Anda di halaman 1dari 28

AWAL DAN MIRA

Drama Satu Babak

Karya:
Utuy Tatang Sontani

BABAK 1

Peristiwa ini terjadi pada suatu malam dalam tahun 1951 di depan kedai kopi
kepunyaan seorang perempuan cantik bernama MIRA.
Yang dimaksud dengan kedai kopi kepunyaan MIRA itu sebenarnya
serambi muka dari rumah MIRA yang dibangun jadi kedai kopi. Dan rumah MIRA
itu rumah bambu, kecil tapi masih baru, letaknya menghadap ke jalan, didirikan
di atas bekas runtuhan rumah batu yang hancur oleh peperangan, terpencil
jauh dari keramaian.
Entah kapan rumah itu didirikan di sana, entah mulai kapan pula serambi
muka rumah itu dibangun jadi kedai kopi. Tapi yang sudah pasti, kedai kopi
MIRA itu seperti juga kehadiran kedai-kedai kopi yang lain, selain dialati oleh
perabotan-perabotan yang bersangkutan dengan keperluan penjualan kopi, di
sana juga ada disediakan barang-barang dagangan yang sudah biasa dijual di
kedai kopi. Ada kue-kue, ada limun, ada sigaret, geretan, dan sebagainya. Dan
seperti juga kedai-kedai kopi yang lain, di depan kedai kopi MIRA itu pun ada
bangku panjang tempat duduk para pembeli, dan antara ruangan kedai dan
bangku panjang itu teralang oleh meja dan rak dagangan setinggi dada, dan
tidak ada pintu.
Malam itu pukul 9 lebih.
MIRA yang cantik asyik menyulam di belakang dagangan, di bawah
lampu listrik, hanya kelihatan dari dada ke atas.
IBU MIRA, seorang perempuan sudah berusia lanjut, ada di luar ruangan
kedai, asyik mengatur-ngatur penempatan dagangan. Dan di depan kedai, di
atas bangku duduk seorang LAKI-LAKI MUDA, menghadapi gelas kopi di atas
meja.

LAKI-LAKI MUDA: (Menghabiskan kopinya seraya katanya) Berapa, Mira?


MIRA: Tiga Talen.
LAKI-LAKI MUDA: (Seraya menyerahkan uang) Kembali setalen.
(MIRA tak mengasih uang pengembalian. Setelah menerima uang dari
LAKI-LAKI MUDA itu, ia terdiam saja.)
LAKI-LAKI MUDA: (Kepada MIRA) Mana kembaliannya?
MIRA: lahh!
LAKI-LAKI MUDA: (Dengan heran) Lho? Setalen ya setalen.
MIRA: Tapi engkau terlalu lama duduk di sini, terlalu lama melihat wajahku.
LAKI-LAKI MUDA: Melihat wajahmu mesti bayar?
MIRA: Mengapa tidak? Memangnya istrimu di rumah cantik seperti aku? (LAKI-
LAKI MUDA itu kebingungan, tapi akhirnya ia bangkit berdiri)
LAKI-LAKI MUDA: (Seraya berdiri) Yah, apa boleh buat.
(Dengan tidak berkata lagi, LAKI-LAKI MUDA terus berjalan meninggalkan
kedai, pergi ke arah kanan.)
MIRA: (setelah LAKI-LAKI MUDA jauh berjalan) Laki-laki berabe! Setalen saja
dihitung!
IBU MIRA: Maklum sekarang sudah bulan tua, Mira. Sudah tiga malam berturut-turut
kita kekurangan pembeli. Rupanya orang sudah pada kehabisan duit. (Terus
melihat ke arah jauh sebelah kiri) pada sepii, ... Kulihat hanya ada seorang
laki-laki yang berjalan menuju sini. (Tiba-tiba terkejut dan bicara tergopoh-
gopoh) Mira! Orang itu sepertiny Den Awal.
MIRA: (Kepada IBUNYA seraya masuk ke dalam rumah) Katakan saja saya pergi ke
toko!
(Laki-laki yang bernama AWAL itu berumur antara 27 dan 30 tahun.
Badannya kurus, rambutnya gondrong tidak dipelihara. Dan ia datang ke
depan kedai dengan langkah lesu terhuyung-huyung. Berat bunyi
suaranya sewaktu bicara.)
AWAL: (Sewaktu sampai di depan IBU MIRA) Mira ada, Bu?
IBU MIRA: Ke toko, Den…Entah akan membeli apa.
AWAL: Sudah lama?
IBU MIRA: Lama juga.
(AWAL yang berbadan kurus itu lesu duduk di atas bangku. Duduk
membelakangi dagangan.)
AWAL: (Memperdengarkan lagi suaranya yang berat) Kapan anak Ibu itu berhenti
mempertahankan?
IBU MIRA: (Bingung) Mempertahankan. . .?
AWAL: Mau disebut apa lagi, kalau selama saya sakit, meskipun berkali-kali saya
mengirim surat ke sini minta supaya Mira sudi menengok saya ke rumah, tapi
dia tidak pernah datang?
IBU MIRA: Dia banyak urusan, Den.
AWAL: Banyak urusan? Hm ya, sekarang saya memaksa diri datang di sini, dia tidak
ada.
(IBU MIRA tidak menjawab lagi. Diam-diam ia memasuki pintu di
samping rumah sebelah kiri, tak lama kemudian keluar dari pintu yang
tadi dimasuki MIRA, ada di dalam ruangan kedai.)
IBU MIRA: (Dari dalam kedai) Kopi susu, Den?
AWAL: Biar, tak usah.
Sejurus lamanya IBU MIRA terdiam membelakangi AWAL. Akhirnya diam-
diam ia menghampiri radio yang ditaruh tidak jauh dari pintu ke dalam
rumah dan terus diam-diam menyetel radio itu. Sebentar kemudian
radio pun berbunyi, memecah kesunyian, mendengungkan suara
perempuan nyaring lantang.)
SUARA RADIO: …dari itu, adalah sudah menjadi kewajiban kita kaum wanita, supaya
di zaman sekarang ini, setelah kita banyak kehilangan sebagai akibat
peperangan, kita kaum wanita mesti lebih giat berjuang berdampingan dengan
kaum laki-laki guna membangun masyarakat damai di tanah air kita Indonesia
yang indah dan molek ini. Marilah kita menyingsingkan lengan baju kita. . . .
AWAL: (Tiba-tiba bangkit dan berdiri seraya katanya dengan tangan terkepal)
Tutup radio itu, Bu!
IBU MIRA: (Sambil mematikan radio) Menga mengapa, Den?
AWAL: (Dengan cetus) Omong kosong semuanya juga! Omongan badut. Hh,
berjuang berdampingan. . . . Tanah air yang indah dan molek! Enak saja bicara.
Dia sendiri tak akan tahu apa yang dikatakannya. Asal saja berbunyi. (Kembali
duduk terhuyung)
IBU MIRA: (Gugup) Be betul, Den, tidak akan minum?

AWAL: (Tegas) Saya mau bicara dengan Mira, Bu.


IBU MIRA: Tapi sepertinya dia akan lama. Bagaimana kalau Ibu menyampaikan pesan
Aden kepadanya?
AWAL: (Mengulangi) Saya mau bicara dengan Mira sendiri. bukan dari omongan
orang lain yang akan saya katakan padanya.
IBU MIRA: Tapi, De. . .Mira. . .anak Ibu itu, manusia biasa saja. Jangan Aden
mengharapkan yang bukan-bukan dari dia.
AWAL: (Mengangkat kepala, tegak memangdang IBU MIRA) Siapa pula yang
mengharapkan yang bukan-bukan? Saya tidak mengharapkan yang bukan-bukan
dari Mira. Harapan saya dari Mira adalah harapan laki-laki sewajarnya yang
menginginkan supaya perempuan itu jadi pendamping hidup saya. Itu harapan
saya. Dan harapan itu tidak bukan-bukan.
IBU MIRA: Maksud Ibu, Den, Mira itu bukan perempuan dari golongan atas. Dia hanya
tukang kopi.
(AWAL yang berbadan kurus itu tegak memandang IBU MIRA.)
AWAL: Apa arti golongan atas di zaman edan seperti sekarang ini? menurut Ibu
perempuan yang tadi berpidato di radio itu dari golongan atas? Perempuan
bicara asal berbunyi? Orang-orang seperti itulah yang menguasai masyarakat
kita sekarang. dunianya sendiri sempit. Lebih sempit dari ini kedai kopi!
(IBU MIRA tak berkata lagi. Dua orang laki-laki datang dari kanan:
Keduanya berumur lebih dari 30 tahun. Yang seorang berbadan besar-
tinggi dan memakai baju biru—SI BAJU BIRU. Dan yang seorang lagi, yang
badannya agak pendek memakai baju putih—SI BAJU PUTIH. Mereka
datang ke depan kedai dengan langkah ringan.)
SI BAJU BIRU: (Dengan suara ringan, kepada IBU MIRA) Mana Mira, Bu?
IBU MIRA: Ke toko. . . .
SI BAJU PUTIH: Ah, kalau tidak ada Mira, kurang senang kita minum di sini.
SI BAJU BIRU: Biar. Kita tunggu sampai dia datang.
(SI BAJU BIRU dan SI BAJU PUTIH lalu duduk tidak jauh dari AWAL. Duduk
menghadapi dagangan. Tapi AWAL yang didekati, setelah
memperhatikan gerak-gerik yang baru datang, terus saja bangkit dan
melangkah akan pergi.)
IBU MIRA: (Kepada AWAL) Ke mana, Den? Duduk-duduk dulu.
AWAL: Biar, Bu. . . .
(Tanpa berkata lagi, AWAL terus berjalan ke arah kanan, tidak menoleh
lagi ke belakang. Langkahnya yang terhuyung-huyung dipandang oleh SI
BAJU BIRU. Dan jika yang dipandang sudah jauh berjalan, dia
memandang kawannya.)
SI BAJU BIRU: Mengapa dia kecut?
SI BAJU PUTIH: Seperti marah kepada kita.
IBU MIRA: Dia orang terpelajar.
SI BAJU BIRU: masa orang terpelajar seperti itu, orang gila kali..

(Tiba tiba mira datang)

MIRA: Sudah! Jangan membicarakan dia. Toh semua komentarmu tidak benar!

SI BAJU BIRU: Lho engkau ada, Mira? Hampir saja aku percaya bahwa kau pergi ke
toko
SI BAJU PUTIH: aduh Kasihan, sungguh kasihan dengan pemuda yang sial itu.
MIRA: (Seraya duduk lagi di belakang dagangan) Aku bilang jangan
membicarakan dia.
SI BAJU BIRU: Katakanlah, Mira, bahwa bagimu kami lebih berarti daripada pemuda
itu.
MIRA: Apa yang lebih berarti? Kalian datang ke sini untuk membeli dagangan yang
kujual. Dan itu mesti kuladeni. Tapi pemuda itu. . . .
SI BAJU PUTIH: Pemuda itu bagaimana?
MIRA: Itu urusan aku dan dia. Kalian jangan turut campur. Kalau mau minum, lekas
katakan! Kopi pahit, manis, atau pakai susu?
(SI BAJU BIRU yang sudah ringan berkata jadi ringan tertawa.)
SI BAJU BIRU: Dengar bagaimana gagahnya kekasih kita ini berkata! Dan inilah yang
menyenangkan kita duduk di sini, bukan? Sampai larut malam, senang kita
nongkrong di sini.
MIRA: Lekas katakan! Kopi pahit? Manis? Atau pakai susu?
SI BAJU PUTIH: (Seraya tertawa) Oh! Dia menyerang terus.

(SI BAJU BIRU yang sudah tertawa melebarkan tawanya.)


SI BAJU BIRU: Tapi kita jangan kalah. Kita minta kopi susu! Biar taripnya dinaikkan,
kita tak akan mundur.
IBU MIRA: (Kepada kedua tamu) Dua-duanya kopi susu?
SI BAJU PUTIH: Tentu saja dua, Bu. Masakan beda! (Sambungnya lagi diarahkan
kepada MIRA) Mengapa radionya tidak disetel, Mira? Biar kita lebih senang
duduk di sini.
(Pada saat IBU MIRA menyodorkan gelas kopi susu ke depan SI BAJU BIRU
dan kawannya, lewat ke depan kedai dari kanan SEORANG LAKI- LAKI
dan SEORANG PEREMPUAN berpakaian bagus-bagus. SI PEREMPUAN
berjalan di muka dan SI LAKI-LAKI berjalan di belakangnya. Tapi di depan
kedai yang SI LAKI-LAKI melambatkan langkah, memandang kepada MIRA
yang duduk di belakang dagangan. Dan ia memandang terlalu lama;
demikian lama, sehingga SI PEREMPUAN yang diiringkannya menarik
tangannya.)

SI PEREMPUAN: Ayoh!
(SI LAKI-LAKI yang diperintah menurut dan mempercepat langkah. Tapi SI
PEREMPUAN terus melihat MIRA, dan setelah lama melihat terus
meludah.)
MIRA: (Berteriak) Heh! Apa arti ludah itu? Takut suamimu direbut?
SI PEREMPUAN: (Meludah lagi kemudian menyahut) Memangnya?! (Cepat
berjalan menjauh)
MIRA: (Berteriak lagi) Pengecut! (Terus menyemburkan air dan tambahnya lagi
setelah ternyata semburan itu tak berhasil) Mengapa kau tak protes kepada
moyangmu yang melahirkan kau tidak lebih cantik dari aku?
(SI BAJU PUTIH tegang tercengang, tapi SI BAJU BIRU enak tertawa)
SI BAJU BIRU: Engkau juga pengecut Mira! Mengapa perempuan itu tidak kau kejar?
MIRA: Hm. . . ! Memangnya mesti meributkan laki-laki begitu macam?
SI BAJU PUTIH: Ada-ada saja Mira ini... Untung saja kita belum kawin.
MIRA: Memangnya kau mengatakan masih bujang? Hh, bujang?
SI BAJU BIRU: (Tertawa) Kau tak percaya, Mira, bahwa kami belum kawin?
MIRA: Apa percaya? Mesti aku percaya kepada omongan orang yang ngomong lantaran
ada aku?
SI BAJU PUTIH: Apa, Mira? Apa maksud perkataanmu?
MIRA: Kalau tidak mengerti, sudah! Jangan bertanya lagi. Jangan bicara lagi.
Lebih baik minum kopi. Itu lebih aman!
(SI BAJU PUTIH nyengir dan SI BAJU BIRU yang tertawa mengeraskan
tawanya) SI BAJU BIRU: Ya, ya, terkadang kita mesti mengaku bahwa
sebagai tukang kopi Mira terlalu pintar. Payah kita bicara dengan dia. Tempat
Mira mestinya di sana, di. . . .
SI BAJU PUTIH: (Menyela) di kantor advokat!
SI BAJU BIRU: (Membantah) Bukan di kantor advokat?
MIRA: Hm, kau menghina aku!
SI BAJU PUTIH: Dunia ini memang tidak beres! Kita yang capek, orang lain yang
merasakan kesenangannya.
MIRA: (Cepat membalas) Dari itu, aku lebih senang jadi tukang kopi, sebab dari
belakang dagangan ini aku dapat melihat orang-orang yang tidak beres
rohaninya seperti kalian!
SI BAJU PUTIH: Kami tidak beres?
MIRA: Lantas? Kalau rohanimu beres, buat apa kau meluapkan rasa dongkolmu
terhadap keadaan sekarang di hadapanku? Toh di sini kedai kopi , Dagangan itu
kusediakan untuk dibeli!
(Tertawa lagi SI BAJU BIRU dan SI BAJU PUTIH pun ikut tertawa.)
SI BAJU PUTIH: (Kepada SI BAJU BIRU) Bagaimana kalau kita borong semua yang
ada di sini?
(Dari kanan datang seorang ANAK LAKI-LAKI kira-kira berumur 13 tahun.
Langkahnya tegas. Ucapannya diarahkan kepada MIRA.)
ANAK LAKI-LAKI: (Tegas bunyinya) Nona Mira?
MIRA: Benar.
ANAK LAKI-LAKI: (Seraya mengunjukkan secarik kertas) Ini surat.
MIRA: Dari siapa?
ANAK LAKI-LAKI: Dari Tuan yang tadi datang di sini.
MIRA: Di mana dia sekarang?
ANAK-LAKI-LAKI: Di sana, menunggu di gardu.
(MIRA tak bertanya-tanya lagi. Secarik kertas yang diunjukkan ANAK LAKI-
LAKI itu diterimanya. Terus dibaca tulisannya.)
SI BAJU BIRU: (Kepada ANAK LAKI-LAKI) Disuruh oleh Tuan yang badannya
kurus, rambutnya gondrong?
ANAK LAKI-LAKI: Benar.
SI BAJU BIRU: Celaka tiga belas! (Seraya tertawa) Bohongnya ketahuan juga!

(Dan tambahnya diarahkan kepada MIRA) Dia tentu marah, Mira.


(MIRA asyik membaca dan tidak membalas)
SI BAJU BIRU: (Kepada IBU MIRA) Bagaimana, Bu, kalau sudah ketahuan bohong?
IBU MIRA: Orang tua seperti ibu ini tidak tahu apa-apa.
SI BAJU PUTIH: (Seraya meneguk isi gelas yang dihadapi) Ya, orang tua jangan
dibawa-bawa.
(Seperti juga SI BAJU BIRU, SI BAJU PUTIH terus memperhatikan
MIRA membaca surat.)
MIRA: (Sejurus kemudian kepada ANAK LAKI-LAKI) Katakan saja kepadanya,
bahwa saya tidak dapat meninggalkan kewajiban di sini. Lebih baik dia saja
yang datang ke mari.
ANAK LAKI-LAKI: (Seraya melangkah akan pergi.) Baik.
MIRA: Katakan, saya menunggu, ya.
ANAK LAKI-LAKI: Ya.
(ANAK LAKI-LAKI itu terus berjalan ke kanan. Langkahnya tegas seperti
ketika ia datang ke depan kedai. Setelah ANAK LAKI-LAKI jauh berjalan, SI
BAJU BIRU menegur MIRA.)
SI BAJU BIRU: Apa isi suratnya, Mira?

MIRA: Itu urusanku.


(SI BAJU BIRU yang sudah sering tertawa, sekali lagi tertawa. Kemudian
dia mendekati SI BAJU PUTIH dan terus berbisik di telinga kawannya.)
SI BAJU PUTIH: Lihat, Mira! Itu apa?
(MIRA yang duduk di belakang dagangan melengong melihat ke arah
yang ditunjuk SI BAJU PUTIH. Lalai ia akan surat di tangan, tak tahu bahwa
surat akan direbut SI BAJU PUTIH. Dan secepat SI BAJU PUTIH merebut
surat dari tangan MIRA, secepat itu pula ia melemparkan surat kepada
kawannya.)
MIRA: (Berteriak lantang) Kurang ajar! Beraninya merebut surat itu
(Dengan gemas MIRA memandang SI BAJU PUTIH. Dan lebih gemas lagi
ia memandang SI BAJU BIRU. SI BAJU BIRU yang tertawa-tawa gembira
membaca isinya.)
SI BAJU BIRU: Mira! Meskipun kau barusan mendustai aku, tapi jiwamu dan
duniamu bagiku tetap merupakan soal. . .Oh, jiwamu, duniamu! Betul- betul
orang ini sudah tidak waras otaknya.

MIRA: (Teriak) Sudah!


SI BAJU BIRU: (Tanpa mengacuhkan MIRA, membaca lagi) Kau bagiku tetap
bukan tukang kopi.
SI BAJU PUTIH: (Menyela) Lho? Kalau bukan tukang kopi, apa?
SI BAJU BIRU: Dengar dulu! Dengar dulu! (Membaca lagi) Karena itu aku ingin
bicara dengan kau berdua. Jangan di tempatmu, sebab ada. . .He, kita disebut
badut-badut. Apa maksudnya?
MIRA: (Teriak lagi) biadab! !
SI BAJU PUTIH : lohhh??
SI BAJU BIRU : sudah , sudah , jangan bicara.. itu tuan yang menyebut kita badut
menuju kesini.
Mira : silakan duduk mas..
Mira : mau kopi mas?
Awal : ya.
SI BAJU BIRU: (Dengan suara nyaring, seraya menghadapkan muka kepada
MIRA) Kau bagiku bukan tukang kopi, Mira. Dan aku ingin bicara berdua dengan
kau. Jangan di tempatmu, sebab ada badut-badut! Karena itu. . .
.
AWAL: woii!!
SI BAJU BIRU: Bicara kepada siapa, Bung?
AWAL: (Dengan dada naik turun) Kau bicara kepada siapa?
SI BAJU BIRU: Aku bicara pada Mira. Betul, tidak, Mira? Kutunggu engkau di gardu,
ya Mira?
(AWAL bangkit berdiri. Sebentar dia memandang MIRA. Kemudian
memandang SI BAJU BIRU.)
AWAL: Perlu apa kau mencampuri surat orang lain? Perlu apa?
SI BAJU PUTIH: He, Saudara marah kepada siapa?
AWAL: (Membalas dengan suara lengking gementar) Kau buat apa mencampuri
urusan orang lain?
SI BAJU PUTIH: Mencampuri apa? Gampang saja marah pada orang. Pakai otak yang
sehat, dong. Jangan gampang berkata. Dan gampang saja menyebut badut segala
macam pada orang lain.

AWAL: (Dengan angan terkepal) Memang kau badut! Kau bukan manusia
SI BAJU BIRU: (Langsung berdiri) Gila kau! Gampang saja menyebut bukan manusia
padaku.
(SI BAJU BIRU mengamangkan tinju. AWAL yang sudah mengepalkan
tangan tidak berkata lagi. Terus saja menyerbu, meninjukan kepalan
tangannya kepada SI BAJU BIRU. Tapi SI BAJU BIRU yang berbadan besar-
tinggi—jauh lebih besar dari badan AWAL—cepat menangkis dan terus
membalas dengan mengasih pukulan sengit. Sekali, dua kali, tiga kali ia
melepaskan pukulannya. Dan AWAL yang berbadan kurus itu pun tak
sanggup menahan serangan pembalasan. Jatuh ia, tersungkur ke
tanah.)
SI BAJU PUTIH: Terus hajar!
MIRA: (Berteriak memerintahkan) Sudah!
(SI BAJU BIRU tidak mengindahkan teriakan MIRA. Ia mengangkat kaki
akan menginjak badan AWAL.)
MIRA: Sudah! (Ia cepat mengambil gelas kopi susu SI BAJU BIRU dan
menyemburkan isi gelas ke badan SI BAJU BIRU.) Kau memang kurang ajar!
Ayo, enyah! (Dan tambahnya diarahkan kepada SI BAJU PUTIH) Kau juga
pergi! Lekas!
SI BAJU PUTIH: Lho?!
MIRA: (Berteriak) Pergi! Kalau tidak. . . .
(MIRA cepat mengambil gelas kopi susu SI BAJU PUTIH, terus beragak
akan menyemburkan isinya.)
SI BAJU PUTIH: Mira! Kau mengusir?
MIRA: Jangan banyak bicara ayo pergi!
SI BAJU PUTIH: Kami mungkin tidak akan ke sini lagi.
MIRA: Masa bodoh! Ayo pergi! Pergi!

MIRA: Bangunkan dia, Bu.


(IBU MIRA tak membantah lagi; ia memasuki pintu ke dalam rumah, tak
lama kemudian keluar dari pintu di samping rumah, ada di luar ruangan
kedai, terus mendapatkan AWAL yang terlena di tanah.)
IBU MIRA: (Seraya menggoncang-goncang badan AWAL) Den. . .Eling, Den. . .
(Tertatih-tatih AWAL yang berbadan kurus itu bangkit berdiri. Tapi
setelah berdiri, ia terus memandang MIRA yang duduk di belakang
dagangan. Memandang dengan pandangan ngeri.)
AWAL: Sampai hati kau membiarkan aku dihina orang di hadapanmu? (Lantaran
MIRA yang duduk di belakang dagangan tidak menjawab, berkata lagi ia
dengan suara mengeras.) Kau kejam! Tak sedikit juga kau merasakan
perasaanku.
AWAL: Kau rupanya senang, ya, melihat aku mati untukmu?
IBU MIRA: (Dengan cemas) Den, eling, Den. . . .
(AWAL tak mau melepaskan pegangan.)
AWAL: Kau senang membikin aku jadi korban kecantikanmu?
IBU MIRA: (Kebingungan, akhirnya melolong sekuat tenaga) To......tolong!
(Perlahan-lahan AWAL melepaskan cekikan. Tangannya
gemetar. Kemudian lesu ia menjatuhkan badan di atas
bangku.)
(Pada saat IBU MIRA masuk lagi ke dalam ruangan kedai, datang
tergopoh-gopoh dua orang PEMUDA. Kedua-duanya berumur di bawah
20 tahun. Tergopoh-gopoh pula PEMUDA itu. Yang berjalan di muka
melahirkan pertanyaan.)
PEMUDA 1: Ada apa?
MIRA: Mengapa? Di sini tidak ada apa-apa.
PEMUDA 2: Lho? Tadi ada yang minta tolong.
MIRA: Tidak, tidak ada apa-apa. . . . (Dengan suara berlainan) Kalau mau
minum, silakan duduk.
(Kedua PEMUDA itu saling pandang.)
PEMUDA 1: (Kepada PEMUDA 2) Minum kita? (Setelah kawannya memberi
isyarat tak punya uang) Biar, lain kali saja.
(Kedua PEMUDA itu lalu mengayun kaki ke arah kiri. Tapi baru tiga
langkah, PEMUDA 1, yang berjalan di muka tadi, berhenti berjalan dan
menoleh lagi ke belakang.)
MIRA: Mengapa pula tidak? Silakan masuk!
PEMUDA 2: Lain kali saja kami datang lagi di sini.
(PEMUDA 2 terus mengajak kawannya berjalan meninggalkan kedai.
Setelah PEMUDA-PEMUDA itu tidak ada, AWAL yang duduk membelakangi
dagangan mulai bicara.)
AWAL: (Dengan suaranya yang berat) Mira, kau.......kau memaafkan aku?
MIRA: Jangan bicara, Mas. Itu kopi susu dingin.
AWAL: Kau. . .kau larang aku bicara? Tapi orang lain kau beri hati supaya bicara.
MIRA: Mereka pembeli dagangan, Mas. Dan antara kita tak ada yang mesti
dibicarakan.
AWAL: (Menegakkan kepala, memandang MIRA) Tak ada yang mesti
dibicarakan? Kau anggap di antara kita tak ada yang mesti dibicarakan?
MIRA: Antara kita tidak untuk dibicarakan. Tapi untuk dirasakan.
AWAL: (Seraya bangkit berdiri) Kau tidak merasakan perasaanku. Kau menutup
hatimu.
MIRA: Mas, pintu hati hanya dapat dibuka oleh hati. Dan hati saya sudah
terbuka.
AWAL: Terbuka untuk mempermainkan hatiku.
MIRA: Itu menurut rasamu. Menurut rasaku, aku tidak mempermainkan.
AWAL: Kau tak merasakan rasaku!
MIRA: Itu menurut rasamu.
(Duduk lagi AWAL yang berdiri itu. Duduk dengan kepala tertunduk.)
AWAL: (Dengan suara seperti bicara pada diri sendiri) Hm ya, soal antara kita
ialah kau bukan aku dan aku bukan kau. Tapi salahkah aku, kalau aku mau
merasakan kau jadi aku? (Seraya tegak) Aku mesti bicara padamu. bicara sampai
kita tak ada soal.

MIRA: Antara kita sudah tak ada soal. Apa pula yang mesti dipersoalkan?
AWAL: Kau belum menenteramkan hatiku.
MIRA: Itu menurut hatimu.
AWAL: Kau belum memberi ketegasan!
MIRA: Itu menurut pendapatmu. Bagiku semuanya sudah tegas.
(Dari kanan datang seorang LAKI-LAKI TUA, berumur lebih kurang 58
tahun, berbaju kampret dan bersarung palekat. Dan melihat kedatangan
orang tua itu, MIRA yang duduk di belakang dagangan menjadi gembira.)
MIRA: Ah, Bapak! Silakan duduk.
LAKI-LAKI TUA: Sepi sekali malam ini, Mira
MIRA: Orang rupanya sudah pada bosan datang di sini
LAKI-LAKI TUA: (Seraya duduk di atas bangku) Masak bosan? Siapa pula bosan
datang di sini? (Sambungnya dengan muka dihadapkan kepada AWAL) Bukan
bosan, tapi sudah bulan tua, ya anak muda?
MIRA: Kopi, Pak?
LAKI-LAKI TUA: (Dengan cepat menjawab) Jangan, jangan. . .teh pahit saja. Kalau
minum kopi, nanti bisa tak tidur. Dan jika di rumah tidak bisa tidur, berat.
MIRA: Mengapa berat?
LAKI-LAKI TUA: Kalau rumah yang kudiami sekarang sebesar rumahku sebelum
peperangan dulu, tak apa aku membuka mata di rumah pada malam hari, sebab
pemandangan tak sempit. Tapi rumahku sekarang, hm, namanya saja sudah
bukan rumah, hanya cukup untuk tidur.
IBU MIRA: Tapi di zaman sekarang ini sudah umum begitu (kata IBU MIRA
seraya menyodorkan gelas teh pahit.)
LAKI-LAKI TUA: Ya, siapa yang dulu rumahnya gedung, sekarang belum tentu bisa
diam lagi dalam gedung. Dan di atas runtuhan gedung—seperti rumahmu ini,
Mira—hanya bisa didirikan rumah bambu. Tapi bagaimanapun juga, dengan
adanya kedai kopimu di sini, engkau membuat jasa banyak.
MIRA: Mengapa?
LAKI-LAKI TUA: Orang-orang yang merasa tak betah diam di rumah itu, di malam
hari terpaksa keluar rumah. Dan di sini bisa duduk-duduk sambil bicara-bicara
melupakan keruwetan. (Kepada AWAL) Betul, tidak, Anak Muda?
(AWAL tegak, memandang kepada LAKI-LAKI TUA.)
AWAL: Tidak. Tidak betul.
LAKI-LAKI TUA: Lho, apa tidak betulnya?
AWAL: Bapak seperti orang banyak, datang di sini untuk melupakan keruwetan?
LAKI-LAKI TUA: Ya, begitulah. AWAL:
Jadi Bapak ini seorang badut? LAKI-
LAKI TUA: Badut?
AWAL: Ya, badut. Tukang omong kosong. Bukan manusia.
LAKI-LAKI TUA: Bapak. . .Bapak kurang mengerti.
AWAL: Tentu saja tak akan mengerti. Kalau mengerti, tak akan saya sebut badut.
orang yang bukan badut, tentu akan menganggap Mira bukan sebagai pengusir
keruwetan.
LAKI-LAKI TUA: Jadi—jadi bagaimana mestinya kita menganggap Mira?
AWAL: Itu terserah.
(LAKI-LAKI TUA terdiam sebentar.)
LAKI-LAKI TUA: (Setelah menghirup teh pahit sereguk) Bapak ini sudah tua,
sudah banyak mengalami pertukaran zaman. Dan menurut pengalaman Bapak,
bagaimanapun juga keadaan zaman, tapi akhir- akhirnya dalam hal
menempatkan perempuan bagi laki-laki tak ada yang lebih sempurna seperti di
zaman kebesaran Nabi Muhammad.
AWAL: (Tiba-tiba berdiri seraya katanya) Zaman kebesaran Nabi Muhammad! Hh,
enak saja bicara, seperti pernah hidup di zaman itu. Justru perkataan semacam
itulah yang mesti diberantas, perkataan asal dikatakan, Pak! Dengan omongan
Bapak itu kian jelas bahwa Bapak seorang badut, berarti tak ada gunanya bicara
dengan saya! (Langsung melangkah, berjalan ke arah kiri)
(Sejurus lamanya LAKI-LAKI TUA terdiam saja. Terdiam keheranan.)
LAKI-LAKI TUA: Siapa sih pemuda itu, Mira? Nampaknya dia pintar, tapi. . . .
MIRA: Hm, ya Hanya saya yang tahu siapa dia.
LAKI-LAKI TUA: Dan kau permainkan dia!
MIRA: Siapa bilang?
LAKI-LAKI TUA: Sebenarnya aku tadi mendengar percakapan kamu berdua. Dan aku
bertanya-tanya apakah kamu sedang berkasih-kasihan atau sedang bercakaran?
Tapi yang sudah pasti, pemuda itu nampaknya sudah kehilangan pegangan.
MIRA: Memang, dia sudah lama merindukan manusia.
LAKI-LAKI TUA: Merindukan manusia? Apa maksudmu?

MIRA: Di zaman sekarang ini, mana ada manusia. . .maksud saya, manusia yang bisa
dipercaya?
LAKI-LAKI TUA: Memang, Mira, sebagai orang tua, hidup di zaman setelah
peperangan sekarang ini aku pun sering bertanya-tanya: apakah dunia sekarang
sudah akan kiamat? Di mana-mana terjadi kekacauan, di mana-mana terjadi
penggedoran, perampokan, pembunuhan, seolah- olah sudah tak ada lagi cinta di
antara sesama manusia. Tapi bagaimanapun juga, sebagai orang tua aku masih
ada pegangan. Dan pegangan itu ialah pegangan kita bersama, yaitu kepercayaan
kepada Tuhan yang lebih berkuasa dari manusia. Akan tetapi pemuda itu
nampaknya sudah kehilangan pegangan sama sekali. Dan itu sangat berbahaya.
MIRA: Tapi dia masih ada pegangan.
LAKI-LAKI TUA: Apa?
MIRA: Dia percaya pada saya.
LAKI-LAKI TUA: Tapi percaya padamu bukan berarti percaya kepada yang seharusnya
mesti dipercaya!
MIRA: Itu bagi Bapak, tapi bagi dia apa salahnya?
LAKI-LAKI TUA: Tapi. . .tapi kau permainkan dia?
MIRA: Siapa bilang?
LAKI-LAKI TUA: Kalau kau cinta padanya?
MIRA: Hm, apa cinta?
LAKI-LAKI TUA: (Setelah menghela nafas dan mereguk isi gelas sampai
habis) Kau ini memang orang aneh juga, Mira. Tapi ya, keanehanmu sebenarnya
tak usah kuanehkan lagi. Apa yang terjadi di depanmu memang tak aneh. Tapi
sudahlah! Aku tak akan lama mengganggu. (Bangkit berdiri, menyerahkan
uang)
MIRA: Mengganggu apa? Duduk-duduk dulu.
LAKI-LAKI TUA: Aku tak akan membiarkan pemuda itu terlalu lama menunggu
kesempatan untuk dapat bicara lagi dengan kau.

MIRA: Percaya Bapak, bahwa dia akan datang lagi di sini?


LAKI-LAKI TUA: Aku sudah tua, Mira. Dan meskipun aku bukan pemuda di zaman
sekarang, tapi aku pun pernah merasakan apa yang dirasakan pemuda itu.
(Setelah LAKI-LAKI TUA pergi, MIRA menghitung uang.)
MIRA: (Seraya menghitung) Tak ada yang beres manusia yang datang di sini ini.
Kalau tidak goblok, menghina. Kalau tidak menghina, maunya mengasih kursus.
Semuanya bukan lagi manusia. Dan semuanya mesti kita ladeni. Seperti
pendapatan kita ini sama dengan gaji pembesar!
(IBU MIRA terdiam saja. Terdiam duduk mengantuk. Sekali. . .dua kali. .
.tiga kali ia menguap.)
IBU MIRA: Tadi siang aku tidak tidur, Mira. Akibatnya sekarang ngantuk.
MIRA: Kalau sudah mau tidur, tidurlah. Toh sekarang sudah malam, tak akan datang
lagi banyak tamu.
MIRA: Selamat malam, Juru Potret!
JURU POTRET: Selamat malam, Mira.
MIRA: Bagaimana? Sudah selesai dengan potretku?
JURU POTRET: (Seraya duduk di atas bangku) Ini ada saya bawa. Tapi saya
perkenalkan dulu kawan saya ini. Dia wartawan.
(JURU POTRET menunjuk kepada kawannya. Si WARTAWAN itu manggut
pada MIRA)
MIRA: (Membalas manggut seraya berkata) Silakan duduk
WARTAWAN: Terima kasih.
(Si WARTAWAN terus duduk di samping kawannya. Si JURU POTRET
kemudian mengeluarkan potret dari kantung bajunya dan menyerahkan
potret itu pada MIRA.)
JURU POTRET: (Setelah MIRA melihat-lihat potret) Bagaimana? Puas kau
dengan potretmu?
MIRA: Hm, ya. . .Ini untukku?
JURU POTRET: Boleh kau simpan. Aku bikin banyak. Dan satu di antaranya sudah
diminta oleh kawan saya ini.
MIRA: Untuk apa?
WARTAWAN: Dalam minggu ini juga, mungkin nona akan melihat potret nona itu
dalam majalah yang saya pimpin.
MIRA: Apa saya sudah sepenting itu?
WARTAWAN: Mengapa tidak?
MIRA: Tapi saya lihat, koran-koran dan majalah-majalah di zaman sekarang lebih
mementingkan potret-potret orang resmi daripada misalnya potret seorang rakyat
biasa yang cacat badannya oleh kecelakaan.

AWAL: (Tiba-tiba menyela) Lebih mementingkan orang ngomong. Sekalipun


omongan mereka asal saja mengisi halaman koran.
(Si WARTAWAN memandang kepada AWAL. Demikian juga si JURU
POTRET.)
WARTAWAN: (Seraya menghadapkan lagi muka kepada MIRA) Dari itu, majalah
yang saya pimpin itu akan memuat potret Nona, potret rakyat jelata.
MIRA: Tapi apa kepentingannya potret saya dimuat?
JURU POTRET: Oh! Belum kau sadar, Mira, bahwa kau cantik?
MIRA: Bahwa aku cantik, aku lebih tahu dari siapapun juga.
AWAL: Dan kau sudah tahu juga, Mira, bahwa jika seseorang di zaman sekarang ini
minta sesuatu padamu, itu adalah untuk kepentingan orang itu. Untuk itulah
potretmu akan dimuat dalam majalah.
(Lagi sekali si WARTAWAN menoleh kepada AWAL.)
WARTAWAN: Maaf Saudara, kita belum berkenalan.
AWAL: Dengan mendengar omongan Saudara, saya sudah mengenal jiwa Saudara. Dan
itu bagi saya sudah cukup, lebih dari cukup daripada mengenal nama atau jabatan.
WARTAWAN: Saudara! Saya rasa di zaman sekarang ini sudah bukan waktunya lagi
menempatkan diri sebagai dewa; sudah bukan waktunya lagi bicara dengan
menggunakan kata-kata yang tidak mudah dipahami orang.
AWAL: Siapa pula menempatkan diri sebagai dewa? Kalau perkataan saya tidak
dimengerti orang, bukan saya yang menempat diri sebagai dewa, tapi orang itu
yang mesti disesalkan jiwanya. Tapi di masyarakat kita sekarang, orang-orang
yang kering dan dangkal jiwanya itu banyak. Banyak sekali!
(Sebentar WARTAWAN memandang kepada kawannya. Dan jika si JURU
POTRET sudah membalas memandang kepadanya, berkata lagi ia kepada
MIRA.)
WARTAWAN: Bagaimana, Nona? Setuju, kalau potrer Nona dimuat dalam majalah
saya?
MIRA: Berapa akan saya dibayar?
JURU POTRET: Lho! Bukan kau mesti minta dibayar, Mira, tapi kau mesti
berterima kasih.
WARTAWAN: Tapi dimisalkan saya mesti membayar, berapa Nona minta?

MIRA: Seribu rupiah.


WARTAWAN: (Tertawa) Nona, di mana di dunia ini ada majalah yang pernah
membayar seribu rupiah untuk pemasangan sebuah potret? bahkan bintang-
bintang filem yang sudah masyhur, banyak yang menyerahkan potretnya kepada
majalah dengan begitu saja.
MIRA: Tapi saya bukan bintang filem. Dan tak mau disamakan dengan bintang filem.
JURU POTRET: (Menyela) Dari itu. . . .
MIRA: Dari itu saya minta dibayar mahal!
WARTAWAN: Begini saja, Nona, harap nona tahu bahwa majalah yang saya pimpin
ini majalah kepunyaan bangsa sendiri. Kalau Nona sudah sadar atas panggilan
zaman dan insyaf atas kewajiban sebagai bangsa, apa salahnya kita bekerja
bersama-sama untuk bangsa dan untuk tanah air yang kita cintai…
AWAL: (Seraya bangkit berdiri) Bekerja bersama-sama! Tanah air yang kita cintai!
Ayo! Apa lagi? Mengapa tidak dikatakan pula bahwa tanah air itu indah dan
molek? Biar lebih enak dikatakannya!
WARTAWAN: Saya tidak bicara pada Saudara.

WARTAWAN: Nona, biar lain kali saja saya datang lagi.


MIRA: Tidak akan minum dulu?
WARTAWAN: Biar, terima kasih.
(Si WARTAWAN terus berisyarat kepada JURU POTRET mengajak pergi
meninggalkan kedai. Kawannya bangkit berdiri dan mengiringkan dia
pergi.)
JURU POTRET: (Kepada MIRA, seraya berjalan ke arah kanan) Selamat malam,
sampai ketemu lagi, Mira.
MIRA: Selamat malam,..... mas tidak pulang?
AWAL: tidak ,selama kau tak dapat kubawa, aku tak akan pergi.
MIRA: Itu menyiksa diri sendiri, nanti Mas kedinginan.
AWAL: Apa arti diri sendiri, jika ada diri lain tempat menyerahkan
kepercayaan?
MIRA: Tapi di zaman sekarang, Mas, kita mesti percaya diri sendiri, jagan percaya
orang lain.
AWAL: selama perempuan dilahirkan kedunia untuk jadi kawan hidup laki laki, selama
itu aku harus dan mesti menyerahkan kepercayaan pada orang lain yang akan
kujadikan kawan hidupku. Dan bagiku sekarang sudah jelas, bahwa kau adalah
manusia yang kucari-cari selama ini.
MIRA: Saya tukang kopi, Mas!... sekarang Mas lebih baik pulang. Ibu saya sudah tidur.
Dan sebentar lagi kedai ini akan ditutup.
AWAL: Kalau kedai ditutup, kau akan kubawa. Dan kalau kau tak dapat dibawa, aku
akan ikut ditutup di dalam kedai.
MIRA: Itu tidak bisa jadi.
AWAL: Kalau begitu, kedai ini jangan ditutup!
MIRA: jadi mas akan menyiksa orang lain? Menyiksa saya? Itukah bukti mas lebih
mencintai orang lain daripada mencintai diri sendiri . Saya tahu, Mas, saya tahu
bahwa perkataan yang akan saya katakan ini bagimu tajam, lebih tajam daripada
diam saya selama ini. Tapi saya terpaksa mengatakannya. Tidak lain supaya Mas
tahu bagaimana anggapan saya terhadap Mas.

(MIRA memandang lagi kepada AWAL. Dan jika AWAL yang dipandang tetap
terdiam tidak bergerak-gerak, berkata lagi ia dengan suara tetap). Akibat
peperangan kau sudah kehilangan pegangan, kehilangan kepercayaan pada diri
sendiri. Padahal di zaman setelah peperangan sekarang, bagi kita tidak ada yang
mesti dipercaya selain diri sendiri. Tidak ada
(AWAL masih saja terdiam tidak bergerak-gerak. Tapi tiba-tiba ia
tersenyum, tersenyum pahit.)
AWAL: Kalau itu yang kau katakan,(Terus bangkit berdiri seraya katanya lagi)
Selamat tinggal, Mira!
MIRA: Mengapa selamat tinggal?
AWAL: Aku tak akan datang lagi ke hadapanmu. Dan tidak ke hadapan siapapun juga

MIRA: Hm, kamu mau bunuh diri! Mengapa kau tidak berani membunuh aku?
MIRA: (Cepat menyusul) Aku belum habis bicara.
AWAL: Sudah, Mira! Kita sudah kebanyakan bicara,. Dan bagiku sudah jelas: selama
kau bukan aku, tak mungkin kau mengerti aku: selama duniamu bukan duniaku,
MIRA: Kalau kau bunuh diri, aku pun bunuh diri!
(AWAL berhenti lagi berjalan.)
AWAL: (Seraya menoleh) Mengapa?
MIRA: Aku cinta padamu…(Dan tambahnya seraya menyapu-nyapu mata) Tapi
aku tidak percaya cintamu padaku akan melebihi cintamu pada dirimu sendiri.
Tidak! Aku tidak percaya!
(AWAL yang akan meninggalkan kedai jadi bimbang. Tapi akhirnya ia
menghampiri lagi.) Kalau kau cinta padaku, bunuh aku! Bunuh dengan segenap
cintamu.
AWAL: Gila kau! Aku cinta padamu karena ada cita-cita, karena menginginkan hidup
bersama.

( Tangannya yang sudah dikepalkan terus saja dijangkaukan kepada meja


dan rak dagangan yang menghalangi dia dan MIRA. Kemudian meja dan
rak dagangan itu digoncang-goncang, direnggut-renggut dan diangkat-
angkat. Dan barang-barang dagangan pun berjatuhan.)
MIRA : kalau begitu kamu harus tau keadaanku.
AWAL : maksudmu keadaan seperti apa ? aku tidak mengerti.
MIRA: tapi setelah kmu tau keadaanku,.. apakah kamu akan tetap mencintaiku?
AWAL: tentu saja aku akan tetap mnerima apapun keadaanmu
(setelah itu mira keluar dan menunjukan kedaannya)

MIRA : Lihatlah diriku mas aku cacat, aku tidak sesempurna yg kmu kira ( setelah awal melihat
keadaan mira awal terkejut )

AWAL : Apa yg terjadi denganmu mira?

MIRA : ya mas inilah kenyataanku, kaki bunting karena peperangan. Lantaran keatas aku cantik
dan kebawah aku cacat, aku bagimu merupakan paduan dari keindahan surga yg kau impikan dan
kepahitan dunia yg kau rasakan.

AWAL : walaupun keadaanmu seperti itu aku akan menerimamu . aku sangat mencintaimu mira
dan aku tetap ingin kau menjadi pendamping hidupku. Maukah kau menjadi pendamping
hidupku?

MIRA : tentu mas aku ingin menjadi istrimu (akhirnya mereka merencanakan untuk menikah dan
hidup bahagia, namun sesuatu hal yg terduga terjadi paa mereka .)

Tiba tiba.... DORRRRR!!( Suara tembakan)

MIRA : massss....... ( mira menangis histeris dan jatuh )

( awal ditembak oleh dua orang pemuda yg mempunyai dendam dan rasa yg tak terbalaskan
kepada mira. Kemudian mira dibekap dan diculik oleh dua org tersebut )

Tamat

Anda mungkin juga menyukai