Anda di halaman 1dari 2

Esai Populer dalam Novel “DOMPET AYAH SEPATU IBU”

Oleh Muhammad Nashr Alafi


2111421026
Novel “Dompet Ayah Sepatu Ibu” merupakan karya kesekian dari J.S Khairen, ia
merupakan penulis yang namanya terus berkembang seiring dengan karyanya yang laris di
pasar. Novel ini mengangkat kisah perjuangan seorang anak dengan masing-masing kesulitan
hidup dan bertekad untuk memperbaiki kehidupannya dan keluarga. Penulis novel sendiri
mengambil beberapa tempat di Sumatera Barat sebagai objek tulisannya, seperti Gunung
Singgalang, dan Gunung Marapi yang keduanya berada di Sumatera Barat. Hal ini
memperlihatkan bahwa di Provinsi Sumatera Barat berdekatan dengan banyak gunung aktif
di sekitar, sehingga tidak mengherankan bila terkadang erupsi gunung menjadi bagian dari
novel ini.
Sebagaimana disampaikan diatas, tampak latar yang diambil oleh penulis berada di
Sumatera Barat, yang dipertegas dengan lokasi tinggal dari kedua tokoh, tokoh “Zenna”
berada di Gunung Singgalang masih satu provinsi dengan Gunung Marapi tempat tokoh
“Asrul” tinggal, tidak hanya itu tempat mereka berkuliah pun juga berada di Kota Padang,
Sumatera Barat. Kosa kata yang digunakan juga mengisyaratkan budaya minang kental di
dalam novel tersebut.
Tema yang diusung juga tidak memberatkan pembaca, sebagaimana kutipan berikut
“One Product is like another, but it is just the deadly routine popular.” (Kaplan dalam
Bastari, 2020) dijelaskan bahwa sudah sepantasnya sastra populer memberikan bacaan yang
tidak membuat pembaca berpikir terlalu berat dan bersifat menghibur, tentu hal itu diperlukan
kepiawaian penulis dalam menuangkan idenya, disini penulis mengambil tema inspiratif,
namun dikemas dalam bahasa simpel dan mampu menarik minat pembaca hanya dengan
melihat kover halaman depan novel tersebut yang tergambar sebuah sepatu dan dompet
sebagai inti dari cerita novel “Dompet Ayah Sepatu Ibu”.
Novel “Dompet Ayah Sepatu Ibu” ini berpusat pada kehidupan dua tokoh yaitu Zenna
dan Asrul yang memiliki masalah perekonomian masing-masing, dimana Zenna masih harus
menghidupi keluarga dan saudaranya berjumlah sebelas, sedangkan Asrul harus menghidupi
kebutuhan ibu dan adiknya dikarenakan ayahnya lebih memilih untuk menikahi perempuan
lain. Penokohan dari masing-masing karakter digambarkan sebagai berikut, Zenna memiliki
sifat yang rela berkorban demi adik-adiknya, sedangkan Asrul memiliki sifat pekerja keras,
namun dibarengi dengan beberapa sifat keusilan yang terkadang timbul ketika dirinya merasa
nyaman dengan lingkungan tersebut.
Latar yang diambil kebanyakan berada di daerah Padang, Sumatera Barat dengan
meliputi beberapa tempat seperti Gunung Singgalang, Gunung Marapi, IKIP Padang, kos-
kosan, Pasar Padang Panjang, dan masih banyak lagi tempat yang dijadikan dalam latar novel
tersebut dengan dominan tempat berada di daerah Padang, sehingga dapat disimpulkan bahwa
penulis memiliki keturunan Minang.
Alur yang digunakan dalam novel ini bersifat maju, yang dimulai dari kehidupan
setelah lulus sma, kuliah sambil bekerja, kemudian membangun keluarga, hingga beranak dan
membentuk sebuah keluarga yang harmonis, dan menjalani masa tua dengan tenang.
Sudut pandang yang digunakan dalam novel kebanyakan mengambil sudut pandang
ketiga dengan banyaknya penggunaan nama tokoh dalam percakapan, penggunaan sudut
pandang ketiga mahatahu ini menunjukkan bahwa novel tersebut berusaha menghindari ke-
aku-an dari penulis.
Gaya bahasa yang digunakan dalam novel tersebut terlihat seperti percakapan sehari-
hari, penggunaan Bahasa Minang ikut tercampur dalam beberapa dialog sebagaimana hal
berikut; “Aduh Kosak” yang bermakna gerah dalam Bahasa Minang. Penggunaan bahasa
sehari-hari juga memudahkan komunikasi antar tokoh dan komunikasi yang ingin
disampaikan penulis kepada pembaca, karena bahasa yang kaku juga menjadi salah satu
penyebab pembaca untuk tidak tertarik pada novel tersebut.
Terakhir sebagai kesimpulan dan pendapat penulis esai ini dari penyampaian diatas
diantaranya, novel dengan tema inspiratif sudah beberapa kali diambil dan ditulis oleh
banyak orang, disinilah perbedaan dan pembawaan pembaca terhadap tokoh tersebut perlu
diberikan penekanan, hal ini sudah dicoba oleh penulis dengan menonjolkan karakter kedua
tokoh tersebut, diiringi dengan adanya dukungan dari karakter sampingan, kemudian
berdasarkan pembacaan yang telah dilakukan tampak penggunaan sudut pandang tokoh yang
ditonjolkan terkesan cepat, karena setiap episode, sudut pandang digunakan pada orang
berbeda, membuat pembaca sedikit kebingungan pada awalnya, namun seiring berjalannya
cerita akan terbiasa sendirinya.
Secara keseluruhan novel “Dompet Ayah Sepatu Ibu” bisa direkomendasikan untuk
dibaca oleh semua kalangan umur, pembaca juga dapat terhanyut dengan suasana yang
diciptakan oleh penulis, sehingga tidak ada salahnya untuk mulai membaca buku ini.

Anda mungkin juga menyukai