A. Judul Penelitian
Gaya Bahasa Guru dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas X
SMA AS-SALAM Cenlecen Pakong Pamekasan.
B. Konteks Penelitian
Dalam pendidikan formal di sekolah menengah, kalau ditanyakan apakah
bahasa itu, biasanya akan dijawab, “bahasa adalah alat komunikasi”. Jawaban
ini tidak salah, sebab jawaban itu tidak hanya menyatakan “bahasa adalah
alat”. Jadi, fungsi dari bahasa itu yang dijelaskan, bukan “sosok” bahasa itu
sendiri. Memang benar, fungsi bahasa adalah alat komunikasi bagi
manusia,tetapi pertanyaan yang diajukan di atas bukan “apakah fungsi
bahasa?”, melainkan “apakah bahasa itu?”, maka, jawabanya haruslah
berkenaan dengan “sosok” bahasa itu, bukan tentang fungsinya. Jawaban,
bahwa “bahasa adalah alat komunikasi” untuk pertanyaan “apakah bahasa
itu?”, memang wajar terjadi karena bahasa itu adalah fenomena sosial yang
banyak seginya. Sedangkan segi fungsinya tampaknya merupakan segi yang
paling menonjol diantara segi-segi lainya. Karena itu tidak mengherankan
kalau banyak juga pakar yang membuat definisi tentang bahasa dengan
pertama-tama menonjolkan segi fungsinya itu, seperti Sapir, Badudu, dan
Keraf. Jawaban terhadap pertanyaan “apakah bahasa itu?” yang tidak
menonjolkan fungsi, tetapi menonjolkan “sosok” bahasa itu adalah seperti
yang dikemukakan Kridalaksana dan juga dalam Djoko Kentjono: “Bahasa
adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota
kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi
diri”. Definisi ini sejalan dengan definisi dari barber, Wardhaugh, Trager, de
saussure, dan Bolinger.1
Bahasa bukan sekedar alat komunikasi, bahasa itu bersistem. Pengunaan
bahasa dengan baik menekankan aspek komunikatif bahasa. Hal itu berarti
bahwa kita harus memperhatikan sasaran bahasa kita. Kita harus
memperhatikan kepada siapa kita akan menyampaikan bahasa kita. Oleh
sebab itu, unsur umur, pendidikan, agama, status sosial, lingkungan sosial,
dan sudut pandang khlayak sasaran kita tidak boleh kita abaikan. Cara kita
1
Abdul Chaer. Linguistik Umum (Jakarta:PT RINEKACIPTA, 2003). Hlm.31-32.
2
berbahasa kepada anak kecil dengan cara kita berbahasa kepada orang dewasa
tentu berbeda. Penggunaan bahasa untuk lingkungan yang berpendidikan
tinggi dan berpendidikan rendah tentu tidak dapat disamakan. Kita tidak dapat
menyampaikan pengertian mengenai jembatan, misalnya,dengan bahasa yang
sama kepada seorang anak SD dan kepada orang dewasa. Selain umur yang
berbeda, daya serap seseorang anak dengan orang dewasa tentu sangat
berbeda.
Lebih lanjut lagi, karena berkaitan dengan aspek komunikasi, maka
unsur-unsur komunikasi menjadi penting, yakni pengirim pesan, isi pesan,
media penyampaian pesan, dan penerima pesan. Mengirim pesan adalah
orang yang akan menyampaikan suatu gagasan kepada penerima pesan,
pendengar atau pembacanya, bergantung pada media yang digunakanya. Jika
mengirim pesan menggunakan telepon media yang digunakan adalah media
lisan. Jika ia menggunakan surat, media yang digunakan adalah media tulis.
Isi pesan adalah gagasan yang ingin disampaikannya kepada penerima pesan.2
Kita mengenal istilah pertanyaan retoris di Indonesia, khususnya dalam
pengajaran bahasa. Sering dikatakan, pertanyaan retoris ialah pertanyaan
yang tidak memerlukan jawaban dari yang ditanya. Yang menjawab adalah
penanya sendiri.
Retorika disini dimaksudkan sebagai kajian tentang tutur terpilih
(selected speech) salah satu cabangnya kajian tentang gaya bahasa (style).
Seseorang yang akan bertutur mempunyai kesempatan untuk menggunakan
berbagai variasi, dan untuk itu bahasa menyediakan bahan-bahanya.
Seseorang yang menyuruh orang lain didepanya untuk pergi dapat
menggunakan berbagai cara atau ungkapan. Dia bisa menggunakan sebuah
kata saja. “pergi!” dengan suara keras. Bisa pula menggunakan kalimat
perintah yang lebih halus, “silahkan anda pergi!”; tetapi bisa pula
menggunakan kalimat tanya, “apalagi yang anda tunggu di sini?”. Untuk
memilih bentuk atau kalimat yang diucapkan dia bisa mempertimbangakan
yang paling efektif untuk situasi atau kondisi pada waktu itu. Bagaimana si
penutur menggunakan sesuatu bentuk ujaran, situasi dan kondisi yang
2
Moh. Hafid effendy. Kasak kusuk Bahasa Indonesia (pamekasan:stain pamekasan press, 2015).
Hlm. 60-62.
3
5
Lamuddin finoza. KOMPOSISI BAHASA INDONESIA (Jakarta: Mawar Gempita,1993). Hlm. 97
6
6
Rani, Penggunaan Majas Sindiran dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas IX SMP
Negeri 1 Balaesang Desa Tambu Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala. Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tadulako Palu. 2018.
7
https://lenterakecil.com/pembelajaran-bahasa-indonesia/
7
8
Gorys keraf. Diksi dan Gaya Bahasa (jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008). Hlm.112.
9
Lamuddin finoza. KOMPOSISI BAHASA INDONESIA (Jakarta: Mawar Gempita,1993). Hlm. 97.
10
Dedy Sugono. BUKU PRAKTIS BAHASA INDONESIA (Jakarta: Pusat Bahasa, 2003). Hlm.174.
8
terdirt atas sebelas macam, gaya bahasa pertentangan yang terdirl atas 21
macam, gaya bahasa pertautan yang terdiri atas empat belas macam, dan
gaya bahasa perulangan yang terdiri atas tiga belas macam.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa
merupakan kemampuan dari seorang pengarang dalam mempergunakan
ragam bahasa tertentu dalam menulis sebuah karya sastra, dan ragam
bahasa tersebut sudah mempunyai pola-pola tertentu dan akan memberi
kesan pada pembaca atau pendengar karya itu.11
b. Fungsi Majas
Sebenarnya, apakah fungsi penggunaan gaya bahasa? Bila dilihat dari
fungsi bahasa, penggunaan gaya bahasa termasuk ke dalam fungsi puitik.
Yaitu menjadikan pesan Iebih berbobot. Pemakaian gaya bahasa yang
tepat (sesuai dengan waktu dan penerima yang menjadi sasaran) dapat
menarik perhatian penerima. Sebaliknya, bila penggunaannya tidak tepat,
maka penggunaan gaya bahasa akan sia-sia belaka, bahkan mengganggu
pembaca. Misalnya apabila dalam novel remaja masa kini terdapat
banyak gaya bahasa dari masa sebelum kemerdekaan, maka pesan tidak
sampai dan novel remaja itu tidak akan disukai pembacanya. Pemakaian
gaya bahasa juga dapat menghidupkan apa yang dikemukakan dalam
teks, karena gaya bahasa dapat mengemukakan gagasan yang penuh
makna dengan singkat.12
Penggunaan macam ragam majas yang kita kenal dapat kita temukan
di dalam bahasa susastra, tetapi yang akan dicontohkan berikut diambil
dari tulisan dalam bahasa umum. Sering kali kita menemukan iklan di
media massa yang bunyinya “Dengan kendaraan seperti ini, tantangan
setangguh apa pun mudah terlewati. Sistem power steering, menjadikan
kendaraan perkasa ringan...” (iklan di atas pengungkapannya
menggunakan hiperbol, yaitu pernyataan yang berlebih-Iebihan).
Ungkapan “sebuah panggung kemelaratan” (Tempo, No. 34. 1992)
menggunakan majas. Metafor menyatakan hal yang satu sama dengan hal
11
Danang SB, Vita Sari Damayanti. MENGENAL MAJAS (Bandung: CV.ARYA MEDIA
YTAMA, 2011). Hlm. 21-22.
12
Danang SB, Vita Sari Damayanti. MENGENAL MAJAS (Bandung: CV.ARYA MEDIA
YTAMA, 2011). Hlm. 22
10
lain yang sesunggunnya tidak sama. Pada ungkapan “Para buruh bekerja
seperti kuda” (Suara Pembaruan, 13 Mei 1992) kita akan menemukan
majas simile, yaitu menyamakan hal yang satu dengan yang Iain dengan
menggunakan pembanding seperti. Dua pernyataan berikut mengandung
majas personifikasi. yaitu mempersamakan benda dengan sifat manusia.
“Solo Iagi bersolek mepghadapi Penilaian Adipura” (Suara Pembaman,
13 Mei 1992) dan Bila berahi berkecamuk” (Tempo. No. 34. 1992).13
c. Sendi dan Gaya Bahasa
Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga sendi berikut:
a. kejujuran
Kejujuran dalam bahasa berarti: kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-
kaidah yang baik dan benar daIam berbahasa. Bahasa adaIah alat untuk
kita bartemu dan bergaul. Sebab itu, ia harus digunakan pula secara tepat
dengan memperhatikan sendi kejujuran.
b. Sopan-santun
Yang dimaksud dengan sopan-santun adalah memberi penghargaan atau
menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau
pembaca. Rasa hormat daIam gaya bahasa dimanifestasikan melalui
”kejelasan” dan ’kesingkatan”. Menyampaikan sesuatu secara jelas
berarti tidak membuat pembaca atau pendengar memeras keringat untuk
mencari tahu apa yang ditulis atau dikatakan. ”Kejelasan" dengan
demikian akan diukur daIam beberapa butir kaidah berikut, yaitu:
1) kejelasan dalarn struktur gramatikal kata dan kalimat;
2) kejelasan dalam korespondensi dengan fakta yang diungkapkan. melalui
kata-kata atau kalimat tadi;
3) kejelasan dalam pengurutan ide secara logis:
4) kejelasan dalam penggunaan kiasan dan perbandingan.
”Kesingkatan” dapat dicapai melalui usaha untuk mempergunakan kata-
kata secara efisien, meniadakan penggunaan dua kata atau lebih , yang
bersinonim secara longgar, menghindari tautologi; atau mengadakan
repetisi yang tidak perlu.
13
Dedy Sugono. BUKU PRAKTIS BAHASA INDONESIA (Jakarta: Pusat Bahasa, 2003). Hlm.174.
11
2. Segi bahasa
13
Adapun jika dilihat dari sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang
digunakan, maka gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak
unsur bahasa yang dipergunakan, yaitu:
a) Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata
Gaya bahasa ini mempersonalkan ketepatan dan kesesuaian dalam
menghadapi situasi-situasi tertentu. Dalam bahasa standar (bahasa baku)
dapatlah dibedakan: gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi dan gaya
bahasa percakapan.
1. Gaya bahasa resmi
Gaya bahasa resmi adalah gaya dalam bentuknya yang lengkap, gaya
yang dipergunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi, gaya yang
dipergunakan oleh mereka yang diharapkan mempergunakannya dengan
baik dan terpelihara. Misalnya: amanat kepresidenan, berita negara,
khotbah-khotbah mimbar, tajuk rencana, pidato-pidato yang penting,
artikrl-artikel yang serius, atau esei yang memuat subyek-subyek yang
penting, semuanya dibawakan dengan gaya bahasa resmi.
2. Gaya Bahasa tak resmi
Gaya bahasa tak resmi juga merupakan gaya bahasa yang
dipergunakan dalam bahasa standar, khususnya dalam kesempatan-
kesempatan yang tidak formal atau kurang formal. Singkatnya gaya
bahasa tak resmi adalah gaya bahasa yang umum dan normal bagi kaum
terpelajar. Misalnya: editorial, buku-buku pegangan, artikel-artikel
mingguan atau bulanan, dalam perkuliahan, kolumnis, karya-karya tulis,
dan sebagainya.
3. Gaya bahasa percakapan
Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan
kata-kata percakapan.
b) Gaya bahasa berdasarkan nada
Gaya bahasa berdasarkan nada didasarkan pada sugesti yang dipancarkan
dari rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Sering kali
sugesti ini akan lebih nyata kalau diikuti dengan sugesti suara dari
pembicara, bila sajian yang dipahadapi adalah bahasa lisan. Gaya bahasa
14
dilihat dari sudut nada yang terkandung dalam sebuah wacana, dibagi
atas:
1. Gaya sederhana
Gaya ini biasanya cocok untuk memberi intruksi, perintah, pelajaran,
perkuliahan, dan sejenisnya. Maka, gaya ini cocok pula digunakan untuk
menyampaikan fakta atau pembuktian-pembuktian.
2. Gaya mulia dan bertenaga
Sesuai dengan namanya, gaya ini penuh dengan vitalitas dan energi, dan
biasanya dipergunakan untuk menggerakkan sesuatu tidak saja dengan
mempergunakan tenaga dan vitalitas pembicara, tetapi juga dapat
mempergunakan nada keagungan dan kemuliaan. Nada yang agung dan
mulia akan sanggup pula menggerakkan emosi setiap pendengar.
Misalnya: khotbah tentang kemanusiaan dan keagamaan, kesusilaan, dan
ketuhanan.
3. Gaya menengah
Gaya menengah adalah gaya yang diarahkan kepada usaha untuk
menimbulkan suasana senang dan damai. Karena tujuanya adalah
menciptakan suasana senang dan damai, maka nadanya juga bersifat
lemah lembut, penuh kasih sayang, dan mengandung humor yang sehat.
Misalnya: pada kesempatan-kesempatan khusus seperti pesta, pertemuan,
dan rekreasi.
c) Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat
Yang dimaksud dengan struktur kalimat disini adalah kalimat bagaimana
tempat sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat tersebut.
Ada kalimat yang bersifat periodik, bila bagian yang terpenting atau
gagasan yang mendapat penekanan ditempatkan pada akhir kalimat. Ada
kalimat yang bersifat kendur, yaitu bila bagian kalimat yang mendapat
penekanan ditempatkan pada awal kalimat. Dan jenis yang ketiga adalh
kalimat berimbang, yaitu kalimat yang mengandung dua bagian kalimat
atau atau lebih yang kedudukanya sama tinggi sederajat. Gaya bahasa
yang termasuk ke dalam kategori ini, antara lain: klimaks, antiklimaks,
15
langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia
memerlukan upaya yang secara ekplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu
kata-kata: seperti, sama, sebagai, sebagai, bagaikan, laksana, dan
sebagainya.
Kikirnya seperti kepiting batu
Bibirnya seperti delima merekah
Matanya seperti bintang timur
Kadang-kadang diperoleh persamaan tanpa menyebutkan obyek pertama
yang mau dibandingkan, seperti:
Seperti menating minyak penuh
Bagai air di daun talas
Bagai duri dalam daging
b) Metafora
Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal
secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangsa, buaya
darat, buah hati, cindera mata, dan sebagainya.
Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan
kata: seperti, bak, bagai, bagaikan, dan sebagainya, sehingga pokok
pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Proses terjadinya
sebenarnya sama dengan smile tetapi secara berangsur-angsur keterangan
mengenai persamaa dan pokok pertama dihilangkan, misalnya:
Pemuda adalah seperti bunga bangsa. Pemuda adalah bunga bangsa,
Pemuda Bunga bangsa.
Orang itu seperti buaya darat. Orang itu adalah buaya darat. Orang itu
buaya darat.
c) Alegori, Parabel, dan Fabel
Bila sebuah metaforamengalami perluasan, maka ia dapat berwujud
alegori, parabel, atau fabel. Ketiga bentuk perluasan ini biasanya
mengandung ajaran-ajaran moral dan sering sukar dibedakan satu dari
yang lain.
Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Makna
kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Dalam alegori,
18
Dengan kata lain sinisme adalah ironi yang lebih kasar sifatnya.
Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan
sinisme. Ia adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan
yang getir. Sarkasme dapat juga tidak, tetapi yang jelas adalah bahwa
gaya ini selalu akan menyakiti hati dan kurang enak didengar. Kata
sarkasme diturunkan dari kata yunani sarkasmos, yang lebih jauh
diturunkan dari kata kerja sakasein yang berarti “merobek-robek daging
seperti anjing”, “menggigit bibir karena marah”, atau “berbicara dengan
kepahitan”
-mulut kau harimau kau.
-lihat sang Raksasa itu (maksudnya si Gebol).
-kelakuanmu memuakkan saya.
m)Satire
Ironi sering kali tidak harus ditafsirkan dari sebuah kalimat atau
acuan, tetapi harus diturunkan dari suatu uraian yang panjang. Dalam hal
terakhir ini, pembaca yang tidak kritis atau yang sederhana
pengetahuanya, bisa sampai pada kesimpulan yang diametral
bertentangan dengan apa yang dapat ditangkap oleh pembaca kritis.
Untuk memahami apakah bacaan bersifat ironis atau tidak, pembaca atau
pendengar harus mencoba meresapi implikasi-implikasi yang tersirat
dalam baris-baris atau nada-nada suara, bukan hanya pernyataan yang
ekplisit itu. Pembaca harus berhati-hati menelusuri batas antara perasaan
dan kegamblangan arti harfiahnya.
Uraian yang harus ditafsirkan lain dari makna permukaanya disebut
satire. kata satire diturunkan dari kata satura yang berarti talam yang
penuh berisi macam-macam buah-buahan. satire adalah ungkapan yang
menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk ini tidak perlu harus
bersifat ironis. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia.
Tujuan utamanya adalah agar diadakan perbaikan secara etis maupun
estetis.
23
n) Inuendo
Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan
yang sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak
langsung, dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati kalau dilihat
sambil lalu. Misalnya:
Setiap kali ada pesta, pasti ia akan sedikit mabuk karena terlalu
kebanyakan minum.
Ia menjadi kaya-raya karena sedikit mengadakan komersialisasi
jabatanya.
o) Antifrasis
Antifrasi adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah
kata dengan makna kebalikanya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi
sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh
jahat, dan sebagainya.
-lihatlah sang Raksasa telah tiba (maksudnya si Cebol).
-engkau memang orang yang mulia dan terhormat!
p) Pun atau Paronamasia
Pun atau paronomasi adalah kiasan dengan mepergunakan kemiripan
buny. Ia merupakan permaianan kata yang didasarkan pada kemiripan
bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya.
Tanggal dua gigi saya tanggal dua.
“Engkau orang kaya!” “Ya, kaya monyet!”.15
Uraian di atas memuat tentang gaya bahasa retoris dan kiasan yang
akan dipergunakan sebagai landasan teori pada penelitian ini. Gaya
bahasa ini memiliki fungsi yang berbeda pada setiap kalimat. Ada yang
berfungsi sebagai penambah nilai estetik atau keindahan dan adapula
yang memperjelas dan memperkuat makna, atau hanya sekedar hiasan.
Keseluruhan jenis gaya bahasa inilah yang akan dterapkan penggunanya
dalam penelitian ini selanjutnya.16
15
Gorys keraf, diksi dan gaya bahasa (jakarta: PT Gramedia pustaka utama, 2008), hlm.115-145
16
Danang SB, Vita Sari Damayanti. MENGENAL MAJAS (Bandung: CV.ARYA MEDIA
YTAMA, 2011). Hlm.45.
24
H. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Adapun pendekatan yang digunakan penelitian adalah pendekatan
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan yang juga disebut
pendekatan investigasi karena biasanya peneliti mengumpulkan data dengan
cara bertatap muka langsung dan berinteraksi dengan orang-orang di tempat
penelitian. Dengan pendekatan kualitatif ini peneliti akan menggambarkan
dan menganalisis setiap individu dalam kehidupan dan pemikirannya. Para
peneliti yang menggunakan pendekatan ini harus mampu mengintrepetasikan
segala fenomena dan tujuan melalui sebuah penjelasan. 17 Bondan dan Taylor
dalam Moleong mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.18
Sedangkan jenis penelitiannya, peneliti menggunakan jenis penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk
menyelidiki keadaan kondisi atau hal-hal yang telah disebutkan, yang
hasilnya dipaparkan dalam bentuk laporan penelitian.19
Jadi, dalam penelitian ini peneliti dapat menjelaskan dan
menggambarkan berupa penjelasan dan penggambaran tuturan gaya bahasa
yang dipakai oleh guru mata pelajaran bahasa Indonesia disaat proses
pembelajaran di kelas.
2. Kehadirin Peniliti
Pada penelitian ini, kehadiran peneliti sangatlah penting dilapangan
karena peneliti terjun langsung kelapangan dalam melakukan observasi dan
mengamati serta mengumpulkan atau memperoleh data penelitian sehingga
peneliti dengan mudah dapat mencari informasi yang tepat dan akurat sesuai
dengan tujuan penelitian.
Dalam hal ini, peneliti akan terjun langsung mengamati dalam
mengumpulkan data yang mana pengumpulan data tersebut akan dilakukan
17
Syamsuddin AR. Vismia S. Damaianti. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa (bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2015) hlm. 73.
18
Muhammad. Metode Penelitian Bahasa (Jogjakarta: ar-ruzz media, 2011) hlm. 30.
19
Djunaesi Ghony, Fauzan Almanshur, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2014), hlm. 34
26
selama 1 minggu 2 kali dan akan dilaksanakan pada bulan April sampai Mei
(2 bulan).
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan obyek yang dijadikan oleh peneliti untuk
memperoleh data. Penentuan lokasi dan setting penelitian selain dibingkai
dalam kerangka teoritis juga dilandasi oleh pertimbangan teknis operasional.
Untuk itu, lokasi dan setting penelitian dipertimbangkan berdasarkan
kemungkinan dapat tidaknya dimasuki dan dikaji lebih mendalam. Hal ini
penting karena berapa pun menariknya suatu kasus, tetapi jika sulit dimasuki
lebih dalam oleh seorang peneliti, maka akan menjadi suatu kerja yang sia-
sia.20 Adapun lokasi penelitian yaitu di SMA AS-SALAM Cenlecen Pakong
Pamekasan karena di sekolah tersebut peneliti ingin mengetahui bentuk gaya
bahasa yang digunakan guru dalam proses pembelajaran di dalam kelas.
Peneliti sengaja memilih tempat tersebut karena belum pernah dilakukan
penelitian terhadap guru di kelas X.
4. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek dari
mana data diperoleh. Apabila peneliti menggunakan kuesioner atau
wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data disebut
responden, yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan
peneliti, baik pertanyaan tertulis maupun lisan.21
Sumber data dalam penelitian ini adalah guru mata pelajaran Bahasa
Indonesia di kelas X SMA As-Salam dan datanya disini berupa tuturan yang
dipakai oleh guru disaat melaksanakan kegiatan proses belajar mengajar
Bahasa Indonesia di kelas X SMA As-Salam.
5. Tehnik Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data merupakan langkah-langkah yang ditempuh
oleh peneliti dalam mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan
penelitian. Adapun untuk memeperoleh data yang memadai, dalam penelitian
ini peneliti menerapkan tiga teknik pengumpulan data, yakni (1) metode
20
Burhan bungin. Metode Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodelogis Kearah Ragam Varian
Kontenporer (Jakarta: Rajawali Pers, 2012) hlm. 147-148.
21
Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: PT Rineka
Cipta,2013), hlm. 172.
27
22
Muhammad. Metode Penelitian Bahasa. (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm.194.
28
2) Metode Cakap
Penamaan metode penyediaan data dengan metode cakap disebabkan
cara yang ditempuh dalam pengumpulan data itu adalah berupa percakapan
antara peneliti dengan informan. Adanya percakapan antara peneliti dengan
informan mengandung arti terdapat kontak antarmereka. Karena itulah data
diperoleh melalui penggunaan bahasa secara lisan. Dalam penelitian linguistic
intrdisipliner, seperti dialektologi, kontak tersebut dimaksudkan sebagai
kontak antara peneliti dengan informan disetiap daerah pengamatan atau
dalam penelitian sosiolinguistik kontak yang dimaksud berupa kontak antara
informan dengan informan dari berbagai strata sosial. Patut ditambahkan
bahwa dalam penelitian dialektologi tersedianya data yang diperoleh melalui
kontak diantara peneliti dengan informan pada setiap daerah pengamatan
itulah yang menyebabkan kajian bidang linguistik itu dimungkinkan terjadi.
Metode cakap memiliki teknik dasar berupa pancing, karena percakapan
yang diharapkan sebagai pelaksanaan metode tersebut hanya dimungkinkan
muncul jika peneliti memberi stimulasi (pancingan) pada informan untuk
memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti. Pancingan
atau stimulasi itu dapat berupa bentuk atau makna-makna yang biasanya
tersusun dalam bentuk daftar pernyataan. Selanjutnya, teknik dasar tersebut
dijabarkan kedalam dua teknik lanjutan, yaitu teknik lanjutan cakap semuka
dan cakap tansemuka.
Pada pelaksanaan teknik cakap semuka peneliti langsung melakukan
percakapan dengan pengguna bahasa sebagai informan dengan bersumber
pada pancingan yang sudah disiapkan (berupa daftar tanya) atau secara
spontanitas maksudnya pamcingan dapat muncul ditengah-tengah
percakapan. Dalam penelitian dialektologi teknik ini dapat disejajarkan
dengan metode pupan lapangan, yang untuk pertamakalinya digunakan oleh
Jules Lois Ggillieron pada tahun 1880 di Swis. Ada beberapa teknik yang
dapat digunakan dalam memancing data yang diharapkan dari informan oleh
seorang peneliti dengan menggunakan teknik cakap semuka sebagai teknik
bawahan.23
23
Mahsun, Metode Penelitian Bahasa (jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005). Hlm.95-96.
29
24
Ibid. Hlm.117.
25
Mahsun, Metode Penelitian Bahasa (jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005). Hlm.259
30
3) Mengurus perizinan
4) Menjajaki dan menilai keadaan lapangan
5) Memilih dan memanfaatkan informan
6) Menyiapkan perlengkapan penelitian
7) Persoalan etika penelitian
b. Pekerjaan lapangan
1) Mengumpulkan data
2) Menganalisis data
3) Mengecek keabsahan data
c. Penyusunan laporan penelitian
Penyusunan laporan ini berisi tentang kerangka dan isi laporan hasil
penelitian. Adapun sistematika dari penyusunan proposal ini disesuaikan
dengan buku panduan tentang penulisan karya ilmiah yang diatur oleh
IAIN Madura.
I. Daftar Rujukan Sementara