Anda di halaman 1dari 23

AWAL DAN MIRA

Drama Satu Babak

Karya:
Utuy Tatang Sontani

Sandiwara ini pertama kali diterbitkan pada 1949 di majalah Indonesia, sebuah
majalah yang mengetengahkan karangan prosa. Sesuai dengan tujuan majalah
itu, format sandiwara diubah agar sandiwara dapat dibaca sebagai cerita
pendek. Untuk penerbitan buku ini bentuk prosa itu diganti dengan format
sandiwara namun dialog tidak diubah.

1
Soal antara kita ialah
kau bukan aku dan aku bukan kau.

2
TOKOH:
AWAL
MIRA
IBU MIRA
SI BAJU BIRU
SI BAJU PUTIH
LAKI-LAKI TUA
WARTAWAN
JURU POTRET
ANAK LAKI-LAKI
SEORANG LAKI-LAKI
SI PEREMPUAN

3
BABAK 1

Peristiwa ini terjadi pada suatu malam dalam tahun 1951 di depan kedai kopi
kepunyaan seorang perempuan cantik bernama MIRA.
Yang dimaksud dengan kedai kopi kepunyaan MIRA itu sebenarnya
serambi muka dari rumah MIRA yang dibangun jadi kedai kopi. Dan rumah
MIRA itu rumah bambu, kecil tapi masih baru, letaknya menghadap ke jalan,
didirikan di atas bekas runtuhan rumah batu yang hancur oleh peperangan,
terpencil jauh dari keramaian.
Entah kapan rumah itu didirikan di sana, entah mulai kapan pula serambi
muka rumah itu dibangun jadi kedai kopi. Tapi yang sudah pasti, kedai kopi
MIRA itu seperti juga kehadiran kedai-kedai kopi yang lain, selain dialati oleh
perabotan-perabotan yang bersangkutan dengan keperluan penjualan kopi, di
sana juga ada disediakan barang-barang dagangan yang sudah biasa dijual di
kedai kopi. Ada kue-kue, ada limun, ada sigaret, geretan, dan sebagainya. Dan
seperti juga kedai-kedai kopi yang lain, di depan kedai kopi MIRA itu pun ada
bangku panjang tempat duduk para pembeli, dan antara ruangan kedai dan
bangku panjang itu teralang oleh meja dan rak dagangan setinggi dada, dan
tidak ada pintu.
Malam itu pukul 9 lebih.
MIRA yang cantik asyik menyulam di belakang dagangan, di bawah
lampu listrik, hanya kelihatan dari dada ke atas.
IBU MIRA, seorang perempuan sudah berusia lanjut, ada di luar ruangan
kedai, asyik mengatur-ngatur penempatan dagangan. Dan di depan kedai, di
atas bangku duduk seorang LAKI-LAKI MUDA, menghadapi gelas kopi di atas
meja.

LAKI-LAKI MUDA: (Menghabiskan kopinya seraya katanya) Berapa, Mira?


MIRA: Tiga Talen.
LAKI-LAKI MUDA: (Seraya menyerahkan uang) Kembali setalen.
(MIRA tak mengasih uang pengembalian. Setelah menerima uang dari
LAKI-LAKI MUDA itu, ia terdiam saja.)
LAKI-LAKI MUDA: (Kepada MIRA) Mana kembaliannya?
MIRA: Bah!
LAKI-LAKI MUDA: (Dengan heran) Lho? Setalen ya setalen.
MIRA: Tapi engkau terlalu lama duduk di sini, terlalu lama melihat wajahku.
LAKI-LAKI MUDA: Melihat wajahmu mesti bayar?
MIRA: Mengapa tidak? Memangnya istrimu di rumah cantik seperti aku?
(LAKI-LAKI MUDA itu kebingungan, tapi akhirnya ia bangkit berdiri)
LAKI-LAKI MUDA: (Seraya berdiri) Yah, apa boleh buat.
(Dengan tidak berkata lagi, LAKI-LAKI MUDA terus berjalan
meninggalkan kedai, pergi ke arah kanan.)
MIRA: (setelah LAKI-LAKI MUDA jauh berjalan) Laki-laki berabe! Setalen saja
dihitung!
IBU MIRA: Maklum sekarang sudah bulan tua, Mira. Sudah tiga malam
berturut-turut kita kekurangan pembeli. Rupanya orang sudah pada
kehabisan duit. (Terus melihat ke arah jauh sebelah kiri) Heh, sepi

4
saja…Kulihat hanya ada seorang laki-laki yang berjalan menuju sini.
(Tiba-tiba terkejut dan bicara tergopoh-gopoh) Mira! Orang itu kiranya
Den Awal.
MIRA: (Kepada IBUNYA seraya masuk ke dalam rumah) Katakan saja saya
pergi ke toko!
(Laki-laki yang bernama AWAL itu berumur antara 27 dan 30 tahun.
Badannya kurus, rambutnya gondrong tidak dipelihara. Dan ia datang ke
depan kedai dengan langkah lesu terhuyung-huyung. Berat bunyi
suaranya sewaktu bicara.)
AWAL: (Sewaktu sampai di depan IBU MIRA) Mira ada, Bu?
IBU MIRA: Ke toko, Den…Entah akan membeli apa.
AWAL: Sudah lama?
IBU MIRA: Lama juga.
(AWAL yang berbadan kurus itu lesu duduk di atas bangku. Duduk
membelakangi dagangan.)
AWAL: (Memperdengarkan lagi suaranya yang berat) Kapan anak Ibu itu
berhenti mempertahankan?
IBU MIRA: (Bingung) Mempertahankan. . .?
AWAL: Mau disebut apa lagi, kalau selama saya sakit, meskipun berkali-kali
saya mengirim surat ke sini minta supaya Mira sudi menengok saya ke
rumah, tapi dia tidak pernah datang?
IBU MIRA: Dia banyak urusan, Den.
AWAL: Banyak urusan? Hm ya, sekarang saya memaksa diri datang di sini, dia
tidak ada.
(IBU MIRA tidak menjawab lagi. Diam-diam ia memasuki pintu di
samping rumah sebelah kiri, tak lama kemudian keluar dari pintu yang
tadi dimasuki MIRA, ada di dalam ruangan kedai.)
IBU MIRA: (Dari dalam kedai) Kopi susu, Den?
AWAL: Biar, tak usah.
(Sejurus lamanya IBU MIRA terdiam membelakangi AWAL. Akhirnya
diam-diam ia menghampiri radio yang ditaruh tidak jauh dari pintu ke
dalam rumah dan terus diam-diam menyetel radio itu. Sebentar
kemudian radio pun berbunyi, memecah kesunyian, mendengungkan
suara perempuan nyaring lantang.)
SUARA RADIO: …dari itu, adalah sudah menjadi kewajiban kita kaum wanita,
supaya di zaman sekarang ini, setelah kita banyak kehilangan sebagai
akibat peperangan, kita kaum wanita mesti lebih giat berjuang
berdampingan dengan kaum laki-laki guna membangun masyarakat
damai di tanah air kita Indonesia yang indah dan molek ini. Marilah kita
menyingsingkan lengan baju kita. . . .
AWAL: (Tiba-tiba bangkit dan berdiri seraya katanya dengan tangan terkepal)
Tutup radio itu, Bu!
IBU MIRA: (Sambil mematikan radio) Menga. . .mengapa, Den?
AWAL: (Dengan cetus) Omong kosong semuanya juga! Omongan badut. Hh,
berjuang berdampingan. . . . Tanah air yang indah dan molek! Enak saja
bicara. Dia sendiri tak akan tahu apa yang dikatakannya. Asal saja
berbunyi. (Kembali duduk terhuyung)
IBU MIRA: (Gugup) Be. . .betul, Den, tidak akan minum?

5
AWAL: (Tegas) Saya mau bicara dengan Mira, Bu.
IBU MIRA: Tapi barangkali akan lama juga dia pergi. Tidak dapatkah Ibu
menolong menyampaikan pesan Aden kepadanya?
AWAL: (Mengulangi) Saya mau bicara dengan Mira sendiri. Lain, lain dari
omongan orang lain yang akan saya katakan padanya.
IBU MIRA: Tapi, De. . .Mira. . .anak Ibu itu, manusia biasa saja. Jangan Aden
mengharapkan yang bukan-bukan dari dia.
AWAL: (Mengangkat kepala, tegak memangdang IBU MIRA) Siapa pula yang
mengharapkan yang bukan-bukan? Saya tidak mengharapkan yang
bukan-bukan dari Mira. Harapan saya dari Mira adalah harapan laki-laki
sewajarnya yang menginginkan supaya perempuan itu jadi kawan hidup
laki-laki. Itu harapan saya. Dan harapan itu tidak bukan-bukan.
IBU MIRA: Maksud Ibu, Den, Mira itu bukan perempuan dari golongan atas. Dia
hanya tukang kopi.
(AWAL yang berbadan kurus itu tegak memandang IBU MIRA.)
AWAL: Apa arti golongan atas di zaman edan seperti sekarang ini? Sangka Ibu
perempuan yang tadi berpidato di radio itu dari golongan atas?
Perempuan bicara asal berbunyi? Orang-orang semacam itulah yang
menguasai masyarakat kita sekarang—orang-orang yang maunya
mengatasi orang lain dengan bicara, terus bicara. Tak tahu jiwanya
sendiri kering dangkal, dunianya sendiri sempit. Lebih sempit dari ini
kedai kopi!
(IBU MIRA tak berkata lagi. Dua orang laki-laki datang dari kanan:
Keduanya berumur lebih dari 30 tahun. Yang seorang berbadan besar-
tinggi dan memakai baju biru—SI BAJU BIRU. Dan yang seorang lagi,
yang badannya agak pendek memakai baju putih—SI BAJU PUTIH.
Mereka datang ke depan kedai dengan langkah ringan.)
SI BAJU BIRU: (Dengan suara ringan, kepada IBU MIRA) Mana Mira, Bu?
IBU MIRA: Ke toko. . . .
SI BAJU PUTIH: Ah, kalau tidak ada Mira, kurang senang kita minum di sini.
SI BAJU BIRU: Biar. Kita tunggu sampai dia datang.
(SI BAJU BIRU dan SI BAJU PUTIH lalu duduk tidak jauh dari AWAL.
Duduk menghadapi dagangan. Tapi AWAL yang didekati, setelah
memperhatikan gerak-gerik yang baru datang, terus saja bangkit dan
melangkah akan pergi.)
IBU MIRA: (Kepada AWAL) Ke mana, Den? Duduk-duduk dulu.
AWAL: Biar, Bu. . . .
(Tanpa berkata lagi, AWAL terus berjalan ke arah kanan, tidak menoleh
lagi ke belakang. Langkahnya yang terhuyung-huyung dipandang oleh SI
BAJU BIRU. Dan jika yang dipandang sudah jauh berjalan, dia
memandang kawannya.)
SI BAJU BIRU: Mengapa dia kecut?
SI BAJU PUTIH: Seperti marah kepada kita.
IBU MIRA: Dia orang terpelajar.
SI BAJU BIRU: Tapi tampaknya seperti orang tidak waras otak. Di zaman
setelah peperangan sekarang ini memang tidak sedikit orang yang tidak
waras otak. Dia tentu berasal dari golongan menak, ya, Bu?

6
IBU MIRA: Ya. . . . Menurut kata orang, orang tuanya itu bukan sembarangan
orang. Tapi sekarang dia hidup sendirian.
SI BAJU BIRU: (Menyambung) Dan tidak lagi terhormat seperti orang tuanya!
(Diarahkan kepada SI BAJU PUTIH) Itulah celakanya orang dari
golongan menak hidup di zaman sekarang. Zaman sudah berubah, tapi
dia masih mau hidup seperti di zaman sebelum perang, di kala
golongannya masih dihormat-hormat. Akibatnya seperti orang tidak
waras otak.
(Tiba-tiba MIRA yang tadi masuk ke dalam rumah, tampil dari pintu)
MIRA: Sudah! Jangan membicarakan dia. Toh semua komentarmu tidak benar!
SI BAJU BIRU: Lho engkau ada, Mira? Hampir saja aku percaya bahwa kau
pergi ke toko. (Kepada SI BAJU PUTIH) Tahu kau sekarang, bahwa Mira
pergi ke toko bukan untuk kita, tapi hanya untuk pemuda yang tidak
waras otaknya itu?
SI BAJU PUTIH: Ya! Kasihan, sungguh kasihan dengan pemuda yang sial itu.
MIRA: (Seraya duduk lagi di belakang dagangan) Aku bilang jangan
membicarakan dia.
SI BAJU BIRU: Katakanlah, Mira, bahwa bagimu kami lebih berarti daripada
pemuda itu.
MIRA: Apa yang lebih berarti? Kalian datang ke sini untuk membeli dagangan
yang kujual. Dan itu mesti kuladeni. Tapi pemuda itu. . . .
SI BAJU PUTIH: Pemuda itu bagaimana?
MIRA: Itu urusan aku dan dia. Kalian jangan turut campur. Kalau mau minum,
lekas katakan! Kopi pahit, manis, atau pakai susu?
(SI BAJU BIRU yang sudah ringan berkata jadi ringan tertawa.)
SI BAJU BIRU: Dengar bagaimana gagahnya kekasih kita ini berkata! Dan
inilah yang menyenangkan kita duduk di sini, bukan? Sampai larut
malam, senang kita nongkrong di sini.
MIRA: Lekas katakan! Kopi pahit? Manis? Atau pakai susu?
SI BAJU PUTIH: (Seraya tertawa) Oh! Dia menyerang terus.
(SI BAJU BIRU yang sudah tertawa melebarkan tawanya.)
SI BAJU BIRU: Tapi kita jangan kalah. Kita minta kopi susu! Biar taripnya
dinaikkan, kita tak akan mundur.
IBU MIRA: (Kepada kedua tamu) Dua-duanya kopi susu?
SI BAJU PUTIH: Tentu saja dua, Bu. Masakan beda! (Sambungnya lagi
diarahkan kepada MIRA) Mengapa radionya tidak disetel, Mira? Biar kita
lebih senang duduk di sini.
MIRA: Bah! Hanya pidato omong kosong melulu.
SI BAJU PUTIH: Biar, setel saja.
SI BAJU BIRU: Tak usah. . .tak usah dengar radio. Lihat Mira saja sudah puas!
(Pada saat IBU MIRA menyodorkan gelas kopi susu ke depan SI BAJU
BIRU dan kawannya, lewat ke depan kedai dari kanan SEORANG LAKI-
LAKI dan SEORANG PEREMPUAN berpakaian bagus-bagus. SI
PEREMPUAN berjalan di muka dan SI LAKI-LAKI berjalan di
belakangnya. Tapi di depan kedai yang SI LAKI-LAKI melambatkan
langkah, memandang kepada MIRA yang duduk di belakang dagangan.
Dan ia memandang terlalu lama; demikian lama, sehingga SI
PEREMPUAN yang diiringkannya menarik tangannya.)

7
SI PEREMPUAN: Ayoh!
(SI LAKI-LAKI yang diperintah menurut dan mempercepat langkah. Tapi
SI PEREMPUAN terus melihat MIRA, dan setelah lama melihat terus
meludah.)
MIRA: (Berteriak) Heh! Apa arti ludah itu? Takut suamimu direbut?
SI PEREMPUAN: (Meludah lagi kemudian menyahut) Memangnya?! (Cepat
berjalan menjauh)
MIRA: (Berteriak lagi) Pengecut! (Terus menyemburkan air dan tambahnya lagi
setelah ternyata semburan itu tak berhasil) Mengapa kau tak protes
kepada moyangmu yang melahirkan kau tidak lebih cantik dari aku?
(SI BAJU PUTIH tegang tercengang, tapi SI BAJU BIRU enak tertawa)
SI BAJU BIRU: Engkau juga pengecut Mira! Mengapa perempuan itu tidak kau
kejar?
MIRA: Hm. . . ! Memangnya mesti meributkan laki-laki begitu macam?
SI BAJU PUTIH: Ada-ada saja Mira ini. . . . Baiknya kita tidak sampai melihat
darah.
SI BAJU BIRU: Siapa tahu, antara suami-istri itu sesampainya di rumah keluar
darah.
SI BAJU PUTIH: Untung saja kita belum kawin.
MIRA: Memangnya kau mengatakan masih bujang? Hh, bujang?
SI BAJU BIRU: (Tertawa) Kau tak percaya, Mira, bahwa kami belum kawin?
MIRA: Apa percaya? Mesti aku percaya kepada omongan orang yang ngomong
lantaran ada aku?
SI BAJU PUTIH: Apa, Mira? Apa maksud perkataanmu?
MIRA: Kalau tidak mengerti, sudah! Jangan bertanya lagi. Jangan bicara lagi.
Lebih baik minum kopi. Itu lebih aman!
(SI BAJU PUTIH nyengir dan SI BAJU BIRU yang tertawa mengeraskan
tawanya)
SI BAJU BIRU: Ya, ya, terkadang kita mesti mengaku bahwa sebagai tukang
kopi Mira terlalu pintar. Payah kita bicara dengan dia. Tempat Mira
mestinya di sana, di. . . .
SI BAJU PUTIH: (Menyela). . .di kantor advokat!
SI BAJU BIRU: (Membantah) Bukan di kantor advokat?
SI BAJU PUTIH: Itu menghina dong. Tempat Mira mestinya di sana, di samping
paduka tuan, jadi nyonya paduka tuan. ‘Kan zaman sekarang ini banyak
paduka tuan-paduka tuan yang di zaman peperangan pada bersembunyi
takut mati, tiba-tiba sekarang muncul dengan kedudukannya yang hebat-
hebat, saking hebatnya merasa perlu mempunyai bini dua atau tiga.
MIRA: Hm, kau menghina aku!
SI BAJU BIRU: Siapa bilang menghina? Nyonya paduka tuan, sekalipun jadi
yang nomor dua atau nomor tiga, sudah pasti tiap hari naik mobil turun
mobil, diam di gedung besar, sebentar-sebentar pergi ke restoran dan
seminggu sekali ongkang-ongkang di luar kota. Pendeknya hidup
mewah. (Dengan muka dihadapkan kepada SI BAJU PUTIH) Tidak
seperti kita. Kita yang di zaman pertempuran ikut memanggul senjata
dan sering-sering hampir mati oleh peluru musuh, sekarang tinggal di
gubuk di gang becek.

8
SI BAJU PUTIH: Dunia ini memang tidak beres! Kita yang pernah capek, orang
lain yang merasakan kesenangannya.
MIRA: (Cepat membalas) Dari itu, aku lebih senang jadi tukang kopi, sebab dari
belakang dagangan ini aku dapat melihat orang-orang yang tidak beres
rohaninya seperti kalian!
SI BAJU PUTIH: Kami tidak beres?
MIRA: Lantas? Kalau rohanimu beres, buat apa kau meluapkan rasa
dongkolmu terhadap keadaan sekarang di hadapanku? Toh di sini kedai
kopi. Orang di sini boleh menggerutu dan mengomel sesuka hatinya.
Tapi dagangan yang kau hadapi bukan saksi yang akan mencatat segala
omonganmu. Dagangan itu kusediakan untuk dibeli!
(Tertawa lagi SI BAJU BIRU dan SI BAJU PUTIH pun ikut tertawa.)
SI BAJU PUTIH: (Kepada SI BAJU BIRU) Bagaimana? Akan kita borong
semua yang ada di sini?
(Dari kanan datang seorang ANAK LAKI-LAKI kira-kira berumur 13
tahun. Langkahnya tegas. Ucapannya diarahkan kepada MIRA.)
ANAK LAKI-LAKI: (Tegas bunyinya) Nona Mira?
MIRA: Benar.
ANAK LAKI-LAKI: (Seraya mengunjukkan secarik kertas) Ini surat.
MIRA: Dari siapa?
ANAK LAKI-LAKI: Dari Tuan yang tadi datang di sini.
MIRA: Di mana dia sekarang?
ANAK-LAKI-LAKI: Di sana, menunggu di gardu.
(MIRA tak bertanya-tanya lagi. Secarik kertas yang diunjukkan ANAK
LAKI-LAKI itu diterimanya. Terus dibaca tulisannya.)
SI BAJU BIRU: (Kepada ANAK LAKI-LAKI) Disuruh oleh Tuan yang badannya
kurus, rambutnya gondrong?
ANAK LAKI-LAKI: Benar.
SI BAJU BIRU: Celaka tiga belas! (Seraya tertawa) Bohongnya ketahuan juga!
(Dan tambahnya diarahkan kepada MIRA) Dia tentu marah, Mira.
(MIRA asyik membaca dan tidak membalas)
SI BAJU BIRU: (Kepada IBU MIRA) Bagaimana, Bu, kalau sudah ketahuan
bohong?
IBU MIRA: Orang tua seperti ibu ini tidak tahu apa-apa.
SI BAJU PUTIH: (Seraya meneguk isi gelas yang dihadapi) Ya, orang tua
jangan dibawa-bawa.
(Seperti juga SI BAJU BIRU, SI BAJU PUTIH terus memperhatikan
MIRA membaca surat.)
MIRA: (Sejurus kemudian kepada ANAK LAKI-LAKI) Katakan saja kepadanya,
bahwa saya tidak dapat meninggalkan kewajiban di sini. Lebih baik dia
saja yang datang ke mari.
ANAK LAKI-LAKI: (Seraya melangkah akan pergi.) Baik.
MIRA: Katakan, saya menunggu, ya.
ANAK LAKI-LAKI: Ya.
(ANAK LAKI-LAKI itu terus berjalan ke kanan. Langkahnya tegas seperti
ketika ia datang ke depan kedai. Setelah ANAK LAKI-LAKI jauh berjalan,
SI BAJU BIRU menegur MIRA.)
SI BAJU BIRU: Apa isi suratnya, Mira?

9
MIRA: Itu urusanku.
(SI BAJU BIRU yang sudah sering tertawa, sekali lagi tertawa. Kemudian
dia mendekati SI BAJU PUTIH dan terus berbisik di telinga kawannya.)
MIRA: Berbisik apa?
SI BAJU BIRU: Itu urusanku!
(Baik SI BAJU BIRU maupun SI BAJU PUTIH tertawa lagi. Terkekeh
mereka tertawa. Tiba-tiba SI BAJU PUTIH menunjuk ke arah jauh
sebelah kiri.)
SI BAJU PUTIH: Lihat, Mira! Itu apa?
(MIRA yang duduk di belakang dagangan melengong melihat ke arah
yang ditunjuk SI BAJU PUTIH. Lalai ia akan surat di tangan, tak tahu
bahwa surat akan direbut SI BAJU PUTIH. Dan secepat SI BAJU PUTIH
merebut surat dari tangan MIRA, secepat itu pula ia melemparkan surat
kepada kawannya.)
MIRA: (Berteriak lantang) Kurang ajar! Berani kau menyolok mata!
(Dengan gemas MIRA memandang SI BAJU PUTIH. Dan lebih gemas
lagi ia memandang SI BAJU BIRU. SI BAJU BIRU yang tertawa-tawa
gembira membaca isinya.)
SI BAJU BIRU: Mira! Meskipun kau barusan mendustai aku, tapi jiwamu dan
duniamu bagiku tetap merupakan soal. . .Oh, jiwamu, duniamu! Betul-
betul orang ini sudah tidak waras otaknya.
SI BAJU PUTIH: Jadi Mira ini mempunyai dunia? (Menggeleng-gelengkan
kepala)
MIRA: (Teriak) Sudah!
SI BAJU BIRU: (Tanpa mengacuhkan MIRA, membaca lagi) Kau bagiku tetap
bukan tukang kopi.
SI BAJU PUTIH: (Menyela) Lho? Kalau bukan tukang kopi, apa?
SI BAJU BIRU: Dengar dulu! Dengar dulu! (Membaca lagi) Karena itu aku ingin
bicara dengan kau berdua. Jangan di tempatmu, sebab ada. . .He, kita
disebut badut-badut. Apa maksudnya?
MIRA: (Teriak lagi) Sudah!
SI BAJU BIRU: (Meneruskan pembacaan surat) Dapatkah sekarang juga kau
meninggalkan tempatmu barang sebentar? Aku menunggu di gardu.
(Berhenti membaca, seraya menyerahkan surat kepada Mira.) Dan
sekarang dia boleh menunggu, ya Mira? Menunggu, sampai kami yang
disebut badut-badut ini pada pergi dari sini?
SI BAJU PUTIH: Tapi kami tidak akan pergi!
MIRA: Kalian kurang ajar! Biadab! Dasar!
SI BAJU BIRU: Katakan kepadanya, Mira, bahwa di zaman sekarang ini sudah
bukan waktunya lagi memupuk perasaan rindu dendam seperti di zaman
sebelum perang.
SI BAJU PUTIH: Sekarang zaman serba-cepat. Kalau tidak cepat, tidak akan
kebagian. Dan kalau tidak kebagian sekarang, kapan lagi? Bayangan
Perang Dunia Ketiga sudah dekat.
MIRA: (Membantah) Bah! Kau tahu apa tentang Perang Dunia Ketiga?
Gampang saja bicara tentang perkara yang kau sendiri tak tahu!

10
SI BAJU PUTIH: (Langsung membalas) Aku tidak tahu? Oh, gampang saja kau
menuduh. Buat apa orang tuaku dulu membayar uang sekolah supaya
aku sekarang pandai membaca koran?
MIRA: Patut!
SI BAJU PUTIH: Patut apa?
MIRA: Patut kau biadab, sebab kau masih percaya koran!
SI BAJU PUTIH: Lho. . . ?
SI BAJU BIRU: (Seraya memandang ke kanan) Sudah, sudah, jangan bicara. .
.Itu Tuan yang menyebut kita badut-badut menuju ke sini.
(SI BAJU BIRU pura-pura minum. SI BAJU PUTIH pun pura-pura minum.
Lama dulu sebelum AWAL yang berbadan kurus itu tampil lagi dari
kanan dengan langkah lesu terhuyung-huyung. Sampai di depan kedai,
ia tidak terus mendekati bangku. MIRA, yang duduk di belakang
dagangan, mengajak dia duduk.)
MIRA: Silakan duduk, Mas. . . .
(Setelah diajak duduk, baru si AWAL duduk di atas bangku, namun
dengan membelakangi dagangan.)
MIRA: (Kepada AWAL) Kopi, Mas?
AWAL: Ya.
MIRA: (Kepada IBU MIRA) Kopi untuk Tuan Awal, Bu!
IBU MIRA: Pakai susu, Den?
AWAL: Ya, pakai susu.
(Tiba-tiba setelah IBU MIRA menyodorkan gelas kopi susu ke dekat
AWAL, berkata SI BAJU BIRU diarahkan kepada MIRA.)
SI BAJU BIRU: Mira! Meskipun kau barusan mendustai aku, tapi jiwamu dan
duniamu bagiku tetap merupakan soal.
(AWAL yang duduk membelakangi dagangan mendadak tegak. Tegak
memandang SI BAJU BIRU. Tapi yang dipandang pura-pura tidak tahu
dipandang.)
SI BAJU BIRU: (Dengan suara nyaring, seraya menghadapkan muka kepada
MIRA) Kau bagiku bukan tukang kopi, Mira. Dan aku ingin bicara berdua
dengan kau. Jangan di tempatmu, sebab ada badut-badut! Karena itu. . .
.
AWAL: Sudah!
SI BAJU BIRU: Bicara kepada siapa, Bung?
AWAL: (Dengan dada naik turun) Kau bicara kepada siapa?
SI BAJU BIRU: Aku bicara pada Mira. Betul, tidak, Mira? Kutunggu engkau di
gardu, ya Mira?
(AWAL bangkit berdiri. Sebentar dia memandang MIRA. Kemudian
memandang SI BAJU BIRU.)
AWAL: Perlu apa kau mencampuri surat orang lain? Perlu apa?
SI BAJU PUTIH: He, Saudara marah kepada siapa?
AWAL: (Membalas dengan suara lengking gementar) Kau buat apa
mencampuri urusan orang lain?
SI BAJU PUTIH: Mencampuri apa? Gampang saja marah pada orang. Pakai
otak yang sehat, dong. Jangan gampang berkata. Dan gampang saja
menyebut badut segala macam pada orang lain.
AWAL: (Dengan tangan terkepal) Memang kau badut! Kau bukan manusia!

11
SI BAJU BIRU: (Langsung berdiri) Gila kau! Gampang saja menyebut bukan
manusia padaku.
(SI BAJU BIRU mengamangkan tinju. AWAL yang sudah mengepalkan
tangan tidak berkata lagi. Terus saja menyerbu, meninjukan kepalan
tangannya kepada SI BAJU BIRU. Tapi SI BAJU BIRU yang berbadan
besar-tinggi—jauh lebih besar dari badan AWAL—cepat menangkis dan
terus membalas dengan mengasih pukulan sengit. Sekali, dua kali, tiga
kali ia melepaskan pukulannya. Dan AWAL yang berbadan kurus itu pun
tak sanggup menahan serangan pembalasan. Jatuh ia, tersungkur ke
tanah.)
SI BAJU PUTIH: Terus hajar!
MIRA: (Berteriak memerintahkan) Sudah!
(SI BAJU BIRU tidak mengindahkan teriakan MIRA. Ia mengangkat kaki
akan menginjak badan AWAL.)
MIRA: Sudah! (Ia cepat mengambil gelas kopi susu SI BAJU BIRU dan
menyemburkan isi gelas ke badan SI BAJU BIRU.) Kau memang kurang
ajar! Ayo, enyah! (Dan tambahnya diarahkan kepada SI BAJU PUTIH)
Kau juga pergi! Lekas!
SI BAJU PUTIH: Lho?!
MIRA: (Berteriak) Pergi! Kalau tidak. . . .
(MIRA cepat mengambil gelas kopi susu SI BAJU PUTIH, terus beragak
akan menyemburkan isinya.)
SI BAJU PUTIH: Mira! Kau mengusir?
MIRA: Jangan banyak bicara ayo pergi!
SI BAJU PUTIH: Kami mungkin tidak akan ke sini lagi.
MIRA: Masa bodoh! Ayo pergi! Pergi!
SI BAJU BIRU: (Seraya menyepak badan AWAL dan sambungnya diarahkan
kepada kawannya) Gara-gara ini, nih! Biar kita pergi saja, mari!
(SI BAJU BIRU dan SI BAJU PUTIH terus berjalan ke arah kanan
dengan tak meninggalkan lagi sepatah kata. Sepeninggal kedua laki-laki
itu, MIRA bicara kepada ibunya yang kecemasan.)
MIRA: Bangunkan dia, Bu.
(IBU MIRA tak membantah lagi; ia memasuki pintu ke dalam rumah, tak
lama kemudian keluar dari pintu di samping rumah, ada di luar ruangan
kedai, terus mendapatkan AWAL yang terlena di tanah.)
IBU MIRA: (Seraya menggoncang-goncang badan AWAL) Den. . .Eling, Den. . .
(Tertatih-tatih AWAL yang berbadan kurus itu bangkit berdiri. Tapi
setelah berdiri, ia terus memandang MIRA yang duduk di belakang
dagangan. Memandang dengan pandangan ngeri.)
AWAL: Sampai hati kau membiarkan aku dihina orang di hadapanmu?
(Lantaran MIRA yang duduk di belakang dagangan tidak menjawab,
berkata lagi ia dengan suara mengeras.) Kau kejam! Tak sedikit juga kau
merasakan perasaanku. Tak sedikit juga. Sudah cukup tadi
mempermainkan aku dengan mendusta, sekarang kau senang, ya,
melihat aku dihina orang setelah kepercayaanku kau rusakkan di depan
orang lain? (MIRA yang duduk di belakang dagangan tetap tidak
menjawab. Dan lantaran MIRA tidak menjawab, AWAL menghampiri
dia.) Mira! Kau senang melihat aku dipukuli orang? Melihat aku dihina

12
sambil tetap duduk di tempatmu? (Lantaran MIRA tidak menjawab lagi,
AWAL kian dekat menghampiri dia.) Mira! Untuk itukah kau menyuruh
aku datang di sini? Untuk merusak kepercayaanku? (Karena MIRA tidak
pula bersuara AWAL berteriak) Mira!
MIRA: Duduk, Mas, jangan bicara.
AWAL: Tidak! Aku ingin mendengar jawaban. Untuk apa kau permainkan aku,
mendustai aku, membikin aku dihina orang? Untuk apa?
(Lantaran MIRA yang duduk di belakang dagangan terdiam lagi dan tidak
mendengarkan suara, AWAL terus saja menjangkau leher MIRA dari
depan dagangan.)
AWAL: Kau rupanya senang, ya, melihat aku mati untukmu?
IBU MIRA: (Dengan cemas) Den, eling, Den. . . .
(AWAL tak mau melepaskan pegangan.)
AWAL: Kau senang membikin aku jadi korban kecantikanmu?
IBU MIRA: (Kebingungan, akhirnya melolong sekuat tenaga) To. . .tolong!
(Perlahan-lahan AWAL melepaskan cekikan. Tangannya gemetar.
Kemudian lesu ia menjatuhkan badan di atas bangku.)
AWAL: (Dengan suara berat sayup-sayup) Ya, di dalam aku gelisah, kau. . .kau
tetap tenang. . . .
(Pada saat IBU MIRA masuk lagi ke dalam ruangan kedai, datang
tergopoh-gopoh dua orang PEMUDA. Kedua-duanya berumur di bawah
20 tahun. Tergopoh-gopoh pula PEMUDA itu. Yang berjalan di muka
melahirkan pertanyaan.)
PEMUDA 1: Ada apa?
MIRA: Mengapa? Di sini tidak ada apa-apa.
PEMUDA 2: Lho? Tadi ada yang minta tolong.
MIRA: Tidak, tidak ada apa-apa. . . . (Dengan suara berlainan) Kalau mau
minum, silakan duduk.
(Kedua PEMUDA itu saling pandang.)
PEMUDA 1: (Kepada PEMUDA 2) Minum kita? (Setelah kawannya memberi
isyarat tak punya uang) Biar, lain kali saja.
(Kedua PEMUDA itu lalu mengayun kaki ke arah kiri. Tapi baru tiga
langkah, PEMUDA 1, yang berjalan di muka tadi, berhenti berjalan dan
menoleh lagi ke belakang.)
MIRA: Mengapa pula tidak? Silakan masuk!
PEMUDA 2: Lain kali saja kami datang lagi di sini.
(PEMUDA 2 terus mengajak kawannya berjalan meninggalkan kedai.
Setelah PEMUDA-PEMUDA itu tidak ada, AWAL yang duduk
membelakangi dagangan mulai bicara.)
AWAL: (Dengan suaranya yang berat) Mira, kau. . .kau memaafkan aku?
MIRA: Jangan bicara, Mas. Itu kopi susu dingin.
AWAL: Kau. . .kau larang aku bicara? Tapi orang lain kau beri hati supaya
bicara.
MIRA: Mereka pembeli dagangan, Mas. Dan antara kita tak ada yang mesti
dibicarakan.
AWAL: (Menegakkan kepala, memandang MIRA) Tak ada yang mesti
dibicarakan? Kau anggap di antara kita tak ada yang mesti dibicarakan?
MIRA: Antara kita tidak untuk dibicarakan. Tapi untuk dirasakan.

13
AWAL: (Seraya bangkit berdiri) Hm, jawabanmu jawaban manusia dewi, tapi
sampai mana kau merasakan perasaanku? Aku gelisah, kau tak mau
tahu. Aku sakit, kau tak acuh. Aku dihina, kau diam melihat. Tidak! Kau
tidak merasakan perasaanku. Kau menutup hatimu.
MIRA: Mas, pintu hati hanya dapat dibuka oleh hati. Dan hati saya sudah
terbuka.
AWAL: Terbuka untuk mempermainkan hatiku.
MIRA: Itu menurut rasamu. Menurut rasaku, aku tidak mempermainkan.
AWAL: Kau tak merasakan rasaku!
MIRA: Itu menurut rasamu.
(Duduk lagi AWAL yang berdiri itu. Duduk dengan kepala tertunduk.)
AWAL: (Dengan suara seperti bicara pada diri sendiri) Hm ya, soal antara kita
ialah kau bukan aku dan aku bukan kau. Tapi salahkah aku, kalau aku
mau merasakan kau jadi aku?
MIRA: Itu kopi susu dingin, Mas.
AWAL: (Seraya tegak) Biar! Aku mesti bicara padamu. Selama kau bukan aku,
aku mesti bicara padamu—bicara sampai kita tak ada soal.
MIRA: Antara kita sudah tak ada soal. Apa pula yang mesti dipersoalkan?
AWAL: Kau belum menenteramkan hatiku.
MIRA: Itu menurut hatimu.
AWAL: Kau belum memberi ketegasan!
MIRA: Itu menurut pendapatmu. Bagiku semuanya sudah tegas.
(Dari kanan datang seorang LAKI-LAKI TUA, berumur lebih kurang 58
tahun, berbaju kampret dan bersarung palekat. Dan melihat kedatangan
orang tua itu, MIRA yang duduk di belakang dagangan menjadi
gembira.)
MIRA: Ah, Bapak! Silakan duduk.
LAKI-LAKI TUA: Sepi sekali malam ini, Mira
MIRA: Orang rupanya sudah pada bosan datang di sini.
LAKI-LAKI TUA: (Seraya duduk di atas bangku) Masak bosan? Siapa pula
bosan datang di sini? (Sambungnya dengan muka dihadapkan kepada
AWAL) Bukan bosan, tapi sudah bulan tua, ya anak muda?
MIRA: Kopi, Pak?
LAKI-LAKI TUA: (Dengan cepat menjawab) Jangan, jangan. . .teh pahit saja.
Kalau minum kopi, nanti bisa tak tidur. Dan jika di rumah tidak bisa tidur,
berat.
MIRA: Mengapa berat?
LAKI-LAKI TUA: Kalau rumah yang kudiami sekarang sebesar rumahku
sebelum peperangan dulu, tak apa aku membuka mata di rumah pada
malam hari, sebab pemandangan tak sempit. Tapi rumahku sekarang,
hm, namanya saja sudah bukan rumah, hanya cukup untuk tidur.
IBU MIRA: Tapi di zaman sekarang ini sudah umum begitu (kata IBU MIRA
seraya menyodorkan gelas teh pahit.)
LAKI-LAKI TUA: Ya, siapa yang dulu rumahnya gedung, sekarang belum tentu
bisa diam lagi dalam gedung. Dan di atas runtuhan gedung—seperti
rumahmu ini, Mira—hanya bisa didirikan rumah bambu. Tapi
bagaimanapun juga, dengan adanya kedai kopimu di sini, engkau
membuat jasa banyak.

14
MIRA: Mengapa?
LAKI-LAKI TUA: Orang-orang yang merasa tak betah diam di rumah itu, di
malam hari terpaksa keluar rumah. Dan di sini bisa duduk-duduk sambil
bicara-bicara melupakan keruwetan. (Kepada AWAL) Betul, tidak, Anak
Muda?
(AWAL tegak, memandang kepada LAKI-LAKI TUA.)
AWAL: Tidak. Tidak betul.
LAKI-LAKI TUA: Lho, apa tidak betulnya?
AWAL: Bapak seperti orang banyak, datang di sini untuk melupakan
keruwetan?
LAKI-LAKI TUA: Ya, begitulah.
AWAL: Jadi Bapak ini seorang badut?
LAKI-LAKI TUA: Badut?
AWAL: Ya, badut. Tukang omong kosong. Bukan manusia.
LAKI-LAKI TUA: Bapak. . .Bapak kurang mengerti.
AWAL: Tentu saja tak akan mengerti. Kalau mengerti, tak akan saya sebut
badut. Tapi orang semacam bapak ini, di zaman sekarang ini banyak.
Kalau mereka bicara, asal saja berbunyi. Di sini, di kedai kopi bicara
mereka asal saja menimbulkan rasa suka sebentar bagi dirinya sendiri
dan bagi yang dibawa bicara. Tapi orang yang bukan badut, tentu akan
menganggap Mira bukan sebagai pengusir keruwetan.
LAKI-LAKI TUA: Jadi—jadi bagaimana mestinya kita menganggap Mira?
AWAL: Itu terserah.
(LAKI-LAKI TUA terdiam sebentar.)
LAKI-LAKI TUA: (Setelah menghirup teh pahit sereguk) Bapak ini sudah tua,
Anak Muda, sudah banyak mengalami pertukaran zaman. Dan menurut
pengalaman Bapak, bagaimanapun juga keadaan zaman, tapi akhir-
akhirnya dalam hal menempatkan perempuan bagi laki-laki tak ada yang
lebih sempurna seperti di zaman kebesaran Nabi Muhammad.
AWAL: (Tiba-tiba berdiri seraya katanya) Zaman kebesaran Nabi Muhammad!
Hh, enak saja bicara, seperti pernah hidup di zaman itu. Justru
perkataan semacam itulah yang mesti diberantas, perkataan asal
dikatakan, Pak! Dengan omongan Bapak itu kian jelas bahwa Bapak
seorang badut, berarti tak ada gunanya bicara dengan saya! (Langsung
melangkah, berjalan ke arah kiri)
(Sejurus lamanya LAKI-LAKI TUA terdiam saja. Terdiam keheranan.)
LAKI-LAKI TUA: Siapa sih pemuda itu, Mira? Nampaknya dia pintar, tapi. . . .
MIRA: Hm, ya. . .Hanya saya yang tahu siapa dia.
LAKI-LAKI TUA: Dan kau permainkan dia!
MIRA: Siapa bilang?
LAKI-LAKI TUA: Sebenarnya aku tadi mendengar percakapan kamu berdua.
Dan aku bertanya-tanya apakah kamu sedang berkasih-kasihan atau
sedang bercakaran? Tapi yang sudah pasti, pemuda itu nampaknya
sudah kehilangan pegangan.
MIRA: Memang, dia sudah lama merindukan manusia.
LAKI-LAKI TUA: Merindukan manusia? Apa maksudmu?
MIRA: Di zaman sekarang ini, mana ada manusia. . .maksud saya, manusia
yang bisa dipercaya?

15
LAKI-LAKI TUA: Memang, Mira, sebagai orang tua, hidup di zaman setelah
peperangan sekarang ini aku pun sering bertanya-tanya: apakah dunia
sekarang sudah akan kiamat? Di mana-mana terjadi kekacauan, di
mana-mana terjadi penggedoran, perampokan, pembunuhan, seolah-
olah sudah tak ada lagi cinta di antara sesama manusia. Antara kita
saling curiga, sedang para pemimpin dunia pun pada berteriak
menganjurkan damai tapi sambil bersedia-sedia akan perang lagi. Ini
semuanya menimbulkan kegelisahan. Dan kegelisahan ini kurasakan
pula. Tapi bagaimanapun juga, sebagai orang tua aku masih ada
pegangan. Dan pegangan itu ialah pegangan kita bersama, yaitu
kepercayaan kepada Tuhan yang lebih berkuasa dari manusia. Akan
tetapi pemuda itu nampaknya sudah kehilangan pegangan sama sekali.
Dan itu sangat berbahaya.
MIRA: Tapi dia masih ada pegangan.
LAKI-LAKI TUA: Apa?
MIRA: Dia percaya pada saya.
LAKI-LAKI TUA: Tapi percaya padamu bukan berarti percaya kepada yang
seharusnya mesti dipercaya!
MIRA: Itu bagi Bapak, tapi bagi dia apa salahnya?
LAKI-LAKI TUA: Tapi. . .tapi kau permainkan dia?
MIRA: Siapa bilang?
LAKI-LAKI TUA: Kalau kau cinta padanya?
MIRA: Hm, apa cinta?
LAKI-LAKI TUA: (Setelah menghela nafas dan mereguk isi gelas sampai
habis) Kau ini memang orang aneh juga, Mira. Tapi ya, keanehanmu
sebenarnya tak usah kuanehkan lagi. Apa yang terjadi di depanmu
memang tak aneh. Tapi sudahlah! Aku tak akan lama mengganggu.
(Bangkit berdiri, menyerahkan uang)
MIRA: Mengganggu apa? Duduk-duduk dulu.
LAKI-LAKI TUA: Aku tak akan membiarkan pemuda itu terlalu lama menunggu
kesempatan untuk dapat bicara lagi dengan kau.
MIRA: Percaya Bapak, bahwa dia akan datang lagi di sini?
LAKI-LAKI TUA: Aku sudah tua, Mira. Dan meskipun aku bukan pemuda di
zaman sekarang, tapi aku pun pernah merasakan apa yang dirasakan
pemuda itu.
(Setelah LAKI-LAKI TUA pergi, MIRA menghitung uang.)
MIRA: (Seraya menghitung) Tak ada yang beres manusia yang datang di sini
ini. Kalau tidak goblok, menghina. Kalau tidak menghina, maunya
mengasih kursus. Semuanya bukan lagi manusia. Dan semuanya mesti
kita ladeni. Seperti pendapatan kita ini sama dengan gaji pembesar!
(IBU MIRA terdiam saja. Terdiam duduk mengantuk. Sekali. . .dua kali. .
.tiga kali ia menguap.)
IBU MIRA: Tadi siang aku tidak tidur, Mira. Akibatnya sekarang ngantuk.
MIRA: Kalau sudah mau tidur, tidurlah. Toh sekarang sudah malam, tak akan
datang lagi banyak tamu.
(Tidak berkata lagi IBU MIRA diam-diam memasuki pintu ke dalam rumah
dan terus tak muncul lagi. Lonceng di kejauhan terdengar berbunyi
sepuluh kali. Dan sebentar setelah itu terdengar suara lonceng yang

16
penghabisan, datang dari kiri AWAL dengan langkahnya yang terhuyung-
huyung seperti tadi. Dan seperti tadi saja, sesampai di depan kedai lama
dulu baru ia duduk di atas bangku. Duduk membelakangi dagangan.)
MIRA: Ganti kopi susunya, Mas?
AWAL: Biar, tak usah.
MIRA: Minumlah, supaya badan Mas segar.
AWAL: Hm. . .Kau merisaukan badanku, tapi rohaniku tak kau acuhkan.
MIRA: Sebab badan lebih nyata.
AWAL: Tapi hanya badut-badut yang matanya terbatas kepada jasmani.
MIRA: Maksud Mas, jasmani tidak penting?
AWAL: Datangku ke sini untuk mempersoalkan jiwa kita, Mira. Itulah soal kita.
MIRA: Tapi saya sudah bilang, antara kita sudah tak ada soal.
AWAL: Kau belum tahu keinginanku.
MIRA: Saya sudah tahu.
AWAL: Kalau sudah tahu, tentu kau sekarang mau meninggalkan kedai.
MIRA: Itu tak perlu. Lagi pula saya tak dapat meninggalkan kewajiban.
(Sebentar AWAL tegak memandang MIRA, menghela napas sekali,
kemudian menundukkan lagi kepala. Lama dulu sebelum ia
memperdengarkan lagi suara.)
AWAL: Mira, kau tahu bahwa selain dari kau, orang banyak itu bagiku tak ada
artinya.
MIRA: Saya tukang kopi, Mas.
AWAL: Tapi kau dan jiwamu lain dari yang lain. Kau berisi dan bukan tidak bisa
mengisi kekosongan orang lain.
MIRA: Sudah, Mas. Ini kedai kopi. Dan orang-orang menuju ke sini.
(Yang datang itu dua orang laki-laki: keduanya sebaya dengan AWAL,
datang dari sebelah kanan. Laki-laki yang berjalan di muka bercelana
pendek dan menjinjing kodak—si JURU POTRET. Dan yang seorang lagi,
seorang WARTAWAN, memakai kaca mata, tangannya memegang map
tempat surat-surat. Masih jauh mereka dari kedai, MIRA yang duduk di
belakang dagangan sudah menyambut mereka.)
MIRA: Selamat malam, Juru Potret!
JURU POTRET: Selamat malam, Mira.
MIRA: Bagaimana? Sudah selesai dengan potretku?
JURU POTRET: (Seraya duduk di atas bangku) Ini ada saya bawa. Tapi saya
perkenalkan dulu kawan saya ini. Dia wartawan.
(JURU POTRET menunjuk kepada kawannya. Si WARTAWAN itu
manggut pada MIRA)
MIRA: (Membalas manggut seraya berkata) Silakan duduk
WARTAWAN: Terima kasih.
(Si WARTAWAN terus duduk di samping kawannya. Si JURU POTRET
kemudian mengeluarkan potret dari kantung bajunya dan menyerahkan
potret itu pada MIRA.)
JURU POTRET: (Setelah MIRA melihat-lihat potret) Bagaimana? Puas kau
dengan potretmu?
MIRA: Hm, ya. . .Ini untukku?
JURU POTRET: Boleh kau simpan. Aku bikin banyak. Dan satu di antaranya
sudah diminta oleh kawan saya ini.

17
MIRA: Untuk apa?
WARTAWAN: Dalam minggu ini juga, mungkin nona akan melihat potret nona
itu dalam majalah yang saya pimpin.
MIRA: Apa saya sudah sepenting itu?
WARTAWAN: Mengapa tidak?
MIRA: Tapi saya lihat, koran-koran dan majalah-majalah di zaman sekarang
lebih mementingkan potret-potret orang resmi daripada misalnya potret
seorang rakyat biasa yang cacat badannya oleh kecelakaan, lebih
mementingkan potret pembesar-pembesar, opsir-opsir, pemimpin-
pemimpin politik yang diinterpiu…
AWAL: (Tiba-tiba menyela) Lebih mementingkan orang ngomong. Sekalipun
omongan mereka asal saja mengisi halaman koran.
(Si WARTAWAN memandang kepada AWAL. Demikian juga si JURU
POTRET.)
WARTAWAN: (Seraya menghadapkan lagi muka kepada MIRA) Dari itu,
majalah yang saya pimpin itu akan memuat potret Nona, potret rakyat
jelata.
MIRA: Tapi apa kepentingannya potret saya dimuat?
JURU POTRET: Oh! Belum kau sadar, Mira, bahwa kau cantik?
MIRA: Bahwa aku cantik, aku lebih tahu dari siapapun juga.
AWAL: Dan kau sudah tahu juga, Mira, bahwa jika seseorang di zaman
sekarang ini minta sesuatu padamu, itu adalah untuk kepentingan orang
itu. Untuk itulah potretmu akan dimuat dalam majalah.
(Lagi sekali si WARTAWAN menoleh kepada AWAL.)
WARTAWAN: Maaf Saudara, kita belum berkenalan.
AWAL: Dengan mendengar omongan Saudara, saya sudah mengenal jiwa
Saudara. Dan itu bagi saya sudah cukup, lebih dari cukup daripada
mengenal nama atau jabatan.
WARTAWAN: Saudara! Saya rasa di zaman sekarang ini sudah bukan
waktunya lagi menempatkan diri sebagai dewa; sudah bukan waktunya
lagi bicara dengan menggunakan kata-kata yang tidak mudah dipahami
orang.
AWAL: Siapa pula menempatkan diri sebagai dewa? Kalau perkataan saya
tidak dimengerti orang, bukan saya yang menempat diri sebagai dewa,
tapi orang itu yang mesti disesalkan jiwanya. Tapi di masyarakat kita
sekarang, orang-orang yang kering dan dangkal jiwanya itu banyak.
Banyak sekali!
(Sebentar WARTAWAN memandang kepada kawannya. Dan jika si JURU
POTRET sudah membalas memandang kepadanya, berkata lagi ia
kepada MIRA.)
WARTAWAN: Bagaimana, Nona? Setuju, kalau potrer Nona dimuat dalam
majalah saya?
MIRA: Berapa akan saya dibayar?
JURU POTRET: Lho! Bukan kau mesti minta dibayar, Mira, tapi kau mesti
berterima kasih.
WARTAWAN: Tapi dimisalkan saya mesti membayar, berapa Nona minta?
MIRA: Seribu rupiah.

18
WARTAWAN: (Tertawa) Nona, di mana di dunia ini ada majalah yang pernah
membayar seribu rupiah untuk pemasangan sebuah potret? bahkan
bintang-bintang filem yang sudah masyhur, banyak yang menyerahkan
potretnya kepada majalah dengan begitu saja.
MIRA: Tapi saya bukan bintang filem. Dan tak mau disamakan dengan bintang
filem.
JURU POTRET: (Menyela) Dari itu. . . .
MIRA: Dari itu saya minta dibayar mahal!
WARTAWAN: Begini saja, Nona, harap nona tahu bahwa majalah yang saya
pimpin ini majalah kepunyaan bangsa sendiri. Kalau Nona sudah sadar
atas panggilan zaman dan insyaf atas kewajiban sebagai bangsa, apa
salahnya kita bekerja bersama-sama untuk bangsa dan untuk tanah air
yang kita cintai…
AWAL: (Seraya bangkit berdiri) Bekerja bersama-sama! Tanah air yang kita
cintai! Ayo! Apa lagi? Mengapa tidak dikatakan pula bahwa tanah air itu
indah dan molek? Biar lebih enak dikatakannya!
WARTAWAN: Saya tidak bicara pada Saudara.
AWAL: (Dengan dada naik-turun) Atas nama Mira saya minta supaya Saudara
bicara yang benar, bicara secara manusia, jangan asal berbunyi.
WARTAWAN: Betul di sini kedai kopi. Tapi lihat! Orang yang duduk di belakang
dagangan itu manusia. Manusia! Bukan boneka atau keranjang sampah
yang boleh dilempari kata-kata asal dikatakan.
AWAL: Siapa pula yang menyamakan Nona ini dengan keranjang sampah?
WARTAWAN: Siapa pula? Hh, bahwa omongan sendiri keluar dari jiwa yang
picik sudah tidak disadari! Sangkamu apa yang kau katakan tadi itu tidak
merupakan omong kosong bagi pihak yang mendengar? Sangkamu orang
yang kau ajak bicara itu mempunyai dunia yang sama dengan duniamu. .
.duniamu yang sempit picik, asal ngomong?
(Sekali lagi si WARTAWAN memandang kepada JURU POTRET. Sekali
ini, setelah kawannya balas memandang kepadanya, terus saja ia bangkit
berdiri.)
WARTAWAN: Nona, biar lain kali saja saya datang lagi.
MIRA: Tidak akan minum dulu?
WARTAWAN: Biar, terima kasih.
(Si WARTAWAN terus berisyarat kepada JURU POTRET mengajak pergi
meninggalkan kedai. Kawannya bangkit berdiri dan mengiringkan dia
pergi.)
JURU POTRET: (Kepada MIRA, seraya berjalan ke arah kanan) Selamat
malam, sampai ketemu lagi, Mira.
MIRA: Selamat malam.
AWAL: (Setelah tinggal berdua) Hmm, badut-badut melulu yang datang di sini.
MIRA: Dari itu. . .Mas lebih baik tinggal diam di rumah. Di sini kedai kopi.
AWAL: Tapi selama kau tak dapat kubawa, aku tak akan pergi.
MIRA: Itu menyiksa diri sendiri, nanti Mas kedinginan.
AWAL: Apa arti diri sendiri, jika ada diri lain tempat menyerahkan
kepercayaan?
MIRA: Tapi di zaman sekarang, Mas, kita mesti percaya diri sendiri, jagan
percaya orang lain.

19
AWAL: Mira! Masyarakat kita sekarang banyak badutnya adalah karena orang
tak mau menyerahkan kepercayaan pada orang lain. Tapi aku, selama
perempuan dilahirkan ke dunia untuk jadi kawan hidup laki-laki, selama itu
aku harus dan mesti menyerahkan kepercayaan pada orang lain yang
akan kujadikan kawan hidupku. Dan bagiku sekarang sudah jelas, bahwa
kau dengan duniamu yang tidak sempit adalah manusia yang kucari-cari
selama ini.
MIRA: Saya tukang kopi, Mas!
AWAL: Kau dengan jiwamu yang penuh berisi kehidupan adalah paduan dari
keindahan surga yang kuimpikan dan kepahitan dunia yang kurasakan.
Kaulah ujud wanita utama.
MIRA: Hm, kau memuji! Tapi siapa mau percaya bahwa di dunia sekarang ini
ada manusia yang lebih mencintai orang lain daripada mencintai diri
sendiri?
AWAL: Siapa pula yang percaya? Engkau tidak. Aku pun tidak. Tapi untukmu,
aku akan mencoba.
MIRA: Tapi sekarang Mas lebih baik pulang. Ibu saya sudah tidur. Dan
sebentar lagi kedai ini akan ditutup.
AWAL: Kalau kedai ditutup, kau akan kubawa. Dan kalau kau tak dapat
dibawa, aku akan ikut ditutup di dalam kedai.
MIRA: Itu tidak bisa jadi.
AWAL: Kalau begitu, kedai ini jangan ditutup!
MIRA: Jadi Mas akan menyiksa orang lain? Menyiksa saya? Itukah percobaan
Mas di dalam hendak menunjukkan bahwa Mas lebih mencintai orang lain
daripada mencintai diri sendiri? (AWAL berdiam tidak menjawan) Itukah
tandanya Mas cinta? Tandanya Mas berlainan dari orang lain yang Mas
sendiri namakan badut? (Dengan suara lebih tegas karena AWAL tidak
juga menyahut) Saya tahu, Mas, saya tahu bahwa perkataan yang akan
saya katakan ini bagimu tajam, lebih tajam daripada diam saya selama ini.
Tapi saya terpaksa mengatakannya. Tidak lain supaya Mas tahu
bagaimana anggapan saya terhadap Mas. (MIRA memandang lagi
kepada AWAL. Dan jika AWAL yang dipandang tetap terdiam tidak
bergerak-gerak, berkata lagi ia dengan suara tetap) Mas, apa yang kau
lakukan selama ini di hadapanku bagiku lebih membadut daripada
kelakuan orang-orang yang kau sendiri namakan badut. Kau mencela jiwa
orang lain, tapi kau sendiri merangkak-rangkak di bawah kaki mereka.
Kau badut besar. Akibat peperangan kau sudah kehilangan pegangan,
kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Padahal di zaman setelah
peperangan sekarang, bagi kita tidak ada yang mesti dipercaya selain diri
sendiri. Tidak ada. Sungguh tidak ada!
(AWAL masih saja terdiam tidak bergerak-gerak. Tapi tiba-tiba ia
tersenyum, tersenyum pahit.)
AWAL: Kalau itu yang kau katakan, keindahan surga yang kuimpikan tinggal
tetap impian, dan kau bagiku adalah kepahitan dunia belaka. (Terus
bangkit berdiri seraya katanya lagi) Selamat tinggal, Mira!
MIRA: Mengapa selamat tinggal?
AWAL: Aku tak akan datang lagi ke hadapanmu. Dan tidak ke hadapan siapa
pun juga.

20
MIRA: Hm, kamu mau bunuh diri! Mengapa kau tidak berani membunuh aku?
AWAL: Sebab aku manusia, dan bukan badut! (Terus melangkah)
MIRA: (Cepat menyusul) Aku belum habis bicara.
AWAL: Sudah, Mira! Kita sudah kebanyakan bicara, sudah kebanyakan
menghambur-hamburkan kata. Dan bagiku sudah jelas: selama kau bukan
aku, tak mungkin kau mengerti aku: selama duniamu bukan duniaku, tak
mungkin kau mengetahui apa yang tersimpan di lubuk hatiku. Tadinya aku
percaya bahwa di dalam aku merasakan ketandusan zaman sekarang, di
dalam aku melihat orang-orang sudah pada membadut, sudah pada
merupakan runtuhan-runtuhan belaka sebagai akibat peperangan, aku
akan masih menjumpai cinta dalam hatimu. Cinta manusia, yang
merasakan perasaan yang dicintai. Tapi cinta semacam itu ternyata tidak
ada dalam hati siapapun juga. Tidak ada di dalam hati manusia di zaman
sekarang. Juga tidak di dalam hatimu!
MIRA: Kalau kau bunuh diri, aku pun bunuh diri!
(AWAL berhenti lagi berjalan.)
AWAL: (Seraya menoleh) Mengapa?
MIRA: Aku cinta padamu…(Dan tambahnya seraya menyapu-nyapu mata)
Cinta dengan segenap jiwa rohaniku. (Lantaran AWAL tidak menjawab,
ditambahkannya lagi dengan suara tegas) Aku cinta padamu. Tapi aku
tidak percaya cintamu padaku akan melebihi cintamu pada dirimu sendiri.
Tidak! Aku tidak percaya! Tidak percaya!
(AWAL yang akan meninggalkan kedai jadi bimbang. Tapi akhirnya ia
menghampiri lagi.)
AWAL: Jadi kau masih juga menuduhku badut? Menuduh aku sama dengan
orang banyak yang suka omong kosong di hadapanmu?
MIRA: Kalau kau cinta padaku, bunuh aku! Bunuh dengan segenap cintamu.
AWAL: Gila kau! Aku cinta padamu karena ada cita-cita, karena menginginkan
hidup bersama.
MIRA: Tidak! Kau dan aku mesti mati. Mati bersama. Sebab aku tidak percaya
kau dan aku bisa hidup bersama. Aku tidak percya cintamu padaku akan
melebihi cintamu pada dirimu sendiri.
(AWAL terdiam. Bingung.)
AWAL: (Tiba-tiba dengan suara menurun) Mira, mari kita tinggalkan kedai ini.
Kita bicara di alam luas, di bawah cahaya bintang.
MIRA: Bicara di bawah cahaya bintang memang nikmat. . . .
AWAL: Ya, mari kita pergi.
MIRA: Tapi saya tak dapat meninggalkan kewajiban sebagai tukang kopi.
(Mendadak tegak lagi AWAL yang sudah mengendurkan suara itu. Tegak
dengan tangan terkepal.)
AWAL: (Dengan suara mengeras) Mira! Mengapa kau terikat benar oleh
kedaimu ini? Mesti kuhancurkan kedai ini untuk membuktikan bahwa kau
bagiku bukan tukang kopi?
MIRA: Mas, jangan mencoba pula hendak menimbulkan kepercayaan dalam
hatiku dengan mengatakan yang bukan-bukan. Kedaiku ini duniaku. Dan
kedaiku ini kuat. Sedangkan tenaga jasmanimu lemah.
AWAL: Katakanlah, Mira, bahwa kau mau kubawa hanya jika kedai ini
kubongkar!

21
MIRA: Kau tak akan mempunyai tenaga sampai ke sana. Dan jika kau
mengatakan sanggup membawa aku dari sini dengan membongkar kedai
ini, itu hanya omong kosong belaka. Omong kosong seperti orang banyak.
AWAL: Bilanglah tidak percaya!
MIRA: Bagaimana saya mesti percaya, kalau bagi saya di dunia sekarang ini
sudah tidak ada lagi yang mesti dipercaya?
(AWAL tidak membalas lagi. Tangannya yang sudah dikepalkan terus saja
dijangkaukan kepada meja dan rak dagangan yang menghalangi dia dan
MIRA. Kemudian meja dan rak dagangan itu digoncang-goncang,
direnggut-renggut dan diangkat-angkat. Dan barang-barang dagangan
pun berjatuhan.)
MIRA: Sudah, Mas. . .Kau kemasukan.
(Tapi AWAL terus merenggut-renggut meja dan rak dagangan. Terus
mengeluarkan tenaga. Dan terus mengeluarkan tenaga. Dan napasnya
megap-megap. Keringat keluar.)
MIRA: (Sambil menyapu-nyapu matanya) Sudah, Mas, sudah. . .Kau capek.
(Tapi AWAL seperti tidak mendengar. Ia terus mengeluarkan tenaga.
Terus berusaha membongkar meja dan rak dagangan. Akhirnya meja dan
rak dagangan itu pun terbongkar. Tapi AWAL jatuh. Tangannya berdarah.
Dan jika dia bangkit lagi, sempoyongan ia berdiri. Dan napasnya pendek-
pendek.)
AWAL: (Terengah-engah) Ma. . .mari, Mira. . .Ke. . .keluar!
(MIRA bangkit berdiri, terus berjalan ke luar kedai, mendapatkan AWAL.
Berjalan dengan menggunakan kruk pada kedua ketiaknya. Dan melihat
itu, AWAL yang sudah bernapas pendek-pendek itu mundur. Tangannya
yang berdarah meraba kepalanya. Matanya yang berkeringat dikedip-
kedipkan.)
AWAL: (Hampir tidak kedengaran) Oh. . . .
(AWAL mundur lagi, mundur dengan langkah sempoyongan akan jatuh.)
MIRA: (Seraya menyapu-nyapu air mata di pipi) Ya, Mas, inilah kenyataanku.
Kakiku dua-duanya buntung. Buntung karena peperangan. Tapi lantaran
inilah, Mas, lantaran ke atas aku cantik dan ke bawah aku cacat, aku
bagimu merupakan paduan dari keindahan surga yang kau impikan dan
kepahitan dunia yang kau rasakan. . .merupakan wanita utama. Tapi
sekarang. . . .
(AWAL yang berbadan kurus itu mundur lagi. Dan mundur lagi.
Tangannya yang gemetar berdarah diacuhkan. Mulutnya menganga.)
AWAL: (Hampir tak kedengaran) Mi… (Tiba-tiba memekik) Mi…Miraaaaaaaaa!
(Langsung jatuh telungkup)
(MIRA segera mendapatkan. Badan AWAL yang kurus itu dirangkulnya.)
MIRA: (Seraya mengisak) Aku tahu, Mas…Aku tahu bahwa kau tak akan dapat
mencapai cita-citamu. Tapi kau bagiku, Mas…Kau bagiku adalah satu-
satunya manusia yang mesti kumuliakan. Kau dengan kejujuranmu sudah
menumbuhkan cinta dan menimbulkan kepercayaan baru salam hatiku.
(Dan setelah itu, di depan kedai kopi yang sudah rusak berantakan itu pun
sunyi. Yang kedengaran hanya isakan MIRA.)

Tamat

22
Sumber: Antologi Drama Indonesia: Jilid 3: 1946-1968 (Jakarta: Amanah
Lontar, 2006), 29-52.

23

Anda mungkin juga menyukai