Anda di halaman 1dari 30

KAMPUNG YANG HILANG

Titas Suwanda

Sinopsis
Imam harus menata ulang kehidupan di kampung halamannya setelah berpuluh tahun
merantau. Ia menjadi korban PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja di kota. Tak ada
pilihan lain bagi Imam, selain pulang ke kampung halaman untuk melanjutkan hidup
dengan mengelola beberapa petak tanah peninggalan orang tuanya. Pilihan itu diambil
Imam mengingat dirinya paham betul bagaimana cara hidup orang-orang di kampung,
yang kental dengan keguyuban, semangat gotong royong, serta menjunjung nilai-nilai
luhur yang telah diwariskan nenek moyang.

Kenyataan yang ditemukan Imam ternyata berbeda. Orang-orang kampung sudah jauh
berubah. Semua orang telah menjadi sangat individualis dan materialistis. Apapun yang
orang-orang kampung lakukan, hanya didasari kepentingan dan keuntungan pribadi.
Bahkan, tradisi-tradisi lama diselenggarakan di Masyarakat hanya sebagai peristiwa
artifisial yang luput dari substansi pewarisan nilai-nilai kearifan. Penyelenggaraan ritual
dan tradisi juga dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan. Mitos-mitos yang lama
tumbuh di masyarakat pun dijadikan dalil.

Perkara dimulai dengan kelahiran anak Imam. Warga kampung menuntut Imam untuk
segera menghelat upacara Mandi Kayik untuk bayinya yang baru lahir. Tak berhenti
sampai di situ, ada semacam konsensus bahwa semua perayaan di kampung harus dihelat
secara besar-besaran. Hal tersebut dikaitkan dengan mitos Kampung yang Hilang, yakni
kampung orang-orang bunian (gaib) yang dipercaya benar-benar ada dan hidup bersisian
meski berada dalam dimensi kehidupan yang berbeda. Warga Kampung yang Hilang
dipercaya akan datang ke setiap perayaan, pesta, sedekah, kenduri, dan sebagainya.
Maka, semua hidangan yang akan disajikan harus digandakan. Bagi Imam hal itu tentu
sangat memberatkan. Persoalan menjadi semakin dilematis setelah Imam mengetahui
rahasia dan motif dari tindakan orang-orang kampung. Entah karena dampak
modernisasi, atau karena pewarisan nila-nilai kearifan yang terputus, yang jelas semua
yang ada di kampung telah berubah. Kampung telah benar-benar hilang.

1
Tokoh-tokoh (dramatic personae)
Imam :
Laki-laki, 35 tahun, teguh pendirian, berpikiran logis.

Istri Imam :
Usianya tidak berbeda jauh dengan tokoh Imam, seorang penyabar.

Datuk Rio :
Tokoh pemimpin di kampung, orang kaya, terpandang, berusia 60 tahun

2
PANGGUNG GELAP.

SEBAGAI MUSIK PEMBUKA PENTAS, CUKUP DENGAN MENGHADIRKAN SUARA SAYUP-


SAYUP ORANG-ORANG YASINAN ATAU MEMBACAKAN BARZANZI YANG BEGITU RAMAI.
LALU TERDENGAR PEMBACAAN DOA. TAK LAMA KEMUDIAN, BERGANTI DENGAN RIUH
RENDAH ORANG-ORANG BERCENGKRAMA DITINGKAHI SUARA DENTING SENDOK DAN
PIRING. SESEKALI TERDENGAR SUARA GELAK TAWA. PELAN-PELAN SUARA KERAMAIAN
ITU BERKURANG, LALU HILANG.

BEBERAPA SAAT SUASANA PANGGUNG MENJADI SENYAP. PERLAHAN PENCAHAYAAN


PANGGUNG MULAI TERANG. PENCAHAYAAN DITATA SEDIKIT TEMARAM UNTUK
MENDUKUNG PENCIPTAAN SUASANA MALAM YANG MURAM.

PERLAHAN TATANAN PANGGUNG MULAI TAMPAK DARI SISI PENONTON. PANGGUNG


DITATA MENGGAMBARKAN RUANG TAMU SEBUAH RUMAH, (OPSI LAIN BISA JUGA DI
TERAS RUMAH). RUANG TAMU YANG SEDERHANA TERSEBUT DITEMPATKAN DI TENGAH
PANGGUNG DENGAN POSISI PENATAAN AGAK KE BAGIAN BELAKANG. TERDAPAT PINTU
YANG BERFUNGSI UNTUK AKSES KE DALAM KAMAR DAN DAPUR. PENATA SETTING BISA
SAJA MENAMBAHKAN BEBERAPA ELEMEN PELENGKAP LAIN SEPERTI JENDELA DAN TIRAI
DI PINTU KAMAR. TERDAPAT SEPERANGKAT KURSI DAN MEJA YANG TERBUAT DARI KAYU.
PENATAAN SEMUA ELEMEN TERSEBUT DISESUAIKAN DENGAN BENTUK PANGGUNG.

SESEKALI, TERDENGAR SUARA TANGISAN BAYI MEMECAH KEHENINGAN DARI DALAM


KAMAR. DISELINGI SUARA SEORANG PEREMPUAN YANG BERUSAHA MEMBUJUK DAN
MENDIAMKAN TANGISAN BAYI TERSEBUT. UNTUK MENAMBAH KEMURAMAN SUASANA,
BISA DIMASUKKAN MUSIK PENDUKUNG SEPERTI GESEKAN BIOLA KRINOK ATAU
INSTRUMEN YANG SESUAI LAINNYA.

TOKOH IMAM MASUK KE PANGGUNG DARI ARAH LUAR. IA MENGENAKAN BAJU BATIK
DAN KOPIAH HITAM. LANGKAHNYA PELAN. IA MEMBAWA KANTONG PLASTIK HITAM DI
TANGANNYA. LANGKAH IMAM BERHENTI DI SEBUAH MEJA. IMAM LALU MELETAKKAN
BARANG BAWAANNYA, KEMUDIAN IA DUDUK DI SALAH SATU KURSI. MATANYA JAUH
MENATAP KEKOSONGAN.

IMAM :
Ada yang berbeda dengan mereka. (BERGUMAM)

IMAM :
Aku merasa asing. Benar-benar asing.

IMAM MENGELUARKAN SEBUNGKUS ROKOK, MENGELUARKAN SEBATANG ROKOK LALU


MEMBAKARNYA.

IMAM :
Ada sesuatu yang membuat mereka semua berubah. Apa sebenarnya yang membuat
mereka berubah? (MASIH TERUS BERGUMAM)

PINTU KAMAR TERBUKA. ISTRI IMAM MUNCUL DARI DALAM KAMAR.

ISTRI IMAM :
Abang sudah pulang rupanya.

MENDEKATI IMAM, DUDUK DI KURSI SEBELAH IMAM

ISTRI IMAM :
Sudah dari tadi abang sampai?

IMAM :
Tidak, Dinda. Baru saja. Hajatan di rumah Wak Ijah tadi lumayan ramai. Abang
sempatkan diri dulu untuk ngobrol-ngobrol sebentar. Jadi agak terlambat abang pulang.

ISTRI IMAM :
Kenapa tidak langsung masuk?
IMAM :
Sebentar lagi lah. Abang masih merokok. Oh ya, ini nasi takir dari rumah Wak Ijah.
(MENGAMBIL KANTONG PLASTIK, MENYODORKAN KE ISTRI)

ISTRI IMAM :
Mau aku ambilkan minum, Bang?

IMAM :
Tidak usah, nanti kalau abang haus, biar abang ambil sendiri. Ingatlah pesan bu bidan
kau belum boleh banyak bergerak.

ISTRI IMAM :
Aku sudah kuat, kok, Bang. Aku juga bosan berbaring seharian tanpa melakukan apa-
apa. Lagipula, usia persalinanku sudah lebih dari seminggu. (DENGAN NADA ANTUSIAS)
Oh ya, bagaimana dengan acara Marhabanan dan Mandi Kayik cucu Wak Ijah tadi, Bang?
Pasti meriah dan ramai.

IMAM HANYA MENGANGGUK. MENGHISAP DALAM-DALAM ROKOKNYA, LALU


MENGHEMBUSKAN NAFAS PANJANG.

ISTRI IMAM :
Apa abang bertemu dengan teman-teman lama abang?

IMAM :
Ya. Kami seperti reunian kecil-kecilan. Banyak juga teman-temanku yang hadir tadi.

ISTRI IMAM :
Pasti menggembirakan bertemu dengan mereka setelah lama abang pergi
meninggalkan kampung ini. (MENGAMATI RAUT WAJAH IMAM) Tapi, mengapa abang
terlihat murung?
IMAM :
(MENARIK NAFAS PANJANG) Entahlah. Mungkin terlalu lama aku meninggalkan
kampung ini. Terlalu lama kami tidak bertemu. Aku merasa menjadi sangat asing meski
dulu kami begitu akrab. Semuanya seperti berubah.

ISTRI IMAM :
Apa yang membuat abang merasa seperti itu? Apa yang berbeda dengan mereka, Bang?
Bisa jadi itu hanya perasaan abang saja.

IMAM :
Aku paham, Dinda. Kami memang tidak bertemu dalam waktu yang lama. Tapi aku kenal
betul dengan mereka. Dari kanak-kanak kami tumbuh bersama. Mereka berubah, Dinda.
Aku merasa kehilangan orang-orang yang aku kenal dulu. Orang-orang yang dulu
menemani aku tumbuh di kampung ini.

ISTRI IMAM :
Perubahan itu memang bagian dari kehidupan, Bang. Kita tidak pernah tahu apa yang
mereka alami dan apa yang terjadi di kampung selama abang merantau. Mungkin mereka
juga masih sungkan untuk berakrab- akrab dengan abang.

IMAM :
(MATA IMAM MENERAWANG JAUH) Aku masih ingat bagaimana dulu kami bergurau
saat mengaji di surau. Bagaimana kami memancing dan mandi di sungai, lalu main bola di
tanah lapang di tepi sungai. Atau saat kami dikejar Tuk Usman lantaran melempari buah
mangganya yang belum matang, bersembunyi di belakang balai desa lantaran dicari Wak
Hasan gara-gara kolam ikannya kami kuras. Hahaaa (TERTAWA) Aku sering tertawa
sendiri jika mengingat kenakalan kami. Kami pernah memiliki ikatan yang kuat. Kami
saling mendukung. Sekarang, rasanya kami terasing satu sama lain.

ISTRI IMAM :
Apakah sekarang mereka lebih sedikit bicara? (PENASARAN)
IMAM :
Tidak. Justru mereka sekarang lebih banyak bicara. Bahkan Mulyadi yang dulu kukenal
paling pendiam, tadi dialah yang paling banyak ceritanya.

ISTRI IMAM :
Lantas? (DENGAN NADA SEMAKIN PENASARAN)

IMAM :
Justru aku merasa asing dengan apa yang mereka bicarakan, Dinda. Mereka seakan
berlomba memamerkan apa yang mereka punya. Mulyadi memamerkan foto rumahnya
yang baru. Si Udin sibuk bercerita tentang kebun sawitnya yang luas. Katanya, hasil sekali
panen bisa untuk membeli motor secara tunai. Ilham lain lagi, ia sibuk bercerita dan
memamer foto-foto liburannya di tempat yang jauh dan indah-indah. Semetara si Ani
memamerkan salon kecantikannya yang selalu ramai dikunjungi pelanggan.

ISTRI IMAM :
Wah, hebat. Berarti, sudah sukses semua kawan-kawan abang.

IMAM :
Tentu tidak semuanya, Dinda. Malah lebih banyak teman-temanku yang sampai saat ini
hidupnya kurang lebih sama seperti kehidupan kita. Kerja banting tulang dari pagi hingga
malam, tapi hasilnya hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jangankan untuk
menabung, untuk membeli ini dan itu. Kadang jika ada keperluan mendesak, mereka
terpaksa harus berurusan dengan tengkulak.

IMAM KEMBALI MENARIK NAFAS PANJANG

IMAM :
Masalahnya, Dinda. Bukannya memberi bantuan, teman-temanku yang nasibnya kurang
beruntung itu justru dijadikan bahan olok-olokan oleh teman-temanku yang sudah sukses
itu. Dikatain pemalas lah, tidak bisa membaca peluanglah, gagap dalam mengelola
keuanganlah. Aah candaan mereka kadang sudah sangat kelewatan. Padahal, semua
orang tahu mereka itu bukan sukses dari keringat mereka sendiri, tapi warisan dari orang
tua mereka saja.

ISTRI IMAM :
Mungkin itu hanya cara mereka untuk membuatmu terkesan, Bang.

IMAM :
Semoga saja begitu, Dinda. Semoga mereka tidak benar-benar berubah. Semoga semua
itu hanya kekhawatiranku saja. Kau kan tahu, alasan kenapa aku memutuskan untuk
kembali ke kampung ini. Bukan hanya karena aku anak tunggal yang berkewajiban
mengurus peninggalan almarhum bapak dan ibu. Bukan karena itu. Tapi aku sudah jenuh
dengan kehidupan di kota. Aku sudah muak setiap saat harus berurusan dengan orang-
orang yang tidak punya empati itu. Sudah lama aku merindukan suasana kampung ini,
Dinda. Ah sudahlah. Aku ganti baju dulu. Batik ini membuatku gerah.

IMAM MEMBUKA KOPIAH DAN BAJU BATIKNYA. IMAM TINGGAL MEMAKAI KAUS
DALAM. DIA MELANGKAH KE PINTU RUMAH.

IMAM :
Makanlah nasi takir itu. Biar aku yang ambilkan minum. Kau harus makan yang banyak,
Dinda. Bayi kita butuh asupan gizi yang cukup. (IMAM MASUK KE DALAM RUMAH).

ISTRI IMAM MEMBUKA KANTONG PLASTIK YANG DIBAWA IMAM TADI.

IMAM MUNCUL LAGI SAMBIL MEMBACA CERET AIR MINUM DAN DUA BUAH GELAS.
MELETAKKANNYA DI ATAS MEJA.

IMAM :
Apa dia rewel, tadi?

ISTRI IMAM :
Tidak. Dia tidak begitu. (MENJAWAB SETELAH BERHENTI MENGUNYAH MAKANAN)
IMAM :
Anak pintar. anak yang baik. Ia seakan memahami kesusahan yang sedang dialami
orang tuanya.

ISTRI IMAM :
Syukurlah.

MENYUDAHI MAKAN, EKSPRESI WAJAHNYA BERUBAH MENJADI LEBIH SERIUS, MATANYA


TAJAM MENATAP IMAM.

IMAM :
Kenapa dinda menatapku begitu?

ISTRI IMAM :
Aku hanya bingung, Bang, bagaimana dengan Mandi Kayik anak kita, Bang? Besok,
bayi kita sudah genap berumur dua minggu. Tali pusarnya pun sudah lepas. Kata Bu Bidan,
tidak boleh tidak, semua bayi yang sudah lepas tali pusarnya harus segera Mandi Kayik.
Wak Ijah juga bilang begitu. Tetangga kita juga sudah banyak yang menanyakannya
padaku, “kapan mandi kayik si kecil?” (MENIRUKAN TETANGGA)

IMAM :
Begitulah, Dinda. Kampung ini memang masih teguh melaksanakan tradisi-tradisi
lama, termasuk Mandi Kayik bayi-bayi yang baru lahir.

ISTRI IMAM :
Apa benar-benar menjadi keharusan?

IMAM :
Sebenarnya, semua ritual atau upacara tradisi hanyalah tindakan simbolik dari
orang-orang tua kita dulu.
ISTRI IMAM :
Maksudnya, bang?

IMAM :
Yaa. Tindakan yang di dalamnya menyimbolkan nilai-nilai dan makna kearifan.

ISTRI IMAM :
Contohnya?

IMAM :
Misalnya tentang bagaimana manusia mensyukuri pemberian tuhan. Tentang
bagaimana manusia memahami alam dan apa yang ada di sekelilingnya. (MENARIK NAFAS)
Sepemahamanku, Mandi Kayik dimaksudkan untuk mengenalkan bayi yang baru lahir
dengan alam lingkungannya. Mengingatkannya bahwa alam tidak terpisahkan dengan
kehidupannya manusia. (BERHENTI SEJENAK) Mandi Kayik juga menjadi pertanda bahwa
si anak sudah waktunya untuk diberi nama.

ISTRI IMAM :
Tapi anak kita kan sudah punya nama.

IMAM :
Ya tidak masalah. Lebih cepat diberi nama justru lebih bagus. Menurut kepercayaan
masyarakat sini, jika terlambat memberi nama untuk si anak, maka anak tersebut
juga terlambat memperoleh kepandaiannya. Seperti terlambat berjalan, berbicara dan
pertumbuhannya pun melambat. Hanya saja, kebiasaan orang kampung pemberian nama
anak dilakukan setelah Mandi Kayik dilakukan.

ISTRI IMAM :
Lalu, mengapa kemudian ritual itu menjadi suatu keharusan?

IMAM :
Entahlah. Mungkin saja itu kesepakatan para leluhur kita dulu agar nilai- nilai kearifan
yang terkandung dalam tradisi itu tetap terjaga hingga ke anak cucu kelak.

ISTRI IMAM :
Tapi, Bang, biaya yang diperlukan lumayan besar. Apalagi bagi orang- orang kecil
seperti kita.

IMAM :
Bagi orang-orang seperti kita tentu mahal, dinda. Paling tidak, kita harus menyiapkan
uang untuk membeli seekor kambing untuk disembelih saat Mandi Kayik dilaksanakan.
Belum termasuk kebutuhan lainnya. Tapi dinda tenang saja. Jangan terlalu risau. Rejeki
sudah diatur. Percayalah, tidak ada hal yang tidak mungkin selagi Tuhan berkehendak.
(BERUSAHA MEYAKINKAN ISTRINYA)

ISTRI IMAM :
Bagaimana aku tidak khawatir, Bang. Saat ni, kita sedang berada dalam kondisi yang
tidak baik-baik saja. Bagaimana mungkin kita bisa melaksanakan Mandi Kayik anak kita
nanti? (BINGUNG) Tapi kalau Mandi Kayik tidak dilaksanakan, apa pula kata orang-orang
kampung. Sedangkan kita orang yang baru datang di kampung ini.

IMAM TIDAK LANGSUNG MENJAWAB PERTANYAAN-PERTANYAAN ISTRINYA. DIA HANYA


TERTEGUN SEMBARI MEREBAHKAN TUBUH DI SANDARAN KURSI. MUSIK
MENGILUSTRASIKAN SUASANA YANG SEMAKIN SURAM DAN MELANKOLIS.

ISTRI IMAM :
(MENARIK NAFAS BERAT) Bang, apa tidak mungkin Mandi Kayik disesuaikan
dengan kemampuan kita, Bang?

IMAM :
Maksudmu?

ISTRI IMAM :
Yah, misalnya kalau kita tidak mampu membeli kambing, apakah mungkin diganti
dengan ayam saja? Atau ikan? Atau diganti dengan apa saja sesuai dengan kemampuan
kita, Bang. Menurutku yang terpenting adalah niatan kita untuk tetap melaksanakan dan
mempertahankan nilai- nilai yang terkandung dalam tradisi itu, seperti yang abang
katakan tadi.

IMAM :
Mungkin saja, Dinda. Tinggal bagaimana penerimaan orang-orang di kampung ini saja.

ISTRI IMAM :
Di situlah letak masalahnya, Bang. Apakah warga kampung ini mau menerima.

IMAM :
Aku juga tidak tahu. (BERUSAHA MENENANGKAN ISTRINYA) Sudahlah Dinda, jangan
terlalu khawatir. Aku sudah menghitung berapa biaya yang dibutuhkan untuk Mandi
Kayik anak kita nanti.

ISTRI IMAM :
Benarkah, Bang?

IMAM :
Benar, percayalah.

ISTRI IMAM :
Untuk membeli seekor kambing?

IMAM :
Termasuk kambing.

ISTRI IMAM :
Keperluan lainnya?
IMAM :
Semuanya, dinda.

ISTRI IMAM :
Uang dari mana, Bang? (SAMBIL MENATAP LEKAT MATA IMAM SEOLAH TIDAK PERCAYA)

IMAM :
Kurasa, uang pesangonku masih cukup untuk membeli seekor kambing dan semua
kebutuhan acara itu.

ISTRI IMAM :
Tapi kan kebutuhan hidup kita tidak hanya sebatas Mandi Kayik bayi kita, Bang? Lagian
abang juga belum mengatakan rencana selanjutnya. Apa yang abang kerjakan untuk
memenuhi kebutuhan kita.

IMAM :
Itulah salah satu alasan mengapa aku memilih pulang ke kampung ini, Dinda. Tentu aku
akan mencari pekerjaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kita. Berdagang dengan
membuka warung kecil-kecilan, kek. Atau usaha apa sajalah. Kalau memang semua
usaha sudah mentok, setidak-tidaknya, kita masih punya beberapa petak sawah dan
ladang peninggalan almarhum bapak yang bisa aku garap.

ISTRI IMAM :
Abang yakin, abang bisa bertani? Bukannya sejak lulus SMA abang merantau,
kuliah, hingga kerja di kota?

IMAM :
Dinda…. dinda. (SAMBIL TERSENYUM) Ingatlah petuah orang-orang tua kita dulu! Di
mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Manusia memiliki kemampuan untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan. Bagaimanapun juga aku ini anak kampung, dinda,
kalau hanya bertani, mencangkul di sawah, berladang, aku masih bisa. Tentu semuanya
membutuhkan penyesuaian, Dinda. Tapi yakinlah. Doakan saja abang bisa melewatinya.

ISTRI IMAM :
Semoga semua berjalan sesuai rencana kita, ya, Bang.

IMAM :
Semoga saja, Dinda. (BERHENTI SEJENAK). Di kampung ini, kita tidak perlu takut mati
kelaparan. Alam menyediakan semua kebutuhan hidup manusia. Orang-orang kampung
juga hidup bersahaja, dan tak akan membiarkan tetangga sebelah rumahnya mati karena
tidak makan.

ISTRI IMAM :
Tapi, bisa jadi mereka semua sudah berubah, seperti teman-temanmu itu, Bang.

IMAM :
Semoga saja tidak, Dinda. Yakinlah dimanapun Tuhan selalu menurunkan orang-orang
baik. Tidak ada persoalan yang tidak memiliki jalan keluarnya, Dinda. Percayalah.

IMAM MELANGKAH MENDEKATI ISTRINYA. MENGUSAP BAHU ISTRINYA SEAKAN INGIN


MENGUATKAN. INGIN MENGHILANGKAN SEGALA KETAKUTAN-KETAKUTAN.

IMAM :
Sekarang lebih baik kamu beristirahat dulu, Dinda. Mungkin si Kecil juga haus tuh. Ingin
segera minum susu ibunya. Malam telah semakin larut. Sebentar lagi abang akan segera
menyusul.

ISTRI IMAM BANGKIT DARI DUDUKNYA, MERAPIKAN MEJA, MEMBAWA GELAS, PIRING
DAN MAKANAN YANG ADA DI MEJA KE DALAM RUMAH, LALU BERJALAN MASUK KE
KAMAR. MATA IMAM MENGIKUTI KEMANA LANGKAH ISTRINYA PERGI. SEMENTARA
EKSPRESI WAJAHNYA MENGGAMBARKAN PIKIRAN- PIKIRAN DI KEPALANYA YANG MASIH
BERKECAMUK. SESEKALI DIA TEGUK AIR YANG ADA DI GELAS. DIHISAPNYA ROKOK
DALAM-DALAM. MUSIK MENDUKUNG MENGHADIRKAN SUASANA MALAM YANG
SEMAKIN LARUT. GESEKAN BIOLA MEMAINKAN NADA-NADA KRINOK, MENYAYAT-
NYAYAT.
DARI LUAR PANGGUNG TERDENGAR SUARA LANGKAH-LANGKAH KAKI MENDEKAT. LALU
TERDENGAR SESEORANG BERUCAP SALAM.

SESEORANG :
Assalamualaikum.

IMAM BURU-BURU BANGKIT DARI KURSI, MELANGKAH KE DEPAN, JIKA SETTING


PANGGUNG BERUPA RUANG TAMU DI DALAM RUMAH, TOKOH IMAM MENUJU PINTU
MASUK. JIKA OPSI SETTING BERUPA PELATARAN ATAU TERAS RUMAH, TOKOH IMAM
CUKUP BERJALAN MENUJU ARAH SUMBER SUARA BERASAL, LALU MENJAWAB SALAM DAN
MENYONGSONG TAMU YANG DATANG.

IMAM :
Waalaikum salam.

DARI SATU SISI PANGGUNG MUNCUL SEORANG LAKI-LAKI TUA. MELANGKAH MASUK
MENUJU PINTU RUMAH. PERAWAKANNYA TEGAP. TAMPILANNYA GAGAH DAN
BERWIBAWA.

IMAM MENAMPAKKAN EKSPRESI WAJAH AGAK TERKEJUT BEGITU TAHU SIAPA TAMU
YANG DATANG. BURU-BURU IMAM MENYALAMI TAMUNYA. DENGAN SOPAN
MEMPERSILAHKAN TAMU ITU MASUK KE RUMAH.

IMAM :
Datuk rupanya. Mari masuk, Datuk. LAKI-LAKI TUA ITU MASUK KE DALAM RUMAH

IMAM :
Silakan Datuk, mohon maaf agak berantakan. (IMAM DENGAN CANGGUNG
MEMPERSILAKAN TAMUNYA UNTUK DUDUK).
IMAM :
Maaf, saya tinggal sebentar, Datuk.
DENGAN LANGKAH YANG TERGOPOH-GOPOH IMAM BERJALAN MENUJU KAMAR, LALU
MEMANGGIL ISTRINYA.

IMAM :
Ada tamu, Dinda. Tolong buatkan minuman (DENGAN SUARA SETENGAH BERBISIK IMAM
MEMINTA ISTRINYA MEMBUATKAN MINUMAN UNTUK TAMUNYA).

TANPA BANYAK BICARA ISTRI IMAM LANGSUNG MENUJU RUANG BELAKANG UNTUK
MENYIAPKAN MINUMAN. IMAM KEMBALI BENGHAMPIRI LALU DUDUK DI SEBELAH
TAMUNYA. LAKI-LAKI ITU HANYA TERSENYUM MELIHAT KEKIKUKAN IMAM DAN ISTRINYA.

DATUK RIO :
Tak usah repot-repot, Mam. Aku hanya mampir sebentar.

IMAM :
Ah, tidak apa-apa, Tuk. Tidak akan kedatangan datuk membuat kami merasa repot.
Justru, kami merasa sangat senang dan tersanjung, Datuk. Kalaulah terlalu kecil telapak
tangan, nyiru akan kami tadahkan, begitu suka hati kami menerima kedatangan Datuk.

DATUK RIO :
Pandai sekali kau, Imam. (DATUK RIO KEMBALI MELEMPAR SENYUM)

DATUK RIO BANGKIT DARI DUDUKNYA, BERJALAN PELAN MENGITARI RUANG TAMU.
MATANYA BERKELIARAN MENATAP SEMUA YANG ADA DI RUANGAN ITU.

DATUK RIO :
Sudah lama aku tidak pernah lagi singgah ke rumah ini, Mam. Dulu, semasa bapakmu
masih hidup, hampir setiap malam aku dan almarhum bapakmu duduk di ruang ini. Kami
bercerita tentang banyak hal, berdiskusi terkait apa saja yang mesti dilakukan untuk
membangun kampung ini. (TERSENYUM). Mungkin sebagian besar orang di kampung ini
hanya melihat bahwa aku dan sosok bapakmu sebagai dua orang yang bersaing dalam
banyak hal. Sebagai dua orang yang selalu berlawanan. Tapi sesungguhnya, kami
bersahabat sejak kecil. Memang, kami sering berbeda pandangan, berbeda pendapat,
terkhusus bila kami sedang membahas dan memikirkan apa yang terbaik untuk kampung
kita ini. Tapi semua itu sesungguhnya atas dasar kecintaan kami akan kampung ini.
KEMBALI DUDUK DI KURSI.

DATUK RIO :
Tadi, di acara Mandi Kayik cucunya Ijah, aku mendengar dari cerita orang- orang, Imam
putra semata wayang Haji Abdullah telah Kembali ke kampung. Maka aku teruskan
langkah kakiku menuju rumahmu ini, Mam.

IMAM HANYA MENGANGGUK-ANGGUKKAN KEPALA MENYIMAK APA YANG


DIBICARAKAN OLEH DATUK RIO.

DATUK RIO :
Oh iya, kapan kau datang? (BERBASA-BASI MENGALIHKAN TOPIK PEMBICARAAN)

IMAM :
Sudah hampir sebulan, Datuk. Maaf, aku memang belum sempat berkunjung. Ada
beberapa urusan di rumah yang cukup menyibukkan, Datuk.

DATUK RIO :
Yaa. Aku bisa memahaminya. Lantas, apa yang membuatmu pulang kembali ke
kampung ini? Dulu kukira kepergianmu meninggalkan kampung seperti merantau cino.
Pergi dan tidak Kembali lagi. Telah cukup lama tak pernah lagi kudengar kabar tentang
dirimu, setelah kedua orang tuamu tidak ada lagi. Kau telah hilang tanpa berita, macam
tebu digunggung musang.

IMAM :
Begitulah, Tuk. Yo nian nasib nan idaklah samo dengan kanti. Gaji lah habis dek hari.
Dapat pagi hilang malam, dapat malam habis pulo dek pagi. Mungkin jalanku di
perantauan memang sudah sampai ke batas. Ternyata rantau tidak selamanya ramah,
Tuk.

Kalulah kutau kayu tualang


Idakkan kubakar menjadi arang
Kalulah kutau nasib nan malang
Idakkan ke pergi ke negeri orang
Sejak wabah Korona melanda tahun lalu, perusahaan tempatku bekerja mengalami
kebangkrutan. Banyak karyawan yang harus dirumahkan. Aku juga di menjadi salah satu
diantaranya. Setelah diberhentikan, aku sudah mencoba mencari pekerjaan di tempat lain.
Tapi hampir semua perusahaan di kota merumahkan karyawannya. BERHENTI SEJENAK,
MENATAP KE DATUK RIO.

IMAM :
Mungkin, memang sudah jalanku untuk Kembali pulang ke kampung ini, Tuk. Untuk
mengolah beberapa tanah peninggalan bapak. Memang tidak banyak, tapi aku menyadari
bahwa sudah menjadi kewajibanku untuk menjaga dan mengelola apa yang bapak punya
di kampung ini, Datuk. Kok bungkuk, biarlah kami menjadi penyapu laman, kok pekak
biarlah kami nan melepas bedil. Mohon doamu datuk, semoga bungin di pulau menjadi
emas, tanaman di perlak menjadi suasa, pergi ke air cemetik kena, balik ke rumah lemang
sudahlah masak.

ISTRI IMAM MUNCUL MEMBACA NAMPAN BERISI DUA GELAS KOPI PANAS.
MENGHIDANGKANNYA DI ATAS MEJA.

IMAM :
Ini Dinda, istriku, Tuk.

IMAM MEMPERKENALKAN ISTRINYA KEPADA DATUK RIO.

ISTRI IMAM MENYALAMI DATUK RIO DENGAN PENUH HORMAT.


DATUK RIO :
Selamat datang di kampung ini, nak. Semoga dirimu betah tinggal bersama orang-
orang kampung ini, orang-orang yang tunduk dengan undang, yang bangga dengan
peseko.
ISTRI IMAM :
semoga saja, Datuk.

ISTRI IMAM MENGGESER POSISI DUDUKNYA KE SEBELAH IMAM. IKUT MENYIMAK


PERCAKAPAN IMAM DAN DATUK RIO.

DATUK RIO :
Jadi begini Imam,
kalulah idak kareno bulan,
idaklah mungkin aek pasang di pagi hari.
Kalu tidak kareno suatu alasan,
idaklah mungkin datuk datang kemari.

IMAM :
Benar, Datuk. Katakanlah, hajat apa yang membawa datuk sampai ke pondok kami ini?
Sampaikanlah. Kami siap mendengarnya.

DATUK RIO :
Ya. Seperti kukatakan tadi, di acara Mandi Kayik cucu Ijah, aku telah banyak
mendengar bisik-bisik tentang dirimu. Tentang kepulanganmu, termasuk tentang
kelahiran anakmu, Imam. Karena itulah aku merasa perlu datang malam-malam begini.

IMAM DAN ISTRI FOKUS MENYIMAK PENUTURAN DATUK RIO

DATUK RIO :
Kurasa kau sendiri sudah paham betul tentang hal seperti apa yang berlaku di
kampung kita ini. Seperti seloko yang mengatakan
Rumah nan bepagar adat, laman nan besapu undang,
tepian nan bepagar baso, ateh tetutup bubungan perak.
Artinya, apapun yang ada kehidupan bermasyarakat, ada aturan-aturan yang berlaku
dan bersifat mengikat. Terkait dengan kelahiran anak, di kampung kita ini, berlaku adat
Mandi Kayik bila bayi telah lepas tali pusarnya.

IMAM DAN ISTRINYA SALING BERTATAPAN PANDANG MENDENGAR PENUTURAN DATUK


RIO.

IMAM :
Terkait dengan Mandi Kayik anak, hal itu sudah saya rundingkan dengan istri, Datuk. Kami
berdua sepakat akan mengusahakannya semampu kami. Namun, Datuk, kami tidak bisa
batimbang nan samo berat. Tapi kalaulah tak bisa penuh ke atas, kami akan berusaha
penuh ke bawah.

DATUK RIO :
Baguslah kalau memang demikian. Apakah sudah kau siapkan semua alat dan bahan yang
dibutuhkan.

IMAM :
Sudah, datuk. Beras pulut, tebu, tunas kelapa, dan jala. Sudah disiapkan semua, Datuk.
Tinggal membeli seekor kambing untuk hajatan mendoa di malam harinya, Datuk.

DATUK RIO MENGANGGUK-ANGGUKKAN KEPALANYA. LALU BERKATA DENGAN NADA


YANG PENUH PENEKANAN.

DATUK RIO :
Satu hal lagi yang tidak boleh kau lupakan Imam.

IMAM :
Perihal apa, Datuk. Bukankah semua bahan dan peralatan sudah kusiapkan?
DATUK RIO :
Ada satu hal lagi yang tidak boleh kau lupakan, Imam. (JEDA) Keberadaan Kampung yang
Hilang. (EKSPRESI WAJAHNYA BERUBAH MENJADI SANGAT SERIUS)

IMAM :
Mitos itu lagi, Datuk.

DATUK RIO :
Apa maksudmu, Imam? Apakah kota telah menghapus ingatanmu tentang
Kampung yang Hilang?

IMAM :
Tidak ada yang aku lupakan Datuk. Bahkan aku ingat betul ketika almarhum bapak
mengatakan bahwa Kampung yang Hilang hanya cerita pengantar tidur. Bisa jadi hanya
kisah karangan orang-orang tua kita dulu, Datuk. Kisah yang dibuat hanya untuk melepas
penat orang-orang ketika pulang dari talang.

DATUK RIO :
Jangan sekali-kali kau merendahkan apa yang telah diyakini oleh orang tua kita dulu,
Imam. (DENGAN NADA YANG SEMAKIN TINGGI).

BEBERAPA SAAT SUASANA HENING.

ISTRI IMAM :
Maafkan saya, Datuk. Apa sesungguhnya yang datuk maksudkan dengan Kampung yang
Hilang?

DATUK RIO :
Pertanyaan bagus, anakku. Sebagai seorang pendatang kau memang seharusnya
mencari tahu dan mempelajari apa-apa saya yang berlaku dan diyakini orang-orang
kampung ini.
MENGHELA NAFAS SEJENAK, MELANJUTKAN DENGAN NADA BERKISAH

DATUK RIO :
Dulu, pada masa lampau. Kampung ini terbagi menjadi beberapa kampung-
kampung kecil. Orang-orangnya hidup bersahaja dan menyatu dengan alam. Mereka
memiliki kesaktian yang tinggi. Masing-masing kampung memiliki banyak pendekar-
pendekar. Awalnya, mereka hidup dengan rukun meskipun berasal dari kampung-
kampung kecil yang berbeda. Sampai pada suatu ketika, terjadilah suatu peristiwa yang
memicu perselisihan antara dua kampung yang bersebelahan. Perselisihan itu berujung
menjadi perang kampung. Kedua belah pihak tidak mau mengalah. Mereka saling
serang! Saling bunuh. Tak terhitung berapa banyak korban yang berjatuhan dari kedua
belah pihak. Di salah satu kampung yang bertikai itu, terdapatlah seorang datuk tua sakti
yang memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi. Ia mampu membuat semua benda yang
awalnya nampak menjadi tidak terlihat oleh mata. Untuk melindungi kampung dari
serangan musuh, melindungi kaum perempuan dan anak-anak, melindungi semua harta
benda, datuk sakti itu memantrai kampungnya menjadi tidak terlihat oleh mata. Kampung
beserta seluruh isinya pun menjadi hilang seketika.

ISTRI IMAM MENDENGARKAN KISAH YANG DITUTURKAN DATUK RIO DENGAN


PERHATIAN DAN RASA PENASARAN YANG PENUH

DATUK RIO :
Setelah menutup kampungnya dari penglihatan orang, Datuk sakti itu turut berperang,
beserta seluruh kaum laki-laki pergi menyerang kampung musuh. Namun malang,
pertahanan musuh sangat kuat. Mereka kalah telak. Bahkan datuk sakti itu juga gugur di
peperangan. Mereka yang tersisa kebingungan. Kembali ke kampung, tapi mereka tidak
bisa melihat keberadaan kampung mereka. Tidak ada satupun dari orang-orang yang
tersisa itu membuka tabir gaib yang dibuat oleh datuk sakti yang sudah tewas itu. Sejak
saat itu, kampung itu menjadi kampung gaib, kampung itu menjadi tidak terlihat
selamanya. Sampai saat ini, kampung itu dikenali dengan kampung orang-orang bunian
atau kampung yang hilang.
ISTRI IMAM TERPUKAU MENDENGAR KISAH DATUK RIO.

ISTRI IMAM :
Bagaimana dengan nasib kaum perempuan dan anak-anak yang terkunci di kampung itu,
Datuk? (SEMAKIN BERTAMBAH PENASARAN DENGAN KELANJUTAN KISAH KAMPUNG
YANG HILANG)

DATUK RIO :
Orang-orang yang terkunci di kampung itu diyakini tetap hidup, mereka terus
berkembang meski mereka berada pada dimensi yang berbeda dengan dunia kita.
Sementara kaum laki-laki yang tersisa dari peperangan itu, juga melanjutkan
kehidupan dengan beranak pinak menjadi perkampungan baru. Dan kampung kami
inilah kampung baru itu.

ISTRI IMAM :
Berarti, orang-orang kampung yang hilang masih ada hingga saat ini?

DATUK RIO :
Tentu. Oleh karenanya, setiap ada sedekahan, kenduri, hajatan, atau pesta, kami juga
menyediakan hidangan untuk mereka. Sebab, sesungguhnya mereka juga kerabat dari
leluhur kampung ini.

IMAM :
(KEPADA ISTRINYA) Sudahlah, Dinda. Cerita itu hanya mitos, sama halnya dengan cerita-
cerita lain yang tidak akan bisa dicerna dengan akal pikiran kita.

ISTRI IMAM TERCEKAT, BELUM MENGERTI DENGAN APA YANG SESUNGGUHNYA TERJADI.

DATUK RIO :
Imam…. Imam. (MENGGELENG-GELENGKAN KEPALA) Kehidupan kota yang gemerlap
itu sepertinya telah membuatmu lupa dengan cerita leluhur kita, Imam. (DENGAN NADA
SINIS).

IMAM :
Tidak ada yang berubah dariku datuk. Aku hanya menggunakan akal pikiranku.

DATUK RIO :
Tidak semua perkara bisa kau selesaikan dengan akal pikiranmu, Imam. Manusia
memiliki keterbatasan untuk memahami sesuatu yang tidak bisa dijangkau dengan akal
pikirannya.

IMAM :
Tapi keterbatasan itu bukan menjadi alasan manusia untuk tidak berpikir Datuk.
DATUK RIO :
Tidak kuduga ternyata kau mewarisi kekerasan hati dan kebebalan pikiran bapakmu.

IMAM :
(EKSPRESI IMAM TAMPAK SEPERTI MENAHAN KEMARAHAN) Jangan datuk
mengatakan sesuatu yang buruk tentang bapak hanya untuk menutupi siapa datuk yang
sebenarnya. Jangan datuk usik ketenangan bapak di alam sana!

DATUK RIO :
Semasa hidupnya, dialah yang selalu menentangku. Sekarang, setelah dia tiada, anak
tunggalnya pula yang ingin menentangku.

IMAM :
Bapak menghabisi waktu untuk belajar dan memperdalam ilmu agama. Dia tahu, mitos
kampung yang hilang itu memberi dampak buruk bagi kampung ini. Orang-orang
kampung menjadi percaya dengan hal-hal yang mistis, seperti praktik perdukunan, ilmu
hitam, santet, pelet, dan lain sebagainya. Agama kita tidak membenarkan itu semua,
datuk. Itu menduakan tuhan. Dosa besar. Musyrik! (NADA BICARANYA MENINGGI).
DATUK RIO TERPERANGAH TIDAK PERCAYA MENDAPATKAN TENTANGAN YANG BEGITU
KERAS DARI IMAM.

IMAM :
Bapak dulu jelas sangat menentang ketika cerita kampung yang hilang itu datuk kaitkan
dengan penyelenggaraan hajatan, sedekahan, dan kenduri. Sebab, itu semua membebani
warga-warga kampung yang hidup berada di bawah yang serba kekurangan. Semua itu
membuat kesenjangan kesejahteraan di kampung ini semakin jelas. Sering mereka
terpaksa menjual sawah atau ladang mereka hanya karena ingin memenuhi tuntutan
ritual-ritual. Boleh saja kita mempertahankan tradisi sebagai usaha menjaga pewarisan
nilai-nilai kearifan asalkan tidak memberatkan.

DATUK RIO :
Dalilmu tidak berguna di sini, Imam. Apa kau lupa, kampung ini memegang
prinsip kebersamaan dan gotong royong, Imam! Ingat, ke bukit samo mendaki, ke lurah
samo menurun. Hati gajah samo dilapah, hati tungau samo dicicah. Kita hidup saling
menjaga, saling mengasihi. Tidak mungkin kita biarkan saudara-saudara kita hidup dalam
kesusahan. Bak aur dengan tebing. Aur sayang ke tebing, tebing sayang ke aur.

IMAM :
Benar, Datuk. Tapi itu dulu, bukan sekarang! Dulu, orang-orang kampung memang selalu
bergotong royong. Setiap ada sedekahan, mereka datang berbondong-bondong untuk
membantu. Ada yang datang beras, kelapa, kayu bakar, buah-buahan, atau apapun.
Semua mereka sumbangkan secara Ikhlas untuk membantu tuan rumah. Tapi sekarang?
Tidak Datuk.

DATUK RIO :
Apa maksudmu, Imam?

IMAM :
Datuk tidak usah berpura-pura tidak tahu. Bukankah semua ini sesuai dengan apa yang
datuk inginkan.
DATUK RIO :
Jaga ucapanmu!
IMAM :
Orang-orang kampung sudah berubah! Tidak ada lagi yang datang dengan
memberikan sumbangan. Mereka datang justru menambah beban sohibul hajat. Aku
sengaja datang di semua rangkaian mandi kayik cucu Wak Ijah. Aku melihat semuanya,
Datuk. Aku melihatnya.

DATUK RIO :
berhentilah mengada-ada, Imam.

IMAM :
Aku melihatnya Datuk. Bagaimana kaum-kaum ibu di dapur hanya sibuk bergunjing sambil
membungkus bahan makanan untuk dibawa pulang ke rumahnya masing-masing. Aku
melihat bagaimana bapak-bapak hanya asyik bergurau sambal menghabiskan semua yang
disajikan tanpa mengerjakan sesuatu. Mereka Cuma bisa teriak “kopi mana kopi?” “Rokok
habis, ni.” Itukah yang datuk maksudkan dengan kebersamaan? (MENATAP KE ARAH
DATUK) Adapun orang yang datang menawarkan bantuan, semata-mata karena
mengharapkan keuntungan berlipat, seperti membungakan pinjaman. Dasar rentenir!

DATUK RIO :
Aku mengulurkan bantuan dengan ikhlas, Mam! (MERASA TERSINGGUNG)

IMAM :
Orang-orang yang susah akan semakin susah. Sementara, orang-orang kaya semakin
kaya. Seperti Datuk.

DATUK RIO :
Lancang kau, Imam! (BERDIRI, BANGKIT DARI KURSI, WAJAHNYA TAMPAK MENGERAS TAK
BISA MENAHAN KEMARAHAN)
IMAM :
orang-orang kampung yang polos. Bisa saja terpedaya. Datuk jerat mereka dengan
menanam budi. Utang emas dapat dibayar, utang budi dibawa mati. Dengan cara begitu,
Datuk mempertahankan pengaruh datuk di kampung ini. Berpuluh tahun tidak ada yang
bisa menggantikan datuk sebagai Rio. Meskipun sesungguhnya mereka tahu semua
arogansi dan kesewenangan Datuk. Mereka terhutang budi.

DATUK RIO :
Cukup, Imam! (MEMBENTAK) Tidak sepantasnya kau bicara begitu di depanku! Kau tak
lebih dari seorang kampung yang punya mimpi terlalu besar, merantau ke kota, lalu
pulang setelah gagal dan hanya membawa kekalahan.

IMAM :
Dan datuk tak lebih tetua kampung yang berlindung di balik adat dan tradisi demi hasrat
kekuasaan. Aku tidak akan mengadakan Mandi Kayik diluar kemampuanku. Apalagi
dengan alasan untuk orang-orang kampung yang hilang itu.

DATUK RIO MELANGKAH KE DEPAN PINTU KE ARAH KELUAR PANGGUNG.

DATUK RIO :
Ingatlah, rumah sekato tengganai, kampung sekato nan tuo, alam sekato rajo. Aku, Rio di
kampung ini, Imam. (TERIAK DATUK DARI DEPAN PINTU, LALU PERGI DENGAN PENUH
KEMARAHAN)

IMAM TERPEKUR DI KURSI. SEMENTARA ISTRINYA JUGA TERDIAM. NADA-NADA KRINOK


KEMBALI MENYAYAT-NYAYAT SUASANA. PENCAHAYAAN MEREDUP. DARI DALAM KAMAR
TERDENGAR SUARA TANGISAN BAYI. ISTRI IMAM BERGEGAS MASUK KE DALAM KAMAR.
IMAM BERDIRI, BERJALAN PELAN KE ARAH PINTU KAMAR. LALU, BERKATA DENGAN
SUARA YANG LIRIH DAN BERGETAR.

IMAM :
Dinda, berkemaslah! Kumpulkan semua barang-barang kita. Besok, sebelum matahari
terbit, kita harus segera pergi. (BERBICARA KE ARAH ISTRINYA) ya. Kita harus segera
meninggalkan kampung ini. Kampung ini sudah tidak ada, Dinda. Kampung ini sudah
hilang… sudah hilang. Sudah benar-benar hilang. Kampung ini, kampung yang hilang.

UCAPAN TOKOH IMAM DISAHUTI TANGISAN BAYI DARI DALAM KAMAR. ALUNAN MUSIK
MEMBANGUN KEPILUAN SUASANA. PENCAHAYAAN PANGGUNG MEREDUP, LALU PADAM.

SELESAI
Inspirasi penulisan: Ritual Mandi Kayik
Masa bayi ditandai dengan suatu upacara yang bernama mandi ke air atau mandi ke
sungai (mandi kayik). Orang Melayu Jambi hampir tidak mengenal sumber air tanah selain
sungai. Dengan kata lain orang melayu Jambi sangat tergantung kepada sungai yang
memang banyak di Jambi. Upacara mandi ke air diadakan ketika pusat anak sudah tanggal,
biasanya saat bayi laki-laki berumur tujuh hari, dan saat bayi perempuan berumur 8 hari.
Upacara ini didahului dengan mencukur rambut anak pada malam hari dengan disertai
upacara memotong kambing. Tujuan dari upacara ini adalah sebagai perayaan serah terima
anak antara dukun dengan ibunya. Dukun dianggap sudah sampai pada akhir tugasnya
(mulai dari hamil sampai saat tanggal pusat si anak). Oleh Kemedikbud RI, ritual ini
telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Jambi pada tahun 2015.
Sumber: https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/. Diakses 3 Mei 2023.

Secara bahasa, ke ayik mandi/mandi kayik merupakan peristiwa seseorang yang pergi
mandi. Dalam hal ini, mandi kayik yang dimaksud adalah pergi mandi ke sungai karena
sejak dahulu masyarakat Jambi memanfaatkan sungai sebagai sarana MCK (mandi, cuci,
kakus). Mereka menyebutnya dengan tapian atau tepian. Sebagian menyebutnya
sebagai jamban. Tapian atau jamban yang banyak ditemukan di pinggir-pinggir sungai
Batanghari dari hilir hingga ke hulu. Biasanya tepian laki-laki dan perempuan diletakkan
terpisah. Istilah mandi kayik merujuk pada ritual atau upacara memandikan bayi. Ritual ini
adalah ritual tradisional yang membawa bayi setelah tali pusarnya (tampun) lepas, atau
setelah berumur 1-2 minggu sejak kelahirannya. Bayi dibawa oleh dukun yang membantu
kelahirannya tidak diperbolehkan orang lain bahkan ibunya sendiri tidak boleh ibunya
hanya menunggu si Anak di rumah, ritual mengikut sertakan masyarakat dalam
pelaksanaannya.

Ke ayik mandi dimaksudkan untuk pengenalan awal si Bayi dengan lingkungannya. Alam
tidak terpisahkan dengan kehidupannya manusia. Bagi masyarakat setempat anak sejak
kecil sudah harus diperkenalkan dengan lingkungannya. Terlebih dari sekadar
memandikannya, mandi kayik juga menjadi pertanda bahwa si anak sudah waktunya untuk
di beri nama. Menurut kepercayaan masyarakat setempat jika terlambat memberi nama
untuk si Anak, maka anak tersebut juga terlambat beroleh kepandaian. Seperti terlambat
berjalan, berbicara dan pertumbuhannya pun melambat. Pemberian nama bayi
dilakukan setelah mandi kayak selesai.

Anda mungkin juga menyukai