NPM: 1913041001
Matkul: Membaca Lanjut
Tugas: Menganalisis drama dan membuat essai berdasarkan analisis drama Tanda
Bahaya karya Bakdi Soemanto
Unsur Instrisnsik
a. Tema: Mengisahkan fenomena sosial kehidupan remaja
b. Alur: Alur dalam drama Tanda Bahaya adalah alur maju atau alur yang
berurutan eksposisi, komplikasi, klimaks, dan resolusi.
c. Tokoh:
a.Yanti
Yanti dalam drama "Tanda Bahaya" adalah tokoh utama.Yanti merupakan
tokoh protagonis.
b.Asdiarti
Tokoh Asdiarti adalah tokoh antagonis. Asdiarti disebut tokoh antagonis
karena Asdiarti merupakan penentang utama tokoh Yanti.
c. Kusni
Kusni merupakan tokoh bawahan. Kusni tidak memegang peran sentral
dalam cerita drama "TandaBahaya". Kusni hanya bertugas memberikan
gambaran tokoh utama.
d.Surti
Tokoh Surti merupakan tokoh yang paling sedikit perannya dalam
membangun cerita drama.
d. Dialog
Analisis dialog ini dimaksudkan untuk mengetahui karakter dan
perwatakan tokoh, dan karakter tersebut disampaikan melalui dialog antar
tokoh. Analisis dialog ini akan memaparkan tokoh-tokoh yang berperan
dalam drama pendek berjudul “Tanda Bahaya”. Drama pendek ini
diperankan oleh 4 orang tokoh yaitu Yanti, Asdiarti, Kusni, dan Surti.
Untuk mengetahui lebih dalam tentang perwatakan masing-masing tokoh
dapat disimak pada paparan berikut.
Tokoh pertama adalah Yanti. Bisa dikatakan bahwa Yanti merupakan
salah satu dari dua tokoh utama yang ada dalam drama pendek tersebut. Di
awal drama, Yanti melakukan dialog dengan tokoh lain yang bernama
Asdiarti, dan dari dialog di antara keduanya tersebut diketahui perwatakan
tokoh Yanti yang cuek dan acuh, buktinya, saat Asdiarti brtanya kepada
Yanti, tetapi Yanti malah diam saja, tidak menjawab dan hanya
menggeleng. Seperti pada kutipan berikut.
Asdiarti : (Masuk dan terkejut melihat Yanti masih di kelas) Kau
masih di sini, Yanti? Belum pulang?
Yanti : (Tidak menjawab, Ia hanya menggeleng, dan terus
melanjutkan membaca)
Asdiarti : (Mendekati) Ada sesuatu?
Yanti : (Menggeleng)
Selain memiliki sifat yang cuek dan acuh, melalui dialognya, tokoh Yanti
juga dikenal sebagai sosok wanita yang tidak suka dan tidak dipaksa oleh
orang lain, terutama dalam melakukan sesuatu. Perhatikan kutipan
percakapan Asdiarti dan Yanti berikut.
Asdiarti : Apa?
Yanti : Ah, sudahlah. Sebaiknya kau tak usah memaksaku
mengatakannya. Sulit. Terlalu sulit.
Yanti tidak hanya memiliki sifat yang negatif saja, tetapi ia juga
merupakan sosok perempuan yang tidak mudah terpengaruh dengan orang
lain, ia lebih suka menjalani apa yang ia suka dan ia kehendaki. Selain itu,
Yanti juga menganggap bahwa jalan keluar dari persoalan adalah dengan
kita mencari penyelesaiannya, bukan malah menghindarkan diri kita dari
masalah, seperti yang dapat dilihat pada kutipan dari drama pendek
tersebut.
Tokoh kedua yang juga termasuk ke dalam salah dua tokoh utama dalam
drama ini yaitu Asdiarti. Asdiarti ternyata juga dikenal sebagai sosok yang
perhatian kepada temannya, contohnya ketika ia melihat Yanti terlihat
murung, ia berharap Yanti mau membagi kesedihan dengan dirinya
walaupun Yanti tidak menggubris Asdiarti. Hal tersebut tampak ada
kutipan dialog antara Asdiarti dan Yanti berikut.
Serupa tapi tak sama, antara kedua tokoh utama dalam cerpen ini, yaitu
YAnti dan Asdiarti. Yanti juga tipikal orang yang cuek, sama halnya
dengan Asdiarti. Namun, cuek ala Asdiarti lebih kepada tidak peduli
terhadap apa yang dilakukannya, entah itu banyak manfaatnya atau hanya
merugikan kita, seperti pada kutipan dialog berikut.
Satu paradigma yang menjadi ciri khusus dari tokoh Asdiarti bahwa ia
menganggap bahwa orang tua yang melarang kita melakukan kesenangan
kita adalah orang tua yang kolot. Asdiarti juga beranggapan bahwa orang
tua yang kolot seperti itu tidak pernah menyelesaikan permasalahannya.
Oleh karena itu, ia melarikan diri kepada hal-hal yang tidak baik.
Perhatikan kutipan dialog berikut.
Selain sikap bersahabat, tokoh Kusni juga diceritakan sebagai tokoh yang
mudah khawatir dan takut terhadap hal-hal yang memang sekiranya
negatif. Dalam cerpen dibuktikan dengan tokoh Kusni yang menyuruh
Asdiarti untuk mengambil kembali rokok yang dibuang sembarangan oleh
Asdiarti karena takut apabila ketahuan guru. Perhatikan kutipan dialog
berikut yang menunjukkan karakter tokoh Kusni.
Tokoh keempat yang dapat diidentifikasi dari drama pendek ini adalah
Surti. Sama halnya dengan Kusni, tokoh ini tidak begitu banyak
digambarkan karakter tokohnya, hal ini dikarenakan Surti hanya sesekali
melakukan dialog dengan tokoh-tokoh lain, sehingga penggambaran
karakter yang dapat disimpulkan melalui dialog antar tokohnya juga
sedikit. Perhatikan kutipan dialog antara Surti, Yanti, dan Kusni berikut.
Pada bagian awal ini juga diceritakan bahwa Asdiarti sebenarnya mengetahui apa
yang dirisaukan oleh Yanti. Persoalan yang mereka hadapi bersama, karena
sebenarnya persoalan semacam itu bisa dihadapi sebagian besar orang. Mereka
berdua mengalami permasalahan yang sama. Tetapi mereka sama-sama bingung
bagaiaman cara untuk memahami permasalahan tersebut.
Asdiarti : Lalu mesti gimana?
Yanti : Aku tak mengerti.
Asdiarti : Tidak mengerti.
Yanti : Itulah yang menyedihkan. Kita mengalami sesuatu, tetapi
kita tak mengerti bagaimana memahami pengalaman itu sendiri . .
Tahap kedua disebut tikaian. Awal masalah dalam drama ini mulai terlihat saat
Asdiarti tersenyum kepada Yanti, dan menurut Yanti itu mengejeknya. Kemudian
mereka membahas mengenai pendidikan yang ditempuhmereka selama ini tidak
lebih dari sebuah hal yang sia-sia. Mereka berdua beranggapan kalau pendidikan
yang selama ini didapat mereka tidak ada gunanya. Pada intinya semuan yang
mereka jalani sekarang (pendidikan) semua tak ada gunanya untuk hari esok, tak
bisa menyelesaikan masalah mereka.
Yanti : Benar, kupikir, kita mau apa? Setelah selesai sekolah ini,
lalu kita melanjutkan sekolah lagi. Barangkali hanya satu dua tahun.
Paling banter tiga tahun, sudah itu kita dipinang orang. Kita jadi ibu . . .
apa artinya pelajaran yang kitaterima semuanya ini sekarang?
Asdiarti : Nah . . . (tersenyum)
Yanti : Kita mempersiapkan diri untuk menjadi sesuatu yang tidak ada
artinya.
.....
Klimaks semakin dibangun dalam drama ini ketika Yanti bertanya kepada
Asdiarti mengapa ia takut ketahuan guru tentang perbuatannya selama ini.
Semakin berlanjut, saat Asdiarti beranggapan bahwa guru-guru yang marah
dengan kelakuannya selama ini adaah guru yang kolot, yang sedikit-sedikit
dianggap dosa dan maksiat..
Yanti : Kenapa kau takut ketahuan guru kita?
Asdiarti : Karena mereka akan marah. Merampas dan menyetrap.
Yanti : Kau tahu sebabnya?
Asdiarti : Nggak. Mereka orang tua yang kolot. Seperti orang tua
kita saja.
Yanti : Itu berbahaya. Obat bius dilarang diedarkan secara bebas.
Asdiarti : Tapi mereka toh juga tidak sanggup menyelesaikan
kegelisahanku. Sedikit-sedikit bilang dosa, maksiat, porno, huh!
Tahap keempat adalah tahap leraian. Keadaan mulai sedikit mereda saat tokoh
Surti dan Kusni muncul di sela-sela perdebatan Asdiarti dan Yanti.
Kusni : Astaga. Ngapain, nih, kalian di sini? Ku tunggu di luar
sampai lama banget.
Surti : Pantesan. Habis cita-cita Yanti mau jadi dosen.
Tahap terakhir atau tahap kelima disebut tahap penyelesaian. Semakin menuju
kepada penyelesaian setelah Asdiarti menyadari bahwa ternyata pelampiasannya
selama ini adalah salah, untuk menyelesaikan masalah itu dibutuhkan kerja sama,
saling berbagi dalam kehangatan baik di rumah maupun di sekolah. Bukan malah
berusaha menyenangkan diri ke jalan yang tidak benar, yang malah menyiksa diri
kita. Ekspresi tersebut ditunjukkan Asdiarti dengan membuang rokok yang
dipegangnya.
Asdiarti : Ya, kehangatan . . . bukan mimpi-mimpi, bukan pelarian.
(mengambil rokok lalu membuang)
Essai
Esai ini menyoroti salah satu karya sastra yang mengangkat tema fenomena sosial
dalam dunia remaja, dialog demi dialog dirangkai menjadi sebuah naskah drama
pendek yang mengusung judul “Tanda Bahaya”. Dengan mengenali unsur-unsur
yang ada dalam tubuh drama ini, kita akan bisa melihat suatu fenomena sosial
yang kerap terjadi seiring dengan dipublikasikannya karya sastra ini. Unsur utama
yang dapat kita temukan dalam naskah drama adalah dialog dan dramatic plot
yang digambarkan dalam drama tersebut.
“Tanda Bahaya” memang seolah mengisahkan suatu fenomena sosial dengan
kemasan yang baru. Memang tidak banyak yang menarik dari drama ini, karena
kebanyakan drama ini sama dengan drama-drama yang lain. Salah satu dari
sebagian yang menarik dari drama ini, yaitu tentang tema. Tema ini terasa begitu
dekat dengan kehidupan kita, khususnya lagi kehidupan remaja beberapa dekade
terakhir ini. Begitu banyaknya problema kehidupan remaja membuat Bakdi
Soemanto ingin membuatnya menjadi suatu karya sastra supaya tidak hanya
berakhir pada sebuah headline koran kriminal saja yang mengabarkan betapa
“nakal”nya remaja kita saat ini.
Fenomena sosial tentang kenakalan remaja ini disampaikan secara langsung
melalui karakter masing-masing pemeran dalam drama ini. Seperti yang telah
disinggung di bagian awal kritik esai ini bahwa ada banyak hal yang
melatarbelakangi seorang atau sekelompok remaja untuk “nakal”. Tidak semua
dari mereka memang berhobi semacam itu, tetapi tidak jarang juga dari mereka
yang memilih untuk “nakal” karena terhimpit oleh situasi dan kondisi yang
sedang mereka alami di kehidupan mereka. Seperti jalan cerita pada drama ini,
yang mengisahkan kehidupan “nakal” remaja karena mereka sedang terhimpit
masalah dan menurut sebagian dari mereka, hanya cara “nakal” itulah yang seolah
mampu membawa mereka lepas dari permasalahan yang membelit mereka.
Selain fenomena sosial, pada bagian awal drama ini, juga disinggung masalah
kawin paksa. Permasalahan yang muncul sejak jaman Siti Nurbaya. Masalah
kawin paksa tampaknya menjadi masalah yang dirasakan oleh sebagian dari
remaja, tidak hanya pada jaman dulu, tetapi jaman sekarang juga ada sebagian
kecil. Namun masalah ini bukan menjadi satu-satunya penyebab pemain drama
“Tanda Bahaya” ini untuk jadi “nakal”.
Apa yang kita lihat sebagai kenakalan remaja saat ini seperti yang sering kita baca
di koran atau kita lihat berita kriminal di televisi, membiuat kita jadi beranggapan
negatif tentang remaja. Mereka seperti tidak tahu aturan saja, tidak bisa menjaga
harga diri mereka, dan mereka telah salah pergaulan. Kadang, kita menilai seperti
itu tanpa kita tahu apa sebenarnya yang membuat mereka sampai seperti itu.
“Tanda Bahaya” ini seolah ingin menunjukkan salah satu alasan mengapa remaja
memilih jalan untuk “nakal”. Konflik batin yang dialami pemeran dalam drama
ini seakan menjadi cermin remaja-remaja Indonesia yang terjebak ke dalam dunia
hitam kenakalan remaja.
Tokoh Asdiarti diduga sebagai pemicu konflik batin yang sedang dialami oleh
tokoh Yanti. Saat ia mulai menawarkan rokok kepada Yanti saat ia melihat Yanti
sedang stres berat, tokoh Yanti menunjukkan konflik batinnya dengan menolak
tawaran Asdiarti karena menurutnya, dengan merokok tidak ada satu pun masalah
yang akan terselesaikan. Justru rokok itu akan menambah masalah dalam hidup
kita, yaitu masalah kesehatan. Plot cerita tersebut menjadi cermin pertama yang
merefleksikan kehidupan “nakal” remaja kita.
Konflik batin juga dirasakan oleh Asdiarti sendiri, karena ia menganggap bahwa
semua orang tua itu kolot. Mereka dengan seenaknya mengatakan ini salah itu
salah, ini dosa itu maksiat, tapi mereka tidak bisa mengerti dan memahami apa
yang sebenarnya dirasakan oleh remaja yang sedang banyak masalah. Hal itu
menjadi cermin kedua yang menunjukkan bahwa sebenarnya yang dibutuhkan
oleh remaja adalah solusi dan jalan keluar, bukanlah omongan sebatas nasihat dan
petuah belaka. Nasihat, petuah, dan tetek bengeknya itu malah akan membuat
pikiran menjadi tambah ruwet, tidak tahu harus mengambil langkah apa.
Akhirnya, larilah “mereka-mereka” ke dunia “lain dari yang lain”.
Karakter tokoh Yanti memang dibuat sebagai tokoh yang gamang. Tidak seperti
Asdiarti yang digambarkan sebagai tokoh yang kokoh dengan pendirian sekalipun
pendiriannya itu adalah pendirian yang negatif. Di satu sisi, tokoh Yanti
digambarkan menolak tawaran “dunia hitam” Asdiarti, tetapi pada bagian tengah
cerita ini tokoh Yanti diceritakan memiliki hubungan khusus dengan salah satu
guru di sekolahnya, yaitu Pak Lukas. Pak Lukas adalah guru laki-laki di sekolah
Yanti dan Asdiarti yang telah berkeluarga. Rupanya, cara itulah yang dipilih oleh
Yanti untuk lepas dari masalahnya. Tokoh Yanti tidak hanya memiliki karakter
baik, tetapi ia juga digambarkan sebagai tokoh dengan karakter yang kurang baik.
Seperti yang ada di bagian tengah cerita ini, Yanti menolak untuk diajak jalan
dengan para pria di malam hari, seperti yang biasa dilakukan oleh Asdiarti untuk
sejenak melepaskan diri dari masalah, tetapi Yanti malah “mencuri perhatian”
salah satu gurunya yang telah berkeluarga dan ia pun tahu kalau hubungan itu
merusak rumah tangga orang lain.
Pada bagian hampir mendekati akhir ini, ada perbedaan yang sangat tampak pada
karakter yang dibangun oleh Bakdi pada tokoh Asdiarti dan tokoh Yanti. Jika
Asdiarti tidak bisa menerima nasihat atau petuah belaka tanpa ada penyelesaian,
tokoh Yanti malah membutuhkan nasihat dan petuah tersebut. Karena
menurutnya, nasihat itulah yang memberikan pandangan lain untuk kita dalam
mengambil keputusan, dan itulah yang didapat Yanti dari hubungannya selama ini
dengan Pak Lukas.
Bagian akhir drama ini dibiarkan menggantung oleh Bakdi. Berakhir dengan
sebuah pesan yang coba disampaikan sebagai cermin kesekian dari kehidupan
remaja. Bahwa yang sebenarnya dibutuhkan mereka ialah pengertian dari orang-
orang di sekeliling mereka (khususnya para remaja), remaja ingin dimengerti
supaya mereka (para orang tua dan guru) tidak hanya memaksa kita untuk
menuruti dan mengerti mau mereka dengan mengajarkan jutaan bahkan ribuan
rumus yang tiap hari berjejal di kepala mereka. Tanpa mereka tahu untuk apa
sebenarnya semua itu, apalagi di saat mereka memiliki masalah di rumah, mereka
pergi ke sekolah dengan harapan mereka dapat menemukan ketenangan dan
kenyamanan. Tapi, apa yang mereka dapat? Sekolah amlah membuat mereka
mantap untuk pindah dari dunia “positif” menuju dunia “negatif” yang dengan
mudah menawarkan beribu solusi pemecahan masalah, sekalipun untuk sesaat saja
dan bagaimanapun juga, pelarian itu tetaplah menjadi pelarian yang negatif dan
dilarang.
Itulah tadi betapa uniknya sebuah karya sastra mengulik permasalahan sosial di
kalangan remaja. Kita sebagai pembaca diharapkan dapat mengerti dan paham
betul maksud dari ditulisnya judul “Tanda Bahaya” pada drama pendek ini. Yaitu
dengan selalu waspada terhadap tanda-tanda yang mengisyaratkan bahaya
terhadap kehidupan remaja kita saat ini dan pada saat-saat mendatang.