PENDAHULUAN
1
Harimurti Kridalaksana, Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa (Flores: Nusa Indah, 1985), hal. 4.
2
Silal Arimi, ―Sosiolinguistik, dalam http://i-elisa.ugm.ac.id./inex.php?app= komunitas_home
diakses pada 15 April 2008.
3
Ronald Wardhaugh, An Intriduction to Lingusitics (New York: Basil, Blackwell, 1986), hal. 10
pembedaan peran perempuan dan laki-laki di mana yang membentuk adalah
konstruksi sosial dan kebudayaan, jadi bukan karena konstruksi yang di bawa sejak
lahir. Jika ”jenis kelamin” adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, maka ”gender”
adalah sesuatu yang dibentuk karena pemahaman yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat.
Gender mengacu pada dimensi sosial-budaya seseorang sebagai laki-laki
atau perempuan. Salah satu aspek jender melahirkan suatu peran Gender (general)
yang merupakan suatu harapan yang menetapkan bagaimana seharusnya
perempuan dan laki-laki berpikir, bertingkah laku, dan berperasaan (Annisa, 2007).
Bahasa merupakan sistem tanda yang memuat istilah, konsep, dan label-
label yang bersifat diferensiasif gender. Bahasa juga sangat berpengaruh pada
persepsi dan cara pandang kita terhadap suatu hal. Bahasa yang kita gunakan sehari-
hari dipandang hanya sebagai alat komunikasi, tetapi bahasa merupakan sarana
sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Bahkan bahasa
berpengaruh terhadap gerak fisikal manusia yang menggunakannya, melalui sugesti
yang diberikan oleh kata tertentu akan mempunyai kekuatan tersembunyi yang
berguna untuk melastarikan nilai dalam masyarakat dan mendorong masyarakat
melakukan aksi-aksi sosial bedasarkan keyakinan melalui bahasa (Kuncoro, 1998
:217).
Begitu pula bahasa yang dibedakan faktor usia yang sangat berpengaruh
dalam variasi bahasa sehari-hari. Mulai dari tuturan anak-anak hingga dewasa.
Semuanya memiliki variasi bahasa yang menjadi ciri khas dari generasi tertentu.
4
Sumarsono, Op. Cit. hlm.10
dan sopan atau melalui isyarat (metapesan). Di samping itu, menurut Lakoff,
seorang perempuan jika merasa kurang yakin terhadap suatu masalah, ia akan
mempersoalkan kepada dirinya dan tidak mempunyai keyakinan terhadap diri
mereka sendiri. Oleh karena itu, banyak masalah yang timbul berakhir dengan tanda
tanya.5
Beberapa contoh berikut dari penulis tentang perempuan yang sering
menggunakan bahasa yang tidak tegas, dan sering kali menggunakan kalimat yang
berbelit-belit dalam mengungkapkan sesuatu. Seorang anak perempuan yang ingin
segera dibelikan smartphone oleh ibunya, akan tetapi anak tersebut tidak secara
terang-terangan meminta kepada ibunya, akan tetapi dengan berbicara bahwa di
sekolah banyak tugas yang sering menggunakan internet, sehingga jika sering ke
warnet itu mahal dan juga seringkali tugas itu mendadak dan sampai malam
terkadang belum bisa selesai, jadi alangkah enaknya jika punya smartphone yang
bisa mengakses itu semua kapanpun dan dimanapun. Kemudian contoh yang lain
yaitu dari seorang laki-laki dewasa yang sudah mapan dan yakin akan pilihannya
untuk hidup bersama dengan perempuan yang ia cintai. Maka kebanyakan para laki-
laki akan secara tegas berbicara kepada perempuan tersebut bahwa dia serius dan
ingin menjalani hidup dan menyongsong masa depan dengan si perempuan dan juga
berani bertanggungjawab atas konsekuensi apa yang ia pilih sekarang. Berdasarkan
kedua contoh di atas dapat disimpulkan bahwa memang terdapat perbedaan yang
mencolok antara laki-laki dan perempuan dalam berbahasa bahkan pada perempuan
cenderung berbelit-belit dalam menyampaikan pesan yang dia maksud, hal ini
berbeda dengan laki-laki yang secara tegas mengungkapkan apa yang dia pikirkan.
Ada beberapa alasan yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan dalam
penggunaan bahasa oleh laki-laki dan perempuan, diantaranya dijelaskan di bawah
ini:
a) Konservatif dan Inovatif
Ragam bahasa yang digunakan oleh perempuan lebih kuno
dibandingkan dengan laki-laki. Dimana tutur perempuan lebih konservatif
sedangkan laki-laki bersifat inovatif atau pembaharuan. Gejala ini terjadi
5
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/all/themes/mix_and_match/favicon
.ico, diakses pada tanggal 17 September 2019 pukul 18.15 WIB
pada bahasa Chukchi, suatu bahasa yang digunakan di Serbia. Dalam bahasa
ini perempuan mempunyai konsonan intervokal pada beberapa kata,
terutama /n/ dan /t/ yang tidak ada pada ragam laki-laki.
Contoh
Laki-laki : nitvaqaat
Perempuan : nitvaqanat ada huruf “n” diantara huruf a
b) Sikap Sosial dan Kejantanan
Bahasa kaum perempuan bersifat intuitif penuh pertimbangan. Kata,
bunyi dan tata kalimat pada bahasa dan kaum perempuan memberi
sumbangan cukup besar dalam membangun gaya dalam berkomunikasi
yang lebih sopan.(Lakoff, 1975, 1977).
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi tata bahasa kelas sosial,
etnik, umur, para perempuan secara konsekuen menggunakan bentuk-
bentuk yang lebih mendekati bentuk-bentuk ragam baku atau logat dengan
prestise tinggi dibandingkan dengan bentuk-bentuk yang digunakan laki-
laki. Akan tetapi laki-laki dan perempuan dibandingkan persentase
perempuan untuk semua kelas sosial selalu lebih daripada laki-laki. Kaum
perempuan lebih peka terhadap dinodainya ciri kalimat baku itu, lebih setia
pada gramatikal yang benar. Para ahli membuat terkaan-terkaan antara lain:
a) Kaum perempuan pada umumnya lebih sadar kedudukannya daripada
laki-laki.
b) Tutur kelas pekerja mempunyai konotasi kejantanan, yang
mengakibatkan kaum laki-laki cenderung lebih menyukai bentuk
bahasa yang nonbaku ( menyimpang dari yang baik).
Ragam bahasa berdasarkan kelompok etnik dan kelompok sosial
adalah akibat dari jarak sosial, sedangkan ragam bahasa berdasarkan jenis
kelamin adalah akibat dari perbedaan sosial.
c) Prestise Ter sembunyi
Nilai sosial (sosial value) dan peranan jenis kelamin (sexs roles)
dapat mempengaruhi sikap penutur terhadap sesuatu variasi kebahasaan
tertentu. Penutur yang memperhatikan tuturannya secara linguistik akan
cenderung untuk menggunakan ragam bahasa yang melambangkan status
prestise ini, dan ini tampak pada perempuan.
Ada pendapat yang berkeyakinan bahwa ragam bahasa nonbaku dan
kelas buruh rendahan itu juga mempunyai “prestise” dan ini khusus dimiliki
oleh laki-laki (yang umumnya adalah pekerja rendahan). Labov
menanamkan jenis prestise ini sebagai prestise tersembunyi atau prestise
terselubung (cover prestige), sikap ini tidak diungkapkan dengan nyata dan
terbuka. Bagi laki-laki di Norwich (dan mungkin bagi laki-laki dimana saja)
tutur kelas buruh adalah penuh status (stastusful) dan berprestise
(prestigious). Perbedaan ini menyebabkan perbedaan ragam bahasa yang
digunakan oleh laki-laki dan perempuan.
Tutur perempuan, dalam masyarakat Koasati, terutama pada
masyarakat Chuckhi, lebih konservatif dari pada laki-laki. Artinya
perubahan bahasa dipelopori oleh laki-laki. Namun apabila terdapat sejenis
ragam bahasa berstatus tinggi atau bernorma nasional (bukan regional,
bukan dialek) perubahan ke arah norma ini lebih sering dipelopori oleh
perempuan. Di Hillsbore, Carilona utara misalnya, perempuan menjadi
pelopor perubahan dari norma prestise lama ke norma prestise yang baru.
Perkembangan semacam itu juga terjadi di daerah Larvik di Norwich
Selatan, dimana perubahan bahasa sedang terjadi. Di sini bentuk-bentuk
yang berasal dari kota tersebar ke daerah pedalaman dan mengambil alih
persebaran bentuk-bentuk lama asal pedesaan dan yang berstatus rendah.
Disamping itu ada pula kosakata khusus yang rumusannya tidak ada.
Contoh: amsyong (celaka, hancur); asyci (asyik, nikmat, menyenangkan); item
(kopi); dan sebagainya.
Akhirnya terdapat juga singkatan-singkatan yang "dimunculkan" dari kata-
kata umum, singkatan atau akronim. Misalnya:
tapol 'tahu polos' (bukan tahanan politik)
BP7 'bapak pergi pagi pulang petang penghasilan pas-pasan'
HUT 'hanya untuk cinta'
botol 'bodoh dan tolol'
Salah satu ciri bahasa remaja adalah "kreativitas". Ragam sperti itu tidak
bisa dilihat hanya dari sudut linguistik melainkan dari segi sosialnya. Beberapa kata
mungkin sudah meluas, tidak hanya pada kalangan remaja saja dan tidak hanya di
kalangan remaja Jakarta. Kreativitas lain barangkali mengarah kepada ragam
bahasa yang "menggelitik" telinga orang.
Pada zaman Bung Karno, banyak sekali akronim yang bermunculan. Yang
selanjutnya pada zaman Soeharto akronim dilipat gandakan. Orang membuat
akronim, khususnya kalangan remaja dengan tidak menciptakan kata baru.
Melainkan menggunakan kata-kata lama yang sudah ada dan dikenal dalam bahasa
Indonesia, dengan agak "menggelitik" dan "nakal".
Akronim yang banyak ditemukan di majalah remaja, sebagai berikut:
semampai = semester tidak sampai
kalap = nakal pada waktu gelap
pendekar = pendek tapi kekar
rindu = mikirin duit
Penguraian dan penafsiran ini mengingatkan kita kepada apa yang ada
dalam bahasa Jawa dikenal sebagai kerata basa. Dengan cara ini orang
"menafsirkan" kata-kata, lalu dicari-cari kepanjangan dari kata itu agar tampak
logis.
Contoh kerata basa:
piring = sepi nek miring 'sepi kalau miring'
kerikil = keri ing sikil 'geli di kaki'
Perlu diingat bahwa kerata basa diciptakan oleh orang dewasasedangkan
akronim diciptakan oleh para remaja. Remaja memang suka "memberontak", dan
hal ini tercermin pada menggunaan tutur nonbaku, bahkan mungkin pada
penciptaan bentuk-bentuk nonbaku. Gejala kedua yang dialami adalah pemakaian
kata-kata dialek Jakarta, khususnya yang biasa dipakai remaja. Misalnya: cewek,
cowok, caem 'cantik, tampan', badung 'nakal', bawel 'cerewet'.
Ungkapan dan metafora cukup berani pula. Seorang anak kecil yang
menarik disebut kelinci emas, yang banyak omong disebut parkit, yang nakal
disebut setan kecil, monyet kecil. Metafora cukup manis terlihat pada contoh
berikut:
a. tersenyum tipis
b. ada kesejukan yang mngusap hatinya
c. tiada lagu yang membelah kesunyian