Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahasa adalah alat komunikasi yang dipakai oleh masyarakat untuk
mengekspresikan gagasan yang telah menjadi konsensus bersama. Ekspresi bahasa
tersebut menggambarkan kecenderungan masyarakat penuturnya. Oleh karenanya,
untuk mempelajari dan menjelaskan bahasa niscaya harus melibatkan aspek-aspek
sosial yang mencitrakan masyarakat tersebut,1 seperti tatanan sosial, strata sosial,
umur, lingkungan dan lain-lain.
Berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Chomsky bahwa ―”bahasa adalah
asosial karena mengabaikan heterogenitas yang ada dalam masyarakat, baik status
sosial, pendidikan, umur, jenis kelamin latar belakang budayanya, dan lain-lain.”2
Chomsky memilah antara bahasa di satu sisi dan budaya di sisi lain. Dalam
mempelajari bahasa yang berhubungan dengan sosial budaya akan menghasilkan
empat kemungkinan. Pertama, struktur sosial dapat mempengaruhi dan
menentukan struktur atau perilaku bahasa. Kedua, struktur dan perilaku bahasa
dapat mempengaruhi dan menentukan struktur sosial. Ketiga, hubungan keduanya
adalah timbal balik. Keempat, struktur sosial dan struktur bahasa sama sekali tidak
berhubungan3. Inilah yang dianut oleh Chomsky.
Sebagai gejala sosial bahasa dan pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan
oleh faktor linguistik, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan situasional.
Faktor sosial misalnya: status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi,
jenis kelamin, dsb. Faktor situasional misalnya: siapa yang berbicara, dengan
bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa.
Dalam masyarakat sering terjadi ketidakjelasan dan kesalahpahaman
tentang istilah gender dan jenis kelamin, kedua istilah tersebut sebenarnya memiliki
perbedaan makna. Nugroho, (2008) mengemukakan bahwa gender adalah

1
Harimurti Kridalaksana, Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa (Flores: Nusa Indah, 1985), hal. 4.
2
Silal Arimi, ―Sosiolinguistik, dalam http://i-elisa.ugm.ac.id./inex.php?app= komunitas_home
diakses pada 15 April 2008.
3
Ronald Wardhaugh, An Intriduction to Lingusitics (New York: Basil, Blackwell, 1986), hal. 10
pembedaan peran perempuan dan laki-laki di mana yang membentuk adalah
konstruksi sosial dan kebudayaan, jadi bukan karena konstruksi yang di bawa sejak
lahir. Jika ”jenis kelamin” adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, maka ”gender”
adalah sesuatu yang dibentuk karena pemahaman yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat.
Gender mengacu pada dimensi sosial-budaya seseorang sebagai laki-laki
atau perempuan. Salah satu aspek jender melahirkan suatu peran Gender (general)
yang merupakan suatu harapan yang menetapkan bagaimana seharusnya
perempuan dan laki-laki berpikir, bertingkah laku, dan berperasaan (Annisa, 2007).
Bahasa merupakan sistem tanda yang memuat istilah, konsep, dan label-
label yang bersifat diferensiasif gender. Bahasa juga sangat berpengaruh pada
persepsi dan cara pandang kita terhadap suatu hal. Bahasa yang kita gunakan sehari-
hari dipandang hanya sebagai alat komunikasi, tetapi bahasa merupakan sarana
sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Bahkan bahasa
berpengaruh terhadap gerak fisikal manusia yang menggunakannya, melalui sugesti
yang diberikan oleh kata tertentu akan mempunyai kekuatan tersembunyi yang
berguna untuk melastarikan nilai dalam masyarakat dan mendorong masyarakat
melakukan aksi-aksi sosial bedasarkan keyakinan melalui bahasa (Kuncoro, 1998
:217).
Begitu pula bahasa yang dibedakan faktor usia yang sangat berpengaruh
dalam variasi bahasa sehari-hari. Mulai dari tuturan anak-anak hingga dewasa.
Semuanya memiliki variasi bahasa yang menjadi ciri khas dari generasi tertentu.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang tersebut dapat kita ambil rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana hubungan bahasa dengan gender dan usia?
2. Apa saja variasi bahasa berdasarkan gender; baik laki-laki dan perempuan?
3. Apa saja variasi bahasa berdasarkan usia; baik anak-anak sampai dewasa?
1.3 Tujuan Makalah
Makalah ini dibuat bertujuan untuk:
1. Sebagai tugas untuk mata kuliah Sosiolinguistik.
2. Mahasiswa dapat memahami ragam macam variasi bahasa.
3. Mahasiswa dapat mengetahui perbedaan bahasa menurut gender dan usia.
1.4 Manfaat Makalah
Manfaat dari pembuatan makalh ini adalah
1. Mahasiswa mampu menerapkan sosiolinguistik pada kehidupan sehari-hari
2. Mahasiswa dapat menjadikan makalah ini sebagai informasi mengenai
sosiolinguistik.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Bahasa dan Gender


Hakikat bahasa secara sederhana merupakan alat untuk berinteraksi dan
berkomunikasi, yang bertujuan menyampaikan sesuatu, baik berupa pemikiran,
gagasan, konsep, atau perasaan melalui alat ucap. Sejalan dengan KBBI (2008:88)
bahwa, bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan
oleh semua orang atau anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan
mengidentifikasikan diri, percakapan yang baik, tingkahlaku yang baik, dan sopan
santun. Intinya, bisa kita simpulkan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi bagi
manusia untuk saling berinteraksi.
Bahasa itu unik, karena mempunyai ciri khas dan pembeda tersendiri yang
tidak dimiliki yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa sangat erat kaitannya
dengan pemakainya, karena tanpa adanya penutur bahasa itu menjadi tidak berarti.
Secara umum, pemakai bahasa disebut juga masyarakat bahasa. Setiap kelompok
masyarakat mempunyai ragam bahasa yang berbeda pula.
Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia, mayoritas terpilih menjadi dua
jenis, pria dan wanita. Perbedaan biologis ini mempunyai kesesuaian di samping
bahwa wanita mempunyai rahim, payudara, sel telur, dan vagina, sedangkan pria
mempunyai sperma, penis, jakun, jenggot dan kumis. Perbedaan tersebut sudah
bersifat given dan kodrati sehingga melahirkan peran yang sifatnya secara kodrati
pula. Perbedaan ini terlihat jelas dari bentuk fisik dan tidak bisa dipertukarkan.
Sementara itu, gender lebih merujuk pada perbedaan karakter pria dan
wanita berdasarkan konstruksi sosial budaya, yang berkaitan dengan sifat status,
posisi, dan perannya dalam masyarakat serta terjadinya perbedaan gender yang
dikonstruksi secara sosial-kultural. Misalnya, perempuan dianggap lemah lembut,
emosional, keibuan dan sebagainya. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional,
perkasa dan lain-lain. Sifat-sifat itu bukan kodrat karena tidak berlaku selamanya,
karena bisa saja dipertukarkan dan berubah. Artinya laki-laki bisa saja ada yang
emosional, keibuan ataupun lemah-lembut, dan perempuan ada juga yang kuat,
perkasa dan keayahan.
Ilustrasi perbedaan antara seks dan gender bisa dilihat dari desain sepeda
pancal. Sepeda pancal yang dirancang untuk wanita biasanya diberi sadel yang
lebih lebar karena perempuan mempunyai pinggul yang lebih besar (ini perbedaan
seksis). Namun, ketika sepeda tersebut tidak diberi palang agar perempuan yang
memakai rok atau jarit lebih mudah menaikinya, (ini disebut perbedaan gender
karena tidak ada keharusan bagi perempuan pakai rok atau jarit).
Oleh karena itu, bahasa seksis adalah bahasa yang merepresentasikan pria
dan wanita secara tidak setara. Bahasa seksis biasanya menyajikan stereotipe-
stereotipe tentang pria dan wanita yang banyak merugikan kaum wanita. Namun,
apakah bahasa itu seksis atau tidak akan tergantung pada distribusi kekuasaan yang
terjadi dalam sebuah masyarakat secara keseluruhan. Umumnya, di negara barat
pria masih mendapat tempat dan status yang lebih tinggi dibanding wanita, baik
dari segi kekuasaan maupun pekerjaan.

2.1.1 Hubungan Bahasa dan Gender


Hubungan antara bahasa dan gender dapat terealisasi dalam tiga macam hubungan
menurut pandangan Graddol dan Joan (2003: 13) yaitu :
1. Bahasa mencerminkan pembagian gender
Penggunaan bahasa bersifat sensitif terhadap pola-pola hidup dan pola-
pola interaksi sehingga terindikasi bahwa perbedaan pengalaman sosial
antara laki-laki dan perempuan mempunyai efek tertentu dalam perilaku
berbahasa. Dengan demikian, bahasa dipandang sebagai creminan
masyarakat. Perbedaan linguistik semata-mata merupakan suatu
cerminan perbedaan sosial, dan selama masyarakat memandang laki-laki
dan perempuan berbeda-beda, dan tidak setara, maka perbedaan dalam
bahasa laki-laki dan perempuan akan terus ada Coates (dalam Graddol
dn Joan, 2003: 13).
2. Bahasa menciptakan pembagian gender
Pandangan ini mengimplikasikan bahwa bahasa mempunyai peranan
yang penting dalam konstruksi dan pelestarian pembagian gender. Cara
bahasa digunakan dalam berbagai konteks kehidupan sosila dapat
memproyeksikan bias mengenai laki-laki dan perempuan yang
implikasinya mendefinisikan peranan sosial yang diharapkan dari yang
laki-laki dan perempuan. Hal ini membentuk opini bahwa bahasa dan
wacana tempat manusia terlibat dapat membentuk kepribadian dan
kehidupan sosial. Dengan demikian, para penutur dapat mempelajari
pembedaan atau pengkategorian yang dianggap penting dalam kultur
tertentu jika mempelajari pembedaan linguistiknya.
3. Bahasa dan struktur sosial saling berpengaruh.
Gagasan ini memperlihatkan bagaimana mekanisme non-linguistik
didukung oleh ciri linguistik untuk mempertahankan pembagian gender.
Sebagai contoh, dapat dilihat bagaimana bahasa mereproduksi konsep-
konsep tradisional tentang “feminitas” dan “maskulinitas”. Tetapi, untuk
melihat mengapa konsep-konsep tradisional tersebut bersifat opresif
terhadap perempuan diperlukan teori-teori sosial yang ada kaitannya
dengan bahasa.Berikut terdapat pula perbedaan antara maskulin dan
feminis ditijau dari segi perbedaan emosional dan intelektual.

Perbedaan emosional dan intelektual antara laki-laki dan perempuan

Laki-laki (Maskulin) Perempuan (Feminin)


- Sangat agresif - Tidak terlalu agresif
- Tidak emosional - Lebih emosional
- Independen - Tidak terlalu independen
- Dapat menyembunyikan emosi - Sulit menyembunyikan emosi
- Lebih objektif - Lebih sunjektif
- Tidak mudah terpengaruh - Mudah terpengaruh
- Tidak mudah goyah terhadap krisis- Mudah goyah terhadap krisis
- Lebih aktif - Lebih pasif
- Lebih mendunia - Berorientasi ke rumah
- Lebih berterus terang - Kurang berterus terang
- Jarang menangis - Lebih sering menangis
- Lebih ambisi - Kurang ambisi, dll

2.1.2 Aspek Perbedaan Penggunaan Bahasa Antara Laki-laki dan


Perempuan
Ada beberapa aspek perbedaan yang dapat diamati dalam penggunaan
bahasa pada laki-laki dan perempuan, diantaranya adalah sebagai berikut.
a. Aspek Fonologi
Dilihat dari segi fonologi, antara laki-laki dan perempuan memiliki
beberapa perbedaan, seperti halnya di Amerika perempuan menggunakan palatal
velar tidak beraspirasi, seperti kata kjatsa (diucapkan oleh perempuan) dan djatsa
(diucapkan oleh laki-laki). Di Skotlandia, kebanyakan perempuan menggunakan
konsonan /t/ pada kata got, not, water, dan sebagainya. Sedangkan laki-lakinya
lebih sering mengubah konsonan /t/ dengan konsonan glottal tak beraspirasi.
b. Aspek Morfologi
Dilihat dari bidang morfologi, Lakoff menyatakan bahwa perempuan sering
menggunakan kata-kata untuk warna, seperti marun, dongker, lumut, dan lavender
yang mana kata-kata ini jarang digunakan oleh laki-laki. Selain itu, perempuan juga
sering menggunakan kata sifat, seperti cantik, menawan, manis, dan lain
sebagainya.
c. Aspek Diksi
Dilihat dari diksi, perempuan memiliki kosa kata sendiri untuk
menunjukkan efek tertentu terhadap mereka. Kata dan ungkapan seperti bagus,
cantik, dan menawan. Di samping itu bahasa membuat perbedaan kata tertentu
berdasarkan jenis kelamin seperti Tuan-Nyonya, Aktor-Aktris, Pramugara-
Pramugari, Mahasiswa-Mahasiswi. Pasangan kata lain yang menunjukkan
perbedaan yang serupa adalah cewek-cowok, lelaki-wanita, dan lain sebagainya.
d. Aspek Gerak Anggota Badan dan Ekspresi Wajah
Perbedaan laki-laki dan perempuan itu mungkin tidak langsung menyangkut
masalah bahasa atau strukturnya, melainkan hal-hal lain yang membarengi tutur.
Hal-hal itu diantaranya gerak anggota badan (gesture) dan ekspresi wajah. Gesture
adalah gerak anggota badan seperti kepala, tangan, jari yang menyertai tutur.
Sebagai contoh tutur masyarakat Indonesia. kalau orang bertutur dan
menyetujui atau membenarkan ucapan atau pendapat orang lain yang di ajak bicara,
orang itu akan mengatakan, “ya”, dibarengi dengan anggukan kepala.
Dalam hal ekspresi, di Indonesia perempuan relatif lebih banyak
“mempermainkan” bibir dan matanya dibandingkan dengan laki-laki. Dalam
bahasa Jawa ada sejumlah kata yang berkisar pada “permainan” mata atau bibir,
yang mencerminkan ekspresi wajah dan banyak dikenakan pada perempuan dari
pada laki-laki. Misalnya kalau perempuan jengkel, tidak berkenan, tersinggung,
matanya akan mlerok (Jawa), sedangkan laki-laki akan melotot.
e. Aspek Suara dan Intonasi
Banyak orang mengenal suara perempuan dan laki-laki karena secara umum
bisa dikatakan volume suara laki-laki relatif lebih besar dari pada perempuan.
Dalam dunia seni suara kita kenal golongan suara laki-laki dan perempuan. Pada
perempuan misalnya ada suara alto dan sopran, pada laki-laki ada suara tenor dan
bas. Semua ini pasti berhubungan dengan organ-organ tubuh penghasil suara yang
membedakan antara perempuan dan laki-laki.
Kita bisa merasakan dalam hal wicara, setidaknya terlihat pada beberapa
suku di Indonesia, suara perempuan lebih lembut dibandingkan dengan suara laki-
laki. Hal tersebut karena terpengaruh oleh nilai sosial (sosial value) atau tata krama
dan sopan santun setiap individu pada khususnya. Terbukti pada beberapa
masyarakat di Jawa misalnya, perempuan berbicara dengan suara keras dianggap
kurang sopan. Sebaliknya, jika ada laki-laki yang berbicara dengan suara lembut
dan lamban maka dianggap seperti perempuan.
Kita juga bisa melihat dalam hal intonasi, misalnya intonasi “memanjang”
pada bagian akhir kalimat lebih banyak pada perempuan. Dalam bahasa Indonesia
kita kenal istilah “suara manja” yang khas pada perempuan, atau aleman dalam
bahasa Jawa, atau manying dalam bahasa Bali. Dalam dunia pewayangan kita
mengenal gaya bicara Srikandi yang kenes dalam istilah Jawa (dengan intonasi
turun naik cepat dan nyaring) di samping gaya bicara Sembadra yang lembut dan
lambat.4

2.1.3 Sebab Perbedaan Bahasa Antara Laki-Laki dan Perempuan


Lakoff menyatakan bahwa terdapat banyak hal yang mendasari munculnya
perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam berbahasa. Digambarkan bahwa
bahasa laki-laki lebih tegas, matang, dan laki-laki suka berbicara terang-terangan
dengan kosakata yang tepat. Namun, bahasa yang digunakan oleh perempuan tidak
tegas, tidak secara terang-terangan (menggunakan kata-kata kiasan), dan berhati-
hati ketika mengungkapkan sesuatu, serta kerap menggunakan kata yang lebih halus

4
Sumarsono, Op. Cit. hlm.10
dan sopan atau melalui isyarat (metapesan). Di samping itu, menurut Lakoff,
seorang perempuan jika merasa kurang yakin terhadap suatu masalah, ia akan
mempersoalkan kepada dirinya dan tidak mempunyai keyakinan terhadap diri
mereka sendiri. Oleh karena itu, banyak masalah yang timbul berakhir dengan tanda
tanya.5
Beberapa contoh berikut dari penulis tentang perempuan yang sering
menggunakan bahasa yang tidak tegas, dan sering kali menggunakan kalimat yang
berbelit-belit dalam mengungkapkan sesuatu. Seorang anak perempuan yang ingin
segera dibelikan smartphone oleh ibunya, akan tetapi anak tersebut tidak secara
terang-terangan meminta kepada ibunya, akan tetapi dengan berbicara bahwa di
sekolah banyak tugas yang sering menggunakan internet, sehingga jika sering ke
warnet itu mahal dan juga seringkali tugas itu mendadak dan sampai malam
terkadang belum bisa selesai, jadi alangkah enaknya jika punya smartphone yang
bisa mengakses itu semua kapanpun dan dimanapun. Kemudian contoh yang lain
yaitu dari seorang laki-laki dewasa yang sudah mapan dan yakin akan pilihannya
untuk hidup bersama dengan perempuan yang ia cintai. Maka kebanyakan para laki-
laki akan secara tegas berbicara kepada perempuan tersebut bahwa dia serius dan
ingin menjalani hidup dan menyongsong masa depan dengan si perempuan dan juga
berani bertanggungjawab atas konsekuensi apa yang ia pilih sekarang. Berdasarkan
kedua contoh di atas dapat disimpulkan bahwa memang terdapat perbedaan yang
mencolok antara laki-laki dan perempuan dalam berbahasa bahkan pada perempuan
cenderung berbelit-belit dalam menyampaikan pesan yang dia maksud, hal ini
berbeda dengan laki-laki yang secara tegas mengungkapkan apa yang dia pikirkan.
Ada beberapa alasan yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan dalam
penggunaan bahasa oleh laki-laki dan perempuan, diantaranya dijelaskan di bawah
ini:
a) Konservatif dan Inovatif
Ragam bahasa yang digunakan oleh perempuan lebih kuno
dibandingkan dengan laki-laki. Dimana tutur perempuan lebih konservatif
sedangkan laki-laki bersifat inovatif atau pembaharuan. Gejala ini terjadi

5
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/all/themes/mix_and_match/favicon
.ico, diakses pada tanggal 17 September 2019 pukul 18.15 WIB
pada bahasa Chukchi, suatu bahasa yang digunakan di Serbia. Dalam bahasa
ini perempuan mempunyai konsonan intervokal pada beberapa kata,
terutama /n/ dan /t/ yang tidak ada pada ragam laki-laki.
Contoh
Laki-laki : nitvaqaat
Perempuan : nitvaqanat  ada huruf “n” diantara huruf a
b) Sikap Sosial dan Kejantanan
Bahasa kaum perempuan bersifat intuitif penuh pertimbangan. Kata,
bunyi dan tata kalimat pada bahasa dan kaum perempuan memberi
sumbangan cukup besar dalam membangun gaya dalam berkomunikasi
yang lebih sopan.(Lakoff, 1975, 1977).
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi tata bahasa kelas sosial,
etnik, umur, para perempuan secara konsekuen menggunakan bentuk-
bentuk yang lebih mendekati bentuk-bentuk ragam baku atau logat dengan
prestise tinggi dibandingkan dengan bentuk-bentuk yang digunakan laki-
laki. Akan tetapi laki-laki dan perempuan dibandingkan persentase
perempuan untuk semua kelas sosial selalu lebih daripada laki-laki. Kaum
perempuan lebih peka terhadap dinodainya ciri kalimat baku itu, lebih setia
pada gramatikal yang benar. Para ahli membuat terkaan-terkaan antara lain:
a) Kaum perempuan pada umumnya lebih sadar kedudukannya daripada
laki-laki.
b) Tutur kelas pekerja mempunyai konotasi kejantanan, yang
mengakibatkan kaum laki-laki cenderung lebih menyukai bentuk
bahasa yang nonbaku ( menyimpang dari yang baik).
Ragam bahasa berdasarkan kelompok etnik dan kelompok sosial
adalah akibat dari jarak sosial, sedangkan ragam bahasa berdasarkan jenis
kelamin adalah akibat dari perbedaan sosial.
c) Prestise Ter sembunyi
Nilai sosial (sosial value) dan peranan jenis kelamin (sexs roles)
dapat mempengaruhi sikap penutur terhadap sesuatu variasi kebahasaan
tertentu. Penutur yang memperhatikan tuturannya secara linguistik akan
cenderung untuk menggunakan ragam bahasa yang melambangkan status
prestise ini, dan ini tampak pada perempuan.
Ada pendapat yang berkeyakinan bahwa ragam bahasa nonbaku dan
kelas buruh rendahan itu juga mempunyai “prestise” dan ini khusus dimiliki
oleh laki-laki (yang umumnya adalah pekerja rendahan). Labov
menanamkan jenis prestise ini sebagai prestise tersembunyi atau prestise
terselubung (cover prestige), sikap ini tidak diungkapkan dengan nyata dan
terbuka. Bagi laki-laki di Norwich (dan mungkin bagi laki-laki dimana saja)
tutur kelas buruh adalah penuh status (stastusful) dan berprestise
(prestigious). Perbedaan ini menyebabkan perbedaan ragam bahasa yang
digunakan oleh laki-laki dan perempuan.
Tutur perempuan, dalam masyarakat Koasati, terutama pada
masyarakat Chuckhi, lebih konservatif dari pada laki-laki. Artinya
perubahan bahasa dipelopori oleh laki-laki. Namun apabila terdapat sejenis
ragam bahasa berstatus tinggi atau bernorma nasional (bukan regional,
bukan dialek) perubahan ke arah norma ini lebih sering dipelopori oleh
perempuan. Di Hillsbore, Carilona utara misalnya, perempuan menjadi
pelopor perubahan dari norma prestise lama ke norma prestise yang baru.
Perkembangan semacam itu juga terjadi di daerah Larvik di Norwich
Selatan, dimana perubahan bahasa sedang terjadi. Di sini bentuk-bentuk
yang berasal dari kota tersebar ke daerah pedalaman dan mengambil alih
persebaran bentuk-bentuk lama asal pedesaan dan yang berstatus rendah.

2.1.4 Ragam Bahasa Waria dan “Gay”


Hal lain yang membedakan bahasa antara pria dan wanita adalah ragam
bahasa waria dan ‘gay’. Waria (singkatan dari Wanita-Pria) merujuk kepada orang-
orang yang secara biologis atau fisik berkelamin laki-laki tetapi berpenampilan
(berpakaian dan berdandan) serta berprilaku seperti sebagai perempuan. Gay (atau
Homoseks atau Homo) merujuk kepada laki-laki yang menuyukai sesama laki-laki
secara emosional dan seksual.
Dede Oetomo membuat penelitian pada kaum waia dna gay yang ada di
Surabaya. Hasilnya, kaum waria lebih banyak menggunakan bahasa Jawa daripada
kaum gay. Sedangkan kaum gay dianggap dwibahasa karena mereka menggunakan
bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia.
Bahasa mereka dapat ditinjau dari dua segi, yaitu: (A) struktur pembentukan
istilah dengan kaidah perubahan bunyi yang produktif, dan teramalkan, dan (B)
penciptaan istilah baru atau pemberiaan makna pada istilah umur yang sudah ada.
Pada unsur (A) ada dua jenis pokok, yaitu (A1) yang berdasarkan kata bahasa jawa,
dan (A2) yang berdasarkan kata-kata bahasa Indonesia. Unsur (A2) dapat
dibedakan menjadi dua pula, yaitu (A2a) jenis kata-katanya berakhir dengan –
ong dan (A2b) jenis kata yang berakhir dengan –s. Kaum waria umumnya
memamakai A1, sedangkan gay memakai A1 maupun A2. Jenis B dipakai oleh
keduanya.
Contoh: (A1), kata dasar dari bahasa Jawa namun menggunakan imbuhan
‘si’ di depan dan mengambil tiga bunyi pertama (konsonan+vokal+konsonan)
banci -- siban (si banci)
nyonya -- sinyon (si nyonya)
lanang -- silan (si lanang)
Contoh: (A2) yakni menggunakan kata dasar bahasa Indonesia namun
dibedakan jadi dua yakni; (A2a) yang diberi imbuhan –ong, dan (A2b) yang diberi
imbuhan –s.
(A2a) banci -- bencong
homo -- hemong
(A2b) banci -- bences
homo -- hemes
Dede Oetomo juga meneliti kosakata baru yang disebut (B), Kosakata ini
sama-sama digunakan oleh kaum waria dan gay. Berikut contohnya:
siyong -- pemuda, remaja
cekong, cekes -- ganteng, cakep
rebong-rebong -- raba-raba
2.2 Bahasa dan Usia
Usia merupakan satu rintangan sosial yang membedakan kelompok-
kelompok manusia. Kelompok manusia ini akan memungkinkan timbulnya dialek
sosial yang sedikit banyak memberikan warna tersendiri pada kelompok itu. Usia
akan mengelompokkan masyarakat menjadi kelompok kanak-kanak, kelompok
remaja, dan kelompok dewasa. Tentu saja batas usia itu tidak bisa secara tepat kita
pastikan.
Dialek sosial yang berdasarkan usia keadaanna berbeda. Ragam tutur anak-
anak yang dimiliki seseorang akan hilang ditinggalkan jika usianya menginjak
dwasa. Ragam tutur remaja akan ditinggalkan pemiliknya jika mereka menjadi tua.
Yang relatif tetap ragam tutur orang dewasa.

2.2.1 Tutur Anak-Anak


Anak mulai belajar berbicara pada usia kurang lebih 18 bulan dan usia tiga
setengah tahun lebih si anak boleh dikatakan sudah menguasai "tata bahasa" ibunya.
Pada masa awal perkembangannya bahasa anak-anak itu mempunyai ciri antara lain
penyusutan (reduksi).
Kata-kata yang tetap bertahan dalam tutur mereka adalah kata-kata
tergolong kontentif atau kata penuh, yaitu kata yang mempunyai makna sendiri jika
berdiri sendiri.
Ada pula ciri universal dalam tutur kata anak-anak ditinjau dari segi
fonologi. Misalnya,bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh gerak membuka dan menutup
bibirnya yang bisa disebut bunyi bilabial. Bunyi ini merupakan bunyi yang sangat
umum dihasilkan oleh anak-anak pada awal ujarannya. Misal: mak, mbok, buk
(Jawa), mpok (Jakarta), bu (Melayu), me atau mek (Bali).
Kosakata anak-anak akan berkisar pada "yang ada disini dan yang ada
sekarang". Ini wajar karena perkembangan kosakata tentu sejalan dengan
"lingkaran" situasi yang melingkung anak. Karena itu peranan ibu atau orang tua
sangat penting dalam membentuk kosakata anak. Setidaknya ini terlihat dalam
bahasa Jawa. Orang Jawa dalam kalangan priyayi akan membuat kosakata baru
untuk menjadikan mereka berciri khas atau “menghaluskan” bahasa ngoko sebelum
mereka belajar tahapan bahasa krama-inggil. Contohnya: 'mik' atau 'mimik' untuk
minum, 'maem' untuk makan, 'bubuk' untuk tidur, dan sebagainya. Peranan ibu atau
orangtua yang membentuk kosakata pada anak untuk yang layak digunakan daam
pergaulannya, ini disebut social pressure.
Dalam bahasa Jawa contohnya, ibu akan membiasakan diri
"membahasakan" dirinya sebagai anak-anak sehingga anak akan mengikuti
kosakata si ibu yang akan dibawanya dalam pergaulan. Proses itu berlangsung
sampai anak menjelang masuk usia sekolah. Anak sudah dianggappantas untuk
mempelajari unggah-ungguh berbahasa. Biasanya orangtua akan membiasakan
berbicara unggah-ungguh akan anak ikut terbiasa. Sadar tidak sadar, si ibu berusaha
"meng-kramainggil-kan" orang lain yaitu si anak. Dengan begitu si anak juga akan
"meng-kramainggil-kan" orang lain selain orangtuanya. Lalu si anak akan
mendapatkan prestise tinggi di kalangan masyakarat.
Sudah dikatakan sebelumnya, ragam tutur anak-anak bersifat sementara.
Ragam bahasa tersebut akan ditinggalkan ketika usianya sudah beranjak remaja dan
mengenal kosakata yang sedang nge-trend untuk seusianya.

2.2.2 Tutur Anak Usia Sekolah SD


Anak usia 7 tahun biasanya sudah masuk SD. Setelah di SD mereka
diajarkan keterampilan berbahasa. Ada dua kemungkinan. Pertama, merekaakan
diajarkan bahasa ibu mereka sendiri. Bagi anak yang kesehariannya sudha
menggunakan kata baku, hal ini tidak terlalu sulit. Berbeda dengan anak-anak yang
kesehariannya menggunakan bahasanon-baku, mereka mengamlami kesulitan juga.
Kedua, Mereka diajari bahasa lain yang bukan bahasa ibu. Bahasa lain itu akhirnya
menjadi bahasa kedua atau bahasa asing. Contohnya adalah anak-anak SD di
Indonesia umumnya B1-nya adalah bahasa daerah, B2-nya adalah bahasa
Indonesia. Munculnya B2 inilah yang menyebabkan munculnya dwibahasawan
muda.
Pengaruh (interferensi) dari B1 ke B2 itu tidak banyak. Kesalahan umum
pada hakikatnya bersifat perkembangan (developmental). Artinya kesalahan itu
terjadi dalam hubungan dengan perkembangan belajar, dalam hubungan dengan
usahanya untuk menguasai keterampilan berikutnya. Karena itu kesalahan yang
menjadi ragam tutur anak ini akan menghilang, jika mereka mengetahui cara untuk
memperbaiki kesalahan dan itu bisa dari guru atau penutur asli B2.
Sama seperti mereka belajar B1, ketika mereka belajar B2 mereka
memunculkan kekreatifan untuk menciptakan kosakata baru yang menyimpang.
Ambil contoh penelitian Sumarsono (2002:150) terhadap anak kelas IV di Bali.
Kata sarapan pagi. Menurut orang awam itu adalah pemborosan kata karena sarapan
sudah merujuk pada waktu pagi hari tanpa perlu imbuhan pagi dibelakang kata
sarapan.
Tetapi mereka menggunakan kosakata sarapan pagi dan sarapan siang.
Karena mereka mempunyai pengalaman khusus masuk pada siang hari. Sehingga
bila mereka masuk pagi mereka akan menyebut sarapan pagi karena dilakukan pada
pagi hari. Jika mereka masuk pada siang hari, mereka akan menyebut sarapan siang
karena mereka sarapan pada saat siang.

2.2.3 Tutur Remaja


Masa remaja, ditinjau dari segi perkembangam, merupakan masa kehidupan
yang paling menarik dan mengesankan. Masa remaja mempunyai ciri antara lain
petualangan, pengelompokan (klik), "kenakalan". Ciri ini tercermin pula dalam
bahasa mereka. Keinginan untuk membuat kelompok eksklusif menyebabkan
mereka menciptakan bahasa "rahasia" yang hanya berlaku bagi kelompok mereka,
atau kalau semua pemuda sudah tahu, bahasa ini tetap rahasia bagi kelompok anak-
anak dan dewasa. Berikut ini variasi bahasa tutur remaja:
a) Penyisipan konsonan V + vokal
Sebelum tahun lima puluhan di kalangan remaja muncul kreasi menyisipkan
konsonan v+vokal pada setiap kata yang dipakai.
Contoh:
mata = ma+ta  (ma+va) (ta+va)  mavatava
matang = ma+tang  (ma+va) (ta+va+ng)  mavatavang
b) Penggantian suku akhir dengan –sye
Menjelang tahun enam puluhan muncul bentuk lain. Setiap kata diambil
hanya suku pertamanya saja, suku yang lain dihilangkan, diganti –sye. Kalau
seluruh kata dalam kalimat diganti dengan cara ini dan diucapkan dengan cepat
maka akan terdengar seperti bahasa Cina.
Contoh:
kunci  kunsye
tambah  tamsye

c) Membalik fonem-fonem dalam kata (ragam walikan)


Bahasa rahasia yang unik di kalangan remaja, di sekitar tahun 1960 muncul
di Malang, tetapi akhirnya juga meluas. Aturan umum dalam bahasa rahasia ini
ialah dasarnya bisa bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia. Kata-kata "dibaca"
menurut fonem dari belakang, dibaca terbalik (Jawa = walikan).
Contoh:
mata = atam
yuk = kuy
Ada beberapa kata bila dibalik akan sulit dibaca atau bunyinya kurang enak.
Maka pembalikan menjadi "agak menyimpang", misalnya:
utang  genatu (bukan ngatu)
wedok (Jawa) 'perempuan'  kodeb bukan kodew
Disamping itu ada penciptaan kata-kata khusus, misalnya:
jinjak 'polisi'
nes' 'cantik'
ebes 'bapak; ibu'
d) Variasi dari model (3)
Setelah model ketika diatas meluas pada orang-orang yang bukan pemuda
lagi (barangkali yang dulu muda kemudian menjadi dewasa), model pembalikan itu
divariasikan. Caranya: kata yang sudah dibalik itu disisipi bunyi-bunyi tertentu,
atau bunyi-bunyi tertentu dalam kata itu diubah. Misalnya:
tidak  kadit  kadodit
sehat  tahes  tahohes
nakam  naaskim  naskokim
2.2.4 Bahasa Prokem
Salah satu tutur kata remaja yang juga khas, dan muncul di Jakarta adalah
apa yang disebut bahasa prokem. Kalau tutur remaja di Malang ernah dimunculkan
oleh Subandi Djajengwasito dalam Kongres MLI (Masyarakat Linguistik
Indonesia) di Denpasar pada tahun 1983, bahasa prokem pernah diangkat Lita
Pamela Kawira pada Seminar Sosiologi Linguistik II di Jakarta, Desember 1988.
Meskipun bahasa prokem itu sekarang dikatakan menjadi milik remaja di
Jakarta, pencipta aslinya sebenarnya adalah kaum pencoleng, pencopet, bandit dan
sebangsanya. Di Jakarta mereka ini disebut kaum preman. Rumus pembentukan
bahasa prokem itu "sebagian" memakai penyisipan -ok- di tengah kata yang sudah
disusutkan dan ini mirip bahasa rahasianya kaum waria dan gay di Surabaya dan
tutur remaja di Malang.
Kata prokem itu sendiri berasal dari preman dengan rumusan berikut:
1. Setiap kata diambil 3 fonem (gugus konsonan dianggap satu) pertama:
preman menjadi prem-;
2. bentuk itu disisipi -ok-, di elakang fonem (atau gugus fonem) yang pertama
menjadi: pr-ok-em atau prokem.
Contoh lain:
bapak  bap  b-ok-ap  bokap
ngumpet  ngum  ng-ok-um  ngokum 'bersembunyi'
Variasi lain dengan menghilangkan vokal terakhir saja, kemudian disisipi -
ok- di belakang 3 fonem pertama. Misalnya:
begitu  begit  beg-ok-it  begokit
segini  segin  seg-ok-in  segokin
Penghilangan satu bunyi ini dalam pelajaran bahasa Indonesia disebut
apokop. Model lain adalah adanya metatesis pada tingkat suku kata. Contoh:
besok  sobek
piring  riping
bener  neber
Variasi dari yang terakhir ini sebagai berikut:
habis  ba'is
ambil  ba'il
mabok  baok

Disamping itu ada pula kosakata khusus yang rumusannya tidak ada.
Contoh: amsyong (celaka, hancur); asyci (asyik, nikmat, menyenangkan); item
(kopi); dan sebagainya.
Akhirnya terdapat juga singkatan-singkatan yang "dimunculkan" dari kata-
kata umum, singkatan atau akronim. Misalnya:
tapol 'tahu polos' (bukan tahanan politik)
BP7 'bapak pergi pagi pulang petang penghasilan pas-pasan'
HUT 'hanya untuk cinta'
botol 'bodoh dan tolol'
Salah satu ciri bahasa remaja adalah "kreativitas". Ragam sperti itu tidak
bisa dilihat hanya dari sudut linguistik melainkan dari segi sosialnya. Beberapa kata
mungkin sudah meluas, tidak hanya pada kalangan remaja saja dan tidak hanya di
kalangan remaja Jakarta. Kreativitas lain barangkali mengarah kepada ragam
bahasa yang "menggelitik" telinga orang.
Pada zaman Bung Karno, banyak sekali akronim yang bermunculan. Yang
selanjutnya pada zaman Soeharto akronim dilipat gandakan. Orang membuat
akronim, khususnya kalangan remaja dengan tidak menciptakan kata baru.
Melainkan menggunakan kata-kata lama yang sudah ada dan dikenal dalam bahasa
Indonesia, dengan agak "menggelitik" dan "nakal".
Akronim yang banyak ditemukan di majalah remaja, sebagai berikut:
semampai = semester tidak sampai
kalap = nakal pada waktu gelap
pendekar = pendek tapi kekar
rindu = mikirin duit
Penguraian dan penafsiran ini mengingatkan kita kepada apa yang ada
dalam bahasa Jawa dikenal sebagai kerata basa. Dengan cara ini orang
"menafsirkan" kata-kata, lalu dicari-cari kepanjangan dari kata itu agar tampak
logis.
Contoh kerata basa:
piring = sepi nek miring 'sepi kalau miring'
kerikil = keri ing sikil 'geli di kaki'
Perlu diingat bahwa kerata basa diciptakan oleh orang dewasasedangkan
akronim diciptakan oleh para remaja. Remaja memang suka "memberontak", dan
hal ini tercermin pada menggunaan tutur nonbaku, bahkan mungkin pada
penciptaan bentuk-bentuk nonbaku. Gejala kedua yang dialami adalah pemakaian
kata-kata dialek Jakarta, khususnya yang biasa dipakai remaja. Misalnya: cewek,
cowok, caem 'cantik, tampan', badung 'nakal', bawel 'cerewet'.
Ungkapan dan metafora cukup berani pula. Seorang anak kecil yang
menarik disebut kelinci emas, yang banyak omong disebut parkit, yang nakal
disebut setan kecil, monyet kecil. Metafora cukup manis terlihat pada contoh
berikut:
a. tersenyum tipis
b. ada kesejukan yang mngusap hatinya
c. tiada lagu yang membelah kesunyian

Anda mungkin juga menyukai