Karya:
Utuy Tatang Sontani
BABAK 1
Peristiwa ini terjadi pada suatu malam dalam tahun 1951 di depan kedai kopi
kepunyaan seorang perempuan cantik bernama MIRA.
Yang dimaksud dengan kedai kopi kepunyaan MIRA itu sebenarnya
serambi muka dari rumah MIRA yang dibangun jadi kedai kopi. Dan rumah MIRA
itu rumah bambu, kecil tapi masih baru, letaknya menghadap ke jalan, didirikan
di atas bekas runtuhan rumah batu yang hancur oleh peperangan, terpencil
jauh dari keramaian.
Entah kapan rumah itu didirikan di sana, entah mulai kapan pula serambi
muka rumah itu dibangun jadi kedai kopi. Tapi yang sudah pasti, kedai kopi
MIRA itu seperti juga kehadiran kedai-kedai kopi yang lain, selain dialati oleh
perabotan-perabotan yang bersangkutan dengan keperluan penjualan kopi, di
sana juga ada disediakan barang-barang dagangan yang sudah biasa dijual di
kedai kopi. Ada kue-kue, ada limun, ada sigaret, geretan, dan sebagainya. Dan
seperti juga kedai-kedai kopi yang lain, di depan kedai kopi MIRA itu pun ada
bangku panjang tempat duduk para pembeli, dan antara ruangan kedai dan
bangku panjang itu teralang oleh meja dan rak dagangan setinggi dada, dan
tidak ada pintu.
Malam itu pukul 9 lebih.
MIRA yang cantik asyik menyulam di belakang dagangan, di bawah
lampu listrik, hanya kelihatan dari dada ke atas.
IBU MIRA, seorang perempuan sudah berusia lanjut, ada di luar ruangan
kedai, asyik mengatur-ngatur penempatan dagangan. Dan di depan kedai, di
atas bangku duduk seorang LAKI-LAKI MUDA, menghadapi gelas kopi di atas
meja.
MIRA: Sudah! Jangan membicarakan dia. Toh semua komentarmu tidak benar!
SI BAJU BIRU: Lho engkau ada, Mira? Hampir saja aku percaya bahwa kau pergi ke
toko
SI BAJU PUTIH: aduh Kasihan, sungguh kasihan dengan pemuda yang sial itu.
MIRA: (Seraya duduk lagi di belakang dagangan) Aku bilang jangan
membicarakan dia.
SI BAJU BIRU: Katakanlah, Mira, bahwa bagimu kami lebih berarti daripada pemuda
itu.
MIRA: Apa yang lebih berarti? Kalian datang ke sini untuk membeli dagangan yang
kujual. Dan itu mesti kuladeni. Tapi pemuda itu. . . .
SI BAJU PUTIH: Pemuda itu bagaimana?
MIRA: Itu urusan aku dan dia. Kalian jangan turut campur. Kalau mau minum, lekas
katakan! Kopi pahit, manis, atau pakai susu?
(SI BAJU BIRU yang sudah ringan berkata jadi ringan tertawa.)
SI BAJU BIRU: Dengar bagaimana gagahnya kekasih kita ini berkata! Dan inilah yang
menyenangkan kita duduk di sini, bukan? Sampai larut malam, senang kita
nongkrong di sini.
MIRA: Lekas katakan! Kopi pahit? Manis? Atau pakai susu?
SI BAJU PUTIH: (Seraya tertawa) Oh! Dia menyerang terus.
SI PEREMPUAN: Ayoh!
(SI LAKI-LAKI yang diperintah menurut dan mempercepat langkah. Tapi SI
PEREMPUAN terus melihat MIRA, dan setelah lama melihat terus
meludah.)
MIRA: (Berteriak) Heh! Apa arti ludah itu? Takut suamimu direbut?
SI PEREMPUAN: (Meludah lagi kemudian menyahut) Memangnya?! (Cepat
berjalan menjauh)
MIRA: (Berteriak lagi) Pengecut! (Terus menyemburkan air dan tambahnya lagi
setelah ternyata semburan itu tak berhasil) Mengapa kau tak protes kepada
moyangmu yang melahirkan kau tidak lebih cantik dari aku?
(SI BAJU PUTIH tegang tercengang, tapi SI BAJU BIRU enak tertawa)
SI BAJU BIRU: Engkau juga pengecut Mira! Mengapa perempuan itu tidak kau kejar?
MIRA: Hm. . . ! Memangnya mesti meributkan laki-laki begitu macam?
SI BAJU PUTIH: Ada-ada saja Mira ini... Untung saja kita belum kawin.
MIRA: Memangnya kau mengatakan masih bujang? Hh, bujang?
SI BAJU BIRU: (Tertawa) Kau tak percaya, Mira, bahwa kami belum kawin?
MIRA: Apa percaya? Mesti aku percaya kepada omongan orang yang ngomong lantaran
ada aku?
SI BAJU PUTIH: Apa, Mira? Apa maksud perkataanmu?
MIRA: Kalau tidak mengerti, sudah! Jangan bertanya lagi. Jangan bicara lagi.
Lebih baik minum kopi. Itu lebih aman!
(SI BAJU PUTIH nyengir dan SI BAJU BIRU yang tertawa mengeraskan
tawanya) SI BAJU BIRU: Ya, ya, terkadang kita mesti mengaku bahwa
sebagai tukang kopi Mira terlalu pintar. Payah kita bicara dengan dia. Tempat
Mira mestinya di sana, di. . . .
SI BAJU PUTIH: (Menyela) di kantor advokat!
SI BAJU BIRU: (Membantah) Bukan di kantor advokat?
MIRA: Hm, kau menghina aku!
SI BAJU PUTIH: Dunia ini memang tidak beres! Kita yang capek, orang lain yang
merasakan kesenangannya.
MIRA: (Cepat membalas) Dari itu, aku lebih senang jadi tukang kopi, sebab dari
belakang dagangan ini aku dapat melihat orang-orang yang tidak beres
rohaninya seperti kalian!
SI BAJU PUTIH: Kami tidak beres?
MIRA: Lantas? Kalau rohanimu beres, buat apa kau meluapkan rasa dongkolmu
terhadap keadaan sekarang di hadapanku? Toh di sini kedai kopi , Dagangan itu
kusediakan untuk dibeli!
(Tertawa lagi SI BAJU BIRU dan SI BAJU PUTIH pun ikut tertawa.)
SI BAJU PUTIH: (Kepada SI BAJU BIRU) Bagaimana kalau kita borong semua yang
ada di sini?
(Dari kanan datang seorang ANAK LAKI-LAKI kira-kira berumur 13 tahun.
Langkahnya tegas. Ucapannya diarahkan kepada MIRA.)
ANAK LAKI-LAKI: (Tegas bunyinya) Nona Mira?
MIRA: Benar.
ANAK LAKI-LAKI: (Seraya mengunjukkan secarik kertas) Ini surat.
MIRA: Dari siapa?
ANAK LAKI-LAKI: Dari Tuan yang tadi datang di sini.
MIRA: Di mana dia sekarang?
ANAK-LAKI-LAKI: Di sana, menunggu di gardu.
(MIRA tak bertanya-tanya lagi. Secarik kertas yang diunjukkan ANAK LAKI-
LAKI itu diterimanya. Terus dibaca tulisannya.)
SI BAJU BIRU: (Kepada ANAK LAKI-LAKI) Disuruh oleh Tuan yang badannya
kurus, rambutnya gondrong?
ANAK LAKI-LAKI: Benar.
SI BAJU BIRU: Celaka tiga belas! (Seraya tertawa) Bohongnya ketahuan juga!
AWAL: (Dengan angan terkepal) Memang kau badut! Kau bukan manusia
SI BAJU BIRU: (Langsung berdiri) Gila kau! Gampang saja menyebut bukan manusia
padaku.
(SI BAJU BIRU mengamangkan tinju. AWAL yang sudah mengepalkan
tangan tidak berkata lagi. Terus saja menyerbu, meninjukan kepalan
tangannya kepada SI BAJU BIRU. Tapi SI BAJU BIRU yang berbadan besar-
tinggi—jauh lebih besar dari badan AWAL—cepat menangkis dan terus
membalas dengan mengasih pukulan sengit. Sekali, dua kali, tiga kali ia
melepaskan pukulannya. Dan AWAL yang berbadan kurus itu pun tak
sanggup menahan serangan pembalasan. Jatuh ia, tersungkur ke
tanah.)
SI BAJU PUTIH: Terus hajar!
MIRA: (Berteriak memerintahkan) Sudah!
(SI BAJU BIRU tidak mengindahkan teriakan MIRA. Ia mengangkat kaki
akan menginjak badan AWAL.)
MIRA: Sudah! (Ia cepat mengambil gelas kopi susu SI BAJU BIRU dan
menyemburkan isi gelas ke badan SI BAJU BIRU.) Kau memang kurang ajar!
Ayo, enyah! (Dan tambahnya diarahkan kepada SI BAJU PUTIH) Kau juga
pergi! Lekas!
SI BAJU PUTIH: Lho?!
MIRA: (Berteriak) Pergi! Kalau tidak. . . .
(MIRA cepat mengambil gelas kopi susu SI BAJU PUTIH, terus beragak
akan menyemburkan isinya.)
SI BAJU PUTIH: Mira! Kau mengusir?
MIRA: Jangan banyak bicara ayo pergi!
SI BAJU PUTIH: Kami mungkin tidak akan ke sini lagi.
MIRA: Masa bodoh! Ayo pergi! Pergi!
MIRA: Antara kita sudah tak ada soal. Apa pula yang mesti dipersoalkan?
AWAL: Kau belum menenteramkan hatiku.
MIRA: Itu menurut hatimu.
AWAL: Kau belum memberi ketegasan!
MIRA: Itu menurut pendapatmu. Bagiku semuanya sudah tegas.
(Dari kanan datang seorang LAKI-LAKI TUA, berumur lebih kurang 58
tahun, berbaju kampret dan bersarung palekat. Dan melihat kedatangan
orang tua itu, MIRA yang duduk di belakang dagangan menjadi gembira.)
MIRA: Ah, Bapak! Silakan duduk.
LAKI-LAKI TUA: Sepi sekali malam ini, Mira
MIRA: Orang rupanya sudah pada bosan datang di sini
LAKI-LAKI TUA: (Seraya duduk di atas bangku) Masak bosan? Siapa pula bosan
datang di sini? (Sambungnya dengan muka dihadapkan kepada AWAL) Bukan
bosan, tapi sudah bulan tua, ya anak muda?
MIRA: Kopi, Pak?
LAKI-LAKI TUA: (Dengan cepat menjawab) Jangan, jangan. . .teh pahit saja. Kalau
minum kopi, nanti bisa tak tidur. Dan jika di rumah tidak bisa tidur, berat.
MIRA: Mengapa berat?
LAKI-LAKI TUA: Kalau rumah yang kudiami sekarang sebesar rumahku sebelum
peperangan dulu, tak apa aku membuka mata di rumah pada malam hari, sebab
pemandangan tak sempit. Tapi rumahku sekarang, hm, namanya saja sudah
bukan rumah, hanya cukup untuk tidur.
IBU MIRA: Tapi di zaman sekarang ini sudah umum begitu (kata IBU MIRA
seraya menyodorkan gelas teh pahit.)
LAKI-LAKI TUA: Ya, siapa yang dulu rumahnya gedung, sekarang belum tentu bisa
diam lagi dalam gedung. Dan di atas runtuhan gedung—seperti rumahmu ini,
Mira—hanya bisa didirikan rumah bambu. Tapi bagaimanapun juga, dengan
adanya kedai kopimu di sini, engkau membuat jasa banyak.
MIRA: Mengapa?
LAKI-LAKI TUA: Orang-orang yang merasa tak betah diam di rumah itu, di malam
hari terpaksa keluar rumah. Dan di sini bisa duduk-duduk sambil bicara-bicara
melupakan keruwetan. (Kepada AWAL) Betul, tidak, Anak Muda?
(AWAL tegak, memandang kepada LAKI-LAKI TUA.)
AWAL: Tidak. Tidak betul.
LAKI-LAKI TUA: Lho, apa tidak betulnya?
AWAL: Bapak seperti orang banyak, datang di sini untuk melupakan keruwetan?
LAKI-LAKI TUA: Ya, begitulah. AWAL:
Jadi Bapak ini seorang badut? LAKI-
LAKI TUA: Badut?
AWAL: Ya, badut. Tukang omong kosong. Bukan manusia.
LAKI-LAKI TUA: Bapak. . .Bapak kurang mengerti.
AWAL: Tentu saja tak akan mengerti. Kalau mengerti, tak akan saya sebut badut.
orang yang bukan badut, tentu akan menganggap Mira bukan sebagai pengusir
keruwetan.
LAKI-LAKI TUA: Jadi—jadi bagaimana mestinya kita menganggap Mira?
AWAL: Itu terserah.
(LAKI-LAKI TUA terdiam sebentar.)
LAKI-LAKI TUA: (Setelah menghirup teh pahit sereguk) Bapak ini sudah tua,
sudah banyak mengalami pertukaran zaman. Dan menurut pengalaman Bapak,
bagaimanapun juga keadaan zaman, tapi akhir- akhirnya dalam hal
menempatkan perempuan bagi laki-laki tak ada yang lebih sempurna seperti di
zaman kebesaran Nabi Muhammad.
AWAL: (Tiba-tiba berdiri seraya katanya) Zaman kebesaran Nabi Muhammad! Hh,
enak saja bicara, seperti pernah hidup di zaman itu. Justru perkataan semacam
itulah yang mesti diberantas, perkataan asal dikatakan, Pak! Dengan omongan
Bapak itu kian jelas bahwa Bapak seorang badut, berarti tak ada gunanya bicara
dengan saya! (Langsung melangkah, berjalan ke arah kiri)
(Sejurus lamanya LAKI-LAKI TUA terdiam saja. Terdiam keheranan.)
LAKI-LAKI TUA: Siapa sih pemuda itu, Mira? Nampaknya dia pintar, tapi. . . .
MIRA: Hm, ya Hanya saya yang tahu siapa dia.
LAKI-LAKI TUA: Dan kau permainkan dia!
MIRA: Siapa bilang?
LAKI-LAKI TUA: Sebenarnya aku tadi mendengar percakapan kamu berdua. Dan aku
bertanya-tanya apakah kamu sedang berkasih-kasihan atau sedang bercakaran?
Tapi yang sudah pasti, pemuda itu nampaknya sudah kehilangan pegangan.
MIRA: Memang, dia sudah lama merindukan manusia.
LAKI-LAKI TUA: Merindukan manusia? Apa maksudmu?
MIRA: Di zaman sekarang ini, mana ada manusia. . .maksud saya, manusia yang bisa
dipercaya?
LAKI-LAKI TUA: Memang, Mira, sebagai orang tua, hidup di zaman setelah
peperangan sekarang ini aku pun sering bertanya-tanya: apakah dunia sekarang
sudah akan kiamat? Di mana-mana terjadi kekacauan, di mana-mana terjadi
penggedoran, perampokan, pembunuhan, seolah- olah sudah tak ada lagi cinta di
antara sesama manusia. Tapi bagaimanapun juga, sebagai orang tua aku masih
ada pegangan. Dan pegangan itu ialah pegangan kita bersama, yaitu kepercayaan
kepada Tuhan yang lebih berkuasa dari manusia. Akan tetapi pemuda itu
nampaknya sudah kehilangan pegangan sama sekali. Dan itu sangat berbahaya.
MIRA: Tapi dia masih ada pegangan.
LAKI-LAKI TUA: Apa?
MIRA: Dia percaya pada saya.
LAKI-LAKI TUA: Tapi percaya padamu bukan berarti percaya kepada yang seharusnya
mesti dipercaya!
MIRA: Itu bagi Bapak, tapi bagi dia apa salahnya?
LAKI-LAKI TUA: Tapi. . .tapi kau permainkan dia?
MIRA: Siapa bilang?
LAKI-LAKI TUA: Kalau kau cinta padanya?
MIRA: Hm, apa cinta?
LAKI-LAKI TUA: (Setelah menghela nafas dan mereguk isi gelas sampai
habis) Kau ini memang orang aneh juga, Mira. Tapi ya, keanehanmu sebenarnya
tak usah kuanehkan lagi. Apa yang terjadi di depanmu memang tak aneh. Tapi
sudahlah! Aku tak akan lama mengganggu. (Bangkit berdiri, menyerahkan
uang)
MIRA: Mengganggu apa? Duduk-duduk dulu.
LAKI-LAKI TUA: Aku tak akan membiarkan pemuda itu terlalu lama menunggu
kesempatan untuk dapat bicara lagi dengan kau.
(MIRA memandang lagi kepada AWAL. Dan jika AWAL yang dipandang tetap
terdiam tidak bergerak-gerak, berkata lagi ia dengan suara tetap). Akibat
peperangan kau sudah kehilangan pegangan, kehilangan kepercayaan pada diri
sendiri. Padahal di zaman setelah peperangan sekarang, bagi kita tidak ada yang
mesti dipercaya selain diri sendiri. Tidak ada
(AWAL masih saja terdiam tidak bergerak-gerak. Tapi tiba-tiba ia
tersenyum, tersenyum pahit.)
AWAL: Kalau itu yang kau katakan,(Terus bangkit berdiri seraya katanya lagi)
Selamat tinggal, Mira!
MIRA: Mengapa selamat tinggal?
AWAL: Aku tak akan datang lagi ke hadapanmu. Dan tidak ke hadapan siapapun juga
MIRA: Hm, kamu mau bunuh diri! Mengapa kau tidak berani membunuh aku?
MIRA: (Cepat menyusul) Aku belum habis bicara.
AWAL: Sudah, Mira! Kita sudah kebanyakan bicara,. Dan bagiku sudah jelas: selama
kau bukan aku, tak mungkin kau mengerti aku: selama duniamu bukan duniaku,
MIRA: Kalau kau bunuh diri, aku pun bunuh diri!
(AWAL berhenti lagi berjalan.)
AWAL: (Seraya menoleh) Mengapa?
MIRA: Aku cinta padamu…(Dan tambahnya seraya menyapu-nyapu mata) Tapi
aku tidak percaya cintamu padaku akan melebihi cintamu pada dirimu sendiri.
Tidak! Aku tidak percaya!
(AWAL yang akan meninggalkan kedai jadi bimbang. Tapi akhirnya ia
menghampiri lagi.) Kalau kau cinta padaku, bunuh aku! Bunuh dengan segenap
cintamu.
AWAL: Gila kau! Aku cinta padamu karena ada cita-cita, karena menginginkan hidup
bersama.
MIRA : Lihatlah diriku mas aku cacat, aku tidak sesempurna yg kmu kira ( setelah awal melihat
keadaan mira awal terkejut )
MIRA : ya mas inilah kenyataanku, kaki bunting karena peperangan. Lantaran keatas aku cantik
dan kebawah aku cacat, aku bagimu merupakan paduan dari keindahan surga yg kau impikan dan
kepahitan dunia yg kau rasakan.
AWAL : walaupun keadaanmu seperti itu aku akan menerimamu . aku sangat mencintaimu mira
dan aku tetap ingin kau menjadi pendamping hidupku. Maukah kau menjadi pendamping
hidupku?
MIRA : tentu mas aku ingin menjadi istrimu (akhirnya mereka merencanakan untuk menikah dan
hidup bahagia, namun sesuatu hal yg terduga terjadi paa mereka .)
( awal ditembak oleh dua orang pemuda yg mempunyai dendam dan rasa yg tak terbalaskan
kepada mira. Kemudian mira dibekap dan diculik oleh dua org tersebut )
Tamat