Anda di halaman 1dari 3

Unsur Intrinsik Pada Puisi “Kunyanyikan Lagu Ini” Karya Putu Wijaya

Intan Ayu Linda (A04218011)

1. Tema
Tema dipandang sebagai dasar cerita atau gagasan dasar umum. Gagasan dasar umum ini
merupakan gagasan yang sudah ditentukan oleh pengarang untuk mengembangkan cerita. (
Nurgiyantoro, 1998). Sehingga dapat di garis bawahi ema yang diusung dalam puisi “Kunyanyikan
Lagu Ini” adalah tentang masalah sosial. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut:
Aku dengar, bayi-bayi menjerit di malam sunyi,
Haus, kelaparan, takut setan minta belaian.
Tetapi orang tuanya entah di mana,
Mungkin sudah tak ada,
Atau banting tulang, menangkap uang, bagai anjing mengorek tong sampah di
lorong-lorong kumuh,
Atau sedang teler melupakan hidupnya yang terlanjur remuk,
Hingga jerit itu padam, dikanibal nafas ringkih yang kehabisan pulsa.
Pada bait puisi di atas menunjukkan bahwa si aku melukiskan keadaan rakyat kelas bawah
dan hendak menyampaikan kondisi mereka yang mengalami banyak penderitaan. Sementara
oposisi dari bait di atas ada pada kutipan dibawah ini:
Sementara para elit politik berjudi posisi,
Mempertaruhkan nyawa para pengikut setianya, untuk monopoli kursi,
Jangankan mendengar raungan kecoak dari dalam perut bumi,
Suara batinnya pun ia tak dengar lagi.
Pada bait di atas menunjukkan bahwa si aku melukiskan keadaan rakyat kelas atas (pejabat,
pemerintah, dll, -red) yang semena-mena dengan pekerjaannya, mereka sama sekali tidak
memperhatikan rakyat kecil/kelas bawah. Oposisi terlihat jelas antara kedua bait di atas, yang
pertama melukiskan keadaan rakyat kelas bawah, yang kedua melukiskan keadaan rakyat kelas
atas. Hal tersebut menunjukkan adanya kelas sosial. Jadi, tema puisi “Kunyanyikan Lagu Ini”
karya Putu Wijaya adalah masalah sosial.

2. Gaya Bahasa
Gaya bahasa merupakan penggunaan kata-kata indah yang disuguhkan pengarang sehingga
menimbulkan kesan dan imajinasi tertentu bagi pembacanya (Keraf, 1998). Makna pada puisi
disajikan secara jelas dan gamblang, sehingga mempermudah memahaminya. Sedangkan,
pemilihan kata dalam puisi “Kunyanyikan Lagu Ini” banyak mengandung majas sindiran, yaitu
majas yang mengungkapkan sindiran terhadap seseorang atau sesuatu. Untuk mengetahui bahwa
puisi tersebut mengandung majas sindiran perlu adanya pemaknaan secara menyeluruh atau per
bait. Seperti contoh kutipan berikut:
Kunyanyikan lagu ini,
meskipun tak ada yang peduli,
biarpun semua orang sudah tuli.
Pada bait pertama pengarang sudah menampakkan sindiran, yakni sindiran kepada orang
tuli yang sudah ada yang peduli dengan tokoh aku. Begitupun semua bait pada puisi tersebut,
seluruhnya mengandung sindiran mengenai pejabat atau tokoh kelas atas yang dengan semena-
mena menggunakan jabatannya tanpa memperdulikan rakyat kecil di bawahnya yang sedang
menderita hidupnya.

3. Ritme dan Rima


Ritme adalah aspek mengenai susunan naik turunnya bunyi secara teratur dalam suatu baris
(irama) dalam puisi. Sementara rima, rima adalah aspek pengulangan yang senada (sama) baik di
dalam larik sajak maupun di akhir. Puisi “Kunyanyikan Lagu Ini” mempunyai ritme yang dinamis
karena konsonan digunakan ritme tinggi sementara di vokal digunakan ritme rendah. Pengucapan
pada awal bertempo lambat hingga pada bait keempat dimulai ritme berubah jadi bertempo tinggi,
kemudian pada bait terakhir menjadi bertempo kembali lambat. Hal tersebut dapat menggiring
perasaan pembaca dari lambat-tinggi-lambat lagi, sehingga pembaca merasa hatinya tergugah.

4. Nada dan Suasana


Nada dan suasana merupakan dua hal berbeda yang saling terkait, karena nada pada puisi
melahirkan suasana terhadap pembacanya. Jika bicara tentang nada, maka sejatinya kita
membicarakan tentang sikap penyair, dan jika membicarakan tentang suasana, maka yang sedang
kita bicarakan sebenarnya adalah suasana.

Pada puisi “Kunyanyikan Lagu Ini” nada yang timbul adalah nada sedih dan nada kritik,
nada sedih berada di awal hingga tengah puisi yakni dari bait pertama sampai bait ketiga. Pada
bait-bait tersebut melukiskan tentang penderitaan yang dialami rakyat kelas bawah, sehingga
menimbulkan rasa iba bagi pembaca. Sementara di bait keempat sampai akhir merupakan nada
kritik, yakni kritik terhadap pemerintah/pejabat yeng menggunkan kekuasaannya dengan
sewenang-wenang, sehingga menimbulkan suasana penuh pemberontakan bagi pembaca.

Daftar Pustaka:
Keraf, Gorys. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Nurgiyantoro,
Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai