bagaimana
tempat sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat tersebut.
Ada kalimat yang bersifat periodik, bila bagian yang terpenting atau
gagasan yang mendapat penekanan ditempatkan pada akhir kalimat. Ada
kalimat yang bersifat kendur, yaitu bila bagian kalimat yang mendapat
penekanan ditempatkan pada awal kalimat. Dan jenis yang ketiga adalh
kalimat berimbang, yaitu kalimat yang mengandung dua bagian kalimat
atau atau lebih yang kedudukanya sama tinggi sederajat. Gaya bahasa
yang termasuk ke dalam kategori ini, antara lain: klimaks, antiklimaks,
15

paralelisme, antitesis, repetisi (epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa,


simploke, mesodiplosis, epanalepsis, anadiplosis).
d) Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna
Gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari lansung tidaknya
makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna
denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Bila acuan yang digunakan
itu masih mempertahankan makna dasar, maka bahasa itu masih bersifat
polos. Tetapi bila sudah ada perubahan makna, entah berupa makna
konotatif atau sudah menyimpang jauh dari makna denotatifnya, maka
acuan itu dianggap sudah memiliki gaya sebagai yang dimaksud ini.
Gaya bahasa berdasarkan ketidak langsungan makna ini biasanya
disebut sebagai trope atau figure of speech, yaitu suatu penyimpangan
bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa, entah dalam
1) ejaan, 2) pembentukan kata, 3) konstruksi (kalimat, klausa, frasa), atau
4) aplikasi sebuah istilah, untuk memperoleh kejelasan, penekanan,
hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Dengan demikian trope atau
figure of speech memiliki bermacam-macam fungsi: menjelaskan,
memperkuat, menghidupkan obyek mati, menstimulasi asosiasi,
menimbulkan gelak tawa, atau untuk hiasan. Gaya bahasa berdasarkan
lansung tidaknya makna (trope atau figure of speech) dibagi atas dua
kelompok, yaitu:
Menurut Keraf, berdasarkan langsung tidaknya, makna gaya bahasa
dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu gaya bahasa retoris dan
gaya bahasa kiasan.
1) Gaya bahasa retoris
Gaya bahasa retoris merupakan gaya bahasa yang semata-mata
merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek
tertentu. Gaya bahasa ini memilki berbagai fungsi antara lain
menjelaskan, memperkuat, menghidupkan objek mati, menimbulkan
gelak tawa, atau untuk hiasan. Sedangkan gaya bahasa kiasan
membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, berarti mencoba
16

untuk menemukanciri yang menunjukkan kesamaan antara dua hal


tersebut.
Gaya bahasa retoris terdiri atas aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis
atau preteresio, apostrof, asindenton, polisidenton, kiasmus, elipsis,
eufemismus, litotes, histeron proten, pleonasme dan tautologi, perifrasis,
prolepsis atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis dan
zeugma, koreksio atau epanortosis, hiperbol, paradoks dan oksimoron.
Sedangkan gaya bahasa kiasan terdiri atas persamaan simile, metafora,
alegori, parebel, fabel, personifikasi, alusi, eponim, epitet, sinikdoke,
metonemia, atonomasia, hipalase,ironi,sinisme, sarkasme, inoendo,
satire, antiprasis,pun atau paronomasia.
2) Gaya bahasa kiasan
Gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan
perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan yang
lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan
antara kedua hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua
pengertian yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya nahasa polos
atau langsung dan perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa
kiasan. Kelompok pertama termasuk gaya bahasa langsung dan
kelompok kedua termasuk gaya bahasa kiasan.
a) Dia sama pintar dengan kakaknya.
Kerbau sama kuat dengan sapi
b) Matanya seperti bintang timur.
c) Bibirnya seperti delima merkah.
Perbedaan antara kedua perbandingan diatas adalah dalam hal kelasnya.
Perbandingan pertama mencakup dua anggota yang termasuk dalam
kelas yang sama, sedangkan perbandingan kedua, sebagai bahasa kiasan,
mencakup dua hal yang termasuk dalam kelas yang berlainan.
Gaya bahasa kiasan dapat dibedakan atas:
a) Persamaan atau simile
Persamaan atau smile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang
dimaksud dengan perbandingan ysng bersifat ekplisit ialah bahwa ia
17

langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia
memerlukan upaya yang secara ekplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu
kata-kata: seperti, sama, sebagai, sebagai, bagaikan, laksana, dan
sebagainya.
Kikirnya seperti kepiting batu
Bibirnya seperti delima merekah
Matanya seperti bintang timur
Kadang-kadang diperoleh persamaan tanpa menyebutkan obyek pertama
yang mau dibandingkan, seperti:
Seperti menating minyak penuh
Bagai air di daun talas
Bagai duri dalam daging
b) Metafora
Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal
secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangsa, buaya
darat, buah hati, cindera mata, dan sebagainya.
Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan
kata: seperti, bak, bagai, bagaikan, dan sebagainya, sehingga pokok
pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Proses terjadinya
sebenarnya sama dengan smile tetapi secara berangsur-angsur keterangan
mengenai persamaa dan pokok pertama dihilangkan, misalnya:
 Pemuda adalah seperti bunga bangsa. Pemuda adalah bunga bangsa,
Pemuda Bunga bangsa.
 Orang itu seperti buaya darat. Orang itu adalah buaya darat. Orang itu
buaya darat.
c) Alegori, Parabel, dan Fabel
Bila sebuah metaforamengalami perluasan, maka ia dapat berwujud
alegori, parabel, atau fabel. Ketiga bentuk perluasan ini biasanya
mengandung ajaran-ajaran moral dan sering sukar dibedakan satu dari
yang lain.
Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Makna
kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Dalam alegori,
18

nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuanya


selalu jelas tersurat.
Parabel (parabola) adalah suatu kiasan singkat dengan tokoh-tokoh
biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral. Istilah parabel
dipakai untuk menyebut cerita-cerita fiktif didalam kitab suci yang
bersifat alegoris, untuk menyampaikan suatu kebenaran moral atau
kebenaran spiritual.
Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia
binatang, dimana binatang-binatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak
bernyawa bertindak seolah-olah sebagai manusia. Tujuan fabel seperti
parabel ialah menyampaikan ajaran moral atau budi pekerti. Fabel
menyampaikan suatu prinsip tingkah laku mengenai analogi yang
transparan dari tindak-tinduk binatang, tumbuh-tumbuhan, atau makhluk
yang bernyawa.
d) Personifikasi atau prosopopoeia
Personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan
yang mengambarkan benda-benda mati atau barang-barag yang tidak
bernyawa seolah-olah memilki sifat-sifat kemanusiaan. Personifikasi
(penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang
mengiaskan benda-benda mati bertindak,berbuat, berbicara seperti
manusia.
Angin yang meraung di tengah malam yang gelap itu menambah lagi
ketakutan kami.
Matahari baru saja kembali ke peraduanya, ketika kami tiba disana.
Kulihat ada bulan di kotamu lalu turun dibawah pohon belimbing depat
rumahmu barangkali ia menyeka mimpimu.
e) Alusi
Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan
kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa. Biasanya, alusi ini adalah
suatu referensi yang eksplisit atau implisit kepada peristiwa-peristiwa,
tokoh-tokoh, atau tempat dalam kehiduan nyata, mitologi, atau dalam
karya-karya sastra yang terkenal. Misalnya dulu sering dikatakan bahwa
19

bandung adalah paris jawa.demikian dapat dikatakan: kartini kecil itu


turut memperjuangkan persamaan haknya. Kedua contoh ini merupakan
alusi.
Ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk membentuk sebuah alusi
yang baik, yaitu:
1. harus ada keyakinan bahwa hal yang dijadikan alusi dikenal juga oleh
pembaca;
2. penulis harus yakin bahwa alusi itu membuat tulisanya menjadi lebih
jelas;
3. bila alusi itu menggunakan acuan yang sudah umum, maka usahakan
untuk menghindari acuan semacam itu.
Bila hal-hal di atas tidak diperhatikan maka acuan itu akan dianggap
plagiat atau akan kehilangan vitalitasnya.
f) Eponim
Adapun suatu gaya dimana seseorang yang namanya begitu serng
dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk
menyatakan sifat itu. Misalnya: Hercules dipakai untuk menyatakan
kekuatan; Hellen dari troya untuk menyatakan kecantikan.
g) Epitet
Epitet (epiteta) adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat
atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu
adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama
seseorang atau suatu barang. Misalnya;
Lonceng pagi untuk ayam jantan
Puteri malam untuk bulan
Raja rimba untuk singa, dan sebagainya.
h) Sinekdoke
Sinekdoke adalah suatu istilah yang diturunkan dari kata yunani
synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke adalah
semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagai dari sesuatu hal
untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau menggunakan
keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte). Misalnya;
20

Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000,-


Dalam pertandingan sepak bola antara indonesia melawan malaysia di
Stadion Utama Senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3-4.
i) Metonemia
Kata metonimia diturunnkan dari kata yunani meta yang berarti
menunjukkan perubahan dan onoma yang berarti nama. Dengan
demikian metonomia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan
sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai
pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk
hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab,
sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya.
Metonomia dengan demikian adalah suatu bentuk dari sinekdoke.
Ia membeli sebuah chevrolet.
Saya minum satu gelas, ia dua gelas.
Pena lebih berbahaya dari pedang.
Ia telah memeras keringat habis-habisan.
j) Antonomasia
Antonomasia juga merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke
yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama
diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri.
Misalnya:
Yang mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini.
Pangeran yang meresmikan pembukaan seminar itu.
k) Hipalase
Hipalase adalah semacam gaya bahasa dimana sebuah kata tertentu
dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya
dikenakan pada sebuah kata yang lain. Atau secara singkat dapat
dikatakan bahwa hipalase adalah suatu kebalikan dari suatu relasi
alamiah antara dua komponen gagasan. Misalnya:
Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah (yang gelisah adalah
manusianya bukan bantalnya).
21

Ia masih menuntut almarhum maskawin dari sinta puterinya.


(maksudnya: ia masih menuntut maskawi dari almarhumah siti....)
l) Ironi, Sinimisme, dan Sarkasme
Ironi diturunkan dari kata eironeia yang berarti penipuan atau pura-
pura. Sebagai bahasa kiasan, ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang
ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa
yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi merupakan sesuatu
upaya literer yang efektif karena ia menyampaikan impresi yang
mengandung pengekangkan yang besar. Entah dengan sengaja atau tidak,
rangkaian kata-kata yang dipergunakan itu mengingkari maksud yang
sebenarnya. Sebab itu, ironi akan berhasil kalau pendengar juga sadar
akan maksud yang disembunyikan di balik rangkaian kata-katanya.
Misalnya:
Tidak diragukan lagi bahwa andalah orangnya, sehingga semua
kebijaksanaan terdahulu harus dibatalkan seluruhnya!
Saya tahu anda adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia yang
perlu mendapat tempat terhormat!
Kadang dipergunakan juga istilah lain. Yaitu sinisme yang diartikan
sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung
ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Sinisme diturunkan dari
nama suatu aliran filsafat yunani yang mula-mula mengajarkan bahwa
kebajikan adalah satu-satunya kebaikan, serta hakikatnya terletak dalam
pengendalian diri dan kebebasan. Tetapi kemudian mereka menjadi
kritikus yang keras atas kebiasan-kebiasan sosial dan filsafat-filsafat
lainya.walaupun sinisme dianggap lebih keras dari ironi, namun kadang-
kadang masih masih sukar diadakan perbedaaan antara keduanya. Bila
contoh mengenai ironi diatas diubah, maka akan dijumpai gaya yang
lebih bersifat sinis.
Tidak diragukan lagi bahwa andalah orangnya, sehingga semua
kebijaksanaan akan lenyap bersamamu!
Memanga anda adalah seorang gadis yang tercantik di seantero
jagad ini yang mampu menghancurkan seluruh isi jagad ini.
22

Dengan kata lain sinisme adalah ironi yang lebih kasar sifatnya.
Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan
sinisme. Ia adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan
yang getir. Sarkasme dapat juga tidak, tetapi yang jelas adalah bahwa
gaya ini selalu akan menyakiti hati dan kurang enak didengar. Kata
sarkasme diturunkan dari kata yunani sarkasmos, yang lebih jauh
diturunkan dari kata kerja sakasein yang berarti “merobek-robek daging
seperti anjing”, “menggigit bibir karena marah”, atau “berbicara dengan
kepahitan”
-mulut kau harimau kau.
-lihat sang Raksasa itu (maksudnya si Gebol).
-kelakuanmu memuakkan saya.
m)Satire
Ironi sering kali tidak harus ditafsirkan dari sebuah kalimat atau
acuan, tetapi harus diturunkan dari suatu uraian yang panjang. Dalam hal
terakhir ini, pembaca yang tidak kritis atau yang sederhana
pengetahuanya, bisa sampai pada kesimpulan yang diametral
bertentangan dengan apa yang dapat ditangkap oleh pembaca kritis.
Untuk memahami apakah bacaan bersifat ironis atau tidak, pembaca atau
pendengar harus mencoba meresapi implikasi-implikasi yang tersirat
dalam baris-baris atau nada-nada suara, bukan hanya pernyataan yang
ekplisit itu. Pembaca harus berhati-hati menelusuri batas antara perasaan
dan kegamblangan arti harfiahnya.
Uraian yang harus ditafsirkan lain dari makna permukaanya disebut
satire. kata satire diturunkan dari kata satura yang berarti talam yang
penuh berisi macam-macam buah-buahan. satire adalah ungkapan yang
menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk ini tidak perlu harus
bersifat ironis. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia.
Tujuan utamanya adalah agar diadakan perbaikan secara etis maupun
estetis.
23

n) Inuendo
Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan
yang sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak
langsung, dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati kalau dilihat
sambil lalu. Misalnya:
Setiap kali ada pesta, pasti ia akan sedikit mabuk karena terlalu
kebanyakan minum.
Ia menjadi kaya-raya karena sedikit mengadakan komersialisasi
jabatanya.
o) Antifrasis
Antifrasi adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah
kata dengan makna kebalikanya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi
sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh
jahat, dan sebagainya.
-lihatlah sang Raksasa telah tiba (maksudnya si Cebol).
-engkau memang orang yang mulia dan terhormat!
p) Pun atau Paronamasia
Pun atau paronomasi adalah kiasan dengan mepergunakan kemiripan
buny. Ia merupakan permaianan kata yang didasarkan pada kemiripan
bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya.
Tanggal dua gigi saya tanggal dua.
“Engkau orang kaya!” “Ya, kaya monyet!”.15
Uraian di atas memuat tentang gaya bahasa retoris dan kiasan yang
akan dipergunakan sebagai landasan teori pada penelitian ini. Gaya
bahasa ini memiliki fungsi yang berbeda pada setiap kalimat. Ada yang
berfungsi sebagai penambah nilai estetik atau keindahan dan adapula
yang memperjelas dan memperkuat makna, atau hanya sekedar hiasan.
Keseluruhan jenis gaya bahasa inilah yang akan dterapkan penggunanya
dalam penelitian ini selanjutnya.16

15
Gorys keraf, diksi dan gaya bahasa (jakarta: PT Gramedia pustaka utama, 2008), hlm.115-145
16
Danang SB, Vita Sari Damayanti. MENGENAL MAJAS (Bandung: CV.ARYA MEDIA
YTAMA, 2011). Hlm.45.
24

2. Kajian Penelitian Terdahulu


Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan hasil
penelitian terdahulu untuk lebih memperkuat pencarian data yang pernah
penulis baca. Dalam hal ini, akan dipaparkan kajian terdahulu yang dilakukan
oleh saudara Akmaliatus Saida dkk dengan judul “GAYA BAHASA
DALAM CERITA MADRE KARYA DEWI LESTARI” dalam penelitianya
berfokus pada penggalian makna yang terdapat dalam gaya bahasa
berdasarkan langsung tidaknya makna yang terkandung dalam cerita Madre.
Hasil dari penelitian adalah (1) terdapat delapan belas jenis gaya bahasa
retoris dalam cerita Madre karya Dewi Lestari, (2) terdapat tiga belas jenis
gaya bahasa kiasan dalam cerita Madre karya Dewi Lestari, dan (3) terdapat
empat fungsi utama dari penggunaan gaya bahasa dalam cerita Madre karya
Dewi Lestari.
Berbeda dengan Sultan yang meneliti tentang “GAYA BAHASA GURU
DALAM INTERAKSI PEMBELAJARAN” Adapun hasil penelitianya
menunjukkan bahwa Wujud gaya bahasa yang didayagunakan guru dalam
interaksi pembelajaran, meliputi: (1) sinisme, (2) hiperbola, (3) sarkasme, dan
(4) eufemisme. Gaya bahasa tersebut menunjukkan posisi guru yang
mendominasi siswa dalam interaksi pembelajaran. Relasi guru-siswa me-
nunjukkan posisi yang tidak dominan. Guru ber-ada pada posisi mengontrol,
sedangkan siswa dalam posisi yang dikontrol. Penggunaan gaya bahasa
tersebut memiliki efek secara psikologis terhadap siswa, misalnya
mempermalukan siswa, menekan, dan mengekang.
Dari beberapa penelitian diatas ada beberapa perbedaan dan ada juga
persamaan yang peneliti ajukan, yaitu:
Persamaan dari penelitiannya tersebut mengenai Gaya Bahasa dan sama
halnya metode penelitinya sama-sama menggunakan metode penelitian
kualitatif. Sedangkan perbedaanya diantaranya objek yang diteliti, saudara
Akmaliatus Saida dkk penelitinaya ada di dalam Cerita Madre Karya Dewi
Lestari sedangkan Sultan penelitianya guru dalam interaksi pembelajaran.
25

H. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Adapun pendekatan yang digunakan penelitian adalah pendekatan
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan yang juga disebut
pendekatan investigasi karena biasanya peneliti mengumpulkan data dengan
cara bertatap muka langsung dan berinteraksi dengan orang-orang di tempat
penelitian. Dengan pendekatan kualitatif ini peneliti akan menggambarkan
dan menganalisis setiap individu dalam kehidupan dan pemikirannya. Para
peneliti yang menggunakan pendekatan ini harus mampu mengintrepetasikan
segala fenomena dan tujuan melalui sebuah penjelasan. 17 Bondan dan Taylor
dalam Moleong mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.18
Sedangkan jenis penelitiannya, peneliti menggunakan jenis penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk
menyelidiki keadaan kondisi atau hal-hal yang telah disebutkan, yang
hasilnya dipaparkan dalam bentuk laporan penelitian.19
Jadi, dalam penelitian ini peneliti dapat menjelaskan dan
menggambarkan berupa penjelasan dan penggambaran tuturan gaya bahasa
yang dipakai oleh guru mata pelajaran bahasa Indonesia disaat proses
pembelajaran di kelas.
2. Kehadirin Peniliti
Pada penelitian ini, kehadiran peneliti sangatlah penting dilapangan
karena peneliti terjun langsung kelapangan dalam melakukan observasi dan
mengamati serta mengumpulkan atau memperoleh data penelitian sehingga
peneliti dengan mudah dapat mencari informasi yang tepat dan akurat sesuai
dengan tujuan penelitian.
Dalam hal ini, peneliti akan terjun langsung mengamati dalam
mengumpulkan data yang mana pengumpulan data tersebut akan dilakukan

17
Syamsuddin AR. Vismia S. Damaianti. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa (bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2015) hlm. 73.
18
Muhammad. Metode Penelitian Bahasa (Jogjakarta: ar-ruzz media, 2011) hlm. 30.
19
Djunaesi Ghony, Fauzan Almanshur, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2014), hlm. 34
26

selama 1 minggu 2 kali dan akan dilaksanakan pada bulan April sampai Mei
(2 bulan).
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan obyek yang dijadikan oleh peneliti untuk
memperoleh data. Penentuan lokasi dan setting penelitian selain dibingkai
dalam kerangka teoritis juga dilandasi oleh pertimbangan teknis operasional.
Untuk itu, lokasi dan setting penelitian dipertimbangkan berdasarkan
kemungkinan dapat tidaknya dimasuki dan dikaji lebih mendalam. Hal ini
penting karena berapa pun menariknya suatu kasus, tetapi jika sulit dimasuki
lebih dalam oleh seorang peneliti, maka akan menjadi suatu kerja yang sia-
sia.20 Adapun lokasi penelitian yaitu di SMA AS-SALAM Cenlecen Pakong
Pamekasan karena di sekolah tersebut peneliti ingin mengetahui bentuk gaya
bahasa yang digunakan guru dalam proses pembelajaran di dalam kelas.
Peneliti sengaja memilih tempat tersebut karena belum pernah dilakukan
penelitian terhadap guru di kelas X.
4. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek dari
mana data diperoleh. Apabila peneliti menggunakan kuesioner atau
wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data disebut
responden, yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan
peneliti, baik pertanyaan tertulis maupun lisan.21
Sumber data dalam penelitian ini adalah guru mata pelajaran Bahasa
Indonesia di kelas X SMA As-Salam dan datanya disini berupa tuturan yang
dipakai oleh guru disaat melaksanakan kegiatan proses belajar mengajar
Bahasa Indonesia di kelas X SMA As-Salam.
5. Tehnik Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data merupakan langkah-langkah yang ditempuh
oleh peneliti dalam mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan
penelitian. Adapun untuk memeperoleh data yang memadai, dalam penelitian
ini peneliti menerapkan tiga teknik pengumpulan data, yakni (1) metode
20
Burhan bungin. Metode Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodelogis Kearah Ragam Varian
Kontenporer (Jakarta: Rajawali Pers, 2012) hlm. 147-148.
21
Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: PT Rineka
Cipta,2013), hlm. 172.
27

simak (pengamatan/observasi); (2) metode cakap (wawancara). (3)


dokumentasi
1) Metode simak (pengamatan/ observasi)
Metode simak adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data
dengan melakukan penyimakan terhadap penggunaan bahasa.
Metode ini memiliki teknik lanjutan, yaitu teknik sadap, teknik simak
libat cakap, metode simak bebas libat cakap, dan teknik catat.
a. Teknik Sadap
Teknik sadap disebut teknik dasar dalam metode simak karena pada
hakikatnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan dalam arti,
penelitian dalam upaya mendapatkan data dilakukan dengan menyadap
penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang yang menjadi informan
b. Teknik Simak Libat Cakap
Pada teknik ini, penelitian melakukan penyadapan dengan cara berpartisipasi
sambil menyimak, berpartisipasi dalam pembicaraan, dan menyimak para
informan dalam hal ini, peneliti terlibat langsung dalam dialog
c. Teknik Simak Bebas Libat Cakap
Pada teknik ini, peneliti hanya berperan sebagai pengamat pengguna bahasa
oleh para informan. Peneliti tidak terlibat langsung dalam peristiwa
pertuturan yang bahasanya sedang diteliti. Jadi, peneliti hanya menyimak
dialog yang terjadi antara informan.
d. Teknik Catat
Teknik catat ini merupakan teknik lanjutan yang dilakukan ketika
menerapkan metode simak dengan teknik lanjutan (teknik simak libat cakap
dan teknik simak bebas libat cakap), yaitu mencatat data yang dapat diperoleh
dari informan pada kartu data.22
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik lanjutan dari metode
simak yaitu berupa teknik sadap, teknik simak bebas libat cakap dan teknik
catat yang mana peniliti melakukan merekam (menyadap) tuturan guru
Bahasa Indonesia di kelas X dan mencatat atau mentranskrip data hasil
rekaman.

22
Muhammad. Metode Penelitian Bahasa. (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm.194.
28

2) Metode Cakap
Penamaan metode penyediaan data dengan metode cakap disebabkan
cara yang ditempuh dalam pengumpulan data itu adalah berupa percakapan
antara peneliti dengan informan. Adanya percakapan antara peneliti dengan
informan mengandung arti terdapat kontak antarmereka. Karena itulah data
diperoleh melalui penggunaan bahasa secara lisan. Dalam penelitian linguistic
intrdisipliner, seperti dialektologi, kontak tersebut dimaksudkan sebagai
kontak antara peneliti dengan informan disetiap daerah pengamatan atau
dalam penelitian sosiolinguistik kontak yang dimaksud berupa kontak antara
informan dengan informan dari berbagai strata sosial. Patut ditambahkan
bahwa dalam penelitian dialektologi tersedianya data yang diperoleh melalui
kontak diantara peneliti dengan informan pada setiap daerah pengamatan
itulah yang menyebabkan kajian bidang linguistik itu dimungkinkan terjadi.
Metode cakap memiliki teknik dasar berupa pancing, karena percakapan
yang diharapkan sebagai pelaksanaan metode tersebut hanya dimungkinkan
muncul jika peneliti memberi stimulasi (pancingan) pada informan untuk
memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti. Pancingan
atau stimulasi itu dapat berupa bentuk atau makna-makna yang biasanya
tersusun dalam bentuk daftar pernyataan. Selanjutnya, teknik dasar tersebut
dijabarkan kedalam dua teknik lanjutan, yaitu teknik lanjutan cakap semuka
dan cakap tansemuka.
Pada pelaksanaan teknik cakap semuka peneliti langsung melakukan
percakapan dengan pengguna bahasa sebagai informan dengan bersumber
pada pancingan yang sudah disiapkan (berupa daftar tanya) atau secara
spontanitas maksudnya pamcingan dapat muncul ditengah-tengah
percakapan. Dalam penelitian dialektologi teknik ini dapat disejajarkan
dengan metode pupan lapangan, yang untuk pertamakalinya digunakan oleh
Jules Lois Ggillieron pada tahun 1880 di Swis. Ada beberapa teknik yang
dapat digunakan dalam memancing data yang diharapkan dari informan oleh
seorang peneliti dengan menggunakan teknik cakap semuka sebagai teknik
bawahan.23

23
Mahsun, Metode Penelitian Bahasa (jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005). Hlm.95-96.
29

Dalam penelitian ini metode cakap yaitu peneliti menggunakan teknik


cakap semuka peneliti disini langsung melakuakan percakapan atau
pertanyaan dengan guru Bahasa Indonesia kelas X sebagai informan dengan
bersumber pada pancingan yang sudah disiapkan berupa daftar tanya atau
secara spontanitas.
6. Analisis Data
Tahap analisis data merupakan tahapan yang sangat menentukan, karena
tahapan ini, kaidah-kaidah yang mengatur keberadaan objek penelitian harus
sudah diperoleh. Penemuan kaidah-kaidah tersebut oleh karena itu, dalam
penanganan tahapan analisis data diperlukan metode dan tekni-tekni yang
cukup andal. Ada dua metode utama yang dapat digunakan dalam analisis
data, yaitu metode padan intralingual dan metode padan ekstralingual.24
Metode padan merupakan metode yang dalam praktik analisis data
dilakukan dengan menghubung-bandingkan antar unsur yang bersifat lingual,
jika itu berupa metode padan intralingual, atau menghubung-bandingkan
unsur yang ekstralingual. Istilah intralingual mengacu pada makna unsur-
unsur yang berada dalam bahasa (bersifat lingual), yang dibedakan dengan
unsur yang berada diluar bahasa (ekstralingual), seperti yang menyangkut
makna, informasi, konteks tuturan dan lain-lain. Jadi, metode padan
intralingual adalah metode analisis dengan cara menghubung-bandingkan
unsur-unsur yang bersifat lingual, baik yang terdapat dalam satu bahasa
maupun dalam beberapa bahasa yang berbeda.25
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Metode padan intralingual
karena metode ini nanti peneliti dapat menganalisis dengan menghubung-
bandingkan tuturan gaya bahasa guru dengan teori yang berkaitan dengan
gaya bahasa guru Bahasa Indonesia dengan retorika setelah itu
mengklasifikasi didasari dengan jenis gaya bahasa, makna gaya bahasa dan
sendi gaya bahasa.
7. Pengecekan Keabsahan Data

24
Ibid. Hlm.117.
25
Mahsun, Metode Penelitian Bahasa (jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005). Hlm.259
30

Pengecekan keabsahan data merupakan suatu usaha yang harus


dilakukan oleh peneliti untuk mengetahui keresmian dari data penelitian yang
diperoleh dari lapangan.
Untuk mengetahui valid tidaknya data yang telah diperoleh dalam proses
penelitian di lapangan dan bisa dipertanggung jawabkan, maka peneliti akan
berusaha mengecek kembali terhadap data-data yang telah diperoleh di
lapangan. Adapun teknik-teknik yang dilakukan oleh peneliti adalah sebagai
berikut:
a. Perpanjangan Keikutsertaan
Dalam setiap penelitian kualitatif, kehadiran peneliti dalam setiap
tahap penelitian kualitatif membantu peneliti unutk memahami semua
data yang di himpun dalam penelitian. Karena itu hampir dipastikan
bahwa peneliti kualitatif adalah orang yang langsung melakukan
wawancara dan observasi dengan informan-informannya.
b. Menemukan Siklus Kesamaan Data
Tidak ada kata sepakat mengenai kapan suatu penelitian kualitatif
dihentikan dalam arti kapan selesainya suatu penelitian dilakukan secara
kualitatif. Ketika peneliti mengatakan bahwa setiap hari ia menemukan
data baru, maka artinya ia masih terus bekerja unutk menemukan data
lainnya karena informasi yang ia ingin diperoleh masih banyak. Akan
tetapi suatu hari ia menemukan informasi yang sama yang pernah
didapatkan, begitu pula hari-hari berikutnya ia hanya memperoleh data
yang pernah diberikan oleh informan sebelumnya. Dengan demikian, ia
harus melakukan langkah akhir yaitu menguji keabsahan data penelitinya
dengan informasi yang baru ia peroleh dan apabila sama maka ia sudah
menemukan siklus kesamaan data atau dengan kata lain ia sudah berada
dipenghujung aktivitas penelitiannya.
c. Ketekunan Pengamatan
Untuk memperoleh derajat keabsahan yang tinggi, maka jalan
penting lainnya adalah dengan meningkatkan ketekunan dalam
pengamatan di lapangan. Pengamatan bukanah suatu teknik
pengumpulan data yang hanya mengandalkan kemampuan pancaindra,
31

namun juga menggunakan semua pancaindra termasuk adalah


pendengaran, perasaan, dan insting peneliti. Dengan meningkatkan
ketekunan pengamatan di lapangan maka, derajat keabsahan data telah
ditingkatkan pula.26
d. Triangulasi
Trianggulasi adalah pengecekan dengan cara pemeriksaan ulang.
Pemeriksaan dengan cara triangulasi dilakuakan untuk meningkatkan
derajat kepercayaan dan akurasi data. Trianggulasi dilakukan dengan tiga
strategi yaitu triangulasi sumber, triangulasi metode, dan triangulasi
waktu. 27
1. triangulasi sumber adalah menggali kebenaran informasi tertentu melalui
berbagai sumber untuk memperoleh data.
2. triangulasi metode adalah usaha mengecek keabsahan data, atau
mengecek keabsahan temuan penelitian.
3. triangulasi waktu adalah pengecekan pada waktu atau kesempatan yang
berbeda.28
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi sumber yang mana
peneliti disini menanyakan kembali kebenaran tentang tuturan gaya
bahasa yang dipakai oleh guru Bahasa Indonesia disaat proses
pembelajaran di kelas dengan cara menggali kebenaran informasi atau
mengecek kembali data yang diperoleh, hal ini peneliti akan menanyakan
kembali kebenaran kepada berbagai sumber.
8. Tahap-Tahap Penelitian
Aktivitas penelitian memiliki tahap-tahap penelitian atau yang penulis sebut
sebagai research procedure.29
a. Pekerjaan pra lapangan
Dalam hal ini ada tujuh hal yang harus dilakukan, yaitu:
1) Menyusun rancangan penelitian
2) Memilih lapangan penelitian
26
Burhan Bugin, Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, Dan Ilmu Sosial
Lainnya (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 262-264.
27
Nusa Putra, Metode Penelitian Kualitatif Pendidikan (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 103.
28
Imam Gunawan. Metode Penelitian Kuaitatif;Teori Dan Praktik. (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2014), hlm. 119.
29
Muhammad, metode penelitian bahasa (jogjakarta:Ar-Ruzz media, 2011), hlm.174.
32

3) Mengurus perizinan
4) Menjajaki dan menilai keadaan lapangan
5) Memilih dan memanfaatkan informan
6) Menyiapkan perlengkapan penelitian
7) Persoalan etika penelitian
b. Pekerjaan lapangan
1) Mengumpulkan data
2) Menganalisis data
3) Mengecek keabsahan data
c. Penyusunan laporan penelitian
Penyusunan laporan ini berisi tentang kerangka dan isi laporan hasil
penelitian. Adapun sistematika dari penyusunan proposal ini disesuaikan
dengan buku panduan tentang penulisan karya ilmiah yang diatur oleh
IAIN Madura.
I. Daftar Rujukan Sementara

Arikunto Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:


PT Rineka Cipta,2013.
Bugin Burhan, Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, Dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana, 2012.
Chaer Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rinekacipta. 2003.
Effendy Moh. Hafid. Kasak kusuk Bahasa Indonesia. pamekasan:stain
pamekasan press. 2015.
Finoza Lamuddin. KOMPOSISI BAHASA INDONESIA. Jakarta: Mawar
Gempita,1993.
Fauzan Almanshur, Djunaesi Ghony Metode Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014.
Gunawan Imam. Metode Penelitian Kuaitatif;Teori Dan Praktik. Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2014.
https://lenterakecil.com/pembelajaran-bahasa-indonesia/
Keraf Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2008.
Muhammad. Metode Penelitian Bahasa. Jogjakarta: ar-ruzz media, 2011.
33

Mahsun, Metode Penelitian Bahasa. jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005.


Putra Nusa, Metode Penelitian Kualitatif Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers,
2012.
Sugono Dedy. BUKU PRAKTIS BAHASA INDONESIA. Jakarta: Pusat
Bahasa, 2003.
Tarigan Henry Guntur. Pengajaran gaya bahasa. Bandung: Percetakan
Angkasa. 2009.
Vita Sari Damayanti Danang SB. MENGENAL MAJAS. Bandung: CV.ARYA
MEDIA YTAMA, 2011.
Rani, Penggunaan Majas Sindiran dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Siswa Kelas IX SMP Negeri 1 Balaesang Desa Tambu Kecamatan
Balaesang Kabupaten Donggala. Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Tadulako Palu. 2018.
Syamsuddin AR. Vismia S. Damaianti. Metode Penelitian Pendidikan
Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015.
Sumarsono. Sosiolinguistik. yogyakarta: pustaka belajar, 2017.

Anda mungkin juga menyukai