Anda di halaman 1dari 315

1

1
AKU LAHIR JAMAN KOMPENI
MALING BANDAR JUDI BERKASTA TINGGI

E
ntah ketika itu aku berusia berapa, juga tak tahu tahun berapa, yang kurasakan
hanya bau keringat bapak saat aku dipunggungnya, digendong dengan kain
mindri satu- satunya milik biyungku yang paling berharga.
Akhirnya tahu dari cerita bahwa sore itu baru saja aku diambil dari tempat pengungsian, saat
rumah mbah Klencer diseberang jalan dekat rumahku dibakar Kompeni Belanda karena
diduga menjadi markas atau kantong gerilya pasukan tentara Jenderal Sudirman, pada masa
perjuangan merebut kemerdekaan. Mbah Klencer adalah paman bapak yang merelakan
sebagian rumahnya untuk markas pejuang karena bujukan bapakku.
Hal itu pun tak banyak saya dengar yang keluar dari cerita bapak, kecuali dari orang –
orang yang mengalaminya setelah bapak meninggal saat aku belum tamat Sekolah Dasar.
Mengetahui nama bapak, biyung panggilan ibu bagi keluargaku, kampung apa dimana aku
dilahirkan, setelah aku mengawali masuk sekolah. Tatkala aku mulai sekolah baru merasakan
kehidupan dikampungku jaman itu rat –rata miskin, bodoh dan buta huruf.
Sebagian besar penduduk makanan pokok sehari – hari nasi tiwul, yaitu tepung gaplek
dari singkong yang dikeringkan, hasil tani rata – rata penduduk dikampungku. Itupun
kebanyakan tidak cukup untuk dimakan sehari –hari. Agar bisa mencukupi kebutuhan hidup
ada yang merantau kekota menjadi buruh pabrik, pembantu rumah tangga, buruh bangunan,
penjaga toko dll.
Ada juga yang menjadi tengkulak hewan ( blantik ), dagang hasil bumi, ataupun hasil
karya orang – orang kampung. Kebanyakan kaun ibu rumah tangga adalah bertani jika musim
tanam dan panen, disela – sela bertani mereka menenun bahan pakaian dari benang yang
dibeli dari kota, yang hasilnya setelah menjadi kain sederhana dijual kepedagang, ada juga yang
untuk dipakai sendiri.
Kehidupan sosial jauh dari semestinya pendidikan agama masih langka walaupun
sebagaian besar beragama islam tapi musholla jarang ditemui, masjid yang saya ketahui tak ada,
kalaupun ada jauh di pinggir kota ataupun kota. Tuntunan moral yang dipakai mereka hanya
kata “Para Wali “ tetapi tidak tahu bahwa Wali yang dimaksud adalah Wali yang menyiarkan
Agama Islam di tanah Jawa. Mereka menganggab para Wali adalah orang - orang sakti yang
berilmu tinggi sehingga dihormati kata – katanya. Orang yang menjalankan rukun Islam,
walaupun mengatakan beragama islam masih sedikit, disebabkan kondisinya masih serba
tertinggal.
Kebiasaan berjudi bukan hal yang aib, jika laki – laki dewasa belum bisa berjudi malah
dianggap kurang gaul. Bahkan ada kampung status sosialnya rendah jika kepala rumah tangga
tak bisa berjudi. Bandar judi status sosialnya termasuk kalangan atas. Kegiatan judi biasanya
dilakukan jika ada acara adat antara lain; malam kitanan, penikahan, kelahiran salah satu
penduduk kampung. Hari besar agama pun dirayakan dengan judi, disitu ada orang
berkumpul biasanya ada judi. Ironisnya keadaan itu masih terjadi hingga tahun 1976,
menjelang trasmigrasi bedol desa Gajah Mungkur.
Suatu peristiwa yang sangat menyedihkan. Seorang laki –laki tua yang miskin,
badannya kurus terkena serangan TBC. Sisa hidupnya menyedihkan karena sebagai tulang
punggung keluarga bergantung istrinya yang sudah tua pula. Laki - laki tua tersebut mengakhiri
umurnya dikalangan judi dadu, walaupun hanya sekedar nonton sambil mengharap belas
2

kasih orang - orang yang menang judi. Tak jarang malah sering dihardik walaupun ada juga
yang iba dan memberi sedekah seadanya.
Tragisnya akibat penyakit yang menggrogoti paru – parunya, orang tua tersebut
meninggal dirumahnya yang sangat sederhana. Tiga anak laki – lakinya meninggalkan kampung
dan orangtuanya, tak mudah dihubungi, karena belum ada alat komunikasi yang memadai saat
itu.
Pada malam meninggalnya orang tua tersebut, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk
membiayai upacara pemakamannya. Kebetulan ketika itu saya pulang kampung, sudah barang
tentu berada ditengah keluarga mereka. Saya mengeluarkan gagasan bagaimana cara mencari
sumbangan dari orang – orang yang melayat. Dengan cara menggunakan songkok saya
terlentangkan dan saya edarkan semacam kotak infak dengan harapan mendapatkan bantuan
dari orang – orang yang datang malam itu. Terkumpullah uang sejumlah Rp. 540, hasilnya
kulaporkan ke tokoh masyarakat setempat sekaligus tokoh penjudi.
Terkejutlah saya, setelah kulihat disuruhnya seseorang membeli satu pack kartu, gula
dan teh ke sebuah warung di kampung itu. Mendengar rencana gila tersebut, saya beristighfar,
lantas pulang kutinggalkan mereka. Selesai Shalat Shubuh saya kembali kerumah duka,
ternyata permainan judi dengan kartu setan tersebut masih berlangsung.
Malah saya dengar uang hasil judi terkumpul Rp. 11.000 telah diberikan kepada pihak
keluarga untuk membeli kain kafan serta keperluan pemakaman. Dengan budaya gotong
royong warga kampung, diharap pagi itu semua yang diperlukan sudah beres. Lantas saya
tampa diminta, menghubungi seorang modin untuk memimpin fardu khifayahnya.
Banyak sanak keluarga, dan pelayat membawa beras dll, untuk keperluan kendurian
adat, menjelang keberangkatan jenazah ke pemakaman.
Ternyata kebiasaan orang kampung di kawasan ini, sebelum mayat dibawa ke liang lahat,
diadakan kenduri lebih dahulu, tentunya setelah mayat dikafani dan dishalatkan.
Setelah selesai kendurian, tamu pelayat makan sekadarnya, baru jenasah dikubur yang
dipimpin seorang modin. Seingat saya, acara selamatan diadakan setelah 40 hari ada juga
seratus harinya. Nah setelah seribu harinya bagi yang mampu memotong kambing dan
mengundang modin untuk membaca surat Yasin, walaupun hanya modin sendiri, yang
membaca.
Setahu saya pelayat yang hadir hanya ngobrol, kecuali yang satu meja dengan modin.
Itupun sekedar diam mendengarkan saja, begitulah jaman itu dikampungku dan sekitarnya.
Namun demikian toleransi antar warga apapun asalnya dan sangat tinggi.
Kebanyakan tak mereka tau dosa itu apa, yang mereka tahu cuma malu jadi
omongan. Ada juga satu dua maling, tapi tak meresahkan, karena maling pun tahu, kalau yang
dicuri pun tak ada harganya, kecuali ternak peliharaan, dan tanaman.
Konon maling yang terkenal hanya mendiang mbah Klencer, paman bapak. Tetapi
warga sekitar kawasan itu tak ada yang merasa tergangu, karena yang dicuri mbah Klencer
hanya barang – barang berharga seperti barang pusaka, perhiasan, yang tak mungkin dimiliki
warga daerah situ. Entah dari mana harta yang dia curi, maling tua yang satu ini termasuk
maling legendaris pada jamannya dan kaya.
Namun kelebihan mbah Klencer suka membantu orang miskin. Walaupun hanya
memberi pinjaman saat – saat musim paceklik pangan, penduduk dapat mengembalikan
pinjamannya pada musim panen. Kendati terkenal maling tak ada yang melecehkan beliau.
Orang–orang tetap hormat kepada mBah Klencer hingga akhir hayatnya. Bahkan menjadi
”telandan” penduduk seantero situ. Sering menjadi ...... kalau jadi maling bergaulah ke mbah
Klencer.
Konon maling sepuh itu jika ”praktek” mengenakan baju beskap, ikat kepala batik,
berkain batik Sido Mukti, dan aksesoris seperti Sultan. Keluar operasinya petang hari,
3

pulangnya beberapa hari kemudian. Hobinya koleksi barang mewah curian. Rumahnya besar
dari kayu jati pilihan, jika teriak dirumahnya suaranya menggema, seperti di goa Selarong.
Kendati demikian mbah Klencer tak hobi judi, hobinya cuma satu, nyatroni rumah –
rumah orang kaya, menguras barang mewah, tapi tak pernah melukai apalagi membunuh
korbannya. Dan hebatnya tak pernah ketangkap, konon bisa menghilang kaya Bung Karno.
Cara masuk kerumah korbannya pun tak pernah merusak kunci atau apapun, dia
masuk dan keluar pakai ilmunya lewat lubang angin. Malah ada yang mengatakan maling
”sakti” yang bisa masuk kerumah orang kaya melalui sinar lampu pemilik rumah yang
memancar lewat lubang kecil. Bagi yang punya benda pusaka ”kiatnya” jangan ngalakan lampu.
Yang terkenal masyarakat sebagai warga terpandang selain mbah Klencer juga ada lagi
yaitu lik Marijo Bandar Dadu kelas atas. Walaupun tak legendaris seperti mbah Klencer. Lik
Marijo selain bandar dadu juga jago bermain judi kartu Cina. Permainan itu disebut ”main”
kartu Limo dan Ceki
Tokoh judi satu ini termasuk warga kelas atas, karena dari dia memiliki rumah bagus
lengkap dengan regol dipintu gerbang masuk ke pekarangan rumahnya yang luas. Dinding
rumahnya mewah terbuat dati kayu Jati yang disebut Gebyok, baik rumah Pendoponya juga
rumah belakangnya.
Dijaman itu orang golongan elit, ciri – ciri rumahnya ada; Pendopo, rumah belakang,
rumah dapur dan kandang ditambah lagi memiliki Regol.
Lik Marijo walaupun frabesi, berjudi juga memiliki sawah dan ladang yang luas,
namun jarang sekali menggarapnya sendiri. Sawah ladanya ditanami tanaman pangan sebagai
mana umumnya, tetapi menanam dan menanaminya diburuhkan. Maka dikalangan petani
terkenal ”buruh tani” yaitu petani yang tak memiliki tanah garapan yang cukup, maka
menggarap sawah ladang orang lain hanya sebagai buruh.
Yang punya lahan luas sebagai juragan, beberapa penduduk hanya sebagai buruh
penggarap. Maka dikalangan petani yang tanahnya luas disebut tuan tanah. Tapi lik Marijo tak
termasuk tuan tanah, dia hanya terkena Bandar Dadu yang dihormati.
Itulah kehidupan sosial pasca jaman Kompeni, maling disegani, bandar judi
dihormati. Yang saya herani penduduk atau rakyat jaman itu taat kepada peraturan yang di
keluarkan pemerintah. Kalau ada perintah gotong royong tak ada yang mangkir. Walaupun
yang dikerjakan gotong royong jauh dari kampungnya, misalnya membersihkan saluran irigrasi,
membuat sekolahan, jembatan, dan lain – lain yang menyangkut kepentingan umum.
Kepala desanya pun kabarnya juga bijaksana. Kalau ada warga yang ketangkap mencuri
ternak, misalnya tak dilaporkan ke yang berwajib, tapi disuruh keluar kampung entah kemana.
Jika sudah lama dilupakan penduduk baru boleh pulang seolah – olah telah menjalani
hukuman. Ada juga yang diantar oleh Kadesnya mendapat pekerjaan di kota ada juga yang
sampai ke Lampung.
Bahkan ada Kades yang cerdas. Maling yang susah di sadarkan, malah diangkat menjadi
perangkat desa misalnya menjadi Kepala Keamanan Desa yang disegani yaitu ”Jaga baya.” Jaya
Baya mantan maling diberi tanggung jawab menjamankan desa, dengan imbalan tanah
garapan yang disebut Bangkok.
Dikelurahan Sendang, malah kadesnya mantan maling tersohor yang ditakuti
penduduk di seantero situ, walaupun buta huruf. Hanya karena wibawanya, kelurahan
Sendang konon tak ada penduduk yang berani menjadi maling. Maka kelurahan Sendang
kehidupan masyarakatnya aman sejahtera. Walaupun Kadesnya tak bisa baca tulis.

.................000....................
4

2
DITERIMA SEKOLAH
BUKAN BERAPA UMURNYA
TAPI PANJANG TANGANNYA

P
agi – pagi, bulan Juli 1955, aku ikut bapak mendaftarkan sekolah kakakku yang
nomor tiga, dari lima bersaudara yang semua laki – laki. Kakak pertama tidak
sekolah hanya ikut PBH ( Pemberantasan Buta Huruf ) sekedar bisa membaca
dan menulis saja. Sedangkan kakakku yang nomor 2 baru saja naik ke kelas empat di sekolah
itu juga. Waktu itu sekolahanku SR 6 Karanganyar I belum ada murid kelas VI (enam). Ketika
aku sampai di sekolahan ternyata belum banyak orangtua yang mendaftarkan anaknya,bahkan
orang sekampungku hanya ada 5 orang anak yang ikut mendaftar, saya sendiri sebetulnya
belum didaftarkan, hanya sekedar ikut kakak saja. Tapi bapak membiarkan aku berbaris
dengan anak – anak yang lain.
Setelah pendaftaran di mulai peserta berbaris berjajar sambil melingkarkan tangannya
diatas kepala. Bagi peserta yang ujung jarinya dapat menyentuh kuping dikumpulkan dibawah
pohon ceri atau talok.
Walaupun aku hanya sekedar ikut, ternyata termasuk yang diisolir dibawah pohon itu,
terpisah dengan kakakku, namun saya tidak tau maksudnya.
Ketika itu anak–anak kelompok bawah pohon terkumpul sekitar dua belas anak. Aku
clengak–clinguk gelisah, karena terpisah dengan kakakku, apa lagi menjadi satu kelompok anak
anak yang relatif lebih tua umurnya dan belum kenal.
Tak lama kemudian orangtua yang anaknya sekelompok dengan saya dipanggil satu
persatu, termasuk bapak tentunya. Dan ternyata kelompok bawah pohon itu adalah yang
diterima di kelas I (satu ) SR 6 Karanganyar I pada tahun itu.
Kami pulang kerumah masing – masing, sesampai dirumah setelah makan siang bapak bicara
dengan biyungku, bahwa yang diterima masuk sekolah bukan kakakku, tetapi saya. Dari cerita
bapak ternyata yang tangannya telah sampai pengang telinga dari atas kepala adalah yang
diterima. Nah kakakku tidak lolos karena ketiaknya sakit koreng sehingga jika dipaksa
menggapai kupingnya sebagaimana syaratnya merasa sakit sekali alias tidak diterima.
Teman sekampungku ada empat yang diterima termasuk aku yang dua orang jelas –
jelas lebih tua dengan saya, selisih umur 4 tahunan, satunya lagi perempuan anaknya orang
kaya. Seminggu menjelang masuk pertama sekolah aku dinasehati bapak dan dibelikan pakaian
baru atau mungkin bekas, celana kolor. Sebetulnya tak suka celana kolor, tapi kata bapak itu
yang cocok untuk saya sebab perutku gendut susah ukurannya jika bukan kolor.
Saya tidak tahu perasaan kakakku, karena selama yang saya ketahui kakak yang satu ini
sabar, selalu mengalah, dan jujur serta setia ihklas membantu pekerjaan Biyung seperti masak
tiwul, ambil air dan pekerjaan lain yang semestinya dikerjakan perempuan, mungkin menyadari
bahwa tidak ada perempuan lain kecuali Biyung .
Hari pertama masuk sekolah adalah Senin, karena ada upacara bendera di sekolahan.
Aku tak diantar bapak karena kakakku yang nomor dua, Sunyoto ketika itu telah kelas IV (
empat ) di SR yang sama dengan aku. Lagi pula ada dua orang anak laki – laki tetangga
sekampung yang pagi itu menjemput saya mungkin dipesan bapak. Ada satu lagi teman sekelas
yang satu kampungku tetapi tidak pernah sama, baik berangkat maupun pulang, karena jaman
itu malu jika laki –laki dan perempuan jalan bersama. Temanku perempuan tadi namanya
5

Panti orangnya agak maskulin tapi pakainnya bagus dan rapi, karena anak orang terpandang di
kampungku, yaitu bandar dadu, permainan judi yang terkenal di kala itu.
Upacara bendera pagi itu pengalaman pertama bagi kami kelas I, maka kami dibimbing
guru untuk berbaris tanpa alas kaki apapun, kecuali dua orang anak yang kulihat mengenakan
sepatu kulit.
Pakaian pun beragam baik jenis ataupun warnanya. Selesai upacara aku digiring masuk ruang
kelas, berlantai tanah, dinding anyaman bambu, tapi meja belajarnya bagus–bagus.
Peraturan ketika itu anak perempuan duduk di depan, aku bersama kang Midi teman
sekampungku duduk satu meja di bagian belakang. Yang mengatur kami duduk dikelas adalah
pak Bon, penjaga sekolah yang sehari–hari membersihkan halaman dan perkarangan sekolah.
Hal duduk diruang kelas bagiku tak begitu asing, karena waktu kecilku sering bersama –
sama calon tentara yang belajar baca tulis, di rumah mbah Klencer yang difungsikan menjadi
asrama setelah dibakar Belanda. Kabarnya pemuda – pemuda di seantero situ, yang ikut
berjuang bergerilya melawan penjajah, dipimpin Letnan Junali, belum bisa baca tulis semua.
Beberapa yang sudah jadi tentara dan sudah pandai, menjadi guru dikelas PBH itu.
Bulikku adik Biyungku, ditunjuk membantu masak di asrama itu. Pada hari – hari tertentu aku
diajak ke dalam asrama, agar tak menggangu bulik, salah satu tentara mengajak saya belajar
membaca di ruang PBH. Lama kelamaan aku bisa membaca bahkan lebih pandai dari rata –
rata seusiaku.
Setelah calon dinyatakan diterima menjadi tentara, sekolah di tutup. Asrama tak ada
lagi penghuninya, maka diambillah mbah Klencer dijadikan rumah tinggal biasa, dan aktifitas
penduduk berjalan seperti biasanya.
Bedanya penduduk sudah tenang karena kemerdekaan sudah lama diproklamirkan,
tentara yang sudah dilantik pada pamit kepada penduduk terutama mbah Klencer. Dengan
penuh haru mereka meninggalkan desa kami, dengan mewariskan semangat berjuang bela
negara, walaupun kemiskinan tetap abadi hingga puluhan tahun kemudian.
Sebelum sekolah, saya kira yang miskin cuma didaerahku, ternyata dimana – mana
kondisi sosial kurang lebih sama. Oleh karena itu setelah saya tau hampir semua miskin, maka
segala kekurangan tak ku ambil pusing.
Baru berfikir, tentang teman–temanku yang baru kukenal kelihatan agak tegang dan
grogi, tiba–tiba dikejutkan kehadiran pak Bon bersama seorang sepuh mengunakan kain
batik, berbaju beskap, berblangkon, lengkap dengan asesorinya. Saya kira dalang wayang kulit,
ternyata pak Bon memberi penjelasan, bahwa priyayi sepuh tadi guru kami.
”Anak – anak , ini pak guru yang akan ngajar di kelas ini, kalian boleh memanggil
beliau pak Rangga atau pak guru,” kata pengantar pak Bon dengan menggunakan bahasa
Jawa. Setelah itu, kutengok kanan kiriku sambil berdiri. Ternyata teman sekelasku yang paling
bocah cuma saya sendiri.
Dengan suara lirih dan berwibawa, pak guru tua tadi memulai pelajaran bagaimana
berbicara yang sopan, hormat, dan kata – kata yang baik dan benar. Bagaimana duduk dikelas
dan berbaris sebelum masuk kelas. Bagi yang barisannya rapi dan lurus adalah yang boleh
masuk kelas lebih dahulu.
Untuk itu perlu ketua kelas yang selalu memimpin segala kegiatan, maka dipilihlah
ketua kelas murid yang paling senior dan cakap diantara temanku yang usianya lebih tua
dariku. Tanpa proses pemilihan, ditunjuklah oleh pak Rangga dan diperkenalkan bernama
Dani. Secara aklamasi kami setuju saja, karena mas Dani kabarnya adiknya pak Bon.
Pelajaran hari itu ditutup dengan pembagian formulir agar diisi orang tua atau wali
murid, tentang pekerjaan orang tua dan lain – lain yang mengenai identitas kami.
Formulir tersebut besok paginya harus diisi dan dibawa kesekolah sebagai perkenalan
antar teman dan guru tentunya.
6

Setelah semua murid mendapat pembagian formulir, ketua kelas dibimbing kedepan,
diajari bagaimana upacara bubaran sekolah sebagaimana tata tertib yang berlaku mulai hari itu,
tidak boleh berebut bagi yang barisannya tertib itulah yang keluar lebih dahulu, seperti halnya
jika mau masuk kelas.
Sekitar pukul 09.00 pagi diluar kelas aku mencari teman sekampung yaitu kang Midi
dan lik Warno. Sedangkan teman perempuanku Panti, bergabung dengan kelompok
sejenisnya. Selanjutnya pulang kerumah masing – masing dengan penuh perasaan tanda tanya
yang tak mungkin diantara kami bisa menjawab.
Formulir kecil tadi ditulis dengan huruf cetak, berbahasa Melayu (Indonesia) yang tak
mungkin kami faham,sebab kami memang belum bisa baca tulis apalagi bahasa Indonesia,
karena selama ini semuanya berkomunikasi dengan bahasa daerah yaitu Jawa.
Satu jam kemudian aku sampai dirumah, karena bapak tak kujumpai maka ketemui
biyungku, sambil melaporkan tentang secarik kertas yang kubawa. Biyung tak merespon
karena sadar, tidak mengerti isi surat tadi. Begitu bapak pulang dari ladang, baru hal tersebut
kulaporkan. Ternyata sekali tiga uang bapak tidak bisa baca, kecuali huruf Jawa. Bahkan
bapak malah meyerah formulir isian kesaya ;
”Kamu kan bisa membaca“ katanya.
”Iya pak aku bisa baca saja tapi tak tahu artinya, karena pakai bahasa melayu,” jawabku.
Akhirnya kertas kosong tadi kutaruh dimeja bapak, kutindis dengan tutup cangkir.
Sekitar pukul setengah satu siang kakakku Sunyoto pulang, langsung kulapori tentang
formulir tadi. Tapi kakakku tidak menangapi sebagaimana yang saya harap, lalu saya lapor
bapak lagi, bahwa kang Nyoto malah acuh ;
”Biar makan dulu diakan juga capek,” nah setelah menikmati tiwul dan sayur lodeh
terong tampa lauk pauk , baru saya menemui kakak. Kusodorkan kertas tadi dan dengan cepat
ditulisnya pertanyaan diformulir tadi lalu dikembalikan kepada saya, lalu berkata
”Hafalkan semua karena biasanya kamu ditanya pak guru tentang isi formulir tadi”.
”Loh kalau aku tak hafal gimana?” tanyaku.
”Yah hafalkan, kamu kan sudah bisa baca!!” ketusnya.
Hari kedua, setelah kumpul dengan teman – teman kami belajar berdiskusi tentang
formulir yang menjadi PR pertama itu. Ternyata ada yang belum mengisi, ada yang isinya tidak
lengkap, karena nama Kabupaten, apalagi Karsidenan dan Propinsi sama sekali tidak diketahui.
Lantas kubantu yang tidak diketahui mereka.
Tapi terkendala tak bisa menuliskannya, ”maklum masih buta huruf,” gumanku.
Akhirnya dengan seadanya, buru – buru ke sekolah. Sampai di sekolah ternyata teman – teman
lain kampung juga tak beda jauh. Masalahnya sebagian besar keluarga mereka belum melek
huruf alias tak bisa baca tulis, ternyata buta huruf berjama’ah.
Rasa kacau belum usai, dikejutkan bunyi lonceng, tanda murid – murid harus masuk ke
kelas masing –masing. Ada yang lupa juga, bahwa harus baris berjajar depan kelas dulu.
Dengan mantap mas Dani, ketua kelas kami mengatur barisan sebagaimana mestinya yang
berlaku saat itu.
Setelah semua duduk rapi, pak guru menyapa kami dan mengeluarkan isi tas kulit
warna coklat, terus memanggil nama kami satu persatu. Bagi yang hadir disuruh menjawab,
”ada”. Dan seterusnya tak ada yang ketinggalan.
Yang menjadi heran saya lho kok pak guru sudah tahu nama–nama kami, padahal
formulir yang ada di kami belum diterima. Malah nama kami di panggil satu persatu di tanya
nama orang tua seperti yang ada di formulir. Pada giliran nama saya di panggil. Saya langsung
menghadap pak guru, karena kelihatan pak guru kaget maka saya mejadi grogi dan ragu.
Setelah itu saya disuruh kembali duduk, dan akhirnya semua disuruh menyerahkan
formulir masing–masing. Agak ribut memang, karena belum berpengalaman maka berebut
menyerahkan seperti saya tadi. Lalu semua kembali ke tempat duduk masing–masing. Baru
7

pak guru memanggil satu persatu. Saya ingat murid yang dipanggil pertama namanya Mulyanto,
anaknya agak kurus, tapi wajahnya bersih, pakaiannya rapi dan bagus, dan satu–satunya anak
laki-laki diantara kami yang memakai sepatu. Dari kabar yang saya dengar ternyata ”Dia”
adalah cucunya pak Rangga, guru kami, makanya tutur katanya lancar dan tatakramanya bagus.
Selanjutnya dengan memanggil secara acak mungkin sesuai dengan susunan kertas
formulir tadi. Sampai belasan murid tak ada kendala yang berarti. Cuma kok pak guru tidak
menanyakan, semua yang ada di formulir tadi misalnya: Kecamataan, Kabupaten dan lain –
lain. Padahal isian tadi yang rata – rata kami tak bisa menjawab, karena tidak tahu?
Kemudian saya baru tahu, bahwa kami dalam lingkup kecil hanya dari dua Kelurahan,
yakni Kelurahan Gudangdondong dan Kelurahan Ngumbul, dalam Kecamatan yang sama
adalah Kecamatan Kuntorongadi, dasar anak desa yang masih bodoh, termasuk orang tua
kami juga.
Sampai belasan murid pendataan berjalan sebagaimana mestinya, menjadi agak heboh
setelah pak guru memanggil teman perempuan sekampungku yang bernama Panti.
”Kamu namanya siapa ndhuk?” tanya pak guru saat mbak Panti di depan kelas.
”Panti Pak, lengkapnya Dwi Supanti.”
”Sebutkan nama bapakmu dan pekerjaannya?”
”Nama Bapak Maridjo, pekerjaan Tani, ” kata mbak Panti.
Begitu mendengar bahwa pekerjaan Pak Maridjo Tani, dengan sepontan saya teriak
lantang:
”Salah pak pekerjaan Lik Maridjo bukan petani tetapi ”Bandar dadu.”
Sontak pak guru kaget, kelas gaduh karena murid laki – laki yang senior tertawa semua.
Bahkan pak guru kelas dua, saat muncul di pintu ikut tertawa. Saya menjadi bingung melihat
suasana ini, ternyata semua tertawa kecuali murid perempuan. Mereka cuma senyum tersipu
memperhatikan saya yang merasa kebinggungan.
Setelah situasi mereda, kuperhatikan mbak Panti menyeka air mata, rupanya menangis.
Dengan suara mendidik pak guru menyuruh mbak Panti kembali ke tempat duduknya. Giliran
saya diminta maju sebagaimana murid – murid lain. Begitu berdiri dekat papan tulis, tanpa
ditanya, langsung kuutarakan;
”Nama saya Ade, bapak saya Saimum dari desa ...!!” aku sebetulnya sudah hafal tapi
belum selesai bicara tiba -- tiba pak guru menyela:
”Saya belum bertanya kok kamu sudah menjawab?” Mengetahui saya tak mungkin
menjawab, pak guru meneruskan, pertanyaannya;
”Mengapa kamu mengatakan bahwa pekerjaan bapaknya Panti Bandar Dadu?” tanya
pak guru membuatku tersipu dalam hati ;
”Orang sekampungku tahu semua pak !” jawabku , pak guru tersenyum mbak Panti
kulihat tersedu, aku sendirian bingung. ”Mengapa kok jadi ger-geran,” tanyaku dalam hati
Tak lama kemudian bunyi lonceng, pertanda pelajaran selesai dan kami boleh pulang,
dengan perasaan agak bingung aku bergabung dengan teman teman sekampung seperti biasa.
Rupanya peristiwa pagi itu, didengar kakak saya Sunyoto, karena sorenya, setelah
makan saya ditanya bapak;
”Mengapa kamu katakan bahwa pekerjaan lik Marijo bandar dadu?”
”Benarkan Pak” jawabku.
”Iya benar, tapi tak boleh dikatakan didepan umum, apa lagi di sekolahan,” kata bapak.
”Ya itulah akibatnya kalau belum cukup umurnya,” celetuk biyung sewot.
”Bukan salah bapak yung, yang diterima masuk sekolah bukan berapa umurnya, tapi,
panjang tanganya. Lagi pula Ade, umurnya cukup juga kok,” kata kang Sunyoto meluruskan
masalahku. Biyungku faham walaupun agak majhul. Kenyataanya, dibandingkan dengan kakak-
8

kakakku, aku lebih bongsor. Meeka rata – rata kurus, sedangkan aku tumbuh subur. Kata lik
Suto, karena aku dilahir setelah kemerdekaan.
Ada juga yang bilang, makanku kuat, karena doyan minum jamu.

..................oooo....................
9

3 AKU SEKOLAH RAKYAT


MASIH DI JAMAN ”BATU”

H
ari–hari selanjutnya, setelah kami mulai tenang dan mengenal banyak teman,
mulailah pelajaran sekolah. Kami satu persatu dibagi alat tulis yang terbuat
dari batu berwarna hitam, namanya Sabak. Awalnya Sabak hanya dipinjami
selesai dipakai disimpan di rak meja masing – masing. Lama kelamaan kami dikasih Pekerjaan
Rumah ( PR), dan Sabak boleh dibawa pulang, tetapi masih status pinjam pakai dan harus
dijaga jangan sampai pecah. Kalau tak ada PR sabak dicuci agar warnanya tetap hitam. Untuk
menulis sebagai pengganti pensil juga dikasih, dari batu juga namanya Grib yang harus selalu
diasah agar tetap runcing setiap tumpul.
Selama satu tahun di kelas I, mata pelajaran hanya tiga yaitu membaca, menulis dan
berhitung. Bahkan yang diutamakan menulis, karena hampir setiap hari PR nya selalu menulis.
Pertama menulis ‘gedrik’ huruf cetak/balok selanjutnya setelah pintar, baru dikenalkan huruf
latin. Jika huruf cetak menulisnya dengan huruf tegak lurus, tapi huruf latin harus gandeng dan
condong ke kanan.
Belajar membaca ataupun menulis di mulai dari huruf a kecil. Setelah menguasai
bacaannya baru huruf besar. Walaupun aku murid yang paling muda ketika itu, hal membaca
aku yang paling pintar. Belum masuk sekolah pun aku jago kalau soal itu. Selama belajar
diselingi pelajaran menyanyi,lagu – lagu daerah.
Lagu Indonesia Raya wajib dinyanyikan setiap hari Senin untuk upacara bendera.
Setahun sudah pelajaran membaca, menulis, berhitung dll sudah diajarkan. Sebagai dasar
pembentukan karakter murid - murid diberi dongeng dan menyanyi lagu – lagu kebangsaan.
Dari lagu – lagu wajib berbahasa Indonesia itulah, kami sedikit – sedikit tahu bahasa nasional,
sebab setiap selesai menyanyi dijelaskan artinya.
Awal bulan Juni ada pembagian rapot tri wulan dan berakhir tahun ajaran pula.
Disitulah diketahui, naik ke klas II atau tidak, kami saling tukar menukar informasi. Ternyata
setelah aku mengawali di kelas II, teman sekampungku berkurang satu yaitu lik Warno tidak
naik kelas, malah tak sekolah lagi. Selain itu yang tak naik kelas ternyata ada lima murid.
Yang mengagetkan mas Mul, cucunya pak Rangga juga tak naik kelas, wajar bagiku
karena mas Mul selama ini tak pandai, boleh dikatakan bodoh. Yang membuat saya kaget saya
kira walaupun bodoh kalau cucu guru pasti naik kelas, ternyata tidak juga.
Dikelas II, rasanya hampir sama diawali pendataan murid- murid, perkenalan diantara
kami murid baru. Yang beda tentu ruang kelasnya, guru dan teman baru, yang dulu ketinggalan
tak naik kelas. Ketika itu yang tak naik kelas namanya nunggak. Dan anak tunggakan tadi
dikelasku ada enam orang , perempuan ada dua.
Hari pertama belum ada kegiatan belajar mengajar, maka setelah acara perkenalan
kami boleh pulang, dan ada pengumuman bahwa besoknya kelas II pelajaran mulai pukul
09.00 sampai 11.00.
Satu diantara empat anak ”baru” bernama Kliwon, satu tempat duduk dengan saya.
Masya Allah begitu kenalan, dia tak mau salaman dengan saya, katanya tangannya luka – luka,
saya kira akibat jatuh. Tetapi katanya bukan. Dengan suara sengau sedikit demi sedikit dia
cerita kepada saya katanya kena sakit ”Aneh ”. Sekujur tubuhnya hampir terluka, maka Kliwon
selalu membawa setangkai pucuk daun untuk mengusir lalat, yang selalu mengerumuninya.
Lalat itu sebetulnya ingin membersihkan luka, kang Kliwon tak suka dibantu.
10

Kasihan saya, penyakit kulit tadi nyaris menghabiskan kelopak kulit yang menjadi
kanopi hidungnya. Maka suaranya sengau. Aku ingat Buto Terong di dunia wayang kulit. Tapi
Buto Terong karena kelebihan hidung hingga menutup lubang hidungnya. Sedangkan Kliwon
kehabisan. Untuk mencegah sesuatu yang mengganggu masalah hidungnya, ibu Kliwon selalu
menambah tutup hidungnya dengan sobekan daun Pace, sekaligus untuk obat lukanya.
Ternyata bukan hanya hidungnya, daun telinganya yang kanan habis pula. Kelopak matanya
pun agak tertarik kesamping. Jalannya pincang karena telapak kaki belakang sampai lututnya
juga terluka, maka kalau jalan ”jinjit” tumitnya diangkat. .
Hari itu hari pertama kami pulang sekolah setelah aku duduk dikelas II. Aku pulang
bersama kang Midi dan setiap hari pergi pulang bersama dia. Pada suatu hari kang Midi tak
masuk sekolah. Ternyata seniorku tadi terus tak sekolah katanya berhenti sampai tri wulan
kedua. Teman sekelasku yang sekampung habis semua.
Panti katanya pindah sekolah sedang kakakku yang sudah kelas V, tak begitu perhatian
dengan saya katanya malu, akibat ulahku yang sering bikin sebel disekolahan. Maka kendala
tadi kusampaikan kepada bapak bahwa mulai besok pulang sekolah tak punya teman lagi
sekampung.
”Pak mulai besok temanku, sekolah di kampung ini tak ada,” keluhku
”Kan ada kakangmu, Nyoto? Serumah pula,” jawab bapaku dengan santai
”Aku masuknya jam 09.00 sedang Mas To kan pagi betul ? Juga pulang jam satu siang,
sedangkan aku pulang jam 11.00 siang jadi tidak bisa pulang bersama,” jawabku merengek
Mendengar keluhan saya tadi bapak menyuruh cari teman yang satu kelas yang
kampungnya tak jauh dari saya, sehingga pergi pulang ada temannya. Nasehat itu aku ingat
kang Kliwon.
”Oh yah ada pak, kang Kliwon anak Brebes, yang semeja dengan saya, tetapi .. .saya
agak khawatir. Karena Kliwon kena sakit kulit, hampir seluruh badanya terkelupas dan
mengeluarkan bau. Kemana–mana membawa ranting pucuk daun untuk mengusir lalat. Tapi
kabarnya sudah disuntuk dan berangsur – angsur lukanya mengering,” kataku agak ragu
Baru menemukan ide bagus, mbah Gunung orang tua bapak, mendengar obrolan
kami. Beliau punya ide dan tiba–tiba menyela obrolan kami ;;
”Bagaimana kalau kamu ikut mbah saja, sekolah di gunung, kebetulan paklik mu Mul
tak punya anak sampai sekarang. Digunung kamu bisa pelihara kambing paklik mu.”
Mendengar ajakan mbah putri aku tak bisa menjawab, karena belum punya perasaan
harus bagaimana. Tak pikir lebih baik cari kegiatan lain diluar rumah.
Alhamdulillah, biyung membawa oleh–oleh dari mbah gunung ketan dan gayam rebus.
Baru mencicipi makan gayam, tiba – tiba biyungku mendukung ide mbahku;
”Bawa saja mbah, biar kakaknya Kasiyo mulai sekolah, masa adiknya sudah kelas II dia
belum sekolah kasihan kakaknya,” kata biyungku semangat.
Kulihat kakak – kakakku ngobrol be5rdua diluar, kecuali kang Samijo. Kakak tertuaku
bekerja di kota di pabrik krupuk.
Rupanya orang tua kami serius berunding tentang wacana kepindahan saya ke daerah
pengunungan, yang selama ini belum saya bayangkan. Memang saya sering diajak ke tanah
kelahiran bapak saat ada acara keluarga. Tapi untuk tinggal rasanya belum berani. Apalagi
pindah sekolah yang baru saya jalani setahun lebih.
Mungkin mereka melihat saya tak begitu tertarik pindah ke gunung, bapak
memutuskan bahwa dapat dibicarakan nanti setelah saya kelas IV. Mbah setuju katanya;
”Baik juga biar bisa menggembala kambing dulu,” kata simbah Tari.
Besoknya sekitar pukul 08.00 aku diantar ke rumah kami Kliwon didesa Brebes
sekitar satu km dari rumah kami, arah utara dari kampung kami, menyeberangi sungai keci,.
jika musim kemarau hampir tak ada air mengalir tetapi musim hujan, banjir tentunya.
11

Kebetulan kang Kliwon sudah siap–siap berangkat tak lupa membawa pengusir lalat
seperti biasa, puncuk ranting daun Johar.
Menjalani aktifitas di kelas II selama setahun hampir tak ada kendala. Malahan kami
berdua semakin akrab walau usianya tiga tahun lebih tua dari saya. Kalaupun dia tak pandai,
semakin hari dia tambah sabar menghadapi ejekan teman – teman. Kadang – kadang
tingkahnya menyenangkan, mata pelajaran menyanyi adalah yang paling tidak disukai, mungkin
akibat suara sengaunya dikarenakan hidungnya yang pesek permanent itu. Kendatipun
demikian aku tak pernah melecehkan dia. Kata mbah ku tak boleh bisa kuwalat.
Pada suatu hari dia pulang lebih awal, sebelum pelajaran usai katanya tak enak badan.
Padahal alasan yang sebenarnya mungkin takut menyanyi. Rupanya dia lupa akibat dari ulahnya
itu aku menjadi korban. Aku terpaksa pulang menunggu kakakku didepan ruang kelas V.
Karena mas Nyoto bubaran sekolah jam 01.00 siang, aku lihat ternyata pak Rangga mengajar
kelas ini juga.
Menunggu dua jam saya gunakan mengerjakan PR maka duduklah aku didepan pintu
kelas, menghadap ke halaman. Saya keluarkan Grib terus menulis diatas Sabak. Hari itu PR
saya dikelas II berhitung. Baru mengisi jawaban diatas batu tulisku, tiba–tiba dikejutkan pak
Rangga guru kelas V, dengan suara lembutnya beliau menyapa saya;
”Lho kok kamu tidak pulang nak, mengapa kamu disini ?
”Menunggu kakak saya pak, dan mengerjakan PR, karena teman saya kang Kliwon
sakit, pulang duluan tadi saya tak berani pulang sendiri.”
”Tapi jangan duduk disini tak elok, nanti ..!!!” ujar pak Rangga
Aku tidak ingat larangan katanya duduk dipintu depan, bisa dimakan buaya. Maka
untuk menyelesaikan PR aku mencari tempat duduk di belakang sekolah dibawah pohon
Waru. Tapi tak ketemukan tempat yang cocok untuk duduk sambil menunggu kakakku.
Tiba – tiba pintu belakang dibuka pak Rangga, saya kira aku boleh disitu. Maka
duduklah di tengah pintu sambil melihat PR ku. Dengan kelihatan heran Pak rangga
mengusirku saya secara halus. Dipanggillah saya, didepan beliau ;
”Namamu siapa nak ?”
”Ade Pak” jawabku lugas.
”Bisa mintakan ”Upo” ke bu Rangga, bilang disuruh bapak, terus bawa kesini ya..!!!
kata pak Rangga simpatik
Dengan senang hati kujalankan perintah pak guru yang saya hormati tadi. Sambil
membawa batu tulisku, aku ke rumah pak Rangga disebelah sekolahan itu. Tetapi
sesampainya di halaman rumah pak Rangga, bagaimana caranya minta upa dengan bahasa yang
sopan? Kalau nasi saya tahu, tapi kalau upa apa bahasa inggilnya ?
Maka begitu pintu aku ketok, dan dibuka, ternyata bu rangga yang menemui saya. Lalu
kuutarakan maksud kedatangan saya;
”Bu, saya disuruh pak Rangga, minta nasi sedikit.”
Dengan agak mengguman kelihatan bu Rangga menuju ke dapur.
Tak lama kemudian ibu yang telah berambut putih tadi membawa piring seng biru ditutup
dengan daun pisang ditindih sendok pendek dari bahan yang sama, namanya Suru. Dugaan
saya berisi nasi yang ku maksud tadi.
Saya menerima nasi sepiring kecil menggunakan batu tulis saya yang ada PR nya.
Setelah itu mengucapkan terima kasih. Terus kubawa ke pak Rangga di ruang kelas. Pak
Rangga tampak heran dan tertawa pelan sambil bertanya saat melihat aku datang ;
”Kamu lapar, mau makan?? ”
”Iya lapar pak, tapi saya tak boleh makan di rumah orang kecuali masih famili.” Jawabku
Dengan jawaban spontan saya tadi, ternyata membuat kelas V menjadu riuh. Saya tidak
tahu perasaan kakakku ketika itu, ”masa bodoh toh aku sudah menjalankan tugas dengan
baik” kataku dalam hari.
12

Tak lama pertistiwa yang merisaukan tadi berlangsung. Kudengar bunyi lonceng pertanda
pelajaran sekolah telah selesai. Setelah berkemas–kemas murid–murid boleh pulang. Kucari
kakakku Nyoto, dia kulihat berwajah muram, terus ditinggalkan begitu saja aku.
Diperjalanan pulang aku tak bersama dia, karena dia jalannya cepat dan sepertinya
malu atas kejadian tadi. Maka bersama lik Wagiyo, yang sering kupanggil lik Giyo, teman
sekelas mas Nyotoku aku diajak dan dibimbing pulang sampai dirumah.
Setiba di rumah, biyungku dengan perasan senang terus menghampiri saya ;
”Kok baru pulang, kemana saja?” tanyanya
Tak ada yang menjawab, juga kakakku. Padahal semestinya yang menjawab saya. Tapi aku
lapar banget aku langsung minta makan biyungku. Bapakku juga bertanya tapi aku malas
menjawab, tak pikir paling paling dimarahi.
Setelah istirahat baru kakakku, menghujat saya terus –terusan. Katanya saya selalu
membuat malu di sekolahan. Pokoknya siang itu, aku di vonis salah besar. Sebagaimana saat
aku di awal kelas I dulu. Walaupun bapak dan biyungku ingin tahu masalahnya, kakak terus
nerocos melampiaskan kekesalannya, sambil sesekali usul agar saya dipindah ke gunung saja
atau berhenti sekolah. Mendengar laporan itu, bapak tenang tak begitu terpengaruh rupanya,
mungkin bapak menyadari saya masih anak–anak. Dengan naluri keibunya biyungku
mendekap saya penuh kasih sayang.
Malamnya setelah makan, saya ditanya bapak tentang apa yang terjadi siang tadi. Seperti
biasanya bapak selalu bijaksana kalau mendengar kabar yang belum tentu kebenarannya. Aku
tidak tahu laporan kang Nyoto kepada bapak mengenaiku.
Tetapi dari kata – kata bapak seolah – olah aku menyinggung perasaaan kang Kliwon
sehingga pulang tak bersama saya. Singkatnya kang Kliwon marahlah, maka bapak bertanya
dengan penuh selidik;
”Kenapa pulang siang, biasanya sama Kliwon?”
Mendengar pertanyaan itu kujawab dengan bahasa yang agak tegas;
”Kang Kliwon sakit panas, maka disuruh pak guru pulang duluan, diantar mas Sardi.
Begitu sekolah bubaran, aku baru sadar bahwa aku tak mungkin pulang sendiri, maka nunggu
mas Nyoto gitu !!” Jawabku
Rupanya bapak faham terus tanyanya lagi;
”Kenapa nunggu kang Nyoto di pintu, kan menggangu orang lewat lagi pula kan tak
baik?”
Aku diam saja, tapi bapak tanya lagi;
”Katanya disuruh minta ”upa” untuk lem, kok minta nasi? ” Nah ini rupanya yang jadi
heboh maka kutanya bapak
”Pak, kalau air bahasa kromo kan toya, kalau nasi kromonya sekul, lha kalau upa
bahasa kromonya apa?”
Ternyata bapak tak bisa menjawab pertanyaanku juga. Saat bapak diam tak
menemukan jawaban itulah, aku ngomong lagi.
Maka penjelasan saya;
”Karena binggung kukatakan saja minta nasi sedikit, lantas bu Rangga ngasih nasi
sedikit, karena yang nyuruh pak Rangga ya ku kasih pak Rangga, apa salahku?”
Bapak kelihatanya senyum tanda faham benar, terus pertanya lagi;
”Katanya kamu bilang lapar di depan pak Rangga ?” tanya bapak .
”Kan ditanya Pak Rangga ya jujur, kukatakan lapar. Tetapi setelah disuruh makan saya
tidak mau. Bapak melarang kan makan ditempat orang, kecuali rumah famili? ”
Mendengar penjelasan saya bapak tertawa, lantas datanglah biyungku yang saat itu
membawa minuman yang paling tidak saya sukai, yaitu jamu rebus. Kuminum jamu sambil
menahan rasa pahit, yang rutin diberikan orang tua kami 2 kali seminggu. Biasanya untuk
13

menghilangkan rasa pahit setelah minum jamu, aku dikasih asam jawa yang matang, atau gula
kelapa. Tapi hari itu aku cuma dikasih kelapa tua saja, tanpa gula jawa.
Sehabis itu aku siap – siap tidur diamben ( dipan ) beralas tikar dari rumput yang
dianyam, orang jawa menyebut Klasa, tanpa kasur ditemani kutu busuk saja. Walaupun
demikian kami tak protes karena umumnya begitu, kecuali yang mampu. Untuk mengantar
tidur kadang bapak mendongeng Keong Mas, Kleting Kuning, Buto Ijo itu saja.
Besoknya pagi – pagi seperti biasa, aku dibawa kesumur untuk mandi. Tanpa sabun,
tanpa sikat gigi apalagi handuk, untuk mengeringkan badan habis mandi, cukup lari–lari kecil
dari sumur ke rumah. Terus berpakaian yang kupakai kemarin juga sampai hari Sabtu. Karena
hanya itu pakaian kami, jika kena hujan pulang sekolah, malamnya dipanggang saja. Paginya
agak basah dipakai juga nanti lama dibadan kering .
Sarapan pagi menunya nasi tiwul dingin, sisa kemarin demikian juga lauknya. Tetapi
untuk aku ada sarapan extra dua kali seminggu yaitu bubur sedikit beras campur bekatul,
kadang bau apek.
”Biar tidak ngantuk di sekolah,” kata biyungku
Baru selesai sarapan, tiba – tiba aku di panggil bapak katanya ada teman menjemputku
diluar. Dari suaranya aku tahu teman tadi kang Kliwon. Lantas ku temui sambil membawa
sabakku yang ada PR nya. Sudah barang tentu kang Kliwon tak mengerjakan PR, karena
kemarin pulang duluan. Kebetulan masih ada waktu, kebantu dia mengerjakannya.
Pagi itu pulalah bapak tahu yang sebenarnya, bahwa kang Kliwon tak ada masalah
dengan saya. Kami berdua bergegas berangkat sekolah setelah mengerjakan PR selesai. Baru
mau pamit ke bapak, ternyata beliau sudah ke ladang garapanya.
Disekolah aktifitas seperti biasa, tetapi tak ada PR untuk hari esok. Malah ada
pengumumam dari pak guru, besok pagi murid – murid disuruh membawa muk karena
ada pembagian susu katanya dari Rusia, untuk menambah gizi. Susu akan diberikan setiap
hari Senin, Rabu dan Jumat.
Pulang sekolah seperti biasa kelas II pukul 11.00 siang. Hari itu hari Selasa maka kang
Kliwon kuingatkan setelah kami berdua menjelang sampai dirumahnya ;
”Jangan lupa kang, besok bawa tempat untuk susu.”
”Sudah besar kok minum susu, aku nggak suka, bawa muk juga ?”
”Biar sehat kang, untuk menambah gisi.”
”Gisi itu apa sih, aku kok baru dengar ?”
”Gisi itu ya vitamin, agar kita tambah sehat dan pintar !!”
”Jadi kalau ada pembagian susu tak ada pe – er lagi ?”
”Nggak gitu kang, biar kita seperti orang Belanda .”
”Kata orang kalau orang Belanda itu matanya biru.”
”Biar nanti mata kita biru kang!!” jawabku sebel

...........000.....................
14

4
KANG KLIWON ANAK MBOK SAIKEM
TAPI NGAKU, IBUNYA R.A. KARTINI

T
ernyata hari itu, tidak semua murid – murid mau minum susu. Ada yang malah
muntah, setelah minum susu tadi. Demikian pula kang Kliwon, walaupun dia
tak sampai muntah jatahnya tak pernah habis, dan selalu aku yang
menghabiskan. Daripada mubazir oleh pak guru jatah Kliwon separuhnya untuk aku..
Hampir dua bulan jatah susu tadi dibagikan, akhirnya habis pulalah susu yang ada di
sekolahanku. Pemberitahuan bagi yang ingin mendapat kantong plastik bekas susu Rusia tadi,
diharuskan membawa 2 potong bambu ukuran satu meter. Walaupun kang Kliwon tak suka
isi kantong tadi, dia sanggup membawa lima potong bambu katanya sekalian untuk saya.
Malah oleh pak Bon kami berdua diberi 3 kantong plastik tebal, yang selama itu belum pernah
kumiliki. Setelah sampai dirumah terus dibuka jahitnya, dicuci lalu dipotong sebagai ”jas
hujan”. Yang satunya lagi, oleh mbok nya Kliwon dijahit model tas sekolah. Akupun mendapat
satu buah tas buatan mbok Kliwon.
Berkah susu Rusia tadi, kang Kliwon akhirnya naik ke kelas III walaupun rapotnya ada
angka merahnya yaitu pelajaran berhitung. Dulu katanya dia tak naik kelas, akibat luka – luka
dibadannya, yang jika musim hujan dia sering tak masuk sekolah. Sekarang lukanya telah
sembuh, NAMUN masih membekas dibagian tubuhnya, yang kurus tapi semangatnya
lumayan.
Setelah duduk di kelas III pindah ruang kelas. Yang dulu lantainya tanah liat, sekarang
berlantai semen, dinding tembok separuh, plafon anyaman bambu, Guru baru, ada teman
baru, suasana pun baru. Yang tidak berubah kemiskinan, selalu setia mengikuti kami. Pelajaran
baru yang pertama dikelas tiga ini adalah Agama. Setiap Jumat ada guru agama namanya
Abdullah, tapi kami rata – rata memanggil pak Dullah ada juga yang pak Dul begitu saja.
Pelajaran pertama yang kami terima dari pak Dullah adalah mengenal Tuhan, dan
beliau melafalkan Allah. Tetapi ternyata tidak banyak yang bisa penyebutan Allah keluarnya
Awlah. Menulis huruf Arab mulai dari Alif dst. Dan yang harus dihafal saat itu mengucapkan
kalimat shadat sampai hafal betul. Karena pelajaran itu seminggu sekali dan hanya disekolah,
rata–rata yang saya ketahui hanya sekedarnya saja tak kulihat orang menjalankan perintah
agama.
Yang kurasakan baru juga adalah alat tulis menulis. Yang dikelas I &II menggunakan
batu, sekarang di kelas III, pakai buku tulis dan pensil. Begitu pula menggambar, olah raga
selain senam dan main kasti, yang selama ini jika dikampung pakai bola gumpalan rumput yang
diikat, disekolah pakai bola benaran tapi keras dan berat karena terbuat dari karet yang diisi
serat dari sabut kelapa.
Mengawali di kelas III, yang menjadi ”bintang kelas” adalah kang Kliwon. Ketika itu
guru baru kami perempuan namanya Darmi. Pada masa perkenalan, murid pertama yang
ditanya tentang nama, alamat dan seterusnya adalah kang Kliwon. Ketika itu saya tidak satu
bangku lagi dengan kang Kliwon. Karena orangnya tinggi, dia duduk di bangku belakang.
Begitu bu guru bertanya, tentang nama ibunya, dia spontan menjawab ”Kartini”.
Teman sekelas tentu kaget dikira Kliwon bercanda, ternyata ketika ditanya lagi dia tetap
bertahan bahwa nama ibu nya ”Kartini.”
Karena aku tahu persis nama orang tuanya, saya langsung meralat jawaban Kliwon
”Bukan bu, nama mbok nya Kliwon adalah Saikem bukan Kartini,” kataku lantang
15

Mendengar intrupsi saya tersebut, mengakibatkan suasana kelas menjadi gaduh. Kliwon
tentu tersipu, dengan gayanya yang unik itu dan bu guru jadi heran. Karena itu ganti
menunjuk ke arah saya sambil tertawa manis.
”Namamu siapa, mengapa kamu lebih tahu nama ibu Kliwon?” tanya bu Guru.
”Karena selama ini Kliwon teman kentalku, pulang pergi selalu bersama bu, bahkan
nama bapaknya, saudaranya aku tau semua,” jawabku.
Atas kebijaksanaan bu guru, kami berdua disuruh berunding, akhirnya terjawablah.
Ternyata Kliwon salah faham, sedang bu guru salah bertanya. Selanjutnya saya sebagai juru
bicara kang Kliwon, disuruh berdiri didepan kelas terus saya katakan perbedaan pengertian itu;
”Kata kang Kliwon bu, selama ini kalau menyanyikan lagu ”Ibu Kita Kartini” bait
pertama adalah ”Ibu kita Kartini” berarti R.A. Kartini juga ibunya kang Kliwon. Tapi kalau
emboknya kang Kliwon yan mbah Saikem itu.”
”Maka jika bu guru tanya Kliwon, mestinya siapa ”Simbok”nya Kliwon, baru dia
paham.”
Bu guru tertawa sambil menutup muka dengan sapu tangan sampai mengeluarkan air mata,
mungkin merasakan kejadian lucu. Walaupun kenyataannya benar, Jarang di kampung panggilan ibu
kebanyakan Simbok. Aku malah manggil mbokku Biyung. Itulah beda kampung dengan di kota,
contoh lain jika dikampung orang memangil ”Yu”, tapi dikota ”Mbak”, orang kampung ”Kang” orang
kota ”Mas” padahal pengertiannya sama saja.
Walau anak laki lebih senior, tapi kalau menyapa teman putri dengan sapaan ”Mbak” dan
sebaliknya perempuan muda usiannya memanggil teman laki – laki yang lebih senior dengan sapaan
’Dik’. Aneh tetapi etikanya begitu orang kampung dipanggil ibu malah risi, orang kota dipanggil mbok
ya kurang hormat.
Memang di Jawa khususnya di daerahku begitu. Ketika itu guru sangat dihormati, maka kalau
didesa selalu dipanggil ’bu Guru’ atau ’pak Guru’. Polisi juga, dokter, lurah, carik, mantri dts dianggap
priyayi yang harus dihormati. Itu sudah budaya. Karena petani orang kampung maka, walaupun
pekerjannya mulia, tak ada yang menyapa Bu dan mas, atau mbak, dan seterusnya.
Itupun saya ketahui setelah saya duduk di akhir kelas III. Setelah menjelang kenaikan
kelas IV, pelajaran menulis dengan tinta diajari pula. Pen celup dibagi, berikut tangkai. Buku
tulis dibagi, tinta dibagi semua gratis. Sabak kulupakan. Maka begitu ada sabak dirumahku, aku
heran, ternyata kakakku diam – diam sudah sekolah juga, tetapi disekolah lain yaitu SR
Gudangdondong. Dan kakakku Sunyoto sudah tamat belajar, alias selesai Sekolah Rakyat.
Walaupun lulus, tapi tak meneruskan ke sekolah lanjutan, sudah lumayan punya Ijazah.
Aku tak tahu dia kemana, kabarnya diajak pamanku ke Sragen jadi krenet bus Solo –
Sragen. Beban bapak berkurang memberi nafkah keluarganya. Tetapi beliau mulai sakit –
sakitan. Pada peringatan hari besar nasional sering mendapat kiriman pangan dari pemerintah,
antara lain gaplek, jagung dan beras. Walaupun tak banyak, katanya sebagai ”penghargaan” atas
perjuangan pada jaman Belanda, beliau bukan tentara. Ada yang bilang, ada hubungannya
rumah mbah Klencer, yang dipakai markas gerilya sebelum dibakar Belanda.
Selama di kelas III, saya tambah dewasa pulang pergi sekolah tak jadi pikiran orang tua.
Yang jadi pikiran hanya janji bapak bahwa setelah naik kelas IV, boleh pindah kegunung ikut
pak Mul adiknya bapak. Saya belum pernah ikut orang atau ngenger. Olehkarena itu
sebetulnya bukan kemauanku, tapi semata – mata hanya untuk menyiasati beban hidup orang
tua jaman miskin.
Mungkin dengan pindah tinggal ke gunung makanku lebih terjamin. Yang biasanya
klau dapat berkat dibagi lima. Dirumah lik Mul berdua saja. Itu sebagian dari bujukan mbah
Gunung. Karena anak – nak miskin ukuran kebahagian hanya masalah makan enak dan
kenyang. Tapi aku sebetulnya bukan termasuk golongan anak tak kenyang makan karena
biyungku memperhatikan hal itu. Cuma makan enak, ya paling – paling kalau ada hajatan dan
hari istimewah.
Khususnya Lebaran, semiskin – miskinnya orang dikampungku tak ada yang makan
16

nasi tiwul. Maka hari lebaran adalah yang paling ditunggu anak – anak pada umumnya. Karena
selain makan enak sekenyangnya pakaian baru juga hampir pasti dalam setahun sekali. Belum
lagi hadiah dari sanak famili yan pulang di dapat dari merantau. Entah apa pekerjaannya di
kota perantau yang pulang lebaran selalu menunjukkan pakaiannya yang bagus.

....................0000.......................
17

5
MENJADI SUTO LENCOK
DI PEGUNUNGAN SERIBU

S
etelah menerima rapot tanda naik kelas IV, pamanku datang bersama simbah menjemput
saya, untuk pindah ke gunung, kampung halaman bapak dulu semasa kecil. Maka habis
sarapan seperti biasa aku bersama mbah gunung pamit berangkat. Kata simbah sebelum
terik matahari. Dengan membawa buku rapot pakaian saya bungkus dengan tas plastik Rusia
hadiah mboknya Kliwon.
”Jika dalam sebulan tak krasan pun, aku toh belum terlambat sekolah, sebab waktu itu
habis terima rapot kenaikan kelas, semua libur musin panas sebulan penuh.” pikirku
Pagi itu, cuaca dingin karena memang musim rontok. Banyak disana sini orang
kampung membuat api ungun dari dedaunan yang kering berserakan di perkarangan rumah.
Aku berdebar mengawali kepindahan, mungkin ini sejarah kehidupan saya, setelah
belasan tahun hidup serba kekurangan. Maka usai sungkem pamit biyungku, segera kususul
mbah Putri yang telah dulu meninggalkan rumah kami disusul pamanku serta bapak mengantar
sampai tepi sungai Bengawan Solo yang airnya tak seberapa di kemarau itu.
Setelah lepas dari hamparan pasir sungai terpanjang di Jawa ini, pelan kuikuti mbahku
yang menapakkan kakinya dijalan berbatu. Yang semakin lama semakin naik melewati
beberapa desa. Akhirnya kami tiba didesa Selopukang, kampung tempat tinggal mbahku dan
lik Mul ( pamanku).
Sebelum masuk kampung aku melihat kebelakang, ingin tahu desaku yang
kutinggalkan. Tapi terhalang pepohonan yang ada didesa Pule dibawah itu. Sampai dekat
perkarangan rumah mbahku, paklik Mul memberitahu bahwa kami sudah sampai dirumah
simbah. Letak rumah simbah berada di paling pinggir dan paling timur di desa itu, beratap
Ijuk dari pohon Enau atau Aren. Berdiri menyeramkan dikelilingi pohon – pohon rindang dan
bebatuan besar di sertai semak – semak yang tak teratur. Perkarangan itu luas sekali kayaknya,
berhektar – hektar tak ada batasnya. Memang tak ada pagar pembatas, kecuali didepan rumah.
Dari penjelasan paman memang semua tanah ladang disekitar rumah ini tanah simbah
semua. Karena penasaran aku keluar perkarangan bagian timur dan melihat kampungku
dibawah sana ternyata aku berada dikaki gunung sebelah karena kulihat kebelakang gunung
menjulang diatas kampung simbah ke arah selatan liku – liku pematang sawah dan sungai
sungai kecil dimana – mana dan semua menuju Bengawan Solo nan jauh disana. Dari arah
timur kudengar lengkingan peluit kereta api berasap menuju utara kearah Solo dari kota kecil
kecamatan Batu Retno melewati kota Wonogiri.
Kereta peninggalan Belanda itu setiap hari pulang pergi–Solo-Batu dan menginap di
stasiun terakhir di Baturetno. Dan bagi penduduk pegunungan kereta tersebut sebagai
petunjuk waktu setiap hari. Pagi–pagi kereta ke utara berati pukul 06.00 kembali dari Solo
keselatan menunjukkan pukul 09.00. Pukul 11.00 siang jika kereta terlihat kembali keutara
atauke Solo dan seterusnya sampai berakhir pukul 06.00 sore. Yang dinamakan Sepur Lasteh
kata simbah, Lasteh artinya terakhir.
Olehkarena itu begitu kereta lewat, jauh ke bawah sana tiba – tiba paklikku
memanggilku , bahwa telah pukul 11.00 aku diajak makan siang.
Bagiku makan siang waktu itu terasa beda, walaupun tetap tiwul, tetapi ada pernik –
perniknya butiran nasi dari beras dengan lauk pepes kepiting gunung.
Selesai makan aku diajak lik Mul menuju kerumah lain ternyata lik Mul tak serumah
dengan simbah. Dengan kalimat yang sederhana aku diperkenalkan istri lik Mul wanita
18

setengah baya berperawakan kurus dan agak pendek. Mulai hari itu aku disuruh memanggil
“Simbok,” karena berasal dari daerah lain. Dan kepada lik Mul aku harus dengan panggilan
bapak. Adat kampung dipegunungan, anak memanggil biyung kepada ibunya.
Sebagaimana yang kudengar selama ini, beliau pasangan suami istri tak punya anak.
Didaerah gunung disebut ”Gabuk” maka istri pak mul disebut mbok Gabuk.
Hari itu aku juga disiapkan tempat tidur sederhana beralaskan bambu yang dilapis tikar
rumput kering seperti umumnya,, bedanya kalau dikampungku satu tempat tidur bisa untuk
lima orang sekarang satu dipan untuk satu orang.
Empat ekor kambing, dan cara merawatnya pun dijelaskan. Selama musim hujan
kambing tak usah di ”Angon” ( digembala) cukup dicarikan rumput atau daun apa saja yang
dia sukai.
Sore itu pula aku diajak angon kambing sambil dikenalkan anak pengembala kambing
disekitar kampung itu yang rata kurus, dan tak ada yang berbaju ada perempuannya juga nama
Sukirem, katanya sepupu saya.
Menjelang Magrib, semua pulang beriringan dengan perut kenyang terus diikat didalam
rumah bagian pojok, takut hilang dicuri orang kabarnya. Semua tak beda jauh dari kebiasaan
dikampungku dulu. Yang beda pengunungan sulit mencari tanah rata didepan rumah ini. Ada
batu besar disamping juga, dimana – mana batu besar bergelimpangan.
Jalan pun tak ada yang rata naik turun itupun hanya setapak tak ada yang lebar layak
jalan semua berukuran gang kecuali jalan antar kampung.
Malam pertamaku hidup digunung sepertinya takut keluar selain gelap, tak mungkin
bisa menapakkan kaki, karena batu batu ditaruh begitu saja untuk injakkan kaki dijalan
setapak.
Paginya tanpa dibangunkan, aku sudah duduk termenung dipinggir dipan, memikirkan
apa yang harus dikerjakan. Ternyata kambing dan ayam menunggu saya agar segera
dikeluarkan dari pojok rumah. Pertama ayam, begitu pintu dibuka mereka berhamburan
berebut keluar, langsung bubar ke kebun sekitar rumah. Selanjutnya kambing harus dilepas
talinya yang diikat pada patok, kemudian setelah keluar harus diikat pada patok masing –
masing pula.
Setelah cuaca agak terang bekas tidur kambing dan ayam dibersihkan karena semua
malamnya berak dan kencing disitu. Maka aku harus menyapu dan membersihan kotorannya
membuang di tempat yang sudah di siapkan selama ini 7untuk dijadikan pupuk.
Bekas tempat tidur ternak tadi bau dan menyengat. Perlu latihan untuk bertahan tidak
mual dan muntah. Maka setiap pagi aku harus lakukan pekerjaan itu selama masih ikut lik
Mul tanpa kecuali.
Selesai tempat tidur kambing yang harus kubereskan saya tidak tahu apa selanjutnya
maka setelah merenung sejenak, aku dipanggil untuk menyiapkan sarapan pagi. Untuk itu
aku ke dapur membantu bulikku membuatkan teh pahit, hanya itu tak ada bubur tak ada
dibakar atau direbus.
Pagi pertama hari itu, selesai sarapan kupersiapkan cangkul dan arit, terus diajak ke
ladang garapan. Keluar dari rumah aku membawa alat tadi terus berjalan setapak naik undak –
undakan batu melewati sawah musim kemarau. Ladang - ladang gersang, menuju lerengan
gunung. Pak Mul istirahat sejenak, sambil merokok ditunjukkanlah aku tanah garapan dan
pohon – pohon yang dimiliki. Kata beliau karena tak punya anak selain aku, maka aku pulalah
yang nantinya memiliki dan menggarap tanah ini semua sebagai pewaris tunggal.
Selain disini masih ada dua tempat yang semua nantinya milik saya, tetapi bukan ladang
melainkan sawah, letaknya dibawah desa Pule namanya Gogoran. Yang satunya lagi di balik
gunung dekat air terjun namanya sawah Grojokan.
19

Hari itu kami menggarap tanah ladang sampai kereta api dibawah sana lewat menuju
utara pukul 11.00 siang. Sebelum pulang kami mencari pakan kambing , mandi disungai terus
pulang menuruni jalan sampai kerumah pukul dua belasan siang.
Sorenya aku mengembala kambing bergabung dengan teman–teman di pandu yu Sukinem
sepupuku. Pulangnya seperti biasa menjelang matahari terbenam.
Sebulan sudah aku menjadi anak gunung, aku ingat ka
mpungku, biyungku dan Kang Kliwon sahabatku di sekolah. Maka aku ingat
sekolahanku mestinya sudah kumpul anak – anak kelas IV. Tetapi hampir dua bulan pak Mul
belum bicara tentang sekolahku.
Suatu pagi saat berangkat ke sawah Grojokan kusinggung tentang sekolahku paklik
cuma bicara bahwa sekolah ada disana dibawah sana di Godean. Ada tiga anak daerah sini yang
sekolah disana yaitu Katimin, Jakiyo anak pak Kades satunya lagi Triman anak Jajar tetangga
kampung.
Walau sudah hampir enam bulan di Gunung aku tak sekolah. Yang kuingat cuma
anak–anak berlarian mendengar lonceng yang dipukul pak Bon itu. Tak berani aku bertanya,
apalagi protes ingat bapak dikampung sakit belum sembuh. Sementara ini tak bisa ngomong.
Aku di Gunung dikasih kegiatan pokok. Menjadi petani gunung dan anak–anak di gunung
umumnya rajin, mereka bantu orang tuanya. Aku diarahkan harus seperti mereka, cari
rumput, cari kayu bakar dan bertani, bahkan aku pernah dikasih sedikit uang untuk modal judi
agar aku bisa bergaul dengan mereka tapi aku tak pernah menang judi dikarenakan tak bakat.
Dari sedikit yang kurasakan, intinya aku disiapkan menjadi pewaris keluarga paklik
Mul. Untuk itu harus digembleng menjadi anak dewasa yang matang menguasai ilmu bertani
yang tangguh dan membanggakan orang tua.
Toh sawah dan ladang sudah disiapkan, rumah tempat tinggal ada. Membaca menulis
sudah lumayan, dan postur tubuhku tinggi besar.
Kekurangaan Paklik tak tahu jiwa saya, riwayat sekolah pun beliau tak tahu, mungkin
bapakkulah yang lebih tahu, tapi apa daya ?
Setelah hampir setahun ternyata aku merasa tak dapat menjadi harapan keluarga
Paklilku. Bulikku sering menyindirku bahwa saya tak rajin bekerja, tak pandai cari rumput,
malas jika dikasih ”PR” mengupas singkong apalagi ganyong. Padahal petani yang ideal cekatan
disawah rapi diladang dari memproses hasil petani sampai layak dijual atau dimakan.
Sedangkan saya pulang kerja terus tidur, malam habis makan istirahat sebentar. Mestinya kerja
lagi dirumah, tapi aku malas. Puncak kekesalan bulikku pada saat aku disuruh mencari kayu
bakar di hutan Tutupan yang dilindungi pemerintah milik Perhutani .
Pagi – pagi aku telah disiapkan tali, pemikul dan parang kayu, dengan maksud agar aku
ikut yu Sukinem mencari kayu dihutan Tutupan, bagaimana caranya mengikat kayunya dan
dimana mencarinya, saya disuruh mengikuti sepupuku tadi.
Sampai dihutan tujuan, kami masuk ke tengah jauh dari jalan umum. Dianggap sudah
tepat, mulailah kami menebang kayu – kayu kecil untuk dibawa pulang. Saya ikuti saja apa
yang dilakukan Yu Sukinem. Untuk mengusir sepi dan menambah semangat, aku keras – keras
menyanyi, mumpung ditengah hutan, teriak pun tak ada yang terganggu. Suara air terjun
didekat situ menjadikan aku tak paham apa yang dikatakan mbak Yu ku. Dengan muka
cemberut dijewerlah kupingku seraya memarahi saya
”Hai hentikan nyanyimu itu, disini tak boleh menyanyi,” gertak sepupuku itu.
”Ini kan ditengah hutan Yu mengapa dilarang nyanyi, siapa yang terganggu?” sanggahku
”Dikasih tau kok malah membantah, nanti kalau didengar mandor bagaimana, kita kan
bisa dipenjara !” Teriak yu Sukinem berang.
”Kok menyanyi saja dipenjara, mandor apa itu, memang disini dilarang menyanyi?”
”Bukan menyanyinya yang dilarang, tapi kayu ini tak boleh diambil, dasar goblok!!!”
”Memang ini kayu siapa, dia kah yang punya hutan ini,” tanyaku heran
20

”Dasar tolol, dasar orang desa bodoh, kamu katanya sudah kelas empat kok masih
bodoh. Ini kayu pemerintah, yang disuruh menjaga pak mandor, siapa yang mengambil di
tangkap tahu, kamu bisa dipenjara!!!! Mengerti ? ” tanya mbakyu ku lagi
”O..... Allah Yu. Kalau tahu kita mencuri dari kemarin saya tidak mau. Kalau begitu
dari pada timbul kasus aku pulang saja!!!” gerutuku sambil pergi
Detik itu juga aku pulang. Tali kutinggal, pikulan kubuang hanya topi dan arit yang
kubawa pulang tanpa sepotong kayupun. Sampai dirumah bulikku kaget terus menegur saya
dengan penuh tanda tanya.
”Lho jam segini kok sudah pulang, mana kayunya???’’ tanya bulik
”Kata Yu Sukinem kayu itu sebetulnya tak boleh diambil, kecuali mencuri, dan kalau
ketangkap bisa di penjara,” jawabku
”Semua orang juga begitu leeee, disini sudah umum, ya sembunyi – sembunyi agar tak
ketahuan mandor, harus pintar,” instruksi bulik agak sinis
”Bapakku melarang mencuri apapun mbok, Biyungku pernah berkata, mencuri
perbuatan memalukan. Jangan sekali – sekali aku mencuri, biyung tidak mau mbok.”
Mungkin bulikku tersudut oleh pernyataan ku tadi. Maka dengan wajah cemberut, dia
membanting pintu, ditinggalan aku sendiri. Dengan perasaan ingin memberontak, sayub –
sayub kudengar omelan bulik dari dalam rumah.
”Dasar Suta Lencok, anak segede itu masih goblok,” omelnya
Kuabaikan bulik ku yang menyebalkan itu. Kucoba menghibur diri dengan memandang
kambing peliharaanku. Kukasih dia rumput jatah makan siang dia, walaupun belum waktunya,
empat kambing itu kelihatan rakus melahap kudapannya.
Aku tau, kalau bulikku tambah marah jika melihat pakan kambing itu, kuberikan
semua sebelum saatnya. Hanya itu yang dapat kulampiaskan untuk membalas perlakuan buruk
bulik tiriku itu.
Setelah itu aku pergi dari rumah menuju ladang sebelah kampung Selo Pukung tempat
aku diisolir dari keluargaku hanya karena kemiskinan jaman itu.
Kendati pun aku dari keluarga serba kekurangan, namun nasehat orang tuaku untuk
tidak mencuri kupatuhi termasuk mencuri kayu milik negara. Maka dari itu walaupun hanya
untuk kayu bakar aku tidak mau mencuri kayu yang dilarang pemerintah.
Aku ingat di ladang simbah ada tanah tak digarap danbanyak kayu liar daripada sebel,
aku mau kesana.

...................oooo.......................
21

6
RANDU ALAS TEMPAT WEWE TUMBANG
SUTA LENCOK MELENGGANG

K
udengar kereta api lewat di kejauhan, aku tau kemana arahnya, rasanya ingin
kukejar. Berarti pagi itu pukul sembilan. Terus aku meninggalkan rumah yang
menjenuhkan itu, menuju ladang simbah, ingin melamun sepuasnya dari pada
ruwet pikirku. Diladang itu ada pohon Randu Alas yang rindang, cocok rasanya buat
merenung. Tapi kata orang, disitu angker, ada penunggunya, ”Wewe” tak semua berani
kesitu kecuali bawa sajen dan orang pintar.
”Mengapa takut kan aku bawa arit,” pikirku. Yang pernah kudengar Wewe suka
membawa anak yang sedang ngambek. Sedangkan aku bukan ngambek hanya protes.
Menuju ke pangkal pohon itu ternyata tak mudah. Banyak semak dan batu yang
menghalangi jalanku. Baru mau mencari jalan yang ideal untuk merenung, tiba – tiba pakde
Kromo menyapaku, sehingga mengusik kegalauanku. Maka niat melamunku batal total.
”Lho leee mengapa disitu kata pak Mul kamu cari kayu ke hutan lindung kok sudah
pulang ?” tanya pakde Kromo
Sedikit aku kaget, tapi malas menjawab. Toh paling – paling pendapatnya sama, karena
umumnya begitu kata bulik. Maka kualihkan saja petanyaan pakde Kromo.
”Ini katanya ladang simbah kok pakde yang menggarap, kenapa?” tanyaku
”Saya kan menantu mbahmu, kenapa?” jawab pakde
”Yang ada randunya ini juga punya simbah kok tak digarap, malah dibiarkan jadi semak
liar begini?”
”Sebetulnya milik mbahmu juga. Ya begitu, karena dikeramatkan, siapapun tak boleh
ganggu, nanti penunggunya marah.”
”Aku mau ambil kayu yang di bawahnya saja untuk kayu bakar pakde, tidak menganggu
Randu Alas, bolehkah? Aku kan cucu simbah daripada mencuri di hutan lindung.”
”Saya tak melarang le, karena memang bukan punyaku, tapi ..... ya terserah...... kalau
kamu berani! Kamu kan sudah dikenal sableng,” kata pakde sambil tersenyum
”Oh gitu kalau begitu akan kubersihkan saja biar rapi baru kayunya kubawa pulang
lagipula kata pak Dullah yang punya semua ini kan Gusti Allah, dari pada mencuri?” kataku
dengan senang, sambil mulai merintis lahan tak bertuan itu.
” Siapa pak Dullah itu, orang mana, dimana kamu mengenal?” tanya pakde
” Pak Dullah itu guru agama di sekolahan, setiap Jumat aku dikasih pelajaran Agama
pakde, ketika kelas III dulu, aku mulai belajar agama Islam.”
Sambil membaca basmallah aku langsung membersihkan area tempat yang
dikeramatkan tersebut. Kayu liarnya kukumpulkan untuk dibawa pulang. Malah pakde
membantu mengikat kayu bakarku menjadi tiga ikat besar. ”Alhamdulillah aku bukan Suto
lencok walaupun digelar Sableng,” pikirku !
Baru berpikir lagi bagaimana membawa pulang kayuku, pakdeku sudah tak ada. Malah
satu ikat kayu itu dibawa pulang duluan. Aku berburuk sangka kepad pakdee Kromo:
”Jangan – jangan Pakde juga ambil kayuku untuk dirumahnya?”
Ternyata, begitu aku pulang, sampai dekat pintu pagar rumahku, kayu yang diangkat
pakde tadi ditaruh disitu. Baru aku sadar pakde orang baik hati, rasa empati beliau kepada
aku begitu besar.
”Terima kasih pakde, maafkan aku yang telah berburuk sangka,” batinku.
22

Dua ikat kayu bakar akhirnya ku letakkan di halaman rumahku yang sempit. Rupanya
paklik mengetahui kedatanganku. Begitu melihat dua ikat tumpukan kayu yang baru saja
kubanting, beliau kaget terus menegurku..
” Baru datang le, mana pikulan kayumu mengapa tak dipikul ?”
Aku tak mampu menjawab karena pikulan yang ditanyakan kubuang dihutan lindung
tadi pagi. Dengan ramah paklikku mengajak makan setelah aku cuci tangan dan melamun
sejenak. Siang itu aku istirahat dirumah pakde Kromo yang posisinya dibelakang rumah lik
Mul, dimana aku ngengger. Pakde yang baik hati itu menyambutku ramah.
”Sudah dibawa pulang semua kayunya,” tanya pakde Kromo
“Belum pakde sudah siang capek, sore saja atau besok pagi bisakan?” jawabku
”Begini le karena kamu sudah berani mulai membereskan kayu liar itu, sebaiknya
jangan tanggung–tanggung. Sekalian sampah dibawah Randu Alas itu kumpulkan biar bersih
dan rapi. Nanti kalau ada orang jiarah kesitu enakkan kesannya.”
”Memang sering orang datang kesitu, ziarah apa?” tanyaku penasaran
”Disitulah Danyangan orang sekampung sini, setiap menjelang hajatan, selalu ”ijin”
kesitu membakar dupa dan memberi sesajen dan berdoa agar hajatan tak ada gangguan
apapun, dari yang mbau rekso Randu alas ini.”
”Oh begitu, sama dong seperti di kampungku pakde, kalau ada orang mau mantu atau
sunatan ada orang membawa sesaji telor ayam, pisang raja, gula merah dan kelapa juga nasi.
”Tapi saya tak setuju sebetulnya, kata pak Dullah perbuatan itu syirik.”
”Tak usah banyak bicara, disini sejak dulu sudah begitu, lebih baik dibawa Randu Alas
itu kamu rapikan sambil cari kayu. Toh kalau sudah bersih kita kan bisa istirahat disana, sambil
lihat pemandangan indah ke bawah sana, ada sungai, kereta api, dan kampungmu.”
Ide Pakde bagus maka hari berikutnya, dibantu Pakde aku bersihkan tempat Wewe
tadi hingga rapi. Ranting – ranting kering kukumpulkan, kata Pakde tak boleh dibakar. Semoga
dimusim hujan rumputnya tumbuh subur, akan kubuat mengembala kambing sendirian. Orang
lain tak boleh ikut. Biar pakde yang melarang merka dan jadi mandornya.
Dibawah pohon Randu yang selama ini angker, penuh dupa dan bunga sesaji,
kubersihkan untuk menghindari semut bermarkas disitu. Ternyata pada langit – langit pokok
Randu Alas yang tinggi sekitar empat meter itu, ada mahkluk yang bersarang juga. Ratusan
kelelawar beranak pinak. Nasehat pakde jangan di usik, dia juga berhak mungkin peliharaan
Wewe juga.
Diluar dugaanku, juga pakde, rupanya mbah Wongso, Kepala Kampung kami,
mengetahui apa yang selama ini kulakukan. Karena itu suatu malam habis makan, saya
dipanggil pak Mul, dan ditanyai tentang kegiatan ku disekitar Randu Alas itu.
”Apa kayu bakar yang dulu itu diambil dari Danyangan to le, mengapa tak bilang ke
bapak?” tanya paklik Mul dengan sabar
”Iya pak betul, daripada semrawut liar tapi sekarang menjadi rapi dan bersih enak
untuk istirahat orang bersiarah juga nyaman malah kubuatkan jalan naik kok dan kutanami
ganyang juga.”
”Oh begitu, tapi mbah Lurah tidak merestui, katanya ada laporan warga, anaknya
mbah Mul yang mengambil kayu disitu dibawa pulang,” kata paklik lagi
”Tak pikir daripada mencuri punya pemerintah pak, kan lebih baik kayu disitu. Toh
kata orang, tanah itu masih milik simbah, kenapa diributkan. Kalaupun dijadikan Danyangan,
sekarang lebih bersih dan indah apa masalahnya ?” jawabku heran
”Ya sudah, yang penting besok lagi kalau mau berbuat sesuatu ngomong sama bapak
ya!!” nasehat paklik
Pak Mul tidak marah kepadaku, bisa jadi khawatir aku terpojok, bisa jadi juga
menghindari aku tak nyaman, yang berakibat aku kembali pulang ke bapak biyungku. Tapi
kupatuhi saja permintaan pak Mul itu.
23

Pada hari berikutnya aku tak terpengaruh isu itu. Malah tempat yang selama ini
dikramatkan kujadikan tempat mengembala sembilan ekor kambing milikku, karena
rumputnya tumbuh subur setelah kurapikan, dan kuambil kayunya. Kambingku pun tak makan
tanamanku
Peristiwa terjadi diluar dugaan. Hujan turun pada saat kambing masih asik merumput.
Maka aku berteduh ke lubang dibawah pohon Agung tadi. Bermaksud mengusir serangga,
kubuat api untuk mengasapi nyamuk- nyamuk yang mengganggu kambingku. Tiba – tiba
ribuan kelelawar yang bermarkas disitu berhamburan keluar.
Tak ku sangka kambingku bubar liar. Untung akhirnya dapat kubujuk dan kubawa
pulang dengan selamat walaupun belum penuh isi perutnya. Besoknya saat panas terik aku
balas dendam. Sampah kering kutumpuk di lubang bawah pohon tadi langsung kubakar,
dengan maksud agar kelelawar tadi tak tinggal disitu, walau kata pakde Kromo dia juga berhak.
Begitu nyala api berkobar, masa Allah ribuan kelelawar tadi berjatuhan semua
habislah nasibnya. Saya menyesal tapi sudah terlambat, maka tumpukan bangkai kelelawar
menggunung seperti tumpukan dupa yang dibakar para pesiarah selama ini.
Tiga hari kemudian bangkai binatang itu menimbulkan bau busuk maka tumpukan
ranting kecil yang mengering saya bakar lagi sekaligus untuk menghanguskan bangkai – bangkai
kelelawar itu. Kutambah sampah kering sampai aku yakin bahwa sumber bau tak sedap lenyap.
Sekitar sembilan bulan aku menjadi anak gunung, ikut paklik Mul, ibarat bayi dalam
kandungan tinggal tunggu harinya. Andaikan aku masih sekolah sudah tri wulan ketiga.
Menjelang ulangan umum menentukan kenaikan kelas.
Aku sudah merasakan suka dukanya menjadi anak yang hidup dikawasan
pengunungan. Suka yang kurasakan adalah makan kenyang, walaupun sebatas nasi tiwul plus.
Dukanya aku kalah dalam hal bekerja dibandingkan dengan rata – rata anak dewasa teman
lelakiku pada umumnya, kecuali angon kambing.
Kambingku menjadi sebelas ekor dan sehat. Kata orang – orang disitu aku punya bakat
dan bersahabat dengan ternak itu. Maka kambingku gemuk – gemuk dan penurut. Jika
kambingku ada yang sakit, kuberi jamu dan ku urut.
Pada suatu malam sekitar pukul satu, hujan deras terjadi dikawasan kami. Gemuruh
suara air terjun di gunung sudah biasa. Ketika hujan reda, orang kampung dikejutkan suara
menggelegar yang menimbulkan tanda tanya. Bukan suara petir atau guntur. Malah dikira batu
gunung raksasa longsor terbanting ketanah dibawahnya. Karena pernah terjadi beberapa
tahun sebelumnya, yang meninggalkan bekas longsoran hampir satu kilo meter panjangnya.
Subuh itu penduduk tak ada yang pergi ke pasar kota, karena mengira jalan utama yang
menghubungkan daerah kami ke daerah lain putus kena longsor tanah.
Bersama beberapa warga aku berusaha ingin tahu apa yang terjadi. Dengan membawa
obor dan senter lampu, kami keluar kampung arah timur dimana suara dentuman tadi
terdengar. Tapi tak terlihat sesuatu yang aneh disekitar situ, entah dibalik gunung itu. Karena
belum terang betul keadanya, kami sementara ngobrol entah apa yang terjadi. Dari kejauhan
dibawah sana, kami lihat lampu obor dibawa orang – orang. Tampaknya, menuju keatas arah
kampung kami. Semakin dekat mereka berjallan beberapa penduduk desa mendengar
teriakkan ”Randu Alas Roboh ” bersahut- sahutan..
Akhirnya jelas sudah pohon raksasa yang berumur ratusan tahun dan menjadi tempat
persembahan warga desa itu tumbang tak bangun lagi. Hari itu hatiku berdebar, tak mampu
berpikir tenang. Aku bayangkan betapa marahnya mbah Wongso, Kepala Dusun tua itu.
Sudah barang tentu penduduk kampung bermacam – macam komentarnya. Pak Mul,
paklikku tampak termangu, bulikku, yang selama ini sudah menunjukkan tidak senangnya
kepada ku mulai sering menyindir. Walau katanya Suto Lencok untuk ku tak jarang kudengar
lagi, tapi kaya nyinyirnya mulai mengusikku.
24

Apalagi setelah lik Sodi, adik sepupu lik Mul itu beberapa hari sebelum Randu Alas itu
tumbang sempat mengomentari keluhan bulik;
”Biarkan saja yu, bocah itu ibarat kayu sudah lepas kowal, tak usah dirisaukan.”
”Iya sih,tapi bolak – balik mbah Wongso menegur kita sebagai orang tuanya, kitakan
risih lagian Ade ka cucu kesayangan mbahnya , mungkin Wewenya pun sudah tak ambil pusing
lho yu,” komentar lik Sodi berseloroh.
Menghadapi situasi itu umurku yang masih belum mampu berpikir panjang, berusaha
menghindar dari perangai bulik. Lama–lama timbul pemikiran sederhana, Pulang kembali ke
orangtuaku ke bawah sana biar tak mendengar apapun, komentar yang menyudutkan aku.
Pagi – pagi sebelum matahari terbit, aku minta sedikit uang, kebapakku lik Mul, dengan
alasan membeli arit ( sabit ). Tampaknya paklik ku tak ingin bertanya, melihat aku agak
mendesak. Akhirnya diberilah aku uang yang ada. Entah kenapa aku tak berusaha pamit
dengan bulikku. Buru – buru kuterima uang dari bapakku, dengan pakaian seadanya, tanpa
alas kaki. Aku berlari – lari kecil untuk segera , bareng dengan orang – orang tetanggaku yang
pergi ke pasar kota Wonogiri. Ditengah perjalanan aku tak ikut orang sekampungku, tapi
menyelinap dan berpisah begitu melihat jembatan gantung yang menlintang diatas sungai
Bengawan Solo yang saat itu sedang berair besar ( banjir ).
Sampai diseberang sungai. Aku lupa – lupa ingat jalan menuju kampungku. Rasanya
dulu pernah melewati jalan ini. Pada saat aku diajak bapak pergi ke kota, mendengar pidato
Bung Karno 17 Agustus, usai Pemilu pertama tahun 1955.
Kulalui saja jalan raya itu lama – lama sampai didekat sekolahan yang sepuluh bulan
yang lalu kutinggalkan setelah menerima rapot.
Agak sedih aku tapaki jalan dari sekolahan menuju kampung yang dulu senang kulewati
bersama kang Kliwon, aku pergi-pulang sekolah. Sampai dirumah kudapati bapak sedang
dihalaman rumah tak ada yang dikerjakan.kupeluk bapak, yang kondisinya tampak kurang
sehat. Kucari biyungku ternyata sedang kepasar Kecamatan.
Sebetulnya aku sangat lapar, tapi kucari makanan apa yang bisa kumakan. Rupanya
bapak melihat tingkahku, hanya melihat saja karena memang tak ada apa – apa. Kecuali setelah
biyungku pulang dari pasar.
Uang sedikit dari pak Mul kuberikan bapak, tapi juga tak menolong keadaan laparku,
karena yang dibeli pun tak ada dikampung ini. Apa lagi baru musim tanam belum ada tanaman
yang bisa dipetik untuk menganjal perutku.
Akhirnya kuputuskan tidur dengan perut keroncongan dengan modal capek berjalan
hampir tiga jam, aku tertidur diambenku yang selama ini kutinggalkan merantau.
Berapa lama aku terlelap di dipan tua tadi aku tak sempat mikir, yang kupikir cuma bau
nasi tiwul dan sayur lodeh terong yang kucium dalam mimpi siangku menjadi kenyataan.
Karena biyungku telah menyediakan dimeja makan dekat tempat tidurku, dalam keadaan
panas-panas.
Tampa bertanya apapun aku mulai makan dengan lahab. Didepan bapak yang rupanya
sedang menunggu aku bangun dari tidur kelaparan.
Selesai makan kubantu merapikan piring mangkok, tiba – tiba biyungku datang dari
sumur membawa air untuk minumku, kendi tanah itu ternyata masih ada, dan air mentah pun
menjadi minuman pokok setelah makan.
Tak banyak yang ditanyakan oleh kedua orang tuaku setelah makan, kecuali tentang
kenapa aku tiba – tiba pulang, padahal sungainya lagi besar.
Kuceritakan mulai aku meninggalkan pak Mul, tentang pergi bersama orang
kepasar,melewati jembatan, sampai kerumah. Kulaporakan pula, bahwa randu Alas roboh.
Aku malas cerita tentang dukanya ikut orang, khawatir tak enak saja. Tak pikir biar orangtuaku
bertanya, ternyata tak ada pertanyaan yang serius.
..................0000....................
25

7 PENUNJUK WAKTU KANG BEJO


BUKAN ARLOJI TAPI......?

T
iga hari aku kumpul bapak biyungku sejak aku meninggalkan paklik da bulikku di
pegunungan pasca rumbangnya Randu Alas di kaki Gunung joglo tempat bapak
dilahirkan dulu.
Setelah aku tak ada tanda – tanda ingin kembali ngenger lagi, ke paklik ku bapak
memanggilku disuatu pagi setelah sarapan.
”Leeee, kalau kamu disini siapa yang ngurus kambingnya. Katanya sekarang sudah
sebelas ekor. Betapa repotnya paklikmu disana kalau kamu disini?” tanya bapak pagi itu.
Walaupun pertanyaan itu sederhana, namun aku tak mudah menjawab. Aku sebetulnya
sadar, bahwa ngenger ku ikut lik Mul, secara jelas mengurangi beban orang tua yang lagi
kekurangan pangan.
Tetapi kalau harus kembali ke gunung lagi, rasanya berat dan malu, mengingat aku
sendiri sudah dicap Suto Lencok. Walaupun kenyataannya demikian. Aku bukan pekerja
keras dan rajin seperti anak di pegunungan pada umumnya. Hobiku cuma memelihara
kambing. Itupun taman kambing yang sudah aku klaim sebagai milikku sudah tak tau nasibnya
menyusul ambruknya Randu Alas itu.
Biyungku pun sejak aku kembali pulang, tak pernah menanyakan apa – apa kecuali
tentang keadaan simbah dan sedang musim apa di Gunung.
Diluar yang ku duga, kang Bejo sepupuku tiba –tiba muncul membawa buah sirsak dan
gayam Gunung kesukaanku. Kedatangan kang Bejo anak pakde Kromo membuat suasana
lebih cair. Walaupun menimbulkan kecurigaanku. Sebetulnya dia satu kasta denganku sama –
sama tak pandai bekerja membantu orang tua di Gunung, tapi tak dijuluki Suto Lencok seperti
saya. Hanya karena dia fisiknya lemah, konon pernah kena tipes, hampir tak tertolong.
Berkat pertolongan mbah Sendang, jiwanya bisa diselamatkan. Maka yang dulu
namanya Katimin setelah sehat lagi keluarganya merasa bersyukur dan beruntung atas
pertolongan orang pinter. Maka namanya diganti ”Bejo.”
Malam setelah kang Bejo ada dirumahku, dia bicara dengan bapak dan biyungku.
Namun aku tak ingin mendengarnya. Malah aku menemani kakakku Kasiyo, yang sedang
berada di emperan rumah. Walaupun aku tak tau apa yang dibicarakan mereka, kang Bejo
tampak serius mengutarakan maksud kedatanganya.
Sebetulnya aku ingin mendengar perbicangan mereka bertiga, tetapi kakakku
melarang. Katanya tak boleh menguping kalau orang tua baru bicara serius.
Tak lama kemudian aku dipanggil masuk, kemudian bapak bicara dengan lembut.
”Leee, besok pagi kamu kembali ke Selopukang bersama kang Bejo, membantu lik
Mul. Karena kambing kambingmu tak ada yang mengurus. Kasihan lik Mul, tak bisa
menggarap sawah ladangnya kalau kamu tak ada disana.”
Mendengar permintaan bapak, aku tak mampu menolak, maka aku langsung tidur
tengkurap diatas dipan yang ada dekat biyungku duduk. Melihat tingkah tidurku, biyungku tak
kuasa menahan tangisnya. Dengan tangannya yang agak kasar, diusaplah punggungku dengan
lembut sambil memberi nasehat.
”Ngger, kalaupun misalnya kamu sudah tidak kerasan ikut paklikmu digunung,
caranya yang harus baik – baik. Tak boleh seperti yang lalu itu, katanya mau pergi sebentar
kok sampai tiga hari tak kembali. Sebetulnya paklik mu Mul itu sayang kepadamu dia tak
26

punya anak. Memilih kamu itu ada alasan, yang lain tak diajak, kakak – kakakmu tak ada yang
diajak, hanya kamu yang dipilih, lho leee !”
Sebetulnya saya tahu, bahwa biyungku tak tega jika karena aku hanya terpaksa. Saya
tahu bahwa biyungku ingin bapak tak malu dengan lik Mul. Biyungku hanya tak mengutarakan
yang sebenarnya. Aku juga tak berani bicara apapun, karena suasana malam itu sungguh
mengharukan.
Andaikan saya berani protes, malam itu yang akan saya nyatakan adalah bagaimana
sekolahku, dan tak suka jadi petani digunung, atau dimanapun.
Oleh karena itu yang bisa kulakukan hanya sedih tengkurap memeluk kaki biyungku
yang bersimpuh. Malam itu suasana betul–betil penuh haru. Demi melegakan semua pihak
dengan terpaksa aku putuskan.
”Besok pagi, aku bersedia kembali ke gunung bersama kang Bejo, ya besok pagi,
”kataku sambil menyeka air mata.
Begitu jelas keputusanku. Padahal aku belum yakin bahwa aku bisa bertahan lama ikut
lik Mul. Maka kutanya kang Bejo, agar orang tuaku lega.
”Jam berapa kita berangkat kang ?”
”Habis jago keluruk lee.”
Sebetulnya aku tak paham maksud kang Bejo tapi malas bertanya lagi kupikir
besoklah juga tahu. Yang penting bapakku yang telah berusia 60 tahunan itu mendengar
Betul ternyata saat subuh, dimeja perundingan semalam, bapak dan kang Bejo sudah
sarapan minum teh dengan singkong rebus oleh – oleh kang Bejo kemarin. Habis cuci muka
aku langsung bergabung dimeja itu. Suasana sudah nyaman. Kekecewaan sudah tak tampak di
wajah bapak walaupun beliau tak begitu sehat. Kang Kasiyo juga nimbrung, setelah
mengeluarkan kambing peliharannya dari pojok dalam rumah kami.
Kang Bejo pagi itu sudah siap, maka aku diajak segera berangkat, mumpung masih
pagi, kutanya dia:
”Lewat mana kang, nyebang sungai atau lewat jembatan gantung ?”
Karena orang Gunung rata – rata takut aliran sungai, maka diputuskan melalui
jembatan walaupun jaraknya lebih jauh tiga kali lipat.
Pagi itu orang pertama yang meninggalkan rumah adalah kakakku, karena pergi
sekolah. Maka kuantar sampai pintu pagar, sambil ku ucapkan;
”Selamat belajar kang, nanti aku menyusul.”
Kakangku rupanya heran atas salamku, dikira aku mau mendaftar sekolah sekarang
diantar kang Bejo, maka tanyanya;
”Mau mendaftar sekolah, kok dengan kang Bejo. Tapi sekolahanku bukan SR II
lho, aku di SR I Karanganyar.”
Aku tertawa ringan, karena kakakku salah paham, dikira aku mau sekolah lagi.
Akhirnya setelah biyung ada di emperan rumah aku pamit, bapak mengangguk. Berdua
dengan kang Bejo aku berangkat menuju Gunung kembali ngenger, entah berapa lama aku bisa
bertahan. Karena dianggab aku lebih tahu rute jalan yang harus kami lalui, aku disuruh
berjalan didepan. Disepanjang jalan untuk mengusir rasa jenuh kami ngobrol.
” Kang, mengapa ketika kutanya jam berapa kita berangkat kang Bejo menjawab,
habis jago kluruk,” tanyaku.
Kang Bejo bicara panjang lebar tentang kebiasaan dan pengetahuan orang–orang
Gunung;
”Begini Le, orang–orang gunung itu jarang yang punya jam, kalaupun ada jarang juga
yang tau waktu pukul berapa. Bahkan orang gunung kalau nyebut waktu jam berapa pasti tepat
tidak pakai kurang atau lebih,” cerita kang Bejo.
”Kenapa, kok bisa begitu ? memang orang Gnung pakai jam mati ?”
27

”Orang mengetahui waktu kalau siang, digunung hanya mengandalkan Sepur


misalnya kalau Sepur lewat pagi pertama, menunjukan pukul 06.00 kalau jam 09.00!!”
”Kalau itu saya sudah tau kang,” jawabku.
” Lha kalau malam kan sepur istirahat terus untuk tau jam berapa, gimana?”
”Pokoknya Sepur Laste berarti jam 06.00 sore. Setelah itu menggantungkan Jago
Kluruk jika jago kluruk pertama tengah malam berarti pukul satu yang kedua pukul tiga,
yang terakhir pukul lima subuh,” jawab kang Bejo
Aku tertawa lagi, lalu menyela;
”Tadi kudengar jago setelah tengah malam. Kalau sebelum pukul dua belas
bagaimana?”
”Jika jago Kluruk sebelum tengah malam berarti tanda–tanda dikampung itu ada yang
tak beres misalnya, ada perempuan hamil tanpa suami, baik perawan atau janda,” jawab kang
Bejo tegas
Tak terasa sambil ngobrol ternyata perjalanan kami sudah sampai di jalan raya menuju
jembatan yang terkenal itu. Sampai di jembatan gantung, kang Bejo kelihatan grogi. Maka
kupegangi tangannya ku tuntun, kulihat dia memejamkan matanya. Aku sadar jika kang Bejo
takut melihat aliran sungai Bengawan Solo itu. Karena jembatan gantung itu kalau kita lalui
ramai–ramai terasa bergoyang, apalagi jika ada kendaraan melintas diatasnya.
Begitu jembatan kulewati kang Bejo merasa lega, selanjutnya diputuskan jalan mana
yang harus kami lalui. Karena ada dua jalan untuk menuju kampung Selo Pukang. Keputusan
kang Bejo jalan yang empat hari lalu kulewati ketika meninggalkan pak Mul.
Siangnya aku tiba di rumah, kediaman lik Mul alhamdulillah selamat tak kurang suatu
apapun. Entah kenapa setelah kutinggalkan empat hari, terasa beda. Bulik Mul kurang bicara
hanya yang perlu – perlu saja, sedang pak Mul terkesan hati – hati. Mungkin sedang menduga
– duga sebelum kang Bejo sebagai duta pak Mul melapor.
Saya mulai menyusun rencana apa yang harus kukatakan jika aku pamit meninggalkan
rumah ini. Agar tak melukai perasaan pakLikku. Rupanya pakLikpun merasa kan apa yang
menjadi pikiran saya. Untuk tak risau aku diajak nonton wayang kulit semalam suntuk. Paginya
tak pikir libur ke ladang. Ternyata tak ada libur bagiku. Biasa pagi itu ke ladang membawa
cangkul dan arit. Diladang lereng gunung aku tak kerja seperti biasa. Tapi tertidur dibawah
pohon dengan lelap bernaung daun Sengon. Begitu bangun Paklikku sudah tak ada, mungkin
sudah pulang karena memang sudah siang. Yang saya herani tempat aku tidur tadi terikat
beberapa cabang pohon untuk peneduh selama aku tidur tadi.
Selama aku tidurtadi rupanya paklikku tak membiarkan aku terganggu terik matahari,
sampai aku pulas. Yang lebih mengejukan ditempat mandiku selama ini, sudah ada seikat
rumput siap dibawa pulang lengkap dengan aritku yang sedari tadi memang ku taruh disamping
tidurku.
Akhirnya kusadari semua ini tindakan paklik ku yangg sangat aku kagumi, dengan
maksud mengelabuhi bulik, bahwa aku bukan ”Suto Lencok” lagi. Malah selesai mandi
kubawa pulang rumput tadi. Padahal orang – orang kampung sudah selesai makan siang
dirumah masing – masing. Dijalan aku mendapat pujian.
”Ternyata anak mbah Mul hebat,” katanya. Aku tersenyum;
”Yang hebat bukan anaknya tapi, pak Mulnya,” jawabku dalam hati.
Kebahagian atas diriku yang dilakukan pakLik. Tak sebanding lurus sikap Bulik. Tapi
kuhadapi saja apa adanya. Malah aku semakin kebal, menghadapi kenyataan yang
menyebalkan. Aku bukan tak sadar bahwa aku bukan putra ideal untuk ukuran anak gunung
hatiku selalu bergelora ingin lepas dari situasi ini, ya aku harus ”nekat.”
Saatnya aku punya kesempatan yang tepat dan bagaimana cara yang sopan, aku
menghadap paklik dengan rendah hati kuutarakan isi hatiku yang sebenarnya.
28

”Mohon maaf pak, sekali lagi mohon maaf.”


Begitu kalimat permintaan maaf kusampaikan, tak kuasa menahan rasa sedihku,
mulutku seperti terkunci. Tak sepatah katapun, yang keluar dari mulutku. Begitu pula paklikku
beliau kulihat berlinang juga. Aku menunduk, tak kuasa melihat paklikku, kutinggalkan beliau,
aku menuju ketempat tidur terisak sepuasnya disitu. Tiba–tiba paklikku memegang bahuku,
seraya menyuruhku minum air putih yang dibawanya. Ku turuti permintaannya, sehabis
minum, paklik malah duduk disampingku terus memulai kata – kata sejuk dan segar, sesejuk
air yang baru saja ku minum.
Yang mengherankan ternyata justru paklik yang minta maaf. Padahal seingat saya tak
sedikitpun paklik menyakiti hati saya. Malah yang lebih melegakan lagi, beliau kapan–kapan
mau mengantar saya pulang ke kampung kembali ke orang tuaku, kapanpun aku menghendaki.
Alasan beliau, agar antara keluarga tak timbul keretakan. Kita harus saling menjaga tak perlu
saling menyalahkan.
Beliau juga memuji aku katanya, ”cara berpikirku sudah mulai dewasa dan lebih maju
dari anak sebaya ku digunung.”
Dibuktikan, saya bicara malam ini bertepatan bulikku tak ada dirumah. Tapi beliau
pesan walau bagaimanapun pada saatnya aku harus bicara dan pamit bulikku. Cari waktu yang
tepat tak usah membicarakan yang tak perlu.
Setelah pertemuan empat mata malam itu, rasanya kekuatanku semakin bertambah.
Hari – hari berikutnya kuselesaikan tunggakan masalah yang selama ini kuabaikan. Aku tak
ingin meninggalkan kesan buruk di keluarga ini, khususnya, dan di kampung ini juga pada
umumnya.
Kayu bakar yang selama ini berantakan dan berserakan sekitar kandang kambing
kurapikan. Halaman yang semrawut ku tata lagi. Kambing ku perhatikan, baik makannya juga
kandangnya.
Area Randu Alas aku lupakan karena sulit aku membuat taman lagisetelah ”Raksasa”
itu tidur, tak bangun lagi. Keangkeran nya pudar, kerindanganya harus menunggu puluhan
tahun lagi, baru dapat di harapkan. Yang merasa kehilangan pohon sakral itu bukan hanya
warga kampung Selopukung. Penduduk di bawah sana juga merasakan hal yang sama. Cuma
bedanya orang disana manfaatkan pohon agung itu untuk penanda, musim tanam. MUsim
panca roba khususnya.
Konon jika pohon randu itu belum bersemi, walau sudah ada hujan, mereka tak
langsung bercocok tanam. Kepercayaan mereka hujan salah musim, maksudnya hujan turun
belum waktunya. Kalaupun mereka bertanam kebanyakan tak berhasil dengan baik.
Pakde Kromo, sementara waktu kulupakan, ikut kehilangan atas kepergian saya sejak
sepuluh hari yang lalu. Mungkin sudah mendapat laporan kang Bejo. Karena kang Bejo sejak
mondok di Sendang kelakuannya tertib. Kalau disuruh orang tua, apapun hasilnya pasti lapor
tetapi kalau bepergian sendiri tak ada yang dipamiti.
Pakde Kromo siang itu lagi santai di dipannya. Maka ketika melihat kedatanganku yang
tiba – tiba buru – buru bangun, terus merangkulku.
”Duh leee, wong pergi saja kok diam – diam saya kira digondol Wewe.”
”Wewe nya sekarang tinggal dimana pakde , setelah Randu Alas tumbang ?”
”Dasar sableng, yang ditanyakan kok malah Wewe bukan budemu ?”
”Mbok kalau pergi itu bilang to lee, biar pakdemu tak binggung,” tanya bude.
”Bude, pakde aku minta maaf kata kang Bejo, aku dimarahi orang sekampung ?”
”Dimarahi sih tidak, ya jadi omongan saja,malah pakde mu yang jadi sasaran.’
”Pakde takut ? Pakde kan ku minta jadi mandor taman Wewe itu ?” kataku
”Mandor dengkulmu, nah sekarang mau diapakan kayu Randu Alas itu?” tanya pakde
”Ya di buat kayubakar saja, dipotong ramai – ramai kenapa takut?”
”Segede itu mau dibuat kayu bakar, kalau cabangnya bolehlah,” kata pakde
29

”Batang nya di gergaji to, buat sekolahan, biar punya sekolahan ,” usulku
”Belum ada yang berani lee, mau di ruwat dulu sekalian bersih desa.”
”Aku mau menghadap simbah putri dulu, pakde menyampaikan salam dari biyungku.”
”Ya sana wong mbahmu juga nanyain kok !”
Siang itu seusai ngobrol dengan pakde Kromo, aku kerumah simbah putri yang telah
lama tak sowani beliau. Kebetulan mbah putri yang rumahnya paling dekat dengan kawasan
Randu Alas berada di kebun membawa bakul entah munguti apa.
”Mbah Ade datang kubantu ya mbah ...!”
”O Allah lee bikin kaget simbah darimana saja kamu lee ?”
”Dari sana mbah kampungku, disana diseberang bengawan itu mbah.”
”Bapak mu sehat, lagi panen apa dikampung bapakmu?”
”Nggak tau mbah, aku cuma tiga hari sudah disuruh kembali lagi.”
”Wong ditanya panen apa kok jawabnya.....?”
”Nggak ada yang dipanen mbah baru ditanam, ini apa mbah?”
”Ini kopi, kotoran Luwak, tai Luwak tau ?”
”Oh Luwak tai nya kok buah kopi to mbah, kalau gitu tak usah tanam kopi saja mbah,
munguti tai Luwak saja.”
”Leee, kalau tak ada tanaman kopi, Luwak yaaa nggak makan kopi, kotorannya ya
bukan kopi. Wong gitu kok nggak mudeng !”
Aku baru tau, ternyata Luwak itu kalau makan kopi cuma ditelan begitu saja. Kulit
kopinya yang diperlukan sebagai nutrisinya. Sedang biji kopinya dikeluarkan lagi untuk
manusia.
Dipegunungan tanaman kopi bisa hidup subur. Demikian pula buah – buahan yang
lain. Yang saya herani didataran rendah orang kehabisan air, dipereng-pereng gunung,
kemarau pun ada mata air yang deras tak pernah kering sepanjang masa.
Di daerah lain sawah musim kemarau pada merekah, simbah gunung punya sawah
musim kering. Namanya Sawah Gadon. Oleh karena itu simbahku tak pernah kehabisan
pangan. Dan simbah jarang ke pasar, karena sebagian besar kebutuhan pangan sudah
melimpah kecuali gula, teh, garam, dan minyak tanah.
Orang gunung meninggalkan kampungnya merantau ke kota jika tak ada tanah garapan,
atau sekolah itupun jarang.
30

8
KUTINGGALKAN SUTO LENCOK
BERSAMA WEWE DI TAMAN RANDU ALAS

H
ari baik sudah datang, kulihat paklik telah menyiapkan sebagian hasil panenya
untuk dibawa ke pasar Wonogiri. Aku diajak memikul kelapa tua, sedang
paklik dan bulik membawa hasil bumi yang lainnya. Rupanya paklik dan bulik
telah menyiapakan sedemikian rapi, tinggal menunggu hari baik saja yaitu hari pasaran
Wonogiri, kalau tak Wage ya Legi.
Hari Jumat Wage pilihan mereka. Kami bertiga setelah ayam jantan berkokok yang
ketiga pula berangkat ke pasar. Ternyata tidak mudah jalan sempit naik turun, tanpa obor tak
mungkin bisa berjalan. Jangankan membawa barang – barang, jalan tanpa bawaan pun sulit
rasanya. Apa lagi kanan kiri jalan sempit itu, kalau bukan jurang ya tebing terjal.
Akhirnya kami sampai ke jalan raya, rasanya lega sekali. Walaupun untuk sampai ke
pasar ditengah kota itu, masih berjarak lima kiloan jauhnya. Dan kami tidak sendiri banyak
orang disepanjang jalan menuju kota. Paklik merelakan kelapa yang kubawa dibeli orang.
Mungkin hanya karena kasihan melihat saya. Sebab yang dipikul paklik tak dilepas. Walaupun
ditawar dengan harga yang sama. Bulik menggendong bawaan lainnya sampai membungkukan
punggungnya. Aku kasihan beliau, namun tak mau kubantu, katanya sudah dekat tempat
pelanggan yang biasa membeli barang itu.
Sampai tempat yang dituju, ternyata sudah ramai sekali. Sebelum masuk pasar pun
orang sudah berebut mau membeli barang – barang yang dibawa paklik.
Demikian pula yang digendong bulik. Setelah semua habis dijual, kami bertiga sarapan
nasi Gulai di depot mbah Jenggot yang terkenal itu. Layaknya keluarga petani sukses dan
bahagia. Ya memang semestinya begitu. Walau masih ada sisa pertanyaan yang belum terjawab,
kapan hari baik yang dijanjikan itu.
Hari ini paklik memutuskan mengantar aku pulang kerumahku kembali ke orang tua,
tanpa air mata, tanpa upacara. Gulai kambing yang selama ini belum pernah kunikmati menjadi
tanda perpisahan. Kami berdua, setelah pamit Bulik, terus keluar pasar beli gula teh untuk oleh
– oleh orang tua dikampungku. Sedang Bulik hilang dari pandangan kami, berbaur dengan
simbok – simbok lain di tengah keramaian pasar. Entah apa yang dibeli, legakah beliau
sekarang ? ”
Setelah berpisah kami berdua tak banyak bicara yang serius. Tibalah di jembatan
gantung yang beberapa minggu lalu kulintasi bersama kang Bejo. Paklik berjalan mantab tak
seperti kang Bejo, dasar beliau orangnya tinggi besar, berambut gondrong dan mengenakan alas
kaki sederhana yang dibeli tadi, yaitu sandal baru tapi dari ban bekas.
Sampailan kami dikampung halamanku. Bapak terbaring didipannya, biyungku sibuk
masak didapur, yang lain tak ada. Entah pergi kemana, saat pak Mul mendekati bapak, aku
membantu biyung didapur, tak lama kemudian kakakku datang dari sekolah .
Setelah makan siang, kakak dan aku disuruh mencari makan kambing ke ladang.
Karena satu keranjang kami isi berdua, maka tak lama pula keranjang itu penuh pakan
kambing. Tatkala mau kuangkat dibawa pulang, kakakku mencegah, kata kakakku;
”Nanti saja ngobrol dulu disini, biar orang tua kita ngobrol juga dirumah.”
Kami cari tempat yang cocok, teduh dan bersih mulailah obrolan itu.
”Kamu tahu sepeninggalamu itu, bapak sering melamun dan sekarang sakitnya semakin
parah, terlalu banyak yang menjadi pikiran bapak. Kang Samijo pindah kerja ke Simo,
31

Boyolali. Kang Nyoto ke Lampung bersama lik Min, katanya mau nyusul paklik Suto,” kata
kakak mengawali obrolan dengan serius.
”Pergi merantau saja kok dipikir, orang – orang sini juga banyak yang merantau, lagi
pula, dikampung apa yang dikerjakan?” jawabku sok dewasa
”Yang dipikir malah kamu yang semestinya sekolah di Gunung ternyata tak sekolah.
Padahal kata bapak kamu punya kelebihan diantara kakakmu bertiga,” lanjut kakakku sambil
memperhatikan aku
”Apa kelebihan saya, kata bulik, saya ini cuma Suta Lencok, doyan mbadok wede
jeblok.”
”Kata bapak kamu belum cukup umur sudah diterima masuk sekolah, bahkan belum
sekolah sudah pintar membaca itu kelebihanmu. Oleh karena itu kalau saya sudah tamat kamu
harus sekolah lagi tiga bulan lagi aku ujian. Kalau kamu siap langsung mendaftar saja, di kelas
IV seperti dulu,” jawab kakakku penuh harap
”Kok kelas IV lagi, dulu aku kan sudah kelas IV, mestinya kelas V. Biar tak terlalu jauh
jarakku dengan kakak. Dulu aku naik kelas IV, kakak baru kelas berapa, nanti kakak tamat
semestinya aku kelas V,” protesku spontan
“Peraturan nya begitu, kita tak semau sendiri, lagi pula selama ini kamu tak pernah
belajar mana bisa,?” jawab kakakku agak emosi
”Saya punya ide kang, selama tiga bulan ini aku mau belajar pelajaran kelas V, buku –
buku kelas IV kakak kan ada dan bantu aku belajar,” pintaku dengan serius
”Mana mungkin, kamu kan ikut lik Mul di Gunung, bagaimana bisa belajar, nanti
kubantu. Mau kekelas V kok --- buku yang diminta buku kelas IV,” jawab kakakku heran.
”Ooo belum tau to hari ini Jumat Wage aku sudah tak mau ikut ke Gunung lagi. Aku
perlu buku – buku pelajaran kelas IV, bukan buku kelas V begitu kang. Masuk kelas V
pertama, yang dipelajari kan pelajaran kelas sebelumnya dulu kang, yaitu pelajaran kelas IV,
akhir,” jawabku penuh arti
”Memang benar, nah itu kelebihanmu. Setahu saya membaca saja kamu sudah
langsung tahu. Baiklah kita pulang kucarikan buku pelajaran kelas IV, tapi ----- kamu harus
rajin angon dan ngarit,” kata kakak.
”Kambingku di Gunung gemuk–gemuk kang, kalau hanya mengembala kambing saja
apalagi ngarit rumput, kakak tadi tau kan, bakatku sekarang?’’ jawabku nyombong
Aku terkecoh, baru mau cerita tentang bakatku yang lain, kakak langsung mengangkat
keranjang rumput terus pulang. Dalam perjalanan pulang kuceritakan pengalamanku cari kayu
bakar. Tanpa mencuri di hutan larangan milik pemerintah, aku dapat kayu tanpa harus di
hukum. Mendengar kesombonganku kakak memotong omonganku.
”Aku tahu, dari Kang Bejo, kamu tanpa ijin siapapun membabat kayu di kawasan
Randu Alas. Kayu – kayu disitu kamu habisi di bawa pulang, iya kan? Terus penunggunya
marah, Randu Alas dirobohkan oleh penunggunya. Akibatnya mbah Wongso geram, untung
kita ini masih keturunan Mbah Selo.”
”Yang nunggu siapa, bukankah pakde Kromo mandornya disitu ? aku sudah bilang
kok. Kakang salah, pemilik tanah disitu simbah. Mbah Pakem kang, mbah Selo siapa, kok
tak pernah ku dengar, nama mbah Selo ? Apa yang kabarnya menangkap petir itu kang?”
tanyaku sambil tertawa.
”Bukan, itu sih Kyai Ageng Selo, mbah Selo itu, suami mbah Pakem!!”.
Obrolan, kami rupanya didengar lik Mul, yang mungkin sedang berembuk juga dengan
bapak. Akhirnya bapak yang menjelaskan tentang legenda kesaktian Kyai Ageng Selo. Kami
melongo mendengar kisah yang melegenda itu.
Makanya setiap rumah orang–orang Gunung, atapnya selalu ditaruh tambang dari
kulit kayu, kandri agar tidak disambar petir.
32

Biyung membawa teh manis yang dibeli lik Mul tadi pagi, nikmat betul rasanya, karena
selama ini minum teh manis bila ada acara saja. Sebetulnya, lik Mul mau pulang sore itu juga,
hanya karena Bengawan Solo yang jadi pertimbangan, maka diputuskan menginap saja
semalam dirumah bapak.
Saya tak sabar menunggu kakakku mengambilkan buku yang dijanjikan tadi. Rasanya
ingin cepat – cepat menyimak isinya tapi ditegur, maka kuurungkan.
Pagi – pagi sekitar pukul 9.00, aku disuruh melihat keadaan Bengawan Solo. Jika ada
orang menyeberang tampa berenang, berarti aman untuk pulang, paklik Mul. Tapi kalau
masih banjir, terpaksa pak Mul pulang lewat jembatan gantung lagi seperti kemarin.
Sore itu aku bermaksud melihat sungai. Tapi dikasih tahu bapak, bahwa sore ini situasi
belum bisa untuk ukuran. Alasanya, jika malam nanti ada kiriman air dari hulu, besok bisa jadi
banjir. Alasan itu dapat diterima, oleh karena itu niat melihat Bengawan Solo sore itu
kuurungkan
Esok pagi sesuai petunjuk bapak tugas itu kulaksanakan. Sebelum sampai sungai ada
yang memanggilku. Dari nada suaranya aku tau, pasti kang Kliwon.
”Hai apa kabar cah nggunung, mau ke kaki gunung lagi ?” tanyanya
”Ah nggak kang aku tak akan ke Gunung lagi mau melihat sungai ?”
”Dasar bocah nggunung, tak pernah lihat sungai, apa yang dilihat ?”
”Nggak gitu kang, mulai hari ini pertualangan ku di kaki gunung sudah berakhir dan
kemarin aku pulang diantar paklik ku. Nahh nanti paklik ku mau pulang takut sungainya besar
akan kulihat dulu.”
”Kalau gitu tak usah kamu lihat, sungai nya mengecil kok, bisa disebarangi.”
Setelah itu kang Kliwon kuajak kerumah tak suguhi teh manis sebagai jasanya sekaligus
kukenalkan pak Mul ku. Berdua kami lapor bahwa Bengawan Solo aman, kami siap antar
paklik dengan ikhlas. Tapi nyeberang sungai tak seperti rencana semula, yang memutuskan
kang Kliwon. Karena dia pemandu penyeberangan lik Mul. Memang aliran sungai sedang
surut, proses penyeberangan tak makan waktu lama, selamat tak kurang suatu apa pun. Atas
kebijaksanaan paklik kang Kliwon diberi tanda terima kasih, selesai sudah tugas kami.
Pulangnya aku mampir dirumah mbah Saikem mboknya Kliwon, ramah banget beliau,
malah aku dilarang pergi sebelum makan dulu. Aku hormati perhatian mbok sepuh itu. Selama
menunggu tiwul masak, kami disuruh ngobrol dulu, tak boleh kemana – mana. Kuceritakan
pengalaman ngenger di Gunung, sampai tentang rencana sekolahku lagi, ditempat yang sama.
Karena aku berhenti sekolah sudah lama kang Kliwon mengira aku mengulangi kelas
IV. Begituku jelaskan bahwa aku mau mendaftar kelas V, dia kaget. Tapi dia sadar, bahwa dari
dulu kemauan saya dalam hal belajar tak diragukan. Akhirnya mendukung dengan syarat aku
tak boleh mbandel, kendati, setengah tak percaya.
Makan siang masakan istimewa, sayur tahu santal kental dan lombok ijo. Tentang nasi,
walaupun tiwul tapi campuran nasi beras hampir 40 %. Aku tak malu – malu makan sepuasnya.
Kenyang makan aku pamit pulang, malah dibungkuskan sesuatu buat biyung katanya.
Setelah acara reuni itu aku sering ketemu kang Kliwon, apa lagi kalau ada maunya

....................0000..........................
33

9
MISKIN DAN YATIM
TAK DOSA, KENAPA TAKUT

A
wan gelap menyelimuti keluargaku ”Inalilahi wainalihahi rohjiun” bapak meninggalkan
kami untuk selama- lamanya aku tak tahu harus berbuat apa. Aku binggung biyungku
dan yang lain juga menangis. Aku tak biasa menghadapi musibah kematian. Entah
mengapa dalam situasi itu aku tak berbuat apa-apa, menangis pun aku tak ikut.
Baru setelah pemakaman selesai, keluarga dari Gunung tak semua pulang sebagian
bermalam, berusaha menenangkan biyungku semampu mereka. Tak ada yang membicarakan
saya. Aku sendiri tak peduli. Dalam pikiranku, yang penting jangan ambil saya, kecuali untuk
disekolahkan sudah harga mati itu, yang penting sekolah entah bagaimana caranya.
Selanjutnya aku tau siapa yang ada dirumahku itu, mereka juga tak tau aku dimana dan
gimana. Kemudian yang kutau hanya kakakku yang pertama ada ditengah kami yang kedua
entah dimana. Yang ketiga menjelang ujian SD, adikku laki – laki juga katanya sejak disapih
diambil bulik adik biyungku yang selama ini kami panggil simbok. Setelah lulus kakakku yang
ketiga bekerja di pabrik tahu, dekat sawah ladangku. Sedang aku sendiri, tak buru – buru
mendaftar sekolah, padahal pelajaran baru sudah di mulai.
Tergerak masuk sekolah setelah tetanggaku kelas V SR I bilang, bahwa disekolahan
diperlukan pemain kasti yang handal. Aku diajak bergabung tentunya harus terdaftar sebagai
murid disitu. Terpengaruh temanku tadi, aku mendaftar lagi di sekolahan yang sudah lama
kutinggalkan, dengan modal rapotku, mendaftar kelas V. Lik Djamin kaget, guru kelas IV juga
demikian. Maka setelah pak Tardi guru kelas IV melihat raporku beliau kaget.
”Lho di rapot ini klas I & II, di SR Karanganyar I, naik kelas III di SR II, naik kelas IV
terus kelas empatnya di SR mana ?”
”Kelas IV, saya di gunung pak hampir setahun kata bapak saya dipindah sekolah disana.
Ternyata di Gunung tak ada sekolah kelas IV nya yang ada baru kelas I.”
”Kalau demikian ya nggak bisa dong, kalau kamu mendaftar di kelas V. Sedangkan di
kelas IV pun kamu belum pernah.”
”Iya pak, tapi saya tetap ingin belajar langsung ke kelas V karena saya tidak nunggak
kelas, hanya tak ada sekolahan. Itupun bukan kemauan saya. Sedangkan teman – temanku
sekelas dulu sudah dikelas lama. Saya malu pak di kira saya ketinggalan kelas alias nunggak!”

Mungkin pak guru menganggab aneh alasanku, maka diajaklah aku menghadap kepala
sekolah kebetulan kepala sekolah ketika itu merangkap mengajar di kelas V. Pak Kristiono
namanya , entah apa yan menjadi pembicaraan kedua guru itu akhirnya aku di panggil oleh pak
Krstiono.
”Leee saya orang baru di sekolah ini, dan kamu katanya murid lama yanng muncul lagi,
malah ingin langsung kelas lama betulkah.”
”Tidak pak dulu dari kelas satu dan klas dua disini terus dipindah SR II. Sampai kelas
empat karena ngikuti perintah bapak saya dibawa ke Gunung ikut paklik saya. Ternyata di
kampung paklik tak ada sekolahan. Maka saya pulang ke rumah orang tua.”
”Tapi kamu setahun tak duduk di bangku sekolah, kenapa sekarang mau langsung
kelas lima?”
”Malu pak, kalau saya tetap di kelas empat, teman-teman saya dulu sekarang sudah di
kelas lima. Saya kan tidak nunggak dikelas, hanya karena bapak saya yang mindah saya.”
34

”Apa kamu bisa mengikuti pelajaran kelas lima?”


”Saya yakin bisa pak, karena tiga bulan ini saya belajar dan membaca buku – buku
kakak saya yang baru saja tamat di SR ini juga.”
”Siapa kakang mu ?’
”Kasiyo pak.”
”Kamu adiknya Kasiyo, masa lebih besar kamu daripada dia. Terus kenapa kamu
mendaftar sendiri bukan diantar bapakmu.”
”Bapak sudah meninggal pak lima puluh hari yang lalu.”
Begitu mendengar bahwa bapak baru saya meninggal, rupanya pak Kris timbul rasa
iba. Maka setelah termenung sejenak pak Kris mengajak saya keruang kelas IV, menemui pak
Tardi guru kelas itu.
Saya berdiri didepan kelas, selama pak Tardi dan pak Kris berunding sekitar satu
menit. Selanjutnya guru kelas yang masih berusia muda itu memberi tau kepada murid –
murid kelas empat. Bahwa saya tak jadi belajar di kelas IV, tapi langsung ke kelas V. Kulihat
murid – murid melongo. Selanjutnya aku diajak keluar lagi oleh pak Kris menuju ruang kelas
V. Aku berdiri didepan kelas sebelum pak Kris menyuruh aku duduk di bangku murid, pak
Kris mengenalkan saya ke muridnya.
”Anak – anak, mulai hari ini murid di kelas tambah satu namanya Ade, ada yang sudah
kenal ?” tanya pak guru itu.
Kuhitung ada enam murid klas itu yang mengangkat tangannya antara lain Sikin,
Manik, Selo, Paing, Jamin dan Djakiyo. Usai perkenalan aku di minta duduk sebangku dengan
murid yang belum saya kenal bernama Taman.
Lega rasanya hari itu, setelah dinyatakan diterima di kelas V SR Karanganyar I lagi.
Walaupun masih masa percobaan sampai tri wulan II. Jika enam bulan belajar tak ada angka
merahnya di buku raport, saya lanjut. Tapi kalau rapotku banyak angka merahnya berarti tetap
saja nunggak kelas.
Seterusnya belajar mengajar sebagimana biasanya. Pulang sekolah aku bersama lik
Djamin, dia seusia saya tapi postur tubuhnya tak sebesar dan setinggi saya. Teman sekelas
cerita, lik Djamin yang paling ditakuti adalah Rizal tapi bukan pandai. Yang paling pandai
adalah kang Djakiyo tapi dia congkak dan anak kepala dusunku. Orangnya tinggi besar
berkulit gelap adalah Taman dia sedang – sedang saja kecerdasannya, tapi rendah hati dan
pendiam.
Hari pertama sekolah tak ada yang istimewa dirumahku, biyungku pun tak tahu kalau
aku sekolah lagi. Kakakku tentu tahu, walaupun kabar dari orang lain. Tak penting bagiku
memberi tahu tentang aku sekolah lagi, bagiku yang paling penting mengejar ketinggalan agar
aku setara dengan teman sekelasku. Kalau bisa malah harus berprestasi diatas mereka. Masa
bodoh tentang penampilan, masa bodoh masalah miskin ini, toh orang miskin tidak dosa,
kata pak Dullah guru Agama itu.
Setelah sebulan lebih aku sekolah, pak Tardi, guruku mengumumkan bahwa
menjelang hari Kemerdekaan, di adakan kompetisi pertandingan kasti antar Sekolah Rakyat
Sekecamatan atau Nguntoronadi. Maka disekolah kita ada seleksi pemain bagi kelas V
khususnya. Kemungkinan kelas IV juga, tapi khusus dua kelas tadi. Oleh karena itu Rizal
Ketua Kelas diminta mendaftarkan siapa diantara kami lik Djamin langsung menyebut nama
saya. Selanjutnya Taman, Ngadi, Djamin dan Rizal sendiri. Berikutnya daftar nama – nama tadi
diserahkan ke guru kelas VI. Pak Larno mulai hari itu sering diadakan dan uji coba dengan
anak – anak desa disekitar sekolah itu. Terbentuklah satu tim kasti SR Karangnyar I sebagai
pembimbing ternyata pak Tardi.
Hasil kompetisi yang makan waktu sebulan lebih, akhirnya sekolahan ku menjadi juara
I tingkat kecamatan yang diikuti oleh 12 Sekolah Rakyat (SR), aku bangga sekali dan teman –
35

teman kelas V mengelu – elukan saya. Karena yang menjadi bintang lapangan anak dari kelas
V, tetapi aku anak baru. Tak disangka pula prestasi pelajaran di Tri Wulan kedua juga
membanggakan hampir sama dengan nilai rapotku diakhir kelas III dulu. Bahkan aku naik ke
kelas VI dengan mudah. Temanku dikampung, Kuncung kakaknya Djamin, mendengar itu
ikut senang katanya saya harus “Nyadran “ ( ziarah ) ke gunung Giri.
36

10
PENGALAMAN NYANDRAN
DI GUNUNG GIRI

M endengar kata – kata Kuncung yang nyleneh itu batinku tergangu juga. Aku
sebetulnya sebel juga kepada si Kuncung, anak buta huruf itu. Mau
kuutarakan ke biyung pun kutahan – tahan, khawatir merepotkan orang tua.
Tapi ucapan si pengembala kerbau itu selalu terngiang setiap aku ingat, maka kucarilah
Kuncung di tempat dia ninggang kerbau saat mengembala.
”Cung , aku ingin penjelasan soal nyadran bercandakan kamu ?”
”Serius mas, kata mas Ade jika nilainya bagus dan naik kelas enam mau nyadran ke
Gn. Giri,” jawab Kuncung.
”Kapan Cung aku ngomong dan dimana ngomongnya?”
”Aku lupa juga kan sudah lama!!”
”Cung, kamu lupa kapan aku ngomong, akupun tak merasa punya niat nyadran ke Gn.
Giri itu. Kalau tak di lakoni pun tak apa – apa kan ?”
”Ya terserah tapi, kalau Batara Kala nagih ujar yaaa tanggung jawab mu. Aku kan
cuma mengingatkan .”
”Asem” gumanku. Gara – gara Kuncung itu, tidurku sering mengigau, kata biyungku ,
hingga biyungku bertanya.
”Kata kakangmu, kamu kalau tidur sering ngigau manggil pak Dullah dan sering
uringan- uringan sendiri. Sebetulnya ada apa to le ? apa karena ada masalah di sekolahan kaya
dulu itu, makan pun sekarang tak dihabisi, langsung ditinggal begitu saja.”
Entah disebabkan oleh apa, mendengar kata – kata biyung yang menimbulkan
kecurigaan terhadap tingkahku, aku langsung tidur terlentang memandang atap dan lubang
genteng yang terbuka. Pikiranku kacau entah melayang kemana, sampai aku tak sadar lagi,
bahwa biyung ku panik membuat tetanggaku berdatangan dikira aku kesurupan.
Tiba – tiba jidatku terasa dingin, lampu petromak menerangi ruang tengah rumahku.
Orang – orang ada disekelilingku, kudengar memanggil menyebut – nyebut namaku.
”Mas, mas ingat,” kata yu Kami tetangga ku.
”Kamu dimana le ?” tanya mbah Temi seraya mengusap mukaku dengan tangannya.
Aku bingung dan heran ada apa kok orang pada mengerumuniku? Saat kuperhatikan
semua orang memandangiku ada yang berdoa. Biyungku malah menangis di dekat telapak
kakiku sambil memijit mijit jempolku. Aku pernah mendengar, jika orang kesurupan dipijat –
pijat ujung jarinya. ”Rasanya aku nggak kesurupan,” batinku
Orang – orang ada disekeliling ku pun pada bertanya kepadaku tapi aku malas
menjawab karena pertanyaannya beragam. Oleh karena itu setelah aku di minumi air putih,
yang akan ku jawab hanya pertanyaan mbah Temi, spiritual sepuh itu. Tapi beliau tak segera
bertanya
”Sudah – sudah, jangan pada tanya biarkan dia menjawab,” kata pak Tri
”Nak, kamu tadi sore main – main kemana ?” tanya mbak Temi
”Di nglorogan mbak sama Kuncung angon kerbau?” jawabku
”Apa kamu dolan di Pancak Suji yang ada pohon Serut tua itu ? tanya mbah Tami.
Aku ingat tadi sore dengan si Kuncung ngomongi tentang nyadran ke Gn. Giri. Tapi
takut biyungku marah, aku tak menjawab pertanyaan mbah Temi. Kulihat biyung
37

memandangku penuh perhatian. Maka kurangkul biyung ku sambil menanggis dan minta
maaf. Biyungku malah ikut menagis, sambil membujuk saya;
”Leee, kamu sekolah lagi tak ngomong saya, biyungmu tak marah kok. malah kata
kakangmu kamu naik kelas enam aku juga senang lo le, Kandulilah, kenapa minta maaf,
coba ngomong terus terang saja kalau mau perlu beli buku. Hayo ngomong jujur saja dari pada
mbingungkan biyung nggerr.”
”Bukan itu yung, bukan !” kataku sambil masih berat rasanya.
”Lha apa kalau bukan itu, atau kepingin baju dan celana?”
Aku tetap tak sampai hati mengutarakan hal yang menjadi pikiranku. Namun aku
menggelengkan kepala. Barulah ketika orang pintar itu membujukku untuk bicara terus terang.
Dengan suara agak tersedu, kuutarakan uneg-unegku.
”Yung.... kata Kuncung, aku punya nazar nyadran ke Gn. Giri...” aku tak meneruskan
kata – katakku, kupeluk seerat – eratnya paha biyungku
”Ooo.. Allah ngger, nyadran to... ke Gn. Giri..? Cuma itu to. Biyuh begitu saja kok
bikin geger to lee. Sudah jelas ! mbah ...hanya punya niat mau nyadran to..!! ” kata biyung
”Bukan niatku yung, kata kang Kuncung, aku pernah ngomong begitu !”
”Ya wis, yang penting tak usah membuat beban pikiran mu ya lee. Hayo sungkem ke
mbah Temi. Tinggal menunggu kapan Selasa Kliwon, iya bulan depan.”
Mendengar keputusan biyungku aku heran rasanya kok lega dan pulih kembali.
Padahal saya tak merasa punya niat apalagi mengucapkan kata Gunung Giri. Seminggu
menjelang hari Selasa Kliwon itu, aku menemui kakakku yaitu kang Samidjo, dengan maksud
agar nyadran dibatalkan saja. Alasanku bukan hari libur.
Kalaupun terpaksa harus dilaksanakan, hari Minggu saja. Mendengar usulku kakakku
malah heran, menganggab aku main – main. Karena tak ada orang nyadran selain hari Selasa
Kliwon atau Jumat Kliwon.
”Jika dibatalkan biyunglah yang malah punya utang Ujar,” tegasnya.
Dan karena tak dapat diwakili, akhirnya diputuskan. Selasa Kliwon yang akan datang.
Agar tak mengganggu sekolahku kami berangkat tengah malam dengan pertimbangan jam
07.30 sudah tiba di sekolahan ku.
Malam Selasa Kliwon, setelah ayam jantan berkokok tengah malam, kami berangkat.
Malah kang Jo ikut menemani. Tiba yang dituju, ternyata sudah banyak orang dimakam tua
itu, kami antri. Aku sendiri ingin tahu bagaimana prosesnya. Ternyata setelah tiba giliran,
seorang tua menanyakan niat kami. Karena kata biyungku yang punya niat saya, maka aku
disuruh menghadap Juru Kunci makan Giri itu, dan setelah aku dihadapanya, barulah di tanya
niat nyadran ku , maka kujawab seadanya.
”Begini mbah kata lik Kuncung saya pernah mengucapkan mau nyadran kesini jika aku
naik kelas VI tahun ini.”
”Siapa lik Kuncung itu, mengapa kok kata dia, lha kamu niatnya apa?” tanda juru kunci
”Kalau cita – citaku hanya sekolah sampai lanjut, agar dapat pekerjaan yang baik dan
dapat membalas orang tua,” jawabku sederhana
”Apa lagi, hanya itu ?” tanya juru kunci itu heran. ”Cuma begitu saja kok, kesini ?”
”Semoga Gusti Allah mengabulkan cita – cita saya mbah,” jawab ku singkat
”Amin, ayo kita berdoa. Biar cita – citamu dikabulkan,” ajak juru kunci itu.
Selesai bicara begitu, juru kunci tadi mengajak berdoa, biyung dan kakak lantas
menyahut nggih-nggih setiap niat dalam doa dibacakan. Dalam hatiku heran, ”Kok nggih
mestikan Amin – amin.”
38

Upacara nyadran berakhir dengan hikmat. Selanjutnya biyungku memberi sesuatu ke


orang tua tadi. Kami pulang pagi –pagi sekali, agar sampai disekolah tidak terlambat. Sebelum
tiba di jalan raya menuju pulang kami sarapan dulu di pos lintasan kereta api.
Malamnya, keluarga kami mengadakan kendurian sederhana mengundang tetangga
dekat, tak ketinggalan si Kuncung. Seusai kendurian kakangku menceritakan pengalaman
nyadrannya semalam. Yang menjadi perhatian kakakku dalam nyadran ternyata malah aku
sendiri. Sambil memandang ke arah aku duduk, di tanyalah aku ;
”Kenapa kamu ditanya apa niatnya kok bilang tak punya niat, cuma ingin sekolah ?”
”Katanya kalau ditanya juru kunci itu harus menjawab apa adanya!!”
”Memang mas Ade menjawab apa ?” tanya mbah Sonomo tetanggaku
”Ya aku bilang mau sekolah hingga lanjut tak putus sebelum lulus, karena cita – citaku
hanya itu. Aku kan tak punya niat nyadran.”
”Kena apa tempo hari sempat membuat gegeran ?” tanya biyung
”Gara – gara si Kuncung yung, masa’ setiap ketemu itu –itu saja yang dikatakan. Lama
– lama aku tak bisa tenang, tuh orangnya cengegesan!!” kataku sambil menunjuk ke Kuncung.
”Iya ta Cung kamu yang mepropokasi?” tanya lik Katijo
”Iya betul, habis dia kutakut – takuti dicari Wewe penunggu Randu Alas, malah bilang;
bukan Wewe tapi kang Bejo. Siapa yang tak penasaran. Eh setelah kutakut – takuti Batara Kala
dia malah mikir, aneh kan ?” kata si Kuncung sambil tertawa.
”Bukan takut Batara Kala cung, aku cuma sebel melihatmu. Aku bilang belajar dengan
serius kamu tak percaya. Aku bilang sudah naik kelas enam, katamu aku pakai prewangan,
dari Gn. Giri. Ketika kamu kutanya dimana Gn. Giri, katamu aku harus nyadran, iyakan?”
”Ooo.. itu to masalah nya, la wong Kuncung saja kok di dengeri ta le!!” kata mbah
Sonomo tersenyum sambil melihat ke Kuncung yang masih cengengesan.
”Sebetulnya aku hanya heran ke mas Ade mbah, saya kira bohong. Kabarnya di
Gunung dia nggak sekolah, masa’ pulang dari gunung, baru setahun sekolah, kok sudah kelas
enam, saya kira dia bohong, ternyata betul,” kata Jamin dia luar biasa.
”Saat aku bertanya kepada dia, kamu di Gunung sekolah dimana, siapa gurumu, apa
jawabnya? ”Di Randu Alas belajar sama Wewe. Siapa yang tak heran mbah,” kata Kuncung
berdalih.
”Sudah – sudah, aku sudah jelas cung sekarang. Jangan kan kamu cung, sedang
bapaknya dulu juga heran terhadap anaknya yang satu ini. Kita sekarang berdoa saja semoga
cita – cita nya untuk sekolah tak putus di jalan, terkabul gitu saja. Monggo kita pulang sudah
malam,” kata mbah Sonomo.
”Tunggu dulu mbah aku penasaran juga,” kata pak Tri saat mbah Sonomo mau
beranjak ; ”Almarhum bapaknya dulu juga heran terhadap mas Ade karena apa ?”
”Ooo itu to, begini, bapaknya mendapat laporan kang Bejo, bahwa mas Ade sa’at ikut
pakliknya di Gunung sudah ada tanda – tanda melakukan perbuatan yang melanggar adat.
Diantaranya, dia membuat taman dibawah Randu Alas yang di keramatkan masyarakat
pegunungan. Dan alasannya untuk angon kambing, sambil melihat anak – anak belajar di
sekolahan Godean. Selama mengembala itu aja melihat anak – anak sekolah, perasaannya
seolah – olah ikut sekolah,” kata mbah Sonomo
”Artinya apa mbah?” tanya pak Tri
”Artinya dia merasa tak pernah putus sekolah. Maka menurut penilaian bapaknya, si
Ade semangat untuk sekolahnya tetap berkobar, karena itu, bapaknya selalu berdoa tentang
sekolah dia, tapi apa daya , “ kata mbah Sonomo. saja, jelas ?”
Malam itu orang – orang yang hadir menaruh empati kepadaku dan aku sendiri merasa,
pernyataan mbah Sonomo betul. Nyadran pun saku hanya berdoa tetap sekolah sampai
tuntas., agar harapan, almarhum bapak dapat kubuktikan.
..................OOOO.........................
39

11
KUBAYAR UTANGKU
DENGAN TIGA BUAH PIALA

P
engalaman Nyadaran tak akan kulupakan, tetapi untuk nyadran lagi tak akan
kulakukan. Yang, juga takkan kulupakan adalah petuah mbah Sonomo malam
itu. Ternyata apa yang kulakukan selama ini, menjadi pikiran almarhum bapak,
walaupun tak kuketahui dan kusadari apa yang menjadi perhatian bapak.
Dengan tempa’an pengalaman ini, aku belajar lebih serius Alhamdulilah biyungku
diam – diam mendukung. Kakakku berdua bergantian dirumah membantu biyungku. Jika
kang Jo kerja di kota kakakku Kasiyo betani dikampung dan sebaliknya. Jika kang Kasiyo
kerja di pabrik kang Jo menggarap sawah ladang kami. Saya dibebaskan dari pekerjaan bertani
kecuali hanya menggembala kambing. Itu pun aku sambil membawa buku pelajaran, sebab
jika belajar malam terkendal lampu.
Selama di SR itu aku sering mewakili sekolah ikut lomba dan selalu juara, khususnya
lomba menggambar dan prakarya. Yang paling mengesankan ketika aku juara I lomba
menggambar Garuda Pancasila. Dari situ aku mendapat pelajaran falsafah negara kita, yang
sebelumnya saya tak tahu. Ternyata setiap gambar yang tetera disitu mengandung arti .
Lomba menggambar yang diluar dugaan bahwa aku menjadi pemenang, adalah saat
aku ikut lomba menggambar bebas tingkat kecamatan. Sebetulnya aku sendiri tak begitu
yakin kalau karyaku masuk final.
Hari yang mendebarkan adalah saat diumumkan pemenang lomba menggambar bebas
hari iyu. Karena nama peserta tak dicantumkan, aku pun tak mengharap namaku dipanggil
ke mimbar pendopo kecamatan. Panitia hanya membacakan judul gambar dengan inisial
”GTT.” Pak Tardi , guruku mendorongku agar berdiri. Aku berdiri, terus ditanya panitia ;
”Apa maksudnya GTT ?” tanya ketua panitia
”Gagak, tengkorak dan tonggak, pak !” jawabku gugub
”Ooo saya kira artinya, Guru tidak tetap,” kata panitia bercanda
Setelah diumumkan siapa pemenangnya, aku diantar pak Tardi, pembimbingku,
diwawancarai panitia lomba, yang diketuai pak camat langsung ;
”Le, gambar mu aneh. Apa alasan mu menggambar ini ?” tanya pak camat
”Saya pikir agar beda dengan yang lain saja pak ?”
”Maksudnya beda dengan yang lain pak.”
”Biasanya anak – anak mengambar bebas pilihanya ; binatang, pohon, alat rumah
tangga dan lain – lain begitu pak.”
”Gambar ini idemu, atau diarahkan pak guru?”
”Meniru gambar yang ada di buku bacaan karangan Raden Ngabehi Rangga Warsito
pak ?”
”Dari mana kamu mendapat buku bacaan itu ?”
”Dari almarhum bapak saya pak ?”
”Oh, bapak mu sudah meninggal to, dan mewarisi buku itu ?”
”Betul pak, sudah setaun yang lalu.”
”Baiklah cukup, saya kira yang menggambar malah bapak mu, tapi ini kamu sendiri
yang ngambar kan, bukan pak guru?”
”Saya malah tak bisa ngambar lho pak, dan anak ini sudah pernah juara mengambar
saat kelas lima tahun lalu,” kata pak Tardi.
40

Selama dikelas enam tak ada masalah dengan mata pelajaran. Aku selalu diatas rata –
rata. Saingan beratku cuma Jack anak Lurah, Rizal rivalku pindah sekolah. Yang menyita
perhatian adalah saat menjelang ujian semester ( triwulan III). Orang tua kami, jauh – jauh
hari sudah menentukan hari Qitanan saya, tinggal dilaksanakan. Kebetulan hari “H”nya hampir
bersamaan dengan final pertandingan kasti antara sekolah tingkat kecamatan tahun itu. Pak
Kris selaku Kepala Sekolah mengadakan rapat.
Bagaimana mempertahankan juara I, yang diraih tahun sebelumnya. Masalahnya, final
pertandingan tahun itu bertepatan satu hari setelah saya di khitan. Saya dikhitan hari Jumat
Wage, sedangkan finalnya Sabtu Kliwon. Padahal hari Khitan sudah direncanakan dengan
matang sesuai adat budaya Jawa.
Keputusan rapat disekolah mencoba negosiasi dengan kakak pertamaku, dengan
kompensasi biaya mantri sunat ditanggung pihak sekolah. Saya pribadi setuju dan kakakku
secara diam – diam ku beri perjelasan, bahwa hari itu semua baik, walaupun yang paling baik
adalah hari Jumat.
Tetapi untuk kepentingan umum, tasyukurannya saja dilangsungkan hari pilihan orang
tua yaitu Jumat Wage kataku. Kakak mengalah dengan syarat orang tua dan kerabat jangan
sampai ada yang tau rencana itu .
Jumat Pahing hari yang ditentukan pak Larno guru kelas VI, aku di khitan oleh mantri
sunat, pak Sukar namanya. Ditunggu kakak dan pak Larno tak sampai 10 menit selesai, aku
langsung mengenakan celana longar yang telah disediakan kakak pertamaku. Malam Jumat
Wage dirumahku diadakan acara sederhana sebagaimana biasanya dikampungku. Dihadiri
kerabat dan tetangga, juga -- pak Kris dan guruku. Memang agak istimewa, jarang kepala
sekolah hadir dalam acara hajatan orangtua murid. Jumat pagi, aku didampingi kakak
pertamaku berangkat ke rumah pak Mantri bersama lik Mul sebagai sesepuh. Kebetulan lik
Mul tak tega melihat proses aku disunat, beliau tak mau masuk ke kamar sunat ”Tak tahan
melihat darah,” katanya. Padahal bagi kami malah senang jika lik Mul tak melihat sandiwara
Jumat wage itu.
Selesai acara pagi itu aku tak buru – buru pulang karena ada pembekalan dari
guruku, tentang pertandingan final Sabtu pagi besok. Malah hari itu disuruh tinggal dirumah
beliau dan menginap, karena besok pagi tak harus jalan kaki ke kota kecamatan. Dengan
halus kakakku menolak ajakan itu, karena dirumah kami orang–orang tua kami masih
menunggu kedatangan kami untuk memberikan petuah dan ucapan selamat setelah aku pulang
dengan kondisi sehat walafiat. Dengan alasan itu pak guru mengerti kami berpisah pulang
kerumah masing – masing dengan lega dan bersyukur tentunya. Sebelum pulang pak guru
berbisik :
”Nak agar besok pagi tak terlambat sepeda ini kamu pakai saja.”
Aku mengucapkan terima kasih, dan pulang pakai sepeda pinjaman guruku. Pak guru
sendiri jalan kaki dari rumah mantri yang berjarak hanya empat ratus meteran itu.
Orang tua kami terpaksa jalan kaki pulang kerumah sampai dirumah orang–orang yang
melihat kedatangan ku pada heran, kok habis di Qitan langsung bersepeda? Punya gurunya
lagi ?
Hari berikutnya Sabtu Kliwon pagi–pagi aku sudah bangun, selesai sarapan terus
bersepeda menuju lapangan kecamatan dimana aku akan bermain kasti. Mempertahankan
juara pertama yang kami raih tahun lalu. Dugaan saya, orang–orang di kampungku heran, apa
yang kulakukan saat itu. Sepengetahuan mereka tukang sunat pakai bong ( tukang sunat
tradisional). Yang alat menyunat pun juga tradisional, pisau tajam atau bilah bambu yang tajam
disebut welat, sebagaimana memotong tali pusar bayi yang baru lahir. Rahasia tentang
41

sunatanku belum akan kujelaskan, situasinya belum memungkinkan. Saya pikir setelah
pertandingan kasti saja itupun kalau kami juara lagi.
Alhamdulillah pertandingan final kasti sukses, sekolah kami berhasil mempertahankan
juara. Gemuruh sorak sorai kemenangan, mengiringi sukses kami. Tak pelak berita gembira
tadi sampai dikampung kami, karena si Jamin teman sekelasku tak bisa diam, menyebarkan
berita itu. Apa lagi si Kuncung temanku yang suka bikin gara – gara itu.
Aku sendiri sejujurnya juga gembira tetapi karena masih ingat nasehat pak camat saat
aku juara menggambar dulu, bersikap biasa saja. Tak pikir lebih penting memikir Ujian
Nasional tiga bulan mendatang, karena menentukan sekolah selanjutnya.
Maka setelah pesta kemenangan usai aku memusatkan kegiatan belajar agar dapat nilai
terbaik bukan hanya prakarya, menggambar dan juara kasti. Pelajaran sekolah yang kutekuni
selama ini harus meraih nilai terbaik.
Waktu mendebarkan akhirnya tiba yaitu rencana Ujian Nasional. Seluruh siswa kelas
VI disekolahku diberi petunjuk dimana tempat ujian. Tiga hari menjelang ujian sesuai catatan
yang diberikan guru, kami masing - masing mencari lokasi sekolahan tempat ujian. Disamping
itu diberi catatan nomor perserta ujian. Setelah semua tahu lokasinya kami menyiapkan diri
untuk siap ujian dan belajar mata pelajaran yang di ujikan yaitu berhitung, bahasa Indonesi dan
ilmu pengetahuan umum. Setelah ujian kami menunggu pengumuman, sambil tukar menukar
pengalaman.
Puncaknya pada saat kami menerima Surat Tanda Lulus jumlah nilaiku 25.70. dan dari
28 murid kelas VI angkatan saya di SR, yang dinyatakan lulus hanya delapan belas orang yang
lainnya 10 orang boleh mengulang, jika ingin. Namun bagi yang tak mau bisa mendapat
ijazah. Dan kebanyakan anak sekolah jaman itu yang penting Ijasah.
Ketika aku dinyatakan lulus dengan nilai terbaik aku biasa – biasa saja, malah merasa
kasihan terhadap teman – temanku yang tak lulus. Biyung pun tak kulapori tentang nilai
kelulusanku yang biyung ketaui hanya tentang aku lulus saja. Itu pun dari mbah Sonomo maka
setelah aku memberi tau bahwa aku sudah lulus. Beliau cuma bilang; ”Ya syukur, kandulillah,”
itu saja lafal yang di ucapkan selama ini kalau bersyukur.
Malam itu beliau tampak gembira juga, karena telah tiga anaknya yang lulus dan punya
ijasah. Walaupun hanya Sekolah Rakyat kendalanya setiap anaknya lulus rata – rata masalah
data kelahiran.
Maka saat kuajak ke sekolahan untuk dimintai keterangan tentang biodataku.
Biyungku agak alot, untung hari itu kubujuk – bujuk bahwa karena bapak sudah meninggal
barulah biyung bergeming.
Pak Sularno guru ku kelas VI di sekolah pun sungguh sabar, mewancarai biyungku ;
”Mbah anaknya lahir pada jaman apa ?”
”Jaman Londo pun saget mlampah pak guru,” jawab biyung
”Jaman Belanda sudah jalan, jaman Belanda taun piro mbah?”
”Rikala griyane mbah Klencer diobong Londo pak guru.”
”Dibakar Belanda anaknya sudah jalan lha dibakarnya, taun piro ?”
Karena biyung tak ingat, terpaksa aku membantu menjawab;
”Kata kakak saya pak, dibakarnya rumah simbah oleh Belanda tahun 1949.”
”Tanggal berapa kata kakakmu, kamu dilahirkan le ?”
”Kakak nggak tau pak, namun kata biyung hari Jumat Wage gitu saja.”
Wawancara cukup, tampak mbah biyungku merasa lega. Dan baru hari itu pula,
selama tiga anak nya lulus, mengetahui sekolahan itu. Entah atas pertimbangan pak guru apa,
lahirku ditulis tgl 10 Desember 1948.
Maka setelah mengantar biyungku pulang sampai depan pintu gerbang, secara iseng
kutanyakan ke pak guru ku itu, beliau bilang ;
42

”Rata – rata orang tua mengetahui kapan lahir anaknya, yang diingat cuma hari,
pasaran, dan jaman. Misalnya kamu lahir Jumat Wage, pada jaman bom – boman pesawat
terbang Belanda, ya ku hitung saja. Misalnya kamu lahir Jumat Wage, Jumat = 6, Wagr = 4,
dari neptu harimu berjumlah sepuluh. Jaman bom Belanda di Jogya bulan Desember 1949,
kamu sudah berumur satu tahun. Kusimpulkan lahir mu tgl. 10 Desember 1948 begitu saja
habis bagaimana.”
”Ooo, begitu saja, paham pak kalau demikian terima kasih dan mohon pamit.”
”Tunggu dulu le, coba tak hitung dulu nilai angka dalam hitungan Cina. 12101948 = 14
ditambah 12 = 26, kalau di jumlah lagi menjadi 8, bagus le, nilai mu setelah ku otak atik
menjadi angka 8. Mudah – mudahan sekolah mu tak putus dannilai ujian mu bagus.”
Pada saat pak Sularno mengakhiri kata nilai ujian mu bagus, pak Kris kepala sekolah
kami nimbrung ;
”Apa nya pak Larno yang bagus ?” tanya pak Kris
”Angka kelahiran Ade pak delapan , kata orang Cina bagus.”
”Bukan angka 9 yang bagus.” Tanya pak Kris
”Kata orang Cina, angka delapan bagus karena angka nya nyambung.”
”Oh begitu, makanya selama dua tahun menyumbang tiga piala untuk sekolah kita,
terima kasih lho le.” Kata pak Kris Kepala Sekolah.
”Saya juga terima kasih, atas kebijaksanaan bapak – bapak sebab tanpa kebijaksanaan
bapak mngkin hari ini saya baru naik ke kelas enam. Dengan tiga buah piala yang kami
peroleh, kupersembahkan sebagai bayar utang budi saya kepada bapak – bapak guru
disini.”
”Waduh le, ternyata pemikiran mu sudah sampai sigitu tak kusangka, kamu murid pak
Larno yang membawa citra sekolah ini menjadi pembicaraan dikalangan guru di kecamatan
Nguntoronadi.”
Di hari perpisahan pak Kris pulalah yamng memberi aku kepala ikan lele goreng,
dengan ucapan ;
”Nak ini kepala lele yang terbesar di kolam kita, kuberikan kepadamu sebagai hadiah,
teriring doa semoga kamu menjadi ”kepala” dimana pun kamu berada dikemudian hari, hanya
ini yang dapat kuberikan padamu,” kata pak Kris Keala Sekolah iitu.
”Amimin.” Sambut beberapa guru serentak.

....................0000.....................
43

12
KUGAPAI MIMPIKU
DI SMP NEGERI SATU

S
etelah aku mengantongi tanda lulus ujian nasional 1960, dengan jumlah 25.70
aku jalan kaki ke kota Wonogiri mendaftar sekolah bersama beberapa teman.
Hanya aku sendiri yang mendaftar ke SMP 1. Yang lainnya ke sekolah berbeda
karena nilai ujian nya tak sampai 24. Ada yang di STN, ada yang di SMP, ada juga di SMEP.
Seusai mendaftar, kata Panitia Pendaftaran aku belum dinyatakan diterima, menunggu
pengumuman selanjutnya.
Karena belum ada kepastian, aku coba mendaftar ke STN. Saya ditanya Surat Tanda
Lulus yang asli karena aku ke STN hanya dengan salinannya.
”Mana yang asli ? ”tanya Panitia Pendaftaran.
”Yang asli kudaftarkan ke SMP 1 pak,” jawabku
”Sudah mendaftar ke SMP 1 kok mendaftar kesini ?” tanya panitia agak heran.
”Di SMP 1, belum dinyatakan diterima pak, kata panitia menunggu pengumuman !”
Mendengar alasanku tadi, panitia pendaftaran di STN itu paham, maka setelah
mencatat namaku --- langsung memberi nomor peserta test, sembari memberitahukan bahwa
tes masuk hari Senin empat hari yang akan datang.
Sepulang dari mendaftar di STN, aku mampir ke tempat kerja kakak ku di pabrik
kerupruk ---- ternyata pabrik krupuk terkenal itu tak jauh dari SMP 1 namun kakakku tak ada,
aku buru – buru pulang. Tiba – tiba terdengar suara memanggilku
”Ade,” begitu aku menoleh ternyata Pak Kris Kepala Sekolahku di SD Karang Anyar I.
”Darimana kok disini sudah mendaftar ke SMP 1?”
”Oh bapak, --- dari menemui kakak pak, mas Jo di pabrik krupuk ini, tadi mendaftar
ikut test di STN. Hari Senin lalu saya mendaftar di SMP 1,” jawabku agak gugup
”Ooo Kang Jo itu kakakmu ? baiklah tak mampir kerumah bapak dulu ?”
Setelah mengucapkan terima kasih dengan Kepala Sekolahku yang penuh perhatian itu,
aku terus pulang. Hari Senin sesuai petunjuk di STN itu, aku mengikuti tes menggambar--
-------- Alhamdulillah tak sampai setengah jam aku selesai ujian tes---ternyata tak boleh langsung
pulang . Karena hari itu juga langsung diumumkan siapa – siapa yang diterima masuk STN
itu. Dan aku dinyatakan lulus diterima masuk STN. Pulangnya saya melihat pengumuman di
SMP 1, Alhamdulillah aku juga diterima.
Dari pengumuman yang aku terima didua tempat baik SMP atau STN. Ada dua
pilihan, yang belum kuputuskan. Andaikan aku minta pendapat biyungku atau kakakku, aku
yakin mereka pun menyerahkan pilihan ke saya. Oleh karena itu aku tak mengharap saran
orangtuaku, kecuali ditanya saja. Lagi pula biyungku dan kakak belum kulapori tentang itu.
Aku mencoba mohon petunjuk mbah Sonomo tetanggaku. Beliau malah kaget dan heran kok
bisa diterima di dua sekolahan. Padahal yang lain satu sekolah pun susah katanya.
Dari saran orangtua yang saya hormati itu, aku disarankan masuk SMP 1 saja, alasan
beliau dari SMP bisa lanjut ke SMA, tapi dari STN jika ingin lanjut harus ke Solo. Lagipula
gedung SMP 1 lebih bagus dan hanya satu – satunya di Kabupaten Wonogiri, lokasinya pun
mudah dijangkau.
Mengawali masuk sekolah di SMP 1 Wonogiri, aku mulai pakai sepatu kulit warna
hitam, dan pakaian hasil tenun biyungku sendiri, dan hanya dua stel yang saya punya. Karena
44

produksi kampung, warnanya putih kusam. Supaya berwarna di wanted hitam, agar tak mudah
kelihatan kotor. Jika kusam lagi ya diwanted lagi, hingga berulang - ulang.
Hari pertama dikelasku muridnya terdiri dari beberapa asal di seluruh kabupaten -----
yang ada 23 kecamatan. Ada juga yang dari Pacitan. Masa perkenalan seperti biasa, ada anak
pejabat, pengusaha, juga anak lurah. Yang anak petani seperti saya juga banyak. Ada yang kost
di kota, ada yang abunemen naik kereta api, ada pula yang bersepeda. Aku termasuk
kelompok yang pulang pergi jalan kaki 20 km dari kampung ke kota.
Hari kedua tambah dua orang murid, malah teman ku di SD dulu Mulyadi namanya.
Padahal seingat saya, tak sampai 20 nilai ujiannya. Yang satu lagi Pariyo anak Selogiri dan
duduk sebangku dengan saya. Saat perkenalan sempat kutanya nilainya, di bilang 21, karena
membayar Rp.2.000,- Aku heran, ”nyogok kok bangga,” batinku.
Pariyo senang dapat masuk di SMP negeri I, malah dibelikan sepeda bagus. Pariyo
anak seorang Lurah di Kecamatan Selogiri, sama dengan Mulyadi, anak orang kaya.. Bisa jadi
Mulyadi temanku tadi, juga menyuap karena bapaknya juga seorang lurah didaerahku.
”Jangan-jangan yang lain juga begitu,” pikirku
Rasanya tak adil dilingkunganku ini. Baru tau ternyata walau nilai rendah karena
banyak uangnya bisa membeli segalanya temasuk beli nilai juga sepeda baru. Sedang yang
miskin seperti saya ini harus 20 Km pulang pergi setiap hari jalan kaki, hanya karena tak ada
uang untuk bayar abonemen naik kereta api, beli sepeda, atau kos didekat sekolah.
Baru terasa, ternyata miskin itu mempengaruhi hidupku dan sekolahku. Tetapi karena
aku sudah bertekad aku harus berjuang dan harus selesaikan sekolah ini. Buku–buku
pelajaran yang tak mungkin mampu kubeli cukup yang bekas dari senior yang lulus duluan.
Tetapi dikampungku tak ada yang menglanjutkan sekolah sebelum aku. Tuhan maha
penolong aku mendapat informasi buku bekas dari senior teman jalanku, didaerah lain dan
cukup dapat membantu sampai aku menyelesaikan pelajaran kelas II SMP.
Dengan adanya informasi itu aku datangi lik Marjo, anak seberang sungai yang telah
lulus SMP, dan telah meneruskan ke sekolah lanjutan atas yaitu SGA. Ternyata mboknya lek
Marjo, telah mengenal biyungku, terjadilah dialog yang sangat familier ;
”Ooo, kamu itu anak mbah Saimun to le, ya sukur kamu kenal Marjo.”
”Apa di sekitarmu tak ada anak – anak yang sekolah lanjutan ke Wonogiri ?’
”Ada mbah tapi anaknya belum lulus SKP, lik Sumi, anaknya mbak Sonomo.”
”Ya kalau begitu kamu datang kesini saja belajar sana lik mu Marjo.”
”Kalau sungainya tak banjir mbah.”
Setelah tiga buku bekas dari lik Marjo dipastikan kudapat, perasaan minderku mulai
hilang dan aku bersaing dengan anak – anak pejabat dan orang kaya di kelasku.
Minggu pertama kegiatan belajar mengajar dimulai guru pengajar untuk kelas I, sudah
mengenalkan diri. Jadwal mata pelajaran dalam seminggu telah kami miliki masing – masing.
Mulailah aku mengikuti pelajaran yang sebelumnya tak pernah aku pelajari diantaranya;
Aljabar, Ilmu Ukur, Bahasa Inggris, Civic, dan hampir semua aku fahami.
Pelajaran Aljabar dikelas I terjadi peristiwa yang mengejutkan. Pariyo temanku
membuat pusing guru Aljabar, pasalnya diterangkan beberapa kalipun tak dapat menjawab
soal, yang sebetulnya mudah. Akhirnya pak guru menyuruh saya membantu Pariyo karena saya
duduk sebangku dengan anak lurah itu.
Itupun tak membuat Pariyo dapat menjawab soal tadi. Tampaknya pak guru jengkel,
terjadilah dialog yang membuat heboh, setidaknya di kelas kami
”Pariyo! kamu berkali – kali di terangkan tidak mengerti juga dibantu temanmu pun tak
bisa. Sebetulnya kamu masuk SMP ini nilai UN mu berapa?” tanya pak guru kesal
”Dua puluh satu pak !” jawab Pariyo enteng
”Dua puluh satu, Nilai segitu kok bisa masuk SMP 1 ? ” tanya pak Guru lagi
45

Mendengar pertanyaan begitu Pariyo tak mungkin menjawab. Karena tak pikir perlu
bantuan, spontan saja kujawab ”no ceng pak.”
”Apa, no ceng maksudnya?” tanya pak guru heran
”Dua ribu rupiah pak! bapaknya membayar untuk dapat diterima disekolah ini,”
jawabku lagi dengan jujur
”Namamu siapa, tahu darimana jika bapaknya Pariyo membayar dua ribu ? ” tanya
guru itu.
”Nama saya Ade pak, cerita dari Pariyo sendiri. Dia pernah cerita dengan saya saat
perkenalan pertama kemarin.”
”Kok Pariyo memberi tahu kamu ceritanya bagaimana?” tanya pak guru penuh selidik
”Pada hari petama kami saling berkenalan. Pariyo bertanya berapa nilai kelulusan Ade
kujawab 25.7. Mendengar jawaban saya, Pariyo tertawa dia bilang nilai UNAS nya 21. Setelah
kukatakan bahwa bisa masuk SMP 1 minimal 24 barulah Pariyo cerita, bahwa bapaknya
membayar dua ribu rupiah, alias no ceng, ” penjelasanku
Setelah mendengar testimoni ku tadi, rupanya pak guru risau maka ditegurlah saya;
”Ade, jika kamu tak dibina dengan baik, kamu bisa menjadi pemberontak !” kata pak
Guru
Mendengar teguran keras tadi, perasaanku sedih dan gelisah juga. esoknya hari kedua,
aku dipanggil Walikelas I, pak Tamrin. Entah siapa yang melapor, tentang peristiwa itu. Kata
Endang teman sekelas, sebelum mengikuti pelajaran pertama, saya disuruh menghadap Wali
Kelas. Kupatuhi saja panggilan itu dengan agak berdebar. Karena baru pertama kali masuk
sekolah lanjutan, tiba – tiba dipanggil Wali Kelas. Saat menghadap saya di intrograsi ;
”Namamu Ade ya dari kelas I A,” tanya pak Tamrin
”Iya pak ,” jawabku agak gugub
”Kemarin, kamu mengatakan no ceng di kelas IA, hingga pak Tarman merasa
terpojok. Apa yang terjadi ?”
Kuceritakan kronologinya dengan lancar tanpa ada yang kurang atau kulebihkan. Wali
Kelas mendengarkan cerita saya dengan penuh antusias tanpa expresi. Dan nasehat beliau ;
”Besok lagi kalau ada pertanyan seperti itu tak perlu dijawab. Bisa menimbulkan
masalah. Kamu harus bisa memilah dan memilih mana yang baik atau tidak didepan kelas,
oke. Sudah kembali ke kelas jangan diulangi lagi,” nasehat pak wali kelas.
Saya lega tak kuduga pak Wali Kelas tidak marah. Sebelumnya aku mengira bakal di
strap, namun demikian aku tetap heran, mengapa kok aku yang disalahkan ????
Yang menjadi aku heran selama ini, kendatipun aku mengatakan yang sebenarnya,
ternyata disekolahan di anggab bukan pada tempatnya. Menjelang pelajaran bahasa
Inggris. Pak Narto, guru bahasa itu mengungkapkan bahwa pelajaran bahasa Inggris tidak
susah asal semua murid di kelas, sudah punya bukunya, yaitu ”Student Book.” Bagi yang
belum punya dapat membeli lewat beliau, harganya pun lebih murah dari harga di toko yaitu
Rp. 25,- karena belinya partai, dan dapat diangsur.
Selama ini murid – murid sebagian besar membeli buku lewat beliau. Setelah guru
keluar kelas, aku pinjam teman yang telah lulus. Barangkali, masih baik walaupun bekas. Yang
penting dapat dipakai. Ketika kusampaikan ideku, ternyata mendapat sambutan baik dari
teman – teman lain.
Minggu depannya saat pelajaran bahasa Inggris pak Narto membawa satu box buku
yang dijanjikannya, jumlahnya 36 bh. Untuk dibagi dan dibeli siswa – siswa di kelas kami
yang jumlahnya 36 orang. Bagi yang belum bawa uang dapat membayar minggu depan.
Setelah dibagi ternyata masih sisa tiga buah buku timbulah pertanyaan;
46

”Siapa di kelas ini yang belum memiliki buku, kok masih tiga, coba angkat tangan yang
belum punya?” tanya pak Narto penasaran.
Semua murid dikelas kami tak ada yang angkat tangan. Pak Narto merubah pertanyaan;
”Siapa murid dikelas ini yang belum mengambil buku ?
Aku angkat tangan, disusul Suyono anak Pacitan, dan Endhang yang tomboy itu
Melihat situasi itu pak Narto mengambil sisa buku dan memberi ultimatum;
”Saya belum akan memberi pelajaran bahasa Inggris dikelas ini, sebelum semua siswa
punya bukunya,” tegas pak Narto.
Selesai memberi pengumuman pak Narto keluar kelas membawa sisa buku tadi.
Akhirnya atas usul Endhang, kami mengajukan pelajaran berikutnya, yaitu mengambar.
Pak Gon, guru menggambar masuk kelas langsung ------ menyapa kami;
”Mengapa mengajukan pelajaran, baru saja kulihat ada pak Narto?” tanya pak Gon.
”Pak Narto belum berkenan memberi pelajaran di kelas ini pak, sebelum semua murid
di kelas ini mempunyai buku Student Book,” jawab Endhang.
”Siapa yang belum punya buku angkat tangan ? ” tanya pak Gon ingin tahu sambil
melihat diantara kami, ternyata tak ada yang angkat tangan.
”Lho, kok tak ada yang angkat tangan, berarti semua sudah punya dong?”
”Begini pak,” kataku ingin menjelaskan,
”Siapa namamu ?” tanya pak Gon sambil menunjukku.
”Ade, pak,” jawabku
”Apa yang ingin kau katakan,” tanya pak Gon selanjutnya
”Pak Narto tadi, sebelum meninggalkan kelas, menanyakan siapa yang belum memiliki
buku Student Books, tak ada yang angkat tangan. Tapi buku yang dibawa pak Narto masih sisa
tiga buah. Padahal buku yang dibawa beliau 3 lusin buku---- sesuai jumlah murib di kelas I A
ini. Rupanya pak Narto salah tanya ? ” jawabku menjelaskan
”Maksudmu,” potong pak Gon, ” Pak Narto salah faham ?”
”Iya pak, mungkin maksud pak Narto ingin tau, siapa yang belum mengambil buku dari
beliau,” jawabku lagi
”Karena, buku masih tiga, itu juga betul, karena kami bertiga sudah punya buku yang
sama walaupun bekas,” jelasku lagi
”Lho, kalau begitu kalian bertiga menghadap pak Narto jelaskan yang sebenarnya
bahwa kalian sudah punya buku student books bekas pakai.”
Atas petunjuk pak Gon, kami bertiga menuju ke ruangan guru----tapi sebelum sampai
ke ruang kantor, terlihat pak Narto sudah keluar menuju ke arah kami. Saat berjumpa ---kami
mengatakan mau menghadap pak Narto, tapi beliau tak mau kami temui malah terus masuk
kelas lain.
Selanjutnya kami bertiga kembali ke kelas, ingin melapor ke pak Gon, bahwa besok
pagi kami mau menghadap pak Narto. Sesampai di kelas, teman – teman di kelas pada
tertawa. Aku melapor ke pak Gon, tapi malah disuruh kembali ke tempat duduk. Aku terkejut
setelah melihat di papan tulis ada tulisan ”Ade goblok.” Entah siapa yang menulis. Tanpa
berpikir panjang karena malu, tulisan tadi saya hapus. Yang membuat saya kaget setelah aku
duduk kembali, aku diusir disuruh keluar oleh pak Gon.
Tak kira pak Gon bercanda, maka aku tak bergeming. Dengan perasaan malu yang luar
biasa, tiba – tiba dengan suara keras pak Gon mengertak saya
”Ade tau bahasa Indonesia, kamu keluar !” hardik pak Gon dengan amarah
”Iya pak,” dengan gemetar penuh tanda tanya, kuambil tas terus keluar
47

Aku keluar kelas terus ke jalan raya depan sekolah. Kebetulan ada bus Ismo”jurusan
Batu Retno berhenti di depanku, langsung aku naik bus. Tanpa berpikir bahwa aku tak punya
uang untuk bayar ongkos. Setelah bus berjalan sekitar enam ratus meter. Aku minta turun
karena sadar bahwa tak punya uang, dan kukatakan sebenarnya kepada kondektur bus itu.
”Pak aku turun disini saja, aku tak ada ongkos maaf,” kataku
”Mas mau kemana,” tanya kondektur itu
”Ke Gudang Dondong pak,” jawabku jujur
”Kamu sakit ya, kok kelihatan pucat?” tanya kondektur lagi
”Oh... iya pak,” jawabku terpaksa bohong
”Kalau begitu tak usah turun, duduk saja,” kata kondektur lagi
Aku heran, kok kondektur ada yang baik hati. Padahal aku pucat bukan karena sakit
tapi ”malu besar,” batinku dengan penuh rasa bersyukur.
Jarak dari kota ke Gudang Dondong kurang lebih enam kilometer, tapi karena bus
yang kutumpangi sering berhenti naik dan menurunkan penumpang, maka setengah jam
perjalanan baru sampai ke Gudang Dondong. Setelah mengucapkan terima kasih aku turun
dengan lunglai bukan karena sakit melainkan memikirkan mengapa aku disuruh pulang.
Dari Gudang Dondong ke kampungku berjarak empat kilometeran jauhnya.
Sepanjang berjalan pulang aku tak ramah seperti biasa jika bertemu orang. Pikiranku kacau.
”Jangan – jangan aku di pecat?” pikirku.
Tiba di rumah, Biyungku sedang makan siang, beliau terkejut,
”Kok tumben cepat pulang, sakit ya ? ” tanya Biyung agak gugub
”Tak enak badan,” jawabku singkat --- sambil menerwang. Padahal yang tak enak
bukan badanku, tapi perasanku
Biyungku buru–buru mendekatiku. Dengan tangan kirinya dipegang pipiku,
”Tak panas kok?” kata Biyungku, tergesa–gesa mencuci tangannya, lalu menyediakan
minum untukku dan menyuruhku makan ”mumpung masih hangat,” katanya.
Tapi aku tak nafsu makan kecuali ingin merebahkan badan di tikar diatas dipan tua itu,
kakiku terasa dipegang Biyung, ”Dingin kok kakinya,” gumam Biyungku lirih.
Takut membuat Biyungku gelisah--- keputuskan saja makan siang. Terus minum air
sumur dikendi tanah sepuasnya, rasanya lega. Kubuang jauh–jauh rasa gundahku.
Kubangkitkan semangatku – sambil bicara pelan, ”Apa salahku, mengapa takut,” terus kucoba
tidur siang, yang selama ini jarang ku lakukan, hingga pukul 3.00 sore aku baru bangun.
”Kecapean kali, badannya biasa saja kok,”kudengar kata kang Jo
Daripada menimbulkan prasangka, malamnya kukatakan sebenarnya, apa yang terjadi.
”Aku pulang belum waktunya, karena diusir guru,” kataku terus terang dengan jujur
”Kenapa, kamu datang terlambat?” tanyanya
”Bukan,” kataku singkat
”Kamu dulu –masuk sekolah kelas I SR kan sudah membuat masalah. Di gunung pun
kamu juga degleng. Selama kamu benar kenapa takut ?” sindir kakak sulungku
Mendengar penyataan singkat kakangku tadi, aku jadi ingat di SR dulu, ingat bapak,
yang selalu berlaku bijaksana jika menyikapi masalah yang menimpaku. Dengan demikian ----
tak usah risau --- aku harus bangkit lagi tak gentar besok apa yang akan terjadi. Ternyata betul
belum sempat masuk kelas, pun aku sudah dicegah Endhang.
”Ade – kamu jangan masuk kelas dulu ” tegur Endhang
”Menghadap Pak Tamrin lagi ? ” tanyaku memastikan sambil memasukkan tasku
”Kemarin kamu disuruh kembali lagi kok malah naik bus ?” tanya Endhang
”Kebetulan saja, biar cepat jauh dari sekolahan, toh aku diusir seperti hewan.”
”Sebetulnya mas Ade bukan disuruh pulang lho,” sahut Suyono menghibur
”Maksudnya?” tanyaku heran
48

”Pak Gon kan hanya menyuruh keluar?” kata Endhang lagi


”Iya keluar kelas, bukan dikeluarkan tak boleh sekolah.”
”Kamu berdua sebetulnya terlibat, mengapa hanya aku yang disuruh keluar?” tanyaku.
”Yang nyuap pada tenang, aku cuma menjelaskan kok katanya calon pemberontak.”
”Sudah tak usah ribut--- sebentar lagi kita menghadap Pak Tamrin,” kata Endhang.
”Kita, memang kita bertiga dipanggil pak Tamrin semua?” tanyaku
Lonceng tanda masuk berbunyi---tapi kami bertiga selesai berbaris didepan kelas—tak
masuk kelas, tapi ke ruang wali Kelas. Tapi yang agak dicecar pak Tamrin hanya saya.
Karena saya berani pulang sebelum waktunya. Fokus pertanyaan Pak Tamrin adalah tentang
tulisan ”goblok” dipapan tulis itu.
”Ade yang menghapus tulisan itu?” tanya pak Tamrin
”Iya pak,” jawabku dengan jujur
”Kamu tau siapa yang menulis itu,” tanya pak Tamrin lagi
”Saya tidak tau pak, kupikir ketua kelas.”
”Bukan, ketua kelas yang nulis Pak Gon” kata Endhang memotong, ”Maka kamu
disemprot keras karena dianggab kamu berani melawan pak Gon.”
Kulihat pak Tamrin memandangi ku, semua diam, aku geram sendiri. Acara
menghadap Wali Kelas—usai. Alhamdulillah pak Tamrin tak komentar apapun—beliau pasif
saja. Setelah mendengar cerita itu akhirnya kami disuruh kembali ke ruang kelas. Sambil
menuju ke ruang kelas perbincangan kami lanjutkan.
”Yang goblok Pariyo kenapa aku yang dibuat malu. Dan dari mana kamu tau, bahwa
yang nulis ”goblok” itu pak Gon, ketika itu kita bertiga kan mencari pak Narto. Untuk
menjelaskan kesalah fahaman beliau.”
”Ya itulah --- saya juga mengira yang nulis itu bukan pak Gon?” tak taunya... Endang
tak meneruskan ngomongnya, mungkin takut, maka kulanjutkan ;
”Ternyata dua kali aku kena.”
”Dua kali, kapan?” tanya Suyono
”Dulu, saat pelajaran pak Tarman, gara – gara Pariyo, aku juga dipanggil ?”
”Ooo itu to, kasus no ceng ?”
”Iya, maka pantasnya Pariyo dijuluki ”Pariyo no ceng.”
Mengalami dua peristiwa dalam dua minggu mengawali mimpiku di SMP I, gelisah
hatiku lambat laun........ Aku bukan hanya malu hati, namun malah merasa dipermalukan oleh
kekuranganku sendiri. Andaikan aku bisa berlaku pendiam seperti Mulyadi anak Kades itu,
nisyaca tenang dalam sekolahnya.
Atau kaya Pariyo yang plonga – plongo seperti tak merasa salah. Karena menganggab
hal no ceng tanggung jawab bapaknya, yang menjadi orang terpandang di desa Beji yang
makmur itu ? sedangkan aku keluarga dari orang tua miskin yang tak punya bapak.
Menghadapi situasi dan kondisi itu tak mungkin aku mengeluh, khawatir membuat
biyungku menjadi sedih. Ku ingat lik Marjo, senior ku siswa SGA di tepi bengawan itu. Maka
siang itu kutungguilah dia di pangkalan transit truck, yang sering memberi kesempatan anak –
anak sekolah nebeng numpang menuju kampungnya masing – masing. Dan kebetulan siang itu
lik Marjo satu bak truk jurusan Wuryiantoro.
Hari itu aku mampir kerumahnya, untuk mengambil buku student book bekas dan
diklat buku aljabar, yang di janjikannya. Pada saat aku menerima pinjaman buku itulah
kuutarakan isi hatiku berkenan dengan kasus yang menimpa dariku, lik Marjo type oarang
sabar, ”maklum calon guru.” Batinku.
”Alah tak usah kamu masukkan dalam hati, tenang saja agar kamu bisa belajar khusuk
lupakan saja. Toh kamu tak bohong dan berbuat yang melanggar Tatip sekolah kan !”
”Melanggar Tatib apa misalnya?’ tanyaku
49

”Anak sekolah ini asalkan datang tak terlambat, tak bolos pulang mengerjakan PR
dan nilai pelajaran bagus, kan sudah bagus !”
”Apa lagi lik yang harus ku lakukan ?”
”Yaaa, seperti di nyanyian itu saja, hormati gurumu, sayangi temanmu.”
”Baik lik terima kasih. Aku mau pulang takut banjir.”
Sambil pulang aku mengingat syair lagu yang di katakan lik Marjo. Sampai
dirumah pun aku merasa enteng, tak menjadi gelisah setiap ketemu pak Gon. Ternyata hari
selanjutnya pak Gon selalu senyum setiap aku menyapa ”Selamat siang pak.”
Demikian pula pak Tamrin, sedangkan ”pak Tarmin guru aljabar itu tak menjadi
beban,” batinku. Karena beliau tak yinggung soal no ceng lagi, bahkan mata pelajaran al –
jabar aku menguasai.
Bulan berganti, pelajaran bermacam – macam tak seperti di SR dulu. Pak guru semua
kukenal teman- teman semakin akrab dan aku sudah semakin pede bergaul dengan anak –
anak kota. Dan teman serantauan dengan ku yang paling kusukai adalah Suyono asal
Pacitan itu. Dia selalu memanggil aku mas dan murah senyum.
Anak perempuan yang paling akrab ya hanya Endang dan Sri anak Ngadirodrojo.,
siswa yang paling pintar Ramto anak lurah Mengger sekecamatan dengan ku. Kebetulan
hobinya sama sepak bola.
Hingga naik kelas II, tak ada kendala dan aku tak melupakan lik Marjo. Oleh karena
itu kusampaikan terima kasih ke seniorku itu. Ternyata benar apa yang di katakan.

...................0000....................
50

13
BIARKAN DIRIKU NGENGER
SEPERTI JOKO TINGKIR

D i kelas II, aku hanya pindah tempat, teman – temanku tak ada yang tertinggal.
Malah tambah anak baru, Subagio namanya dia ikut bapaknya Perwira polisi
pindahan dari Sumatra katanya Riau. Karena tak menguasai bahasa jawa,
akulah yang diminta pak Gon walikelas II, untuk mendampangi mas Bagio dalam masa
orientasi perkenalan. Tak pikir bangku apa cukup ?ternyata Darno pindah sekolah.
Pada suatu hari ayah mas Bagio memanggil aku di rumahnya, tak jauh dari sekolahan.
Aku menghadap beliau didampingi ibunya mas Bagio aku di suguhi teh.
”Mas Ade kata pak Gon wali kelas, nak Ade diminta ngajari anakku tentang tata tertib
dan bahasa jawa jika berada dilingkungan kelas, mau kah ?”
”Bukan tak mau bu, tapi kenapa saya, sayakan anak desa ?”
”Jangan merendahkan diri dik, semua kan asalnya dari desa ?” kata ibu Bagio
”Saya juga masih harus banyak belajar bahasa ”kota” lho bu.”
”Wis to, ini atas petunjuk pak Gon lho dik wali kelas II b.”
”Kalau sudah perintah pak Gon, saya siap bu terima kasih.”
Mulai hari itu, sampai beberapa bulan, aku selalu bersama mas Bagio. Lama – lama
setelah dia membaur mas Bagio kulepaskan sendiri, walaupun tetap satu bangku dikelas.
Setelah dia bergaul dengan baik, dia tetap dekat denganku, aku baru tau latar belakang
ditunjuknya aku sebagai pendamping dia.
Dari ibu mas Bagio pula lah rahasia itu ku ketahui, saat aku menerima kenangan dari
Ny. Polisi i tu.
”Mas Ade, ibu punya oleh – oleh dari Riau, untuk mas Ade. Dan ibu senang anak ibu
cepat beradaptasi dengan lingkungan sekolah. Nah ini yang penting. Mas Ade tau mengapa
anak saya oleh pak Gon disuruh belajar duduk sebangku dengan mas Ade?”
”Nggak tau bu, setau saya hanya kami sebangku saja dikelas.”
”Bukan, bukan karena itu. Penilaian pak Gon mas Ade itu anaknya lugu.”
”Kan saya anak desa bu ?”
”Yang anak desa bukan hanya mas Ade tapi, mas Ade itu cerdas, tetapi hanya karena
kurang pendekatan saja kata pak Gon. Mas Ade mudah apa ya, kritis lah. Dan saya perlu
anak yang seperti mas Ade agar anak saya tak minder. Buktinya Bagio sudah lancar berbicara
dengan bahasa jawa, sebelumnya mana mau, sopan lagi ngomongnya!!”
Sebetulnya pula aku merasa senang bisa dipercaya sebagai pendamping anak polisi itu.
Walaupun saya tak banyak berbuat kepada anak baru itu. Setidaknya aku sering masuk ke
komplex polisi dan bisa berkenalan dengan anggota polisi anak buah bapaknya mas Bagio di
Tangsi.
Setelah kelas II pulalah aku dipilih menjadi Ketua Umum Olahraga. Sejalan dengan
itu aku sering menyeleksi beberapa teman siswa yang hoby olahraga khususnya volly ball dan
sepak bola, jika ada even yang diadakan sekolah yang dibimbing oleh guru PD yaitu pak Edy.
Hasil seleksi aku masuk pemain inti, termasuk tiga teman – temanku Murdowoh, Topo dan
Ramto. Untuk penjaga gawang aku diposisikan kiper utama tingkat SLTP.
Perkembangan selanjutnya, setelah semester di SLTP, khusus sepak sepak bola, aku
tercatat sebagai anggota kesebelasan pelajarWonogiri Kota ”Persiwi Junior.”
51

Hanya kendala aku tinggal jauh dari kota itulah aku sering terlambat tiba di lapangan
tempat latihan. Dua kali seminggu setiap sore, kami latihan kadang – kadang tak dapat saya
ikuti secara penuh, kecuali Minggu.
Suatu sore selepas latihan aku dipanggil seniorku mas Slamet siswa SMA. Dia bilang
yang ideal sebagai kiper adalah aku, karena postur tubuhku menunjang sayang kondisi
rumahku yang jauh.
Atas inisiatif Mas Hartono seniorku yang anak SMA juga, aku akan di fasilitasi untuk
ikut dirumah sepupunya. Aku sebetulnya senang sekali, tapi mengingat aku anak kampung dan
miskin, aku minder dan ragu. Kulihat mas Har menghampiri saya dan mengatakan:
”Dik aku cuma empati padamu, kalau masih ragu kamu pikirkan dulu saja, perlu tahu
adik sepupu itu suaminya tentara anak tiga perempuan semua yang pertama pun masih SD
kelas III. Jangan khawatir kamu disuruh bayar, yang diharapkan hanya menjaga dan
membimbing belajarnya dan saya jamin kamu masih bisa main sepak bola asal kamu mau tak
tunggu keputusanmu!!!”
Melihat peluang dan angin segar tadi, sampai dirumah aku menemui biyungku
dirumah. Setelah mendengar niatku biyungku sempat bimbang:
”Apa benar kamu mau ngenger di kota, biyung tak keberatan barangkali ini jalan cita–
citamu ngger, yang penting harus tau diri. Kita tak punya apa–apa. Biyung hanya bisa
membekali doa saja. Biar nanti pada waktunya kakakmu yang mengantarmu,” Ujar Biyung.
”Kok bukan biyung saja yang mengantar nanti yang saya ngengeri bertanya?” tanyaku
”Tak apa, kakangmu lebih berpengalaman di Wonogiri dia sering bekerja di sana dan
bapak mu pernah bilang kalau mau menjadi orang yang pintar harus berani ngenger kaya
Joko Tingkir,” kata Biyung
Mendengar kata Joko Tingkir yang legendaris itu aku tersenyum ternyata biyungku juga
tau mendengar cerita itu, bahkan menambah semangatku ”Semoga doa orang tuaku terkabul.”
Ketika itu hari Sabtu, pertandingan sepak bola resmi pertama dilapangan kota yang saya
ikuti. Kang Jo ikut menonton katanya sepak bola gede-gedean sebab pakai sepatu biasanya
cekeran. Selesai Pertandingan aku disalami mas Har karena berhasil menjaga gawang dengan
aman tak kebobolan. Dan kesempatan itulah kugunakan menyampaikan keputusan bahwa aku
siap ngenger. Malah mas Har bilang ”Bagus.” Dan mau diantar adiknya saja. Maka hari itu
malamnya aku disuruh menginap dirumahnya saja biar pagi – pagi sebelum ke gereja bisa
ketemu sepupunya itu.
Aku sebetulnya menolak ajakannya dengan alasan tak membawa ganti pakaian. Tetapi
mas Har agak memaksa, malah akan dikasih pakain ganti, aku tak boleh khawatir. Akhirnya
selesai, pulang dari sepak bola aku bersepeda mengikuti mas Har kerumahnya. Didepan
rumah ada tulisan ”Rumah Pejabat Penting” yang megah itu aku terteguh dan berubah pikiran.
Pada saat mas Har membuka pintu pagar dan menyuruhku masuk, aku bilang :
”Mas aku mohon maaf tak jadi menginap karena sepeda yang kupakai ini pinjaman,
besok pagi mau dipakai kepasar pemiliknya.”
Melihat sepeda ku tadi, mas Har mengerti, tapi aku disuruh menunggu sebentar. Tak
lama kemudian dia bersama adiknya mendekati saya dan diperkenalkan padaku.
”Nah ini adikku Tati, yang besok mengantar kamu ke Pokoh.”
”Oke.”
Mas Har memasukkan sesuatu kekantongku, entah apa yang dimasukkan aku tak
berani melihat. Selesai perkenalan dan ada kata ok aku pamit pulang malam itu. Sepanjang
jalan menuju pulang, hatiku bergejolak bimbang dan takut. Terus aku membayangkan orang
yang mau saya ngengeri, ”jika benar bahwa ikut tanpa membayar sepeser pun, betapa mulianya
orang kaya itu, terus bagaimana aku bisa beradaptasi dengan baiknya,” pikirku.”
52

Perang dalam batinku tak kusampaikan ke Biyung aku berusaha mencoba apa yang
mungkin terjadi dan tidak mengatakan kepada siapapun. Hari Minggu sesuai janjiku,mungkin
pukul 08.00 aku telah tiba di rumah mas Har. Mbak Tati sudah siap mengantarku. Dikira aku
dari kampung naik sepeda, maka ketika ditanya tentang sepeda kujawab apa adanya bahwa
sudah kupulangkan, kemarin hanya pinjam. Akhirnya aku dipinjami sepedanya mas Har, kami
berangkat ketempat yang akan ku ngengeri. Ternyata tak jauh dari rumah mas Har. Rupanya
mbak Tati sudah janji datang pagi, keluarga tentara itu sudah menunggu, setelah basa basi
sejenak, aku diwawancarai
”Namanya siapa mas, sudah kelas berapa?” tanya ibu
”Ade bu baru dikelas II SMP,” jawabku
”Nah ini ibu War, putrinya tiga semua, yang sulung Pur, ini Wiwik yang ngedot ini
Yani,” jelas mbak Tati
”Mohon maaf bu, saya dari keluarga tidak punya, bapak saya sudah tidak ada. Tinggal
orang tua perempuan yang kami panggil Biyung ,” jelasku
”Biyung, kok bukan simbok, biasanya didesa memanggil ibunya Simbok,” jawab ibu
War heran
”Iya bu tradisi keluarga bapak dari gunung sana,” jawabku
Selanjutnya Ibu War menjelaskan panjang lebar tentang keluarganya sampai kamar yang
mungkin tempat saya tiduri, sumur dan sekolah anak – anaknya.
Setelah sepakat, saya katakan bahwa belum langsung hari berikutnya bisa datang jika tak ada
halangan apapun mudah–mudahan Senin depan.
Usai pembicaraan itu kami makan siang, tak kusangka ternyata keluarga ini juga
mengkomsumsi tiwul. Bedanya kwalitas tiwulnya lebih baik dari yang kumakan sehari – hari
selama ini.
Kesimpulan pertemuan hari Minggu pagi itu ‘Ibu,’ minta penjelasan kapan saya dapat
mulai ngenger dikeluarga itu. Kalau bisa tak usah lama – lama. Kusampaikan kesanggupan
saya. Namun aku akan lapor dan ijin kepada orang tua kami. Beliau membenarkan sikapku,
setelah itu ijin pulang.
Dalam perjalanan pulang mbak Tati mengajak jalan kaki saja. Sambil menuntun
sepeda, kami berdua berbincang – bincang kegiatan sehari – hari terutama setelah saya tinggal
dikeluarga itu. Petunjuk mbak Tati yang penting aku bisa menyesuaikan hidup dikota dan bisa
mengawasi dan menjaga anak – anak. Hari tertentu aku boleh main bola, dan kegiatan yang
lain, sepanjang tugasmu beres.
Sampai dirumah mbak Tati kukembalikan sepeda mas Har terus pamit. Mau diantar
ke stasiun kereta, tapi aku menolak karena jarak ke stasiun tak jauh, toh biasanya aku jalan kaki
puluhan km candaku. mbak Tati yang baik itu tersenyum simpatik. Selama menunggu kereta
datang aku merasakan sedikit kebahagiaan, ketimbang pulang dari rumah itu kemarin.
Dirumah ibu tadi tak gedongan banget. Makan pun kurang lebih seperti di keluarga paklik Mul
digunung dulu.
Satu jam kemudian aku sampaikan pertemuan itu kepada Biyung dan kakakku.
Kulihat Biyungku senang walaupun seperti ada khawatiran, kakakku mendukung saja, cuma
kalau bisa menunggu habis panen jagung atau kedelai. Agar ada yang dapat dibawa untuk oleh
– oleh ”Kan sebulan lagi panen” Katanya.
Yang menjadi pikiranku malah lebih dari itu, yaitu dapat dibelikan pakaian agar tak
terlalu sederhana seperti saya miliki selama ini. Biyung malah menyuruh menjual salah satu
kambing kami, tak usah menunggu panen.
”Soal bawa oleh – oleh nanti setelah panen saja, sekaligus kita berkenalan dengan
keluarga itu, kan tak pantas jika orang tua tak menyerahkan kamu kesana. Kita orang desa
harus merasa terima kasih juga nanti dianggab kita sebagai orang tak tau adat,” Tegasnya.
53

Pendapat biyungku sungguh bijak. Maka besoknya kakakku menjual kambing. Setelah
laku, Sebelum pulang sekolah, disuruh memilih kebutuhan apa yang diperlukan. Aku beli
pakaian bekas, dua stel, handuk, kaos kaki dan sikat gigi dan lain – lain. Melihat pilihan
pakaian yang saya beli kakakku heran padahal aku disuruh memilih sendiri. Kujelaskan
alasanku. Biar bekas kwalitasnya dua x lipat dengan kain tenun bikinan biyung.
”Biar seolah – olah pakaian ini sudah lama kumiliki, kecuali handuk Kang !”
Ternyata kakak baru tau jalan pikiranku, malah aku suruh membeli koper pakaian
sekalian. kain sarung tapi bukan yang bekas. Setelah dianggab cukup semua belanjaan
dimasukkan koper, sebelum pulang kami makan mie rebus. Oleh – oleh untuk yang dirumah
juga tak dilupakan, khususnya gula pasir dan teh cap Dandang kesukaannya..
Besoknya pukul satu siang aku menunggu mbak Tati pulang sekolah, dipojok
lapangan bola dekat sekolahnku, karena pulang pergi mbah Tati jalan kaki bersama sengan
siswi SGA. Dari jarak seratusan meter mbak Tati sudah dapat aku ketahui sebelum melintas di
pojok sekolahku, karena orang tinggi aletis dan jika berjalan memandang lurus kedepan
menimbulkan kesan berwibawa.
Oleh karena rasa grogiku timbul, aku pura – pura berdiri mencari teman sebelum
mbak Tati melintas di depanku, ideku berhasil ditegurlah aku.
”Hai dik ada yang ditunggu, kok belum pulang ?”
”Oh ya mbak, mau titip pesan untuk ibu di Pokoh.”
”Bisa, jadi kapan adik mau pindah?”
”Hari Sabtu mendatang mbak, sore setelah pulang sekolah.”
”Baik akan kusampaikan, itu saja kan ?”
”Iya mbak terima kasih.”
Terasa lega, dan agak nyesal. Mengapa aku cuma mencegat mbak Ti pulang , ”jangan
– jangan tak sopan di mata teman – temannya?’
Hari itu aku pulang sekolah ada perasaan beda. Sebelum naik truck sebagaimana
biasanya, seolah – olah aku sedah berakhir takkan naik lagi. Ketemu lik Marjo pun aku belum
berani bilang, bahwa aku Minggu depan tak sering bersama lagi.
Aku juga ingat pesan pakde Golo, kakak bapak yang di Nglegong Gunung itu. Agar
aku menemui mbak Yu yang juga kost di dekat Wonogiri. Tapi mbak Yu anaknya pakde Golo
kos dimana ? Rasanya hari itu aku seperti pulang kampung yan sudah lama takku lakukan.
Diatas truck yang aku tumpangi dengan lik Marjo pun aku tak bisa bicara, bahwa aku
mau ngenger. Dalam lamunanku, jika aku jadi anak kota, aku mau berlaku sopan, demikian
pula jika pulang kampung. Aku tak mau dikatakan sombong, aku mau seperti mbak Tati yang
sabar dan merakyat itu.
Pada hari yang kami tentukan, Sabtu sepulang sekolah aku dan kakakku keterminal
bus. Bukan mau naik bus, maka setelah ketemu ku ajak jalan kaki saja karena ke rumah Pokoh
hanya berjarak satu kilo lebih. Sampai disana anak – anak pada selesai makan dan
menyambutku dengan ramah. Tak lama kemudian ibu datang dari Solo.
Masa perkenalan hanya singkat, sambil menyerahkan beras hasil panen, kakakku mulai
berbicara singkat, intinya menitipkan aku agar dapat dididik sebagaimana mestinya, segala
kekurangan saya agar dimaklumi saja. Orang tua tak keberatan jika dimarahi sekalipun.
Sambutan ibu dengan bahasa yang halus, besok lagi kang Jo diminta tak usah bawa apa
– apa, karena ibu dan anak dapat beras jatah, lebih dari cukup. Malah aku dianggab sebagai
anak sendiri, karena tak punya anak laki – laki. Selesai serah terima kakak pulang dansaya
diminta beres – beres kamar diperuntuk aku tinggal di rumah itu.

...................000......................
54

14
WALAU BUKAN ANAK PRIYAYI
AKU BUKAN KAMSO LAGI

M
engawali ikut orang tanpa membayar yang disebut ngenger di kota, kulakukan
apa saja apa yang diminta ibu, tapi aku mengerjakan pekerjaan melebihi
perintah nya.
Pohon mangga yang dulu banyak benalunya ku tumpas habis, dahan – dahan kering
aku bersihkan. Demikian pula tanaman liar, batu – batu yang tak teratur kutata hingga rapi,
dengan alat – alat kerja seadanya.
Sebulan setelah aku tinggal dikota aku ijin menenggok orang tua di kampung, pulang
kembali ke kota di bekali sayur mayur dan apa saja yang di kota tak pernah ku jumpai terutama
arit, cangkul kecil, palu dan lain – lainnya.
Ibu semakin familier memperlakukan aku, demikian pula adik sudah berani minta
diajari mengerjakan pr tanpa ada batas waktu. Kadang – kadang mereka berebut siapa yang
harus diajari dulu sudah barang tentu aku ikhlas dan semakin krasan.
Suatu sore adik ku Pur bilang, bahwa bapaknya mau pulang cuti dari tugas dinas maka
aku berusaha membersihkan segala sesuatu yang menggangu pemandangan di lingkungan
rumah.
Beberapa hari kemudian bapak pulang cuti. Melihat keberadaan saya beliau
menyambut dengan baik, dan terkesan agak kaget setelah lingkungan rumah berubah. Cabang
pohon yang sematwut telah kurapikan, parit dan lingkungan kutata sedemikian rupa setelah
aku membawa alat – alat dari kampung, yang dulu tak ada sekarang lengkap layaknya orang
kampung, segalanya ada.
Menjelang bapak selesai cuti, aku banyak mendapat petunjuk yang menarik seperti
”Panca Marga dan Bhakti Keluarga” yang pernah kubaca dilaci meja belajarku ;
- Saya disuruh bersikap biasa saja, tak usah menganggab ngenger, dan anak – anak
beliau agar dianggab adikku sendiri. Demikian pula aku dianggab anak sendiri, yaitu
anak pertama laki – laki yang menjaga dan mendidik adik – adik dalam pelajaran
sekolah dan bermain.
- Aku dilarang ikut organisasi yang berafiliasi Partai Politik apa pun, kecuali Pandu,
olahraga dan kesenian.
- Kalau pun keluarga ini beragama Katolik, tak harus mengikuti jika saya memang
penganut agama Islam khusus hal itu bapak toleran sekali.
- Jika ingin pulang ke orang tua dikampung harus memberi tau dulu, kalau perlu adik
– adik semua diajak, biar tau kehidupan kampung, itupun lihat situasi.
- Selanjutnya, harus tabah jika ditegur ibu dan sabar menghadapi adik – adikmu.
Selesai memberi doktrin bapak kami antar ke stasiun kereta api, sampai kereta
berangkat. Bapak menjalankan tugas negara, mulai hari itu kami menjalani aktifitas seperti
biasa. Terasa beda setelah bapak kumpul keluarga. Aku diperlakukan seperti anak dan kakak
sendiri bagi adik.
Saat di kelas II nilaiku tak menonjol seperti SD dulu. Bahkan pelajaran bahasa Inggris
aku hampir mendapat nilai enam. Aku malu disindir adikku, Dwi ”kabarnya mas Ade ada
niilai yang berani, ya di raportnya.”
55

Selama aku menjadi anak kota, pulang kampung dibatasi karena tanggung jawabku
sebagai anak laki – laki satu- satunya di keluarga itu. Selama aku di kelas I SMP, dua masalah
pernah kualami, sebelum aku ngenger. Semua peristiwa itu sempat merisaukan, walaupun
bagiku hanya sebagai pelajaran kuambil hikmanya saja. Mudah – mudahan tak terulang lagi,
setelah aku ikut orang di kota.
Enam bulan menjadi anak kota baru kusadari, ternyata yang selama ini ku bayangkan
dan menjadi pertanyaan, terjawab. Betul kata ibunya mas Bagio, orang kota pun asalnya
sebagian besar juga dari desa. Yang menjadi priyayi hanya sebagian kecil. Yang tampak hidup
enak cuma yang dipinggir jalan raya, setelah agak jauh sedikit dari jalan raya ya sami mawon
kaya orang kampung.
Yang termasuk elit antara lain, Bupati, Dandim, Danres dan jajarannya. Mereka
sehari – hari mengendarai mobil dinas kantor. Kelompok elit pinggir jalan raya kebanyakan etis
Cina saudagar dan Dokter. Tetanggaku, dalang terkenal juga termasuk orang kaya.
Lama – kelamaan aku pun dianggab anak kota baik di bilang pelajar, dipasar, distasiun
dsbnya. Karena hampir melihat aku bersama keluarga berpenampilan rapi dan tutur bahasa
yang santun, pedagang makanan pun yang sering menjajakan dagangnya biasa memanggiku
mas, bahkan ada yang menyapa aku den. Yang maksudnya mungkin raden. Aku sering
tersipu, namun demikian tak membuatku sok kota, takut kebiasaan. Sebab temanku
Murdowo, Mardi Atmojo, apalagi Subagio, kalau anak kota, tingkah lakunya sopan, dan cara
bicaranya santun.
Bulan Agustus sebagai mana biasa Rakyat Indonesia merayakan hari kemerdekaan,
pertama kali aku mengikuti kegiatan ulang taun Kemerdekaan di ibukota Wonogiri. Selama
itu pulalah aku setiap sore sibuk bersama anak kota lain untuk latihan sampai pertandingan
Sepak bola dan Volly ball.
Dalam situasi itu aku lapor dengan ibu, sepertinya ibu tak begitu iklas mengijinkanku.
”Mungkin beliau lupa,” kata mbak Tati sepupunya.
”Kalau banyak kegiatan di sekolah, terus waktu untuk adikmu?”
”Kan tak sepanjang hari bu, lagian kan hanya Agustusan saja ?”
”Yang penting adikmu terutama si Pur lho !!”
”Aku juga latihan nari lho bu,” kata dik Pur.
”Wiwik gimana per nya ?” tanya ibu ke dik Wik
”Aku bisa kerjakan sendiri kok bu,” jawab dik Wik polos
”Bisa di atur kok bu kan bukan saben hari,” kataku
Mau nggak mau ibu ngijinkan kami untuk untuk ikut kegiatan tujuh belasan. Usai even
penting itu kami cerita masing – masing. Yang paling nyeneh dik Wik lagi kesannya ;
”Kalau aku yang mengesan ya itu lho mbak Tati,” katanya
”Mbak Tati kenapa?”
”Gagah dan bagus pakaiannya. Wiuh aku kepingin kaya dia.”
”Oo itu lho bu lagi kuajak nonton drumband, mbak Tati kan jadi mayoretnya, aku
bolehkan bu ikut drumband?” tanyaku
”Usai bercengkerama yang mengesankan itu ibu hanya senyum – senyum saja karena
beliau bagian tunggu rumah dengan adikku yang kecil Tri. Yang tak diketahui ibu adalah
engkel kakiku bengka keseleo dilapangan sepak bola. Jalanku agak pincang tapi ibu
kubohongi bahwa hanya luka lecet, padahal ............
Pertengahan September taun itu aku di panggil guru PD pak Edy. Instruksi beliau
aku disuruh menyiapkan tiga orang pilihan untuk di TC di kantor PD & K dalam rangka hari
Sumpah Pemuda ku daftarkan temanku, Ramto, Murdowo dan Endang Sugiarti, terus
kulaporkan
”Pak, ini daftar siswa untuk T C.”
”Lho kamu kok tak terdaftar?” tanya pak Edy
56

”Instruksi bapak kan tiga orang ?”


”Lebih baik Ramto dicoret, terus ganti namamu.”
Kukasih tau Ramto, bahwa namanya dibatalkan pak Edy. Dia malah senang, karena
T C nya di P D & K katanya sore, mulai jam 3.00 dan karena dia rumah jauh di Mengger.
Ternyata betul sesuai surat dari P D & K latihan gerak jalan dalam rangka hari Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1962 berlangsung setiap sore kecuali hari Minggu.
Selama T C di alun – alun kabupaten, kubagi waktuku dengan baik. Dirumah hanya
ada waktu 90 menit setiap hari yang harus kugunakan untuk tugas dirumah, yaitu tugas rutin
seperti biasa dan sisanya mengoreksi PR adik – adik. Subuh kadang – kadang PR ku sendiri
baru ku kerjakan.
Alhamdulillah instruktur kami seorang anggota CPM dan Polisi, bijaksana, latihan
tidak saban hari terus menerus, tapi diselang seling. Yang tak terduga justru aku dan teman –
teman diharuskan melatih di sekolah masing- masing sebagai peserta lomba gerak jalan
mewakili sekolah masing – masing.
Latihan oleh instruktur saat di TC hanya sebagai dasar. Setiap sekolah boleh
mengembangkan sesuai inisiatif masing – masing baik gaya atau seragam tim sekolahnya. Atas
inisiatifku sendiri. Aku menemui mbah Hartati karena beliau lah yang paling senior di dunia
drumband, bahkan mayoretnya.
”Mbak aku diminta melatih tim SMTP untuk lomba gerak jalan indah, bisa dibantu
mbak agar lebih baik.”
”Nggak boleh dik, justru kalian di TC supaya punya ide sendiri.”
”Mbak tak usah melatih langsung, kasih saran dan modifikasi saja.”
”Dasar nekat, oke tak bantu secara pribadi saja tak langsung lho.”
”Oke mbak terima kasih.”
Atas kompromi secara diam – diam mbak Hartati memberi petunjuk, dirumahnya
setiap aku pulang latihan sore temasuk seragamnya, tapi tanpa sepengetahuan guru PD sebagai
pembina. Ternyata pak Edy sebagai pembina juga punya ide, agar timku diberi nama tim
Nasakom, karena tahun itu baru gencar – gencirnya kata – kata itu.
Tapi ide pak Edy secara halus kutolak, dengan alasan melonggar tata tertib sekolah.
Pak Edy meradang, dan kami dibiarkan sendiri sedang Endang dan Murdowo temanku
melatih ikut pendirianku.
Hasil lomba, walaupun SMP I menjadi juara umum. Pak Edy tak menunjukkan
apresiasinya, beliau mulai bersikap dingin kepadaku, lambat – laun aku di isolir. Setiap
kegiatan olah raga dalam even apapun. Diskusi pun, sumbang saranku tak di gubris.
Puncaknya saat tour olahraga ke Batu Retno, aku betul – betul tak dilibatkan. Secara
pribadi aku sebetulnya malah bersyukur, karena ibu kulihat tak begitu suka jika aku terlalu
banyak kegiatan. Tapi tak pernah menegur aku secara terang – terangan. Tak seperti bulikku
di Gunung dulu, sampai membanting pintu da mengatakan Suto Lencok kepadaku. Saat tak
menyukai apa yang kulakukan.
Di kelas II guru yang sering minta bantuan kepala aku adalah pak mofid, guru bahasa
Indonesia. Aku pun merasa senang terhadap beliau. Mungkin karena nilai pelajaran itu aku
termasuk diatas rata – rata di kelasku, palk Mofid dekat denganku.
Bukan hanya itu, jika beliau memberi PR atau murid – murid perlu mencatat pelajaran
akulah yang selalu diminta menulis di papan tulis dan buku yang hanya di miliki pak Mofid
dipinjamkan kepadaku. Sering aku mengambil inisiatif, yang semestinya harus kutulis
dipapan tulis, kubacakan saja didepan kelas dan teman – temanku menulis di buku catatan
masing – masing.
Setelah itu buku pak Mofid dipinjamkan aku, boleh dibawa pulang, sudah barang tentu
akulah satu – satunya yang boleh dikata membaca dan belajar dari buku aslinya. Maka anak
57

kota yang perlu ikut belajar dari buku aslinya biasanya Suyono, juga Endang dan mbak Ambar
anak putri Donoharjo itu. Tapi jika temanku yang tak tinggal dikota, aku tak bisa meminjami
karena kalau dia tak datang susah mencarinya.
Saking akrabnya pak Mofid sering minta bantuan ku, walaupun urusan rumah tangga
misalnya; menterakan timbangan dacin nya di warung bu Mofid, kadang – kadang plombir
sepeda beliau yang habis masa tahunnya. Pernah juga ibu Mofid salah pengertian tentang
kembalian bea tera timbangan. Aku mungkin dicurigai mengambil uang kembalian. Aku
dikasih uang Rp. 25,- bea tera Rp. 10.- sisanya Rp. 15.- kutaruh di bawah timbangan karena bu
Mofid sibuk didapur. Pagi besoknya aku ditanya pak Mofid
”Le apa taun ini bea tera naik dari taun lalu ?”
”Nggak tau pak tapi kembaliannya kutaruh dibawah timbangan bersama resi,’ jawabku
Ternyata uang yang kutaruh itu bersama resi masih ada pada tempatnya. Mungkin pak
Mofid engan minta maaf terhadap kecurigaan beliau kepadaku. Tapi mulai hari itu beliau
semakin baik kepada ku, demikian pula istri beliau. Dari pengalaman itu, kuambil hikmahnya.
Menjalani perintah guru baik mengenai pelajaran sekolah ataupun diluar sekolah jika kita
sebagai murid mampu melaksanakannya dengan baik dan benar, guru sudah merasa senang.
Dan biasanya guru punya ”anak emas” salah satu diantara muridnya.
Jika murid merasa mampu dan menuaikan perintah guru, murid pun juga merasa
bahagia sekolahnya, tapi kalau siswa diperlakukan guru secara tidak adil rasanya murid tak
nyaman jika berhadapan dengan guru. Dan selama yang saya rasakan pilih kasih guru itu bukan
karena anak siapa dan status sosialnya, tapi karena prestasi seorang siswa dalam belajar di
sekolah. Apalagi kalau kelakuan murid itu sopan dan santun.
Dari pengalaman itu, lama setelah aku jadi anak kota, rasa rendah diriku semakain
hilang, dan aku tak merasa jadi Kamso lagi Kamso julukan yang biasa di ucapkan orang
sombong untuk anak kampung dan ndeso. Ibu pun merasa ikut bangga dan bahagia jika aku
berprestasi dalam mengikuti pelajaran. Mungkin biyungku juga demikian, hanya aku tak
pernah mendengar pujian dari beliau secara langsung. Yang saya rasakan, biyungku memberi
kebebasan, aku tak diminta dan disuruh membantu orang tua seperti anak – anak seusiaku di
desa pada umumnya.
Namun aku juga tak mau menganggab pekerjaan bertani adalah pekerjaan rendah,
untuk itulah sekali – kali aku membantu kakakku. Walaupun belum tentu dapat meringankan
pekerjaannya. Setidak – tidaknya aku mengenal pekerjaan orang – orang tani didesaku. Maka
aku diminta membantu bercocok tanam mbah Karso.
Bahkan aku pernah dititipkan satu dua hari ke pakdeku di kampung lain yang sawah
ladangnya luas, yaitu kakek biyungku yang kupanggil pakde Dondeles. Di situlah aku ikut, tau
bagaimana aku tau caranya mengurus sawah dan memanen palawija. Dan aku pulang diberi
oleh – oleh hasil tani palawija dan sayur – sayuran kubawa ke kota. Membuat ibuku dikota
Wonogiri tak jadi memarahiku karena merasa kutinggal lebih dua hari, ibu kehilangan, sebab
peranku sebagai pembersih lingkungan dan mengawasi adik – adik tak seperti sehari – hari
kalau aku ada.

.........................0000...........................
58

15
MENJADI KETUA ORGANISASI
DI OLAH RAGA DAN SENI

S
enin pagi sebagaimana biasa Upacara Bendera berlangsung sebelum pelajar mengajar
dimulai. Dalam pidato sambutannya Irup ( Inspektur Upacara) menegaskan tentang
Tatip Sekolah dan intruksi antara lain :
1. Bahwa dilingkungan sekolah tidak boleh mengenakan topi met organisasi pelajar
apapun, agar kesatuan siswa tidak terkotak – kotak. dilarang berlaku arogan
menyingkapi perbedaan yang ada di lingkungan sekolah.
2. Dalam petuahnya Irup mengibaratkan sekolah kami sebagai taman bunga yang beragam
tanamannya, tapi jangan ada gulma diantara tanaman itu. Contohnya Benalu dan
rumput liar seperti Ilalang, dan rumput Teki harus disingkirkan.

Selesai upacara pak guru dan siswa menyikapi isi pidato Irup beragam, ada pro dan
kontra. Yang pro menilai sambutannya bagus tetapi ada pula yang terpojok. Secara pribadi saya
menilai, berkaitan dengan pembicaran dengan K S diruangan beliau Sabtu lalu selepas
sekolah, tetapi amanah beliau, tak kan ku sampaikan kepada siapa pun.
Diluar dugaku, pak Mofid, guru bahasa itu Jumat siang memanggil saya, meminjami
buku cetak Bahasa Indonesia jilid III. Tapi Sabtunya sepulang sekolah aku disuruh
mengembalikan karena dipakai ngajar kelas sore yaitu SMP Netral. Sabtu, sepulang sekolah
aku langsung kerumah beliau, setelah titip pesan temanku bahwa aku pulang terlambat, agar
adik – adik ku dirumah tak menunggu makan siang.
Sesampai kediaman, istri pak Mo. Bu telah menunggu di warung. Tak pikir urusan
dacin ternyata dugaanku meleset. Pak Mo mengajakku makan siang dulu. Selesai makan baru
aku diajak bicara agak serius yang berkaitan dengan pidato Kepala Sekolah hari Senin yang
lalu. Sebetulnya aku malu makan dirumah guru, tapi dengan bujukan yang sulit kutolak. :
”Ade tahu, maksud instruksi pak K.S saat upacara bendera Senin yang lalu, apa yang
kamu tangkap intinya?” tanya pak Mo setelah makan
”Ya, tau pak, tentang larangan memakai atribut organisasi pelajar di lingkungan sekolah
kita. Dan jaga nama baik sekolah, juga toleransi diantara kita tapi yang belum paham kata
Arogansi itu pak apa artinya?” tanyaku dengan serius
”Kabarnya, Ade dipanggil pak KS terkait tentang surat ketua POMG mengenai adanya
pungli dikalangan murid untuk acara Tour,” tanya pak Mo lagi
”Bapak dengar dari siapa? Mohon maaf, saya tidak boleh menjelaskan, kepada
siapapun, namun karena bapak sudah dengar, sebetulnya iya, benar,” jawabku memohon
”Baiklah kalau begitu, Ade belajar lebih serius saja kurangi kegiatan diluar sekolah. Itu
yang penting, yang sudah terjadi sebagai pengalaman saja itulah suka duka beroganisasi! Ok
sudah ya !!” nasehat pak Mo
”Iya pak terima kasih nasehat bapak, kebetulan ada surat dari bapak kami yang
menekankan begitu, mohon dukungan,” jawabku
”Oh ya, siapa bapakmu kabarnya kamu anak yatim?” tanya pak Mo penasaran
”Bapak, yang saya ngengeri pak!! Beliau seorang militer yang sekarang ini sedang ada di
perbatasan. Seminggu yang lalu mengirimi surat ke Ade” jawabku menutup obrolan
Aku pamit pulang, sepanjang perjalanan aku merasa heran, ternyata yang diluar
dugaanku, malah pak Mo tau, apa yang menjadi kerisauanku akhir – akhir ini. Maka, mulai
59

hari itu aku fokus ke pelajaran dan pengabdian terhadap orang – orang yang empati kepadaku.
Agar target lulus SMP tercapai. Ya Lulus itu saja dulu, baru yang lain.
Pukul 02.00 siang aku tiba di rumah—seperti biasa aku langsung ke halaman belakang,
sebagaimana biasanya kami menaruh sepeda. Kulihat dua adik – adikku sedang membaca
dibawah pohon. Saking asyiknya menyambutku pun pandangannya tak lepas dari buku,
rupanya yang dibaca komik.
”Kok cepat mas, saya kira sampai sore,” sapa dik Pur
”Aku khawatir kalian menunggu lama dik” jawabku sambil masuk --- ”Kok, belum
pada makan?” hayo cuci tangan,” tegurku lagi, setelah kulihat meja makan masih rapi.
Kami bertiga makan siang --- sambil ngomong –ngomong ringan tentang pesan ibu. Ibu
tak ada juga dik Tri si kecil – katanya ke Nguter dengan bude Man --- undangan manten. Atas
didikkan di kota, tak boleh kami makan masing –masing, kecuali dik Tri yang masih kecil.
Sudah setahun lebih aku menjadi keluarga ini ’kakak dari mereka tertua. Aku harus menemani
adik – adik makan sampai suap terakhir, sebagai pengganti Ibu. Kebiasaan Ibu, makan mereka
di cereweti, agar makannya benar. Bukan semaunya sendiri terutama dik Wik yang makannya
harus diawasi karena dan tak suka sayur, tapi senang kecap.
”Hayo dihabisi—terus cuci piring!” kataku mendidik kepada dik Pur.
Aku tak mengatakan bahwa sudah makan dirumah guru. Takut mereka kecewa.
Kalaupun kukatakan, dia juga tak percaya. Karena makan dirumah guru adalah langka pada
jaman itu kecuali famili. Selesai makan, kubongkar tas, aku kaget --- buku pak Mo terbawa;
”Dik buku diklat pak Mo lupa --- kubawa pulang mau kuantar dulu ya !!”pamitku
”Mas Ade tadi kan kerumah pak Mo” tanya dik Ning heran
”Iya tapi diajak ngobrol dan buru – buru pulang aku lupa, padahal tujuanku kesana
disuruh mengantar buku?” jawabku sambil ambil sepeda. ”Mas pergi sebentar ya.”
Tak kudengar jawaban mereka, kukebut sepedaku menuju sekolahan. Pikirku beliau
mengajar di SMP Netral ternyata di sekolahan tak ada. Aku ke rumah beliau kata ibu Mo,
Bapak tak ngajar hari itu, entah kenapa.
”Bapak istirahat!! bawa saja pulang, Senin pagi kan ketemu lagi.”
” Iya, bu mohon maaf dan terima kasih,” jawabku sambil pamit.
Aku pulang dengan santai. Beraktivitas seperti biasa--- setelah membolak balik buku
cetakan itu. Aku merasa bangga dapat membaca buku yang hanya di miliki guru. Kuperhatikan
betul – betul.
“MasAde kok lama betul ? “ tegur dik Pur tak sabar
”Iya, mas Ade mendapat ”Durian runtuh “ jawabku dengan peribahasa yang ada di
buku bahasa itu
”Aku mau !!” teriak dik wik dari belakang “ Durian -- aku belum pernah makan
durian,” kata dik Wik lagi sambil memegang tanganku
Kami berdua tertawa melihat dik Wik – salah paham. Dik Wik tersipu malu. Aku tarik
kepalanya kuusap dan kucium dengan sayang dan kujelaskan
” Dik, bukan mendapat durian, itu pribahasa, Yang artinya, ini hari mas Ade mendapat
pinjaman buku bagus dari pak Guru, jadi Mas bisa baca sepuasnya begitu,” jelasku sambil
memeluk adikku yang baru TK itu ke kamar mandi , selanjutnya kuantar bubuk dikamar.
Dik Wik sering kudongengi Kleting Kuning tapi siang itu kudongengi Si Pengembala
Kambing, tapi belum usai dia sudah tidur. Baru ku urus mbaknya yang kelas II SR itu. Dik
Pur, dia sudah bisa ngurus dirinya sendiri, dikamar ibu padahal biasanya berdua sekamar
dengan dik Wik. ”Masa bodoh toh ibu tak ada,” pikirku.
60

Kulihat kedapur kubereskan piring. Setelah kucuci beres, baru aku ambil buku terus
ke bawah pohon. Aku belajar sambil menyapu halaman. Tak lama kemudian ibu datang
mengendong dik Tri rupanya tidur juga.
”Anak-anak kemana mas?” tanya ibu sambil mbopong dik Tri ke kamar biasanya
”Bubuk bu — baru lima belas menit kok” jawabku merasa salah
”Kok jam segini baru pad bubuk ? ”
Tanpa kujawab kubantu ibu membuka pintu. Ibu kaget melihat dik Pur tidur dikamar
ibu. Selanjutnya kutinggal mereka. Entah apa yang terjadi. Tiba – tiba dik Pur bangun, duduk
di bangku bawah pohon, rambutnya semrawut, wajahnya kusut. Aku paham, dia diusir ibu dari
kamar. Situasi pasti gaduh, aku siap menghadapi, ingat nasehat bapak. ”Nak Ade bahwa ibu
orang tak sabaran seperti bapak.”
Sore itu ibu selesai menidurkan adik yang paling kecil kulihat memeriksa dapur, tak
lama kemudian memanggilku.
”Mas kenapa adikmu kok baru pada bubuk siang ?’
”Yang salah saya bu, karena pulang terlambat dipanggil pak Mo guru bahasa.”
”Mas pulang jam berapa baru ditinggal ibu undangan kok kacau?”
”Jam dua bu adik – adik tak mau makan duluan. Setelah saya datang baru mereka mau
makan.”
”Ada apa pak guru manggil ke rumah beliau?”
”Ada masalah disekolahan bu, pak Mo ingin tau saja.”
”Mas punya masalah di sekolahan?”
”Bukan masalah saya bu sebetulnya hanya saya diminta informasi kebenarannya, dan
sebetulnya sudah selesai.”
”Aku ingin tau lho mas, jangan sampai seperti dulu itu. Sebaiknya ceritakan ke ibu, agar
ibu tak was – was.”
”Baik bu, sebetulnya sudah lama kasus itu, dan tak menyangkut masalah sekolahku.
Ketika itu hari Sabtu, menjelang pulang sekolah saya ditemui pak Slamet kepala TU;
”Ade, dipanggil Kepsek sekarang juga ditunggu di Ruang beliau,” Kata pak Met.
Aku terkejut juga. Kupikir ada tindakan saya yang melanggar Tatip sekolah. Tapi
mengapa, yang memanggil kok K S --- ternyata ada sekretaris POMG, pak Ran namanya.
Setelah menghadap pak KS, saya disuruh duduk, pak KS membuka pembicaraan :
”Mas Ade, kaget saya panggil mendadak ?”
”Ya pak, kebetulan juga sudah kasih tau yang dirumah bahwa saya pulang terlambat.”
”Ada yang tau, bahwa kamu saya panggil kesini?”
”Ya tak ada pak, karena pak Mat memberitahunya semua sudah pulang dan juga
mendadak.”
”Kenal pak Ran, ini ?”
“Kenal pak beliau kalau tak salah sekretaris POMG bapaknya dik Wi teman kelas I A
dulu.”
”Ok betul, kita mulai saja kebetulan ada hubunganya dengan POMG dan pembicaraan
ini hanya kita yang tau saja. Begini, minggu yang lalu kabarnya ada kegiatan tour olah raga
persahabatan ke Baturetno, betul?”
”Betul pak tapi saya tak ikut, karena tak dilibatkan!”
”Lho, Ade --- kan ketua umum Olah Raga, masa tak dilibatkan ada apa sebetulnya?”
”Kalau sebetulnya malah sudah lama terjadi pak, seusai lomba gerak jalan indah bulan
Oktober lalu. Ya,---betul, sejak itu saya tak pernah diajak bicara lagi hal yang menyangkut
kegiatan olah raga, padahal saya masih ketua umum,”
”Tunggu, kok rasanya tak mungkin, sebab sering kamu saya lihat masih aktif menjadi
penjaga gawang.”
61

”Iya pak betul tapi sebagai pemain saja !”


”Sebetulnya ada apa, ada akibat pasti ada sebab.”
”Sejujurnya saya tidak setuju jika --- kegiatan pelajar disekolah mengatas namakan
Organisasi Pelajar yang berafiliasi partai politik.”
”Kongkritnya apa yang terjadi?”
Akhirnya kuceritakan semua --- apa yang terjadi selama ini, khususnya tentang tour
olahraga ke Baturetno itu. Menyikapi kebijaksanaan guru PD yang tak populer itu, saya
katakan sebagai pengalaman saja, bagaimana berorganisasi. Walaupun sering melawan arus.
Setelah kuceritakan semua, pak KS juga menanyakan tentang organisasi pelajar yang
sedang marak ketika itu.
”Apa kegiatan mu di organisasi pelajar.”
”Saya tak ikut organisasi pelajar apapun pak, karena dilarang orang tua saya kecuali
kegiatan Pandu, Olahraga dan Kesenian.”
”Kesenian juga ada yang mengatas namakan partai misalnya LKN, ada juga Lekra, dll.”
”Ya pak saya juga mengetahui itu tapi tak terlibat organisasinya. Maka saya belajar
drama dari pak Gon di aula SMP, kalau kerawaitan atas bimbingan pak Marwanto guru
kesenian, yang sulit dipisahkan jika Volly & Sepak Bola. Tapi saya melakukan secara
profesional pak.”
”Ok.. kalau begitu selesai, kita pulang kamu naik apa?”
“ Naik sepeda pak, baru mau kuambil di bengkel depan Lapas.”
“Ayo bareng saya mau goncengan saya kan lewat depan Lapas.”
”Oh... ya terima kasih pak ran, kebetulan lewat Lapas.”
Setelah ambil sepeda yang menjadi tanda tanya saya. Apa yang akan terjadi dan kepada
siapa saya diskusi, tapi tidak mungkin karena sementara tidak boleh bicara pada siapa pun
tentan masalahini. Hanya pasrah saja apa yang terjadi terjadilah.
”Yaitu saja bu masalahnya, maka pak Mo tadi memanggil saya sepulang sekolah.”
”Mas bilang apa kepada pak Mofid?”
”Saya kasih tau beliau bahwa saya tak boleh ngomomg ke siapa pun hanya karena ibu
saja hal ini saya kasih tau , habis ibu curiga sih.”
” Ya sudah ibu juga tak ingin tau urusan sekolah kok.”
62

16 SEKOLAH LANJUT KE KOTA BENGAWAN


MIMPI BIYUNG KUPERJUANGKAN

M
enghadapi ujian akhir SMP, tak seperti saat aku melakukan persiapan ujian
tiga tahun lalu yaitu ujian akhir SD. Ketika kelas VI SD nilai ujian akhir
semester rapotku diatas rata – rata, rasanya tak perlu persiapan extra.
Disamping itu dikampung ketika itu aku dibebaskan belajar dimana saja, tak terganggu
oleh kewajiban seperti di kota tempat belajar pun aku dapat memilih dimana aku suka, kadang
– kadang ditepi Begawan Solo dibawah pohon rindang yang sepi, malah aku pernah belajar di
bangunan makam, hanya semata – mata tak mau terganggu.
Dikota menjelang ujian, tak banyak waktu itu pasti, nilai semester II pun tak
memuaskan. Pernah terpikir ingin bimbingan mas Hartono ataupun mbak Tati, tapi
kuurungkan, aku tau diriku siapa. Rasanya perlu senior yang iklas membantuku. Tapi siapa ?
Alhamdulillah,saat aku pulang kampung, biyungku mengingatkan, bahwa anak pakde
di gunung ada yang sekolah di kota. Oh ya mbak Har aku baru ingat tapi sekarang dimana?
Dari kabar yang kudengar sekarang tinggal di Solo, mencari pekerjaan di kota sementara ikut
bulikku di Gading, sepupu bapak – yang dulu semasa kecilnya dibesarkan bersama oleh
simbah Gunung.
Aku ingat bulikku saat bapak meninggal, seusai pemakaman beliau bermaksud
mengajak aku, untuk di ambil sebagai anak dan akan di sekolahkan. Kebetulan bulik Nah tak
punya anak juga seperti lik Mul.
Tapi ketika itu ada yang menghasutku, katanya bulik Nah jadi orang kaya karena punya
sugihan. Tak peduli rumor murahan itu, aku mencari mbak yu Har, diantar kang Bejo, anak
pakde Kromo itu. Puji syukur aku bisa ketemu di rumah makan terkenal itu yaitu Warung
Pecel ”Gading.” Kebetulan bulik mendukung, akhirnya dengan segala upaya mbak Har mau
membimbing aku belajar di Wonogiri dengan syarat, setelah lulus aku harus bergabung bulik,
dan sekolah di Solo. Karena bulik sangat menginginkan aku menjadi anak beliau bersama
mbak Har.
”Tapi mbak, aku harus ijin dulu ibu Pokoh.”
”Kalau tak diijinkan ? ”
”Aku binggung mbak, ibu sudah menganggap aku sebagai anaknya.”
”Coba ----- beri jawaban yang jujur, agar aku punya alasan yang bisa di terima ibu
Pokoh itu jika Ade harus pindah sekolah ke Solo.”
Atas desakan mbakyuku, kuceritakan kronologis ngengerku. Dari gara-gara sepak bola
sampai di fasilitasi mbak Tati. Sampai dianggab anak sendiri-----karena diperlukan momong
anak-anaknya yang masih kecil-kecil yang pertama pun masih kelas III SR. Sedangkan
bapaknya seorang anggota ABRI yang sedang bertugas diperbatasanya dengan Malaysia.
”Aku punya ide, kalau Ade mau!!!”
”Begini, nilai raportmu kan kurang bagus. Tapi bakat menggambarmu kamu cocoknya
melanjutkan ke STM tapi di Wonogiri belum ada. Itu alasan yang paling tepat.”
”STM ? bisakah dari SMP ?”
”Bisa, tapi lewat tes masuk.”
”Oke kalau begitu, dulu aku diterima di ST juga tes dulu.”
”Nah kalau begitu alasan yang paling jitu ya itu, satu –satunya.”
”Akan kusampaikan mbak ke ibu, tapi setelah lulus SMP kan.”
63

”Iya dong, aku juga mau menemui mbak Tati jika masih di Wonogiri, mudah-mudahan
mbah Tati mau mengerti, dan bisa membantu.”
”Jadi aku harus bagai mana mbak ?” Tanyaku selanjutnya
”Kita besok pulang ke Wonogiri mampir Jenggrik, kita beerunding disana ... oke...
Atas, ide mbak Har membuat aku lega walau masih ada yang mengganjal. ”Jangan–
jangan ibu” batinku agak bimbang. Melihat aku seperti ragu, Mbak Har memberi semangat,
sambil beranjak dari meja kami berunding ---- kulihat kang Bejo duduk diluar warung, entah
apa yang dipikirkan sepupuku yang dijuluki si tukang jalan.
Tiba – tiba terasa ada yang memegang pundakku, setelah aku menoleh ternyata
bulikku menyuruhku makan dulu. Aku diajak pindah meja yang sudah disiapkan nasi dan lauk
pauknya. Aku dilayani bahkan ditunggui saat aku makan bersama mbak Har. Selama makan
bulik selalu melayani aku layaknya ibu yang baru ketemu anaknya dari rantauan.
Malam itu aku menginap di rumah kontrakan bulik tak jauh dari warung makan.
Disitulah bulik tinggal dan tidur selama di Solo. Sebelum tidur aku di ajak bicara bulik, ditanya
macam-macam tentang dikampung --- sampai aku punya pikiran mencari mbak Har ke Solo.
Paginya kami bertiga kembali ke Wonogiri---naik kereta api pukul 7.15 menit. Tiba di
Wonogiri pukul 8.30. Kami tak turun di stasiun kota---tapi di stasiun Somoulun, dengan
maksud lebih dekat kampung Jenggrik---- dimana mbak Har tinggal kost dulu, semasa masih di
SPG. Aku ingat dik Wi putra pak Ran sekretaris POMG itu. Yang katanya tinggal di kampung
ini.
Sesampai di rumah yang kami tuju, aku kaget. Ternyata rumahnya kang Sono, kakak
kang Bejo. Maka begitu yu Sono melihat aku, riuhlah suasana. Karena dulu kami bertetangga
saat masih ikut lik Mul di Gunung ---lima tahun lalu. Dulu aku memanggil Yu Pono----karena
anak pertamanya bernama Pono.
Singkat cerita rumah yu Pono kujadikan tempat bimbel bersama dik Wi. Aku di
bimbing cara belajar dan metode menyimak ilmu yang kami pelajari dengan seksama.
Ternyata, tak sesusah yang kami bayangkan. Setelah kami berdua saling diskusi tentang mata
pelajaran--- mengikuti Ujian Nasional pun tak begitu sulit.
Saat kami berdua dengan dik Wi dinyatakan lulus. Mbak Har segera kukabari. Aku di
minta ke Solo sendiri segera setelah menerima kelulusan.
Aku menghadap ibu secara khusus dengan maksud memberi tau bahwa aku mohon ijin
meneruskan sekolah di Solo, ibu kaget. Tak spontan menjawab----rupanya ibu belum ihklas.
Maka setelah adik - adik tidur siang, baru aku dipanggil ibu ke kursi ruang tamu.
”Mas, tadi mas Ade serius mau melanjutkan sekolah di Solo.”
”Iya bu” jawabku takut-takut
”Kenapa ke Solo disini SMA ada, dan lebih dekat dari rumah kita ?”
”Aku tak cocok di SMA bu, menurut pak Gon cocoknya aku di STM, karena selama
ini kata pak Gon, aku bakat gambar demikian juga Paspol.”
”Siapa pak Gon ?”
”Itu lo bu, guru menggambar yang badannya gemuk.”
”Kok bisa dia yang menentukan dari pada ibu ? ”
”Dari penilaian pak Gon, selama ini hasil gambarku yang terbaik.”
”mengapa harus di Solo apa pasti diterima ? ”
”Ya belum pasti bu, kan saya belum mendaftarkan ? ”
”Mengapa harus ke Solo?”
”Disini kan belum ada STM bu !”
”Terus ---adik-adikmu apalagi Yani, sebetulnya mas........” ibu tak meneruskan kata-
katanya. Aku terdiam tidak tau apa yang harus kukatakan. Namun aku tau apa yang dirasakan
ibu.
64

Adik-adik masih menjadi beban pikiranku. Selama ini sudah menganggab aku
kakaknya sendiri. Aku sadar betul aku bukan pembimbing yang baik hanya teman bermain,
kecuali jika ada PR. Selalu yang jadi tumpuannya aku. Juga kalau kemana-mana. Aku yang
harus mengantar dan sebagai pengganti ibu jika ibu tidak ada dirumah.
Setelah suasana tenang, aku pamit ibu untuk beberapa hari, ingin mencari sekolah di
Solo. Ibu tak kukasih tau, bahwa ada mbak Har yang lincah dan bulikku yang cukup mapan di
Solo. Tak pikir lama-lama ibu pasti tau. Yang harus kujaga dengan hati-hati adalah ibu. Jangan
sampai timbul perasaan kecewa berat.
Selanjutnya, aku menemui biyungku di kampung. Yang sementara ini belum tau bahwa
aku sudah lulus. Cuma biyung senang bahwa aku pulang dengan wajah cerah dan sehat. Beliau
tak pernah tanya tentang kelulusan apa lagi pilihan sekolah. Biyung setiap kukasih tau tentang
kabar baik, yang selalu diucapkan kandulilah. Malah yang sering kuberitahu tentang hal
sekolahku adalah mbah Sonomo, tetanggaku yang selalu bangga dan memperhatikan sepak
terjangku. Kakak pertamaku pun hanya main perasaan—tak banyak komentar seperti biyung
juga. Setelah kulapori bahwa aku mau melanjutkan sekolah ke Solo. Kakakku itu tak komentar
apapun, tak juga bertanya. Apa tak paham ?” begitu saja. Aku maklum, beliau tak dapat
memahami tentang jalan pikiranku, namun kuhormati karena sebagai pengganti Bapak (Alm).
Maka Malam menjelang ke Solo, aku sengaja menghadap biyung dan kakakku tertua.
Kusampaikan kepada kedua orang tuaku bahwa aku sudah selesai sekolah di Wonogiri dan
kuutarkan rencanaku. Bahwa aku mau melanjutkan ke Solo, tampak dari perangainya kedua
orang tuaku itu---senang dan tanda tanya
”Kamu lulus ”tanya biyung
”Iya yung, berkat doa orang tua” kataku
”Kandulilah –ya syukur,” komentar biyung senang
”Terus bisa kerja di mana?” tanya biyung
”Ya belum ta---kan harus nglamar-nglamar dulu,” sahut kang Jo
”Aku mau sekolah lagi di Solo yung ,” kataku menjelaskan
”Kok sekolah lagi katanya lulus?” Tanya biyung ingin tau
”Melanjutkan yung, biar kalau kerja besar gajinya,” jawabku menjelaskan
Rupanya biyung dan kakakku belum faham. Maka ku terangkan selengkapnya dengan
cara sederhana. Kalaupun kuutarakan secara detail mereka tak bakal faham juga, ”maklum”
batinku
”Tapi bagaimana—keadaan orangtua seperti ini,” kata kang Jo
”Mudah-mudahan aku tak merepotkan orang tua kang.”
”Sambil kerja?” tanya biyung penasaran.
”Aku baru mau mencari sekolah di Solo yung, ya ndak tau nanti kalau sambil kerja.”
”Bulikmu Sakinah dulu bilang ........ !!” biyung tak meneruskan
”Ya, yung betul aku mau ke lik Nah dulu sudah janji dengan mbak Harjuti” jawabku.
”Apa Juti--- juga di Solo kabarnya sih dulu mau ikut bulik mu juga ?”
”Betul yung aku mau dicarikan sekolahan mbak Har, dan ikut bulik disana.”
”Apa dia belum ngajar?” tanya kang Jo memotong
”Belum kang tunggu panggilan dan cari lowongan ngajar di Solo.”
Biyung cepat meninggalkan kami, tak lama kemudian membawa uang hasil jual pala
wijo. Rupanya mau diserahkan ke saya. Beliau menghitung uang simpanan itu, tapi aku bilang
”Yung, aku belum perlu uang banyak, nanti saja, aku pulang lagi, kalau sudah dapat
sekolahan, kata mbak Har biaya sekolah tak usah khawatir.”
”Aaah aku tak ngerti! Kamu sudah bilang sama ibu Wonogiri kalau mau pindah
Solo?”
65

”Sudah yung beres, pokoknya setelah pulang dari Solo baru ambil apa yang
kuperlukan, dan mungkin juga kembali sekolah ---- di Wonogiri ! kan belum tentu dapat
sekolah di Solo.”
”Ah aku tak mudeng jo, katanya di Solo kok ke Wonogiri lagi.”
Kang jo ketempat tidurnya ---- biyung masuk kamar sambil membawa uang segepok?
Aku ngantuk ---- terus tidur ke tempat dulu, dipan tua dengan tikar pandan, tercium bau
petisida --- rupanya habis disemprot obat pembasmi hama. ”Pikirku”
Paginya sekitar pukul delapan aku pamit ke Solo. Sebelum sampai di stasiun
Gudangdondong, aku mampir rumah sepupu. Kebetulan Martini ----- sepupuku ada
dirumanya.
”Dik Mar, apa kabar. Kok kamu tambah gemuk ?” sapaku setelah ketemu.
”Eee, mas Ade! Wih jadi anak kota lupa ya sama aku, ” jawabnya ramah.
”Mau tanya dik, kalau mau ke Gading Solo naik kereta turun dimana?”
”Mau ke Solo mas ? ” tanya Martini
”Iya cari sekolah, aku mau melanjutkan di Solo!!!!! ”
”Ya turun Sarpon --- terus naik becak, ndak jauh kok mas dari Sarpon. Kan dulu sering
ke Solo kok lupa ? ” jawabnya mengingatkan aku
”Dulu kan jalan kaki setelah turun kereta? ” tanyaku lagi mengingatkan
”Itu kalau ke rumah mbah Jogo di Grogolan mas, dekat stasiun pasar Pon.”
”Oo gitu.... oke aku terus ya, tak usah sibuk,” pamitku
”Kok cepat, mau naik kereta jam sebelas kan masih lama lho mas?” Jawabnya
mengingatkan ku
”Oh iya ya .... kalau ke Solo kereta kedua jam 11,” ternyata aku lupa.
Karena masih dua jam lebih, aku dibuatkan sarapan dan ngobrol tentang Solo.
Memang sepupuku satu ini perempuan yang paling setia dengan saya. Bahkan setelah sarapan
nasi liwet istimewa aku diantar ke stasiun, kaya aku mau merantau lama.
Pukul 11 lewat sedikit kereta tiba dari Baturetno. Setelah istirahat menurunkan
penumpang, kereta tua itu ngos-ngosan bergerak pelan menuju Solo lewat Wonogiri Kota.
Sebelum berhenti di stasiun Wonogiri, aku menoleh ke lapangan sepak bola, satu – satunya
yang ada di ibu kota Wonogiri ini.
Tak lama kemudian rem kereta berdenyit keras, tanda tinggal hitungan detik kereta
peninggalan Belanda itu berhenti. Di stasiun yang terletak di kaki Gunung Gandul itu,
penumpang yang turun tak banyak. Begitu pula yang naik, karena waktu tanggung, biasanya
begitu. Kecuali kalau pagi, anak sekolah dan pedagang penuh sesak.
Dibawah, berdiri di peron, kulihat Endang bersama ibunya. Aku hampir teriak
memanggil, tapi ku urungkan. Rasanya tak etis. Apalagi ada ibunya dengan kain kebaya
tampak berwibawa. Ternyata dia juga naik kereta ini. Aku bersikap tenang---- pura –pura tak
melihat --- tak taunya dia lewat di sela-sela penumpang satu gerbong dengan aku, terpaksa aku
harus menegurnya dengan sopan.
”Mbak Endang.”
”Eee kamu, mau kemana?” tanyanya tanpa espresi
”Ke Solo mbak!”
”Ade meneruskan sekolah dimana?”
”Rencananya ke Solo mbak. Selamat siang bu,” sapaku kepada ibu Endang
”Eee, nak Ade.... ibu ke depan ya!!” kata ibu Endang
Dialog kami hanya basa-basi. Karena aku tau diri, mereka priyayi kota. Bapaknya
Endang pejabat Kantor Agraria namanya Soegiarto. Maka nama Endang, lengkap adalah
Endang Sugiarti. Aku tak berminat ngobrol. Aku menjadi ingat akan ----- Biyungku, yang begitu
66

gigih berjuang untuk saya. Yang paling mengesankan walau tak seperti ibu Endang tapi
perhatian Biyung sangat luar biasa.
Kuingat ketika aku sudah ngenger di Wonogiri kota. Biasanya, dua minggu sekali, hari
itu tak jadi pulang karena bertepatan dengan pertandingan sepak bola. Pagi hari aku sudah
pesan kepada tetanggaku di kampung bahwa sore itu aku tak pulang sudah biasa, jika ada hal
penting aku selalu titip pesan orang kampung yang ke pasar atau sepulang dari pasar ketemu
didepan sekolah. Dan tetanggaku pun dengan senang menyampaikan.
Yang mengejutkan, sorenya saat aku baru kurang lebih lima belas menit dibawah mistar
gawang, dipanggil Endhang, disuruh keluar sebentar, katanya Biyungku menunggu dibawah
pohon Waru. Sekitar 20 m dari arah belakang gawangku. Spontan aku bilang sama mas Yon
back kanan kesebelasanku. Aku melewati kerumunan penonton secepatnya menemui
biyungku yang lagi duduk nginang ---- menguyah sirih. Kutubruk beliau, kaget sejenak, tanpa
basa basi menyerahkan bungkusan entah apa isinya. Secepatnya kusungkem dan kumohon
segera pulang saja, karena sudah sore khawatir kemalaman dijalan. Begitu ketemu tampak lega
orangtuaku itu. Dilapangan terjadi sorakan penonton tak kira gawangku terjadi gol. Ternyata
hanya pas bola mengarah kedaerah pertahanan backku, saat kipernya tak ada.
Waktu istirahat 10 menit di sela pertandingan kubuka serbet pembungkus tadi, ternyata
isinya, satu buah sirsak besar, sirikaya, dan telor ayam tiga butir. Buah – buahan buat rebutan
teman - temanku telor kusimpan ditas kecilku, dan makian kuterima dari Mas Yon. Selesai
pertandingan kucari, Endhang, kutanya mbah Mat penjual dawet tua itu.
”Mana mbak Endhang,” tanyaku ke mbah Mat.
”Tumben mencari selama ini kan tak teguran ada apa?” jawab mbah Slamet sambil
nyindir
”Tadikan ada biyungku ke lapangan gara – gara dia?” jawabku
”Ya salah to, kebalik, malah gara – gara biyungmu, Endhang terpaksa mencari kamu.
Ada hikmahnyakan iyakan, ternyata Endhang orangnya tak pendendam, coba kalau tak ada
dia, biyungmu ...? jawab mbah Slamet membela cucunya.
mBah Mat, tak meneruskan kata–katanya ---- Aku pun paham betapa susahnya
biyungku ------ seandainya menunggu aku selesai main sepakbola. Maka kutanyakan kepada
mbah Mat
”Kenapa bungkusan tadi tak diterimakan dulu saja, kok harus menunggu dipinggir
lapangan?”
”Mungkin takut tak sampai, atau ku makan,” Jawab mbah Mat bercanda.
Untung Endhang segera datang, mendengar dialog kami. Berlagak menengahi
”Bukan begitu mbah, Biyungnya juga ingin melihat anaknya main sepak bola. Dia kan
anak kesayanganya,” seloroh Endhang tiba - tiba.
Mendengar gurauan spontan tadi mbah Mat tertawa lepas begitu pula mas Slamet.
Walaupun masih mengenakan sarung belum berbaju. Kulirik Endhang juga tersenyum, maka
aku buru – buru mengambil telor ayam di tasku langsung Endhang ku dekati;
”Mbak atas jasamu telor ayam dari Biyungku ini, untuk mbak Endhang saja. Saya
Ikhlas, benar---dan maafkan kekhilafan saya yang lalu! Betul mBak saya sadar ternyata aku
salah,” kataku sambil menyodorkan telur ayam.
Melihat dan mendengar tuturku yang rendah itu malah mBah Mat juga pura – pura iri,
dan menanyakan bagiannya. Aku sulit mengatakan, namun mas Slamet menjawab ”Yang
lainnya sudah habis disikat anak – anak bisa jadi Ade tak kebagian, karena begitu dibuka isinya
Sirsak dana Srikaya. Kulihat Ade cuma ambil telur terus pergi kok,” Kupotong jawaban mas
Slamet pembelaku itu.
”Mas aku tak kebagian tak apa. Yang penting hari ini saya merasa bahagia, karena
67

Mbak Endhang telah memaafkanku,” Kataku sebagai penutup.


”Ade, dengarkan aku ya ngger, ini bukti kasih sayang Biyungmu yang tak kamu sadari.
Coba pikir hanya sirsak, srikaya, telor ayam kok mau – maunya jalan kaki jauh-jauh, mungkin
juga kemalaman pulangnya. Itu karena membela kamu, demi anak. Maka ngger, besok kalau
kamu sudah jadi orang, jangan kau abaikan Biyungmu. Tak ada orang tua yang ingin anaknya
susah, tak ada orang tua yang mengharapkan balasan anak. Orang tua seperti biyungmu ini tak
pernah berpikir balasanmu tapi kamu harus merasa punya hutang kepada orang tua. Kalaupun
kamu tidak bisa membuat senang orang tuamu, tapi jangan sekali –kali menyusahkan orang tua,
itu ya ngeer,” nasehat mBah Met yang penuh perhatian itu
Aku tercenung Mas Slamet ikut diam. Dan Endhang pamitan, dari balik pintu, sambil
mengatakan, bahwa makan malam sudah disiapkan. Aku belum sempat mandi, setelah
menyampaikan terima kasih, aku pamit pulang, membawa sejuta hikmah. Mas Slamet
pendidik yang baik ternyata merasa menjadi yatim seperti saya. Mbah putri Mat sayang kepada
saya, katanya saya anak penurut walaupun agak mbeling, yatim, aku tak minder bergaul, mau
mengakui jika bersalah, buktinya sudah ada dengan Endhang tadi katanya.
Saya sendiri merasakan walau, saudara sendiri belum tentu penuh perhatian seperti mas
Slamet. Bahkan ibunya mas Slamet perhatiannya kepadaku tak pernah akan kulupakan. Yaah
aku tak pernah melupakan keluarga mBah slamet warung dawet itu.
Ternyata aku melamun --- kusadari setelah suling kereta berbunyi nyaring menjelang
memasuki kawasan Pasar Pon, berarti aku telah sampai. Stasiun yang ku tuju yaitu Stasiun
Pasar Pon. Cuaca panas, penumpang bergegas turun. Setelah sampai stasiun aku ingin tahu apa
temanku yang berexpresi datar Endhang, apa juga turun di Solo. Tapi tak kulihat, ”masa
bodoh, ada apa dengan dia ?” batinku
Baru ingin bertanya, becak merah mendekati aku dengan bahasa yang sopan. Saya
salut, padahal sebetulnya aku mau bertanya, Gading berapa ongkosnya? Tapi tukang becak
merah tadi langsung bertanya padaku
”Gading mas?”
”Oh iya berapa” tanyaku
”Panjenengan mas Ade --- dari Wonogiri”
”Ya betul, ” jawabku hati – hati
”Kebetulan mas, aku disuruh jemput mas Ade.”
”Nama panjenengan siapa ?” tanyaku penuh selidik
”Namaku Siman, tapi kebanyakan manggil Simon.”
”Kok kang Simon tau aku ? ” tanyaku langsung naik ke becaknya
”Saya di suruh bu Nah ! pemilik warung pecel itu.”
”Tadi pagi kereta pertama datang aku sudah kesini mas dengan mbak Ti anak sulung
bu Nah itu !” kata kang Simon sambil mengayuh becak
”Ooo mbak Harjuti.”
”Ya ..... katanya kalau tak pagi, ya sekarang panjenengan datang .”
”Jangan –jangan yang dimaksud bukan saya kang? “ tanyaku menyakinkan
”Sudah pasti mas ---wong rambutnya, wajahnya aku tau.”
”Tau dari mana?”
”Ya dari mbak Ti itu, wong ---- mirip kok rambutnya!!!”
Dua puluh menit kemudian aku sudah sampai di warung Gading, bau bumbu pecel
khas sudah tercium . kang Simon mengurangi kecepatan.
”Itu mbak Ti sudah jemput nunggu di depan warung,”
Lega rasanya, setelah kulihat mbak Har sudah berdiri dengan senyumnya didepan
warung. Tanpa bayar becak, aku di peluk mbak Yu ... terus teriak melapor ke bulik.
”Bu, Ade sudah datang --- teriak mbak Har ke bulik.”
68

”Oo... sini-sini duduk di pojok sini, jangan didepan” kata bulik sambil memengang
tanganku. ”Har kamu ganti ibu, biar adik, ibu yang melayani,” kata bulik tampak ramah.
Karena tiga bulan lalu aku sudah ditunggu. Maka hari itu aku disambut luar biasa, tak
ada kekakuan. Malah bulik telah menyiapkan menu makan siang untukku. Sambil berbisik
bulik berbicara
”Mulai hari ini, Ade tak boleh seperti tamu, tau kan ” kata bulik
”Iya bu ..... jawabku sambil makan. Setelah makan aku diajak istirahat ke rumah
kontrakan yang dulu.
Pagi, hari kedua di kota Solo, aku diajak mBak Har mencari informasi tentang
sekolahan yang cocok untukku. Ada dua sekolahan yang dituju, yaitu STM Negeri Banjar Sari
atau yang swasta di Coyudan atau Jebres
Rencananya jika tak diterima di negeri kami ke STM Ganesa saja biarpun swasta, reputasinya
bagus. Aku dengar kabar dari temanku, masuk STM itu jika dari sekolah SMP harus melalui
tes dulu. Maka daftar semua saja. Nanti andaikan lulus tes semua tinggal pilih. “Seperti di
Wonogiri dulu ” Pikirku.
Yang paling mendorong semangatku dalam belajar di Solo adalah perhatian dan
perjuangan mBak Hardjuti kakak sepupuku ini, rasanya seperti kakakku sendiri. Mulai
kurasakan adalah ketika mengetahui bahwa ditinggal bapak untuk selamanya. Padahal kami
berdua tak mengenal dari kecil, bahkan saat aku ikut paklik Mul pun,kami tak pernah
bertemu. Mengapa mBak Har begitu sangat serius membela saya. Saat masih di SPG Wonogiri
aku hanya tau itu famili, paling – paling jika ada acara keluarga dapat ketemu, walaupun tak
saling menyapa.

----------------------oooo----------------------
69

17
“UJIAN” HIDUP DI KOTA

S
ingkat cerita selama hampir tiga belas hari, atas usaha keras mBak Har mengantar
kesana kemari di Solo. Alhamdulillah aku diterima di STM negeri malah satu
hari kemudian di Ganesa namaku tercatat no. 36 yang diterima disitu. Dengan
perasaan ceria, mBak Har mengajak aku diskusi di warung Soto di Coyudan yang terkenal itu.
Maka sambil pesan Soto mbak ku membuka pembicaraan:
”Dik sebelum Bulik tahu, kita harus punya pilihan dimana sebaiknya kita ambil
keputusan di Banjarsari atau disini saja. Disana jelas negeri tapi lebih jauh dari rumah
ketimbang disini gimana?” tanya mbak Har serius
”Kita pertimbangkan dari segi biaya mbak, katanya Swasta lebih mahal. Tapi teman –
temanku empat orang juga disini entah pertimbangan apa,” jawabku
”Begini saja, Ade kan sudah tau jalan – jalan selama ini di Solo, apa sebaiknya Ade cari
informasi yang lengkap, setelah mantap baru Ade tentukan gimana? Ade kan yang
berkepentingan langsung?” Nasehat mbak Har
”Mbak kalau gitu, tapi bagaimana dengan bulik beliau kan juga perlu dimintai
persetujuan?”
”Oh ya lupa, mulai hari ini bulik jangan dianggab tante kita. Pesan tadi malam kita
harus manggil ”Ibu” karena saking kepinginnya punya anak, apa lagi Ade datang, beliau
bahagia sekali. Seolah sekarang kata beliau hidupnya sudah lengkap anaknya dua laki – laki
dan perempuan siapkan kita membahagiakan beliau?” Tanya mbak Har dengan semangat
”Dari aku pasti siap mbak, hidupku rasanya ditakdirkan untuk siap ndherek Piyayi (
ikut orang) apalagi bulik kita sendiri, mungkin ini yang harus saya jalani kok mbak tapi apa ya
boleh tanyakan mbak?”
”Mumpung disini masih ada kesempatan Ade tanya saja, kalau di warung dirumah ---
sebaiknya jangan hal – hal seperti ini ditanyakan ya!” nasehat mbak Har
”Maaf ya mbak dulu lagi kita di Wonogiri kok mbak tak pernah nemui saya, padahal
sering kulihat mbak Har bersama mbak Tati,” tanyaku pingin tau
”Setahun terakhir aku menghadapi ujian dan kosku di Jengrek. Adik di Pokoh. Selain
itu Ade belum kukenali dengan sebenarnya. Padahal bapak sering tanya tentang Ade. Aku tau
bahwa adik di Pokoh pun dari mbak Tati. Dari mbak Tati aku tau tentang kelakuan mu yang
sering membuat was – was, walaupun sebenarnya Ade tak salah. Hayo ngaku saja iya kan? Yang
di herani mbak Tati kabarnya mulai kelas I (satu) baru awal – awal masuk sudah di strap
betulkan?” tanya mbak Har semakin akrab
”Ah ... mbak Tati tahu dari mana? Tapi kalau sampai distrap belum mbak, kalau di
usir iya dan ----- bahkan juara dipanggil wali kelas” jawabku canda
\Belum selesai aku menjelaskan, mulutku di tutup dengan dua jarinya yang lentik itu,
aku kaget, ternyata hanya tak boleh keras – keras ngomongku karena di warung.
”Ayo ngaku Ade napsir Endhangkan ditolak dengan pukulan kemoceng,... maka
Endhang curhat sama mbak Tati terus mbak Tati menyampaikan ke saya, setelah mbak Tati
tau bahwa Ade adikku,” desak mbak Har sambil senyum
”Asam, begitu gosipnya ndak betul itu mbak, kalau Endhang mukul aku dengan sulak
betul, tapi bukan soal itu. Dan sekarang sudah ku maaf kan dan sudah damai gara – gara
biyungku yang mendamaikan,” jawabku
70

Ceritanya terputus karena mbak Har membayar harga Soto kami pulang ke rumah bu
Dityo, diperjalanan aku sempat bicarai tapi mbak Har tak menanggapi. Baru setelah sampai di
rumah mbak Har menanyakan.
”Tadi Ade mau ngomong apa sepertinya serius?” tanyanya
”Mbak Har mulai sekarang ibu saya menjadi tiga, ibu Pokoh, ibu Mojosari dan bulik
Nah menurut mbak aku gimana manggil bulik Nah ?” tanyaku serius
”Sebetulnya memanggil bu Mojosari bukan budhe tapi bulik, karena beliau adiknya
mbok Gunung bagusnya bulik Nah ,ya bulik Nah. Karena adik sepupu bapak kita, tapi kita
panggil ibu Alit saja,” jawab mbah Har
”Salah mbak kalau bu Alit, Bulik kan Ageng he , he iya kan !” selorohku
Setelah tiga hari keliling sekitar sekolahan baik di Coyudan maupun di Banjarsari,
hasilnya kami putuskan bertiga. Bu Alit, mbak Harjuti dan aku sendiri. Keputusan diserahkan
saya dengan senang hati ku putuskan ke Banjar Sari. Maka aku cari tempat kost yang dekat
sekolahan saja. Didekat sekolahan ada beberapa Dokar yang parkir, belum sempat bertanya
aku di tegur kusir Dokar yang sudah tua.
”Mau naik dokar nak kemana ayo kuantar!” tanya kusir berkulit keriput itu
” Belum mau kemana mbah, baru mencari tempat kost untuk saya sendiri sekitar sini,”
jawabku dengan sopan
”Barang kali cocok dirumahku ada kamar nak tak jauh dari sini kok, ayo kuantar naik
Dokar saja dan sepedamu titip di warung itu saja. Tak usah khawatir hilang pemilik warung itu
keluargaku kok,” kata kusir dokar
Sebetulnya aku agak ragu, tapi kata – kata mbah yang halus itu, akhirnya aku ikut. Tak
lama sampai disebuah halaman rumah, ternyata rumah simbah itu. Diperkenalkanlah aku
dengan perempuan sepuh ternyata istrinya.
Lama nenek itu memandangi saya akhirnya aku dituntun ke ruang tamu sederhana. Di
ruang itu aku dipeluk dan di buat bingung, karena tak ada pertanyaan apapun kecuali menangis
dan memeluk saya. Setelah aku disuguhi teh manis, baru kusir tua tadi mengenalkan namanya
mbah Waras dan aku diminta memanggil mbah Kung dan mbah Putri terhadap istrinya.
”Kami hanya berdua nak Ade, sudah lama anak laki satu satunya meninggalkan kami,
dipanggil Gusti Allah. Oleh sebab itu, begitu mbah Putri melihat mas Ade, seolah anaknya
hidup lagi, maka, menangis. Kebetulan wajah dan bentuk badan mas Ade mirip dengan anak
mbah sembilan tahun lalu,” bujuk orangtua penuh harap
Kesimpulannya :
- Aku didaulat “tinggal dirumah keluarga mbah itu, untuk melengkapi sisa hidupnya
sebagai cucu. Aku sebetulnya juga kasihan tapi harus berunding kepada bu Alit dan
mbahku dulu.
- Dari segala pertimbangan, akhirnya aku sepakat tinggal dirumah mbah Waras yang
kurang lebih 5 Km dari sekolahanku.
- Dan ketika aku mau memutuskan tinggal, mbak Hardjuti juga menemui mbah Kung
dan akhirnya aku dibuatkan kamar sendiri di rumah kecil yang selama ini disewa
seorang pedagang pakaian keliling.
Walaupun kamarku sederhana, berlantai semen dan berdinding bata separuh, tapi
dinding dari bambu yang dipasang rapi. Mandinya di luar rumah dekat sumur kerekan.
Ada tiga rumah tangga yang memanfaatkan sumur itu. Tapi numpang mandi saja karena
pemiliknya mbah Kung juga.
Hari pertama sekolah diantar mbah Kung pakai dokar tetapi selanjutnya aku jalan kaki,
karena kebertulan ada teman sekelas yang kost tak jauh dari rumah kami namanya Teguh,
anak Jatipurno Wonogiri. Orangnya supel, berbadan gemuk tapi pendek.
71

Mungkin merasa satu daerah asal yang sama tak sampai seminggu kami telah akrab dan
saling membutuhkan. Walaupun latar belakang dia dari ST, sedang saya dari SMP. Dalam
belajar kami tak jauh berbeda. Semester pertama malah nilai rapotnya aku diatas dia.
Di Solo makan sehari – hari kami tak kenal nasi tiwul. Kata mbah Purti, aku tak perlu
mikir makan tiwul karena mbah Kung masih punya jatah beras dari PJKA. Namun bu Alit tak
tega. Untuk beras bu Alit tetap mengirim setiap bulan, walaupun mbah Putri melarang.
Pokoknya di Solo aku tak menderita seperti dulu, tak mikir tanggung jawab kerja.
Walaupun aku juga tau apa yang harus saya kerjakan. Paling – paling membersihkan kamar,
memberi makan kuda dan belajar itu saja.
Karena mbah Putri disamping tukang pijat urut juga membuat jamu, maka minum
jamu tak boleh absen. Kadang – kadang mau di urut segala. Saya tak mau karena kasihan mbah
Putri. Tapi mbah Putri sering mencuri – curi mengurut, juga saat aku menjelang tidur.
Walaupun aku tak pernah tau Mbah Putri. Karena Mbah Putri pergi aku sudah tidur nyenyak
diselimuti.
Tiga hari sekali aku ke warung bu Alit di Gading. Kadang – kadang aku membantu
melayani pelanggan di warung itu, tapi yang cerewet sering melarang malah mbak Sum, takut
bajuku kotor. Mungkin mbak Sum nyindir karena di Solo pakaianku diperhatikan: Benhur,
Koplin, yang baru ngetren jaman itu, katun putih buat upacara pagi. Biyungku membelikan
juga saat aku pulang kampung. Malah setelah aku di Solo biyung tak pernah memberiku tiwul
lagi saat pulang.
Hidupku sebagai pelajar sudah memadai, walaupun tak mewah aku merasa cukup
segalanya. Maka satu bajuku tak kasih dik Teguh. Karena empati saja, dia hidup di Solo pas –
pasan saja, tapi semangat sekolahnya tinggi. Rasanya ingin dapat memberikan sesuatu
kepadanya. Sering kuajak makan ke warung bu Alit. Alhamdulillah ibu juga ikhlas dan ramah
dengan dik Teguh, mungkin karena ingin menyenangkan saya. Sepeda pun aku disuruh
memilih, tapi aku tau diri cukup sepeda yang ada saja.
Agar aku tak lupa diri dengan hidup makmur aku diajari berbuat baik oleh mbah Kung
yaitu belajar Shalat, mengaji di Musholla dekat rumah kecilku. Tak ajak Teguh, ternyata dia
mau dan lebih pandai dari aku. Nah mulai hari itu aku selalu berdua dan kebetulan dia sabar
terhadap saya, seperti kang Kliwon ku dulu. Kebetulan hobinya sepak bola, sama denganku.
Rasanya kami berdua saling melengkapi dan membutuhkan.
Jika aku punya sikap keras cendrung displin dan tertib, Teguh mau mengalah demi
menjaga perasaanaku. Jika Teguh ada yang kurang aku berusaha membantu.
Dalam pergaulan sehari hari, aku tak pilih – pilih maka tukang becak di pangkalan dekat
tinggalku hampir semua mengenal aku. Lik Ginem warung nasi, kang Gino bengkel sepeda,
bukan hanya kenal. Demikian pula tukang becak di depan warung bu Ratri istri penjaga
sekolah pak Ibnu itu. Karena pak Ibnu ngefans berat kepada aku dalam sepakbola. Walaupun
hanya penonton setia aku di lapangan Manahan. Jika aku main bola, pasti ada pak Ibnu suatu
ketika beliau marah hanya aku lupa kasih tau tentang ada pertandingan bola. Koh Anton apa
lagi pedagang sepeda itu sampai membuat ibuku di Gading bertanya:
”Hai Ade. Kok ganti sepeda? Punya siapa ?”
”Punya koh Anton bu” jawabku sambil makan
”Lho sepeda mu ? “
”Aku kasih mbak Har, biar enak jika belanja.”
”Biar gaya bu, punya kita katanya sepeda perempuan” sahut mbak Har
”Koh Anton ....... siapa ? “ Tanya ibu lagi
”Itu lho bu yang sering nanyakan mas Ade” sahut mbak Sum
”Ooo.... koh Toni Cina itu”........ jawab ibu faham. ”Ade kenal dimana?”
”Manahan bu .... tempat penitipan sepeda” jawabku
”Dikasih --- apa pinjam, kok ibu jadi tak paham ? ” tanya ibu
72

”Pinjam bu – sampai aku bosan” jawabku sambil cuci tangan.


”Aku kok jadi heran,” tanya ibu sambil mengasih serbet kepadaku.
”Koh Anton itu bu, ..... penggemar nonton sepak bola !” jawabku coba menjelaskan.
”Juga pengemar nasi pecel warung ini, dia baru tahu ternyata Ade anak ibu. Yang selama ini
jarang dilihat ----- tapi berapa bulan ini sering melihat Ade makan di sini. Disangka aku
penggemar nasi pecel juga. Ternyata malah anak pemilik warung. Maka wajahnya seperti ibu
juga badannya juga.”
”Itu lho bu yang sering pesan dibungkus!!” potong mbak Sum
”Ooo itu --- memang langganan lama ---- kalau itu ibu faham,” kata ibu paham
”Mas ade menyebutnya koh Anton sih --- ibu binggung,” sahut mbak Sum
”Memang namanya siapa ? “ tanyaku ke mbak Sum
”Kalau biasanya ----- ya pak Tony --- bukan koh Anton ? “ jawab mbak Sum
”Kok mbak Sum lebih faham,” tanyaku
”Selama ini yang melayani kan aku !” jawab mbak Sum
”Bisa jadi nafsir mbak Sum lho, --- mbak Sum kan ..... ?” selorohku cekikikan
“Apa ?” jawab mbak sambil melempar serbet kotor kearahku.
Sebelum terjadi sesuatu, aku kabur naik becak, sepeda ku suruh bawa dik Teguh,
kedengar sayub–sayub mbak Sum ngancam.
”Awas ya kulaporkan ibu.”
Becakku sampai dirumah dik Teguh, ternyata dia sudah didepan rumah kosnya.
Sebelum berpisah aku pesan dik Teguh ---- setelah menyerahkan becak ke kang Simon.
”Guh --- jangan lupa ngaji ini kan malam Jumat, dan persiapan ujian.”
”Oh iya mas terima kasih tapi... !!” jawab Teguh tak begitu jelas, karena aku terus
mengayuh sepeda balapku.
Sampai dirumah, tak kusangka kang Bejo sudah duduk santai dilincak bawah pohon
Sawo, sambil merokok buatan sendiri.
”Kang apa kabar, sudah lama menunggu?” tanyaku ramah dan menyalaminya
Tenang dia menghampiri saya. Dan kulihat mbah Putri membuka pintu sambil mengajak kami
masuk kerumah. Tapi kang Bejo memilih mau ngobrol dengan aku dilincak saja biar adem
katanya. Setelah basa basi sejenak dia membuka pembicaraan:
”Le aku ke Solo ini diutus pakde Golo, mengajak mbak Harjuti pulang sebentar, tapi
sejak tadi pagiku belum ketemu. Karena aku sore ini harus pulang dengan kereta Laste, maka
aku titip pesan saja kepadamu tolong sampaikan.”
”Kok kelihatannya penting banget to --- kang, kenapa tak nginap dan bicara langsung
saja ke mbak Har?” tanyaku. ”lagipula nanti kemalaman di jalan lho kang!”
”Agar tau saja le, mulai lulus sekolah guru itu, mbak mu tak mudah di temui. Kalaupun
sempat ketemu tak suka diajak bicara. Apalagi sejak Ade di Solo, tak pernah sekalipun pulang
ke Gunung rumah pakde. Katanya pernah ambil sesuatu Kemojosari tapi hanya sebentar
itupun tak mau ke Gunung juga. Padahal orang tua hanya mau ngomong, bahwa ada yang
menanyakan mbak mu!”
”Menanyakan apa kang dan siapa yang tanya?”
”Kamu tak bakal faham le, minta tolong saja katakan begitu. Karena takut ketinggalan
kereta aku pamit saja ya.”
Kulihat, kang Bejo tergesa – gesa, maka ”ku iya kan saja.”
Dalam hatiku, sejak diwarung tadi, mbak Har juga tak ada kulihat. Jangan-jangan
sengaja menghindar ketemu kang Bejo. Ada apa sebenarnya? Baru mau tanya mbah Putri, eee
mbah malah teriak teriak memanggilku;
”Kang Bejo diajak minum teh dulu le!”
73

”Sudah pulang mbah buru – buru, cuma pesan suruh nyampaikan ke mbak Har,”
jawabku agak teriak juga.
Walau masih jadi tanda tanya tapi akan kusimpan saja teka teki itu. Aku mau ashar
dulu. Sambil nunggu Teguh, aku mencoba istirahat di ranjangku. Tapi rasanya tak mudah
memejamkan mata, dibenakku selalu terngiang kata – kata kang Bejo;
”Mbak mu wis ana sing nakokke.”
Sepertinya, aku ingat dikampung, jika seorang gadis ada yang menanyakan, oh iya
apakah maksudnya mbak Har ada yang ”melamar”? tapi --- kenapa aku risau?” Sore itu aku
gelisah di ranjang sendirian, memikirkan sesuatu yang tidak saya ketahui.
Aku bangkit dari duduk, tak kulihat Teguh, kecuali mbah kung selesai ambil air wudu.
Setelah wudu akupun shalat mahgrib berjama’ah di langgar. Masuk kamar, lampuku sudah
dinyalakan mbah Putri. Sampai menjelang isya tak ada yang memanggilku kecuali bunyi azan
di musolla. Usai shalat Isya kugunakan untuk merapikan tempat tidur dan tasku.
Baru mbah Putri teriak memanggilku diajak makan malam di meja makan, walau pun
sebenarnya aku tak selera makan. Aku makan sekedar menghormati simbah. Selesai
itukembali ke tempat tidur berbantalkan tas Ganefo ku. Pikiranku menerawang :
”Apakah mbakku ke kampung, mengapa tak bilang–bilang padaku? kenapa kang Bejo
jemput ke Solo? apa maksud sudah ada yang menanyakan? jangan –jangan ....??”
Mau teriak rasanya tak pantas, diam pun aku tak tenang, dibenakku teringat syair
kroncong langgam jawa yang menyayat itu antara lain, Mangan ‘ra doyan, ‘ra jenak dolan, neng
omah binggung. Aku langsung duduk bersimpuh membaca istighfar pelan sesuai ajaran mbah
Kung, Astaghfirullah Al Adzim. Sampai kudengar mbah Putri membuka pintu. Melihatku,
terus memengang kepala ku dengan tangannya yang keriput, penuh rasa heran. Beliau, setelah
melihat aku agak tegang, suara mbah gemetar agak gugub.
”Ade kenapa ngger, tadi pulang kulihat nyaman saja, tapi setelah kakang mu Bejo pergi
kok kelihatan murung, makan pun Ade cuma sedikit. Sepertinya ada masalah le, ayo ngomong
ada apa. Aku ini mbahmu? ikut sedih juga binggung. Apa di marahi Bu Alit? Rasanya tak
mungkin. Bicara begitu, mbah putri meraih kepalaku agar aku telentang.”
”Mbah, mbak Har kemana? di warung tadi tak kulihat. Disini kang Bejo juga
menunggu, saya sendiri tak tau mbah, perasaan saya ada yang aneh, dengan mbak ku. Tadi
kang Bejo bilang wis ana sing nakokke. Pesannya, mbak Har disuruh pulang ke Gunung.
Kutanya. Siapa yang tanya dan menanyakan? kang Bejo cuma diam.”
”Oo begitu, dua hari yang lalu mbakmu kan bilang mau ke Wonogiri dulu, masa Ade
tak dengar?” kata mbah meningatkanku
”Ya dengar malah aku minta dibawakan Gayam kalau ke Gunung, tapi kenapa kang
Bejo malah mencari kesana kemari ?”
”Barang kali saja berselipan, kang Bejo kesini, Harjuti malah ke kampung tapi
katanya, kalau di suruh ke gunung malas. Mungkin ke Mojosari? Kalau pada kumpul ribut----
katanya nyebelkan. Tapi kalau ditinggal, belum tiga hari saja sudah binggung.”
Aku malas menjawab, mbah putri rupanya tak tau perasaan saya, bicaranya tak
nyambung. Maka aku memeluk guling erat –erat menutup kuping dan kubelakangi mbahku.
Tiba – tiba terdengar suara mbah Kung;
”Mana Ade, sepedanya kok belum dimasukkan? aku mau nonton wayang di RRI
mungkin pulang subuh lee ! kamu tidur disini saja.”
Mendengar mbah Kung, aku bangkit duduk, terus teriak ;
”Aku ikut mbah, dari pada dirumah pusing, pikiranku kacau,” teriakku.
Tiba – tiba mbah Putri kaget, dan mengingatkan aku ;
74

”Eeeee le, besok Ade sekolah katanya persiapan ujian, kok malah mau nonton wayang
segala, tunggu ! biar mbah kung duduk.”
Mendengar ketegangan kami, mbah kung nimbrung masuk, dengan padangan heran,
beliau duduk sambil melihat situasi dikamarku yang brantakan.
”Duduk dulu mbah, cucumu ini lagi kacau, gara – gara kang Bejo tadi kesini, mencari
mbaknya. Lha mbaknya kan tak ada, dia pesan sama Ade. Tapi Ade terus begini... Saya kan
jadi binggung, lha kok mbah Kung malah mau nonton wayang ?” protes mbah Putri pada mbah
Kung.
Belum sampai mbah Kung, usai – rasa binggunya, mbak Harjuti datang. Dengan
perasaan heran, karena tak sabar, mbah Har langsung kupeluk. Rasanya tak mau ditinggal lagi.
Karena kamarku sempit mbah Kung ngajak ke rumah sebelah. Lantas mulai bertanya.
”Melihat suasana ini kok jadi aku heran, sebetulnya ada apa,” tanya mbah Kung
Mbah Putri segera menceritakan kejadian sejak sore tadi sampai jelas. Aku duduk dekat
mbak Har, mbakku mendengar dengan serius setelah tau duduk persoalannya, dengan senyum
menceritakan kronologinya tentang kang Bejo jadi duta itu.
”Ceritanya panjang,” mbak Har mulai bicara
”Saya sudah lama dinilai sebagai perempuan tak nurut orang tua yaitu sejak masuk
SPG, tapi aku nekad. Lulus SPG, belum ada panggilan di benum sampai sekarang. Maksud
bapak, aku mau dimantu saja. Maka aku kabur ke Solo ini. Begitu dengar Ade hampir putus
sekolah, aku merasa di tangisi. Atas permintaan bu Alit aku berusaha memberi motivasi agar
Ade tak gagal. Alhamdulillah Ade lulus, dan tak boyong ke Solo ini. Agar Simbah tau, dari
sisilah keluarga kami, hanya kami berdua yang bisa sekolah lanjutan. Paling-paling tamat SR
selesai. Aku kepingin Ade menjadi contoh seluruh keluarga juga orang – orang kampung kami
yang rata – rata buta huruf itu. Orang tua kami terutama keluarga Gunung berpikir lain. Jika
aku menjadi istri Kepala Desa, mereka bangga. Aku jadi Bu Kades, bisa kaya, sawahnya luas,
makmur dll, martabat orang tua ikut terhormat.
Kang Bejo itu sebetulnya utusan mereka, agar aku memberi keputusan bahwa bersedia
segera dinikahkan dengan Kepala Desa itu. Kang Bejo tahu, bahwa aku sebetulnya menolak,
tapi maunya aku harus ngomong langsung didepan mereka orang tua kami. Aku dulu malah
tak boleh melanjutkan ke SPG. Toh, pak Kadesnya sudah mau.. Aku wajib taat kepada orang
tua. Tapi soal sekolah dan bersuami terpaksa berani melawan kalau harus mengikuti kemauan
orang tua. Dikira setelah lulus sekolah guru, aku bersedia nikah. Ternyata aku mbalelo.
Mungkin, pihak keluarga Kades kecewa, orangtuaku kehilangan muka.”
Bicara sekeras itu, baru malam ini kudengar. Walaupun mbak Har agak cerewet
kepadaku, selama ini, tapi soal pendidikan diutamakan. Dan malam itu kulihat mengeluarkan
air mata. Maka buru-buru kuambil sapu tangannya di tas, terus kuseka pipi mbak yu ku. Mbak
Yu melihat saya dengan sedikit senyum, terus bicara lagi. Kali ini ditujukan kepadaku, dengan
suara sendu agak terbata –bata.
”Dan kamu Ade, satu–satunya adikku yang laki – laki. Mbakmu sudah banyak
memdengar tentang sifatmu dari sejak putus di SD dulu. Kamu ke Gunung ikut paklik Mul, tak
sampai setahun, kamu kembali ke bapakmu. Tak lama kemudian bapakmu meninggal, Ade
jadi yatim. Kamu nekat sekolah, sampai ngenger saya tau. Kelakuanmu yang sering bikin
gaduh di SMP, aku juga tau, iyakan?” ngomong begitu sambil jewer kupingku.
” Dari Endang kan mbak berita itu?” tanyaku memotong.”
”Ade sudah mulai dewasa,, Ade sadar mbah Kung dan mbah Putri rela berbuat apa
saja untuk kamu. Kalau capek dipijati, disuruh minum jamu biar sehat, biar pinter, Ngaji di
ajari tapi kamu kadang – kadang bikin susah Simbah. Bu Alit sudah rela kamu ikut mbah asal
menjadi kebahagiaan Simbah, karena motivasi itulah bu Alit mengalah. Terus kenapa tadi Ade
bikin bingung Simbah?” Hayo ngomong minta maaf ke mbah sampai mbah Kung batal nonton
wayang gara – gara kelakuanmu ? iya,kan?”
75

Mbak Har menutup pembicaraan dengan lembut, sungguh hebat mbakku. Hebat
Alhamdulillah aku punya mbak, juga sebagai guruku dan pengganti orang tuaku.
Malam itu puku;l 10.00 mbah Putri lega, mbah kung jadi nonton wayang, kami berdua
makan malam mbah Putri puas nunggui kami. Selesailah drama malam Jumat itu. Mbak Har
nginap di rumahku rumah mbahku. Yang membuat mbakyu begitu, katanya aku adalah adik
satu - satunya yang laki-laki. Aku juga tak punya saudara perempuan. Gusti Allah ora sare kata
biyungku walau aku yatim Kandulillah. Di Solo aku tak merasa kekurangan. Aku dicukupi
kebutuhanku, termasuk hobiku. Dididik mbakyu ku, di jaga mbahku berdua, tapi aku belum
sadar, bahwa semua itu ternyata ujian dan cobaan jalan hidupku, di kota Bengawan.
Besok paginya, selesai berkemas mau berangkat sekolah mbak Har sudah menyiapkan
sarapanku. Bubur bekatul di campur kacang ijo secangkir teh manis. Selesai sarapan aku
bermaksud pamit berangkat, tapi dicegah mbak Har, saya kira dikasih uang saku, ternyata
maksudnya kami berdua satu sepeda bergocengan. Aku yang dibelakang. Tapi setelah aku
mengeluarkan sepeda mbak Har kaget karena sepeda ku lain dari biasanya yaitu si jengki,
hadiah koh Anton itu. Hari itu aku diantar kesekolahan walaupun masing – masing bersepeda.
Sampai depan sekolah aku cium tangannya, dan sepeda mbah Kung tetap dibawa mbah
Har, entah mau kemana yang jelas aku mulai percaya diri dan merasa lebih dewasa dari
sebelum ini. Aku tak akan tergantung kepada mbah Har, toh ada simbah, apalagi bu Alit.
Berkat doa mbah Kung, sentuhan mbah Putri, dan didikan keras mbak Har aku dan
Teguh naik kelas III. Di sekolahan, aku baru tahu bahwa anak dari Wonogiri selain aku dan
Teguh ternyata ada juga, tapi tak ada yang kukenal. Lagi pula Wonogirinya dimana?
Kecamatan apa?
Saat libur aku dan Teguh selalu pulang ke Wonogiri. Yang selama ini tak begitu saya
kenali, ternyata kemiskinan tetap seperti dulu, tiwul, lapar, penyakit tak ada berubah, toko
gaplek tetap merajalela, walaupun secara pribadi aku tak kekurangan makan, melihat
kemiskinan di kampung – kampung rasanya pedih. Tiga kali aku masuk keluar kampung
selama tahun itu. Dalam batin kenapa aku dulu dilahirkan di Wonogiri?
76

18
”MUSIM PACEKLIK”

Pada suatu hari, aku pulang kampung, ditawari pak Tri paman sebelah rumah, untuk
ikut ke pasar hewan kecamatan Wuryantoro, yang terkenal itu. Aku ingin tau keadaan pasar
sapi, bagaimana transaksinya --- kandang sapinya seberapa, terus membawa sapinya bagaimana.
Karena saya belum pernah melihat, maka tawaran pak Tri kuterima dengan syarat, segala biaya
trasport makan dia yang tanggung. Pak Tri bersedia, dengan catatan ; pulangnya, aku harus
membawa tiga orang tenaga kerja untuk mbah Iro, bapaknya pak Tri.
Hari minggu Legi, pukul 03.00 subuh kami berangkat membawa dua ekor sapi, dengan
jalan kaki. Lama perjalan empat jam sampai pasar itu. Tiba dipasar aku tak ikut terlibat
transaksinya. Kulihat puluhan sapi memenuhi pasar, bau kotoran sapi dan kencing nya
lumayan menyengat. Maka setelah mendapat patok pengikat sapi, karena aku tak tahan., di
ijinkan meninggalkan lokasi. Paman Tri tertawa sambil nunjukkan aku dimana harus istirahat
dan cari pesanan mbah Iro kemarin, yaitu tenaga kerja.
Disisi selatan kulihat belasan lembaran gebyok yaitu pintu digandeng-gandeng dengan
dinding kayu yang menjadi dagangan orang daerah Wuryantoro saat itu. Begitu aku mendekat,
pemilik gebyok ramai-ramai menghampiri saya, sambil menawarkan gebyoknya. Karena aku
tak bermaksud mencari gebyok, dengan halus menolak tawaran mereka, dan bermaksud
meninggalkan lokasi itu. Tiba –tiba suara paman Tri kudengar sambil tertawa.
”Bukan itu, le ha ha ha”
”Aku tau paman, tapi orang – orang itu kok ------- ya mendekati saya” jawabku
”Itu mau dijual, agar dapat beli gaplek” kata paman
”Lha siapa yang mau beli “
”Yaa.... kalau ada, ....kalau belum laku yang ditunggu” kata paman menjelaskan
”Sampai berapa hari dan dimana nginapnya?”
”Sampai laku, nginapnya ya disitu juga”
Sambil makan siang di warung, aku djelaskan, bahwa orang – orang itu kepepet pangan.
Bisa jadi perabotan rumahnya sudah dijual ---- hanya untuk membeli gaplek. Kalau sudah tak
ada lagi yang bisa dijual. Ya, orang itu mencari siapa yang mau mengerjakan mereka. Maka
paman mengajak saya dan disuruh melihat mereka dibalik gebyok ternyata benar. Banyak laki-
laki tak berbaju duduk di los pasar. Dengan pandangan kosong mengenakan caping sambil
mengacung – acungkan selembar kertas berisikan indentitas mereka terhadap orang asing yang
mendekatinya.
”Kamu kemarin kan sudah dipesan mbah Iro?” kata paman mengingatkan saya
”Oh ya, tapi kemana carinya?” tanyaku ”Paman kemarin kan hanya bilang suruh
membawa, bukan mencari ? ”
”Ya... itu orang – orangnya---lihat disana yang duduk-duduk di sepanjang los pasar itu.
Semua pencari kerja. Ayo tak antar pilih sendiri, nanti kalau sudah dapat kamu pulang sama
mereka dan serahkan mbah Iro!!!”
77

Masa allah --- begitu selesai ngomong pak Tri menyuruh saya memilih beberapa orang
laki-laki tak berbaju. Ada yang tua ada yang umur empat puluhan. Aku berbicara dengan
mereka sebelum memilih.
Sebetulnya aku tak tau harus bicara bagaimana, namun demikian diantara mereka
rupanya ada petugas yang mencatat dan membicarakan sebagai juru bicara mereka. Atau dapat
dikatakan pegawai pemerintah yang ditugasi mencatat tenaga kerja dan siapa yang membawa
mereka. Terlihat setelah aku tanya mereka, petugas tadi dengan sopan mendekati saya,
”Mas dari mana...” tanya petugas tadi yang dipanggil pak Carik
”Saya dari Ngumbul pak” jawabku
”Mencari tenaga” tanya pak Carik
”Oh iya aku disuruh mbahku pak, tiga orang”
Orang yang dipanggil pak Carik tadi mengambil alat-alat tulis, terus mendekati saya lagi.
Mencatat nama saya, kampung, kelurahan dll, terus memanggil tiga orang laki - laki tak berbaju
untuk didaftar dan diserahkan saya. Selesai urusan administrasi pak Carik nemui saya lagi
”Nih mas, orang –orangnya” kata pak Carik sambil memberikan catatan semacam
surat jalan padaku
”Jadi ini nama-nama mereka sudah tercantum disini!!” tanyaku
”Iya jadi satu saja semua sudah tercatat disurat ini”
”Yang lainnya? “ tanyaku
”Sebagai pengikut saja, sudah tercatat disitu juga”
”Dengan begini selesai to pak “ tanyaku heran
”Ya , sudah bawa pulang ke kampung sampeyan. Baik – baiklah”
”Terima kasih pak carik” kataku sambil berpisah
Setelah berhasil mendapat tiga tenaga kerja aku menemui paman Tri. Dia ketawa lagi
sambil mengajak mereka ke warung agar mereka makan dulu, baru pulang. Melihat aku
bingung pak Tri malah ketawa terus ...bertanya
”Kenapa kamu binggung le “
”Saya kira di warung tak ada yang jual nasi tiwul ?” tanyaku
”Jangan ribet, yang penting kenyang. Habis makan ajak pulang serahkan mbah !!”
”Jalan kaki lagi paman” tanyaku protes
”Iya dong dan pulang membawa gebyok pesanan mbah”
”Lho aku malas kalau bawa gebyok segala “
”Kamu pulang mereka ikut. Keburu sore, tak usah bawa gebyok ok”
”Sialan P.P jalan kaki. Susah juga mau melihat pasar sapi kok jadi begini !!! “
”Nanti kamu mendapat hadiah dari mbah Iro kok” kata pak Man
”Jadi aku pulang sendiri paman ? “
“ Iya sama bapak-bapak ini aku mau cari sapi dagangan lagi ok”
Terpaksa saya tidak bisa menolak. Berempat dengan jalan kaki kami pulang. Ketiga
mengikuti saya, dengan berjalan kaki panas terik dan debu di bulan September, pukul 5 sore
baru sampai dikampung.
Untung mbah Iro ada maka, kuserahkan tiga orang pekerja pesanan mbah Iro. Mbah
Iro tertawa bangga, lik Sono senyum – senyum heran. Lik Lami ketawa sambil lari membuat
minuman.
Setelah melihat kuserahkan ketiga tenaga kerja itu aku langsung pulang dan tidur,
malanya pukul 8.00 aku kembali ke rumah mbah Iro, kukenalkan nama-namanya dan
kampungnya seperti yang ditulis di surat jalan. Dan kulihat tiga orang tadi, wajahnya sudah
cerah dan terlihat optimis. Kami mulai ngobrol sampai jam 11.00 malam, tapi mereka hanya
menjawab nggih, mboten, sekali-kali saja ada yang menjawab dengan bahasa jawa yang masih
Kamso. Bisa jadi merak segan atau minder padaku. Yang paling agak berani yang usia 40
78

tahun, Satiman namanya. Yang paling tua Karyo, dia ku anggab senior diantara tiga orang itu.
Yang ketiga orang nya kecil umurnya sepantar kang Timan namanya Karmo Gimin.
Malam itu yang kami ongbrolkan yang soal kemiskinan, kemarau dan rumah tangga
mereka. semua satu kampung dan masih famili. Tak bermaksud mencampuri urusan mereka
aku ingin tau hanya semata-mata empaty saja
”Kang Karyo sampeyan anaknya berapa?”
”Empat Mas” jawab kang Karyo
”Sudah sekolah ”
”Dereng”
”Kamu kang Satiman ”
”Apa mas” jawabnya renyah
”Kabarnya orang orang kampungmu, dinding gebyoknya dijuali?”
”Iya mas, tapi tak semua” jawab Satiman
”Maksudnya tak semua gebyoknya? ”atau tak semua orang?”
”Iya ada yang di jual ada juga yang tidak”
”Rumahnya bolong dong ?”
”Ya bolong, tapi tak semua mas “
”Maksudnya tak semua di jual gitu ? “
”Iya mas, kalau semua gimana ya ?”
”Maling bisa masuk ? “
”Masuk bisa tapi maling tau kalau kami tak pnya apa –apa!!”
”Tapi,ada maling juga ? ”
”Ya tidak tau, mungkin ada, mungkin juga pergi, dikampung malingnya rugi”
”Jadi istri dananak-anak sampeyan kalau di tinggal kesini tau? “
”Pak Carik yang ngasih tau, istri saya ”
”Orang sekampung laki-laki pergi semua?”
”Ya gantian. Kalau semua, gimana ya!!! siapa yang disuruh –suruh”
”Disuruh apa misalnya ? ”
”Kalau ada keperluan kan ada laki – laki yang disuruh mencari”
”Ooe gitu..... dia tau kalau sampean disini?”
”Pak Carik kemarin mencatat nama sampean kan !”
”Oh iya aku ingat, andaikan tak ada pak Carik gimana? ”
”Pesan teman bahwa kami mau ke sini”
”Kalau saya bohong, misalnya alamatnya tak kesini ? ”
”Ya ndak tau mas, kami percaya mas Ade tidak bohong!” tegas pak Satiman
Aku lelah maka kira pukul 11.00 malam kami mengakhiri obrolan. Saya pulang
berusaha tidur cepat, karena aku harus kembali ke Solo pagi-pagi. Karena musim dingin
mereka bertiga tidur beralas tikar diats tumpukan jerami kering berselimutkan sarung yang
dibawa dari kampungnya, sekaligus buat membungkus pakaian yang semua agak usang.
Semoga semua tetap sehat doaku.

.............................oooo.........................................
79

18
LINTANG KEMUKUS
”WALA-WALA KUATA”

Entah kenapa setelah sampai rumah, aku susah tidur pikiranku kemana-mana, ingat
Solo dll. Begitu tidur bermimpi nonton wayang kulit sepertinya dirumah mbah Karso. Dilayar,
gunungan wayang kulit, dimainkan dalang diiringi gamelan yang riuh rampak dengan lampu
terang. Tiba–tiba tancap kayon, lampu Blencong padam, suasana penonton kacau. Saya
terbangun, dikagetkan suara ayam peliharaan berebut keluar menunggu pintu dibuka
jantungku berdebar.
Karena harus naik kereta pagi – pagi kembali Solo, aku segera mandi kesumur tetangga.
Baru selesai mandi, lik Rakinah, orang tua yang cacat dan bisu itu teriak – teriak ‘uh – ‘uh,
sambil menunjuk ke atas arah timur. Disela – sela pohon bambu musim kemarau, kulihat ada
sinar kemerah - merahan di langit Subuh, tampak seperti berasap, tak begitu kuperhatikan,
karena terburu – buru berangkat ke stasiun, rasanya detak jantungku masih berdegub.
Setelah sampai dirumah kulaporkan fenomena alam itu ke Biyung ku. Maka sambil
mengantar keberangkatanku di batas desa, sinar aneh tadi tampak jelas. Begitu biyungku
melihat cahaya merah tadi kagetlah beliau. Kudengar mantranya; ”wala – wala kuata.” Sambil
melihatku beliau berpesan, agar berhati–hati dijalan, eling dan waspada.
Aku menangkap maksud biyungku, bintang merah subuh itu tanda–tanda akan terjadi
sesuatu. Cerita yang sering kudengar jika ada Lintang Kemukus, tanda atau isyarat akan terjadi
bencana besar, huru – hara berdarah dan kejadian luar biasa, dari kalimat mantra biyung, aku
menangkap makna akan terjadi sesuatu..
Maka saat kereta api yang saya tumpangi mulai bergerak aku berdoa sebisaku seperti
ajaran mbah Waras atau istihfar
Tiba di stasiun kereta Samaulun, kami lega tak terjadi sesuatu. Kereta bergerak lagi ke
stasiun kota Wonogiri. Dilintasan jalan raya, kereta seperti biasa berjalan pelan. Kulihat kanan
kiri, mulai kubaca tulisan huruf–huruf besar dengan cat kapur putih disetiap bidang yang bisa
ditulisi. Aku mulai merasakan sesuatu yang tak biasa sebelumnya. Tulisan yang bernada
amarah mulai terlihat, ”Ganyang Dewan Djendral” dan ”Dukung Dewan Revolusii,” terdapat
dimana – mana. Aku heran kapan menulisnya dan siapa yang melakukan?
Aku memperhatikan orang di sekitarku, tak ada yang berucap atau mengomentari apa –
apa. Tampak di wajah mereka tak beda dengan saya. Ada yang berdoa, ada yang biasa saja
mungkin buta huruf, kebanyakan terkantuk – kantuk lelah, karena berangkat dari kampung
pukul 3.00 dini hari.
Sampai di Solo, aku turun di stasiun Balapan. Suasana terasa mencekam tak begitu
terasa, karena buru – buru ke tempat tujuan. Aku pun tiba di sekolah terlambat konsekuasinya
aku ketinggalan satu mata pelajaran. Tapi tak di strap kaya di SMP dulu. Istirahat siang aku
temui Teguh kutanya apa yang terjadi di Solo. Dia tak banyak tau kecuali pada saat tiba di
sekolah katanya teman lain pada ngobrol hal yang sama seperti yang kulihat di Wonogiri.
80

Ada yang tanya juga apa sih ”Dewan Djendral” dan ”Dewan Revolusi” ? tak satu pun
ada yang mengerti. Kalau revolusi aku hafal, tapi yang ditulis dimana- mana itu embuh.
Setelah bubaran kucari Teguh, dia malah menunggu di pintu gerbang katanya mbah
Kung menunggu di dekat pangkalan delman. Saat ketemu mbah Kung aku sungkem dulu dan
bilang ke Gading dulu. Lapor ibu Alit dan bertiga kami menluncur dengan delman, Kyai
Ringkih. nama dokar mbah Kung. Aku sendiri yang memberi nama itu dan tak ada yang
keberatan malah terkenal di seantero Banjar Sari sampai Kreten juga pangkalan Sri Gading.
Tiba di warung Gading Alhamdulillah mbah Har dan ibu Alit ada. Suasana warung sepi
karena ramainya sebelum pukul 12.00 siang. Itu pun kalau hari normal. Mereka bersyukur aku
sudah tiba, rupanya sebelumnya agak khawatir. Selesai makan aku ke pondok mbah lagi.
Aku langsung ke kamar setelah menyapa mbah Putri. Sampai sore tak ada berita
apapun. Malam seperti biasa mbah Kung nyetel radio Transitor tuanya, dan tak pernah
ketinggalan acara obrolan Pak Besut dari RRI Yogyakarta.
Selesai acara Pak Besut mbah Kung memanggil saya berbisik – bisik beliau
memberitahuku bahwa di Jakarta ada geger katanya RRI Jakarta dikuasai Dewan Revolusi.
Aku tak faham maksudnya . ”Kenapa pusat radio dikuasai” pikirku
Minggu berikutnya berita mengejutkan bukan dari RRI, tapi dari Kepala Sekolah,
bahwa sekolah sementara akan di liburkan. Dan Ujian Nasional di tunda sampai batas waktu
yang belum di tentukan. Situasi, kata orang – orang semakin menghangat bus luar kota mulai
jarang. Jika ada satu dua bus penumpangnya berjubel. Banyak yang tak dapat naik bus
kemanapun jurusannya. Warung bu Alit semakin sepi malah diputuskan tutup dulu. Aku
diajak ke Nglawu. Baru dua hari aku tak kerasan, mikiri Biyung di kampung.
Aku pamit bu Alit, mbak Har juga paklik Man suami ibu Alit. Tapi rata – rata tak tega,
maka aku diantar pak Man ke jalan raya hingga pukul 12.30 tak ada bus dari Solo ke
Wonogiri. Malah siang itu ada bus dari Wonogiri ke Solo aku ikut saja kuharap dari terminal
lebih ada tempat pikirku, sebab jika penuh, menungggu dijalan bus tak mau berhenti.
Setelah sampai terminal bus Gemblekan Solo aku berusaha mencari bus Ismo jurusan
Pacitan yang biasanya bus Laste, tapi sudah tak ada entah sudah berangkat atau belum
waktunya. Aku berusaha tanya orang –orang di terminal. Rata – rata jawabannya tak pasti, lagi –
lagi, masalah situasi. Saya pikir lebih baik kerumah mbah saja, kalau sampai sore belum ada
bus. Dugaan saya benar bus Solo - Baturetno habis kuputuskan pulang ke simbah.
Betul – betul mencekam, karena rumah simbah pun tutup. Aku tanya tetangga tak ada
yang tau. Tapi kunci rumah dititipkan tetangga terpaksa malam itu aku sendirian. Orang –
orang pada ngobrol di mushola. Karena tak mudah memejamkan mata, aku bergabung mereka
sampai pagi. Tapi tak ada informasi apapun, kecuali cuma katanya, orang – orang dipasar.
Radio simbah entah dimana. Baru siangnya suara Kyai Ringkih kudengar Alhamdulillah.
Simbah berdua –ada. Mbah Putri merangkul saya erat – erat katanya aku tak boleh pergi dari
rumah.
Betul – betul serba salah aku mikir biyung mungkin biyung mikir aku juga. Mbah Kung
malah usul bagaimana kalau semua pulang ke Ngalawu saja. Karena saudara mbah Kung juga
disana sekampung dengan kampung rumah bu Alit.
Tapi aku tak mau usul mbah, karena Ade dua hari yang lalu tak krasan, disana pikirku
malah khawatir biyungku memikirkan saya. Sebetulnya aku mengirimi surat ke biyung tapi
khawatir suratku tidak sampai. Kantor Pos mungkin tutup sedang sekolahan pun tutup. Malah
yang kupikir juga adik – adik di Pokoh, padahal Bapak tugas di perbatasan. Jika aku pulang ke
Wonogiri yang ku utamakan lihat adik-adik dan ibu di Pokoh. Atas ijin simbah, besoknya
pukul 11.00 siang aku di antar ke stasiun pakai delman Kyai Ringkih. Mbah Putri juga ikut
ngatar aku yang pasti bagiku doa lebih penting. Maka saat kereta meninggalkan stasiun kulihat
beliau juga berdoa untukku. Diluar dugaan saya, ternyata penumpang malah tak seramai hari –
81

hari biasanya, bisa jadi penduduk kota Solo sudah enggan keluar rumah, orang luar kota hari
itu memilih di kampung masing – masing.
Tiba si stasiun kota Wonogiri aku buru-buru turun tak mikir apaPUN, kecuali ingin
segera tiba di Pokoh. Alhamdulillah adik-adik ceria. Bisa jadi mereka tak tahu situasi. Setelah
menginap satu malam aku pamit ibu. Aku bilang mau pulang kampung pagi-pagi. Sampai
Gudangdondong aku mampir ke rumah mbah Iyem. Baru mau tanya sepupuku si ”Gendruk”,
tiba –tiba mbah Yem menghambur keluar mengira yang datang aku bersama Martini. Karena
biasanya kalau Martini ke Solo, aku yang diminta nemani. Apa lagi kalau ke Kartosuro rumah
pacarnya Martini. Ibu calon mertua dik Mar juga minta, jika dik Mar ke Solo,atau ke Tosura
sebaiknya jangan sendiri.
Tapi, itu dulu, sebelum aku pindah ke Solo tiga tahun yang lalu atau aku libur, dia
minta aku antar ke Tosura. Maka setelah mbah Yem melihat aku tanpa si ”Gendruk”, beliau
gusar, kata simbah sudah empat hari tak pulang.
”Biasanya, kan seminggu ta mbah ” kataku menghibur
”Kamu tak tau ya, kalau sekarang ini ada gegeran? “ tanya mbah
”Aku kemarin dan tadi naik kereta yang sama aman saja, kok mbah”
”Ini mau jaman edan ngger, pokoknya cari adikmu” pinta mbah serius
”Baik mbah besok ku ambil insya allah sore sudah sampai kesini.”
”Tenan ya lee... besok mampir kesini tak sangoni”
”Iya mbah insya allah, aku pamit dulu mbah.”
Besok pukul 10.00 pagi. Aku ke rumah mbah Yem pamit mau mengambil sepupuku.
Begitu mendapat restu dan bekal uang dan minuman aku langsung ke Solo. Tiba Kartosuro
sore hari. Entah kebetulan apa tidak, dik Mar telah siap-siap mau pulang ke Wonogiri. Mau
diantar pakde Wir. Tak menyangka jika aku datang menjemput. Maka atas kedatanganku, tak
banyak yang kami bicarakan. Karena waktunya mepet kami langsung berangkat menuju ke
stasiun Sangkrah, naik bus dari Boyolali-Solo sambung becak tiba pukul 3.00 sore.
Tiba di Sangkrah, bertepatan kereta yang akan kami tumpangi. Sudah menghembuskan
sinyal mau star. Tuhan menolong kami. Kepala stasiun menunda naikkan ebleknya. Setelah
aku sampai diatas gerbong, cari tempat duduk seperti dua hari lalu penumpang sepi.
”Alhamdulillah mas..... panjenengan njemput” kata dik Martini sambil nafasnya ngos-
ngosan, karena berat badannya lebih sedikit.
”Simbah yang gugub, ribut terus aku yang diuber-uber” jawabku
”Kok mas Ade tau, kalau aku di Tosura”
”Biasanya dik Mar kalau pergi lebih 2 hari kan di Tosura”
”Dasar masku cerdas kok, sekarang kelas III to, mas ? ”
”Mau ujian bulan Desember, tapi ditunda” jawabku
”Iya – lho mas kata pak Wiryo, Jakarta gegeran ssst.. kutempeli jari mulutnya ”
”Ya embuh tak usah ngomong kalau tak tau nanti malah....!!”
”Mas aku dengar mbak Harjuti sekarang dagang batik, iya to mas!!”
”Aku dengar dari mbah putri di Nusukan juga begitu, bisa jadi betul !”
”Katanya dimodali bu Radityo, juragan batik di Klewer”
”Mungkin juga , tapi setauku dimodali bu Alit. Karena tak serumah sih ya jarang
ketemu”
”Sejak kapan, jangan- jangan marahan dengan mbah Har? ”
”Ah tidak, tak mungkin aku bisa marahan dengan mbak Har”
”Mas ngatuk ya .... boleh disini nyandar saja disini” kata Martini sambil nggeser
duduknya.
Ketika aku nyandar di bahu si Gendruk itu. Bayang-bayang kulirik ada wanita setengah
baya simpati kepada kami, kudengar di panggil bu Harso orang Sumoulun. Martini mendapat
82

teman ngobrol aku tak perduli. Kunikmati saja kesetiaan dik Mar sampai peluit kereta api
teriak keras, aku terbangun.
Rupanya ditepi hutan Ketu menjelang masuk stasiun Wonogiri Kota. Kereta
mengurangi kecepatan. Dik Mar dan bu Harso mengatakan bau aneh. Dari seberang sungai
sana, ada asap mengepul pekat, tanda ada yang terbakar. Kabarnya Wonogiri mulai kacau.
Kereta berhenti sebelum masuk stasiun, bu Harso tampak pucat, dik Mar memberi aku
minum teh bekal dari Tosuro. Aku mikir ibu dan adik-adik, tapi aku harus mengantar
sepupuku yang panik ini ke mbah Yem dulu.
”Dik Mar!” tegurku tiba-tiba. ”Kamu harus kuserahkan simbah dulu”
”Mas Ade mau kemana, jangan turun !”rengeknya khawatir
”Aku bukan mau turun, cuma aku dengar di Pokoh ada rumah dibakar. Besok pagi-
pagi aku harus lihat inu dan adik-adik, sekarang yang pasti kita pulang dulu ketemu simbah.”
Kereta berjalan, seperti ragu-ragu pelan sekali. Walau akhirnya berhenti, persis di
stasiun Wonogiri. Penumpang ada yang enggan turun, tapi ada pula ya ingin tau apa yang
terjadi doi kota ini. Walau situasi mencekam banyak pula penumpang yang turun sore itu.
Dari atas kulihat banyak orang menjemput keluarganya saling bertanya dan terkesan
bisik-bisik tak jelas. Tapi dapat dirasakan suasana kebatinan mereka. Kulihat Martini dengan
matanya yang bulat lebar itu, menoleh kesana kemari. Tapi tak sepatah kata pun yang keluar
dari mulutnya. Saya kira kereta mginap di Wonogiri karena sudah menjelang magrib. Tak ada
tanda –tanda bergerak.
Pak chep stasiun keluar dengan ”raket ping pomgnya” eblek diangkat bidang hijaunya
mengarah ke Masinis. Peluit berbunyi nyaring memecah suasana. Kereta bergerak pelan terus
laju sekitar pukul tujuh baru tiba di stasiun Gudangdondong. Aku turun bak pahlawan pulang
perang membawa kemenangan. Aku bukan di elukan tapi buru-buru meninggalkan stasiun.
Martini yang cerita tentang perjalanan dari Tosuro sampai di stasiun Gudang dondong.
Aku malas cerita pikiranku membayangkan Wonogiri –Pokoh ---ibu dan adik-adik, tapi mbah
biyung ? secepat kilat aku menyambar sepeda lik ku walau lik Suroto
”Pinjam sebentar lik”
”Ade mau kemana jangan lama ya!” aku mau pakai”
”Biyung, aku lapor biyung malam ini,” kalau perlu lik Roto ikut !!”
Setelah tiba di kampungku biyungku biasa saja, tak risau dan binggung seperti yang
kulihat keluarga simbah da orang-orang Wonogiri. Aku juga tak cerita, bahwa situasi kota
mencekam. ”Agar tak membuat biyung kwatir” pikirku
Selesai mandi aku makan, nasi tiwul sayur lodeh kulahap habis. Setelah selesai biyung
mendekatiku, kayaknya merasakan sesuatu, setelah aku melihat – lihat isi tas
”Kok sepertinya buru-buru ta le,ada apa ? “
”Tak ada apa-apa, cuma doakan saja ujianku lancar”
”Katanya di tunda”
”Siapa yang ngomong yung ? “ tanyaku penasaran
“Sumi, lik Sumi itu lho”
Ngomong begitu biyungku agak melamun seperti melihat ada rasa khawatir padaku.
Aku berpikit biyungku punya firasat yang tak enak, entah. Besok paginya aku pukul 10.00
pamit, mau melihat ibu di Pokoh. Beliau cuma bilang “hati-hati le “ Aku naik kereta ke
Wonogiri pukul 11.30 siang. Biasanya tepat pukul 11.00. turun dari kereta aku langsung jalan
cepat melintasi jembatan terus melihat kanan-kiri kudengar tetanggaku rumahnya dibakar
massa termasuk Wayang Kulitnya.
Setelah sampai di rumah Pokoh kulihat di pintu depan tertulis Keluarga ABRI.
Demikian pula rumah sebelah kanan rumah ibu tertulis serupa. Kata ibu setelah aku masuk
”Yang nyuruh Kodim agar terhindar dari amukan orang yang tak di inginkan.”
83

Hari itu ibu tak menyangka kalau aku sempat pulang, maka setelah menghampiri adik –
adik aku cerita sepanjang yang saya dengar saja, karena memang tak banyak yang aku ketahui.
Ibu orangya sangat takut terhadap pertanyaan siapapun yang tak dikenal, malah cenderung
menutup diri.
Adik- adik kulihat terpengaruh situasi, maka maunya aku tak boleh pergi. Apalagi si
kecil Tri, sejak aku datang selalu memengangi tanganku, entah apa yang ada di pikirannya.
Maka untuk membuat keadaan lebih tenang aku mencoba menjelaskan kepada ibu dan adik –
adik, semestinya kita tak perlu ikut larut terbawa isu.
Apa yang ditakuti, kita tak perlu takut, takut siapa. Kita tak ada alasan ikut takut.
Buktinya selama di Solo dan sepanjang perjalanan tak kulihat apapun yang menakutkan biasa
saja. Kalau perlu biar tenang kita ke kampung saja. Barang seminggu usulkku: ternyata ibu tak
setuju, sebab intruksi dari Kodim kami tak boleh meninggalkan rumah kecuali sangat
mendesak.
Dua malam aku menginap di rumah Pokoh, aku pamit ingin melihat biyung di
kampung, karena takut tak ada bus dan di kampung tak ada sepeda aku disuruh naik sepeda
saja, toh ibu tak kemana-mana untuk sementara
Pagi – pagi aku berangkat meninggalkan rumah Pokoh pulang ke kampung halaman.
Ternyata di kampung malah situasinya lebih mencekam orang –orang kampung takut ke kota,
sebetulnya banyak orang kota memilih tinggal di kampung. Maka mendengar aku pulang
banyak tetangga berdatangan menanyakan keadaan di Wonogiri. Juga kabar dii Solo. Yang
paling banyak bertanya hanya kang Midi, teman SR ku dulu seolah – olah sebagai juru bicara
mereka.
Kuceritakan sejak aku melihat Bintang Merah akhir September yang lalu atau kita
menyebut Lintang Kemukus dari mbah Rakinah sampai hari kami bertemu kembali di
kampung.
“Mas Ade, satu setengah bulan lebih di Solo apa yang mas Ade ketahui, betulkah
orang-orang PKI ditangkapi dan disiksa malah kabarnya di bunuh?” tanya kang Midi
penasaran, setengah berbisik.
”Mana aku tau kang, Ade kan saban hari sekolah, selain ada pengumuman sekolah
diliburkan dan Ujian Nasional ditunda, kami cuma dengar dari mulut ke mulut. Paling – paling
dari RRI karena tak ada kegiatan seperti saya ini dan teman pulang kampung semua.”
”Orang - orang tani seperti kami ini takut mas, ingat jaman Belanda dulu, kekota jual
panen pun tak berani sebab katanya di periksa KTP nya. Kami kan tak ada yang punya KTP?
Maka beli teh ke pasar tak ada yang berani la kok mas Ade berani atau mas Ade punya KTP?’
”Oh ya kang aku juga tak punya, umurku tahun ini bari 17 tahun, besok mau ngurus,
siapa Kepala Desanya?” tanyaku
Pertanyaan ku tadi ternyata menjadi pertanyaan mereka, kata orang – orang, Kepala
Desanya kabur. Cariknya sejak diciduk sore – sore itu, sampai sekarang tak ada kabarnya.
Bahkan saking takutnya ada Kepala Dusun yang kabur meninggalkan kampung entah kemana.
Yang ada pun kepala desa pada takut dirumah terutama yang dulu dekat dengan Kades yang
kabur itu. Lintang kemukus itu, ternyata betul kata orang-orang tua selama ini, merupakan
tengara akan terjadinya prahara mencekam.
”Oh masa, lantas yang menjabat Kades & Cariknya siapa sekarang kang ?” tanyaku
kepada kang Midi --- yang kelihatan sangat hati-hati
”Pak Hadi dan cariknya pak Cand. Sedang kadus ada diganti orang setempat, ada juga
yang dirangkap dua desa satu Kadus.” Jawab kang Midi mantab
Aku pikir, betul setiap warga harus punya indentitas. Oleh karena itu aku foto dulu atau
cetak foto klise yang ada. Sekaligus mengembalikan sepeda ke Pokoh. Maka besoknya aku
berangkat ke kota, mumpung ada waktu. Mendengar aku mau kekota penduduk kampung
84

pada titip, kebanyakan mereka titip untuk dibelikan teh atau gula, bahkan ada ibu – ibu yang
minta tolong dibelikan garam.
Dikota aku pikir lebih baik melihat adik – adik dulu takut ada apa –apa. Ternyata betul,
Tri adik kecilku badannya panas, ibu tak ada, dengan gugub dan serba salah kutanya dik Pur,
dengan terbata –bata bilang bahwa ibu dibawa ke Kodim. Kutunggu sampai sore alhamdulillah
datang dengan wajah sedih dan tak bilang apa – apa, kata ibu dikodim kecuali ditanya tentang
bapak, dan dijawab tugas diperbatasan itu saja.
Karena ibu sudah ada, aku punya tanggung jawab amanah dari kampung setelah ambil
foto, belanja, terus pulang naik kereta terakhir. Mulai hari itu hampir setiap dua hari aku ke
kota melayani dan menolong orang beli kebutuhan sehari –hari, dengan sepeda pinjaman
tetangga.
Kebetulan ketemu Endhang teman SMP dulu. Tapi tak begitu tertarik bicara apapun.
Kata mbah nya, orang tua Endhang belum pulang sejak dipanggil aparat lima hari yang lalu.
Setelah ku tanyakan teman – teman anggota Komres, yang mereka ketahui orang tua
Endhang ditahan. Mulai hari itu aku tak kepingin ketemu siapapun, juga teman. Lagi pula
mereka pulang kampung libur khusus karena situasi. Malah kata mas Wi, siswa yang akan ikut
ujian disuruh menyerahkan Surat Screening yaitu surat keterangan tak menjadi anggota
prganisasi yang berafiliasi dengan PKI.
Setelah punya pas foto, aku menghadap pejabat Kepala Desa. Tapi sebelum mendapat
Surat Screening, aku intrograsi dulu lkayanya diselidiki oleh aparat desa. Ditanya macam-
macam kegiatan ku di Solo atau Wonogiri selama ini
Kujawab apa adanya, tapi rupanya mereka tak begitu saja percaya. Kebetulan pak Kades
melihat aku langsung menegur:
”Ee kamu Ade kapan datang katanya sekolah di Solo?”
”Iya eyang, baru seminggu saya di kampung “ jawabku
”Tumben ke sini, duduk lah, aku keluar dulu ya !!”
”Iya eyang. Tapi saya perlu surat dari eyang!!” mohonku
”Surat apa KTP, sudah cukup umur?”
Agar tak banyak pertanyaan ku sodorkan catatan yang saya kutip dari dik Wiyono,
yaitu Surat Screening . Sejenak membaca beliau menyuruh staf kelurahan untuk melayani saya
sambil memberi petunjuk.
”Mas Seno, ini Ade masih cucu saya sendiri, anaknya kang Saimun ( Alm). Dia sekolah
di Solo membutuhkan surat pengantar ini tolong dibantu, tak tunggu.”
Dengan rekomendasi pak Hadi Wiryono pejabat Kades itu, aku mendapat Surat
pengantar untuk diurus di kecamatan. Karena sudah siang, kurencanakan besok pinjam
sepeda kang Midi untuk ke kecamatan. ”Toh belum mendesak juga karena saya ke Solo belum
tahu kapan” pikirku.

--------------------------------ooo---------------------------------
85

19
TERSERET (PUSARAN) BEGAWAN
DI JAMAN EDAN

D
ua hari setelah mendapat surat pengantar dari kelurahan didesaku. Aku bermaksud
meminjam sepeda kang Midi, untuk mengurus Surat Screening di kecamatan. Diluar
dugaan dari belakang pak Mul naik sepeda mendadak berhenti didepanku. Rupanya
ada masalah penting, diajaklah saya kepinggir jalan.
“Mas Ade sudah dengar bahwa Paimin tiga hari ini tak pulang dan tak ada kabarnya?”
”Belum pak, emang Paimin pergi kemana?”
”sejak wage yang lalu dia pamit ke pasar Wonogiri beli paku untuk renofasi atap
rumah. Dia hanya bawa sarung tapi sampai kemarin tak pulang. Keluarga binggung, mboknya
nangis terus, jangan jangan kegaruk ?”
”Keciduk maksudnya, tak mungkin, Paimin se blo’on itu terlibat apa, memang selama
ini kerja apa, kok terciduk?”
”Ya itulah barangkali saja dikota binggung lantas keciduk, tolong mas cari informasi.
Mas Ade kan kenalannya polisi banyak, betul tolong mas sampean kan biasa di kota.”
”Oo gitu coba besok tak tanyakan teman kenalanku tapi aku tak janji lho pak, situasi
begini benar belum tentu selamat. Doakan saja Tuhan melindungi kita. Baik pak Mul, aku
punya sepeda, tapi ku tinggal di Solo, boleh pinjam sepeda pak Mul ?
”Boleh aku juga sementara tak ngajar kok mas, kalau begitu antar aku pulang dulu,
sekaligus tanya keluarga Paimin bagaimana kabar terakhir.”
Siang itu aku dan pak Mul menemui keluarga Paimin, dan benar–benar mengharukan,
menyedihkan campur aduk dengan ketakutan yang mencekam. Entah siapa yang ditakuti,
setiap dengar derap sepatu pun penduduk pada sembunyi.
Pagi berikutnya kutemui teman – teman di tangsi polisi. Dari keterangan mereka, polisi
tak ada urusan. Yang menciduk orang – orang diduga terlibat PKI, adalah militer, dibantu
gerakan organisasi pemuda. Setiap orang bisa memberi informasi kepada aparat. Bisa jadi
karena sentimen pribadi dapat diciduk, selanjutnya ditahan urusan belakang. Nah ditahanan
polisi cuma menjaga dan mengamankan. Karena tak ada rumah tahanan (rutan), orang garukan
di titipkan di lapas. Dipilah Napi dan Tapol. Nah polisi hanya menjaga dan mengawasi Tapol
saja. Tahanan Napi tetap sipir penjara yang tanggung jawab. Namun karena jaman edan
segalanya semarwut.
Saya minta tolong mas Warno, anggota polisi yang piket sore itu. Baru paginya
kutanyakan tentang Paimin, barang kali termasuk Tapol, yang terciduk dan ditahan dilapas.
Kata mas Warno Tapol yang disel -- nama Paimin banyak lebih tujuh orang. Aku lupa bawa
catatan tentang Paimin yang malang itu.
86

Beruntung aku banyak teman anggota polisi bujangan itu sejak tiga tahun lalu. Mereka
dekat dengan aku, karena nyambi sekolah sore di SMP Netral ketika itu. Dan sering
mensuport, kalau aku main bola. Dan karena aku suka bergaul dengan mereka hikmahnya
dapat saling membantu, jika ada kesulitan. Aku sering pinjami buku jika aku dapat dari guru.
Pagi pukul 10.00 aku diantar ke LP, karena mas War, tak piket pagi itu. Dilapas aku di
bantu mas Topo dan mas Basiran yang kupanggil mas Bas.
Dari catatan yang kuberikan, ternyata --- betul, ada.-- Paimin dari Ngumbul yang hilang
itu. Setelah ada ijin bintara piket, aku diajak melihat sel tapol. Masa Allah, ternyata sel yang
dipakai mereka (tapol) adalah barak kerja Napi yang dulu aku sering minta tali untuk net
Volly Ball. Ratusan orang, dalam satu sel. Katanya kalau tidur di tata seperti ”Gaplek” singkong
dijemur. Tak berbaju karena hawanya panas, orang yang kucari begitu dipanggil “Paimin
Ngumbul,” langsung mendekat ke jendela jeruji besi. Setelah ada ijin mas Bas, aku tanya
kronologinya mengapa kok sampai di sel?
”Aku, mas, selesai beli paku dan lain – lain didepan toko ada truck terbuka mengarah
ke selatan. Setelah kutanya boleh ikut tak ada yang menjawab penumpang duduk semua. Tak
pakai baju .... aku juga disuruh lepas baju. Tak lama bak truck ditutup terus berjalan, taunya
masuk penjara?” kata Paimin
”Apa Kang Paimin tak ngomong kalau hanya beli paku terus ikut truk mau pulang
kampung?” tanyaku serius
”Aku tak boleh turun, baru mau berdiri terus ditendang disuruh duduk sampai dipintu
depan gerbang depan sana aku turun bersama orang – orang malah pakuku hilang terbawa truck,
entah kemana. Dan tolong mas aku tak salah, kenapa di penjara, disini sudah lima hari tak bisa
tidur dan haus sekali” jawab Paimin tak nyambung
Setelah jelas duduk persoalnya, aku minta tolong teman – teman anggota polisi, yang
jaga. Tapi semua tak bisa berbuat apa–apa katanya aku disuruh ke ”Pepekuper ( pelaksana
pemetintahan kuasa perang )” tempatnya di Kodim. Penjelasan yang piket aku diajak masuk
ke ruangan kantor. Setelah kujelaskan kronologinya, aku disuruh minta Surat Keterangan ke
Pamong Desa, tentang Paimin yang malang itu. Sepulang dari kodim kusampaikan ke pak Mul
guru itu malah aku diajak ke Kantor Kepala Desa, karena aku yang ketemu Paimin dan syarat –
syarat membebaskannya.
Ada lima hari proses pembebasan Paimin, setelah semua perlengkapan beres Paimin
keluar penjara, tapi disuruh apel seminggu sekali ke Kecamatan prosesnya di Koramil
Kecamatan. Berita Paimin menyebar seantero Kelurahan. Aku mendapat perhargaan
keluarganya yaitu doa agar aku tetap sehat dan lulus sekolah kata mereka.
Aku telah menemukan Paimin yang hilang. Memberi tau kepada penduduk agar tenang
tak usah takut dan bertani sebagaimana biasanya. Aku sudah mengantongi Surat Pengantar
bahwa tak pernah ikur organisasi apapun dari kelurahan. Aku cuma anak desa Yatim miskin
yang sekolah di Solo. Waktu libur luar biasa pun kugunakan sebaik–baiknya dikampung
halamanku, sekedar ikut merasakan pahit manisnya mnjadi anak kampung dalam situasi ini.
Tetapi bagaimana nasib yang akan datang aku tak tau. Mbak yu ku, ibu Alit, ibu Pokoh,
mbah Waras entah dimana selalu mengitari pikiranku. Sholat pun yang selama di Solo
kujalani, akhir – akhir ini kuabaikan karena situasi tak memungkinkan
Aku ingat Lintang Kemukus ternyata, wala-wala kuata dari biyung mengandung makna
yang semakin kentara. Mimpi burukku nonton Wayang blencong padam terasa gelapnya saat
– saat ini.
Aku tak tahu arah, hujan belebah Januari biasa terjadi setiap musim. Tapi tahun ini
sungguh membuatku gelap. Kaum tani di sekitarku baru selesai bercocok tanam, stok pangan
menipis, panen nunggu tiga bulan mendatang. Orang-orang kampung yang kerja di kota
berbondong pulang. Padahal sebelumnya habis tanam berusaha masuk kota mencari
pekerjaan. Tahun ini tak ada yang berani meninggalkan rumahnya.
87

Pagi itu hujan tak turun, pagi-pagi aku harus kekecamatan mengurus surat Screening ,
untuk kuserahkan ke sekolahan. Selesai mandi tiba-tiba aku disekati seorang pemuda, tetangga
kampung Tarmin namanya. Rupanya tak sendiri ada lagi yang berdiri disana, tapi tak kukenal.
Pemuda – pemuda ini rupanya ada tugas penting sebab dari wajahnya tak sedikit pun senyum
tata kramanya.
”Mas, aku sengaja mencari sampeyan” kata Tarmin dingin
”Ada perlu penting kang, kok tumben pagi-pagi betul?” tanyaku
”Iya kami disuruh membawa mas Ade ke kelurahan!”
”Sekarang? Atau kang Tarmin duluan aku segera nyusul?”
Karena aku harus sarapan dulu sekaligus persiapan ke kecamatan.
”Tak tunggu saja mas, kita bareng” kata Tarmin serius
”Oke ”
Pulang dari mandi tak sepatah katapun keluar dari mulutku. Didepan dua pemuda tadi
akupun diam. Setelah masuk ”surat pengantar” screening dari kelurahan ke tas ”Ganefo.” Aku
sarapan di meja makan diawasi mereka berdua
” Lho kok temannya tak diajak sarapan?” tegur biyungku
”Buru-buru yung, dia tak bakal mau” jawabku
”Bukan Tarmin to yang diluar itu ? ” tanya kang Jo tiba-tiba
”Iya kang dia menungguku sejak mandi tadi”
”Ada apa sebetulnya. Sejak subuh tadi sudah ada disitu”
”Aku diajak kekelurahan sekarang juga”
Melihat situasi dan mendengar jawabanku kang Jo melongo. Biyungku ku lihat
melamun dengan mengeluarkan air mata sedihnya. Kucium tangan biyungku juga kakangku,
kutinggalkan sarapanku tak sampai habis, rasanya tenggorokanku tak kuasa menelan.
Aku keluar pintu, kulihat Tarmin dan temannya nunggu di emperan rumahku. Aku
bertiga berangkat. Tiba – tiba kakakku memanggil:
”Tasnya, tas ini tak dibawa?”
“Tidak kang kan belum sekolah, tolong simpan !!”
”Sini tak simpannya” kata biyung sambil mendekap tas Ganefoku
Tanpa hormat sedikit pun kepada orang tuaku, dua pemuda itu membawa aku ke
kantor Kelurahan dengan pakaian harianku. Sampai di kantor Kelurahan terlihat tujuh orang
yang saya kenal sudah duluan datang. Kami delapan orang di daftar semua, selesai itu
dinaikkan truck terbuka katanya menuju kecamatan. Sama seperti di kelurahan tadi. Kami
didaftar sampai lengkap. Setelah siang kami dikasih makan nasi tiwul. Di pendopo kecamatan
itu perasaan saya seba salah, tenang dikira tegang, santai dinilai sombong, ramah dianggap cari
perhatian.
Diantara kami tak ada yang saling menegur dan bertanya apapun, semuanya tampak
pucat dan gelisah. Pukul 3.00 sore baru dikasih tau bahwa kami mau dibawa ke Kabupaten
diturunkan di Pos CPM dekat alun – alun kabupaten. Lagi – lagi ditanya dan didaftar ulang.
Selesai itu kami diminta melepas baju satu persatu, disuruh jongkok tangan diatas kepala,
berjalan 10 meteran pulang pergi. Bagi yang gagal disuruh meneruskan dengan bersalto sampai
finish.
Babak kedua kami disuruh tiarap merangka dengan siku, perut rapat diatas jalan jarak
10 meteran pulang pergi beraspal kasar. Babak ketiga disuruh scotjam masing – masing dua
puluh kali sampai teler semua. Bahkan ada yang muntah - muntah setelah minum air ditepi
jalan.
Finalnya kami disuruh mencari pasangan yang sebanding baik usia ataupun berat
badan. Tiga pasang sudah terbentuk, tinggal saya dan mbah Kromo yang belum berpasangan,
karena usia kami yang kontras. Saya berumur 17 tahun sedang mbah Kromo sekitar tujuh
puluh tahunan. Awalnya kami tidak tahu bahwa pasangan tadi mau diadu kelahi saling melukai
88

dengan tangan kosong. Hanya semata-mata demi kepuasan aparat CPM yang menyiksa
garukan.
Kulihat tiga pasang saling memukul. Kami berdua hanya diam melihat mereka. Tiba –
tiba kami ditanya seorang anggota CPM tanpa kuduga punggungku dipukul dengan rotan
sampai berdarah kulitku melepuh seraya berkata
”Begini caranya memukul kalau kamu tidak tahu! bisa!!? ”
”Bisa pak” jawabku sepontan. Tapi takkan kulakukan karena mbah Kromo kulihat
pasrah dan tak mungkin aku memukul beliau. Saya merasa tak manusiawi kalau harus
memukul orang tua itu.
Akhirnya aparat tadi mengganti dengan Sagimin. Difinal ini aku menjadi pemenang,
karena begitu aba – aba mulai Sagimin kupukul perutnya dengan tinjuku hingga tertunduk tak
bangkit lagi. Akupun bisa memberi pelajaran atas kecongkakannya selama ini. Baru ku sadar
setelah aku disuruh minum air parit juga ternyata menang pun tak ada gunanya juga.
Seusai penyiksaan di kantor CPM tadi tanpa mandi dan minum air yang wajar, kami
dinaikkan truck lagi entah mau dibawa kemana. Karena sudah gelap malam, dan posisi duduk
karena tak boleh berdiri. Sekejap ingat cerita kang Paimin dulu, jangan – jangan dibawa ke LP
atau dibuang ke mana seperti rumor yang kedengar selama ini aku menyerahkan nasibku ke
Allah seperti ajaran mbah Kung di Solo waktu belajar ngaji dulu wala – wala kuata, kata
biyungku.
Diperjalanan hujan rintik - rintik mengiringi kami, punggungku pedih disiram air dari
langit. Diatas bak truck tua yang kami tumpangi. Tiba – tiba truck berhenti, begitu bak truck
dibuka kami satu – satu disuruh turun, sambil dihitung dengan pukulan rotan dipantat masing -
masing sampai delapan hitungan.
Ternyata aku dimasukkan LP seperti kang Paimin. Rasanya mau berontak protes keras
tapi kepada siapa. Mereka petugas yang tak kenal aku. Setelah masuk di wilayah LP, dan
diserah terimakan kami disuruh istirahat menghadap ke lapangan di tengah komplex LP.
Waktu yang sempit itu kugunakan untuk cuci tangan dengan air yang mengucur dari talang,
karena tak ada yang menegur akhirnya seluruh badanku kuseka dengan peresan bajuku.
Kami dipanggil satu persatu, saat aku dipanggil agak gugub dan malu. Tak kusangka
yang piket mas Bas temanku yang membantu menemui kang Paimin disini dulu. Aku tak
berani menyapa, begitu juga beliau kelihatan serba salah.
Selesai dicocokkan kami digiring menuju sel tempat Paimin di tahan dulu.
Kubayangkan jaman Paimin saja sudah penuh sesak betapa lebih berjejalnya sekarang?
Tak meleset perkiraaku didalam sel kami tak ada tempat yang tersedia, terpaksa masing –
masing cari lowongan mana yang bisa untuk menaruh pantat.
Masih binggung mencari lowongan, tiba - tiba dari jarak agak jauh aku mendengar
orang memanggil namaku, tapi tak banyak sela – sela untuk menginjakkan telapak kakiku.
Mendekati kang Kliwon rasanya berjam – jam lamanya.
Lega setelah menyentuh tangan kang Kliwon aku pelan–pelan ditarik kedekat
kaplingnya. Yang saya heran kang Kliwon seperti tak merasa menderita. Dia malah bertanya
macam – macam. Seolah –olah malah senang aku bisa ketemu dia lagi.
Setelah kutanya bagaimana cara tidurnya, dengan enteng seperti tak ada masalah dia
menjawab ; ”Gampang Ade bisa diatur kita gantian.” ”Sialan”batinku ”Makannya gimana
kang” ”Belum makan ya, tadi ada pembagian sekarang sudah selesai, kamu terlambat sih”
jawabnya dengan enteng . ”Ya berarti malam ini tidak ada makan malam” kataku berguman.
Malam pertama ku di ruang penjara tak akan kulupakan. Panas, pegat, bau keringat
campur WC terbuka semua jadi satu. Ada yang teriak, ada yang ngorok ada yang duduk –
duduk antri tidur.
Di sisi sana kaki – kaki kotor berdiri berjajar didinding seperti wayang kulit pada pentas
semalam suntuk. Sedang kepalanya ditaruh diatas gumpalan baju masing -masing berhimpitan
89

layaknya rakit. Disebelah kananku terlihat antri ke WC sampai hampir dua belas meteran.
Semua membawa gumpalan apa saja. Ternyata benda pengelap pantat setelah BAB.
Sebagai closednya drum kayu bulat diameter + 80 cm berjajar dua buah. Tanpa
dinding penutup. Ataupun penyekat. Darimanapun orang dapat melihat diatas drum ada
pasangan buang hajat sepanjang masa tak ada jedahnya kecuali pagi, itupun karena ”closed
drum tadi penuh”
Setiap pagi drum kembar tadi didorong rame rame ke pintu dan dipikul berdua setiap
drum. Kata kang Kliwon siapapun yang masih kuat fisiknya boleh mendaftar sebagai pembuang
tinjak ke sungai Bengawan Solo dibelakang LP satu km dari LP bagian depan. Sepulang
nggotong drum ada yang membawa air bersih dan daun-daunan yang bisa dikunyah dan
dimakan.
Tidak semua mendapat kesempatan menjadi relawan pembuang tinjak. Harus lolos
seleksi ketahanan fisik bau tinjak dan harus terdaftar.
”Kalau begitu aku mau mendaftar kang!!!” usulku
”Jangan berbahaya ” kata kang Kliwon serius
”Kenapa ----aku sehat, sudah dua malam berada dekat WC itu ?” berarti aku tahan uji
dong !!!”
”Dengarkan saya. Pernah terjadi, salah satu penggotong fisiknya kuat tapi mentalnya
rendah. Saat menggotong drum tiba di dekat penjagaan dia gemetar dan muntah. akhirnya
roboh. Drum terjungkal tumpah menggenangi taman dan parit dekat penjagaan, suasana
gegeran dan gaduh. Lima jam tak ada yang melintasi TKP. Pos jaga tutup keadaan konsinyur -
--gawat kan!”
”Kok konsinyur?” tanyaku heran
”Bagaimana tidak siapa yang mau lewat disitu ?”
”Terus akhirnya ? daerah itu tak ada penghuninya”
”Yaitu – penggotong satunya di suruh nyekopi tumpahan itu ?”
”Akhirnya beres kang ?”
”Masalah timbul lagi, pasangannya yang tak mabuk tadi tak mau disuruh!!”
”Alasanya?”
”Dia tak merasa bersalah, kok di strap disuruh nyekopi? “
”Ha...ha..ha....ha” aku bisa tertawa terpingkal-pingkal
”Kenapa tertawa? Ini serius, Ade jangan bercanda”
”Begini kang, sampeankan sudah pengalaman disini dibanding saya, tapi tak ada
kemajuan, orang saya merasa geli kok tak boleh”
”Kenapa geli ---apanya yang lucu ?”
”Tadi siapa yang disuruh nyekopi tumpahan tinjak tak mau ? karena merasa tak salah ?
kan lucu ..... kita ini di lingkungan gila di jaman edan. Kok masih mempersoalkan tak bersalah
segala. Siapa yang salah? Seperti kang Kliwon apa salahnya kok di Lapas ? ”
”Tapi aku kan bukan Napi. Tapol de.. ”
”Bedanya apa, wong nasibmu lebih busuk dari Napi ?”
”Aku bukan penjahat ---- tapi ....? ”
”Tapi gombale mukiyo juga !!”
”Itulah maksudku, maka Ade jangan mendaftar”
”Mengapa aku harus mendaftar yang senior saja diam”
Mendengar argumenku kang Kliwon berdiri, rupanya tak tertarik bicara dengan aku.
”Kang --- terus nasib tinjak yang tumpah, siapa yang bertanggung jawab?” tanyaku lagi
”Buat apa Ade bertanya segala”
”Lha kenapa jadi begitu? ” tanyaku mendesak
”Aku tak suka mengingat peristiwa itu”
”Tadi yang membuka cerita kan kang Kliwon”
90

”Iya betul, tapi kalau ingat kasus itu .... aku jadi goblok! Betul kata Ade di jaman begini,
kok masih mengyoal apa salah kita terus apa salahku aku di jebloskan di sini!!!”
Aku bosan keluhan sahabatku itu, walau kali ini kang Kliwon adalah seniorku dari segi
umur, tapi dari wawasan tentang kebangsaan dia saya ragukan. Karena belum pernah
mengetahui mata pelajaran civic.
”Sudah kang tak usah bicara tentang relawan tinjak, lebih baik membahas apa yang
akan dilakukan di neraka ini “ candaku kesal
Tentang makan setiap siang dan petang Tapol dikasih makan nasi tiwul ditaburi ikan
asin dalam piring seng. Dari dapur piring berisi tadi ditumpuk sepuluh – sepuluh, masalah
pantat piring kotor ditumpukan ke isi piring dibawahnya tak bisa protes.
Dua hari sekali ada sayur kangkung digotong dengan drum seperti drum WC juga tak
boleh heran. Percuma, tak ada protes bagimu kata orang - orang bergurau. Hari pertama. Agar
dapat melihat keluar aku berdiri di dekat jeruji jendela, pagi itu ibu-ibu Tapol wanita digiring ke
sumur dekat aku berdiri. Barisan ibu – ibu itu kuperhatikan, terkejut bukan kepalang, ternyata
ibu Pokoh ada diantara mereka. Ada Martini adek sepupuku, mantan bu Kades, dan lain –
lain. Ternyata ibunya mbak Endhang juga jadi Tapol?
Sepulang dari sumur Martini ku panggil, ibu ku panggil hanya Martini yang menoleh
dan melihat aku. Tak lama setelah itu ada Napi gagah membawa piples almunium berisi air
sumur menuju jendelaku. Setelah dekat dia memanggil namaku aku kaget, kusambutt cepat,
sambil menyerahkan piples Napi gagah bilang: ”Dari adikmu mas, Martini.”
Melihat aku mendapat air dalam piples, orang dekatku berebut minta tanpa sungkan –
sungkan. Dari jauh kang Kliwon teriak jangan dihabisi sekarang Ade, nanti juga diperlukan!!!
Mendengar itu dengan sopan kukasih tau orang – orang yang belum kebagian bahwa air tinggal
sedikit. Tapi tetap saja merengek minta dikasihani sungguh memilukan. Paginya hari kedua ada
yang memanggil aku agar mendekat ke pintu sel. Napi gagah kemarin membawa seikat kunci,---
- lantas pelan dan hati – hati membuka pintu agar aku keluar sel. Pintu sel dikunci lagi orang –
orang tegang, aku termangu dalam batin ”Mau diapakan aku .”
Dari atas saku bajunya Napi itu, kubaca namanya; ”Jarwo.” Dengan senyum ramah
menanyakan tentang piplesku. Setelah kutunjukkan aku disuruh ke sumur dan mengisi air
sampai penuh. Aku diantar ke pintu pagar pembatas memberi air ibu-ibu, disana. Selesai itu
aku dikasih sapu disuruh nyapu di dekat sel massal tadi. Entah kebijaksanaan siapa, seharian
aku di luar sel. Boleh membantu melayani Tapol walaupun terbatas di sel yang panjangnya
+ dua puluh meteran itu. Terutama orang yang minta air sumur, atau air hujan yang mengalir
dari talang.
Dua hari itu aku setiap pagi dikeluarkan dari sel, sore masuk lagi. Selanjutnya saya
diluar sel tapi tidak boleh jauh dari pos penjagaan. Bahkan boleh duduk dan tidut di pos jaga
saat pak Karno sipir penjara piket disitu. Beliau ayah temanku di SMP dulu. Ada juga om
Sahir. Aku banyak kenal sipir yang muda-muda tapi mereka bertugas pos utama..
Hampir sebulan aku jadi Tapol tapi tak boleh kedaerah sel ibu – ibu. Pada suatu hari
dua anak kecil dibawa ibunya ke sel Tapol. Sepintas seperti adikku Tri ya betul dik Tri.
Dengan bantuan petugas di pos, aku dapat memanggilnya dan kulambaikan tanganku. Dia
membalas dengan tangannya yang mungiil itu. Setelah teman kecil satunya lari, adikku ikut
lari. Pak Jarwo sorenya ngontrol kunci – kunci. Dan sambil membantu pak Jarwo
kusampaikan niat menemui adikku. Kata pak Jar besok saja saat besuk, karena mulai awal
bulan ini Tapol boleh dibesuk. Bagi semua Tapol di besuk keluarga adalah kegembiraan.
Karena selain ketemu keluarga makanan yang dibawa pun sangat membantu.
Kata orang senior dikalangan Tapol, pemerintah bisa kerepotan jika harus memberi
makan Tapol dengan nasi yang layak. Walaupun hanya dari tepung gaplek, maka Tapol
dikasih nasi tiwul yang tak layak.
91

Untuk menjaga Tapol tak kena busung lapar agar kelihatan tak melanggar Pancasila dan
hak asasi besuk dibuka ijinnya. Konon untuk mendapat surat ijin membesuk, ada yang
menyuap senilai seekor kambing jantan. ”Dasar jaman edan.”
Dan aku sendiri sebetulnya tak punya alasan di Tapol kan, maka kata om Sahir aku
semestinya diluar sel Lapas, kabarnya di Gudang Seng. Bahkan katanya anak-anak pelajar
sudah dilepas.
”Tapi sampai kapan om? ” tanyaku
”Ya, kalau soal itu om tak tau, karena urusanku kan Napi”
”Sebetulnya pengertian terlibat itu definisinya apa om ? “
” Jangan tanya begitu, aku bisa terlibat, karena jamansekarang harus hati – hati salah
bicara bisa diciduk,” kata om Sahir agak sedikit takut sambil menjauhi saya.

................................ooooo....................................
92

20
”HABIS GELAP TERBITLAH SURAM”

H
ari besuk tak ada batasannya, kecuali ada konsinyur katanya. Sebagai petugas
memanggil tapol yang dikunjungi keluarga adalah para napi, diawasi polisi dan sipir.
Aku sendiri tak mengharap banget besukan biyung semata - mata kasihan. Diluar
dugaan namaku dipanggil. Kutemui pembesuk, ternyata biyungku. Padahal tak menyangka
kalau biyungku berani masuk lapas. Sebab, dulu ada kiriman satu sisir pisang saja, kabarnya
minta tolong seorang anggota polisi yang dikenal om Sahir. Itupun membayar lima ribu rupiah.
Tapi kata om Sahir, biyungku tak pernah titip pisang. Kalau uang lima ribu rupiah itu benar.
Tapi oleh mas Warno anggota polisi itu menemui Ade membawa pisang.
”Toh andaikan aku mendapat titipan uang itu, mau beli apa?” kata om Sahir.
Ternyata biyung membesukku di Lapas dibantu pak Mul guru itu, sekaligus besuk
Paimin. Maka setelah kulihat pak Mul kutemui beliau.
”Terima kasih pak Mul, sudah mengantar biyungku.”
”Oh mas Ade, tak usah terima kasih aku sekalian besuk Paimin! “ jelasnya
”Paimin kan sudah keluar, kok dibesuk? “ tanyaku
”Mas Ade belum tau to, kalau dia di ciduk lagi ? ”
”Ya ndak tau, kan semua Tapol tak bisa keluar.”
”Begini ” kata pak Mul berbisik. ”Ketika Paimin keluar dulu itu keluarga mengadakan
syukuran. Ternyata ada larangan berkumpul lebih dari lima orang tanpa ijin kecuali
sekeluarga.”
”Lho, kalau kendurian, tak boleh undang tetangga. Terus bagaimana?” tanyaku keras
”Jangan keras-keras mas Ade, sudah itu saja ya.” Rupanya pak Mul cemas, maka buru-
buru menyudahi obrolan. Terus kutemui biyungku yang lagi ngalamun kupanggil beliau.
”Yung, jangan gelisah ya yung. Aku sehatkan?”
”Terus Ade makan apa?” tanya biyungku
”Aku ada yang memberi makan kenyang kok Yung, jangan khawatir jika sedang piket
om Sahir & pak Karno jatah makannya selalu dikasih ke saya. Biyung jangan khawatir dan
sekarang pulang saja dengan pak Mul. Nanti kesorean.”
Pukul 11.00 siang, biyungku dan pak Mul pulang. Nasi beras dicampur tiwul dengan
tempe dimasak santan. Kumakan bersama teman-temanku yang belum dibesuk, begitu
kebiasaan kami ditahanan Lapas.
Pukul 04.00 sore, yang tak kuduga mbak Har dan ibu Alit diantar dik Pur membesuk
aku. Saat itulah kubisikkan kepada mbak Har, bahwa di tas Ganefo ku ada Surat Keterangan
yang dibuat oleh pak Kades Carteker dan belum diketahui Camat. Karena surat itu penting
buat menyelamatkan nasibku aku minta tolong agar dibawa ke LP.
Atas permohonanku tadi, mbak Har dan ibu Alit membatalkan ke Solo sore itu.
Terpaksa harus nginap di Pokoh dan besoknya naik sepeda mencari tasku. Berkat kelincahan
93

mbak Har dua hari kemudian aku ditemui petugas jaga. Bahwa dalam minggu ini katanya aku
mau diproses. Walaupun aku tak paham aku bilang terima kasih. Nasib di tangan Tuhan.
Ternyata sebelum aku di proses banjir bandang Bengawan Solo terbesar sepanjang sejarah
memporak porandakan segalanya. Dua jembatan raksasa peninggalan Belanda ambruk
diterjang amukan air. Semua Tapol dikeluarkan dari Lapas karena dekat dengan sungai Solo
itu.
Aku ajak ibu pulang ke Pokoh melihat adik – adik tapi tak bisa karena jembatan Jurang
Gempal ambruk. Padahal itu satu – satunya jembatan yang menghubungkan jurusan Wonogiri
ke timur. Ibu panik, semua panik memikirkan keluarga di rumah. Kabarnya kota Solo habis
tergenang. Aku percaya mbak Har tak disana, tapi, mbah War dan mbah Putri dimana?
Biyung juga jadi pikiranku. Aku diluar lapas nginap di tangsi asrama polisi tempat sahabatku
sedangkan ibu kerumah mbak Tatik di Sanggrahan.
Dari pembicaraan yang kudengar dan orang-orang yang memantau situasi saat itu
pemeritah sedang panik. Bagaimana jika Tapol yang berada diluar Lapas tak kembali. Jika
banjir telah surut. Ternyata spekulasi meleset, Banjir reda di hari ketiga dan tak satupun tapol
yang kabur. Andaikan banyak Tapol yang kabur, situasi bisa kacau kata orang – orang itu.
Mungkin juga nasib saya jadi lain.
Alhamdulillah aku mendapat panggilan kejaksaan untuk diperiksa. Setelah masuk
ruang pemeriksaan, aku berhadapan dengan petugas dan mulailah introgasi sebagaimana
biasanya.
Pada saat saya ditanya tentang kegiatan organisasi pelajar yang saya ikuti dan kaitannya dengan
pra meletusnya peristiwa G.30.S. kukeluarkan Surat Keterangan dari Kelurahan dan surat
Screaning dari Kecamatan. Sementara pemeriksaan dihentikan, dan petugas kejaksaan yang
menegosiasi saya pergi sebentar. Tak lama kemudian keluar lagi. Aku disuruh menunggu di
kursi lain, pemeriksaan dengan saya dianggap selesai.
Tak lama kemudian aku dipanggil dan mendapat surat hasil pemeriksaan yang isinya
aku hafalkan, intinya; Setelah diadakan pemeriksaan dengan seksama, tak diketemukan
indikasi orang tersebut ikut organisasi atau menjadi anggota organisasi apapun. Dan tidak ada
alasan menahan lebih lanjut. Untuk itu sejak ditertibkan surat hasil pemeriksaan ini orang
tesebut dalam hal ini nama Ade dst ”dibebaskan.” Kubaca berulang-ulang surat penting itu.
Hari itu dunia gelapku belum tamat. Setelah aku dibebaskan dari kawah ”Candra
dimuka” aku memilih diam sejenak diluar kantor Kejaksaan. Aku malah binggung -- rasanya
berada diruang hampa, tanpa uang, tanpa teman, tanpa tujuan, tanpa informasi kelanjutan
ujianku.
Siang itu aku menghitung dan menrencanakan apa yang harus kulakukan setelah ”Surat
Sakti” ini kugenggam. Aku ingat mbah Kung di Solo, mbah Putri yang tulus mengusap kakiku
jika capek, biyungku yang kampungnya berlumpur diterjang banjir. ”Ibu dan adik – adik di
Pokoh --- tapi jembatannya ambruk, atau mbak Harjuti masih di Nglawu” pikirku.
Andaikan mbak Har ada disampingku... ah,... percuma ternyata aku cuma melamun
sendirian. Kudengar azan di masjid Kabupaten, akhirnya kuputuskan ke masjid, sesampai di
masjid aku wudu, terus shalat dzuhur. Orang – orang keluar aku sendiri ingat biyung. Ingat
mbah Kung, ingat tak ada uang sepeser pun ingat Allah...... Alhamdulillah aku sadar walau
bagaimana pun aku harus pulang kampung dulu. Kulapori biyung ku juga kakakku.
Dengan surat dikantong ini, akan ku tunjukkan kepada kondektur kereta api. Bahwa
aku terpaksa menumpang. Pikiran ku mulai bangkit. Aku ke stasiun. Apapun yang terjadi aku
terpaksa siap malu naik kereta api tanpa uang. Maka saat dikereta jurusan Batu, aku berdiri di
bordes saja. Kondektur menyuruh aku ke gerbong, tak patuhi. Setelah menanyakan karcis
kutunjukkan surat dari Kejaksaan itu. Dilihat sebentar, dikembalikan lagi kepadaku tanpa
menegur apapun dia pergi ngurus yang lain.
94

Saat itu aku tak sadar ngalamun apa tertidur, ternyata aku keterusan. Semestinya turun
di stasiun Gudangdodong, terpaksa aku turun di stasiun Betal dan waktu sudah pukul satu
siang. Aku kaget. Apa boleh buat sekalian menghadap pak Camat, melapor bahwa aku sudah
bebas.
Kebetulan pak Pram, Camat Ngantoronadi masih dikantor. Aku langsung ijin
menghadap, kebetulan pak Kris Kepala Desa setempat berada di kantor Kecamatan. Maka
setelah disuruh duduk, aku di wawacarai dengan ramah, setelah membaca surat bebas yang
kusodorkan.
”Berapa bulan mas Ade ditahan ?” tanya pak Camat
”Dua bulan pak, kalau dihitung sampai kemarin .”
”Dari surat ini mas Ade statusnya masih pelajar, dulu bagaimana ceritanya, kok bisa
terjadi padahal dari Surat Keterangan Kades ini cukup jelas, bahwa Ade tak terlibat organisasi
apapun. Apa dalam pemeriksaan dulu, sebelum mas Ade masuk tahanan tak menunjukan
surat keterangan ini kepada yang memeriksa ?”
”Saya tak pernah diperiksa, atau ditanya – tanya dulu oleh siapapun, baik di Kelurahan
atau di Kecamatan sini pak, tau – tau ya diajak ke Kelurahan terus ke Kecamatan, dinaikkan
truck ke Kantor CPM, di siksa dulu baru di masukkan ke LP. Saya diperiksa kemarin di
Kejaksaan, karena mbak saya protes dan membawa Surat Keterangan yang bapak tanda
tangani.”
”Pak Kris masih ingat mas Ade ini? ” tanya pak Camat.
”Bukan hanya ingat pak, siapa tak kenal mas Ade, dia kan penjaga gawang kita, dan
yang di dinding itu kan gambar yang dibuat mas Ade. Baik Garuda Pancasila dan yang bilang
bapak gambar Tunggak, Gagak dan Tengkorak yang mengandung filsafah itu, benar kan
mas..?”
”Betul pak, itu gambar saya saat masih di Sekolah Rakyat dulu. Malah saya tak tau
kalau di pajang. Ketika itu saya juara pertama lomba gambar tingkat Kecamatan sebanyak dua
kali.”
Pak Pram sambil tertawa kecut menutup obrolan kami. ”Mas Ade, ambil hikmahnya
saja ya, dan minta maaf ternyata selama ini, karena situasi yang tak jelas, mas Ade jadi tumbal.
Padahal mas Ade selalu membantu kita selama Kepala Desanya kabur kemana. Sekali lagi
minta maaf, kita doakan saja semoga mas Ade kembali sekolah dan tercapai cita –citanya. Mas
Ade ada rasa dendam?”
”Oh tak mikir dendam pak. Hanya yang saya pikirkan apakah saya masih bisa
mengikuti ujian nasional di Solo, karena sudah kutinggalkan beberapa bulan. Itu saja, kok
pak!!”
”Oh, Ade terakhir sekolah di Solo, kenapa jadi begini ? Pak Kris mendengarkan, ya
sudahlah apapun kita doakan semoga mas Ade tetap bangkit lagi.”
Selesai ngobrol aku diajak ke rumah belakang dan kami bertiga makan siang, nasi tiwul
tak ketinggalan. Walupun Camat karena situasi ekonomi masih jeblok.
Selesai makan istimewah di kediaman pak Camat, aku dikasih kode oleh bu Camat.
Agar aku tidak beranjak dulu. Setelah meja makan bersih, bu Camat dengan mata sembab
mendekati aku. Tak kusangka beliau empati terhadap keadaanku, maka tuturnya: ”Mas Ade,
sampean dapat ketemu lagi dengan ibu, Alhamdulilalah mas Ade, puji syukur. Dulu ibu marah
ke bapak, mas Ade dibawa begitu saja, padahal ibu sudah mengingatkan bapak. Ketika itu juga
sadar tapi tak bisa berbuat apa, serba binggung. Maka saat mbak Harjuti minta tanda tangan,
bapak tak ajak berdoa agar Ade segera bebas dan meneruskan sekolah. Ya Allah, terimalah
maaf kami dan ampuni bapak. Mas Ade tak disiksa kan?”
Tanpa sopan, kubuka bajuku, ku tunjukkan punggungku yang terdapat bekas dera’an
rotan, kurapikan bajuku dan minta maaf kepada bu camat karena terpaksa tak sopan. Bu camat
95

mengerti, dan kuceritakan dengan singkat nasib yang kualami karena harus ke stasiun naik
kereta lagi ke utara menuju kampungku.
Dengan ihklas bu Camat melepas aku sambil memberi sejumlah uang untuk ongkos
pulang. Demikian juga pak Kris yang simpatik itu memasukkan sesuatu ke saku bajuku dan
mengantar dengan sepeda ke stasiun.
Dua kilo sebelum tiba di kampungku saksikan porak porandanya tempat kelahiranku
akibat terjangan banjir Bengawan Solo yang dahsyat itu. Kupeluk biyungku, tapi tak kulapori
bahwa saya sudah bebas. Beliau mungkin curiga kok aku nginap dirumah sampai lima hari,
beliau khawatir dicari orang – orang lagi.
Setelah satu minggu di kampung aku pamit mau ke Solo, mencoba sekolah lagi,
biyungku heran, maka tanya beliau: ” Sekolah, kamu mau masuk sekolah? apa selama ini
hanya libur? duh ngeger-ngger, mbok tak usah ngoyo ( memaksa) toh ngger. Apa bulikmu
masih di Solo, terus Hardjuti dimana? apa dia boleh di Solo oleh pakdemu, ini ada sedikit
uang tapi apa cukup?”
Kujawab Biyungku sekenanya saja dan hanya doa biyungku bekal yang paling penting juga
kakakku yang ketika itu berada disamping ku tak berucap apapun, kecuali menyalami dan
menganguk tanda merestui.
Kota Solo masih kurang kondusif aku mendengar banyak tentara yang ditangkap oleh
tentara juga. Maka dengan dua lembar surat penting di sakuku. Aku nekat masuk kota
Bengawan itu dengan was – was dan orang pertama yang kucari ialah mbak Har dan bu Alit di
Gading. Tapi yang kujumpai cuma lik Sum dan si Genuk ponakannya. Saking sederhananya lik
Sum, tetap cerewet dan ceplas – ceplos, maklum tak tau situasi. Bu Alit mungkin habis panen
baru buka warung dan mbah Kung di Banjarsari katanya selalu menanyakan kabar Ade, karena
mbah Putri sakit – sakitan sejak aku tak datang.
Begitu sederhananya informasi itu tapi membuat aku ingin segera bertemu Mbah Putri.
Maka aku pamit lik Sum dan ternyata dia ingin ikut, takut tak ada yang memasakkan saya
disana. Menjelang tiba di halaman ”Kyai Ringkih” sudah memberi isyarat teriak – teriak
”Hebat kuda itu” batinku. Pintu rumah mbah kung dibuka, kelihatan simbah yang energik itu
faham kuda menjerit renyah tadi. Pasti ada orang yang dikenal datang. Begitu melihat aku
mbah Kung ikut teriak memanggil mbah Putri, dan mbah Putri pun menyaut, walaupun
kedengaran serak – serak batuk, mbah Putri menghampiri saya, yang selama ini kutinggalkan.
Persis seperti tiga tahun yang lalu saat aku pertama kali bertemu mbah Putri, bedanya
sekarang seperti menumpahkan rindunya dengan sepuasnya memukul - mukul bahu dan
punggungku diemperan rumah.
Entah apa maksudnya dengan dibantu lik Sum, mbah Kung menimba air memenuhi
bak mandi. Aku diglendang tanpa melepas baju dan celanaku, dimandikan di sumur sebelum
masuk rumah. Untung dokumen penting itu kutaruh di tas Ganefo kumuhku.
Seperti di komando, lik Sum ikut memandikan saya dengan sabun dari kepala sampai
kakiku, hingga tiga kali. Sadar mandi upacara setelah mbah putri membawa handuk dan sarung
goyor serta baju kesayanganku. Hadiah dari bu Alit dulu. Tanpa disuruh aku langsung ke
Mushola shalat Dzuhur, yang selama ini tak kulakukan dengan semestinya. Kecuali di Masjid
Agung kabupaten usai dibebaskan dari kejaksaan tempo hari.
Hari itu aku seperti pulang dari merantau bertahun – tahun rasanya, dan lik Sum yang
selama ini sibuk di warung bu Alit mencurahkan seluruh tenaganya ke saya. Setelah kusindir
”tumben lik” ternyata dia memang ditugasi mbah Har untuk ngurus saya jika aku kembali ke
Solo.
Kebahagian hari itu dilanjutkan makan siang bersama nasi putih beras Rajalele, pepes
Bandeng Semarang, sambal Klenyom, sayur lodeh, daun melinjo masakan kesukaan saya. Jelas
paling enak dari yang kumakan selama empat bulan ini. Selesai makan aku disuruh mbah Putri
96

istirahat dan yang pasti sebelum memejamkan mataku tangan kriput mbah putri memijit saya
sebagai pengantar tidur, sampai menjelang shalat Ashar.
Selesai shalat Ashar kutanyakan dimana mbak Harjuti, dan mbah Kung lah yang
menjelaskan : “Begini le, seusai ngurus surat – surat untuk Ade, mbakmu di bawa ke Jakarta
oleh seorang perwira KKO pak Bintoro namanya. Adapun maksudnya, biar mbakmu tak
terjadi apa –apa dalam keadaan jaman seperti ini. Karena pakdemu, bapaknya mbakmu konon
mulai dipanggil ke Kelurahan yang selama ini jika seseorang mulai di panggil ujung – ujungnya
ribet bisa –bisa malah gak pulang.
Apalagi mbakmu bersikeras menolak dinikahi Kades di Kelurahan sana itu. Namun
jelasnya mbakmu meninggalkan surat untukmu. Mungkin Ade tau lebih lengkap setelah kau
baca isinya, nanti saja setelah mbah Putri selesai Ashar!!”
Mendengar penjelasan mbah Kung perasaaku menjadi lega, walaupun sejujurnya aku
belum begitu ihklas ditinggal mbakku satu – satunya itu. Yang menjadi pertanyaaku siapa
Bintoro itu, benarkah seorang perwira, betulkah anggota ABRI, jangan – jangan ......?????”
Karena penasaran, selesai shalat Ashar mbah Putri menyerahkan amplop surat yang
katanya dari mbakku, buru – buru kuterima amplop putih yang pinggirnya ada strip-strip itu.
Kubawa ke kamar dengan perasan gelisah, penuh tanda tanya.
Saat membuka surat yang kulihat pertamat ialah tanggalnya dulu dan kucocokkan
dengan tanggal surat Screning dari Kecamatan. Setelah itu surat hasil intrograsi kejari
Wonogiri. Kesimpulan saya sementara, mbak Har membuat surat protes setelah surat Screning
dari Kecamatan. Kurenungkan mbak Har protes atas penahananku, pasti ada yang membantu.
Saya kira yang membantu kalau laki – laki kenalan pakde Gunung yang mau kenal mbak Har
it, saat kang Bejo mau ke Solo . Daripada penasaran kubaca surat mbak Har saja :

Solo, 04 April 1966

Adikku yang tegar


Alhamdulillah berkat kemurahan Allah. Dokumen sederhana
didalam tas Ganefo adik ternyata berperan penting menyelamatkan
adik dari ”Neraka” tahanan. Sayangnya ketika itu tak sempat
ditunjukkan kepada pak Camat. Dan surat rekomendasi itu belum
dikuatkan ( dilegalisir pak Camat). Maka siang itu juga setelah
kutemukan aku langsung ke Kecamatan menghadap pak Camat,
dan kebetulan pak Pram belum keluar kantor. Maka setelah
dibubuhi nomor dan stempel aku menghadap di pendopo.
Begitu mrmbaca surat rekomendasi dari Kades ( carteker) pak
Pram terheran: “ Kalau daridulu ada surat begini kenapa Ade tak
bilang, andaikan akutau dari dulu sejarah Ade kan tak sampai
berlarut –larut?” Kata beliau.
Aku juga matur kata Ade, selama diambil dari rumah sampai
di kecamatan tak tau mau dibawa kemana dan mau diapakan,
tahu – tahu diangkut truck dari sini terus ke CPM. Begitu saja pak
!!. selesai di gebuki terus.... ya sampai sekarang ini !” kataku.
97

Pak Pram tercenung tampak menyesal, aku diajak ke beranda


belakang, bu Pram nimbrung, ikut menyalahkan pak Pram. “
bapak selaku Camat apa yang bapak perbuat selama Ade begini.
Ingat pak pada saat ada surat dari PP kuper. Bapak kan binggung.
Kepala desanya minggat, carit di ciduk, padahal rakyatnya harus
upacara di lapangan. Ade juga kan yang membantu mengerahkan
masa ? atas perintah bapakkan. Saat mau membaca teks pernyataan
tidak ada satupun yang mau dan berani Ade juga yang maju?”
Setelah itu dik atas permintaan bu Pram aku disuruh ke
instansi yang berkompeten kebetulan om Bintoro adik bu Pram cuti
bersama keluarga ada di rumah bu Pram, besoknya atas bantuan
beliau, membawa secarik dokumen itu. Kata staf Kejari Ade mau
diproses secepatnya. Sorenya aku menghadap pak Pram lagi
melaporkan hasil protes kami. bu Pram lega malah atas insiatif
ibu Pram. Aku sementara suruh ikut om Bintoro di Jakarta,
kebetulan dik Ratih Putri beliau juga sekolah disana. Pak Pram
setuju, kata beliau kebijaksanaan ibu tepat, menghindari hal – hal
yang tak diinginkan. Jaman “edan” seperti ini ,maka harapanku
Ade cepat bebas, dan ikut ujian Nasional sebagai mana mestinya.
Surat ini jangan sampai tau siapapun kecuali bu alit kalau
ada yang bertanya kuserahkan saja jawaban ke Ade. Aku percaya
Ade kan jago urusan deplomasi.. cukup ya mbakmu buru – buru
mau nderek om Bintoro dan surat ini kutitipkan simbah sebelum
naik kereta ke Purwosari.

Mbakmu

Retno Harjuti.

Kubaca berulang–ulang surat mbak R. Harjuti. Oh ya nama mbak ku pakai R bukan


Roro tapi Retno. Setelah puas membaca kulipat pelan – pelan kusimpan di tas saktiku Ganefo
(Games Of The New Emerging forces) : Kalau tak salah artinya “Berevolusi menentang
imperialisme dan neokolonialisme” aku harus berevolusi, akan kutemui dik Teguh apa dia
masih di Solo? Ztinggsl dik Teguh yang bisa ku mintai informasi.
Pagi berikutnya setelah menyimpan rapat dan cermat surat mbah Har aku pakai sepeda
mbah Kung cepat – cepat mencari dik Teguh, kebetulan masih ada di kosnya. Dia kaget terus
teriak ”Mas Ade alhamduallilah mas kita ketemu lagi, kok sampeyan agak kurusan, tapi sehat
98

kan?” Menyalami begitu dik Teguh melihatku dengan agak kaget seraya mengajak aku masuk
ke kamarnya.
”Begini mas Ade dia mulai cerita panjang lebar teman - temanya dari Wonogiri, baik
yang di Ganesa atau yang di Banjarsari tinggal lima orang yang dulunya sebelas ditambah Ade
menjadi enam” katanya
”Kamu tau dari mana kok sedetail banget bahwa anak dari Wonogiri tinggal lima orang
yang lainnya kemana?” tanyaku.
”Begini mas setelah libur ada pengumuman bagi anak kelas III yang mau UNAS
disuruh membawa Surat Keterangan dari pamong praja masing – masing bahwa tidak terlibat
organisasi yang berafiliasi dengan PKI.”
”Setelah libur? libur apa selama ini kitakan dibiarkan sampai batas waktu yang belum
ditentukan, terus setelah liburnya kapan?”
”Betul mas pengumuman memang begitu, maka kacau, sebagian malah tak mendaftar
UNAS, sampai sekarang termasuk mas Ade, aku mau ngasih tau sampeyan kemana mbah
Waras juga tak tau. Solo kacau mas, aku pulang kampung juga. Tau ada berita bahwa harus
mendaftar juga dari tetanggaku yang mau ujian SPG Wonogiri,” kata Teguh
”Aku juga tahu Guh, dari Endhang teman SMP ku dulu, tapi hanya disuruh minta
keterangan dari Pamong Praja itu saja yang kutahu, ia tak bilang harus mendaftar ulang, duh
kalau begitu aku tak terdaftar dong ?””tanyaku
”Bisa jadi mas, guru – guru pun pada kacau, sebagian ada yang di skors karena
peraturan mendadak itu. Kalau tak salah semua di Litsus gitu. Semua murid dan guru. Tapi
murid – murid di khususkan yang mau UNAS tahun ini, tak kusangka mas Ade tak tau juga.
Selama ini ada apa di kampung, kok krasan, biasanya kluyuran?”
”Kamu tak dengar, aku kena garuk Guh, hampir dua bulan ditahanan gila itu, maka
agak kurus, untungnya Guh, mbak Harjuti mencari saya dan untungnya lagi ada pak Bintoro.
Dan mengapa kamu malah tertawa senang? yang aku jeblok?” tanyaku
”Maaf mas, betul aku minta maaf, aku tertawa bukan karena senang. Tapi jangankan
sampeyan, di Slogohimo, ada petani ditangkap sampai sekarang tak tau nasibnya gara – gara
nemu caping dijalan saat pulang dari sawah.”
”Diakan nemu dijalan, memang yang punya caping lapor polisi?”
”Bukan itu Mas! Caping yang ditemui pak Tani ada tulisan BTI diatasnya paham?””
kata Teguh sambil terkekeh.”
”Bukan tak paham Guh, apa dia tak bilang bahwa hanya nemu?’
”Bilang, Bilang sama siapa?” Ceritanya, begitu dipakai ada truck membawa garukan
langsung di naikkan truck dianggap hasil garukan rombongan sebelumnya lepas. Yaah sampai
sekarang entah gimana nasibnya? Namanya jaman edan tahananya tahanan gilakan !!!”
”Sudah Guh kita ikut gila jika ikut mikiri ini, yuk ke sekolahan barangkali saja ada
mujijat pendaftaran belum ditutup.”
Mengakhiri obrolan tau –tau sudah sekitar pukul 09.00 pagi, karena sampai di sekolah
pintu pagar sudah ditutup. Untung Teguh tak gila, dengan caranya kami masuk sekolahan
ditolong pak Bon. Yang belum normal kegiatan sekolah pun tak berjalan semestinya. Betul
kata Teguh banyak guru yang tak aktif. Konon di non jobkan dulu, akhirnya saya mendapatkan
keputusan bahwa namaku termasuk yang tak terdaftar peserta “UNAS”.
Karena sudah jelas tak mungkin ikut UNAS, pulang sekolah aku ke warung bulik.
Sampai di warung lik Sum ternyata belum buka warung katanya bu Alit belum ke Solo.
Bagi yang UNAS tertunda dapat mengulangi belajar lagi. Atau mulai Januari tahun
depan boleh juga. Karena ujian tahun depan dilaksanakan bulan Juni. Maka boleh praktik
kerja lapangan dimana saja, yang penting oroyek pemerintah. Kami pulang. Karena Teguh
terdaftar peserta UNAS tahun itu, nasibnya tak sesuram yang menimpa aku.
”Aku mau pulang kampung dulu Guh!! Kataku sambil menerawang
99

”Jangan lama kaya dulu mas, setiap bulan cari informasi ke sekolahan”
”Betul Guh, atau surati saya jika ada berita penting!”
”Alamatnya?” tanya Teguh cerdas
”Oh Iya...ya.. tapi??? Begini saja Guh setelah pulang apa pun keadaannya aku kirim
surat ke kamu. Masalahnya aku masih binggung dimana aku harus praktik dan tinggal. Aku
mau pamit Simbah dulu ya Guh sampai kita jumpa lagi.”

21
HABIS SURAM TIMBULLAH MURAM
Setelah aku pisah dengan Teguh rasa sepiku timbul lagi. Sepertinya Teguh menjadi
seniorku, karena status dia ujian tahun ini sudah jelas. Sedangkan aku harus menunggu bulan
Juni tahun 1967 suram lagi nasibku.
Kusampaikan hal tersebut kepada mbah Kung ku juga mbah Putri. Beliau berdua
berpendapat agar aku tetap bersama Teguh, agar aku tak merasa kehilangan teman itu. Aku
menganguk saja, biar orang tua itu tentram dan lega, karena beliau tak paham maksudku.
Tidak mungkin ku patuhi nasehat itu, karena Teguh sudah jelas ikut UNAS tahun ini.
Maka kusiasati saja seolah – olah aku praktik lapangan di proyek Wonogiri. Sedangkan Teguh
belajar di kelas tahun ini. Maka sebelum ke Wonogiri, aku temui teguh, agar bohongku tadi
dirahasiakan.
”Kata mas Ade kita tak boleh bohong? ”kata Teguh
”Demi kebaikan Guh, agar mbahku tak sedih terus.”
”Tapi kalau beliau mendengar dari orang lain?”
”Mbahku lebih percaya padamu, karena beliau tau Teguh sahabatku.”
”Usulku mas, setiap mas Ade ke Solo sebaiknya cari aku dan kita sowan mbah Kung,
bersama-sama agar beliau yakin.”
”Boleh juga seolah-olah kita belajar bersama walaupun pisah.”
”Oke mas, mudah-mudahan beliau tetap sehat.”
”Amin dan aku pamit dulu sampai jumpa lagi.”
Sehabis itu aku ke stasiun diantar Teguh. Kebetulan di peron ada pak Badar sedang
membaca ”Penyebar Semangat” kami hampiri beliau.
”Eee... mas Ade mau pulang ---- libur mas?” tanya pak Badar
”Iya pak, sebetulnya bukan libur, tapi mau praktik lapangan.”
”Berdua, ini siapa?”
”Teguh pak anak Jati Purno, kami sekelas.”
Karena kereta sudah datang, aku berdua dengan pak Badar naik, sedangkan Teguh
kembali ke pos. Dikereta pak Badar membuka pembicaraan lagi.
”Tadi mas Ade ngomong mau praktik lapangan, dimana?”
”Ya, belum tau pak, kami disuruh mencari sendiri setelah mendapat baru ke sekolah
minta pengantar, yang sulit pak harus proyek pemerintah.”
”Maksudnya proyek itu didanai pemerintah?”
”Tidak juga pak, Swakelola atau Swadaya juga boleh tapi standar teknisnya, harus
standar PUDT. Sebab jika praktik bangunan rumah dikampung misalnya, standar ilmunya kan
tak sesuai.”
”Misalnya?”
”Tukang kampung itu cara mengukurnya pun menggunakan tapak kaki atau jengkal.
Kontruksinya juga seadanya.”
100

”Ha, ha..... iya juga memang benar mas. Nah aku dengar SR Kepek di Kel. Beji
ambruk kena banjir bandang tempo hari, mau dibangun lagi di lokasi lain dekat stasiun. Coba
mantur pak Camat kalau tak salah waktu dekat ini.”
”Betulkah pak.... Alhamdulillah, mudah-mudahan saya boleh praktik disitu, terima
kasih pak informasinya.”
”Mudah-mudahan mas karena Kepseknya pak Mingan temanku. Kenal kan?”
”Oh kenal pak. Pak Mingan yang teman kita main sepakbola kan pak?” tanyaku senang
”Tapi kalau tak salah Swadaya juga, malah pak Mingan mencari yang menggambar kok,
bisakan Ade menggambar.”
”Insya Allah pak, sekedar gedung sekolah saja masih bisa.”
”Oh iya lupa. Ade kan juara menggambar apalagi STM Bangunan.”
”Terima kasih pak. Kalau begitu saya mau langsung menghadap pak Pram, dan sekali
lagi terima kasih pak mohon doa. Agar menjadi kenyataan.”
”Amin, dan aku turun di Wonogiri kok mas”
”Sama pak, saya juga kangen adik-adik di Pokoh.”
Hari itu di Pokoh aku nginap satu malam baru besoknya naik kereta ke Betal nemui
pak Camat yang bijaksana itu di kantor Pendopo. Dihadapan beliau kuutarakan meksudku
beliau rupanya agak kaget
” Mas Ade kok tau bahwa aku punya proyek?”
”Dari pak Badar pak senior pemain sepak bola kami saat beliau ke Solo” jawabku
”Tapi anggarannya tak cukup mas, bayar tukang pun belum tahu, material pun harus
swadaya, ada ide Mas agar bisa untuk praktik ?”
”Dari kabar yang saya dengar pak, Yon Sipur membangun kembali jembatan Jurang
Gempal yang ambruk, menggunakan tenaga Tapol. Dengan status dipinjam atau istilah Kodim
di “bon”. Mereka keluar pagi sore masuk Lapas, ada juga yang sore pulang ke rumahnya.”
”Ide bagus itu, tapi aku kan buta tentang warga Tapol?”
”Pak Hadi carteker Kades tau pak, siapa warganya yang menjadi Tapol. Kades-kades di
kecamatan kita ini juga tau seperti Kel. Gebang, Kel. Beji dll. Yang dekat – dekat proyek saja
pak, agar praktis,” usulku.
”Ide bagus mas, tolong bantu aku ya !!!!”
Di Solo, ..... ternyata bu Alit sudah buka warung lagi, walaupun tak seramai dulu. Yang
ada tinggal lik Sum dengan Denok dan orang gunung yang belum kukenal.
Saat bincang-bincang dengan bu Alit, rasanya tak senyaman dulu. Bu Alit tampak agak
kurusan sedikit. Senyumnya pun tak kaya dulu. Aku tak bisa menebak apa yang menjadikan bu
Alit berubah.
Tapi aku mulai dewasa berfikir. Akibat kejadian beberpa bulan ini semua menjadi lain,
ya ekonomi, situasi potilik. Yang membuatku gelap, tak lain dan tak bukan cuma kelanjutan
sekolahku.
Sebetulnya demi kelulusanku yang tinggal setahun lagi, aku mau bekerja apa saja, yang
penting halal. Tapi apakah tak membuat bu Alit tersinggung. Setidak – tindaknya membuat
beban perasaan beliau, kecuali sekedar bantu-bantu diwarung beliau?
Soal tinggal dan makan mungkin mbah ku masih Ihklas, tapi bagaimana caranya saya
matur? Masa orangtua itu harus ku bebani lagi, jaman seperti ini?
Biyungku di kampung? Kalau aku matur ke biyungku sama beratnya matur dengan
mbak Waras.
Lama aku melamun------- sampai – sampai lik Sum menyentahkan aku dari bayangan kelamku ,
seraya bicara sekenanya lik Sum memcoba menghiburku.
”Mas Ade, mestinya kita lega,karena keluarga sudah kumpul kembali. Kalau ada yang
perlu dibicarakan kita matur ibu. Jangan nglamun seperti itu. Kan malah membuat pikiran ibu
binggung.” Nasehat lik Sum ternyata ada benarnya.
101

Aku menghadap ibu Alit, yang sudah mulai tersenyum seperti biasa. Terus kuutarakan
masalah yang akan aku hadapi, tapi sebelum aku selesai matur rupanya ibu Alit sudah faham,
maka ditatapnya aku agak lama terus kata beliau:
”Ade saya belum mundur sejengkal pun memperjuangkan sampai kamu lulus sekolah.
Asal kamu didekat ibu selalu, karena tinggal kamu satu –satuanya anakku. Mbakmu Harjuti
entah kemana, tapi yang menjadikan pikiranku adalah paklikmu? ”
”Memang paklik kenapa bu ?” tanyaku
”Sebaiknya kita bicarakan di Wisler saja nanti malam, sekarang Ade sowan mbah dulu.
Jangan lupa bawa lauk buat mbah sana minta lik Sum agar mbahmu senang Ade makan disana
suruh bungkuskan lik Sum
”Dengar lik?” tanya aku ke lik Sum
”Dengar apa?” pakai belut goreng tidak?”
”Jangan lupa nasi juga lik Sum, karena aku makan disana!”
”Nggih cah bagus, apa lagi den?” jawab lik bercanda
”Sepeda jengki dari Koh Anton masihkan lik?”
”Kemarin dulu sudah di servis kang Simon kok,” jawab lik Sum
”Dimana servisnya?”
”Ya, di bengkel koh Anton!!”
”Cepat berangkat sana, sebelum magrib harus kembali lagi lho!!!” kata bu Alit
”Ternyata jengkiku masih kinclong, ide siapa lik?”
”Rencananya kalau Ade belum pulang buat Denok.”
”Wong suruh berangkat kok malah ngurusi sepeda?” tegur ibu Alit
Jengki merah kupacu seperti biasa, terus sampai dirumah mbah, mungkin lupa Kyai
Ringkir tak mbeker. Ternyata memang tak ada, begitu bell si Jengki kuderingkan mbah Putri
yang buka pintu.
”Yuh, biyuh, sampai mbah kaget, tak kira siapa?” tegur mbah
”Ini mbah dari bu Alit pepes Bader katanya!!” jawabku sambil sungkem
”Kok bawa nasi,” tanya mbah Putri
”Aku belum makan mbah, mau makan disini saja.”
Setelah bercengkarama sampai pukul 5.30 sore. Aku matur malam ini belum nginap
karena bu Alit pesan. Simbah maklum, maka setelah pamit mbah Kung, dan mengusap Kyai
Ringkih, aku ngebut langsung ke Wisler sesuai pesan bu Alit.
”Saya kira mas Ade tak kembali,” tanya Denok
”Denok tau apa nduk!! kamu sudah sekolah nduk?” tanyaku
”Baru mau tapi sudah mendaftar.”
”Siapa yang antar jemput, nok?”
”Aku pakai sepeda mas Ade kata Eyang.”
”Wow.... maka sepedaku diservis sudah bisa?”
”Masa klas tiga belum bisa bersepeda?”
”Kelas tiga, baru masuk kok kelas tiga?”
”Hayo mahgrib tak boleh ada diluar,” tegur bu Alit dari dalam rumah
”Kelas tiga?” kataku lagi penasaran
”Sebelum disini Denok kan sudah sekolah toh mas di Godean!!” kata ibu Alit
menjelaskan
”Oooo.... begitu makanya sudah pintar ngomong?”
Karena kebiasaan keluarga kampung makan sebelum mahgrib. Setelah sholat maghrib,
aku diajak bicara serius di sofa tengah tempat kost di Solo yang kuberi nama ”Wisler” artinya
Wisma Lerem atau istirahat.
102

Seperti biasanya pula, jika sudah mandi, maka bu Alit menggunakan busana Lurik.
Baik baju maupun kainnya warna sama, buatan Pedan, Klaten. Duduk di sofa kayu beralaskan
rotan, ibu mulai bicara;
”Nak Ade, ibu mau bicara serius, aku minta pendapatmu ya, jika ibu belakangan ini
agak pendiam, semata-mata memikirkan akibat paklikmu yang mau kawin lagi.”
”Kok kawin lagi?” potongku
”Dengarkan dulu to! ibu merasa bahagia rumah tangga selama ini tapi ada yang kurang
yaitu anak. Bagaimana nanti jika kami sudah tua, siapa yang ngurus. Kalaupun sawah ladang
ada, warung ada pikiran paklikmu benar. Sejak kalian bergabung disini rasanya kami
melupakan hal itu. Tapi gegeran gara-gara ”Lintang Kemukus” itu segalanya hancur, Harjuti
entah kemana, sedangkan Ade sementara masih terlunta-lunta. Yang nantinya pun ibu ndak tau
dimana berlabuh? Pernah berpikir Denok bisa menggantikan, sampai mau kusekolahkan
kesini. Ternyata belum bisa seperti mbakmu &Ade. Ketika kita kumpul acara keluarga di
gunung itu, orang-orang tua di Gunung sudah mengarahkan ibu, agar nantinya kamu berdua
bisa langgeng sampai kami tua. Tau maksudnya?’
”Belum bu,” jawabku belum jelas
”Maksudnya, alangkah baiknya, jika Ade dan Harjuti nantinya di jodohkan. Karena
orangtua itu melihat kalian walaupun beda sifatnya tapi bisa cocok kalau dijadikan satu rumah
tangga,’ kata ibu sambil meneteskan air mata.
Aku terkejut, gelisah campur heran. Mataku liar, hatiku gemetar hampir mau matur,
tapi ibu melihat aku sambil meneruskan bicaranya.
”Kok kamu gugub, itukan hanya wacana orangtua kita di kampung saat di gunung
dulu,” kata ibu Alit
”Kok saya baru mendengar dari ibu?” tanyaku
”Kalau pun dibicarakan dari dulu apa artinya? wong sekarang sudah berkeping-keping,
aku tadikan cuma cerita yang hubungannya dengan Paklikmu mau kawin itu lho. Maksudnya---
andaikata betul tadi terjadi, paklikmu tak punya pikiran kawin lagi. Nah sekarang kan tinggal
Ade. Karena Ade sudah didepan ibu mungkinkan Ade menjadi anak ibu sampai ibu tua
nanti?” kata ibu Ali dengan suara lirih sendu seperti berdoa.t.
”Betul bu semua yang ibu utarakan tadi sering ditanyakan biyungku juga kalangan
orang-orang tua digunung. Namun hanya agar aku bisa menjadi anak ibu saja, soal diisukan tadi
belum pernah kudengar.”
”Kembali cerita, tentang rencana paklikmu itu apa yang harus kulakukan, sekarang Ade
sudah ada lagi didepan ibu.”
”Ibu tadi pagi kan telah bicara tentang kelanjutan sekolahku.”
”He..eh... sudah kepalang basah harus lulus. Karena kata Sum, Ade putus sekolah
karena Ade pergi tak lapor ke sekolahan.”
”Bukan diputus oleh sekolah, atau aku mundur tapi ujianku terpaksa di tunda karena
namaku tak terdaftar ikut ujian tahun 1966 begitu bu.”
”Kenapa? Karena ditahanan itu, terus dianggab tak sekolah lagi ?”
”Dulu kan tidak ada penjelasan bahwa harus mendaftar ulang. Masa karena tak
mendaftar namaku tak terdaftar? Sebetulnya bukan sendiri bu banyak juga, karena ndak tau
saja.”
”Memang kamu tidak tau?”
”Kalaupun tau, saat kacau --- siapa yang kerja benar atau benar –benar kerja.”
”Jadi Ade sekarang belum putus sekolahkan?”
”Belum bu, sebelum ketemu Teguh, sebetulnya aku juga mengira putus, tapi sekarang
tertunda saja satu setengah tahun. Seandainya dulu tak dicoret, sebetulnya hanya 6 bulan.
”Kalau begitu ya ikuti saja, lebih baik terlambat daripada putus sekolah, iya kan?”
103

”Betul bu, tapi aku memilih PKL daripada jadi adik kelas Teguh. Nanti tiga bulan
menjelang UNAS aku aktif lagi. Aturannya begitu.”
”Memang boleh begitu.”
”Boleh wong itu aturan dari PD &K kok, bukan peraturan sekolah”
”Ah aku tak mudeng lebih baik kita tidur. Kamu besok kemana?”
”Ya praktek lagi bikin sekolahan di Betal, tapi setiap saat boleh kerja apa saja, yang
penting jangan sampai putus informasi dengan sekolah.”
”Kalau begitu, bantu ibu di warung saja!!”
”Tak ada salahnya bu, tapi pengalaman di warung kan beda dengan di proyek, namanya
cari pengalaman.”
”Ya sudah kalau begitu?” terus mbahmu Putri gimana?”
”Oh ya bu kamarku dulu dibongkar mbah Kung, tapi dirumah mbah Kung, dibuatkan
kamar khusus untuk aku jika aku kesana!! Bagus lho bu katanya mbah Kung biar mbah Putri
tak selalu ingat aku di kamar depan itu. Bu sebetulnya aku tadi kan mau menyampaikan ide
jika atau misalnya paklik mau kawin lagi, harus dengan syarat dari ibu.”
”Ah malas aku dengar itu lagi, pokoknya begini selama Ade mau mendampingi ibu
dalam keadaan apapun, ibu tak peduli jika paklikmu mau cari istri. Itu saja, kok diulangi lagi,”
ibu sewot
”Dengar dulu Adekan belum selesai tadi,” bujukku mengoda. ”Syaratnya yaitu calon
istri paklik harus ibu yang menentukan dan memilihkan. Dengan begitu ibu tak cemburu dan
istri paklik nanti hormat dengan ibu. Anaknya pun pasti menghormati ibu.”
Ibu tak mau dengar usulku terus masuk kekamarnya tapi tak lama kemudian
memanggilku lagi. Segera kuketuk pintu kamar bu Alit. Dari dalam kudengar, pintu tak
terkunci. Ternyata ibu Alit sedang membuka almari. Ditunjukkanlah padaku, beberapa
pakaian terlipat dirak rak almari ibu. Lantas ditunjukkan isinya;
”Ini pakaian mbakmu Harjuti, yang rak kiri pakaianmu!!”
”Kok mbak Har tak membawa semua?” tanyaku
”Buru-buru dan beberapa pakaianmu dulu mau dibawa ke Lapas.”
”Oh, iya aku ingat bu, malah mbak Har bilang tak usah , dilapas tak ada tempat.”
”Sudah sana tidur, besok kalau mau bawa sebagian kuncinya di lik Sum saja!!”
Tidak kusangka, ternyata perhatian ibu Alit terhadap mbak Har dan aku sudah begitu
mendalam. Menjelang tidur dikamarku, aku berdoa kupanjatkan pula agar aku tak melupakan
bu Alit sampai kapan pun. Sementara suramku terobati.
Besoknya Selasa pagi-pagi aku sudah sarapan, karena pukul delapan aku harus naik
kereta ke Nguntoronadi langsung ke proyek, tempatku berpraktik kerja. Kemajuan pekerjaan
diluar dugaanku kuda-kuda rangka atap minggu kemarin sudah naik. Pisang dan kain merah
putih, kelapa, daun tebu bergelantungan di kuda –kuda itu.
Pak Kades menyambutku seperti orang penting beliau memujiku, katanya bentuk
setelan kuda-kuda yang ku gambar sudah seperti pentunjuk orang PUDT yang datang hari
minggu kemarin. Yang diherani semua dari ”Glugu” batang kelapa yang selama ini belum
pernah digunakan kecuali untuk kandang sapi katanya.
”Tiba-tiba pak Camat dan Sogimin Dan Ramil datang menemuiku.”
”Mas Ade, saya kira orang PUDT, hari ini aku pangling,” tegur Dan Ramil
”Karena saya pakai celana panjang dan baju ini pak ?” tanyaku bercanda
”Iya pak Camat juga tak menyangka tadi, kalau itu mas Ade.”
”Mohon maaf pak sampai tiga hari, soalnya harus ke Solo juga.”
”Pak Camat mengajakku kesini, karena dikira orang PUDT datang lagi,” kata Dan
Ramil.
”Oh begitu,” jawabku sambil mendekati pak Pram yang tersenyum itu
”Habis ini mas, pak Sogimin juga mau membangun kantor Koramil.”
104

”Bukan membangun pak, Cuma menambah ruangan,” kata Dan Ramil


Hari itu aku merasa bangga dan bersyukur ternyata pak Sogimin ayah mas Tomo &
mbak Panti itu masih ingat saya, apalagi hari ini dalam rangka resmi kunjungan kerja. Mudah-
mudahan beliau takkan melupakan aku, konon ada sejarah khusus bagi Dan Ramil dengan
asalku.
Tiga bulan lebih proyek pembangunan kembali SR Kepek selesai. Diresmikan bulan
Juli, kebetulan bulan itu ajaran baru dimulai. Usai peresmian aku diminta istirahat di Pendopo
Kecamatan, dan si kasih amplop oleh pak Camat. Orang – orang Tapol kembali ke Lapas
selanjutnya aku tak tau proses mereka. Aku tak kenal semua, tapi rata-rata mereka mengenal
aku terutama lik Soi dan kang Tukiman tukang kayu itu.

22
”PKL DIRUMAH TUKIJO”

S
orenya aku temui biyungku di kampung. Seperti biasa biyungku selalu
menyambutku penuh tanda tanya. Aku ingat Teguh selesai ujian. Sedang aku
harus menunggu satu tahun lagi, awan gelapku mulai terasa lagi. Maka aku buru-
buru pamit kembali ke Solo agar tanah kelahiranku yang berantakan dan menyiksa perasaaku
itu cepat berlalu. Tapi biyungku menahan. Orang tua itu menyuruhku menunggu beberapa
hari di kampung dulu. Karena selama ini setiap aku pulang kampung, seolah-olah hanya
mampir. Aku sadar mereka juga kepingin tau tentang keadaanku selama ini. Maka malamnya
setelah makan, aku diajak bicara bertiga, yaitu; aku, biyungku dan kakak tertuaku, Samijo.
”Le.... mbok ya kalau pulang itu ngobrol-ngobrol dulu, jangan seperti mampir saja.”
”Maaf yung, aku sadar..... tapi dikampung aku mau mengerjakan apa?”
”Kerja apa! Wong kamu tak mau bekerja. Ya ngobrol to sama kakakmu.”
”Lagi pula sekolahnya bagaimana, atau tak sekolah lagi?” tanya kakakku
”Oh ya, aku lupa bahwa belum cerita tentang sekolahku!!”
”Selama ini di Solo atau di Wonogiri, sebetulnya bagaimana?” tanya biyung
”Aku kadang-kadang di Solo, sering pula di Pokoh.”
”Sekolahnya? Terus jualan bulikmu gimana?” tanya biyung
”Yung aku sekolah setaun lagi, sementara sambil kerja.”
”Kerja...kerja apa? Wong malas kerja saja kok bekerja!! “ kata biyung sebel
Aku diam sejenak. Dari mana aku harus menjawab dan menceritakan. Aku berpikir;
Kalau pun kuceritakan detail, mereka belum tentu faham. Tapi, kalau aku tak ngomong,
membuatnya tanda tanya terus.
”Baik yung, dan kang Jo, tak cerita tentang sekolahku dan kerjaku. Tapi jangan ditanya
tentang hasilnya.”
Selanjutnya kuceritakan mulai aku lepas dari garukan, sampai sekolahku, mbak Harjuti
dimana, bu Alit yang telah jualan lagi dan kapan aku lulus kuutarakan semua. Ternyata betul
dugaanku. Baik kang Jo ataupun biyungku tak sepatah katapun mengomentari. Entah faham
atau masa bodoh aku tak tau. Akhirnya ya sudah begitu saja. Kami berpikir sesuai apa yang ada
dibenak masing-masing, penutupnya;
”Ya sudah kalau begitu, pokoknya jangan keluyuran saja ,” celetuk biyungku
”Doakan yung taun ini aku lulus, dan aku tetap di Solo.”
” Ikut ibu Alit, terus mbah Waras?”
”Ya seperti dulu juga, pokoknya setahun harus selesai!!” jawabku singkat
”Nah kalau begitu, sementara libur mbok ya ikut bantu-bantu lik Tukijo, dia kan baru
mendirikan rumah. Kalau Ade ada dirumah saja apa kata mereka?”saran biyungku
105

”Benar,” kata kang Jo. ”Orang-orang disini sering menanyakan kamu. Sebaiknya temui
mereka sambil bantu gotong royong, apalagi lik Tukijo sering membicarakan kamu sekaligus
ngobrol. disana”
”Boleh juga, tapi setelah makan siang, karena pagi aku harus mencuci,” jawabku.
Sesuai saran biyung dan kakangku, pukul dua siang esok harinya, aku membawa hamer,
mengenakan pakaian kerja, aku nimbrung gotong royong membuat rumah lik Tukijo. Sudah
banyak orang sebelum aku tiba disana. Aku senang, hari itu rasanya seperti orang asing. Begitu
melihat aku beramai-ramai menyambutku dengan hangat dan heran. Lain halnya dengan lik
Tukijo. Begitu melihatku dia sok kuasa, dan mengeluarkan kata-kata yang tak pantas bagi yang
tak paham, tapi aku biasa saja. Kuhadapi santai saja kata yang punya rumah itu.
”Lho mas Ade, kok kesini mau apa?” katanya spontan
”Mau gotong – royong lik, memangnya nggak boleh?” tanyaku
”Tidak usah, kamu bisa apa?”
”Lihat saja lik, wong belum kerja kok diremehkan.”
” Sebetulnya kamu itu, tak cocok tinggal dan berkerja didesa ini. Cocoknya di kota jadi
apa saja, yang penting jadi piyayi! Rugi mas buat apa kesini, belum tentu aku senang bantuanmu
kok.”
”Kalaupun aku tak membuat sampeyan senang, setidaknya tak membuat susah to lik!”
”Kamu beberapa kali membuatku susah kok tak sadar.”
”Kapan aku membuat susah sampeyan?” tanyaku sambil tertawa
”Nah ini perlu disidangkan masalahnya biar selesai,ini serius,”kata lik Tukijo .
”Baik nanti malam kita sidangkan, siapa yang mau dengar boleh ikut,” kataku santai.
Selanjutnya aku tertawa geli, karena aku tau lik Tukijo tak tau sidang itu apa. Padahal
adu mulut kami tadi hanya bercanda, karena selama ini aku dengan lik Tukijo sering begitu,
tapi jika kebetulan ketemu di luar kampung, dijalanan atau di warung.
Mendengar pertengkaran lik Tukijo denganku, reaksi orang-orang itu pada melongo.
Ada juga yang senyum, tak kurang pula yang merasa tegang, karena tak faham. Aku bantu
ngambilkan paku, kayu, ikut menggotong apa saja yang bisa kulakukan. Membantu tukang dan
lain-lainnya. Sebagaimana umumnya orang gotong royong.
Istirahat minum teh pun, lik Tukijo masih bicara layaknya orang marah. Tapi
kuhadapi dingin, sekali – sekali kutanggapi ocehannya itu.
Pukul lima sore, pekerja istirahat, terus pulang ke rumah masing-masing. Setelah mandi
dan ganti pakaian semua kembali ke rumah lik Tukijo yang belum jadi. Untuk makan bersama,
nasi tiwul dan sayur tempe tahu makanan khas orang-orang gotong royong dikampungku.
Selesai mandi aku santai di rumah, tapi begitu biyung melihatku, buru-buru
menegurku;
”Lho kok santai, nanti ditunggu orang, kan harus makan bersama disana?”
”Mereka sambatan yung, aku kan cuma membantu?”
”Walah, le nanti malah diantar nasi kesini, ngerepotin!!”
”Masa’ diantar, baiklah kalau begitu,” jawabku heran
Aku buru-buru bergabung mereka, ternyata betul. Aku ditunggui untuk makan
bersama. Maka begitu aku datang, langsung mereka ramai-ramai menikmati makan malam
bersama sehabis gotong royong orang kampungku menyebut ”sambatan.”
Yang ku herani, lik Tukijo menyambutku dengan ramah. Bahkan mengambilkan nasi
”istimewa” buatku. Aku dikasih nasi putih sendiri, tapi dengan halus kutolak. Aku makan
seperti yang lainnya nasi tiwul dicampur sedikit nasi beras.
Selesai makan aku tak boleh buru-buru pulang, karena lik Tukijo mau ngomong
penting katanya. Bahkan sebagian orang kampung ada yang dilarang pulang duluan, oleh lik
Tukijo. Antara lain kang Midi, kang Suradi, lik Bencok, lik Parno, mbah Sonomo. Ada lik
Keman, lik Katijo yang selama ini dua orang itu terkenal sosok masyarakat sebagai pendengar c
106

yang baik. Karena tak pernah ikut ngomong seperti yang lainnya. Tokoh sepuh yang terkenal
adalah mbah Karso tapi, malam itu beliau tak ada, karena acaranya spontan dan tak resmi
Yang jadi tokoh sentral malam itu aku, karena tanpaku, mungkin lik Tukijo tak
mengadakan sidang. Sebab selama ini aku selalu menjadikan mereka tempat bertanya,
khususnya soal zaman edan, ketika itu. Tapi hal yang menyangkut adat Ade dianggab sering
kontrovesial.
Dulu saat masih di SMP, setiap aku pulang kampung, orang-orang disekitarku, bahkan
sekampung, kalau kirim surat ke keluarga mereka ke manapun, selalu aku yang diminta
menuliskan suratnya. Demikian pula kalau mereka menerima surat, aku pula yang diminta
membacakannya. Kabarnya pernah ada yang tertipu juga sebelum itu. Maka kalaupun sudah
dibacakan orang, rasanya belum yakin benar sebelum aku yang baca suratnya baik yang akan
dikirim atau yang diterima.
Oleh karena itu, boleh dikata ”rahasia” keluarga mereka, aku hampir tau semua.
Namun aku tak pernah membocorkan ke siapapun. Malah belakangan, kalau mengirim surat
kusarankan dialamatkan ke aku melalui kotak pos surat di sekolahanku. Sudah barang tentu,
kata temanku Endang, penerima surat dari seluruh tanah air terbanyak adalah Ade. Aku
tertawa sendiri. Ternyata orang buta huruf dan bodoh, lebih baik rahasianya diketahui orang
lain daripada tertipu.
Malam itu ada lagi yang khawatir karena setelah banjir status tanah mereka belum jelas.
Sebab dulu sawah sekarang menjadi pekarangan dan sebaliknya pekarangan mereka sekarang
menjadi ladang pertanian.
Macam-macam kasus sering ditanyakan. Tiba-tiba ada yang nyeletuh;
”Mas Ade, tadi sore rasanya di usir Tukijo kok sampean tenang saja? ”tanya kang
Suradi.
”Lho, wong Ade itu sudah tau sifat Tukijo kok, ya biasa !!” kata lik Parno.
Belum tuntas lik Parno ngomong, lik Tukijo membawa teh untuk kami. Maka setelah
lik Tukijo mendengar namanya disebut - sebut langsung menunjukkan sikap menyalahkan aku.
Orang-orang mulai tertawa seperti melihat drama komedi sedang melakukan pertunjukan
lawak di panggung. Maka sambil menyodorkan teh hangat dengan nampan lik Tukijo langsung
ngomel. Pandanganya diarahkan padaku;
”Dua kali kan Ade ngerjain saya, sekarang kamu tak sidang, agar semua orang tau!!”
”Kasus apa lik, dua kali, kapan, dimana?” tanyaku membela
”Masih ada saksinya lho mas, lik Parno tu, jangan ndak ngaku!!”
”Itu lho mas, tentang rombong krupuk dan surat kaleng!!” lik Parno menjelaskan.
”Oooo itu, aku kan mbantu sampean? Kok malah sebel?” tanyaku
”Mbantu, masih ngeles, saya dibuat malu kok mbantu?” lik Tukijo sewot.
Tak sabar dengarkan kami ribut, lik Parno yang dianggab saksi menuturkan;
”Begini” kata lik Parno. ”Saat Tukijo pulang dari lover, dia istirahat di warung yu Mar,
rombong ditaruh didepan warung. Begitu Ade melihat ada rombong Tukijo dipikullah sampai
di warungnya bu Narti. Rupanya lik Tukijo begitu keluar warung yu Mar, melihat bahwa
rombongnya tak ada, terus kaget dikira dicuri orang,” paniklah dia.
Mendengar penjelasan lik Parno tadi, orang yang ada disitu ketawa terbahak-bahak
kecuali lik Tukijo.
”Bu Narti juga heran, dan mencari lik Tukijo, rombong dan topinya ada, kok orangnya
tak ada?” sambung lik Parno.
”Terus?” tanya kang Midi.
”Lik Tukijo yang bisa njawab,” aku dan Ade kan terus ke lapangan sepak bola,” jawab
lik Parno, sambil melihat lik Tukijo.
”Nah sekarang sudah jelaskan kesalahamu. Ade?” tanya lik Tukijo emosi.
”Aku kan mbantu kok disalahkan?” jawabku membela.
107

”Masih bisa membela diri? Membantu? aku di tertawai orang, dibantu!!” kata lik Tukijo
”Semestinya terima kasih lik kubantu mikul rombongmu sampai satu kilo lebih.
Padahal sebetulnya mau kutaruh warungnya bu Gelinding saja, tapi tutup.”
”Bantu dengkolmu, asem tenan kamu. Untung tak ada uangnya!!” kata lik Tukijo.
”Terus satunya lagi, tadi katanya dua kali?” tanya kang Midi sambil tertawa.
”Yang satunya lagi aku di fitnah, dia lapor ke juraganku, katanya aku kalau lover sering
berhenti, dan ngobrol dengan pemilik warung. Pokoknua ketemu warung selalu istrirahat”
Orang – orang yang ada disitu tambah gegeran ketawa lepas ramai-ramai.
”Itu bukan fitnah lik, tapi fakta. Saksinya lik Parno,” jawabku
”Kok lik Parno terus saksinya?” tanya lik Bencok. ”Memang kang Parno melihat?”
”Bukan hanya melihat, wong yang manggil bu Narti juga lik Parno. Ketika itu aku
binggung, bu Narti warungnya juga tutup. Ya kutinggal begitu saja sama topinya. Aku kan capek
kang!!” jawabku santai.
”Sebetulnya Ade tak menfitnah. Wong Tukijo setiap ada warung berhenti kok, fitnah.
Kalau kamu tak sering berhenti bagaimana. Tukijo kan lover krupuk dari Korejo sampai
Gumiwang, dan selalu bicara dengan pemilik warung. Iya engak Jo?” kata lik Parno
membelaku.
”Ueeh asem tenan kamu de. Untung juraganku tak marah,” kata lik Tukijo.
Dengar sidang itu, orang – orang tak henti–hentinya tertawa ngakak.
”Dasar Ade sableng,” kata lik Tukijo sambil tertawa juga.
”Maka lik jangan ngiri dengan kakangku Samijo,” tegurku bercanda.
”Ngiri apa dengan Samijo?”
”Hayo, ingat nggak, kata sampeyan kang Samijo itu enak sendiri. Sampeyan yang saban
hari mikul krupuk, tapi yang menerima uangnya kang Samijo. Iya kan sampeyan pernah
ngomong begitu?” tanyaku memojokkan.
”Iya, tapi betulkan? Fakta juga kan?” jawab lik Tukijo.
”Betul, tapi memang tugas dari juragan krupukmu itukan? lik Tukijo yang lover
krupuknya, kang Samijo yang nagih uang langganan krupuk yang kamu kirim itu!!” jawabku.
Mendengar dialog kami, orang-orang tertawa lagi. Malah ada yang bertanya.
”Jo...aku heran sepertinya kamu dengan mas Ade kok kaya kucing dengan anjing?
tanya lik Bencok penasaran. ”Ada apa?”
”Maaf yah mas Ade, sejatinya saya kagum denganmu,” kata lik Tukijo merendah.
”Salah faham dengan lik Bencok, kok sampeyan minta maaf ke saya?” jawabku
”Biarkan Tukijo ngomong dulu mas, kita mau dengar!!’ kata kang Midi
”Jujur, sejatinya saya kagum dan bangga kepada mas Ade. Ketika dia diterima di SMP
dulu, pak Kris Kepala Sekolahnya di SR memanggil saya, aku kaget.”
”Kok kamu dipanggil? Ada hubungan apa?” tanya lik Bencok lagi.
”Ade di kira adikku. Aku disuruh membiayai Ade sampai lulus. Karena sayang jika
gagal. Sebab ternyata Ade anak pandai, walau miskin dan anak yatim, kata pak Kris itu.”
”Terus Tukijo sanggub,” tanya mbah Sonomo.
”Yaa.... aku tak bisa menjawab. Wong aku binggung? aku kan tak merasa punya adik,
apalagi yang degleng seperti Ade itu.”
”Lha, Tukijo tak bilang bahwa Ade bukan adikmu?” tanya kang Midi.
”Aku tak bilang wong aku tak ditanya. Cuma disuruh membiayai saja---- ya aku diam,
malu kalau aku bilang tak mau. Aku kan bangga punya adik seperti itu. Ya nggih-nggih saja!!”
”Tukijo tadi bilang degleng, tapi katanya Ade hebat, bangga,” kata lik Bencok
Lik Tukijo terpojok mendengar kata-kata lik Bencok. Tapi malah menyalami saya
sambil senyum menggoyang-goyang bahu saya.
”Aku kok jadi binggung, yang dipanggil pak Kris itu kan Tukijo. Padahal Ade katamu
tak ada urusan dengan Tukijo,” tanya mbah Sonomo.
108

”Nah ini masalahnya. Ternyata, Ade paginya mencari Samijo di pabrik krupuk tapi tak
ketemu,” kata lik Tukijo lagi. ”Mungkin, aku dikira Samijo?”
”Iya mas?” tanya kang Midi kepadaku.
”Betul kepada pak Kris aku matur nemui kang Jo, mungkin disangka yang kutemui lik
Tukijo,” jawabku meluruskan. ”Karena ketemu pak Kris dijalan dekat lapangan,” kataku lagi
”Woo.. gitu to. Satu pabrik dua nama jo, Tukijo &Samijo,” kata lik Bencok.
”Nah keputusan sidang, Tukijo harus ”membiayai” Ade sampai lulus, karena kamu
yang disuruh pak Kris,” kata lik Parno.
”Gendeng ... serendeng po, aku suruh membiayai ?”
”Katanya bangga dan kagum, katanya anak yatim, kamu tadi bilang gitu kan Jo. Dan
kamu diam kan didepan pak Kris, berarti sanggub dong!!” kata lik Bencok lagi.
”Kalau begitu apa boleh buat mas, tapi mas Ade harus bantu-bantu aku,” kata lik
Tukijo.
”Bantu-bantu apa? Wong kalau kubantu malah marah kok?” jawabku
”Kapan kamu mbantu, dan dimana aku malah marah?” jawab Tukijo
”Kubantu mikul rombong teriak-teriak katanya aku degleng. Tadi aku baru mau ikut
bantu naikkan kaso katanya tak usah malah mengusirku ya kan?”
Orang-orang semua tertawa. Usai tertawa riuh, keluar lagi kue ketan bakar. Sambil
menikmati makanan elit khas kampungku, orang-orang menikmati sambil tertawa kecil.
”Jo, sudah kalah dua kosong, bayar saja,” seloroh lik Parno
”Lagi pula Tukijo kok mau melawan mas Ade, cicak musuh buaya dong!!” kata lik
Bencok lagi.
”Kang Keman kok tak ngomong dari tadi?” tanya lik Parno.
”Aku cuma mau bertanya tentang anak Wo Golo?” tanya kang Keman.
”Ooo.. mbak Harjuti, sekarang di Jakarta,” jawabku
”Kang Katijo? Ada yang ditanyakan?” tanya lik Parno lagi.
”Aku tak mudeng. Katanya mas Ade digaruk, lha sekarang kelihatan lebih gagah dari
sebelum di garuk” tanya lik Katijo.
”Ooo itu, tak jadi lik, dulu itu orang tak senang saja, aku dibawa ke kecamatan, tapi di
Wonogiri aku dilepas lagi,” jawabku singkat. Sebab kalaupun kujawab lengkap dituasinya
menimbulkan mereka tak nyaman.
”Mas, aku dengar Paimin diciduk lagi gara-gara kendurian?” tanya lik Tukijo.
”Aku tak tau, tapi mendengar kabar dari pak Mul guru,” jawabku
”Kenapa, kendurian kok digerebek?” tanya Kang Midi.
”Sebetulnya yang bisa menjawab yang nggrebek. Tapi kabarnya ada peraturan
berkumpul lebih lima orang tanpa ijin dilarang dan bisa digaruk, begitu,” jawabku
”Peraturannya masih berlaku sampai sekarang mas?” tanya kang Suradi
”Ya, saya tidak tau ? tanya yang berwajib,” jawabku lagi.
”Lha kalau begitu kita malam ini bisa digrebek mas. Kan kita lebih dari lima orang?”
tanya lik Bencok.
”Saya tidak tau lik...embuh, tapi kalau toh dilarang yang bertanggung jawabkan pemilik
rumah atau yang mengundang,” jawabku sambil bercanda.
Lik Tukijo yang semula tenang, serius mendengar dialog kami tiba-tiba tersentak, kaget.
Tampak agak ketakutan.
”Masa aku? Iya de. Edan aku kan cuma ngobrol,” katanya tak diteruskan. Dia menoleh
ke aku yang lagi memperhatikan perangainya yang ketakutan itu. Karena kulihat kalab
kupegang dengkulnya.
”Lik, lik.. jangan takut, percayalah. Betul jangan khawatir aku yang bertanggung jawab
jika ada yang ingin menciduk sampean. Yang penting kita bekerja seperti biasa. Jangan mudah
109

terpengaruh oleh siapapun. Tenang Insya Allah kita aman asal kita tak berjudi, madat,
mencuri, mabuk, itu lho lik mo-Limo, ternyata aku juga yang diandalkan.”
Orang – orang tertawa lagi, tapi tak seriuh seperti sebelumnya mungkin masih trauma
jaman edan itu. Mungkin juga pada mulai ngantuk. Rupanya ada yang belum puas terutama
kang Midi yang selama ini dia selalu serius denganku, mengenai keadaanku.
”Mas Ade, ini pertanyaan terakhir, bisakan?”
”Ya tergantung lik Tukijo. Dia kan yang punya rumah?” jawabku. ”Ooo... kalau begitu
boleh. Apa kang, kelihatannya serius,” jawabku setelah lik Tukijo diam saja.
”Kata Giman, orang Jetis, mas Ade di minta pak Camat mengarang bangunan
sekolahan di Kel. Beji, benarkah? Dan katanya mas Ade sudah jadi piyayi disana, malah Dan
Ramil, Dan Sektor juga akrab dengan mas Ade?” tanya kang Midi.
”Saya luruskan kang, bukan ngarang tapi ngrancang, itu benar. Dan proyeknya sudah
selesai tiga hari yang lalu. Tentang jadi piyayi, doakan saja jadi kenyataan. Dan sekarang
mencari proyek lagi untuk praktik biar tambah pengalaman.”
Mendengar aku mencari pengalaman, tiba-tiba lik Tukijo semangat lagi. Terus sambil
mendekatiku dia minta padaku.
”Kalau begitu rumahku saja mas Ade, dirancang biar bagus.”
”Nah sekarang, begitu. Sore tadi disuruh pergi,” kata lik Bencok.
Orang pada tertawa lagi. Akhirnya tanpa basa – basi pamit, satu persatu bubar sambil
tertawa. Semua kusalami minta doa restu. Tak ketinggalan lik Tukijo yang tadi tampak
ketakutan, sudah semangat lagi. Malam itu mengesankan bagiku.

-------------------------0000--------------------------
110

23
JAMAN BULGUR
SING WARAS NGALAH

P
agi itu aku bangun tidur tak seperti biasanya. Terganggu suara ayam yang berebut keluar
rumah, setelah mendengar burung kutilang berkicau di cabang pohon randu yang mulai
berbunga di musim dingin. Kata orang kampungku musim bediding kembang randu.
Udara pagi sangat dingin, masyarakat kulihat membuat api unggun dari sampah
dedaunan yang berguguran di perkarangan rumah. Tak ketinggalan kakangku Samijo, kulihat
memanggang pantat botol minyak kelapa.
”Biar apa kang?” tanyaku sambil menghangatkan badan didepannya.
”Biar cair, wong beku kok!!”
”Oo... saking dinginnya, minyak kelapa hingga beku?” tanyaku lagi.
”Biasa setiap musim dingin ya begitu, tadi malam Ade sampai jam berapa, dirumah lik
Tukijo?”
”Jam 12.00 mungkin aku tak pakai arloji kok?” jawabku
”Dijual, duli kan dibelikan likmu?”
”Ada, tadi malam tak kupakai, malu. Wong belum kerja kok jam tangannya Rado,
nanti disangka sok!!!” jawabku
”Terus, pagi ini tak sambatan lagi?”
”Kemarin saja, jadi gergeran, ya tidak. Malah sebentar lagi jam dua sore aku ke
Wonogiri. Ada perasaan tak enak lama tak muncul. Nanti dikira ada apa. Besok paginya lagi
terus ke Solo. Lihat pengumuman, sambil lapor bahwa praktik di Beji sudah selesai.”
”Kalau gitu, ya siap-siap saja. Dan bawa minyaknya ke biyung katanya mau dibuatkan
sarapan.”
Selesai ngomong begitu, kakangku pergi meninggalkan aku, entah kemana. Aku terus
mandi, sarapan, lalu pamit biyung terus berangkat ke Wonogiri. Tak lupa mampir ke simbah
dekat stasiun untuk minta sangu Martini. Terus dapat uang Rp. 15.000. Pukul 3.30 sore, baru
naik kereta api ke Wonogiri. Turun dari kereta berjalan kaki ke Pokoh.
Tiba di dekat rumah ketemu bu Yoso tetanggaku di Pokoh. Betul firasatku, kata bu
Yoso, ibu dirawat dirumah sakit. Hari itu peristiwa yang memilukan bagiku. Menderita bagiku
sudah tabah, tapi kalau melihat adik-adikku yang ikut menderita rasanya tak rela.
Saat makan malam, kulihat nasi berasnya campur bulgur kecuali untuk besuk ibu dan
dik Tri yang masih kecil. Saat mulai makan suasana memilukan, kulihat dik Pur dan dik Wik
makannya lelet.
”Kok dik Pur makannya begitu?” tanyaku
”Tak selera mas, bulgurnya bau apek,”jawabnya cemberut
”Dik Wik kok makannya begitu seperti ayam,” tanyaku lagi
”Inikan makanan ayam mas,” jawab dik Wik nyindir
111

”Baiklah kalau begitu. Beresi saja meja bersihkan, tak suapi dulu dik Tri baru kita
besuk ibu. Siapkan nasi untuk ibu, nanti kita makan bakmi sepulang dari rumah sakit. Cepat
siapkan kita bersepeda berempat jangan lupa kunci pintu.”
”Dik Tri ikut kan,” candaku kepada adik kecilku yang masih mengunyah. Rupanya dik
Tri belum tau, dia santai saja dengan pipinya yang blepotan butiran nasi itu, nyeletuklah Wiwik;
”Mbak Pur, dik Tri makan bulgur kok di pipinya ada nasi beras?”
Semua tertawa sejenak. Padahal hatiku tergerus mendengar sindiran adik-adikku. Terus
kurogoh kantongku, kulihat isinya cukup untuk tiga porsi bakmi.
”Mas banyak uang ya, sudah kerjakah?” tanya dik Pur
”Tak banyak sih, tapi kalau hanya untuk dua porsi cukuplah.”
”Kok cuma dua, kita kan berempat?” tanya dik Pur
”Boleh tiga porsi tapi dengan syarat jangan matur ibu ya!” pintaku
”Ibu tak melarang beli bakmi kok?”kata dik Wik tak paham
”Tak begitu maksudnya. Jangan matur ibu, jika adik-adik belum makan. Paham !”
”Aku udah mam,” celetuk Tri yang menggemaskan itu
Berempat kami ke RSUP dengan sepeda. Dik Pur membawa Tri kecil, aku dengan dik
Wik sambil membawa sekantong nasi untuk ibu. Sampai ke RSUP ibu sudah duduk bersandar
bantal di ranjang. Begitu kami masuk pertama yang kudekatkan dik Tri saat ibu melihatku;
”Kebetulan ada mas Ade. Libur ta mas?”
”Nggih bu boleh pulang kok setiap hari asal besoknya datang,” jawabku
”Anak-anak sudah makan ?”
”Sampun bu,” kami beramai-ramai seperti kor menjawab
Ibu senyum bahagia melihat kami kompak. ”Padahal sandiwara,” batinku.
Satu jam bersama ibu di RSUP kami pamit pulang. Nasi untuk ibu disuruh bawa pulang
ditambah beberapa kue dan buah entah dari mana. Setelah pamit, kami keluar. Belum
sampai di penitipan sepeda, dik pur menagih janji
”Beli bakmi dimana mas?” tanya dik Pur tak sabar
”Tak jadi saja ya, kan ibu tak dahar, nasinya buat kalian berdua,” candaku
”Kok gitu, mas Ade kan janji,” kata dik Pur cemberut
Memang dik Pur orangnya begitu, tak mudah diajak bergurau, maka setelah dibatas
kota kuajak berhenti mampir di warung yang kujanjikan.
Begitu duduk di warung bakmi wajah-wajah adikku kelihatan ceria, manis-manis semua.
Mungkin seleranya timbul begitu mencium bakmi goreng itu. Dik Pur berbisik dekat kupingku
”Piro mas,” bisiknya
”Dua porsi,” bisikku pula
”Kok dua, kita kan orang tiga,” bisik dik Pur sambil meredam suaranya dengan tangan.
”Aku ngalah dik. Biar adik-adik saja,” bisikku pula
”Tiga pak, bakmi goreng,” kata dik Pur keras-keras setelah di tanya penjual bakmi.
Dik Pur tertawa, dik Wik senyum. Terpaksa aku ikut senyum melihat adikku yang
nekat itu, walaupun batinku ragu. ”Cukuplah uangku dikantong ?”
Tiga porsi bakmi goreng panas disajikan. Dik Pur yang lincah membagi-bagi porsi.
Aku, dik Pur, dik Wik. Baru ku tiup-tiup, dik Tri tak sabar proteslah dia ;
”Aku, bakmiku mana?’ tanya dik Tri yang masih cadel itu.
”Ini lho dik, sabar biar dingin dulu,” bujukku sabar
Dik Pur dengan lahab menikmati jatahnya. Dik Wik kalem saja. Dik Tri kusuapi pelan-
pelan. Sekali –sekali kucoba ikut mencicipi, dik Pur menegurku;
”Mas Ade makan saja, jangan hanya nyuapi terus.”
”Tak apa yang penting kalian makan dulu, aku sisanya dik Tri saja!!”
”Kaya ibu, iya ibu juga gitu, nunggu sisanya,” kata dik wik kalem.
112

Oke setelah kubayar, sisa bakmi dik Tri tak bungkus dibawa pulang. Sampai dirumah
aku makan sisa bakmi dik Tri dengan nasi untuk besuk ibu di RSUP tadi. Rupanya dik Pur
tak tega melihatku, nimbrung di depanku sambil membawa air minum untukku. Mungkin
empati padaku. Kuamati sejenak, seperti ada yang dipikirkan.
Saat itulah terasa betul hubungan emosionalku, bahwa hidupku dalam proses
kedewasaan yang semestinya. Maka sambil makan, dik Pur kuberi instruksi, layaknya kepala
keluarga., sebagai kakak laki-laki Mbarep.
”Dik Pur, bulgur yang ada besok ku bawa saja. Lebih enak tiwul, seperti biasanya ya.”
”Bulgurnya diambil bu Yoso mas. Beliau yang masakkan kok!!”
”Jadi tadi itu yang masak bukan dik Pur?”
”Aku masak nasi berasnya saja kok mas.”
”Kok dicampur bulgur?” tanyaku heran
”Ya diambil sebagian, buat besuk ibu dan dik Tri gitu. Petunjuk bu Yoso begitu!!”
Aku paham yang sakit, yang balita tak layak makan tiwul, apalagi bulgur apek itu. Aku
shalat dulu. Dalam doa aku memohon ke Allah agar kami cepat diberi kemudahan, dan
keluarga ini kembali normal lagi. Ada bapak, ibu sehat, semua sehat, tak ada bulgur dikeluarga
ini. Amin.
Dua hari kemudian ibu sudah boleh pulang. Tapi baru satu malam tidur di rumah,
dengan berlinang air mata, esok paginya kembali ke Wista ( Wisma Derita) entah sampai
kapan. Pikiranku kacau lagi. Beruntung bulan itu dik Pur & dik Wik masih libur panjang.
Maka sorenya pukul 3.30 aku ke Solo naik kereta seperti biasa.
Di Solo yang kutemui pertama tentu bu Alit di Wisler. Kuceritakan semua kejadian
dirumah Pokoh juga dikampung, tak lupa tentang bulgur apek itu. Bu Alit sejenak ikut sedih.
Tapi tak dapat berbuat apapun kecuali diam prihatin.
Paginya aku sowan mbah Putri. Aku merasa senang melihat beliau. Karena di bekas
rumah kecilku dulu sudah diratakan, jadi halaman yang luas. Mbah Putri rajin menyapu dan
menanam kembang ”Rejeki” di bekas kamarku. Kata mbah Kung, mbah putrilah yang
menanam dan menyirami setiap sore. Agar aku dimudahkan rejekinya. Diam-diam aku heran
dan senang mendengar cerita tentang begitu besar perhatian mbah Putri kepadaku.
Setelah nginap semalam di Padepokan kuda Ringkih ( PKR). Paginya kucari Teguh.
Aku melaporkan PKL ku ke sekolahan, kebetulan Teguh hari itu menengok pengumuman.
Aku tak tanya pengumuman apa, karena perasaanku perih. Setelah mengetahui belum ada
pengumuman, kami berunding, sebelum memutuskan apa acara berikutnya;
”Guh kita kemana, ke mbah di PKR, warung Gading atau ke kosmu?”
”Aku tak kos lagi mas, karena tak aktif lagi aku nglanjau saja!!”
”Oh ya, aku lupa kamu kan sudah ujian. Kalau begitu sebaiknya ke PKR saja sowan
mbah putri, biar beliau bahagia.”
”Tapi disana, bisa ngobrol lama kah?” tanya Teguh.
”Betul juga Guh, kamu mau menderita sedikit?”
”Maksudnya tak makan dulu, begitu?”
”Bukan Guh, kamu dari dulu soal perut melulu. Agar bisa ngobrol kita ke Padepokan
jalan kaki sambil ngobrol, sampai kesana jam 12.00 pas mbah Putri selesai masak buat kita, gitu
Guh!!’”
”Ooo begitu, setuju. Tapi ingat mas kita belum ketemu pak Agus tentang surat PKL
lho.” kata Teguh mengingatkanku. ”Oh iya. Kabarnya, pak Agus mengetahui ada proyek
waduk di Wonogiri. Kita tanya beliau dulu sekaligus minta Surat Pengantar Kerja Lapangan
( SPKL).”
”Teguh hebat,” kataku. ”Kita menghadap pak Agus, urus surat PKL itu, dan sekaligus
bertanya tentang proyek untuk PKL.”
”Mas Ade, mau praktik di waduk Jarak?” tanya pak Agus.
113

”Mau, mau.. pak tolong buatkan SPKL nya. Dan dimana waduk Jarak itu ?” tanyaku
”Tepatnya di Kecamatan Batuwarno desa Selopura. Sudah empat anak-anak dari sini
yang kesana sepuluh hari lalu. Tapi harus usaha makan sendiri dan kostnya.”
”Gampang pak, kalau disana,” kataku optimis.
”Kok gampang, ada famili disana?” tanya Teguh.
”Tak usah mikir famili dulu Guh, yang penting kesana dulu. Kamu sih ”waduk” mu
terus yang dipikir,” selorohku sambil memperhatikan pak Agus.
Mendengar selorohku, pak Agus sambil membuat SPKL tersenyum. Teguh juga
menikmati candaku sambil cekikikan. Ternyata Teguh tetap seperti dulu, menganggab aku
sahabat yang selalu bersama. Kulihat jam tanganku, menunjukkkan pukul 10.50 menit terus
mencari pak Agus.yang sedang minta tanda tangan pak KS dulu di ruang K S.
”Apa sebaiknya kita ke warung bu Ratri, Guh?” tanyaku
”Buat apa, katanya mbah Putri, nunggui?”
”Bukan cari makanan saya kan lama tak ketemu pak Ibnu?’
”Mas Ade. Pak Ibnu digaruk juga,” bisik Teguh serius.
”Masa, ya sudah pikirku kan silaturahmi.”
Setelah menunggu hampir seperempat jam, pak Agus memanggilku masuk ruangan
kantor, sambil membubuhkan stempel beliau pesan setiap dua minggu sekali disarankan untuk
apel ke sekolah agar tak ketinggalan informasi.
Setelah SPKL kuterima, kulihat lagi jam tanganku, terpaksa rencana jalan kaki dari
sekolahan ke Pandepokan kubatalkan.
”Batal Guh, kita langsung pulang saja ya tak usah ngobrol sambil berjalan.”
”Betul Mas, apa juga yang mau di obrolkan bahannya habis,” jawab Teguh bercanda.
Dua puluh lima menit kami bergoncengan naik sepeda. Sampai dirumah mbah Putri
sudah menunggu kami berdua. Mbah Kung kulihat sudah siap-siap ke mushola. Bak air wudhu
telah melimpah airnya, berarti mbah Kung sudah tau kalau aku datang cepat. Kami ke
musholla. Teguh jadi Billal. ”Mbah Kung kulihat semakin sepuh tapi tetap energik,” batinku.
Usai shalat mbah Putri memanggil kami;
”Guh mbah Putri pasti membuat menu makan favoritku.”
”Sayur lodeh terong, daun melinjo kan?”’ kata Teguh meramal
”Bothok tawon juga Guh!!”
Ternyata meleset, hari itu menunya sayur santan krecek kulit sapi campur tawon. Aku
tersenyum setelah kulihat menunya, Teguh juga sama. Mbah Putri menyapa kami setelah
mengambilkan nasi buat mbah Kung, mungkin curiga kenapa kami terlihat aneh.
Tapi begitu melihat kami berdua makan dengan lahab, mbah Putri bahagia. Aku
ditunggui dan nasi untukku di tambah lagi. Kulihat mbah Putri tak ada komentar, walaupun
wajahnya ceria.
Usai makan kuangkut piring, mangkok ke dapur bersama Teguh. Kucuci dan
kurapikan, baru mendekati mbah Kung yang sedang merokok di ruang tamu. Kulihat kalender
1966, hari itu aku bersikap seolah-olah seperti tak ada masalah.
Setelah itu kami berdua pamit simbah terus ke warung Gading, ambil beberapa pakaian
kerja terus pamit ibu Alit. Tak lupa uang saku secukupnya. Ternyata bu Alit mendukungku
sepenuh hati. Tas kulit kuno disuruh membawa. Layaknya orang mau merantau. ”Beres,”
Teguh melongo memandangiku. Aku tau isi hatinya. Karena sudah ku siapkan sarung bekas
dan beberapa pakaian ganti dia. Kendati bekas pula yang penting bersih.
Maka pamit ibu Alit, lik Sum, lik Kem dan akhirnya Denok yang mulai kalem itu.
Semua melihatku dengan agak heran, tapi dengan wajah-wajah iklas;
”Nih mas Ade tak sangoni,” kata lik Sum.
”Tenan lik duwit,” jawabku.
”La iya lah, mas Ade kan tak suka bawa makan?”
114

Sore itu tas ku gotong dengah Teguh, ternyata tak berat. Tas kuno dari kulit kerbau itu
sudah lama kulihat. Konon peninggalan sinder tebu Colomadu di Kartasura.
Di stasiun Sangkrah sambil menunggu kereta terakhit menuju Wonogiri, aku timbul
ide. Daripada nginap di Wonogiri, rasanya lebih baik langsung ke Baturetno. Karena di
Wonogiri, belum tentu ibu ada dirumah. Bisa jadi dik Tri malah rewel, saat aku meninggalkan
dia, saat ibu tak disampingnya. Walau mungkin juga dik Tri dibawa ibu ke Wista.
Kubujuklah Teguh si peragu itu, dengan caraku yang selama ini dia tak mampu
menolak. Maka setelah duduk di gerbong tua yang membosankan itu. Aku berdoa sejenak agar
kami selamat di perjalanan dan Teguh hari ini menerima ajakan ku
”Guh, setelah ini apa rencanamu?”
”Pulang dulu mas, ke Jati Purno!!”
”Ada acara penting di kampungmu?”
”Belum ada sih, tapi mau kemana kalau tak ada kegiatan?”
”Bagaimana kalau ikut aku saja dulu ke proyek PKL ku?”
”Tapi mas aku kan tak...?”
”Tak ada tapi hari ini, aku tau maksudmu!!!”
”Memang mas Ade tau jalan pikiranku? Hebat?”
”Paling-paling kamu mikir ini.... iya kan?”
Sambil ngomong begitu, ku tepuk-tepuk perut, dan sakunya. Dia tertawa ringan, tanda
membenarkan.
”Pertanyaan ku mas, tiba di Baturetno kan malam?”
”Aku tau maksud ini juga Guh, tentang nginap dan mandi kan?”
”Paling kamu bilang, Jangan khawatir Guh, ada masjid iyakan!!”
”Belum tentu Guh. Kalau disana Baturetno, habitatku?”
”Jadi... maksudnya dibawah jembatan?”
”Tak mungkin Guh dibawah jembatan musim gini, lagipula jembatan di kota kecil tak
ada yang layak huni. Mengapa kita mau praktik jadi kere?”
”Baiklah aku ikut. Mana bisa menolak jika mas Ade yang minta,” jawab Teguh sambil
tetawa lepas. ”Tapi kita jam berapa sampai di Baturetno?”
”Hitung saja, jika melewati tujuh stasiun?”
”Tujuh Stasiun? Jika rata-rata 15 menit saja sudah 105 menit.”
”Itu baru berhentinya di stasiun Guh? Kamu tak salah hitung bahwa Solo-Batu jaraknya
60 km. Kabarnya dari stasiun Batu ke proyek Jarak sekitar 11 kilometeran?’
”Mas guruku di ST dulu, pak Parmo juga diciduk!”
”Bosan Guh, bicara Lapas, miskin terus?” jawabku
Sampai di stasiun Gudang Dondong dan Nguntoronadi, kulihat penumpang yang naik
kereta menuju Baturetno puluhan orang. Aku bertanya dalam hati. Mengapa dan ada apa?
Ternyata begitu turun di Batu ku tanya mereka;
”Mau kemana pak?”
”Mau ke Jarak mas.”
”Ke Jarak? Waduk jarak? Tanyaku lagi
”Iya mas.”
”Bapak-bapak ini semua kerja disana?” tanyaku lagi
”Iya mas semua.”
”Terus sebelum kesana tinggal di ?” tanyaku serius.
”Ya, terus kesana jalan kaki semua. Tinggal dan tidur disana.”
”Alhamdulillah Guh, kita ikut bapak-bapak ini saja. Tak usah cari masjid untuk malam
ini.”
”Terus kita nginap dimana disana nanti.”
115

”Pokoknya Guh, tak usah bicara tentang nanti sekarang kita bergabung mereka ikut ke
proyek, mereka pekerja disana Guh!!”
”Aku tak kencing dulu mas.”
”Tak usah nanti kita ketinggalan, mereka, tahan dulu nanti, beres Guh. Ayo!!”
Akhirnya kami berdua buru-buru mengikuti rombongan buruh proyek itu.
Kutinggalkan stasiun, lewati pasar terus jalan, ikuti mereka sampai di luar kota kecamatan.
Keadaan gelap, pohon-pohon dipinggir jalan, kanan-kiri sepertinya sawah ladang penduduk.
”Guh kamu kencing disitu, dibawah pohon saja, gelapkah?”
”Mas Ade?’
”Aku juga dibalik pohon itu.”
Selesai kencing kami lari mengejar rombongan itu. Jalan terus sampai delapan kiloan.
Setelah itu naik, jalan desa yang berbatu. Untuk penerangan jalan, rombongan ada yang
menggunakan obor dari daun kelapa kering, ada juga lampu senter.
Dua setengan jam perjalanan kami, sampailah kampung yang dituju. Kuperhatikan
papan nama di pos ronda kampung Jatipuro, Kel. Selopuro. Ternyata setelah masuk kampung
rombongan terpencar-pencar memasuki tempat pondokan masing-masing. Kami berdua
binggung mau ikut yang mana. Mereka lama-lama habis.
”Guh kita kemana, kok orang-orang tadi habis ke rumah –rumah di kampung ini?”
”Tadi mas Ade tak tanya mereka?”
”Ya tak sempat mereka jalannya seperti lari gitu kan?”
”Di stasiun tadi mas Ade tak sempat tanyakah?”
”Lupa Guh, lagi pula tadi kan kita tak menyangka!!!”
”Kenapa, mas Ade katanya sering ke sini dan habitatnya.”
”Bukan kesini Guh, tapi di Baturetno tadi!!”
Dalam keadaan setengah binggung, tiba-tiba dari arah atas sana ada lampu senter
mengarah ke kami. Tak lama kemudian menyapa kami, seorang yang berumur kira-kira lima
puluhan, menegur kami dengan sopan, tak seperti pekerja tadi;
”Mas, mas dari mana, mau kemana?” tanya orang itu.
”Kami dari Solo pak mau PKL ?” jawabku
”PKL itu apa mas, kami orang kampung dan gunung tak tahu?”
”Oh begitu pak, mohon maaf, kami anak sekolah mau praktik kerja proyek waduk
disini. Tapi kebinggungan karena sampai disini malam dan kehilangan jejak teman
rombongan.”
”Tadi rombongan yang mana?”
”Tadi hanya ketemu di stasiun pak. Karena katanya kerja di waduk Jarak. Ya kami
ikuti, tak kami sangka ternyata masih jauh dan sampai disini, mereka sudah tak ada.”
”Lha mas,mas ini namanya siapa?”
”Saya Ade pak, temanku ini Teguh.’
”Kalau begitu begini saja, ayo sekarang ikut bapak malam ini mas-mas nginap di rumah
bapak. Kebetulan dirumah bapak ada enam orang yang tinggal sementara ini, monggo.”
”Mohon maaf pak, kalau kami boleh matur nama bapak?”
”Aku dipanggil pak Tris saja !!”
”Terima kasih pak. Alhamdulillah kami dapat pertolongan,” kataku
Akhirnya kami di ajak pak Tris itu, kerumah beliau sekitar 150 m dari pertigaan jalan
aku berhenti tadi. Sampai di rumah beliau aku dikenalkan orang-orang buruh proyek yang rata-
rata sudah bapak-bapak. Tanpa mandi kami di minta bergabung dengan enam orang itu.
Setelah berkenalan dan bicara sampai jelas kami berdua disuruh makan nasi tiwul, sayur
nangka lodeh dan sepotong ikan asin.
Setelah makan ditanya-tanya lagi. Kesimpulanya oleh pak Tris, besok mau diantar ke
kantor proyek, kurang lebih 500 meter dari rumah itu dan diseberang desa sana.
116

Pagi-pagi aku bangun mengikuti apa yang dilakukan buruh proyek itu. Kesungai buang
hajat, mandi dan sarapan bersama mereka. Baru setengah sembilan kami berdua di ajak
menghadap Pimpro waduk Jarak. Kabarnya bernama Pardjo ( pak Parjo ).
Dihadapan pak Pardjo kuserahkan SPKL dan Surat Keterangan (Suket) dari pak
Camat Nguntoronadi. Baru besoknya tiga hari kemudian aku dapat mulai bekerja, setelah tugas
dan persyaratan administrasi semua beres. Sorenya aku di tetapkan disuruh tinggal di rumah
pak Tris bersama dengan enam orang buruh – buruh itu.
Lega rasanya setelah diterima termasuk tempat tinggal dan makanku sehari-hari.
Tinggal mikiri Teguh kutanya dia;
”Guh, kamu mau berapa hari disini?”
”Kok berapa hari. Aku kan cuma jalan-jalan.”
”Jawab saja guh, kamu kira-kira kerasan berapa hari.”
”Ya besok pulang mas, yang penting mas Ade sudah jelas PKL.”
”Kamu bisa pulang sendiri?”
”Duh mas aku binggung jalannya, kemarin sampai sini sudah malamkan?”
”Baiklah kamu tak kasih pakaian ganti. Nanti kuajak cari tau.”
”Kemana?”
”Hayo sekarang, sudah sarapankan ini uang sedikit cukup sampai ke kampungmu. Tapi
mampir dulu ke rumahku di Pokoh. Lapor adikku, baru kau pulang. Nah sekarang ikut aku
setelah kamu ganti baju, tak usah ganti celana dulu nanti saja di Pokoh.”
”Kok ganti celana nya di Pokoh ?” tanya Teguh.
”Setelah sampai di stasiun juga boleh guh.’
”Kenapa mas ?”
”Dari sini kemungkinan naik truck muat batu kapur , guh .”
”Katanya naik truck gak bayar kok aku dikasih uang ?’
”Buat beli tiket kereta nanti dan bus kekampung mu .”
”Lha untuk sampean selama PKL ?’
”Tak usah mikiri aku guh, ini ”Jaman Bulgur” Sing Waras Ngalah.”
Teguh naik truk dengan senang hati, karena kebetulan truck yang di tumpangi langsung
ke stasiun Baturetno gudang bulgur itu, apalagi sopirnya ramah. Diperkiraan kereta api dari
Baturetno tiba di Wonogiri pukul 3.30 sore.
”Selamat jalah guh, jangan lupa mampir Pokoh!!”
”Selamat PKL mas, kamu hebat semoga jadi ”Anemer” jawab Teguh
”Anemer” ? aku sering mendengar sebutan itu, tapi tak tau artinya.”

..................TAMAT................
117

Of The Record

24
TIGA BULAN PKL BERSAMA TAPOL

S
iang itu hari Selasa Legi, baru besoknya Rabu Paing aku mulai bekerja PKL. Saat
makan siang bersama enam orang di rumah itu, aku berkenalan dengan bapak-
bapak yang tadi malam tidur satu tikar;
”Mas Ade,” kata bu Tris. ”Ini pak Benjo, pak Pardi dan yang gempal itu mas Pujono.”
”Nggih bu, tadi malam sudah kenalan,” jawabku dengan sopan
”Ini hari, mas Ade di rumah dulu istrirahat, baru besok bekerja.”
”Nggih bu,kata pak Kris, hari selasa tak baik untuk mulai bekerja,” selorohku.
Siang itu pukul 02.00 pekerja mulai ke proyek aku istirahat satu jam. Pukul 03.00 sore
aku bersih-bersih rumah, merapikan kayu bakar dan kandang sapi pak Tris, sebagimana ajaran
orang tuaku kalau ikut dan numpang di rumah orang. Sebetulnya aku mau mandikan sapi ke
sungai dibawah sana. Tapi belum kenalan dengan sapi pak Tris, takut juga!!
”Wei la dala...,” aku dikejutkan kedatangan pak Tris dengan sekeranjang pakan sapi.”
”Mas Ade kok bersih-bersih, bukan main..... tak kira ke proyek?”
Kuhampiri orang tua yang tenang dan baik hati itu. Beliau orang berwibawa dan kalem.
Beda dengan bu Tris yang ramah dan familier. Dari bu Tris pulalah aku tau identitas orang
yang tinggal dirumah itu misalnya; pak Benjo Lurah Punggur Veteran Perang, pak Suloyo,
Lurah Plosorejo, pak Tawino guru sama dengan pak Pardi, mas Kontring mahasiswa UGM.
Mendengar penjelasan bu Tris itulah aku timbul tanda tanya, kok guru, lurah,
mahasiswa kerja di proyek; ”Jangan-jangan seperti di proyek SR Beji itu?” pikirku. Baru dua
minggu kemudian saat istirahat ketemu kang Gino dan Tukiman teka teki itu terjawab. Bahwa,
semua yang kerja di proyek waduk Jarak itu orang-orang ”Tapol.”
”Kalau begitu dibagian dapur itu ”Tapolwan” dong,” tanyaku
”Ha..ha iya Tapolwan benar juga.” Jawab kang Gino
”Kecuali mas Ade dan anak PKL empat orang itu mas,” sahut Tukiman
Jelaslah sudah bahwa proyek ini dari Pimpro, Buruh proyek dan tukang masak semua
Tapol dari beberapa kecamatan seantero proyek waduk Jarak itu.
Maka nya kulihat tata tertibnya, ditaati dengan disiplin tinggi. Termasuk bicara mereka.
Aku ingat pertama kenalan dengan pekerja proyek di stasiun Baturetno malam itu. Mereka
118

bicara sekenanya saja. Terus jalan ke pondokan pun tak banyak bicara, sebagaimana budaya
orang di pedesaan.
Bisa jadi empat orang anak-anak PKL yang kata pak Agus sudah bergabung duluan juga
bersikap sama. Tak boleh bergaul bebas, maka aku tak tertarik mencari tau tentang teman se
PKL ku itu. ”Beginikah dampak lintang kemukus itu,” pikirku. Tapi aku masih penasaran;
”Kang Gino tadi bilang semua pekerja disini Tapol & Tapolwan?” tanyaku
”Iya, kecuali anak-anak PKL seperti Ade ini,” jawabnya
”Kalau ibu-ibu yang memadatkan tanah itu, masa seperti itu Tapolwan?” tanyaku
”Oooo kalau yang numbuk tanah di talud itu orang kampung sini, itu bukan Tapol.”
”Bu Tris juga lainkan ?” tanyaku agak berbisik
”Bu Tris itu mandor ibu-ibu penumbuk tanah, itu khusus,” jawabnya
”Maksudnya khusus?”
”Mereka hanya khusus numbuk, memadatkan tanah dan yang bertanggung jawab
kepadatan tanah, ya bu Tris?” jawab kang Gino
”Pakai alat apa mengetahui kepadatan tanah?”
”Dari bunyinya, jika sudah padat bunyinya kaya menepuk - nepuk pantat plak-plak-plak
gitu.”
”Oo hebat ... aku harus catat, karena disekolahku tak pernah dengar.”
”Harus mas semua harus di catat, kan sampeyan tugas mencatat?”
”Terus orang – orang hari ini jam segini kok belum mulai kerja?’”
”Ini hari Sabtu, pekerja setengah hari saja. Semua pulang kampung.”
”Kang Gino kok tak pulang?”
”Rumahku kan hanya di Jamprit situ, tak buru-buru kok?”
”Kang Tukiman Jamprit juga?”
”Lain mas, aku tak pulang, wong dirumah tiwul disini juga tiwul saja kok. Apa yang
dipulangi, istri tak ada, kambing habis, malah bosan kan itu-itu saja. Enak disini,” jawab
Tukiman.
Sampai pukul dua aku wawancara dengan sahabatku itu seperti wartawan dengan nara
sumber layaknya, tapi aku agak khawatir.
”Kita ngobrol begini tak dilarang to kang?” tanyaku ke kang Gino.
”Siapa yang melarang, aku kan orang sini.”
”Terima kasih kang,” jawabku
”Aku sekarang yang ganti bertanya mas Ade,’ tanya kang Gino
”Tentang apa kang? ” jawabku
”Bukan kah mas Ade itu penjaga gawang yang pernah makan di rumah pak Marmo ?”
”Astagfirullahaladzim kang ! iya betul, aku pangling lo kang ke sampeyan.”
”Ya benar saja, wong ketika itu mas Ade masih SMP kok.”
”Betul kang, terima kasih kang sampeyan mengingatkan saya!!”
”Kalau begitu, bagaimana jika malam ini kamu tidur di rumahku.”
”Saya senang kang tapi jangan sekarang minggu depan ya!!”
”Oke... malam minggu depan kamu pulang kerumahku.”
”Baik saya setuju, tapi aku tanya siapa untuk mengetahui rumah kang Gino di Jamprit”
”Tak usah tanya nanti bersamaku saja. Kita pisah ya...!”
Informasi siang itu melegakan saya. Puas dan lengkap pengetahuan saya tentang proyek
waduk Jarak. Selebihnya aku mau tanya kang Gino saat nginap dirumahnya minggu depan saja.
Sore itu pulang ngobrol, aku seperti biasa ngurus kandang sapi bersama pak Tris yang
semakin akrab. Bahkan anak sapi putih itu yang selama ini agresip sudah mulai bersahabat
dengan saya. Ketika ku beri nama si Eegleng pak Tris tak keberatan malah ibu Tris
mendukung;
”Benar mas diberi nama Sableng wong nakalnya begitu!!”
119

”Bukan sableng bu, tapi Degleng jawabku.”


Mendengar kami riuh pak Benjo dan Suloyo nimbrung;
”Ternyata baru sepuluh hari disini sudah membuat gemah ripah mas, dengeri ya,
Degleng, Sableng, nggeleleng yah sama saja. Apa sih yang Degleng ?” tanya pak Benjo
”Itu lho pak, si pedet itu sekarang sudah lulut,” kata bu Tris
”Lulut dengan siapa to bu?” tanya pak Suloyo
”Sama mas Ade. Wong dimandikan, dipegang sekarang tak giras kok.”
”Tak beri nama Degleng bilang ibu Sableng, “ sambungku
”Bagus Degleng to, dari pada sableng,” kata pak Benjo
”Ya sudah kalau begitu, biar sama dengan saya?” jawabku
”Apa nya yang sama?” tanya bu Tris.
Aku tak menjawab karena malu soalnya ingat lik Tukijo sering memanggil aku degleng
begitu. Tapi diam-diam aku bangga, telah bisa interaksi dengan mereka.
Minggu kedua, aku hampir hafal nama bapak-bapak pekerja bagian talud. Kadang kala
aku ikut mencoba mengisi tanah untuk siring waduk itu. Kulitku jadi menghitam kena terik
matahari, juga kusam, seperti rata-rata pekerja proyek. Aku tak pernah berpikir apalagi
menyebut-sebut mereka Tapol.
Minggu ke empat sepulang dari Solo, di stasiun Wonogiri, aku melihat ibu dan dik Tri
naik kereta jurusan yang sama. Suasana di gerbong menjadi berubah, khususnya aku dan ibu.
ternyata hari itu ibu ikut ke waduk Jarak bersama beberapa orang ibi-ibu yang lain;
”Apa pertimbangan ibu memilih istirahat di Jarak?” tanyaku
”Adik-adikmu bagaimana sekolahnya kalau ada Tri dirumah ?”
”Di Wista dik Tri kan boleh, biasanya ada temannya bu ?”
”Ya bosan to mas, dan takut gudik ken. Apalagi Teguh matur sama ibu kalau mas Ade
PKL di Jarak. Ya sekalian saja adikmu Tri kan sering merengek mau ikut masnya. Terus
sekolahmu gimana?’
”Tiap dua minggu lapor kok bu ke sekolah, ini atas ijin sekolah.”
”Ya syukur ngger, kalau begitu. Terus ujiannya?”
”Kalau tak akhir Mei ya awal Juni bu?”
”Ya sudah dilakoni saja, tapi mas Ade sekarang menjadi hitam!!”
”Iya bu, mandinya di sungai bersama sapi.”
”Memang tak ada sumur, masa mandi sama sapi?”
”Nanti ibu kan pirso, setelah disana santai saja bu, anggab saja wisata.”
Sehabis itu ibu mengajak ibu-ibu yang lain, bahwa malam ini sebaiknya langsung saja,
mumpung ada mas Ade. Daripada besok panas dan kebetulan terang bulan. Akhirnya teman-
teman ibu setuju dan aku sebagai pemandunya. Malam itu ada konsensus, seolah –olah dengan
ibu-ibu aku hanya karena kebetulan ketemu di kereta agar tak kena Tatip mes Tapolwan
nantinya.
Satu bulan ibu di proyek waduk Jarak, dik Tri selalu ikut. Pernah juga satu minggu
mengajak dik Wik. Dan saat itulah aku dipindah ke bagian gudang, tentunya dekat dapur
Tapolwan dan asramanya. Aku satu-satunya lelaki yang bekerja disitu, kecuali yang punya
rumah. Pak Pardjo menilai laporan saya selama itu bagus dan rapi administrasinya.
Di bagian sub proyek talud aku juga membuat laporan kemajuan setiap minggu. Di
gudang membuat laporan tentang keluar – masuk bahan pangan beras dan tepung gaplek.
Adapun bulgur hanya di hadiah kan ke perkerja Tapol sepuluh kg setiap minggu perorang.
Pekerja proyek mengusulkan kalau bisa pembagian bulgur diganti uang saja. Kutawari
satu rupiah per kg bulgur mereka setuju. Yang menjadi kendala, proyek tidak punya dana
untuk mengganti harga bulgur. Karena rencananya bulgur dikomsumsi untuk Tapol yang
menegerjakan proyek waduk Jarak. Naluri dagangku muncul, bagaimana kalau saya yang beli.
120

Cuma membawa ke Solo bagaimana takut dirazia. Atas kebijaksanaan pemerintah dikasih surat
rekomendasi khusus agar perjalanan Batu ke Solo tidak ada maslah
Pada saat aku ke Solo, kubicarakan hal itu ke bu Alit, agar dipinjami uang untuk
membayar bulgur jatah Tapol itu, dan bulgur kita jual. Kata kang Simon di Solo harga bulgur di
pasaran Rp. 250 / kg.
”Apa tak bermasalah, wong jatah Tapol kok dijual?” tanya bu Alit.
”Yang menjual kan bukan orang proyek bu. Tapi orang Tapol itu,” jawabku
”Kok sampai puluhan ton?”
”Kita hitung bu, setiap minggu perorang sepuluh Kg. Jika seratus orang kan satu ton.
Kalau sebulan empat kali kan empat ton dan yang di gudang puluhan ton.”
”Kenapa proyek memberi bulgur kalau mereka tak suka?”
”Mungkin sebelumnya tak tau kalau orang-orang Tapol menolak!!”
”Orang Tapol katanya susah cari makan kok malah menolak ?”
”Kan bulgurnya apek bu, bau karung, maka minta diganti uang saja !!”
”Kita coba saja ambil sepuluh ton dulu, nanti kalau lancar yah terserah kamu.
Kebetulan di Kartosuro ada yang mau nampung. Yang penting jangan bermasalah lho.”
Dengan surat bagian logistik & Pimpro bulgur lebih dari 10 ton tetap di gerbong kereta,
dengan keterangan bulgur dibeli dari orang-orang Tapol yang bekerja di proyek waduk Jarak.
Sepuluh ton bulgur kembali ke Solo. Sialnya tiba di stasiun Wonogiri sempat bersitegang
dengan Polisi Pamong Praja (P3), pimpinan pak Saman, yang terkenal galak itu.
Berkat bantuan dari Ka Stasiun, kami adu mulut tak lama. Bulgur 10 ton bulgur lolos
ke Solo. Tiba di Solo bukan urusan saya lagi. Orang-orang bu Alit yang bertanggung jawab.
Aku dapat persen lumayan tapi kapok. Konon pak Saman nyanggong di stasiun Wonogiri. Aku
santai. Kang Gino tak belikan kaos, Sutiman 2 bks rokok. Aku segan dengan pak Pardjo, beliau
tak lapori saja dan tersenyum iklas. Malah bilang ; ”Tak usah takut kenapa kapok ?”
Kabar baik ibu bebas kuterima saat aku istirahat makan siang hari Senin. Hari Sabtu
pkl 11.00 ibu dan ketiga adikku berkunjung ke proyek PKL ku. Aku tak menduga mereka
datang maka kusambut adik-adikku yang tampak lelah, tapi mereka tetap ceria memelukku
satu persatu..
Hari Sabtu bekerja setengah hari. Semua tenaga kerja berhamburan meninggalkan mess
masing-masing setelah makan siang. Mereka berusaha tiba di stasiun Baturetno sebelum kereta
ke Solo meninggalkan stasiun pukul 03.00 sore.
Karena saya harus menggendong dik Tri kecil sejauh sebelas Km. Dan adik-adik yang
dua tak biasa jalan di pengunungan. Aku tiba di Baturetno sekitar pukul 04.00 sore. Yang pasti
tak bisa naik kereta. Kami nunggu di pos polisi dengan harapan ada kendaraan bisa kami
tumpangi ke Wonogiri Kota.
Atas bantuan polisi jaga di pos, pukul 09.00 malam, kami ada tumpangan truck
membawa batu kapur jurusan Solo. Tiba dirumah pukul sebelas malam semua lelah itu pasti.
Paginya anak-anak bangun pkl. 09.00 ibu mencuci semua pakaian, terpaksa aku
sementara ganti pakaian seragam ABRI milik bapak. Bangun tidur mereka riuh mentertawai
saya, dikira bapak pulang tugas, ndak taunya.. mas nya?
Satu bulan kemudian PKL ku berakhir sebetulnya boleh diperpanjang sampai proyek
waduk Jarak selesai. Karena aku harus menghadapi UNAS, aku mohon ijin, pak Pardjo sebagai
Pimpro memberii surat rekomendasi selama PKL, kata kang Gino ”Ade Cumlaude.”
Diam-diam pak Pardjo dan bu Tris menaruh empati dan bangga kepadaku. Ternyata
Ade anak kota kakak dari tiga adik – adik yang manis-manis dan semua sayang padaku tapi
mau membaur dengan buruh tapol yang beragam latar belakangnya.
Pujian itu membuatku malu hati, karena aku bukan seperti anggapan mereka. Aku
adalah anak desa yang sarat cobaan, yang selama ini kurasakan sendiri. Bagiku miskin,
menderita sudah sangat familier. Sebetulnya aku juga ingin seperti anak-anak pejabat yang
121

piyayi. Maka pujian pak Pardjo bagiku tak semestinya. Jika aku ingat pak Pardjo, orang nya
bijaksana, sabar, mendidik dan membuatku rindu, sosok ayah seperti beliau.
”Ade.. hayo, langsung pulang malam ini nginap di rumahku,” dengar suara kang Gino
yang tiba-tiba, aku kaget ternyata aku melamun buru-buru kuangkat koper wasiatku yang buluk
kan itu.
”Oh iya mas hampir lupa?” jawabku spontan
”Kok Ade membawa kotak wayang, darimana dapatnya?”
”He...he ini bukan kotak wayang mas, tapi bahan wayang,” jawabku
”Ha..ha betul juga wayang kulit kan dari kulit kerbau juga. Tak ada yang ketinggalan?”
”Ada si Degleng. Tapi tadi sudah ku tinggali pakan dengan menu istimewa. Bu Tris
berlinang air mata lho mas dan aku di sangoni uang.” Kata beliau; ”Agar aku sering – sering
main kesini.”
”Bu Tris wajar kalau merasa kehilangan. Kubawa kopermu, hayo!!”
”Kok panjenengan aku kan yang muda?’
”Tapi kalah pengalaman denganku, iya kan!!”
Itu tadi obrolanku dengan kang Gino seniorku itu. Kang Gino luar biasa bagiku., bukan
hanya sahabat tapi seperti kakangku layaknya. Sepanjang jalan kami cerita terus, kecuali
ketemu orang. Sekitar pukul 6.00 sore baru tiba di rumahnya. Sebuah rumah sederhana seperti
umumnya di kawasan subur yang adem itu.
Di depan rumahnya terbentang luas ladang lombok yang terkenal di Wonogiri itu
lombok Jamprit. Sore itu lautan merah buah lombok merata sejauh mata memandang. Jika
panen raya bertruk-truk setiap sore parkir di pinggir jalan dipenuhi berkarung-karung lombok.
Kusapa orang sepuh seumur biyungku, mbah Gino, ya ibu nya kang Gino. Ternyata
kang Gino anak semata wayang yang yatim seperti saya. Bedanya aku berumur 18 tahun
sedangkan kang Gino 45 tahun ”beda tipis,” sindirku
Satu malam aku menikmati tidur di rumah dipinggiran desa Jamprit, disuguhi nasi liwet
dan pepes belalang, urapan daun kacang dan kenikir tanpa tempe atau tahu masakan mbah
Gino. Cukup mengesankan bagiku semalam didesa Jamprit Baturetno.
Aku tak melihat ada orang lain dirumah kang Gino dan ibunya, kecuali bocah sepuluh
tahun umurnya mengikat dua ekor kambing di emperan pojok rumah. Siapakah dia ? aku
enggan bertanya macam-macam khawatir menimbulkan perasaan tak enak saja.
Pukul 03.00 subuh aku dikagetkan suara suling kereta. Mbah Gino sudah sibuk
didapur. Kukira azan subuh, ternyata sinyal kereta api dari stasiun Baturetno terdengar jelas.
Kang Gino masih tidur di dipan tua, lampu ublik menyinari jam weker diatas meja. Mungkin
melihat aku kaget tadi, kang Gino menegurku;
”Mas tidur aja lagi, masih malam. Itu baru suling pertama.”
”Tanda apa kang ?”
”Tanda ketel kereta sudah mendidih panas dan agar orang-orang bangun.”
”Kalau kedua?”
”Agar kita siap-siap ke stasiun bagi yang mau naik kereta.”
”Kita kan mau naik kereta itu?”
Kang Gino tak menjawab malah bangun melihat jam weker itu. Terus membesarkan
nyala lampu teplok yang ada di tiang, sambil menggeliat kang Gino menguap sebentar lalu
mendekati aku ;
”Mas Ade pulang pkl 10,00 saja kereta kedua. Pagi kita melihat-lihat situasi ladang dulu.
Besok kuantar membawa kotak wayangmu itu. Mbah putri membuat sarapan dulu kita penuhi
dengan lombok untuk oleh-oleh biyungmu.”
”Kalau begitu aku langsung ke Solo kang!”
”Lha kekampungnya?”
”Ya setelah dari Solo, kupulangkan kotak kulitku dulu.”
122

”Tapi jangan lupa oleh-oleh lombok untuk biyungmu.”


”Walah biyungku, musim gini soal lombok jangan khawatir.”
Setelah puas cerita di ruangan temaram itu. Mbah Gino menyodorkan sarapan
singkong bakar hangat dan sambal. Kuminum teh kental dulu, saya kira belum diaduk, kucari
alat penganduk, kang Gino tanggab ;
”Tak usah di aduk mas, karena memang tak pakai gula,” komentarnya sambil tertawa
renyah.
”Aku ngaduk agar cepat dingin kok!” jawabku tak jujur.
Sinyal kereta kuhitung sudah tiga kali, tapi tak kami pedulikan. Karena asyik menikmati
singkong bakar dan sambal bawang yang nikmat itu.
Pukul 9.00 pagi sehabis menikmati bau embun pagi dan kembang palawijo yang segar.
Tas kulit kerbauku di isi satu karung lombok Jamprit yang segar dan ranum. Sedang dua stel
pakaian dan sarungku kututupkan diatas tumpukan lombok.
Kugenggamkan dua puluh rupiah ke tangan keriput mbah Gino. Beliau teriak menolak.
Kukira basa basi ternyata dengan mimik serius betul –betul menolak dengan iklas. Kuucapkan
terima kasih. Aku diantar kang Gino, dengan menaruh tas kulit penuh lombok dibahunya
menuju ke stasiun.
Selamat tinggal Jamprit. Engkau takkan pernah kulupakan. Itulah suka dukaku tiga
bulan PKL bersama Tapol yang sejujurnya banyak sukanya dan mengesankan. Apalagi diluar
dugaan ketemu kang Gino yang penuh perhatian, keluarga bu Tris menganggab aku seperti
anaknya.
Tepat pukul 10.00 kereta yang kutunggu tiba di stasiun Baturetno dari Solo. Biasanya
lansir dulu sekitar dua puluh menit. Menjelang berangkat kulihat kang Gino menaikkan koper
kulitku ke gerbong.
Sambil mengucapkan terima kasih kang Gino kuminta datang kerumahku sebagai
balasan persahabatan. Beliau antusias maka dia mencari kertas untuk menulis alamatku.
”Tak usah pakai alamat kang !”
”Memang mas Ade tak punya alamat?”
”Begini saja turun di stasiun Gudang Dondong tanya saja namaku, hampir pasti semua
orang-orang disitu tau.”
”Memang Ade orang terkenal?”
”Coba saja kalau tak percaya!” jawabku sambil naik ke bordes kereta api jurusan Solo.
Kelambaikan tanganku, beliau membalasnya. Selama perjalanan sembilan puluh menit aku
mengenang Jamprit --- Jarak dan tak terasa pukul setengah dua belas aku tiba di stasiun
Sangkrah pasar Pon.
Kupikul tas penuh lombok dengan berharap isinya tak hancur atau layu. Pandanganku
ku arahkan di pintu keluar mengharap mbak Kung yang nongkrong disana. Ternyata kang
Simon.
”Gading-gading,’ teriak kang Simon mengledekku.
Kucari becaknya, langsung tas seberat dua puluh kilogram kutaruh di Jok. Ternyata
kang Simon sudah siap dibelakangku.
”Bawa apa mas Ade, kok kelihatan berat?”
”Bulgur.”
”Oh..Oh tak mungkin bulgur taruh di tas!’ kata kang Simon sambl mengayuh becak
merah itu, tapi kuabaikan entah dia ngomong apa. Aku lelah dan melamun. Tiba di depan
warung, lik Sum kulihat menyuapi Denok.
”Lik oleh-oleh buat ibu, harus dibuka segera!” lik Sum tanggab begitu membuka tas
warna coklat itu teriaklah. ”Lombok bu... mas Ade oleh-oleh lombok,’ kata lik sum.
Ibu melihat sebentar aku diantar kang Simon ke Wisler cuci tangan, ganti pakaian,
ngorok sampai sore.
123

....................................00000......................................

25
PRA UNAS DITUMPUKAN
LOMBOK & BULGUR

Wisler adalah tempat istirahat bu Alit selama di Solo. Khususnya jika ada kunjungan
tamu. Karena di warung makan Gading tak layak untuk menerima tamu. Kuberi nama Wisler
maksudnya Wisma Lerem artinya rumah istirahat, atau rumah singgah.
Pukul lima sore, aku baru usai shalat Ashar kudengar suara Denok teriak-teriak:
”Mas Ade buka pintu!”
”Buka sendiri tak dikunci Nok.”
Ternyata ada bu Alif, membawa sebakul lombok diantar kang Simon, tukang becak
pribadi kami. Bu Alit memegang pelipisku mungkin dikira aku sakit. Setelah mengetahui aku
sehat sambil memcubit pipiku, beliau tampak lega dan berseri.
”Lombok merah Jamprit itu dagangan to mas?” tanya bu Alit kepadaku.
”Bukan bu, itu oleh-oleh dari kang Gino bu! Tapi kalau mau kulakan disana pusatnya!”
”Sekilo piro ? kok bisa mengatakan murah?”
”Aku tak tau per kilonya, tapi yang jelas disana pusatnya bu.”
”Ade kulihat senang dagang, kenapa tak tanya kalau tertarik?”
”Malu bu, orang dikasih kok tanya harga rasanya tak elok.”
”Pinter benar kamu nak, sudah tau kalau dikasih jangan tanya harganya.”
”Tapi kalau ibu mau bisnis lombok. Ibu tak derekke kesana. Benar!!”
”Bisnis Bulgur tempo hari sebetulnya lumayan kok kapok?”
”Sebetulnya pak Pardjo Pimpronya menyetujuinya lho bu!’
”Terus persiapan UNAS mu bagaimana?’
”Masih longgar bu, enam bulan lagi kok baru UNAS.”
”Ooo... ya syukur kalau gitu, mbahmu caosi juga lomboknya lho!!”
”Nggih bu juga kang Simon ya.....” ternyata ibu tak ada, kugoda aja Denok ah.....”
”Nok mulai besok mas pakai sepeda ya?”
”Aku tidak pakai sepeda kok...”
”Lha sekolahmu pakai apa?”
”Diantar pakde Simon. Mau kemana to mas?’
”Aku mau pakai sekolah lagi!!”
”Lho wong sudah gede kok baru sekolah?”
”Kenapa, memang tak boleh? Dasar cah SR Nok !!”
”Ade...mumpung masih segar antar saja sekarang, terus nginap sana aja!!”
”Nggih bu kebetulan aku mau urut.’
”Eee... jangan minta diurut mbah putri lho kasihan kan! Malas betul !”
”Inggih bu.... kebiasaan mbah putri, walaupun aku tak minta diurut, setiap aku baru
pulang pura-pura lelah pasti diurut kok.”
124

Sebungkus lombok kutaruh dibagasi si Jengki. Kubawa segera lombok petang itu juga.,
setelah shalat mahgrib. Sampai di halaman rumah mbah, sebagaimana biasanya kuda
Ringkihku menyambutku dengan teriakan yang khas berkali-kali. Pintu rumah simbah dibuka;
”Alhamdulillah cucuku tenan to,” sambut mbah putri
”Nggih mbah, ini oleh–oleh lombok dari bu Alit.”
”Kok buanyak betul, mau dagang to Ade ?”
”Ade nginap di rumah teman mbah dan di kasih lombok ini.”
”Mbah kung cucumu nggawane lombok akeh banget.”
”Ini hari Minggu dari jalan-jalam ke Tawangmangun ta le ?” tanya mbah kung..
”Mbah kung tak faham, baru pulang PKL lho mbah.” jawabku
”Oooo.. saya kira ke Tawangmangu di Batu ada lombok juga to?’
”Lombok Jamprit kan dari daerah Baturetno to mbah!!”
”Mbah kung itu taunya lombok cuma dari Tawangmangu. Sudah istirahat, coba lihat di
meja, tadi mbah kung kendurian, berkatnya belum dibuka. Makan berkat saja apa aku ngliwet
?” tanya mbah putri.
”Berkat saja mbah, tak usah masak,” jawabku
”Le ... ini ada surat dari Teguh katanya lulus, dan cerita ikut ke proyek PKL mu segala,
katanya Ade nekat banget. Belum tau siapa yang dituju berani kesana.”
”Mbah kung tak tau to jika Teguh itu peragu?’ jawabku santai
Usai menjawab komentar mbah kung kubaca surat Teguh. Tapi isi surat biasa saja, tak
ada yang menarik sedikit pun dasar Teguh,” batinku.
Malam itu aku utarakan ke simbah ku bahwa PKL sudah selesai. Tiga bulan penuh
suka duka selanjutnya tinggal mengikuti ujian kelas semester akhir Aku harus konsentrasi
sebelum persiapan, tapi mau pulang kampung dulu. Juga aku matur, mau mengantar bu Alit
jalan –jalan ke Baturetno, sekaligus melihat kebun lombok di Jamprit. Setelah itu pukul
sembilan aku masuk kamar tidurku. Bukan main, bau bunga melati putih kesukaanku
digantung di dinding bambu kaya kamar pangeran. Paling – paling kerjaan mbah putri,”
batinku
Seperti biasa, sebelum tidur aku di urut dan diborehi ramuan berbau segar. Simbah
putri tak pernah bilang ramuan apa yang di lulurkan ke kakiku. Tapi hebatnya, empat jam
setelah dilulur biasanya badan jadi pres, bersih dan ringan.
Pagi-pagi kulihat kembang Rejeki hasil tanaman mbah putri tampak hijau segar. Agar
mbah putri bahagia, kusiangi sekitarnya dan kusiram sebagaimana biasanya. Aku melamun di
sisi kembang itu. Katanya kalau kembang itu tumbuh lebat, aku sehat.
Rasanya, menunggu bulan Februari seperti setaun. Agar tak jenuh aku berpikir
mengajak bu Alit ke Jamprit, melihat rumah dan kebun lombok didepan rumah kang Gino.
Ternyata bu Alit setuju. Maka sabtu pagi pukul delapan, aku bu Alit dan Denok berangkat
nsik kereta dengan harapan pukul sebelas siang sudah sampai di Jamprit.
Tepat sesuai yang direncanakan pukul 11.00 siang kami sudah sampai dirumah mbah
Gino. Kebetulan mbah Gino sudah pulang dari ngunduh lombok diladangnya. Kubawakan
gula dan teh, serta onde-onde. Mbah Gino menyambut kami dengan hangat.
Kabar baiknya lagi, kang Gino sudah mendapat surat panggilan Kejaksaan untuk
diperiksa sebagaimana Tapol menjelang bebas. Baru menjadi pembicaraan, ternyata kang
Gino pukul satu siang tiba-tiba dengan baju putih datang dengan wajah ceria. Mbah Gino hari
itu seperti mendapat durian runtuh.
Ditunjukkan ke aku tentang surat pembebasan dari Kejari Wonogiri itu. Bulik Alit
baru tau jika kang Gino berstatus Tapol. Karena aku memang tak pernah mnceritakan hal itu
kepada bu Alit. Dengan bebasnya kang Gino perjanjian bilateral hari itu di sepakati yaitu
tentang bisnis lombok dengan bu Alit. Malah bu Alit mengyinggung tentang Bulgur segala,
tapi kang Gino malah melihatku dengan pura-pura tak tau.”
125

”Kalau Bulgur yang tau caranya mas Ade bu? kebetulan pak Pardjo sore nanti datang.”
”Pulangnya kemana kang, pak Pardjo?” tanyaku.
”Ya ke Mbatu sini, dulu beliau kan anemer di Wonogiri,” jawab kang Gino.
Saking semangatku. Sore itu setelah makan siang,. Aku matur ke bu Alit, bahwa aku
sama kang Gino mau menghadap pak Pardjo Pimpro waduk Jarak itu, untuk bicarakan
tentang kelanjutan bisnis Bulgur ;
”Jadi kamu mau nginap disini lagi?” tanya bu Alit sambil melihatku.
”Iya bu...ibu kuantar ke stasiun kereta jam dua !” jawabku serius.
Perundingan final, tepat pukul tiga sore, ibu Alit pulang dengan kereta ke Solo.
Sedangkan aku dan kang Gino pukul lima sore menghadap pak Pardjo. Kebetulan pak Pardjo
baru selesai shalat Ashar. Maka menyambut kami masih mengenakan sarung, diteras depan
rumah permanen bagus dan mewah itu,yang biasanya disebut loji. :
”Mas Ade ternyata hebat no, cara berpikirnya aku kagum,” katapak Pardjo.
”Ibu Alitnya saudagar kok pak, buah jatuh tak jauh dari pohonya,” sahut kang Gino.
Sore itu hasil pembicaraan, Bulgur langsung ambil di Solo saja. Jadi tak usah diangkut
ke Baturetno. Sedangkan surat –surat mau dibuatkan pak Pardjo selaku Pimpro. Tugas kang
Gino membayari harga Bulgur Tapol di Baturetno sebelum pulang. Tentang dananya setiap
Sabtu aku membawa dari Solo kereta pukul satu siang tiba di stasiun Batu. ;
”Mas Ade tak melobi pak Saman?” seloroh pak Pardjo.
”Tak mungkin pak, Bulgur kan tak lewat Wonogiri lagi, praktiskan.”
”Biar nyanggong sampai tuapun tak bakal ketemu Ade!’ canda kang Gino.
”Itulah maksudku kang, agar tak perlu diangkut ke Baturetno!”
”Itulah hebatnya mas Ade no!” puji pak Pardjo padaku
”Terima kasih pak mohon dukungan bapak,” jawabku merendah
”Tapi jumlah Tapolnya sudah berkurang lho mas?” kata pak Pardjo.
”Hanya kurang satu kan pak, mas Gino ? tak masalah,” jawabku nyindir
Kang Gino menggelengkan kepala sambil tertawa ceriamendengar gurauanku. Saat
minum teh kami bertiga sore itu banyak bercanda. Menjelang mahgrib, kami berdua pamt
pulang. Malah aku ditawari nginap dirumah beliau. Atas kebaikan pak Pardjo aku haturkan
terima kasih. malam itu aku nginap dan ngobrol sampai malam dirumah kang Gino.
”Tak cari alat pengaduk teh mas?” sindir kang Gino.
”Tak usah, sudah tak panas kok,” jawabku saat minum trh
Kang Gino tertawa mendengar alasanku yang spontan itu. ”Makanya pak Pardjo angkat
topi kepadamu,” katanya sebelum tidur.
Mulai aku dan bu Alit terjun bisnis lombok, situasi desa Jamprit berubah dratis. Yang
biasanya pkl lima sore, beberapa truck nongkrong dipinggir jalan dekat ladang lombok. Mulai
hari itu tak ada tengkulak lagi yang leluasa. Karena kang Gino berani membayar kontan
kepada petani –petani tetangganya yang biasanya dibayar belakang oleh tengkulak dari luar
daerah.
Dan sebelumnya tengkulak cukup menunggu di pinggir jalan, mulai kutangani, langsung
ke stasiun, dengan nilai tambah yang memadai. Yang biasanya sebelum satu truck lombok tak
bisa diangkut hingga numpuk di pinggir jalan. Setelah itu berapu pun jumlahnya habis tak
menunggu tengkulak. Truck juga tak bisa ngankut juka jumlah tak cukup.
Demikian pula di pasar Pon Solo, pedagang pengecer dari beberapa pasar di Solo
datang sendiri- sendiri angkut ke lapaknya masing-masinng. Aku baru tau yang namanya
hukum pasar, persediaan barang semakin berkurang harga semakin naik. Tapi karena kang
Gino telah kontrak dengan petani –petani di desa Jamprit. Para petani tak dapat menjual hasil
panen seenaknya. Namun demikian jika dipasaran harga turun petani tak dirugikan.
Bu Alit menaruh perhatian dengan kang Gino agar jangan mengambil keuntungan yang
berlebihan, sehingga nasip petani tetap diperhatikan. Dan kelebihan lain dari petani Jamprit,
126

kalau dibantaran sungai Bengawan Solo musim kering tanaman palawija harus disiram dari air
sungai. Didesa Jamprit ada air irigasi dari waduk Jarak.
Dua bulan kemudian situasi berubah, musim hujan tiba, lombok pesisir panen raya.
Harga lombok mulai angjok. Harga jual menjadi murah pedagang lombok kena dampaknya.
Untungnya, situasi itu sudah dikuasai kang Gino.
Demikian pula bisnis bulgurku. Proyek semakin mendekati selesai orang-orang Tapol
semakin berkurang jumlahnya, karena dibebaskan. Sebetulnya aku tak begitu repot ngurus
bisnis lombok, karena datangnya tiga hari sekali, itupun jumlahnya tidak menentu, oleh karena
itu aktivitas belajarku tak terganggu.
Hikmah yang kudapat, aku cukup banyak belajar bisnis dan belajar di sekolah pun tak
terpengaruh, karena aku banyak nongkrong di stasiun Sangkrah & Baturetno.
Dengan berakhirnya bisnis bulan itu, berakhir pula masa menungguku persiapan
UNAS. Maka sebelum menghadapi UNAS aku rencana pulang kampung. Dengan harapan
membuat biyungku bahagia tak was-was lagi seperti selama ini.
Aku ditimbali ibu Alit ke Wisler, untuk hitung-hitungan tentang kang Gino, juga pak
Pardjo di Baturetno.
”Pak Pardjo di amplopi piro to mas?” tanya bu Alit sambil memasukkan uang di tas.
”Sebaiknya beliau jangan dikasih uang lho bu, bingkisan saja!!”
”Bingkisan apa yang cocok sarung dan baju batik ?”
“Bagus bu, beliau shalat mengenakan sarung kok dan pulpen Parker satu set.”
”Kalau begitu sambil setor uang nanti kita belanjakan, Ade yang cari pulpennya.”
”Kalau kang Gino kita belikan satu stel pakaian. Karena dia yang mbayari harga Bulgur
ke buruh buruh proyek itu. Tapi urusan lombok dia sudah mengambil keuntungan sendiri, dia
bilang kita tak usah mikir!!”
”Ya sudah kalau begitu, kamu yang mengatur ya, kita ke bank dulu baru ke pasar.”
”Kok ke pasar, bukan ke toko bu, pasar tak ada pulpen Parker.”
”Pasar Klewer lebih lengkap batiknya sekaligus ke BRI lho mas!”
”Nggih bu, kupanggil kang Simon dulu.”
”Hai kang, ojo ngantuk to. Jam piro iki?” candaku.
”Nyan ngendi mas? kemanapun tak antar.”
”Wonogiri, wani piro, hayo ?”
”Ah gombal, wong ibu tadi bilang ke Klewer kok, Wonogiri ?”
”Mulane kang, yen wis ngerti ojo takon.”
”Hari ini tugas sampeyan berat lho kang !!”
”Tukang becak seperti aku ini, setiap hari berat mas, bukan hari ini saja.”
”Hayo cepat, jangan bercanda dengan Simon, dari Klewer kita langsung ke warung.”
”Nggih bu, tapi ke Sangkrah dulu bade langsung mBatu sebelum pulang!!”
”Katanya ke Wonogiri, kok ke Baturetno ?” tanya Simon
”Mau antar aku ke Baturetno, enam puluh kilo pakai becak mau? Hayo, nek sanggub
tak bayar piro? Dengkul tiwul kaya aku wae kok nantang mau boyok mu peok kang?”
Kang Simon tertawa tak kuasa menjawab. Begitu kutunjukkan uang di tas Anemer bu
Alit penuh sesak pecahan uang seribuan lama. Sebetulnya sudah lama diganti menjadi
pecahan satu rupiah. Karena mulai pertengahan tahun 1966 uang seribu nilainya menjadi satu
rupiah.
Seperti yang saya rencanakan, kereta Solo-Batu sudah siap berangkat. Kuingat dalam
dua bulan ini saya sering melakukan perjalanan Solo-Batu pulang pergi untuk urusan lombok
dan Bulgur. Seolah-olah dua bulan penuh menghadapi persiapan ujian aku belajar diatas
tumpukan puluhan karung lombok dan Bulgur.

....................................00000......................................
127

26
IKUT LOMBA LOGO WONOGIRI
MENJELANG UNAS

P
agi –pagi, setelah pamit pulang kampung kepada simbah, aku nongkrong di
warung ibu Alit.. Sambil membungkus oleh-oleh umtuk biyungku di kampung.
Pulangku hari ini kubuat agak istimewa. Menjelang pamit ke stasiun, dibangku
depan ada sopir truck memanggilku dengan akrab, rasanya kukenali orang itu;
”Mas Ade, ini hari aku ditraktir ya !” kata kang Wagiman sopir truck kenalanku
”Ooo... kang Wagiman, mana truck sampeyan?” jawabku sambil salaman
”Lha itu lho masa truck segede itu tak terlihat?”
”Oooo Allah iya, dari tadi aku kok tak nyangka lho kang? Tumben mampir kesini, dari
mana tadi, Klaten?” tanyaku semangat.
”Jujur saja mas aku, sebetulnya mau protes ke ibu disini?”
”Tentang apa, ibuku di protes?” tanyaku heran.
”Itu lho, angkutan lombok Jamprit, biasanya menggunakan truck ku !”
”Terus ibu kan tak menggunakan truck.”
”Iya itu kata ibu lombok itu bisnis mas Ade, ha aku kaget. Ya sudah tak jadi protes.
Sekarang aku minta di traktir saja. Ternyata mas Ade bandar lombok to?”
”Beres kang, sekenyangnya dengan krenet sampeyan mana?” tanyaku sambil melihat
keluar. Kukasih rokok keretek itu, biar akrab saja. Ternyata yang punya rokok bingung ;
”Eee.. rokokku mana?” teriak kang Wagiman.
”Kukasih krenek sampeyan. Biar menganggab aku orang royal, ” jawabku tertawa.
Aku akhir – akhir ini heran dan bersyukur nasib serba kebetulan selalu membawa
keuntungan. Dan bebasnya kang Gino, bulgur, lombok Jamprit berbuah rejeki.
Alhamdulillah. Dan rencana libur pulang kampung pun hari ini ada kang Wagiman, sopir
truck Ismo. Walau umur kang Wagiman sepantar kang Gino aku akrab dengannya.
Maka aku traktir betul kang Wagiman dan kreneknya hari itu. Lengkap dengan
rokoknya masing-masing satu bungkus. Sampai saatnya aku naik truck di kabinnya. Dengan
rokok Kaum Buruh terselip dimulutnya, kang Giman mulai bicara;
”Mas kita berhenti di Donoardjo cari wedusan ya.”
”Lha iya to dari pada kosong,’ jawabku mendukung
Di Donoardjo Wonogiri, beberapa pedagang dan anak-anak sekolah menunggu truck lewat.
Kulihat Manol tua di Donoardjo itu masih seperti biasa, jual jasa, ngatur penumpang dan
nariki ongkos penumpang kecuali anak sekolah yang tampak letih itu.
”Pak Manol anak sekolah jangan di pungut ongkos lho!” perintahku sok ngatur
”Iya mas, sudah ngerti,’ jawab pak Manol yang berambut putih itu”.
Kang Giman tertawa, karena tau aku dulu sering nebeng truck. Tengah hari tiba di
Jatisari, tempat tongkrongan ku dulu. Aku lihat –lihat barang kali ada lik Tukijo. Ternyata tak
ada. Padahal mau ku “kerjain” lagi seperti di warung lik Marjo dulu.
128

Aku seberangi Bengawan Solo kebetulan tak banjir. Sampai dirumah, gula teh dan onde-onde
gandum kesukaan kang Samijo kuserahkan biyung yang hari itu tampak gembira:
”Kadengaren nggowo oleh-oleh le.!” sambut biyung
”Doa biyung aku ada rejeki,’ jawabku sambil sungkem
”Sudah kerja? Wong sekolah kok bekerja,” kata biyung tak boleh sekolah sambil
bekerja ,” jawabku bercanda
Selama ini setiap aku pulang biyung selalu was-was. Tapi hari ini beliau tertawa lepas
saat membuka oleh-oleh, kuperhatikan raut mukanya tidak menandakan ada kegelisahan.
”Kandulilah Jo ini oleh-oleh adikmu.”
”Oleh-olehnya apa?” jawab kakakku sambil tersenyum
”Siapa yang mnyuruh membawa oleh-oleh, bulikmu?” tanya biyung
”Bulik malah tak tau ya saya sendiri.”
Siang itu aku measa bahagiakan orang tua. Malah kang Jo memberi tau bahwa kepala desanya
sekarang pak Sutarno, yang sering dipanggil pak Tarno. Sebagai kepala desa terpilih, beliau
katanya ramah dan baik. Aku disuruh kenalan, karena sering menanyakan namaku.
Untuk itulah besok paginya aku menghadap pak Kades itu, diantar sepupuku Martini
karena rumah pak Kades cuma dibelakang rumah mbah Iyem, mbah nya Martini juga. Dari
Martini pulalah pak Kades memintaku ikut lomba mengrancang logo daerah Kab Wonogiri.
”Mas Ade” panggil pak Kades. ”Kata Martini, mas Ade pintar menggambar, malah
sering juara tingkat kecamatan?”
”Ooo itu dulu pak. Masih di SR dulu,” jawabku tenang
”Kalau begitu mas Ade saja pak, biar ikut mewakili kita!” sahut ibu Kades.
”Aku juga bermaksud begitu bu,” kata Kades itu.
”Themanya pak,” tanyaku
”Thema? Kalau pengumunnya, siapa yang bawa kemarin?” kata pak Kades.
”Bapak ndak mudeng mas, lebih baik besok ke kecamatan saja,” sahut bu Kades
”Sekarang juga boleh bu, kan masih pukul sepuluh tapi aku Cuma modal dengkul..?”
”Pakai sepeda bapak dulu saja,” kata pak Kades.
”Alhamdulillah aku bisa ketemu pak Camat lagi pak!” jawabku
”Sudah kenal pak Camatnya?” kebetulan kalau begitu sekarang saja bawa sepedaku,’
kata pak Kades ramah dan semangat.
Atas sambutan pak Kades dan ibu. Aku bersyukur sebetulnya aku mengenal keluarga
pak Tarmo sudah lama. Sejak beliau masih menjadi Polisi Pamong Praja di Baturetno. Apalagi
rumahnya dekat si Gendruk Martini.
Mendengar aku menyangupi Martini gembira juga bu Kades mereka berangkulan. Aku
tak mengerti maksudnya.
”Mas kalau juara lagi,tak usulkan menjadi Carik,” kata Martini
”Juara lagi? Baru mau mempelajari misi, visinya dan thema kok!!”
”Dulu kan pernah juara itu lho menggambar Garuda!”
”Garuda Pancasila?”itu kan cuma tingkat kecamatan Ndruk!!”
Pak Kades mengeluarkan sepedanya, lengkap dengan kunci gemboknya, sepeda bagus
Privil buatan Belanda. Atas dukungan orang nomor satu di kelurahan itu, aku langsung ke
kecamatan. Setelah menghadap pak Camat di kecamatan langsung kuutarakan maksudku.
Beliau mendukung dengan sejumlah uang untuk membeli alat-alat mengrancang logo.
Kata pak Camat, aku bukan mewakili kelurahan Ngumbul, tapi atas nama kecamatan
Nguntoronadi. Cuma pesertanya dari kelurahan Ngumbul. Setelah kubaca pengumuman nya
ternyata masih ada waktu agak lama, karena selambat-lambatnya akhir Juni yang akan datang.
Untuk itulah setelah beberapa hari aku istirahat dikampung, ngobrol-ngobrol dulu dengan kang
Midi dll. Agar memperoleh dukungan dan kang Midi optimis aku bisa juara.
129

Memasuki bulan Maret musim hujan biasanya mulai berkurang. Lain halnya bulan
Maret tahun 1966 justru hujan lebat dua hari dua malam, mengakibatkan banjir bandang
Bengawan Solo.
Wonogiri luluh lantah, di amuk air bah yang berhulu di kota gaplek Wonogiri. Sisa-sisa
banjir yang terbesar sepanjang sejarah itu, masih terlihat dibantaran sungai terpanjang di Jawa
itu.
Maka dari peristiwa itulah di atas kereta api yang kutumpangi menuju Solo. Timbul
inspirasi pertama yang akan kutorehkan dalam desain Daerah Kabupaten Wonogiri. Kubuka
catatan kriteria yang kuperoleh dari Panitia Lomba setelah kurenungkan, mantablah sudah.
Tiba di kota Solo setelah dua jam perjalanan naik kereta dari Wonogiri, aku tak
langsung ke Wisler. Kucari dulu alat-alat merancang logo secukupnya, kubeli dari uang
pemberian pak Camat seminggu yang lalu.
Tiba di warung Gading, kebetulan Denok anak lik Sum, kelihatan main disamping
warung. Kusodorkan oleh-oleh untuknya sebelum aku menghadap ibu Alit di meja kasir.
”Nok, mulai hari ini kamu jangan ganggu aku ya!” tegurku
Denok tak perduli teguranku. Mungkin tak mengerti, tapi sambil menguyah kue wijen
yang kubeli si stasiun Wonogiri dia mengangguk.
”Gek kapan Denok suka menggangu Ade!!” bela bu Alit.
”Bukannya mas nya yang suka usil nggangu Denok!” komentar lik Sum
”Wong Denok saja sudah mengangguk kok dibela!!” kataku guyon.
”Ada apa to, kok datang–datang Denok dipesan tak boleh ganggu,” tanya ibu Alit
setelah kusungkem di meja kasirnya.
”Bu mulai minggu ini aku konsentrasi di Wisler,” jawabku mantap
”Kemarin, katanya ujian masih lima bulan tumben?” tanya ibu
”Ya bu, tapi dalam tiga bulan mendatang aku menghadapi dua ujian, membuat Logo
Wonogiri untuk dilombakan dan UNAS.”
”Logo itu apa ? kok aku baru dengar.”
”Itu lho bu lambang daerah atau lambang lembaga , PT dll.”
”Ah nggak mudeng sana dikerjakan di Wisler saja!!!”
”Ya bu, nok awas lho nduk nek nggangu aku !!”
” Ya Allah mas, wong Denok saja kok di takut-takuti!!” jawab lik Sum.
Mulai hari itulah aku dengan khusuk dan serius berkonsentarsi penuh. Dengan harapan
awal akhir Mei bulan depan sudah dapat kuserahkan rancangan Logoku ke Panitia Lomba di
kantor Kabupaten Wonogiri.
Belajar dari pengalaman membuat gambar Garuda Pancasila dan menggambar Wayang
Kulit. Rancangan Logo selesai dalam waktu sepuluh hari malah tak bikin dua rancangan.
Karena rasanya ada yang visi, misi yang pertama. Kurang mantap kupandangi dengan seksama.
Dua gunung kembar, ditengahnya ada matahari terbit. Dikaki gunung kugambar hutan
pepohonan terus sungai Bangawan Solo yang membiru dengan riak-riak putih. Padi kapas
seperti digambar Garuda. Kuhitung dengan teliti kandungan maknanya. Keris kugambar
meniru di Kodim Wonogiri dalam lambang Kodam Diponegoro. Dibawah keris kugambar
lima singkong nempel dipokoknya. Diujung kapas dan padi kucamtumkan gambar bintang
sebagai lambang ketuhanan.
Setelah dua gambar rancangan kuanggab mantab, kububuhi inisial ‘W’ dan satunya ‘N”
kumasukkan dalam dua amplop coklat sesuai dengan ketentuan Panitia Lomba. Dan akan
kuserahkan ke Panitia akhir Mei nanti, sekaligus mohon doa biyungku menjelang ujian
Nasional yang berlangsung awal Juni.
Selesai membuat rancangan Logo, aku keluar keliling bersepeda disekitar Gading setiap
sore. Kadang –kadang main Volly bergabung dengan club –club kecil di daerah Sri Wedari.
130

Dengan sepeda Jengki merah pinjaman koh Anton. Aku kunjungi bengkel Anton itu.
Ternyata masih buka seperti biasa. Kulihat dagangan sepeda koh Anton tak ramai seperti dulu,
sa’at aku dihadiahi Jengki Merah ini.
”Selamat sore koh Anton, apa kabar?”
”Sore mas.. ah mas Ade kemana aja puji Tuhan, ketemu lagi!”
”Tak kemana-mana paling-paling ke Wonogiri itu saja.”
”Aku sering ke warung ibu tak pernah kulihat ?”
”Ya pas keluar saja!”
”Di lapangan malah tak pernah ada, tak main bola lagi ya.”
”Betul hampir satu tahun aku tak main, aku PKL terus!!”
”Masa PKL sampai seta’un, PKL dimana?”
”Di Wonogiri-bangun sekolahan kena korban banjir!”
”Saya kira sudah lulus terus bekerja kemana ?”
”Belum lulus koh, baru mau ujian !”
”Masa ? rasanya dulu sudah mau ujian ?”
”Iya betul, tapi ditunda terus kepleset kena arus !”
”Arus apa. Wong banjir bandang katanya di Wonogiri ?’
”Arus gegeran itu, ’kegaruk’ !”
”Ah tak percaya, kalau mas Ade kegaruk ???”
Habis ngomong begitu, koh Anton menutup bengkell mengunci pintunya. Mengalihkan
pembicaraan, rupanya takut juga, situasi belum nyaman. Terus bicara sepak bola panca banjir
bandang di Solo;
”Aku bosan koh bicara banjir terus. Bicara yang lain saja !”
Usai ngobrolku tinggal bengkel Anton. Karena koh Anton tak nyambung diajak
ngobrol. Enakan dengan Denok. Maka aku ngebut pulang ke Wisler. Informasi yang kudengar
dari anak buah koh Anton, bengkel dan toko sepedanya hampir dibakar massa saat gegeran di
Solo setahun yang lalu. Untungnya selamat. Tapi sepedanya habis di jarah.
Akhir Mei aku ke Wonogiri dengan maksud memasukkan hasil karyaku. Sebetulnya
mau kutitipkan dik Pur saja, sekalian memberi tau kalau inisial namanya kucantumkan
dibawah desain logo. Tapi akhirnya ragu, karena dia masih kelas satu SMP. Lagipula dik Pur
orangnya pemalu dan pelupa. Maka sebelum kembali ke Solo aku mampir ke Pendopo
Kabupaten kuserahkan dua karya lombaku. Panitia Lomba akan mengumumkan bulan Juli
yang akan datang.
Satu “ujian” sudah kulalui. Tinggal UNAS tiga bulan lagi, malah aku tak seserius saat
merancang Logo. Kuhadapi UNAS biasa-biasa saja.
”Sambil main sepak bola saja mas, agar tak tegang,” kata pak Darmo pelatihku di
Manahan.
Melihat aku aktif di sepak bola lagi, ban sepeda Jengkiku diganti baru semua. kata
pegawainya, daripada ban tak terpakai. Karena sepeda Jengki habis untuk banca’an.
Pada hari H aku ujian, mbah putri puasa. Dan kata mbah kung selama jaman edan ini
memang mbah putri selalu puasa Senin–Kamis. Maka selesai UNAS aku sungkem ke mbah
putri dan lucunya, aku ditanya kelulusanku. Seolah–olah aku sudah lulus. Padahal belum ada
pengumuman, ”itupun kalau aku lulus,”. Baru kusadari ternyata dalam dua bulan ini aku
mengikuti even penting yaitu mengikuti lomba Logo Kabupaten Wonogiri dan UNAS.

......................................oooo..............................
131

27
BERSIH DESA MEMBUKA
JALAN HIDUP KU

Bulan Juni mulai kemarau biasanya malam hari suhu dingin tapi tahun ini tak begitu
dingin. Orang – orang didesa biasanya bersih desa sehabis panen menyelenggarakan hiburan
pegelaran Wayang Kulit. Kabarnya tahun itu dilarang Aparat Keamanan. Atas inisiatif pak
Harjo Kepala Desa Mojosari, acara bersih desa diganti dengan acara pertandingan sepak bola
saja. Yang dikuti kesebelasan sepak bola sekecamatan Ngantoronadi dan sekitarnya, yang
berlangsung di lapangan Mojosari, yaitu kampung mbak Harjuti. Pak Harjo adalah paman
mbak Har. Pada saat masih di SGB, disitulah mbak Har sering pulang kampung, bukan ke
Gunung itu. Dik Laras adalah adik sepupunya, tapi wajahnya mirip mbak Harjuti.
Pada saat aku disiapkan ujian SMP dulu aku sering pulang ke Mojosari dan dik Laras
sudah akrab banget denganku. Ba
hkan oleh bude Harjo, disuatu acara aku dikenalkan sebagai anak kedua. Kabarnya jarak
umur mbak Harjuti dengan dik Laras terpaut tujuh tahun. Kebetulan bude Harjo kepingin
anak laki –laki di keluarga itu, maka aku diperlakukan seperti anak bude yang nomor dua.
Pada saat berlangsungnya Sepak Bola bersih desa penontonnya luar biasa. Mungkin
karena masyarakat tak ada hiburan selama pasca lintang kemukus itu..
Kebetulan sekali aku pulang kampung selesai ujian. Seperti biasa aku disiapkan sebagai
penjaga gawang untuk Kesebelasan bagian Mojosari. Maka saat memasuki lapangan sorak sorai
penonton riuh sekali. Aku di elu–elukan. Apalagi kaos panjang yang kukenakan pinjaman lik
Giyo anggota ABRI yang sedang cuti waktu itu, menambah penampilanku mantap.
Ada juga mas Marno, anggota KKO AL yang kebetulan cuti juga, tetapi hanya jadi
penonton. Orang itu panggilan akrabnya “Blonot”. Kedatangannya di sepakbola gembira
mengingatkan aku kepada om Bintoro. Maka setelah selesai kudekati beliau, bahkan beliau
yang menyambut saya dengan hangat, layaknya sahabat lama. Padahal mas Not jauh lebih
senior daripada saya. Rasanya aku kepingin dekat lebih lama. Tiba – tiba dik Laras menarik
tanganku dari belakang, dan mengajak menjauh dari kerumunan teman-temanku. Setelah
kubungkuk kan badanku dengan manjanya dik Laras membisikkan sesuatu padaku ;
”Mas Ade ditimbali ibu sekarang.”
”Sekarang , oke tak pamit om,om dulu ya!!”
”Hayo cepat!! Nanti lama ?”
”Sabar dik, hayo salim dulu ini om Not, om Darmadi, pak Pin oke ?”
”Rahasia ya, kok bisik-bisik?” goda pak Pin.
Usai salaman aku ikuti saja dik Laras. Padahal sebetulnya aku mau ngomong serius
dengan mas Not. Tiba di Pendopo, bude memanggil dari rumah belakang. Seraya memberikan
handuk beliau pesan, setelah makan aku diminta menemui beliau. Maka cepat-cepat aku
132

mandi, terus shalat, makan cepat-cepat dilayani yu Sukar. Baru mau menghadap bude, kulihat
beliau sudah menunggu di kursi Pendopo;
”Aku, maaf dulu bude belum nyisir!!” sapaku
”Nyisir dulu, tak usah gugub, yu Sukar suruh ngajak Laras keluar dulu.”
”Wonten dawuh bude, laporku setelah menghadap beliau lagi.”
”Ujianmu sudah selesai kan,” tanya bude.
”Sudah bude hari Kamis lalu.”
”Selama ini ada kabar dari mbak mu?”
”Tak ada bude, kecuali surat yang di titipkan mbah Waras itu saja.”
”Ya mbak mu pernah bilang, katanya mau membuat surat buatmu apa isi suratnya?”
”Yang penting saya harus lebih sering melihat bude disini, titip belajarnya Laras jangan
sampai kehilangan semangat. Dan mbah Har pesan minta fokus UNAS saja kok. Ya itu saja.”
”Malam ini mumpung pakde mu tak ada, Laras tak boleh tau dulu. Bude mau
ngomong penting. Karena Ade sudah dewasa, hal ini tak pikir sudah saatnya Ade tau siapa
sebenarnya ibunya mbak mu itu. Tapi jangan bicara apapun kepada orang lain.”
Sementara itu bude diam sejenak. Maka kudekatkan gelas teh yang ada di meja bundar
itu. Setelah minum bude mulai tenang meneruskan pembicaraan.
Tiba-tiba Laras dan yu Sukar datang nimbrung lagi. Saat itu bude ngomong dengan yu
Sukar, pembicaraan tentang kisah mbah Har di hentikan sementara.
”Kar.. tidurkan Laras dulu dikamarnya. Temani dulu sampai aku selesai ngobrol
dengan mas nya. Bapak pesan tak makan dirumah karena tadi diajak rapat Tripika di
kecamatan, dalam rangka HUT RI.”
Selesai memberi instruksi ke pembantunya bude meneruskan dengan nada rendah ;
”Ade, malam ini ada yang perlu bude katakan, tentang mbakmu Harjuti. Mbakmu
pergi dari rumah ini sebetulnya menghindar dari permintaan pakde Golo, bapaknya di gunung
itu, yang memaksa mbakmu agar segera nikah dengan pilihan orang tua, setelah lulus SPG.
Tapi mbakmu menolak dengan alasan belum siap. Maka pergilah ke Solo, ikut
bulikmu di Gading, juga alasan mengurus sekolahmu dulu. Masalah tambah tak jelas, setelah
ada gegeran ini. Terakhir katanya mengurus Ade karena tersandung masalah sekolahnya.
Habis itu malah menjauhi orang tua, tau–tau pamit ke Jakarta. Walau bagimana aku tak bisa
diam begitu saja, karena mbakmu itu sebetulnya darah dagingku, bukan anak orang Gunung
itu.”
Mendengar kata bukan anak orang Gunung itu aku kaget. Kulihat bude menangis.
Aku ingat disuratnya, mbak Har menulis jaga dik Laras. Rasanya semakin jelas kecurigaan
saya, wajah dik Laras mirip dengan mbak Har, yang hitam manis itu.
Bude berbicara dengan terbata-bata, melihat aku tertegun, beliau meraih kepalaku dan
ditidurkan diatas bantal dipangkuannya. Saat menunduk., air matanya terasa menetes di
pelipisku. Beliau menuturkan riwayat mbah Har hingga sedetail – detainya, sejak keluar dari
rahimnya sampai umur 35 hari saat dipisahkan dari pelukanya, bude mengalami sock berat.
Aku tahu sekarang. Ternyata mbah Har dilarung di Bengawan Solo terus diambil
pakde Golo, dan dibesarkan sampai kelas tiga SR di Godean bersama lik Sum. Mungkin ada
yang membocorkan ”Rahasia” upacara adat itu ke mbak Har, tapi mbak ku tak berani
menanyakan. Dan orang tua baru boleh membuka rahasia, saatnya akan dijodohkan,
berkenaan sebagai wali nikahnya. Dia berontak dengan caranya sendiri, yaitu tak mau tinggal
dikampung maka kabur .
Setelah kurenungkan secara mendalam aku semakin kagum dengan mbak Har.
Rasanya aku sebagai adik selama ini terlalu bodoh. Walaupun ada kesamaan cara berpikir. Dia
lebih berani melawan adat, yang membelenggu cita –citanya. Juga keadaan jaman ”Edan”
tahun-tahun itu. Sejujurnya aku tidak tau, apa cita-cita mbak Har. Gurukah, apa dagang?
133

Semua hanya meraba-raba. Yang jelas beliau tinggalkan kami, meninggalkan misteri,
kepergiannya pun hanya kebetulan. Tapi aku tau dan sadar, hanya Allah yang menjadi
harapanku suatu saat ketemu lagi.
Sedangkan aku sendiri, masih belum jelas. Dikampung mau kerja apa, Carik Desa
seperti dikatakan Martini? Tak sedikit pun aku tertarik. Menjadi Kepala Desa pun aku tak
berpikir. Di Solo mendatangi bu Alit, itupun aku masih ragu. Sementara belum jelas. Aku mau
jadi apa. Kutinggalkan Wonogiri itu yang paling mungkin.
Oh ya mas Not, mungkin bisa menjadi penolongku untuk menjadi seorang anggota
ABRI. Tapi ijazahku?... siapa yang dapat kuandalkan tak mungkin orang lain bisa mengambil?”
Tak kusadari, budeku ini masih juga menangis, entah apa yang beliau pikirkan tapi aku
ikut sedih, sampai beliau tak sadar bahwa cincin yang dikenakan, terasa membekas di pipiku.
Maka pelan – pelan aku bangun dari pangkuanya. Tersadarlah bude. Setelah itu kebelakang
entah mau apa ternyata memberiku sebakul nasi putih lengkap dengan lauk pauknya katanya
untuk simbah, maksudnya biyungku dirumah.
Setelah kuterima sebakul nasi putih oleh-oleh untuk biyungku. Aku pamit bude, untuk
pulang. Kulihat yu Sukar sudah mulai menutup pintu pendopo. Bude kupandangi sebentar
yang masih tampak gundah, walau melepas kepergianku dengan sedikit senyum.
Sampai di rumah biyungku menunggu sambil ginang dengan sirih kesukaannya. Begitu
melihat aku membunyikan bel sepeda, biyungku heran menerima berkat dari bude Ti.
”Kok membawa berkat, apa kendurian?” tanya biyung padaku.
”Bukan kendurian, makan malam pakde suruh bawa untuk biyung.”
”Pakde mu kemana?”
”Kata bude rapat di kecamatan.”
”Rapat kok malam?”
”Ya tak tau, kata bude begitu.”
”Ade tak makan lagi?”
”Aku capek yung mau terus tidur.”
Aku sudah biasa capek usai main bola langsung tidur. Tapi malam ini aku susah
memejamkan mata. Isakan tangis bude Har, masih membebani pikiranku.
Bisa jadi, sorak sorai penonton sepak bola di lapangan tadi sore membuat bude malah
terpukul. Mengapa secara khusus dik Laras diutus menjemput saya? Atau juga keberadaan saya
tanpa mbah Harjuti mengingatkan bude pada mbak Har.
Karena sebelum ini, setiap mbah Har sowan bude, selalu bersamaku, kecuali ketika
mbak Har pamit ke Jakarta itu. Seingat saya hanya itu. Karena ketika itu saya masih dalam
proses klarifikasi di Wonogiri yang diurus mbah Har. Dik Laras pun membuatku sedih
biasanya, setiap aku dan mbah Har pulang dan ketemu dengannya, Laras selalu manja padaku
minta didongengi sebelum bubuk.
Tapi tadi sore, disaat didampingi yu Sukar untuk bubuk pandangannya mengarah
kepadaku dengan wajah kecewa. Duh betul-betul kasihan. Aku ingat dik Tri yang sepantar
dengannya. Walaupun mungkin merindukan aku, tapi tak menjadikan aku susah tidur seperti
malam ini.
Mendengar ayam jantan berkokok berarti pukul dua malam. Saat itu membuat
biyungku terbangun dari tidurnya. Dengan lembut, biyung mengusap kakiku dan menyapaku.
Tapi aku tak kuasa menjawab apapun, kecuali mengusap pipiku yang basah. Biyungku
tak tau apa yang terjadi padaku. Aku di minta tidur, besok pagi saja di bicarakan dengan
kakakku, atas kelembutan nasehatnya malam itu aku tidur sampai fajar pagi.
Paginya setelah sarapan aku menemui mas Not, dan mengutarakan maksudku, bahwa
aku mau ikut ke Jakarta. Apapun akan kukerjakan di Jakarta nanti. Sebetulnya mas Not seperti
menolak tapi setelah kujelaskan alasanku, akhirnya dengan berat hati bersedia membawa aku
ke Jakarta dengan syarat ongkos sendiri. Adapun biaya ke Jakarta dijelaskan sekalian sekitar
134

seratus lima puluh rupiah. Dan aku disuruh mengurus surat jalan sebelum hari sabtu harus
selesai karena sabtu paginya berangkat menuju Jakarta.
Atas syarat dari mas Not itu aku pulang. Malamnya setelah makan kusampaikan
kepada kang Jo kakak pertamaku bahwa aku mau ke Jakarta ikut mas Not dan perlu uang
seratus lima puluh rupiah. Mendengar permintaanku kang Jo kaget, dan langsung menjawab
dengan bicara bernada tinggi; ”Apa ? uang seratus lima puluh rupiah dalam dua hari ?
darimana dapat uang sebanyak itu, memang uang tinggal memetik kaya daun, lagi pula kapan
kamu tidak minta uang pada orang tua?” katanya agak serius.
Dijawab begitu saya langsung down, maka agar tak menimbulkan situasi menjadi panas,
kujawab pernyataan kakakku tadi dengan nada rendah
”Begini kang, kalau memang sampeyan keberatan tak apa, tak usah risau. Tapi, kalau
saya bisa mendapat uang dalam dua hari dari orang lain, sampeyan jangan tersinggung. Yang
kedua saya tak akan minta uang ke orang tua lagi jika sudah kutinggalkan kampung ini. Insya
Allah kang bukannya aku tak sadar hanya terpaksa saja.”
Mendengar pernyataanku tadi tak kuduga kakakku pergi diam-diam. Entah kemana
malam itu. Aku ditinggal sendirian duduk ditepi ranjang yang sejak kemarin kutiduri. Andaikan
ranjang itu bisa bicara mungkin ejekan dapat darinya. Masa dua malam berturut-turut gelisah
terus.
Bagaimana aku tak gelisah, mas Not hari sabtu berangkat besok sudah selasa, belum
ngurus surat jalan. Jika aku tak berhasil ikut mas Not hari sabtu mendatang terus kapan?dengan
siapa?
Aku sempat berpikir minta bu Alit, aku harus ngomong gimana?
Bu Alit tak mungkin bisa menerima begitu saja jika aku pamit pergi mendadak. Masa dari
pulang kampung saya berubah pikiran? Bisa jadi biyungku yang kena getahnya.
Tidak mau gelisah diranjang dua malam berturut-turut, aku keluar mencari suasana
yang nyaman. Pak Tri kakak lik Giyo kebetulan ada diluar kudengar batuknya. Kuhampiri dia
barangkali dapat membantuku mengatasi masalahku tapi pak Tri malah menyalahkan aku;
”Kenapa kemarin tidak ngomong Giyo, tapi dia juga tak lama kembali!”
”Kembali kemana pak ? “ tanyaku
”Ke Jakarta. Tapi hari kamis berangkat!”
Aku diam berpikir, ”Kalaupun aku ada uang, aku belum tertarik ikut lik Giyo. Karena
cita-citaku jadi ABRI kepingin yang baret ungu, KKO atau orange PGT itu saja.”
”Atau kapan –kapan saja nanti menyusul lik mu Giyo?” kata pak Tri
”Beliau dulu bilang tak usah jadi tentara kalau pangkatnya tak diatas lik Giyo. Berarti
aku harus Letnan dong !!” jawabku
Pak Tri tertawa ringan mungkin tak tau jalan pikiranku. ”Bagus,” kata pak Tri.
”Kalau aku harus ikut AMN, duit darimana ?” jawabku
”Kalaupun aku jual sapi, belum tentu dalam lima hari laku,” kata pak Tri.
”Dulu kita di pasar sapi Wiryantoro kok langsung laku?”
”Ini bulan apa le? Pasaran sapi jeblok. Malah rugi,” kata pak Tri
Berarti buntu lagi jalanku. Maklum pak Tri blantik, selalu menghitung untung rugi.
Akhirnya aku pamit tidur. Sampai dirumah melihat ranjangku yang kosong, sekosong
pikiranku. Tetap saja aku dalam keadaan binggung, di ranjang, yang berisik setiap aku
membolak - balikkan badanku
Mendengar aku galau lagi, biyung yang sudah tidur terpaksa bangun. Kubiarkan apa
yang akan beliau lakukan, ternyata mujarab. Aku terbangun saat ayam jantan sudah
berhamburan entah kemana. Malah biyungku sudah membuat teh manis dimeja lengkap
dengan ketan wangi kesukaanku.
”Sebetulnya ada apa le, ko kakakmu kelihatan marah, malah meninggalkan uang disini.
Itu lho ditindis tutup cangkir ?”
135

Mendengar ada uang dibawah tutup cangkir aku bangkit. Terus melihat uang pecahan
sejumlah seratus lima puluh rupiah.
Agar tak menjadi curiga’an kujelaskan biyungku bahwa uang itu atas permintaan saya
untuk biaya merantau ke Jakarta. Mendengar jawabanku tadi, biyungku terkejut dan sambil
meratap beliau bertanya;
”Duh ngger mau ke Jakarta, ikut siapa disana, dan mau kerja apa, biyung tak tega nak
kalau kamu bekerja di Jakarta, sedang dirumah pun kamu tak pernah bekerja, apa kuat nak
kerja dengan orang, di pabrik apa ?”
”Biyung, aku di Solo malah dikasih makan orang terus. Aku sekolah ada kegiatan dan
sekarang aku tak mengerjakan apa – apa lama –lamakan malu. Kalau dirumah ini terus aku
mau jadi apa. Kalaupun kerja apa hasilnya. Maka doakan saja ihklaskan aku merantau. Insya
Allah di rantauan aku bisa merubah sifatku. Aku juga malu jadi beban orang tua terus. Aku ke
Jakarta ikut mas Not. Insya Allah sampai disana ada pekerjaan Yung, “ bujukku ke biyung.
Mendengar tuturku yang tadi biyungku duduk dan menyerahkan keputusanku saja.
Siangnya biyung menemui mas Not, menyerahkan aku kepada beliau di Jakarta nanti. ”Tapi
kalau nakal tolong dimarahi saja pokoknya titip betul lho mas,” pesan biyung.
Pulang dari rumah mas Not, aku disuruh sowan ke rumah ”orang pintar” di kampung.
Ku perlu petunjuk, hari Sabtu Paing itu baik atau tidak berangkat ke Jakarta.
”Juga disuruh ziarah ke makam bapak dan mbah Sonomo tetangga yang penuh
perhatian itu, tak lupa pamit Ibumu di Pokoh dan ibu Alit di Solo,” pesan biyung.
Semua nasehat biyungku itu kuperhatikan kecuali ke gunung. Hari rabunya aku pamit
ke Kepala Desa sekaligus minta surat keterangan ke Jakarta, tapi pak Kades tak ada kata ibu
Kades ( Bu Rati ). Oleh bu Rati aku disuruh membuat sendiri saja. Nanti jika pak Kades sudah
pulang tinggal ditanda tangani. Surat Keterangan kutulis sendiri kububuhi nomor dan stempel
langsung kutitipkan bu Rati, hari Kamis pagi kuambil. Ternyata belum juga di tanda tangani.
Oleh pak Kades entah kenapa. Aku tak peduli langsung ke Kecamatan ;
”Kenapa mas lurahmu belum tanda tangan?” tanya pak Camat.
”Saya tak tau pak, yang bisa menjawab pak Kades.”
Setelah beliau faham aku disuruh minta tanda tangan dan stempel:
Ketua Pemuda Marhen, Pemuda Ansor, Sektor, dan Koramil, baru pak Camat. Semua
selesai dalam sehari, kebetulan pejabat ketua Ormas pemuda tadi kenal baik kecuali Dan
Ramil yang baru, pengganti pak Sogimin.
Hari itu lega rasanya semua beres kecuali pakaian yang akan kupakai ke Jakarta tinggal
satu Steel sepatu kets biasa untuk Volly, kaos kaki sepak bola cukup bagiku. Sebetulnya
pakaianku cukup lengkap, tapi ada di Solo dan Pokoh. Sementara kuabaikan tak begitu
penting. Bagiku, segera ke Jakrta lebih penting dari pada pakaian –pakaina itu.
Hari Sabtu pagi semua keperluanku sudah siap surat - surat penting dan satu stel
pakaian, ku bungkus dengan koran Suluh Marhaen. Kuikat dengan karet gelang cukup.
Karena aku tak punya tas pakaian. Tas Ganefoku ada di Solo. Pukul 10.00 pagi aku pamit
biyung, oleh biyung aku disuruh tidur tengkurep di depan pintu depan. Beliau melangkahi aku
tiga kali, sambil berdoa yang dihafal, “Wala – wala kuwata “ itu saja dan selalu itu yang dihafal
biyung.
Pukul 11.00 aku tiba di rumah mas Not, melihat bungkusan yang kubawa, dengan iba
mas Not memberi tas kecil doreng sambil bertanya;
”Tak ada tas, mana pakaianmu ? yang lain, tak ada ketinggalan ijazah dan surat – surat
penting ?”
\ ”Tas ada di Solo juga pakaian yang lain, karena saya tak pamit ibu Alit, jadi ya biar
pakaian yang ada saja ijasah juga yang ada dulu. UNAS belum diumumkan, hasilnya
kelulusannya. Kalau SR mas tak lulus pun dapat ijasah tapi di SLTA tidak tahu?”
”Jadi kamu belum membawa ijasah terakhir ?”
136

”Ya belum, kan belum ada pengumuman itupun kalau lulus !”


”Kenapa kamu buru – buru ikut aku ke Jakarta ?”
”Mumpung ada yang diikuti, nanti setelah pasti lulus, ngambil ijasah kan gampang, yang
susah sekolahnya kan?” jawabku santai
”Uangmu hanya seratus lima puluh itu?”
”Kata sampeyan kan segitu? Itupun entah darimana pinjamanya kang Jo !!”
”Oh ya mas mampir ke Kelurahan mau melapor tentang lomba “Logo Wonogiri” juga
mampir di rumah mbah kung di Solo pakaian dan surat penting ada disana.”
” Ok kita berangkat pamit mbokku dulu sana,” kata mas Not.
Selesai pamit kami berangkat, mampir Kelurahan, lapor bu Lurah, bahwa desain
lomba logo Kabupaten Wonogiri sudah kuserahkan panitia alamat surat menyurat di kelurahan
Ngumbul. Bu Lurah paham dan memberi selamat itu saja, kuserahkan pula tanda terima dari
panitia. Aku juga singgah rumah Martini belakang kantor Kades malah aku di sangoni lima
belas rupiah, yu Yekti penjual dawet ‘Ayu’ nambah juga sepuluh rupiah total biaya yang
kuterima semuanya seratus delapan puluh lima rupiah tapi yang ada di sakuku tiga puluh lima
rupiah yang seratus lima puluh rupiah kukasih mas Not.
Kukira ke Solo naik kereta ternyata mas Not nyetop truck muat batu gamping, sampai
di Solo pakaian yang kami pakai memutih, naik becak ke rumah mbah Kung. Biasanya sampai
halaman Kyai Ringkih sudah teriak siang itu sepi. Ternyata yang ada cuma mbah putri. Begitu
aku bilang mau ke Jakarta kaget, tapi karena bersama anggota ABRI beliau tenang disangka aku
menyusul mbak Har dan dikira mas Not itu om Bintoro. Padahal mas Not tak tau kisahnya.
Aku Cuma bilang ”iya” saja biar cepet selesai karena ke Purwosari harus cepat.
Demi menyingkat waktu aku bilang mau ambil pakaian dan surat – surat penting kata
mbak Putri disimpan mbah Kung dan alamarinya terkunci. Bahkan kuncinya tak ada mungkin
dibawa atau disimpan mbah Kung.
Aku tak masalahkan pakaian dan surat penting di tas Ganefo karena buru – buru
pikirku kapan pun gampang. Mbah Putri, pun mau ngasih uang tapi aku menolak dengan
sopan. Aku tak tega. Aku harus siap dengan uang yang ada dan pakaian seadanya. Aku
sungkem pamit. Alhamdulillah ada bus Ismo jurusan Semarang aku stop. mas Not teriak ;
” Hei , Ade kita tak lewat Semarang mengapa nyetop bus ini?”
”Tenang saja mas, ini habitatku, ayo naik cepat teriakku. Mas Not naik sampai depan
stasiun Purwosari kami turun. Belum sempat bayar, bus berjalan lagi menuju Semarang.”
Baru diketahui ternyata kereta jurusan Jakarta baru jam delapan malam berangkat. Mas
Not tampak tak lelah hanya seperti lapar. Apa boleh buat. Beliau seorang anggota ABRI
pasukan elit lagi. Maka sikap tenang dan wibawa Korp baret ungu tetap terjaga setiap langkah.
Saat saya ajak makan di warung stasiun, beliau menolak. Kucandai saja agar suasana cair;
”Mas, tadi dari rumah mbah kesini belum bayar kok busnya langsung pergi, kenapa?”
tanyaku memecah kebekuan.
”Keneknya tau ada anggota ABRI nya, dia tak berani minta apa lagi cuma dekat,” kata
mas Not tegas.
”Tadi turun dari bus naik becak ke sini cuma 100 mater tukang becak kok lebih berani
minta ongkos daripada kenek bus? Berarti tukang becak lebih berani menghadapi ABRI
daripada kondektur bus dong?” candaku.
”Tukang becak kehidupannya dan kerjanya lebih susah.”
”Berarti orang miskin itu lebih berani ketimbang orang berduit dong ?” tanyaku lagi
sambil ketawa ringan. ”Iya kan, ” sindirku lagi.
”Buktinya, seperti kamu masa uang seratus lima puluh rupiah berani ke Jakarta? Mana
pakai sepatu kets usang, kaos kaki untuk sepak bola, tas pakaian pun berani hanya kertas koran
iyakan?” mas Not ngomong lepas, sampai orang di stasiun ikut senyum.
137

”Oh iya mas saya kan sudah punya sertipikat ”Miskin” maka aku tak takut, kata mbah
Waras guru ngajiku, Miskin itu tak dosa, daripada sombong dan bohong ?” jawabku
”Ade tadi dikasih uang mbah Putri kok tak mau menerima kenapa, uangku kan pas –
pasan?” gengsi ya...?
”Oh masalahnya mbah tadi uang tabungan hasil mijit orang. Dia juga pas pasan. Kalau
saya terima uangnya sama saja dong, masa orang miskin ngasih orang susah. Mendingan salah
satu yang susah. “
”Biar kuceritakan yang sebenarnya mas, kurasakan mas Not menyimpan tanda tanya,
sejak aku bilang mau ikut itu apa lagi mengetahui pakaian dan sanguku iya kan ?”
Mendengar pertanyaanku yang tak diduga tadi. Mas Not rupanya merasa tersudut,
buru-burulah beliau menjawab sekenanya.
”Oh tak begitu aku cuma berpikir krasankah kamu di Jakarta?” karena sejak aku
melihat kamu dan mendengar pergaulanmu, Ade anak terpelajar dan terkenal dikalangan
pemuda dan pejabat kecamatan pula.”
”Apalagi mas ?” tanyaku menyelidik
”Apalagi ada gadis kecil berbisik menggelandang Ade, katanya putri Ragil kepala desa
disitu. Malah pak Pin bilang gadis kecil itu pancingan agar kamu ke ibunya, begitu !!”
”Apalagi mas, gosip lain mengenai aku ? ”
”Dari pakaianmu, penampilanmu & pergaulan, susah dibantahkan, bahwa Ade pemuda
yang berada. Aku sebetulnya minder, jangan – jangan apa yang kudengar benar adanya”
”Ok mas sebelum kereta datang sebaiknya panjenangan mendengar dari saya langsung.
Jangan percaya gosip, agar permasalahan terang dan gamlang. Saya tak suka bicara hanya kata
orang dan saya mau ceritakan mulai dari mana ? Kalau sampeyan ingin tau tanyakan saja
langsung, jangan ada dusta diantara kita okey !!”
Di ruang tunggu stasiun Purwasari Solo itu, kubeberkan riwayatku sejak masuk SMP.
Ngenger di Pokoh dan semua yang aku alami selama empat setengah tahun antara Wonogiri –
Solo, kukupas tuntas. Mas Not kadang-kadang serius memperhatikan aku kadang mengangguk
angukkan kepala ;
”Hampir satu jam mas kisahku, jelas?” tanyaku
”Kata pak Pin, Harjuti telah tunangan dengan seseorang. tapi ? “ tanya mas Not.
”Aku yang merecoke begitu. Bohong mas mbak Har mbelot bude Har malam itu
bilang begitu, ” jawabku
”Jadi di kota Solo, selama sekolah ada keluarga yang membiayaimu?”
”Sebetulnya soal keluarga bukan hanya dua tapi tiga cuma mbah Jogo yang di Grogolan
itu, aku tak begitu familier. Walaupun si Kasino itu cucunya sering berteman sepak bola.”
”Katanya kamu sering runtang –runtung dengan Gendruk ke Solo ?”
”Ya memang tapi aku diminta oleh keluarga pacarnya.”
”Memang Gendruk ada pacarnya ?”
”Ya ada yang di Tosuro, anggota CPM di Kandang Menjangan Situ.”
”Oke sekarang, mengapa kamu sudah menjadi anak orang kaya kok, malah nekat ikut
saya ? Apa yang kamu harap dengan keberangkatan mu yang tergesa-gesa ini ? Bu Alit jelas
mampu segalanya !!”
”Ketemu mas Not kan tak terduga, dulu sudah kujelaskan ?’
”Ade kan bisa menyusul belakangan tak usah sekarang ? Kan masih bulan September
ada waktu kok?”
”Aku belum punya KTP mas, mana bisa masuk tentara tanpa KTP.”
”Kan bisa ngurus sekarang di Solo !!”
”Bisa ! di Wonogiri juga bisa. Tapi kan melamarnya di Jakarta. Nanti SKBD, SKB jika
aku sudah di Jakarta mengunakan KTP daerahkan repot? Maka cepat ke Jakarta cepat dapat
KTP DKI. Wong penerimaan calon bukan di Solo. iya kan ?”
138

”Kenapa kamu tak mengambil pakaianmu di Solo sekalian minta sangu ibu Alit mu ?
Sekaligus mohon restu?”
”Mas Not ngasih waktu cuma tiga hari kan ? dan belum tentu bu Alit langsung setuju
begitu saja, tak mungkin !!!”
”Kenapa ? Karena kamu anak satu – satunya ?’
”Daripada spekulasi lebih baik berangkat, gitu mas !!”
”Daripada segalanya minus ?’
”Lebih baik melarat bermartabat, daripada........ ?

28
MENGAWALI HIDUP DI IBU KOTA
MENJADI TUKANG BECAK

M
alam minggu bulan Juni tahun 1967 kereta yang kutumpangi meninggalkan
stasiun Purwasari dengan uang tiga puluh lima rupiah dua lembar ijasah, satu
stel pakaian, penuh kenangan yang tak pernah kulupakan. Dikereta itu mas
Not tak duduk di kursi dia berdiri mengenakan seragam KKO AL. Aku dicarikan tempat
duduk, terasa bagiku dia mengalah demi aku.
Sejak di stasiun tak pernah kulihat tiket kereta, jangan – jangan mas Not tak beli tiket,
padahal uang seratus lima puluh rupiah sudah kuberikan sejak hari Rabu. Begitu aku dapat
uang. Tengah malam petugas kereta api keliling menanyakan tiket kepada penumpang. Tapi
mas Not pula yang “nego” aku juga tak tau. Tak terasa pukul delapan pagi kereta berhenti dan
mas Not menendang kakiku pelan, isyarat kereta sudah sampai tujuan. Aku berpikir dimana
mas Not semalam. Ku baca papan nama tertulis: ” Jakarta Gambir” aku ikut mas Not, karena
beliau orang yang harus ku taati perintahnya.
Di stasiun Gambir mas Not ketemu teman – teman dan koleganya, ada yang satu Korps
ada juga dari Korps lain. Aku bangga melihat mereka bersahabat saling hormat, saling
menyapa. Sedang aku disuruh menunggu sendiri duduk menjauh dari pintu keluar entah
kenapa, hanya mas Not yang tau. Sementara dia ngobrol dengan asyiknya aku mengikat kuat
tali sepatuku, seolah –olah aku siap bertanding di Ibukota, Jakarta.
Baru selesai mengangkat kaki yang semalam tak pernah berdiri tiba – tiba dikejutkan
teriakan perempuan minta tolong. Secepatnya aku menoleh. Ada laki - laki berjaket kulit diberi
sesuatu oleh orang lain dan si pemberi pun pergi. Pria berjaket itu dengan lincahnya berusaha
menjauh dari kerumuman orang, dan lari seperti ketinggalan teman.
Naluriku memutuskan, bahwa orang itu pencopet. Maka saat dia tak sopan lewat
depanku sambil lari, kusledding kakinya. Jatuhlah terjerembak tengkurap, secepat kilat pula
kuinjak lengan kanannya, keras-keras terus kududuki bersama koper doreng mas Not.
Serentak pula Mas Not yang sedang ngobrol rupanya tau. Tiba – tiba membantu saya dan aku
disuruh ambil koper dua puluh kilo itu.
Pria berjaket itu menyerah kutarik resliting jaketnya, jatuhlah dompet perempuan tadi.
Segera petugas keamanan stasiun dan ibu yang kecopetan mengakui dompetnya yang di ambil
pencopet tadi. Selanjutnya saya tak tau. Mas Not mengajak saya, terus keluar lewat pintu yang
sebenarnya, tanpa ditegur siapapun oleh petugas disitu. Segera mas Not mencari becak diluar
pelataran stasiun.
”Kwitang bang Mabes KKO !” kata mas Not. Sambil duduk di jok becak yang
membawa kami, rupanya, mas Not sebel padaku. ”Ade tau ini Jakarta ?”
”Tau, disana tadi, kubaca ”Gambir – Jakarta ”
139

Tak lama kemudian setelah melewati lapangan, becak berhenti. Kulihat ada patung
ditengah lapangan tadi. Patung petani memakai caping menggendong senjata bedil, menerima
sesuatu dari perempuan mungkin istrinya.
Diruang penjagaan mas Not lapor. Tak lama kemudian mengajak aku ke sebuah barak
prajurit. Teman mas Not menyambut dengan ramah.
”Kenalkan, ini adikku Ade .”
”Adikmu kok lebih tinggi,” komentar temannya.
”Dia kan Gareng !!” olok yang lain sambil tertawa.
Setelah istirahat aku dikasih tau mas Not. Bahwa di barak tak boleh ada tamu
menginap. Maka sorenya aku diajak keluar berjalan kaki. Tiba-tiba ada tukang becak berhenti,
ternyata si Kuncung, teman sekampungku yang sudah lama di Jakarta.
Terus kami berdua naik becaknya Kuncung dibawalah ke warung pak Perceng. Tak ku
duga pula pak Perceng mengenal aku. Dengan ramahnya aku diajak ngobrol.
Malam pertama aku dititipkan di dapur umum. Dikenalkan Kepala Bagian Dapur,
orang Purworejo, panggilannya pak Pur. Setelah diajak ngomong sebentar, aku diminta tidur
diranjang kecil. Subuhnya aku diajak membantu pekerja di dapur. Merajang sayur-sayuran.
Kata pak Pur, aku tak boleh kemana-mana, tentang makan boleh makan semaunya apa yang
aku suka.
Saya kira aku disuruh bekerja di dapur, ternyata ---- Senin sore, aku diajak mas Not ke
warung pak Perceng lagi. Kata pak Perceng aku sementara diminta membantu di warung situ.
”Sama-sama didapur mas, lebih baik disini,” kata pak Perceng.
”Mas Ade kan mau masuk ABRI, untuk latihan fisik sebaiknya kalau Subuh ikut saya
belajar mbecak,” kata Kuncung.
Mulai Senin Subuh aku latihan mengendarai becak keliling lapangan tugu Tani di
Kwintang, dan dinyatakan mahir. Maka oleh si Kuncung aku diajak cari penumpang di stasiun
Senin. Karena biasanya banyak penumpang dari Jawa turun disitu.
Penumpang pertama Subuh itu, seorang ibu turun kereta dari Solo, oleh penjemputnya
aku disuruh ngantar ke depan Mabes KKO. Sebetulnya aku khawatir karena belum punya Sim
Be, seperti lazimnya tukang becak.
”Nih bang ongkosnya, sudah punya Sim ? “ tanya penjemputnya.
Aku tak bisa menjawab. Kecuali mengucapkan terima kasih. Baru mau mengembalikan
selebihnya. Penjemput tadi menolak dengan ihklas. ”Untuk ngurus Sim mu dulu saja. Oke !!!”
Aku melongo. Kok aku mendapat bayaran uang gambar PB. Sudirman, kata Kuncung
dari pasar Senin ke Kwintang sepuluh rupiah ???”
Senin sore pukul empat aku diajak mas Not menemui teman di Jl. Pekalongan
Menteng. Untuk di carikan pekerjaan dan menginap disitu juga. Selasa pagi aku membantu
mencuci dan lain – lain. Karena temanku memang tukang cuci di rumah elit itu. Baru sorenya
aku ada kabar dari mas Timan temanku tadi, bahwa ada lowongan pekerjaan sebagai pembantu
rumah tangga di keluarga kaya. Kakak bosnya mas Timan di Jl. Tanah Abang III/22 dengan
syarat: Umur 17 s/d 20 , punya surat lengkap, belum nikah, sehat jasmani & rohani, yang
terakhir bukan lulusan sekolahan.
”Biar tak tamat SD, yang penting bisa baca tulis sedikit – sedikit ingat mas, hanya
sekedar bisa, bukan pintar. Maka ijasah sampeyan sebaiknaya titipkan disini saja,” kata mas
Timan atau Mas Not tambahnya.
”Mas Timan, syaratnya kok sederhana sekali, malah tak boleh berijasah, memang kerja
apa?” tanyaku
”Tadi kan sudah saya katakan pembantu rumah tangga rumah gedongan. Masalahnya
jika anak sekolahan biasanya hanya untuk batu loncatan saja. Kerja belum tentu memuaskan,
begitu ada lowongan pekerjaan yang lain pamit berhenti. Majikannya merasa rugi?”
140

”Ooo.. begitu, padahal tujuan saya juga begitu, tapi aku mau bekerja yang sebaik–
baiknya saja biar orang tak rugi karena saya, doa aku mas.”
”Oke kalau begitu habis Magrib mas Ade kuantar kesana, bawa tas sampeyan kecuali
Ijasah,” kata mas Timan.
Alhamaduliilah sore itu aku ditemukan dengan nyonya gedongan di Jl. Tanah Abang
III. Setelah perkenalan sekedarnya aku diterima langsung tinggal disitu. Pukul 8.00 malam di
dapur aku dikasih makan, sebelum mulai makan aku berdoa. Alhamdulillah mulai malam ini
aku makan tak menggantungkan orang tua lagi, puji syukur Ya Allah, aku ingat mbah Waras di
Solo, doa makan adalah “Allahuma bariklana dst tapi malam ini khusus pikirku.

29
ENAM BULAN MENJADI KACUNG
DIRUMAH GEDONGAN

M
alam itu aku tak tidur dikamar, melainkan di Valbed di emperan dekat meja
seterika tak apa batinku. Baru besoknya aku mendapat petunjuk apa yang
wajib kukerjakan yaitu tukang kebun. Dilingkungan pekarangan dll termasuk
angon ajing dan membersihkan kandangnya.
Karena alat berkebun ada arit pembelah kelapa, aku disuruh membuat daftar
kebutuhan kerja yang diperlukan. Baru mau minta kertas dan alat tulis, aku ingat bahwa
posisiku agak buta huruf. Oleh sebab itu aku diantar ke toko namun aku minta barang bekas
saja, maka aku diantar ke tukang loak Tanah Abang pasar.
Aku beli tujuh jenis alat kerja semua bekas, harganya murah sisa uangnya ku
kembalikan, tapi disuruh pegang dulu saja kapan diperlukan tak minta lagi. Kuhitung hampir
dua minggu perkarangan rapi, tanaman mulai bersemi. Akhir Juni aku menerima uang gaji
seratus lima puluh rupiah kusyukuri rejeki itu. Akhir Juli uang yang kupegang sisa belanja tak
belikan cat kapur Kalkarin. Batu – batu pinggir jalan masuk kegarasi saya cat putih. Batang
mangga bagian bawah dan pohon –pohon bagian bawah ku cat semua.
Dipojok pekarangan tak buat lubang sedalam tujuh puluh cm, untuk nampung sampah
kering dan kubakar. Menjelang 17 Agustus 1967 perkarangan rumah gedongan itu bersih dan
semarak. Maka tuan Sofwan anak Ny. Bos memberi hadiah handuk bekas tapi masih bagus.
Kata mbok Nah, sebetulnya aku mendapat hadiah handuk dari Panitia Hut RI berupa
surat. Tapi handuknya kecil, karena Ade tak punya handuk, diganti handuknya tuan, dan yang
kecil diambil untuk tuan.
Maka suatu sore pukul empat aku dipanggil tuan Sofwan diberanda depan begitu aku
mendekat disapalah aku;
”Ade, kamu mendapat surat penghargaan coba baca!!”
Kuterima surat itu, tapi waspada, pura–pura tak lancar membaca aku eja pelan –pelan,
melihat tingkahku dibacalah surat penghargaan itu, sambil dijelaskan bahwa kerjaku bagus
malah mulai sore itu aku dikursus baca tulis tuan Sofwan.
suatu sore itu aku di telepon mas Timan, aku mau dijemput karena ada tamu dari desa
penting katanya. Tepat pukul lima lebih aku pamit menemui tamu bersama mas Timan di
warung nasi pak Perceng di Kwintang. Ternyata tamunya bu Kades malam itu juga pukul enam
maunya aku diajak pulang karena rancangaan logoku masuk nominasi finalis. Aku harus datang
besok pagi pukul sembilan disekretariat Panitia Lomba.
Aku tak percaya, maka kubaca surat dari Panitia. Ternyata peserta inisial N &W
beralamat Kelurahan Ngumbul menjadi juara bersama karena dua desainku idealnya di
satukan. Tapi harus perancangnya sendiri yang merubah, jika tak bisa datang menanda tangani
141

surat pernyataan yang sudah disiapkan panitia. Selesai kubaca kutempeli materai langsung
kuserahkan bu Kades agar segera ke stasiun Gambir. Beliau pergi dengan lega aku tertawa, mas
Timan yang semula tegang jadi heran ;
” Kenapa mas Ade, tenang – tenang saja padahal bu Kades tadi seperti panik, sayang
jika tak jadi menerima penghargaan padahal sudah didepan mata.”
”Enak jadi orang pandai tapi disangka bodoh, daripada dikira pintar ternyata buta huruf
mas!”
”Maksudnya?” Tanya mas Timan
”Bu Kades itu sama seperti suaminya sebetulnya “buta huruf” juga,” mendengar
komentarku orang –orang pada tertawa terbahak –bahak dan merasa bangga ternyata mereka
menganggab aku menyindir bu Kades.”
”Mas Ade, mengapa bu Kades tadi sepertinya panik dan buru –buru amat?” tanya mas
Timan sambil berjalan pulang.
”Ini tanggal 11 Agustus lomba logo ditutup per akhir Juli, mungkin puncak perayaan
pemenangnya di umumkan secara resmi.”
”Logo itu apa sih mas?”
”Logo itu lambang daerah kabupaten Wonogiri. Bulan lalu aku ikut lomba membuat
logo, katanya masuk final tapi pemenangnya kembar. Karena ada dua gambar logo dinyatakan
juara bersama dua gambar itu kebetulan semua rancangan saya, paham?” tanyaku.
Mas Timan menganggukan kepala. Tapi kelihatanya belum paham tapi becak yang saya
naiki sudah sampai Tanah Abang III dia pulang sendirian ke Jl. Pekalongan.
Bulan Agustus aku mendapat gaji dobel, jumlahnya tujuh ratus rupiah padahal
pembantu perempuan hanya tiga ratus rupiah perbulan. Bahkan si Mie Depok malah dua ratus
lima puluh rupiah perbulan, berarti tabunganku sudah sembilan ratus rupiah.
”Alhamdulillah aku mau bayar utang kang Jo, tapi takut tersinggung, biar nanti saja,”
pikirku. Mungkinkah aku dapat hadiah lomba ”Logo.” Biarlah paling – paling kaos atau
handuk. Selama ini hal hadiah tak begitu kupikir.
Akhir Agustus itu aku baru tahu bahwa keluarga majikan yang mengerjakan aku sebagai
kacung adalah keluarga kelas atas Ny. Besar adalah janda Hakim Agung. Sedang kuelapi
sepatunya tadi pak Wisnu, Komodor Udara menjabat Atase Militer di Denhag Negeri Belanda
yang mobilnya Fiat itu Laksama Madya Nazir mantan Pangal ( Panglima Angkatan Laut ) era
Bung Karno. Adik – adik ibu ( Ny. Nurjana) semua dokter diantaranya yang di Jl. Pekalaongan
itu. Semua itu nara sumbernya tuan Firdaus yang selama ini sabar membimbing kerja saya.
Tuan Sofwan adalah putra pertama. Sedang Ny. Nani istri tuan Wisnu Jayeng
Winardo kelahiran Malang eyang Winardo Doktor terkenal di kota Malang Jatim.
Aku bersyukur mampu dan diijinkan melayani beliau yang demokratis, tak ada yang
merasa diperlakukan tidak baik, aku sering diajak ngobrol pak Nazir saat beliau minta dipijit
dan diterapi. Beliau sabar pernah aku diajak pesta di Mabes AL, walau aku bersama sopir
dilapangan parkir, tapi panitia tetap memberi jamuan tak beda yang di ruang resepsi. Saat aku
diajak ke Bandara selalu tak lupa memberi uang dolar US dua lebar. Setelah itu kirim tali
Bimbo & Miki anjing kesayangan beliau dan dialamatkan aku kepada Ade Jl. Tanah Abang III
no. 22 Jakarta Indonesia pengirim M. Nazir Paris Perancis. Beliau duta besar di Swiss. Aku
kagum pada beliau demikian Nyonya Nur selalu bertanya kepada Mbok Nah & Bu Mi
pembantu–pembantu beliau, apakah saya makannya cukup.
Tuan Sofwan saben sore mengajari aku membaca & menulis, sekali – kali bahasa
Inggris. Karena beliau tak dapat berjalan dengan normal, akulah pendamping beliau kemana
pun pergi kecuali ke luar negeri.
Tiba-tiba aku dipanggil nyonya, diberitau bahwa digorong gorong, depan pintu gerbang
tempat aku bekerja ikut nyonya itu tercium bau menyengat. Setelah kulihat ternyata ada
142

bangkai didalam karung besar, kuperkirakan bangkai anjing. Entah siapa yang membuang
disitu.
Rupanya nyonya tak tega menyuruh saya membuang bangkai itu, maka beliau
menanyakan kepadaku bisakah aku membuang bangkai tersebut. Sebetulnya aku tak bisa
menolak perintah itu, tapi aku bilang tak tau harus dibuang kemana, karena aku belum banyak
tau situasi lingkungan disitu.
Pagi besoknya nyonya pergi meninggalkan rumah diantar sopir. Sampai sore beliau tak
pulang, malah menelpon bahwa mau menginap di rumah Dr. Nawir, adik nyonya sampai
bangkai anjing itu dibuang. Aku disuruh mencari orang yang mau membuang bangkai anjing
itu.
Kebetulan disepanjang jalan Tanah Abang III didepan rumah tinggal majikanku ada
penggali tanah untuk tanam kabel. Kutanyakan mereka, maukah membuang bangkai itu.
Penggali tanah itu mau, tapi minta ongkos seratus lima puluh rupiah. aku terkejut
permintaanya. Kucoba menawar pun mereka tak bergeming maka lewat telephone sorenya
kulaporkan nyonya. Jawaban nyonya terpaksa menuruti permintaan orang – orang tersebut
daripada beberapa hari harus menginap di rumah saudaranya. Tapi malam itu harus dibuang
dan ongkosnya suruh pinjam mbok Nah dulu.
Selesai bicara dengan nyonya aku temui mbok Nah tentang hasil pembicaraan kami
tadi. Mbok Nah langsung memberi uang kepadaku sesuai permintaanku, langsung kutemui
penggali kabel tadi. Ternyata mereka sudah tak ada di tempat kuambil sepeda barangkali
mereka pindah berkerja diujung jalan sana. Ternyata tak ada pula. Sambil mencari mereka
kulihat galian yang sudah ditanami kabel, bahkan sebagian sudah diurug kembali.
Sambil pulang aku berpikir, bahwa malam itu bangkai harus dibuang. Ongkosnya pun
menggiurkan setara harga seekor kambing besar dikampungku. Malamnya, orang – orang
sudah pada tidur aku membawa tali dan cangkul. Kukenakan masker dari sapu tangan yang
kuolesi sedikit bubuk kopi. Sekitar pukul sebelas malam kuseret karung berisi bangkai anjing
itu, kumasukkan ke lubang galian kabel yang ku survei sore tadi. Kutimbun sebagaimana
mestinya seperti mereka berkerja.
Tengah malam selesai, tak ada yang melihat termaksud orang – orang gedongan itu.
Paginya sambil memberesi kamar dan ruang makan aku telephone nyonya, bahwa pagi itu
nyonya bisa pulang.
Agar bekas bangkai tadi tak menyisahkan bau kusiram dengan sedikit minyak tanah dan
kubakar agar kuman dan belatung musnah. Terus kutaburi bubuk kopi sempurnalah kerjaku.
Malam tadi tinggal menyisakan pikiranku yang tak mudah hilang begitu saja ”halalkah uang
seratus lima puluh rupiah itu ?” Jawabku dalam hatiku berulang – ulang kadang aku bimbang,
benarkan lagi aku tak bohong cuma aku tak melakukan seperti rencana yang kulaporkan
sebelumnya. Dari kejadian itu saya lebih memperhatikan anjing peliharaan nyonya terutama
Miki dan Bimbo.
Anjing pulder itu, bulunya lebat badannya kecil cendrung mungil, berwarna abu – abu.
Dan kesayangan nyonya kami. Hidupnya lebih baik daripada nasibku ketika itu. Miki tidur di
kamar ber AC keranjang rotan rata dilapis kasur lembut, makannya bergizi dan berharga
mahal. Mandinya pakai shampo, obat – obatanya pun terjamin, ikat pinggangnya pun buatan
Perancis. Sedang aku tidur di ValBat tua tanpa kasur berselimut kain sarung murahan, tanpa
kamar tidur diemperan ditemani obat nyamuk bakar.
Tapi aku tak protes kepada siapapun. Aku numpang hidup di Jakarta di rumah
”Miki.” Aku bekerja dirumah itu sedang Miki anjing kesayangan keluarga kaya itu. Suatu ketika
Miki sakit, entah sakit apa aku tak tau. Hanya saya ketahui beberapa dokter sudah di kunjungi
untuk kesembuhan Miki tapi tak kunjung sembuh.
Dia tak mau makan juga minum. Pengobatan sudah cukup usaha keras, kecuali dukun
barangkali ya belum di libatkan. Nyonya tentu sedih, segala upaya telah di tempuh tapi Miki
143

semakin parah sakitnya. Nafasnya tersengal – sengal kadang – kadang menggigil, dokter angkat
tangan.
Aku disuruh ke dokter hewan di Menteng membawa Miki diantar sopir. Baru ketika itu
aku duduk di mobil mewah di antar sopir, gara – gara Miki. Maksud nyonya tak tega melihat
sisa hidupnya si Miki yang mengenaskan itu, dengan dibekali uang tujuh puluh lima rupiah.
Aku disuruh mengantar Miki agar disuntik mati saja.
Sampai di Jl. Agus Salim sopir nyonya itu berpikir aneh. “ Daripada uang tujuh puluh
lima rupiah diberikan dokter lebih baik kita bunuh saja si anjing ini dan uangnya buat kita
mas,” katanya. Aku menolak, tapi dia malah menuduh aku berat ke anjing daripada ke anaknya
di Banten katanya.
Akhirnya kuserahkan dia, apa maunya. Dilintasan jalan kereta api palang pintu ditutup
mobil kami berhenti. Dia turun dari mobil terus dengan cekatan bantal Miki di dekapkan ke
mulut anjing sakit itu. Begitu kereta api lewat, Miki pun lewat tak bernapas lagi.
Mobil kami berjalan lagi tapi berbalik arah terus berhenti di tepi jalan. Sopir itu
mengatur startegi lapor nyonya, bahwa Miki telah mati selanjutnya apa yang harus kami
lakukan. Tak pikir dibuang ke mana, ternyata kami disuruh bawa pulang ”jenazah” Miki, dan
dikuburkan di kebun belakang rumah gedongan itu. Selesai sopir menelphone di telephone
umum itu, supir itu agak gugub, mengatur skenario lagi;
”Mas, nanti kalau ditanya kamu jangan ngomong kalau Miki mati di jalan, apalagi
dibunuh tapi mati ditangan dokter hewan.”
”Tapi kalau nyonya, nelpon ke dokternya bagaimana?”
”Tak mungkin, nyonya percaya kalau kamu yang bicara !”
”Kalau tanya surat kematian dari dokter?”
”Nyonya tau, kamu buta huruf tak mungkin tanya surat segala ? Lagi pula nyonya tak
mau lihat ”mayat” Miki dia mau keluar kalau kita sampai di rumah.”
”Dan uang yang tujuh puluh lima rupiah di kembalikan ke nyonya kalau ditanya kok
uangnya tak dibayarkan ke dokter?”
”Dasar bego, uangnya kamu ambil yang dua puluh lima rupiah dan lima puluh rupiah
untuk aku, bego !!! Sampai di rumah nanti kamu kubur si Miki dibawah mangga. Urusan
selesai dan kamu jangan ngomong macam – macam.”
”Oke, tapi uang buat kamu saja untuk anakmu, aku iklas nih terima.”
Betul, sampai dirumah nyonya sudah tak ada, maka si Miki kubungkus dengan
selimutnya, kukubur sedalam tujuh puluh lima cm, kutimbun rapi. Digundukan kuburnya,
kutaburu kembang soka merah diatas gundukan itu ku tulis dengan papan bekas peti ”Disini
Miki di makamkan ” dengan harapan nyonya senang saja.
Ternyata hari itu nyonya belum pulang dari menginap di rumah saudara di Jl.
Pekalongan katanya lewat telephone setelah tiga hari matinya si Miki. Karena ada waktu tiga
hari, kuburan Miki kubentuk agak bagus kutanami kembang, papan nisan kubentuk agak rapi.
Tulisannya pun kubuat agak manis tak berubah “ Disini Miki Dimakamkan”
Sampai mendapat pujian tuan Firdaus bahwa tulisannya bagus. Aku kaget terlambat
berpikir bahwa selama ini aku ”buta huruf”. Untung cepat berpikir dan mengatakan yang
membuat sopir. Semoga sopir aneh mau mengaku bahwa yang membuat dia. Sampai tiga hari
kutunggu ternyata supir itu tak masuk lagi katanya keluar. Tak mau kerja disitu lagi katanya
berlawanan dengan akidah yang dia yakini, mungkin gara – gara si Miki itu pikirku
Tiga bulan tinggal di Jakarta, aku mendapat KTP berlogo Monas itu. Aku amati dengan
seksama, karena pertama aku miliki, walaupun usiaku telah 19 tahun, pekerjaan pembantu
rumah tangga. Tak kusangka pula bahwa, bertepatan dengan selesainya aku mengurus KTP,
mendapat kabar dari mas Not, bahwa penerimaan anggota ALRI telah dibuka. Dalam sepuluh
hari setiap pekerjaan ku beres. Aku ijin keluar untuk mengurus SKBD dan SKB dari
kepolisian. Dan sesuai petunjuk mas Not pula tanggal yang ditetapkan. Aku diantar ke MBAL
144

Jl. Gunung Sahari. Ternyata hari itu pendaftaran sudah ditutup. Mendengar penjelasan dari
petugas pendaftaran hatiku langsung down. Penjelasan petugas itu selalu terngiang.
Tanggal 27 September kemarin penutupan mas, bukan penerimaan mas Not melihat
aku sedih, berusaha menghiburku dengan segala cara. Tapi tak membuatku cepat sadar, bahwa
nasib di tanganTuhan. Maka setiba dirumah majikan siang itu, makan malam pun tak nafsu,
tidur gelisah, kerja tak semangat.
Akibat kekecawaan yang sangat mendalam itu, setelah tiga hari aku jatuh sakit. Badan
lunglai berusaha menjawab pertanyaan pun rasanya tak sanggub. Meriang, tak nafsu makan
susah tidur.
Mendengar aku sakit, nyonya besar ku empati menunjukku ke kamar tiduku.
Membawa tiga tablet Bodrex dan segelas air, terus memegang kepalaku. Malamnya aku disuruh
ke dokter praktek dekat rumah induk semangku yaitu Dr. Inyo Binliong, dokter RS ALRI.
Kepada dokter, kujelaskan semua apa yang menyebabkan aku tak nafsu makan dll. Maka
dokter yang bijaksana itu bilang ;
”Kamu harus istirahat dan tenang ya, ini untuk nafsu makan.”
”Tak mungkin aku bisa istirahat dok, jika dirumah itu ?” jawabku
”Baik kalau begitu tak kasih rujukan, besok kamu ikut saya !!”
Besok paginya atas surat keterangan dokter Dr. Inyo, aku diijinkan rawat inap di RS AL
Pejompongan bersama pak dokter pula.
Di RS AL aku ditempat zal parajurit. Hari pertama di zal, kulihat semua pasien anggota
AL beberapa orang diantaranya anggota KKO yang luka. Diranjang bergelantungan jaket
doreng dan ada juga baret ungunya. Disitu, aku malah merasa terpukul dalam lamunanku lebih
baik aku luka karena bertempur, dari pada di zal seperti ini. Oleh sebab itulah aku protes saat
dikasih jatah makan RS berupa bubur.
”Ini resep dokter mas bukan mau kami,” kata mantri
”Kalau begitu aku menghadap dokter pak,’ protesku
”Ya besok pagi saja kalau dokternya datang,’ kata mantri itu.
Paginya aku dipanggil ke ruang Dr. Inyo. Kepada perawat Dr. Inyo kudengar memberi
instruksi. ”Pasien ini pindah ke kamar. Ini orangnya panglima.”
Mendengar perintah orangnya panglima, perawat dengan cekatan membawa kembali ke R.
Rawat semula. Baru setengah jam kemudian aku dibawa ke ” kamar khusus” untuk satu pasien.
Dikamar khusus itu, aku dilayani lebih khusus. Pakaian tidurku diganti dengan warna
biru muda sesuai dengan sprei dan sarung bantannya. Begitu pula makan siangku lengkap
dengan buah segar,, tak bubur lagi.
Di situasi serba istimewah itulah sebetulnya aku malu rasanya. Fasilitas yang kuterima
itu tak sesuai dengan statusku. Maka hari kedua dikamar khusus itu, saat Dr. Inyo
memeriksaku ditengah perawat –perawat yang mendampingi beliau bertanya;
”Bagaimana mas, nafsu makannya dan perasaanmu ?”
”Sudah merasa lebih enak dari kemarin dok ?” jawabku
”Tak ada keluarga, atau teman istimewah ?”
”Ada dok, mas Not di Mabes KKO Kwintang.’
”Pacar ? ada di Jakarta ini ?” tanya dokter sambul tersenyum.
”Belum punya dok,” jawabku tersipu.
”Ada permintaan, bacaan atau apa?’
”Saya hanya kepingin cukur dok!!” jawabku bercanda.
Diluar dugaanku, setelah dokter Inyo pergi. Aku diajak perawat ke ruang cukur. Selama
dicukur itulah aku melihat wajahku, dan berpikir aku harus katakan kepada dokter bahwa aku
sudah sembuh dan aku segera keluar dari situasi ini.
Hari kedua Dr. Inyo mengunjugi lagi. Kesempatan itulah kugunakan. Aku mohon agar
hari itu aku boleh pulang ;
145

”Baik kalau begitu, suster urus administrasinya!” perintah dokter.


”Ini hari dok ?” tanyaku semangat.
”Ya ini hari, pukul tiga nanti bersama aku,” jawab dokter.
Sorenya pukul dua , suster membawa pakaianku yang kemarin diganti dengan pakaian
RS Al. Aku heran, ternyata celana dan bajuku sudah rapi malah disertika. Maka begitu dokter
keluar, aku ganti pakaian pemberian mas Not yaitu celana warna coklat untuk pesiar anggota
KKO, baju dari mas Timan yang sudahku vermak.
Dari celana yang kupakai hari itu, seolah-olah aku mengawal Dr. Inyo. Karena dr. Inyo
juga mengenakan pakaian dinas harian (PDH) Al selama dinas. Sekitar pukul setengah empat
sore aku pulang ke Tanah Abang III No. 22 dengan badan segar rambut agak cepak. Aku
mengucapkan terima kasih yang sangat – sangat mendalam di hati. Karena Dr. Inyo mampu
memulihkan kondisi fisikku dan semangatku. Dokter itu hanya mengangguk ambil tersenyum
di depan pintu gerbang rumah majukanku.
Didepan pintu gerbang, mbok Nah menyambutku dengan girang setelah melihatku
tampak beda. Mbok Nah memang lebih perhatian dari pada bu Min.
Sorenya pukul lima aku sudah aktivitas seperti biasa jadi tukang kebun dan kacung
dirumah orang elit. Melihat aku sudah dikebun, Ny. Besar buru-buru memberi selimut. Aku
ucapkan terima kasih pula kepada beliau, walau tak besuk.
Aku mulai berpikir apa aku terus jadi kacung,. Hidupku cukup sandang, makan dan
sedikit tabungan. Setelah enam bulan, aku mendapat kabar di Jl. Jembatan Lima ada pabrik
sandal kepala kantor orang Wonogiri, malah beberapa buruh pabriknya di buatkan mess dekat
pabrik. Diam – diam aku melamar ke pabrik itu menghadap direktur Personalia diantar mas
Not.
Setelah wawancara aku diterima dengan gaji seribu rupiah setiap bulan. Sontak aku siap
bekerja dipabrik. Tapi meninggalkan rumah gedongan itu aku sebenarnya berat karena
keluarga besar itu sudah senang dengan kerja dan tabiat saya. Pembantu – pembantu sudah
familiar terutama mbok Nah, yang setiap makan selalu memperhatikan saya bahkan kadang -
kadang ngalah demi kecukupan saya.
Anjingnya juga, apa yang saya larang dan saya suruh rasanya ditaati terutama si Bimbo
dan pohon pun sudah tumbuh subur, rasanya berat banget kutinggalkan, tapi hari depan saya
bagaimana?
Pada suatu sore bulan November saat nyonya santai membaca koran, aku dipanggil,
diajak ngobrol tentang pohon apokat yang berbuah lagi, mangga yang kubungkusi dengan
kertas minyak dan anggreknya yang katanya mekar sore. Kupikir situasinya nyaman aku mohon
ijin meninggalkan keluarga beliau dan mohon maaf.
Diluar dugaaku nyonya terbelalak dan dengan suara yang jelas–jelas kecewa beliau
teriak: ”Apa .. Ade mau berhenti?” Sehabis ngomong begitu nyonya itu pergi dan
meninggalkan koran yang dipegangnya. Aku ditinggalkan begitu saja. Aku kaget, binggung. Saat
makan malam pun tak kulihat seperti biasanya. Malah Mbok Nah katanya dipanggil, dan
ditanya apa Ade makannya tak cukup kenyang. Begitu pula Bu Mi, ditanya tentang maksud
kepergian saya. Semua ditanya kenapa Ade tak kerasan dirumah itu. Semua tak ada yang tau,
karena memang tak seorangpun yang saya kasih tau.
Karena itulah sehabis makan kami bertiga berencana ngomong-ngomong setelah
nyonya selesai nonton TV, tetapi anehnya selesai makan malam beliau tak nonton TV langsung
ke kamar tidur. Pukul sembilan malam Ruang makan disuruh menutup. Maka kami bertiga
duduk di dekat ruang setrika, pembicaraan di mulai :
” Ade, aku ditanya nyonya, mbok Nah juga, katanya kamu mau pergi dari sini, kenapa ?
padahal nyonya pernah bilang kamu mau disekolahkan nyopir, setelah punya KTP dan akan
dibiayai nyonya tau. Pak Nasir pun sayang Adekan. Kalau kirim surat pun dialamat kamu
146

langsungkan. Coba lihat dan rasakan tuan Sofwan sampai mengajari baca tulis segala,” kata bu
Min.
”Iya lo, belum pernah kacung nya diajari, selain Ade. Aku dengar sendiri dari nyonya,
Ade cepet pintar dan jujur. Malah bu Jayeng, ibunya tuan Wisnu, lagi disini sampai bertanya ke
nyonya, dapat kacung dimana kok rajin dan nurut itu, dulu pekarangan tak serapi ini? kata bu
Jayeng kamu tau kan bu Jayeng ?” nasehat mbik Nah.
”Tau mbok malah aku matur ( nyebut) Eyang kepada beliau dan pulangnya aku dikasih
uang seratus rupiah, sandal & sepatu eyang aku juga yang membersihkan,” jawabku.
”Maka le, coba pertimbangkan dulu, tak enakkan kalau tiba – tiba pergi padahal tak ada
masalah?” kata bu Min.
”Bu, Mbok memang sebertulnya aku merasa berat tapi kalau tetap disini cita –cita
menjadi Anggota ABRI terganjal. Saya disini sebetulnya kan hanya numpang hidup sehat dan
agar punya KTP sebab tanpa KTP tak mungkin dapat pekerjaan di Jakarta. Apalagi masuk
ABRI. Aku memang salah selama ini aku ngaku SD pun tak lulus, membaca dan menulis
terbata–bata. Tuan Sofwan rela ngajari saya bu, Mbok, aku tak seperti itu sebetulnya. Pak Nazir
tau karena aku tak bisa bohong kepada beliau, malah kalau mau menjadi AL disuruh kirim
surat bapak akan dibantu. Dr Inyo Bing Lion tau juga maka di test di RS AL saat aku sakit itu,
maka sampai disuruh rawat inap segala.
Begitu aku mau kirim surat bapak ternyata Mas Not salah informasi. Yang semestinya
penutupan Mas No bilang pembukaan siapa bu yang tak menyesal. Maka aku terpaksa keluar
dari sini agar gampang cari informasi. Disni tak mungkin dipercaya orang tak lulus SD kok
macam – macam, iya kan ?” ceritaku kepada bu Min dan mbok Nah.
Setelah mendengar ceritaku tadi ibu – ibu yang selama ini sangat baik kepadaku itu
malah menangis. Pukul sebelas malam diskusi baru selesai nasehat bu Mi, ”sebaiknya habiskan
bulan ini sampai hari minggu. Dan selama itu aku disarankan matur ( mohon ijin) sampai tiga
kali.”
”Dan sebelum Ade meninggalkan rumah ini, kamu beresi pekerjaan semua, alat – alat
kerja rapikan, kamar biar si Depok saja yang bereskan,” kata bu Mi terakhir.
”Tentang sepeda tua itu yang telah kamu perbaiki kamu bawa saja, toh dulu sudah
disuruh buang daripada memenuhi gudang tapi tetap harus matur nyonya. Jangan lupa pamit
tuan Sofwan!!” petunjuk mbok Nah seraya tersedu menangis.
Nasehat bagus, dan cara pamit pun kujalankan. Paginya saat aku memberesi kamar
Nyonya yang biasanya nyuruh – nyuruh pagi itu tak sepatah katapun keluar dari mulutnya.
Kusapa pun beliau tak menyahut. Apalagi saat aku mau membukakan pintu mobilnya. Aku
diabaikan, aku memaklumi tak pikir besok masih ada waktu.
Minggu itu nyonya tak pernah lagi membaca di tempat biasa. Saat makan tak mungkin
aku menggangu beliau, yang bisa saya lakukan hanya saat nyonya mau keluar rumah menuju
garasi tapi malah bukan saya yang dipanggil malah mbok Nah atau bu mi.
Aku tetap sabar ijin mohon pamit, melihat nyonya lewat ruang makan saat aku lagi
ngelap meja. Kesempatan yang sempit itu kugunakan untuk mohon ijin tapi tak kulakukan
karena tak sedikit pun memperhatikan saya, beliau pandangannya lurus dan bersikap dingin.
Walau demikian kesabaranku takku habiskan, malah dua hari berturut – turut, Senin & Selasa
nyonya malah tak pulang.
Maka atas keputusan musyawarah bertiga lagi, Selasa sore bulan itu aku pergi dengan
sepeda tuanku. Tuan Sofwan dengan sikap biasa saja mengucapkan: ”Oke Ade, jangan lupa,
bahasa Inggris dan belajar baca tulis,” pesan beliau.

.........................................ooooo.........................................
147

30
MENJADI BURUH ”TERKAYA”
DIMASA PABRIK SULIT

Setelah kutinggalkan rumah mewah dan keluarga elit itu. Diperjalanan menuju Jl.
Jembatan Lima aku merasa punya hutang yang harus kubayar kepada nyonya besar. Yang telah
menampung aku selam enam bulan menjadi kacung rumah tangganya. Tapi apa yang harus
kulakukan ? Aku belum menemukan jawabannya.
Tanggal 18 Oktober aku menghadap Kepala Personalia PT. Universal untuk mulai
bekerja. Yang semestinya hari Senin tgl 16 dua hari yang lalu. Karena keterlambatan itulah aku
di tegur mas Tri ;
”Kok kamu baru mau mulai kerja, katanya hari Senin ?”
”Ya mas, karena ijin majikan belum saya peroleh,” jawabku
Setelah aku mengisi formulir dan tanda tangan, hari itulah aku mulai bekerja dan
ditempatkan bagian gudang. Mulai masuk pukul tujuh pagi sampai pukul tiga sore. Tapi jika
giliran sore aku mulai pukul tiga sampai pukul sepuluh malam.
Selama bekerja di pabrik hari minggu kami libur. Sebagaimana buruh pabrik pada
umumnya yang selama di rumah gedongan dulu tak ada hari tanpa kerja kecuali malam.
Maka hari Minggu dan libur pabrik kugunakan untuk perawatan kebun bekas
majikanku di JL. Tanah Abang III. Pagi hingga pukul sebelas, sore pukul tiga sampai
menjelang mahgrib. Itu kulakukan rutin, selama bulan puasa pula, hingga sebelum lebaran tiba
dengan harapan pas lebaran suasana lingkungan bersih, sehat dan rapi seperti menjelang 17
Agustus yang lalu.
Itikad baik saya itu menimbulkan pertanyaan nyonya besar. Sampai ada pertanyaan
kepada bu Mi dikira aku mau bekerja disitu lagi. Padahal niatku hanya membayar hutang budi
atas kebaikan nyonya itu. Maka pada saat lebaran, selesai shalat Id dilapangan Tanah Abang II
aku langsung ke Tanah Abang III dengan maksud mohon maaf.
Tak disangka hari baik itu nyonya keluar membawa kue tar dan minuman ke meja
setrika. Dengan tangannya sendiri saat itulah aku mohon maaf. Alhamdulillah permohonanku
dikabulkan malah kepalaku diusap segala.
Betul – betul lega bahkan beliau bertanya : ”Ade kerja dimana” kujawab apa adanya .
Sore pulang membawa satu kotak kue, rasanya lega setelah hampir dua bulan aku berdoa.
Setelah hari itu aku jarang – jarang ke Jl. Tanah Abang karena bos baruku PakSomo
Harmanto selalu memanggil ke rumah beliau kalau ada yang harus kukerjakan. yaitu tukang
bersih – bersih lingkungan. Dan lama-lama Apek Tiong Hwa tua, Kepala Produksi jika ada
yang perlu dikerjakan selepas jam kerja juga mencari aku kata bu Mar, aku langganan dipanggil
Apek.
Di mes pun aku yang sering mengambil air bersih di leideng pabrik untuk kebutuhan
memasak, karena di mes itu tak ada ledengnya. Sumur yang ada tak layak.
148

Tempat aku tinggal selama bekerja di pabrik sandal PT. Universal, diberi nama ”Mess
Wonogiri” entah siapa yang memberi nama karena pada saat aku tinggal disitu sudah ada tujuh
orang pekerja pabrik, walau tak semua asal Wonogiri.
Pemiliknya bu Mar orang Tegal, ketika pertama tinggal penghuni mes mendapat
makan dua kali sehari, dan kami tau beres saja, tak mikir membayar.
Sebelum ada kebijaksanaan managemen pabrik, gaji seribu rupiah bersih sudah
mendapat makan dua kali sehari. Kebijaksanaan baru, penghasilan karyawan menjadi tekor.
Karena begitu bahan baku pabrik terlambat datang penghasilan buruh menjadi berkurang.
Bekerja digilir hanya 3 x seminggu. Maka penghasilan menjadi seribu dua ratus rupiah
tanpa mendapar makan lagi. Padahal hanya beras sudah tujuh puluh rupiah perliter. Praktis
sebulan buruh pabrik hanya mendapat sekitar tujuh belas liter beras.
Akibat dari situasi pabrik yang berubah dratis, buruh perantau Wonogiri yang tujuh
orang pada pulang kampung. Menimbulkan produksi kekurangan bahan dan pekerja.
Hikmah dari kemelut industri, aku yang tak ikut pulang, kebanjiran ”Rejeki.” Bekerja
serabutan. Kadang-kadang aku ditarik ke bagian produksi. Selepas kerja dibagian gudang.
Sudah barang tentu penghasilan ku menjadi tiga kali lipat dari sebelumnya. Atas kebijakan
Apek pula, aku selama pabrik mengalami kacau malah mendapat makan seperti biasa dua
kali sehari plus sarapan pagi.
Rejeki nomplok lagi. Saat bahan baku impor datang. Truck pengirim bahan pabrik tak
ada yang menurunkan. Apek binggung. Aku disuruh mencari orang yang mau menurunkan
barang. Kucari teman seniorku Firdaus orang Tiong Hwa dari Bangka yang sering kupanggil
bang Fir;
”Bang Fir, ada pekerjaan lembur mau, nurunkan barang dari pelabuhan ? ”
”Mau mas. Lu minta borongan ‘pek go’ satu truck.”
Setelah aku nego dengan Apek tua itu. Akhirnya setuju. Seluruh bahan baku yang tiba
dari pelabuhan setiap hari, hampir sepuluh hari selesai. Kami berdua teler berat, terus
menghitung penghasilan. Karena Firdaus malas menghitung, seluruh hasil borongan, aku yang
menerima dari Apek. Dia tau bersih, kupanggil dia ;
”Bang Fir. Ini hasil sepuluh hari.”
”Piro mas,” jawab Firdau sok Jawa.
”Ya enam puluh truk kali pek go kan sembilan ribu rupian.”
”Kok gua dapat goceng, memang borongannya berapa?”
”Kata abang pek go per truk hitung saja ? abang kulebihi.”
”Kenapa ?”
”Abang kan yang lebih capek daripada aku, yang adilkan ?”
”No..no..no lu gak boleh begitu, kan lu yang dipercaya Apek.”
”Jadi dibagi rata saja, terima kasih bang, ternyata .......”
Tak kuteruskan kata pujianku, karena dengan uang yang diterimanya. Bang Fir terus
ngloyor pergi dengan puas, malah teriak ”Mas habis mandi lu ikut gua, tak tunggu disini.”
Aku tak langsung ke mess. Karena Apek aku mandi di pabrik tak lama kemudian
kutemui bang Firdaus. Diajaklah aku ke warung Mie Goreng. Entah apa maksud bang Fir
ternyata aku di traktir Kwe Tio goreng dan air jeruk hangat.
Setelah itu pukul dua belas malam aku pulang, tidur nyenyak sendirian. Karena mess
Wonogiri masih kosong. Esok paginya aku merasa menjadi buruh terkaya di mess itu. Maka
aku beli dua puluh lima liter beras Cianjur untuk masak selanjutnya. Aku tak sepusing teman-
temanku yang katanya mau bawa beras dari kampung.
Hari selanjutnya Apek memanggil saya lagi. Disuruh membuka peti bahan plastik untuk
produksi dengan borongan lima rupiah per peti
”Aku mau pak, tapi bongkaran bekas peti untuk saya!”
”Lu ambil de, tapi yang rapi terus lu buang oke !!” perintah Apek.
149

”Ya pak, tau beres..!!” jawabku


Mulai hari itu aku tak mau kerja double shit. Karena selepas kerja pukul tiga sore aku
harus membongkar segudang peti pengepak bahan plastik untuk produksi. Naluri bisnisku
muncul llagi. Kutawarkan kayu bongkaran peti ke pak Man pemilik Warteg didepan pabrik.
Alhamdulillah pak Man setuju ;
”Ok jadi pak Man, Ji go seikat!!”
”Boleh, banyak kah mas kayunya ?” tanya pak Man.
”Ya banyak, tapi nanti saja pak Man kan tau !!”
Setiap pukul tiga sore sampai hampir mahgrib aku setor kayu bongkaran peti ke warung
pak Man. Tempatnya tak muat lagi .
”Sementar di stop dulu mas, tak cukup tempatnya,’ tegur pak Man.
”Ya kalau begitu, tak jual ke orang lain dulu.”
”Tak usah biar saudaraku saja yang ambil di Gg. Jamblang.”
”Dimana Gg. Jamblang ?” tanyaku
”Biar saja pakai gerobak dia ambil disini.”
Saking banyaknya pak Man kewalahan menerima kayu bakar dariku. Entah mengapa
dia bilang distop lagi alasannya duit tak ada.
”Tak usah dibayar duit pak Man, aku makan disini saja.”
”Bagus kalau gitu. Jadi besok dan seterusnya sampean makan disini.”
”Iya tapi tak mulai besok, karena berasku tak habiskan dulu di mes oke.”
Berhari-hari aku bongkar dan ikat kayu peti bekas itu. Hasilnya pun hampir delapan
puluhan ikat. Dua Warteg tak harus beli kayu ke orang lain, karena terikat kontrak dengan aku.
Ternyata paku bongkaran peti setelah ku timbang ada seratus dua puluh kilo lebih.
Kusimpan dibawah kolong ranjang di mess. Plat pengikat peti di beli tukang loak dari Tanah
Abang.
Hampir dua bulan teman–temanku yang pulang kampung berdatangan. Mereka
membawa beras semua, ada yang sampai lima belas kilo perorang. Begitu melihat karung
berasku, Satino teman sedaerahku kaget, dikira aku mendapat kiriman beras dari kampung;
”Sekarang mas Ade banyak beras nya No ,’ kata bu Mat
”Iya lho bu, beras Cianjur lagi ? “ jawab Satino
”Bukan hanya beras No, paku pun aku punya ,’ jawabku
Satino heran, tapi setelah kujelaskan semua kegiatanku selama sebulan itu, dia tampak
menyesal.
”Kalau tau begitu, aku tak pulang mas,” kata Satino
”Orang sabar kan subur No,’ kata bu Mat
Satu tahun aku bekerja di pabrik sandal sudah dua kali membeli pakaian. Sebetulnya
kepingin ngirim sekedar untuk lebaran orang tua di kampung. Namun uang tabunganku belum
cukup. Sebab kusimpan sebagai biaya melamar ABRI. Penerimaan Tamtama angakatan Darat
ada pendaftaran. Bersama mas Marji aku memcoba ikut mendaftar TNI-AD. Setelah
kutanyakan ke personalia pendaftaran ternyata tahun ini belum ada untuk penerimaan Secaba.
Maka kuurungkan kaena batas umurku sudah lewat jika melalui Tamtama, batallah niatku.
Untuk menambah penghasilan aku, jualan nomer Hwa Hwe dipojok Gang Petak baru.
Bahkan aku jemput bola pintu ke pintu ternyata pembelinya kebanyakan ibu-ibu rumah tangga.
Dari jualan kupon undian Hwa-Hwe itu aku dapat penghasilan 15 % dari uang yang kudapat,
setelah setor ke bandar judi nomor itu. Lama-lama bosan dan takut resikonya.
Hampir satu setengan tahun aku malang melintang mencari tambah penghasilan setelah
jam kerja. Dari jaga rumah Kon Wong seorang Pelaut, sampai mengecat rumah kulakoni.
Suatu sore saat aku mikul air dari leideng pabrik untuk kebutuhan masak di mess. Ada
seorang ibu yang menyapa saya ;
”Mas dari Jawa ya ? buat apa mikul air setiap sore?” tanya ibu.
150

”Untuk masak dan minum di mess bu!!” jawabku


”Kulihat kok mas terus yang ngambil, di mess kan tak sendiri ?”
”Yang lain tak ada yang mau bu, lagian bu tak semua masak sendiri.”
”Kalau hanya satu pikul saja ambil disini saja.’
”Terima kasih bu besok saya ambil disini,’ jawabku senang.
Walau sudah di tawari, tapi aku rasanya malu kalau harus mengentuk pintu. Itupun
kadang-kadang ibu itu tak kulihat. Maka pas kebetulan ketemu ibu itu, aku dibukakan pintu
dan disuruh ambil di bak leideng di dekat teras depan. Setelah cukup sepikul, baru aku mau
pamit malah diajak bicara dulu.
”Mas sudah berapa taun kerja di pabrik sandal?” tanya ibu tadi
”Oktober yang lalu satu taun. Karena aku mulaikerja 18 Oktober.”
”Habis lebaran nanti ada penerimaan security di Unilever, jika mau coba habis Isya
nanti kesini. Mau kerja di Unilever?”
”Mau bu, alhamdulillah, tapi syaratnya apa bu? Tanyaku
”Syarat dari keluarga ABRI. Keluarganya ada yang ABRI ?’
”Ada bu, pakde saya polisi, juga ada KKO..!!” jawabku optimis.
”Baik kalau begitu habis Isya ya tak tunggu,” kata ibu itu
Pulang mengambil air. Aku merasa bersyukur. Maka yang biasanya jarang shalat
maghrib, petang itu aku khusuk shalat di mushola dekat mes. Habis makan kulanjutkan sha
isya berjama’ah lagi. Usai shalat aku tepati panggilan ibu sore tadi. Ternyata setelah kutanyakan
pak Jamhuri namanya bu Marti.
Silaturrachmi malam itu, aku dapat petunjuk syarat yang diperlukan hingga lengkap
kebetulan semua ada kecuali kekurangan yang satu itu. Yakni Surat Ketterangan bahwa aku
adalah keluarga dari anggota ABRI.
Giliran masuk sore waktu pagi kugunakan menghadap pakde di Komwil 73 Glodok.
Tanpa pertanyaan lagi, setelah kutunggu tak sampai setengah jam surat yang kuharapkan
selesai.
Terus malam kedua aku menghadap ibu Marti, membawa dan menunjukkan surat-
surat yang diperlukan. Setelah membaca dengan cermat, terbelalaklah bu Marti usai menyimak
surat yang kudapat pagi itu.
”Pakde mu Komandan Polwil Glodok?” tanya bu Marti
”Aku juga baru tau belum lama ini kok bu, itupun secara kebetulan saya ngurus surat
kelakuan baik di kantor polisi waktu itu.”
” Kebetulan, apa dulu tak pernah tau bahwa ada keluarga jadi polisi?”
”Ya dengar – dengar saja, saat di Solo, tapi tak saya perhatikan, saat masih di SMP
bahkan kulihat fotonya juga di rak mbah Putri.”
”Tadi mas Ade bilang secara kebetulan coba cerita bagaimana, punya pakde DanWil
kok memikul air dan tinggal mess situ.”
”Yang punya jabatankan pakde dan saya tak ada apa-apanya. Beliau juga pernah pesan
kalau ada yang diperlukan agar ke kantor saja...tak harus kerumah kediaman kompek Perwira
Polri.”
”Tadi soal kebetulan, kronologisnya bagaimana kok penasaran?”
”Ade bersama tiga orang teman mengurus SKBD kekantor Komwil, tiga orang
temanku mas Yoto, Misdi dan Sarwono semua sudah selesai. Giliran saya dipanggil kok berkas
saya ditahan, kata ajudan suruh tunggu di kantin sambil makan apa saja, terserah saya. Ajudan
yang traktir. Ya aku malah takut, apa saya di tahan pikirku ketika itu.”
”Ditahan kok dikantin ?”
”Yaitu bu, kenapa ditraktir segala. Setelah itu aku suruh naik jeep Brimob, tau – tau
dirumah Dinas Jati Petamboran itu. Nah disana baru tau kalau itu pakde itupun kata beliau.”
”Apa dulunya tidak pernah dikasih tau bahwa di Jakarta ada pakdemu?”
151

”Tidak bu, mungkin beliau dengar nama Ade, dari Kasino. Karena Kasino sering
kesana.”
”Sudah mengetahui pakdemu Damwil ?”
”Kira – kira tiga bulan yang lalu, ya lagiKasino pertama tinggal di mess begitulah bu.”
”Tempo hari rasanya ada polisi lewat sini apa itu pakdemu?” tanya bu Marti
”Bukan bu itu, mas Gi yaitu ADC nya.”
”Dari tadi ADC melulu, ADC itu apa sih?”
”ADC itu ajudan bu, mungkin Ajudan Khusus. Bu mohon maaf mohon ijin sudah
malam mohon petunjuk selanjutnya dan pamit.”
”Ngomong – ngomong Ijazahmu apa biar tuntas sekalian ibu besok Of kok.”
”Sementara SMP bu karena yang STM belum tau karena kutinggalkan di Solo saat
pengumuman kelulusan belum ada.”
”Kok ada pengumuman, eh belum ada pengumuman kok di tinggal berangkat disini!!!!”
” Karena Mas Not pas cuti, waktunya mepet kan pengumuman juga belum jelas, UNAS
saja kacau bu.”
”Lha nanti yang ngurus siapa, ada orangtua ?”
”Bapak meninggal aku masih kecil. Biyung tak mungkin beliau orang kampung sangat
sederhana. Dulu walinya Bulek Alit tapi semua urusan mbak Harjuti tapi mbak Har katanya di
Jakarta tapi entah dimana.”
”Bisa dikuasakan siapa sajakan?”
”Tak mungkin bu, lagipula saya belum tentu lulus dan sementara belum diperlukan!!”
”Tak apa mas, kata Pak Sudjadi ijazah SMP dapat dipertimbangkan status golongan itu
cukup kok.”
Selanjutnya setelah semua pernyataan ku lengkap surat lamaran PT. Unilever Indonesia
ku antar langsung ke kantor Personalia di JL. Tubagus Angke. Ternyata tak ampai seminggu,
aku ada panggilan wawancara ke kastap security di kantor Angke.
Karena masih pekerja pabrik sandal Universal, aku mohon ijin koh Lim Kabag ku.
Ternyata selesai wawancara test berikutnya selang satu hari berlanjut terus oleh koh Lim diantar
ke Direktur Pabrik takni Bp. Somo Harmanto, diwawancarai pula ;
”Ade melamar di Unilever.”
”Nggih pak!!” jawabku
”Kalau bosan disini, kenapa tak mau dipindah di Sidoarjo ?”
”Saya trauma di Wonogiri pak, ingin cari pengalaman.”
”Sidoarjo kan bukan Wonogiri.”
”Oh maaf bukan sidoarjo dekat jatisrono Wonoogiri itu?”
”Wa laah bukan, yang dimaksud itu Sidoarjo dekat Surabaya!!!”
”Kalau bukan Wonogiri sebetulnya mau pak, tapi...?”
”Ya sudah nanti saja seandainya tak diterima di Unilever dan berubah pikiran kamu
boleh temui saya. Ijin tes di Unilever berapa hari ?”
”Kemarin ijin sehari pak, tapi selanjutanya ndak tau ?”
Berikutnya, setelah diijinkan mengikuti tes, aku fokus tak mengerjakan apapun. Tes
wawancara lancar, tes kesehatan, psikologi, pengetahuan umum dan yang terakhir tes di RS
Cikini, kata orang , yang sudah-sudah setengah hari. Pukul tiga sore, sehabis tes aku melapor
ibu Marti di rumah beliau ;
”Piye mas hasilnya ? coba bawa kesini, piro mbayare ?”
”Ini bu kemarin seribu rupiah kembaliannya lima ratus lima puluh rupiah.
”Alhamdulillah mas, mudah –mudahan seperti doa ibu,” kata bu Marti.
Aku tau maksud bu Marti, sepertinya positif. Kaena hasil tes internis dari RS. Cikini di
dalam amplop dan hanya dokter Unilever yang boleh buka, makanya di lak ?
152

Tiga hari berukutnya kami semua peserta tes di kumpulkan di ruang klinik pabrik.
Setelagh diberi ceramah kami peserta di beri amplop di steples dan hanya boleh dibuka di
rumah masing-masing.
Sore itu rumah bu Marti kendurian tasyukuran kecil, dan yang paling semangat adalah
ibu Marti. Setelah melihat kartu print ku berwarna pink. Pertanda statusku langsung Bintara
Muda.
Besoknya, aku diantar ke Kepala Personalia oleh bu Marti. Sehabis itu aku di suruh
minta surat keterangan dari PT. Universal bahwa aku bukan karyawan lagi di PT. Universal.
Setelah surat pemberhentianku dari pabrik itu, kuserahkan ke stap Personalian
Unilever. Aku disuruh mengukur pakaian seragam dan tanggal 10 Februari 1969, aku mulai
masuk kerja sebagai masa orientasi dan latihan kerja.
Siangnya setelah ada keputusan dari Unilever. Aku pamit pak Somo, dan seluruh
stapnya, tak lupa koh Lim dan Apek.
Sehabis itu aku makan siang di Warteg pak Man sambil hitung – hitungan tentang harga
kayu bakar bongkaran peti.
”Pak Man, sisa harga kayu tak minta uang saja !!”
”Ya ndak bisa, janjinya kan dibayar nasi.”
”Masalah nya pak Man. Mulai Senin aku sudah tak makan disini, aku sudah kerja di
Unilever dapat makan dan beras. Kalau begitu ya sudah biar dimakan bang Firdaus.”
” Ya terserah tak masalah, panggil saja Firdaus kesini.”
Kucari bang Firdaus kebetulan sudah keluar pergantian Shet kerja. Kugelandang
sahabatku itu ke Wartwg oak Man. Setelah dihitung hasil sisa yan belum dibayar masih tiga
puluh empat ikat dipotong makan hari ini dan kemarin 4 emapat kali makan.
”Bang Fir, abang tak traktir makan selama satu bulan.”
”Gila lu, menang nomor ?” tanya bang Fir heran.
”Kapan aku pernah pasang, kalau jual nomor pernah?”
”Ah lu gila bener nih ?”
”Abang sekali makan cecap kan atau sehari ji go lah.’
”Betul nih, gua makan lu traktir sebulan penuh!!” teriak firdaus
”Betul bang tiga puluh hari, perhari nji go . kalau tak percaya tanya pak Man lihat stok
kayu bakar itu.”
Habis ngomong di Warteg itu.selesailah urusanku dengan Warteg dan berakhirlah pula
jadi buruh pabrik sandal ”terkaya” di masa sulit..

.............................................oooo............................................
153

31
MENJADI SECURYTI
UNILEVER INDONESIA

Senin, tgl 10 Februari 1967, adalah termasuk hari bersejarah bagiku. Karena hari itu
hari pertama aku menjadi security pabrik sabun terbesar di Asia dan Afrika ketika itu.
Yang sebenarnya Unilever bukan hanya memproduksi sabun, tapi yang dikenal orang
hanya pabrik sabun. Padahal, pasta gigi, Pepsoden, sampo merk Sunsilk, minyak goreng, Blue
Band, Rinso juga adalah buatan Unilever Indonesia.
Sebetulnya pabrik itu milik Belanda yang sahamnya sebelum di nasionalisasi adalah
Inggris dan Amerika. Setelah Indonesia merdeka Direksi adalah orang – orang Indonesia
termasuk security nya utamanya.
Nah mulai tahun 1967 security dari bekas tentara Kemil yang sudah pensiun, mulai
diganti angkatan mereka. Angkatan saya adalah angkatan pertama yang direkrut taun itu yang
bukan dari anggota ABRI.
Bulan pertama 15 orang anggota security angkatan pertama di didik dan di doktrin
menjadi security yang profesional dan praporsional dibawah wilayah hukum Komdak Metro
Jaya khususnya Komwill 73 Jakarta barat.
Setelah tiga bulan masa orientasi dan tugas kami anggota baru di beri pakaian seragam
dan kartu tanda anggota ( bade ) security dan tugas sebagaimana security sebelumnya. Atas
laporan dan dedikasi saya selama tiga bulan pertama golongan saya menjadi Bintara Muda.
Dengan gaji pokok enam ribu delapan ratus rupiah. Hampir menyamai gaji pokok pakde Rudi,
yang gajinya tujuh ribu enam ratus ribu rupiah. Dan jauh lebih tinggi dari mas Not, yang gaji
pokoknya seribu lima ratus ribu rupiah.
Saat itulah aku dapat wejangan dari pakde sebelum beliau pindah ke Maluku sebagai
Kasdak. Seingat saya beliau sepertinya meninggalkan petuah ”Test masuk gampang, kerjanya
ringan, gaji menawan, tapi awas goda’annya ???????”
Yaah..memang lumayan besar, karena jika seorang Bintara Muda seperti saya jika satu
bulan penuh tanpa mangkir dan tanpa kasus. Melalui kartu print, pernah membawa keuangan
dua belas ribu rupiah, belum termasuk beras 40 kg, minyak goreng, Blue Band, jatah untuk
perlengkapan mandi pasta gigi & kebutuhan pokok yang diproduksi Unilever.
Dengan perubahan .... pekerjaan dan penghasilanku, berubah pulalah gaya hidupku.
Aku tak tinggal di mess Wonogiri lagi. Aku disewakan satu kamar dekat rumah ibu Marti, yaitu
rumah ibu Yati yang sebetulnya kamar mas Marjuki adik bu Yati Perwira Arhanud AD
Karena itulah, hidupku yang sebelumnya suka melayani setelah pindah semua dilayani.
Makan, cuci pakaian tinggal pakai, olah raga pun selama di Universal nebeng. Setelah di
Unilever menjadi anggota tim Volly dan sepak bola perusahaan yang setiap hari Rabu dan
Sabtu menggunakan bus khusus berlatih di Monas, bagi tim Volly, dan di lapangan sepak bola
di Kampung Duri.
154

Setelah tinggal dikamar sewaan dekat rumah ibu Marti, semakin detailah yang saya
ketahui tentang keluarga itu. Suami ibu Marti yang kupanggil Abah, orangnya kalem. Keluarga
itu mempunyai tiga anak ; dua putri dan satu lelaki lima tahunan umurnya.
Putri pertamanya masih kelas II SMEA umur tujuh belas tahun namanya Siti Hiarti
atau panggilan sehari – hari Tati. Anak kedua dipanggil Yana, sedang bungsunya bernama
Untung Suhardi yang dipanggil Untung.
Pepatah mengatakan, semakin lebat daun sebuah pohon, semakin kencang pula angin
menerpa. Ibu Pokoh dua kali mengirim surat. Isinya agar aku menjadi anak yang baik
terhadap teman sejawat. Surat yang kedua ditujukan kepada ibu Marti intinya ”agar di marahi
jika Ade salah dan menitipkan aku, agar aku menjadi anak yang baik.”
Diluar dugaan dik Pur juga kirim surat khusus untukku yang dialamatkan di kotak
suratku no. 374. Malah mengirim foto, saat dia menari di Pendopo Kabupaten sebagai Satriya
Gambir Anom, dan kupanjang di meja bacaku di kamar kost, rumah bu Yati.
Sejujurnya ketika aku membaca surat dik Pur, dalam hati hampir tak percaya bahwa
surat itu tulisan dia. Karena tulisannya bergaya miring yang selama itu belum pernah kulihat,
maka dalam surat balasan kukatakan tulisan dik Pur bagus.
Mulailah dik Pur rajin mengirim surat yang sebelumnya isi suratnya normatif saja, lama
– lama tersirat kata-kata yang mengandung pujian terhadap aku. Bukan sebagai kakak
pertamanya, tapi malah menambatkan harapan yang menimbulkan getaran jiwaku sebagai
pemuda seumurku.
Aku mencoba membalas suratnya dengan hati-hati. Karena khawatir, bahwa aku
terbawa perasa’an yang sebetulnya dik Pur tak bermaksud apa-apa kecuali sekedar
menghormati danbangga kepadaku. Tapi dik Pur membalasnya semakin berani. Malah dia
merasa dalam cengkeraman Rahwana dalam lakon Rama-Shinta.
Surat – suratan dengan adikku semakin menjadi-jadi tak kusadari bahwa hidupku,
kedewasanku mulai tergoda segalanya menjadi harap-harap cemas. Bisa jadi cobaan seperti
nasehat pakde Rudi.
Setelah itu tak kusadari juga bahwa kejadian dalam tugasku bagian dari godaan dan
ujian. Dimulai dari kasus atau insiden pintu satu, terus menyakut kasus – kasus lain ;
Antara lain tentang surat kaleng, insiden pintu dua dan terakhir kejadian di pintu tiga.
Terbongkarnya permainan yang melibatkan pak Haji sebagai distributor bahan pangan di
pabrik itu.
Entah pertimbangan apa diluar dugaanku, tiba – tiba aku di mutasi di kantor besar
Unilever seberang Istana Merdeka. Setelah aku dinas di Kantor Besar, segalanya berubah yang
biasanya di pabrik mengawasi karyawan ratusan dari beberapa jenis pekerjaan. Di Kantor Besar
tinggal puluhan dan rata – rata sama tentang administrasi dan keuangan. Pegawainya pun orang-
orang sok elit. Security dianggab mereka pegawai kelas rendahan.
Disinilah kurasakan coba’an mulai menerpa aku. Yang biasanya aku dianggab ”Killer”
dimata orang yang suka melanggar aturan dan tata tertib, di kantor besar security di anggab
pesuruh. Di area parkir setiap jam masuk dan menjelang tutup kantor sering dijadikan kambing
hitam jika ada insiden kecil. Padahal oknum pegawai itu sendirilah yang sok arogan.
Saat kejadian seperti itulah, aku yang bertindak tegas dan menegur dengan keras, jika
ditegur dengan sopan tak mempan. Teman-teman security ada yang mendukung, namun
kepala reguku menegurku agar aku lebih bijaksana. Setelah kejadian itu, kami Korp security
tak dipandang remeh. Maka saat ada kesempatan komandan jaga mengajak bincang- bincang
secara khusus dengan ku, setelah jam kantor tutup ;
”Mas Ade dari Wonogiri ya ?” tanya pak Darmawan dengan lembut.
”Iya pak. Kita bertetangga,” jawabku
”Ooo iya, mas Ade Wonogiri, aku Wonosari.”
155

Selama ngobrol itulah pak Darmawan menilai di mutasinya aku ke kantor besar
membawa angin segar. Bisa jadi atas kebijaksanaan Ka Stap, agar aku tak jenuh. Karena
potensiku memungkinkan ;
”Ah sebaliknya pak, saya disini rasanya dibuang ?” jawabku
”Kenapa mas Ade orangnya kan penuh inisiatif?”
”Disana aku selalu dianggab membuat sensasi pak !!”
”Tentang apa ? Pak Sujadi mengapresiasi kok mas, langkah mu !!”
”Pak Dar tau juga yah, kalau beliau pernah tak buat tersipu ? Oooo soal insiden pagi
itu pak. Saya rasanya di coba terus, mulai hari itu. Rasanya kasus silih berganti yang tak saya
sadari bahawa semua itu merupakan cobaan tugas. ”
”Ha ..ha....ha ... aku dengar semua mas. Maka daripada kata orang lebih baik aku
mendengar langsung dari mas Ade. Karena selama ini belum pernah mendengar dibongkarnya
kasus ini. Paling yang jadi rumor. Sebetulnya kronologinya kaya apa sih ???”
”Baik pak di mulai darimana ? surat kaleng !!”
”Kalau surat kaleng kok saya belum dengar ??”
”Terbongkar kasus distributor pak Haji Maskur itu kan awalnya dari surat kaleng.”
”Ooooh begitu ? baiklah teruskan tak dengar !!”
”Surat kalengkan isinya membuat gempar Korps security. Karena dikabarkan puluhan
pak sabun mandi bobol keluar. Penadahnya para gelandangan di bawah jembatan depan pabrik
melalui gorong-gorong saluran air.”
”Terus, siapa yan menemukan??”
”Sepertinya ditangani pak Dudung. Karena pak Dudung melimpahkan kasus itu ke saya
dengan cara yang tak bersahabat. Ya saya tolak. Pak Dudung kan bukan atasan langsung saya.
Dari penolakan itulah pak Dudung lapor pak Parmin bahwa saya mbelot.”
”Duh sampai begitu...? terus apa kata pak Parmin.”
”Pak Parmin secara resmi menugasi saya untuk jalankan perintah beliau. Setelah saya
selidiki menggunakan Lab Dokumen. Ternyata pembuat surat kaleng itu mengaku. Sebetulnya
bobolnya sabun sabun itu bukan lewat gorong-gorong tapi lewat jaringan truck pembuang
sampah yaitu armadanya pak H. Maskur.”
”Selanjutnya pak Maskur.”
”Selanjutnya yah polisi, tugas saya kan cuma membantu polisi ?”
”Jadi bukan lewat saluran ?”
”Oh mustahil pak, wong kucoba pratekkan lima buah sabun didasar saluran kugelontor
dengan air tak mau larut kok. Itukan cuma metode pak Dudung saja. Maka begitu aku berhasil
mengungkap kasus itu. Pak Dudung tak enak hati ke saya.”
”Terus hubungan dengan distribusi bahan pangan ?”
”Itu lain lagi pak. Tak ada hubunganya dengan surat kaleng !!”
”Katanya dimulai dari situ ?’
”Oknumnya sama, orang-orang H. Maskur berkolusi dengan bagian Gudang Pangan.
Nah itu yang menindak lanjut Drs. Mulyadi. Cuma, hasil temuan saya. Begitu ada dua alat
bukti, ya kuserahkan beliau, karena bos distributornya pak Haji itu, ya diserahkanlah ke polisi.”
”Mas Ade sekarang ini umurnya berapa?”
”Sesuai ijazah Desember nanti dua puluh satu tahun, tapi sejatinya dua puluh dua.”
”Seumur mas Ade belum ada yang cara berpikirnya sudah sejauh itu.”
”Saya dibesarkan oleh penderitaan ekonomi dan beban hidup pak.’
”Makanya, saya menjadi heran atas kemampuan tentang biro krasi penyaluran barang
distribusi kok sudah di kuasai, padahal di Diklat dulu tak ada pelajaran administrasinya kecuali
keamanan.’
”Pengalaman PKL dulu pak di proyek waduk Wonogiri.”
”PKL berapa bulan itupun sebetulnya bukan bidangmu?”
156

”Sebelum kerja disini saya kan kerja dipabrik plastik bagian gudang. Pak Sujadi dulu
juga heran saat wawancara pertama tentang berapa isi box sebuah truck ukuran sekian-sekian.
Tak sampai setengah menit kujawab dengan benar.”
”Tapi sekolah sampeyan jurusannya kan Teknik Bangunan ?’
”Itu sebagai dasar pengetahuan saja pak, buktinya bisa jadi security ?”
”Cita-cita mas Ade dulu jadi apa?”
”Tentara pak.”
”Oooo begitu, maka jiwa militernya tinggi?’
”Terus selanjuutnya masalah dengan pak Dudung di pintu tiga?’
”Ah itu akal- akalan rekayasa pak Dudung saja pak, ”fitnah murahan”
”Kronologisnya.”
”Ketika itu habis makan malam pkl 08.00. aku jaga Pos Tiga katanya aku tertidur. Saat
pak Dudung patroli, dengan bukti topiku di ambil, saksinya Martono. Maka saat aku
dikomportir, dia terkecoh. Aku mendapat teguran dia juga di peringatkan pak Sujadi dalam
kompratir itu aku di tanya pak Sujadi” ;
”Ade lagi apa ketika pak Dudung patroli di Pos Tiga?”
”Lagi duduk pak dikursi tower jaga.”
”Kalau tak tidur masa, topi di ambil sampai tak tau ?”
”Tau pak, saya tau, pak Dudung dan Martono naik tangga tower saya juga tau ?”
”Kalau tau, mengapa kamu tak menegur ?”
”Saya kira bercanda pak. Karena naik tangganya pelan-pelan!!!”
”S O P nya kalau ada patroli kan wajib lapor situasi ?’
”S O P nya patroli kan bukan pkl satu sampai pkl 5 subuh pak.”
”Ketika itu pak Dudung tak menegur kamu ?”
”Tidak pak, karena pak Dudung datangnya diam-diam.’
”Kalau kamu tau kenapa tak di sapa ?’
”Saya katakan tadi pak, saya kira mereka bercanda !!”
”Terus apa kata pak Sujadi ?” tanya pak Darmawan
”Beliau menyudahi pertanyaan, hanya mengangguk –angguk.”
”Terus apa kata pak Sujadi, kepada pak Dudung ?”
”Kenapa pak Dudung patroli jam setengah sembilan ?” tanya pak Sujadi
”Hanya kebetulan lewat dari makan malam menuju Pos.”
”Tadi bilangnya kontrol patroli kesiagaan pos jaga ?” tanya pak sujadi
”Yah..akhirnya pak Dudung terjebak laporanya sendiri pak, rupanya sakit hati,”
jawabku ke pak Darwaman yang pensaran
”Kenapa dia sakit hati ?” tanya pak Dar
”Pada saat ada surat kaleng itu, dia kan kepala jaganya !!”
”Ooo begitu terus dia uring-uringan karena perintahnya Ade tolak itu?”
”Dasarnya pak Dudung sudah menanam dendam ke saya !”
”Yang terakhir mas tentang kasus dengan oknum Brimob?”
”Ah itu karena oknum sok ABRI saja pak memang aku takut ?”
”La iya kasusnya gimana ?”
”Dia mentang – mentang mobil Brimob tak mau kabinnya di periksa. Ya kubiarkan
saja. Pintu nggak bakal kubuka kan. Terus lapor ke Pos Satu. Pak Jun turun tangan, toh pak
Jun yang buka pintu, masa bodoh.”
”Pak Junaedi marah ?’
”Enggak cuma nasehati saja agar hati-hati dan bijaksana.”
”Katanya oknum itu mengancam Ade mau di tembak !!”
”Saya ndak tau mungkin ngomongnya didepan pak Jun ? kalau saya dengar langsung
kulaporkan ke atasanya ,mengapa takut ?’
157

”Ooo begitu, boleh jadi itulah pertimbangan Ka Stap mas Ade di pindah. Oke aku
sudah paham kita makan ya !!!”
”Makan dimana pak, disekitar sini kan tak ada warung ?’
”Ya di kantin biasa nasi rantang !!’ kata pak Dar menutup dialog. Malam itu kami
berdua makan di kantin sambil makan aku tanya beliau ;
”Kita disini takada jadwal olah raga pak ?”
”Ada selepas dinas, tapi anak disini jarang yang ikut.’
”Bus olah raga mampir disini ?”
”Kalau Volly kan di Monas situ.”
”Kalau kita pas piket, gimana ?”
”Ya tak bisa kan tak boleh meninggalkan pos jaga !!”
”Kalau di pos pabrik kok bisa ?”
”Disana anggotanya kan banyak, disini kan cuma lima orang saja !!”
”Terus kalau begitu hak olah raganya hilang dong ?”
”Ya begitu, tapi jika pas kepala jaganya saya bisa di atur .”
”Yaitulah salah satu yang membuatku merasa terisolir !!”
”Sabar saja mas,” kata pak dar akhirnya.
Atas nasehat pak Dar aku bisa mengerti. Karena beliaulah akhirnya aku sadar bahwa
selama ini sikapku terlalu agresif kurang bijaksana dan cepat bertindak tanpa pikir panjang.
Dan kepada beliau pulalah aku selalu curhat jika ada hal-hal yang perlu ku utarakan beliau
selalu siap melayani selama situasi dan kondisi memungkinkan.
Sebulan sudah aku dinas di Kantor Besar. Aku sudah bisa menyesuaikan diri atas
bimbingan pak Dar. Tak seperti di pabrik dulu tugasku selalu dalam kondisi merasa di uji dan
di hantui perasaan was-was.
Selama tugas jaga di depan Istana Negara, sekali sekali aku menyaksikan upacara
penurunan bendera di halaman istana jika menjelang senja. Rasa tergiurku masih belum pupus
saat Paspampers dengan sigab dan gagah mengawal dan mengamankan istana Kepresidenan
yang sakral itu. Tapi apa boleh buat usianku telah kedalu warso untuk masuk ABRI.
Sementara aku tenang, tak mikir tentang dinas terlalu serius seperti dulu. Olahraga,
Volly sekali-sekali jika dinas pagi atau malam tetap kujalani. Kalau uang saku tetap seperti dulu,
Rp. 500 seminggu cukup memadai.
Dalam situasi itu aku mencoba menata perasa’an mengirim kabar ke biyung di
kampung. Hanya itu karena binggung siapa yang harus kukabari tentang keadaanku, mbak Har,
kehilangan jejak ? Ibu Pokoh sementara ini terasa hambar. Bu Alit tak tau dimana alamatnya,
begitu pula mbah putr, tak kulupakan jasa beliau..
Duh ... kok ternyata aku banyak kehilangan orang – orang yang ku hormati tinggal
pakde Rudi di Maliku. Surat saya belum dibalas bisa jadi beliau MPP. Kutanyakan ke Komwil
mas Gi bilang belum. Sementara ini, hanya pak Dar yang kucurhati khususnya tentang
hubungannya dengan dik Pur. Kata pak Dar beda akidah tak apa asal, yang non muslim pihak
perempuan, bisa dimualafkan.
Mas Not ? Abangku yang satu ini akhir-akhir ini telah disibukkan sebagai kepala rumah
tangga. Kasino adik sepupu yang dulu satu mess, setelah aku tak ada di mess lagi dia juga
pindah. Alhamdulillah malah dia dapat pekerjaan di Pertamina tapi di Riau.
Hari itu aku dinas pagi hingga pukul dua sore. Seperti biasa terlambat satu jam, karena
sebagai asisten kepala regu, aku membuat lapaoran di buku mutasi. Sedianya mau ikut Volly
sekalian dilapangan Monas seperti biasanya, tapi harus pulang dulu karena pakaian olah raga
ketinggalan dirumah kost.
Seperti biasanya walaupun di kantor sudah makan, aku selalu mencicipi masakan
dirumah bu Marti. Tetapi diluar kebiasaan dik Tati tak menemani atau melayani di meja
makan. Dia keluar dari kamarnya dengan wajah dingin.
158

Di atas serbet, kulihat ada surat. Kuamati tanggalnya di stempel pos, masih baru berarti
bukan surat yang dulu. Kutanya dik Tati ;
”Kapan surat ini datang dik, siapa yang bawa ?’
”Ndak tau dibawa ibu dari kantor!!” jawabnya sambil lalu
”Aku nggak makan dik, buru-buru nunggu bis jemputan.”
”Masakannya tak enak kan, tak seperti masakan putri Solo ?”
Jawaban itu membuatku berpikir, surat dari dik Pur inilah mungkin yang jadi gara-gara.
Dengan membawa surat berstempel Wonogiri itu, kutinggalkan ruang makan. Terus masuk ke
kamar kosku di sebelah rumah ibu angkatku itu. Surat tak kubaca dulu.
Setelah memakai sepatu olah raga aku buru-buru menuju jalan dimana bus jemputan
biasa menunggu. Didalam bus olah raga kulihat teman-temanku kusalami semua seperti biasa.
Disaat duduk aku merenung memikirkan suasana ruang makan sore itu yang berubah
kelam. Dilapangan volly pun aku tak semangat seperti biasa. Berusaha kulupakankata – kata
sindirana ”Putri Solo” yang di ucapkan dik Tati.
Usai main volly aku pulang di antar bus kantor turun dari bus menjelang masuk kamar
kost, aku heran sejenak. Karena lampu kamar kost pun belum menyala. Habis shalat mahgrib
aku belum tertarik untuk segera membaca surat dari dik Pur pikirku toh sudah tertebak isi
suratnya ??”
Makan malam bersama abah ayah dik Tati seperti tak ada masalah. Bisa jadi abah
belum tau pikirku atau abah sudah tau tapi sebodo amat. Karena selama ini abah tak banyak
bicara kalau tak penting sekali. Tertolong ada si Untung adik bungsuku itu yang selama ini
sangat dekat denganku. Baik bermain ataupun belajar mengenali huruf ABC sampai hafal. Juga
sekali sekali kuajak ke Monas karena hanya saya yang sering mengajak dia keluar;
”Mas ini malam Minggu ayo nonton film ke Roxy,” desaknya
”Belum umur tujuh belas kan tak boleh tung !!” jawabku
”Itu si Buyung dan anaknya pak Fadly sering nonton kok.”
”Dia kan belum bisa membaca?” jawabku berdalih. Abah tersenyum mendengar
candaku dengan si bungsu itu.
”Kak Tati sudah bolehkan nonton.”
”Kalau kak Tati sudah kalau dia mau.’
”Katanya tak ada temannya, temani saja mas kasihan kan !!”
”Kak Tati mana, kan tidak ada ??”
”Tadi keluar dengan mama’ ke rumah bu Very,” kata Untung.
Rencananya habis makan, mau membuka surat dari putri Solo itu. Tapi karena Untung
terus mengikutiku acara membaca gagal. Pukul sembilan ngobrol dengan Untung selesai.
Sebetulnya Untung ingin malam itu tidur denganku. Tapi tiba- tiba dipanggil ;
”Tung, pulang dah malam, tidur!!” panggil Tati.
”Sebentar kak, ini kan malam Minggu!!” jawab Untung
”Di tunggu mama’, hayo cepat .”
Kalau yang memanggil mamanya’ dia tak bisa melawan, dia pulang ke rumahnya
”Pulang mas, aku dipanggil mama,’ pamitnya
”Besok pagi saja ikut saya, nonton film Anak-Anak oke !!”
”Mau –mau benar ya !!” kata Untung senang sambil lari pulang.
Sepulang adik bungsuku itu, rasanya lega. Terus kukunci kamarku. Setelah cuci dan
gosok gigi kuraih surat bergaris merah biru di pinggirnya itu. Kubaca sekali lagi alamatnya.
”Kok beralamat mbak Yun di Tangsi Komres?” Hatiku tambah berdebar penasaran kucermati
amplopnya, duga’anku tak mleset telah dibaca seseorang. Pelan-pelan kubuka pinggiran
amplopnya. Kubaca dalam hati, tanpa kata pembukaan.

Wonogiri ..... September 1969


159

Mas, aku tulis surat ini dirumah mbak Yun teman ku di SMP, sehari setelah acara
perpisahan teman sekelas, sekarang ibu tau hubungan kita. Ibu marah besar surat-surat dari
mas disita terus dibakar. Isi klaciku diobrak-abrik ... termasuk foto mas Ade entah di mana.

Maka jika mas Luk membalas surat ini jangan di alamatkan rumah pakai alamat ini
saja dan selanjutnya tolong selamatkan adikmu mas agar aku bebas dari cengkeraman
“Rahwana” itu. Adik tak berdaya mas .....andaikan mas Ade disampingku....... nangis
sendirian dikamar mbak Yun...tegakah mas. Aku kehilangan bapak..... selama ini, aku tabah.
Seandainya aku...akan nyusul panjenengan ? tapi ....apa dayaku...mas...aku tak mampu menulis
lagi mas.

Taurus

Selesai membaca aku ingat Satino teman dekatku. Dia pernah memberi kabar setelah
pulang kampung sebulan yang lalu bahwa dik Pur bulan September ini tunangan dengan
anggota Auri.
Setelah kabar itu aku menyurati dik Pur menanyakan bulan September ada acara apa ?
tapi sampai surat ini belum ada jawaban suratku itu. Mungkin ini jawaban suratku bulan yang
lalu.
Kubaca berulang –ulang surat yang penuh air mata itu. Seandainya saja dia didekatku
pasti kuseka air mata dipipinya....mengapa ibu sekejam itu ? Apa alasan ibu tak minta pendapat
aku..... Duh bu.....mengapa malah surat dik Pur harus disensor? Mestinya malah ibu ingat,
bahwa dulu ibu bilang aku satu-satunya anak laki-laki yang harus mengganti peran bapak. Apa
ibu lupa? Atau ibu takut ????”
Setelah aku diam sejenak, kuraih pulpen di mejaku. Ingin menulis kepada ibu seperti
yang kupikirkan tadi. Tapi kuurungkan. Aku sadar bahwa aku hanya anak angkat, yang dulu
ngenger ibu, untuk bisa lulus SMP. Kuwajibanku hanya momong anak-anaknya bukan ikut
ngatur apalagi aku bukan orang yang bisa diharapkan sebagai pilihan calon menantu ibu. Aku
bukan anak ”piyayi.”
Seandainya aku menjadi Perwira AL sebagai mana yang pernah ibu ucapkan saat naik
kereta api ke Baturetno dulu, pasti ibu tidak bersikap seperti ini. Mungkin juga ibu menyangka
bahwa aku sudah digadang –gadang menjadi calon menantu ibu Marti. Sehingga ibu putus
harapan atau juga karena aku hanya biyungku yang orang desa itu ?
Kurenungkan lagi. Mengapa dik Pur sejauh itu harapannya kepadaku. Betulkan itu
keluar dari hatinya yang murni ? dia kan masih umur lima belas tahun? Tapi kupikir
mengandung kebenaran. Karena saat aku makan sisa bakmi dan sekepal nasi putih sepulang
besik ibu, dik Pur mengambilkan air minumku. Menemani aku selagi aku makan. Kulihat
mememainkan jarinya untuk membantuku memilah lombok agar tak termakan olehku. Ketika
itu dia tampak damai dan telah menunjukkan kesetiannya padaku.
Dan setiap di marahi ibu selalu aku yang dilapori. Baik ketemu di Solo ataupun saat
aku melihat nilai rapotnya. Apakah seperti pepatah yang sering kudengar, ”Witing tresno
jalaran saka kulino.”
Hampir empat jam malam itu kuhabiskan untuk melamun sendiri. Jam tanganku
menunjukkan pukul dua malam. Kutinggalkan surat dik Pur sendirian di meja baca. Saat di
kamar mandi menggosok gigi pun terbayang wajah merana adikku. Seandainya waktu itu aku
sudah bisa shalat tahajud mungkin aku wudu terus shalat. Memohon agar penderitaan adikku
dan kegundahanku mendapat pertolongan Allah.
160

Waktu itu aku belum disiplin menjalankan ibadah sebagaimana mestinya.shalat pun
belum kulakukan lima waktu secara tertib. Hanya seenakku kapan aku ingat dan waktu yang
baik, kecuali shalat Jumat, dan Maghrib. Dsn jika aku menghadapi kesusahan. Tapi subuh
malam itu aku shalat di musholla dekat messku dulu secara khusuk.
Usai shalat kubaca lagi surat yang hanya beberapa kalimat itu. Terus kulipat,
kumasukkan ke amplop yang beralamat khusus iru. Bukan Jatirejo Pokoh. Tak berpikir
menyimpan surat itu di laci almari kubiarkan saja tergeletak di dekat foto ”Gambir Anom.”
Mulai pagi itu aku tak mau dimanja oleh pelayananan istiwewa seperti biasanya.
Kurapikan tempat tidurku seperti ajaran mbok Nah di Tanah Abang III dulu. Setelah semua
beres, baru aku mandi. Dikamar mandi pun aku tak nyanyi ”Teluk Bayur” seperti Ermi Johan
lagi, juga tak akan kudendangkan lagu kroncong Putri Solo. takut situasi di rumah sebelah
runyam.
Seusai mandi didepan pintu kudengar Untung kecil itu teriak-teriak ;
”Mas – Mas, jadi nonton nggak? Hayoo!!”
”Sabar tung, baru ganti baju tunggu dulu diluar !!”
”Kak Tati diajak nggak ?”
”Ajak saja kalau kak Tati mau !!”
Dia menjauh dari pintu kamarku, tapi dari rumahnya kudengar mengajak kakaknya.
”Kak Tati mau nonton film ke Roxy, diajak mas kok ?”
”Sudah sono nonton sama mas mu, kak Tati baru malas ,” jawab bu Marti
”Ya sudah kalau gitu !!”
Setelah kami berdua siap, sebagai basa basi kutanya dik Tati tapi seperti apa yang
dikatakan ibu tadi, dia bilang ; ”malas ah.” Akhirnya aku pamit ibu Marti membawa Untung ;
”Bu Ade ngajak nonton Untung !!”
”Hee... jangan sampai sore tung,” jawab ibu Marti
Untung yang belum tau suasana kebatianan kami ceria sebagaimana biasanya. Dia anak
cerdas tapi terkungkung oleh pagar dan peraturan. Tak bergaul dan bermain layaknya anak
seumurannya. Komunikasinya selain abah, hanya aku andalannya. Banyak yang kudidikkan ke
dia. Kuajak kemana pun pergi kecuali malam .
Sering pula ku ajak ke Tempat Taman hiburan anak - anak di Jakarta, Taman Ria,
melihat upacara bendera di Istana, bahkan gaya bicara pun mengikuti saya. Tak pikir dia takut
ABRI, tapi setelah kubawa ke Asrama mas Not, dia malah memainkan baret mas Not. Setelah
itu aku membatasi, khawatir jika ibunya tak berkenan.
Siang itu seusai nonto rencananya kami langsung pulang namun dik Untung mengajak
jalan-jalan ;
”Mas yuk kita ke sana ?”
”Mama,’ tadi bilang apa ? tak boleh pulang sore kan !!”
”Oh iya pulang saja ya ...!!”
”Kami terus pulang, habis makan aku tidur usai shalat ashar di mudhola, pulanya
dicegat tante Fery tetangga dekat dan sahabat bu Marti yang dselama ini akrab sekali ;
”Mas ibu mau bicara sebentar boleh kan ?tanyak tantre Fery
”Boleh ..... kenapa tidak. Tapi aku begini saja ?” jawabku
”Hayo masuk sudah tak buatkan kopi kok !!”
”Sepertinya penting banget tante ?”
”Mas Ade, bolehkan tante bertanya, tapi maaf ya ini soal pribadi tapi penting, untuk
mas Ade. Apa mas Ade sudah punya pacar di Solo wajarkan anak muda punya pacar?”
”Ah tante bikin kaget saja sebetulnya maksud pertanyaan tante apa sih ? kok tiba – tiba
banget, tante menanyakan hal pacar segala.”
161

”Yaa kepingin tau saja, Mas Ade tampan, punya pekerjaan di Unilever lagi. Kalau
belum punya pacar di Solo. Tante juga mau, punya menantu Ade tau maksudnya? Ini serius
mas, maka ibu panggil secara khusus.”
”Tante bercanda kan !!”
”Mas Ade, tante tau perasaanmu, maka tak usah tegang yuk bicara santai saja tapi yang
tulus, mau kan? Saya cuma ingin tau yang sebenarnya, agar diantara kita tak timbul kekeliruan,
walaupun mungkin pahit, tapi keadanya jelas, tau maksudku.”
”Begini tan, sebetulnya dan sejujurnya andaikan aku boleh mengatakan wanita yang
kusayangi dan kuhormati adalah mbak Retno Harjuti. Tapi dia sepupuku sendiri dan sekarang
entah dimana itupun aku terlambat mengatakan karena diadat Jawa saudara atau famili tak
boleh dijodohkan, namun setelah mbak Har tak tau dimana, aku baru tau bahwa dia bukan
sepupuku. Maka kukatakan terlambat, itu yang sebenarnya. Lain hal nya yang kirim surat itu
adalah adik angkatku, karena ibunya mengangkat Ade sebagai anak laki – laki dan satu –
satunya, karena beliau kepingin punya anak laki –laki mungkin aku pilihannya itu saja bu !!!”
”Karena tak lama lagi Magrib, untuk diketahui saja apa mas Ade tau atau merasakan
bahwa bu Marti kepingin menjodohkan putri pertama mbak Siti Hiarti dengan Ade?”
”Ya Allah tan, saya sebagai perantau yang merasa ditolong ibu Marti dan selama ini aku
dekat dan sudah familiar dengan keluarga itu terutama dik Untung. Tak mungkin aku berani
mengatakan tapi gosip sudah sering kudengar. Dia punya anak perempuan dewasa, tak dapat
dibantah gosip itu, tapi ?”
”Mas Ade, tak mungkin mas pihak perempuan yang ngomomg dulu, apa kata orang?
Tapi andai mas dicalonkan dengan mbak Siti gimana mas aku yang membicarakan biar cepat
jelas dari pada ...?”
”Tante Very, maaf adzan Magrib maaf ya belum bisa mengatakan sekarang
Assalamualaikum ..!!!”
Aku cepat - cepat ke musholla sebagaimana biasa, masa Allah shalatku tak khusuk,
pulang ke rumah pun malas. Pikiranku kacau mikirin dik Ning, ingat mbak Har ingat tante
Fery. Setelah pembicaraanku dengan tante Fery, jiwaku goyang, imanku labil, dikantor pun
sering melamun. Mulai hari peristiwa itu rasanya malas pulang, karena kamar kosku dirumah
bu Yati lurah tanah sereal dekat dengan rumah bu Marti.
Selama ini jatah berasku 40 kg dari kantor kuserahkan bu Marti demikian juga
pembagian yang lain kecuali sabun mandi dan pasta gigi, kebutuhan sehari–hari. Alhamdulillah
gajiku pun kuserahkan beliau kecuali uang saku tak pernah kosong selalu cukup.
Untuk menghilangkan rasa galauku, Volly Ball di Monas dekat kantorku, sering
kulakukan. Lama – lama aku tak loyal ke dinasku. Apalagi saat kumpul volly Ball dengan
teman teman Akademi Hukum Militer ( AHM). Rasanya aku menjadi bagian dengan mereka.
Setiap senja, melihat upacara penurunan bendera di halaman istana pikirku betapa
bangga kalau aku jadi Paswalpres. Atau dipasukan komando kaya mas Not atau om Bintoro.
Ingat itu, ingat mbak Harjuti. Dikantor tempatku jaga aku dianggab sering disersi. Maka saat
aku dipanggil kepala staf, aku sudah siap dipecat.
Semestinya aku diharap menghadap hari Rabu, tapi Selasa pagi aku sudah memenuhi
pangilan Ka Staf pak Sudjadi di ruang kantor beliau, saya di intrograsi :

”Nak Ade, aku panggil nak saja, karena Pakde mu itu seperti saudaraku sendiri. Oh ya
selama beliau di Maluku nak Ade pernah ketemu apa kabar beliau.”
”Belum pernah pak.”
”Bagaimana selama nak Ade, di mutasi ke kantor besar.”
”Dari segi tugas enak disana pak, tapi kalau tugas malam sepi. Untungnya depan kantor
terang benderang dan tak pernah sepi.”
”Tadi bilang sepi, tapi tak pernah sepi, sekarang ?”
162

”Yang tak pernah sepi tetangga kantor istana merdeka itu tapi dikantor hanya lima
orang tiga pos.”
”Kabarnya kalau di kantor besar giliran sore nak Ade sering bolos main volly di Monas
betulkan itu ???”
”Ya pak menghilangkan jenuh dan menyalurkan hobby saJa.”
”Sadar bahwa perbuatan Ade melangar disiplin ?”
”Bahkan saya sadar terlalu disiplin juga disalahkan. Maka saya di mutasi ke kantor
besar.”
”Oh Ade merasa begitu itukan mu9tasi biasa setiap anggota security UI bukan hanya
Ade contohnya pak Darmawan dulu juga disini! Lantas mau Ade apa?”
”Kalau perasaan saya pak. Saya dikucilkan karena disini dinilai sering melawan arus.
Kepada senior sering dianggab membangkang contoh kasus truck Brimob itu.”
”Sebetulnya Ade tak cocok sebagi seceruty, cocoknya sebagai anggota ABRI, karena
disini cuma semi displin, sedang mas Ade disiplin tak bisa ditawar. Aku kagum dengan mas
Ade ibarat buah tak jauh dari pohonnya pakdemu pak Rudi orang idealis banget. Mas Ade tak
jauh berbeda. Umur mas Ade berapa?”
”Dua satu pak Desember tahun ini.”
”Oh Good masih ada kesempatan meniti karir jika Ade mau dan tuhan menridhoi.
Coba pertimbangkan dulu, jangan sungkan anggablah aku pengganti pakdemu.
”Bapak memecat sayakan, bapak jangan ragu. Pak saya tidak mau menjadi beban bapak
betul saya siap. Ini jalan hidup saya. Selama akhir–akhir ini banyak yang saya bebani. Doakan
saya pak, jalan hidup saya benar dan saya merasa belum mampu mengambil keputusan.
Mendengar kata – kata Pak Sudjadi kelihatan berat mungkin beliau dulu mendapat
amanah dari pakde Rudy mungkin. Dan sekarang harus memutuskan, memberhentikan saya.
Akhirnya saya diperhentikan tanpa penjelasan. Dan sudah saya sadari hidupku gelap lagi. Ya
habis terang tertutup gelap. Surat pemberhentian pun tak pernah kulihat dirumah
pondokanku. Betul kata pakde Rudi dulu test masuk gampang, kerjaan mudah, gaji lumayan
tapi godaannya seberta ini.
Malamnya setelah aku dipecat dari Unilever aku gugup lapor bu Marti. Ibu itu tau,
beliau tak mengeluarkan kata–kata dan air mata, tapi kulihat termangu. Pupus juga impian
beliau punya menantu yang disemai dan dipupuk tapi layu dan kering sebelum berbuah .
163

32
WONG BODHO
DADI PANGANE WONG PINTER

M
alam minggu gelap kami rasakan. Ibu Marti tampak tegar, abah biasa – biasa
saja kelihatannya. Tapi dampak dari tamatnya aku di Unilever rupanya beliau
merasakan pula, itu pasti.
Aku kehilangan segalanya seperti kapal kehilangan kompas, tak jelas mau berlabuh
dimana. Teman-temanku di mess pasti mengetahui suara miring tentunya viral. Sementara
kulupakan dik Pur, ibu dan semuanya. Berhari-hari hatiku binggung sendiri.
Dirumah gelisah pergi pun tanpa arah kerumah teman dan sahabat pun aku tersenyum
kecut. Aku binggung mau mulai dari mana. Yang jelas dari nol lagi, tapi kapan mulainya?
Alhamdulillah bu Marti ternyata berhati mulia. Berusaha membangkitkan aku dari
awal lagi. Beliau menyusun rencana tapi hanya beliau yang tau, aku berusaha mengikuti
petunjuknya seperti setaun yang lalu.
Rupanya, diam –diam abah selalu mendukung langkah ibu. Mungkin dalam pemikiran,
ibu mearsa kepalang basah. Yang dulu hanya menuntun dan memfasilitasi aku, sekarang segala
upaya diusahakan agar aku bangkit lagi.
Aku di ajak ke Psikolog tradisional di Banten tempat kelahiran Abah. Dan hasilnya,
kata orang pintar tersebut, saya memiliki kepribadian yang keras jika urusan dinas. ”Namun
jika masalah pribadi nggak tegaan,” kata mang Encum.
Bulan September 1967 aku mulai dari nol lagi. Kumulai dari kursus menjahit di
Yayasan Sri Wisnu Tailor. Penjahit terkenal di jaman itu. Karena aku serius, tak sampai dua
bulan aku dinyatakan lulus, dengan sertifikat C3. Karena telah dapat membuat satu stel pakaian
laki-laki. Untuk sertifikat C2 aku harus membuat baju jas. Sebetulnya sudah bisa tapi kaena tak
ada yang pesan jas sertifikat C2 sementara tertunda.
Berkat kegigihan keluyuran tak kenal leleah, aku mendapat kenalan orang Semarang,
mas Heru Suratmo. Ternyata mas Heru masih keluarga dengan mas Warno, karyawan bagian
mesin di Pabrik Plastik dan kakak kandung mas Triyatno personalia PT. Universal.
Mas Heru seorang broker kelas elite, beda dengan om Juned adik pak RT. Susmono,
ngobyeknya sekitar jual beli mobil dan rumah berkantor di pos kamling, didaerah krukut dan
sekitarnya. Sedangkan mas Heru ngobyeknya antar kantor ke kantor maka sebutannya Broker
atau Pialang. Sedang om Juned hanya dimaknai Calo. Tapi saat ditanya ngakunya bekerja di
biro ”Komosioner” di Krukut itu.
Dari pergaulan ku dengar dua tokoh itulah aku keluyuran di seantero rumah gedung
dan kantor–kantor pemerintah ataupun swasta dengan modal Sim A, sehingga dengan mas
Heru aku dianggab asistennya. Padahal cuma sebagai sopir tanpa gaji kecuali ditraktir makan
dan sekedar uang trasport. Lama-lama bosan dan malu sendiri karena setiap ketemu teman,
164

aku mengaku berkerja dikantor pialang atau di Biro Komisioner namun demikian aku dapat
pengalaman.
Tak disangka aku ketemu kenalan lamaku Sutiman yang dulu jadi Tapol di Waduk
Jarak saat aku PKL di Proyek Waduk di Batuwarno itu. Semula aku ingin ikut kerja
dibangunan dengannya tapi karena dianggab aku anak sekolahan diketemukan lah aku dengan
pengawasnya. Mas Toto nama lengkap Hartoto.
”Mas Toto, Ade dulu juga PKL di Waduk Jarak,” kata Sutiman
”Oh ya kenalkan Hartoto,” kata mas Toto ramah.
”Mas Ade ini mau ikut kerja di proyek ini mas,” kata Sutiman
”Pernah kerja bangunan sebelum ini ?” tanya mas Toto kepadaku
”Di pabrik plastik mas dan terakhir di Unilever.”
”Di proyek bangunan apa ?”
”Belum pernah mas, kecuali PKL saja di Wonogiri dulu.”
”Kata kang Sutiman dulu juga PKL di Jarak kok tak pernah ketemu ?”
”Mas Toto katanya bersama tiga orang dikaki gunung ?”
”Oh ya benar, lha panjenangan ?”
”Aku di bagian Talud dan gudang mas, hampir tiga bulan kok.”
Akhirnya oleh mas Toto karena nggak tega, aku disuruh mensuplay kayu Kalimantan
dan material lain kecuali besi dan semen. Kulihat di Pelabuhan Pasar Ikan banyak pedagang
kayu dari Makasar. Harga relatif lebih murah daripada di toko bangunan. Pasir aku mencegat
orang-orang Batak di Grogol. Dari dua jenis matrerial itulah aku dapat keuntungan sepuluh
sampai lima belas persen.
Selanjutnya aku disuruh memborong upah, kerja sama dengan kang Sutiman.
Sebetulnya aku belum berani, tapi karena mas Toto mau membantu dan Sukiman setuju, dari
pada nganggur saran mas Toto ku sanggupi sambil mencari pengalaman.
”Soal modal mas, aku cuna modal dengkul,” tanyaku
”Rasanya tak masalah setiap minggu kan dibayar. Yang penting untuk uang makan
sehari-hari saja. Insya Allah bisa diatur,” kata mas Toto.
Dari bimbingan mas Toto lah aku mulai semangat lagi. Yang kuherani, mengapa
belum lama kenal kok mas Toto sebesar itu kepercayaannya kepada ku ? Kenapa tak langsung
saja ke kang Sutiman ?
”Bu Nani mas, yang mau begitu ?” kata Sutiman.
”Kenapa kok kang Sutiman tak disuruh memborong ?”
”Saya tak seberani sampean, lagipula aku kan tak lulus PBH?”
”Bu Nani kan juga belum tau siapa sebenarnya aku kang?”
”Saya yang bilang , yang cocok mas Ade, kalau mas Ade mau ?”
”Alasanmu ?”
”Aku bilang, mas Ade anak sekolahan, punya Sim A dan ulet !”
”Oooo begitu, tapi aku kan tak bisa nongkrong terus seharian ?”
”Kan ada mas Toto, dia kan sudah bilang sendiri, mau bantu kan ?”
”Ok Kalau begitu saya mau, tapi aku kepingin kenalan dengan mas Haryono,” kataku
”Kalau begitu dengan mas Toto saja !!”
Ir. Haryono seorang Pegawai Dirjen Tekstil ternyata beliau pemilik CV. Sapta Sinar
Surya, tapi Direktrsinya bu Nani istri beliau sendiri.
Saat perkenalan itulah beliau mengajak aku berbincang-bincang di kantor proyek.
Ternyata beliau orang Baturetno juga alunmi STM Banjarsari Solo.
”Mas Ade dari Wonogiri ya?”
”Iya pak satu tiwul dengan kang Sutiman,” jawabku setengah bergurau.
”STM nya Wonogiri ?”
165

”Oh bukan pak, Wonogiri kan belum ada STM?”


”Di Solo, sama –sama dengan mas Toto dong?”
”Dia plat merah pak, kalau saya kan plat hitam !” jawab mas Toto
”Maksudnya anak pejabat ?’ tanya pak Har
”Saya kan di ”Ganesa” mas, kalau mas Ade negeri,” jawab mas Toto.
”Kenapa jadi Leveransir ?’
”Ya sementara saja pak, candak kulak lah ,” jawabku
”Dengar ada yang mau jual tanah, untuk perumahan mas ?”
”Berapa hektar pak, mau didaerah mana ?” tanyaku
”Nah kalau soal itu cocok pak dengan mas Ade ?” kata mas Toto.
”Ya paling sekidit tiga hektarlah sampai empat boleh.”
Mendengar kata tiga sampai empat hektar, aku ingat obrolan abah dengan H. Toha.
Maka sampai dirumah kost, kutanyakan ke abah tentang tanah yang pernah diobrolkan itu ;
”Bah tempo hari abah ngobrol tanah empat hektar dimana?”
”Itukan tanah ibu yang di Cisauk, kenapa ? tanya abah.
”Bos ku bah, kantornya mau beli tanah untuk perumaham!!”
”Kalau itu tanyakan H. Toha, Calo Palmerah itu ?” jawab abah
”Dimana rumah H. Toha ?”
”Dipasar Hober saja. Dia kan tukang sayur disitu !!”
Mendengar kata abah, semangatku membuncah, rasanya ingin cepat-cepat pagi, agar
segera ketemu H. Toha. Dan paginya sambil ngantar Untung sekolah, aku dikenalkan H.
Toha dipasar Gg. Hober. Sorenya tanah di Palmerah seluas tiga setengah hektar lebih kulihat
bersertifikat HGB a/n WNA Cina ;
”Kok mau dijual itu kan bagus ? Sudah ada pabriknya lagi,” tanyaku ke H. Toha
”Disini cocok untuk pemukiman, Taoke itu rencananya mau buat perluasan pabrik
tekstil yang ada, tapi Gubernur sekarang melarang ada pabrik di kawasan ini.”
”Terus pabrik yang ada ?”
”Ya mau dipindah. Makanya mau di jual semua ?”
Aku tak sabar rasanya kepingin cepat-cepat melapor ke mas Haryono. Setelah ketemu
di rumah beliau. Cocoklah daerahnya. Pulang dari kantor, mas Har mencari saya untuk
melihat tanahnya bersama tim ke lokasi tanah yang ku tawarkan.
Minggu berikutnya diadakan pertemuan terbatas antara pemilik tanah dengan tim
Dirjen Tekstil. Tinggal harganya. Taoke pemilik tanah mematok harga Rp.1000 per M2
sedangkan harga anggaran kantor Dirjen Tekstil Rp.2.000 per M2.
Setelah itu kami Calo Palmerah dan Panitia Dirjen Tekstil membuat kesepakatan, agar
cepat di proses ditutup harga Rp. 1800,- per M2 dengan catatan, kelebihan harga dari Taoke,
dianggab sebagai komisi kami 3 orang. Panitia lima masing – masing Rp. 100,- per orang
permeter, demikian pula kami bertiga mendapat komisi yang sama.
Karena dari Taoke kami bertiga masih dapat komisi Rp. 50,-/M2 rencana dibagi tiga.
Setelah di potong biaya traspot dll. Dan dalam proses pengadaan tanah sampai selesai.
Tapi dua Calo Palmerah tak mau keluar duit, akulah yang harus memodali dan akan
diganti setelah semua beres. Kuhitung–hitung jika dalam satu bulan ini selesai. Aku dapat
komisi 36.000,- kali Rp. 100,- bersihnya Rp. 3.600.000,- per orang Calo..
Kusampaikan ke abah agar dapat dukungan modal akhirnya ibu Marti lah mau nalangi ;
”Tapi ibu juga dibagi lho komisinya !!” kata bu Marti.
”Insya Allah bu, asal berhasil buat kita semua,” jawabku
”Abah juga kan bah sebagai uang dengar ?” gurauku.
Abah tak menjawab karena beliau type orang yang tak suka ribut – ribut dulu.
”Kok banyak betul ta mas, sampai Rp. 30.000,- “ kata ibu
166

”Hitung – hitung bu, jika prosesnya tiga puluh hari, jika kesana kesini sehari Rp. 1000
kan segitu. Lagian nanti kan kembali, jika semua sudah dibayar!!” jawabku optimis
Atas kesanggupan ibu jam Zeiko tak jadi digadaikan. Rasanya hari itu suasana
kebatinanku bersinar lagi. Harap-harap cemas menerima bersih Rp. 3.600.000,-
Proses selanjutnya mas Haryono, urusan ke Dirjen Tekstil. Aku dan bang Nasir dengan
Taoke itu. Klimaksnya sepakat penanda tanganan Akte Jual Beli di Notaris yang ditunjuk
Dirjen Tekstil di Kebayoran Baru. Semua berjalan sebagaimana mestinya tinggal nunggu hari
tanda tangan Akte. Sebelum ditanda tangani kedua belah pihak, Notaris membacakan Akte
Jual Beli. Semua pihak mendengar dengan seksama. Aku ikut mendengar saja, dekat dengan
mas Haryono. Taoke dengan cermat mendengar kata demi kata yang dibacakan Notaris senior
itu.
Pembeli diwakili Dirjennya sendiri Drs. Muladi, sedangkan penjual oleh Taoke pemilik
pabrik batik itu. Saat Notaris menyodorkan Akte untuk di tanda tangani oleh yang
berkompeten Taoke itu tiba – tiba membuat kaget yang hadir ;
”Aku belum telima pembayalan kenapa tanda tangan ?” kata Taoke tahjuitnya cadel itu.
Sejenak kulihat orang- orang yang berada di meja itu terdiam. Dengan tenang pak
Dirjen memberi penjelasan bahwa kantor Kas Bendahara Negara (KBN) belum bisa
membayar, jika Akte Jual Beli ini belum ditanda tangani semua pihak.
”Begini pak!!” kata Notaris PPAT itu. ”Proses pembayarannya melalui KBN. Nanti
Taoke mendapat Giro dari KBN. Nah Giro dari KBN itu langsung saja setorkan ke rekening
Giro Taoke, “ kata Notaris itu.
”Tempo hali tak gitu, ketika beli tamah ini juga,” kata Taoke.
”Dulu Taoke membeli dari siapa ?’ tanya pak Dirjen
”Dali pemilik tanah olang Palmerah situ !!”
”Ooo begini Taoke, jika yang membeli pemerintah tak begitu prosedurnya !”
”Telus gimana ?”
”Yang membayar ya pemerintah yaitu kantor KBN ?” jawah Dirjen
”Dijual kepada Dirjen itu, kenapa yang bayal kok Pemelintah ?”
”Yaitu aturannya,percayalah Pemerintah tak menipu!!”
”Oe pelcaya itu, tapi kenapa yang beli bukan Pemelitah ?”
”Dirjen Tekstil itu juga milik pemerintah perusahaan pemerintah ?”
”Oe masih gak ngelti. Oe kila pabrik Tekstil ?”
”Dirjen Tekstil bagian dari PN sandang. Nah PN sandang itu milik pemerintah. PN Itu
Perusahaan Negara.”
”Kenapa bukan PN sandang yang membeli biar langsung bayal ?”
Pak Mul geleng – geleng kepala, tanda sebel menghadapi Cina ”totok” itu.
”Kalau begitu kita batal saja,” tegas Taoke itu tiaba-tiba.
Huuuu, kantor Notaris kacau. Sementara Akte Jual Beli batal. Panitia galau, aku loyo,
siang itu acara bubar. Entah selanjutnya. Habislah harapanku. Dengan gontai aku menuju
proyek menemui teman – temanku. Rasanya sepanjang jalan orang – orang menyoraki aku.
Gagal total hutangku menumpuk. Aku terpuruk lagi. Diproyek Puskesmas itu ada mas Toto,
kang Sutiman dll. Saat mereka melihatku berwajah kusut, bergegaslah menghampiri ku dengar
beragam komentar dan pertanyaan;
”Bagaimana mas kabarnya, berhasil? Jadi jutawan muda dong.”
”Jutawan muda tahi kucing !!” gerutuku. Taoke sial dangkal, goblok itu gak mau tanda
tangan setelah di Notaris !!”
”Alasanya ?” tanya mas Toto.
”Minta dibayar dulu baru mau tanda tangan itukan gila !!!”
”Selanjutnya ?’ tanya mas Toto lagi.
”Selanjutnya tanya mas Haryono saja pusing aku !!!”
167

Mendengar omongan dan tingkahku tadi Sutiman tetawa terkekeh—kekeh.


”Modal dengkul mas hasilnya tiwul!!” kata Sutiman
”Modal dengkulmu itu, utangku sak ambrek man, sapi sitok amblas !!”
Mas Toto berusaha meredam emosiku, dengan suara bijak ;
”Sudah lah. Usaha yang riel saja. Ijazahmu diurus untuk memperkuat personil CV.
”Malas mas tak ada ongkos untuk pulang !!”
”Nanti biar dipinjami bu Nani, saya yang ngomong, beliau respek ke mas Ade kok.”
”Utangku sak kelurahan mas, tak usah ”ora duwe ijasah ora pateken”. Lagi pula malu
ke Solo sementara ini. Ibu Alit ku pun mungkin sakit hati !!”
”Ya sudah, sebagai teman aku cuma menyarankan, sebetulnya sampean cerdas !!”
”Terima kasih mas, aku mau mempertanggung jawabkan ke bu Marti, setelah proyek
ini selesai. Itu saja. Oke mas mudah-mudahan Cina tua itu berubah pikirannya.”
Beberapa hari setelah dari Notaris, aku sudah mulai mikir bosan rasanya ngobyek
semacam itu, maka kutemui abah juga bu Marti. Kuceritakan kegagalanku sementara ini;
”Terus uang ibu habis mas !!” tanya ibu. penasaran
”Kuserahkan abah bu sebagian, yang sudah kubawa ya habis.’
”Kok di kasih abah, urusannya kan sama ibu ?”
”Takut habis bu kalau ku ambil semua, aku pakai seperlunya saja.”
”Jadi sekarang masih berapa ?” Maka mas usaha juga harus berdoa, sekarang ibu lihat
jarang shalat kenapa mas ? Contoh abahmu itu !!”
Aku tak bisa berkelit diam campur malu. Abah termangu, aku sudah tak mampu lagi
menghitung berapa jumlah uatangku kepada bu Marti. Semua diam, waktu sudah malam. Aku
pamit ke tempat kost ku kepada abah. Abah pun tak menjawab.
Di proyek pun setiap hari tak ada kabar urusan tanah lagi. Demikian mas Haryono tak
pernah menyinggung paling – paling soal tender dan proyek yang kami kerjakan dengan
Sutiman. Sebetulnya aku tak begitu serius bekerja di proyek kecuali nyuplai kayu dan bantu –
bantu saja. Sehabis peristiwa dinotaris itu aku masih sering disindir kang Sutiman ;
’Wong bodho dadi pangane wong pinter mas .”
”Siapa yang bodho? Jelek – jelek gini alumi Waduk Jarak kang !!” mendengar jawabku
agak sengit. Kang Sutiman berdalih
”Ya Taoke Cina itu, siapa lagi ?’
”Bukannya malah yang pinter Cina cadel itu ?”
”Ngomong R saja belum bisa, kok pinter ?”
Memang pepatah Jawa yang diucapkan Sutimanitu sering kudengar. Tapi rasanya
Taoke itu tak bodoh juga. Kenapa sebelumnya pihak Panitia Dirjen Tekstil tak memberi tau.
Jika pembayaran begitu ?
Aku ngalamun. Seandainya aku punya uang Rp. 36.000. 000,- kubeli saja tanah Taoke
itu. Terus ku jual ke Dirjen Tekstil, dalam satu bulan aku dapat keuntungan 50 % bersih. Gila
terus berapa kambing yang harus ku jual ? ”Wong Bodho Dadi Pangane Wong Pinter” ? tapi
kalau nggak kaya ?

................................................................oooo....................................................................
168

33
AMARAH CALO PALMERAH

B
eberapa bulan kemudian abah memanggil saya, sepertinya penting ;
”Mas ada salam dari H. Toha,”’ kata abah
”Waalaikum salam, abah ketemu dimana?”
”Biasa dipasar, mas disuruh nemui dia di Palmerah!”
”Kapok bah, jadi Calo tanah, banyak susahnya dia sih tenang tak dirugikan !”
”Barang kali saja Taoke berubah pikiran, datangi saja, Allah tak suka orang putus asa !!”
”Urusan bambu saja belum jelas, jeblok juga kayanya.”
”Itu bukan urusan abah, yang penting amanah sudah kusampaikan lho !!”
Karena abah lah aku ke Palmerah. Barang kali saja kabar baik. Ternyata begitu aku tiba
di Palmerah, orang – orang Betawi itu langsung menunjukkan perangai yang tak bersahabat.
Dengan wajah sanggar aku langsung dimaki-maki kaya penjahat.
”Hai ,mas ternyata lu pengkhianat ,” teriak bang Nasir.
Sambil marah, aku digelandang dengan kasar kelokasi tanah tooke yang dulu kami
obyekkan. Turun dari oplet tua itu, aku disuruh membaca papan nama di tanah Taoke itu.
”Baca yang keras, apa artinya ?” tanya bang Nasir.
”Aku tidak tau, sungguh,” jawabku binggung setelah membaca papan nama yang
bertuliskan Tanah HGB No. 069 dikuasai Dirtjen Tekstil.
”Jangan pura-pura bloon, hayo ngaku lu !!”
”Pukul aja bang mulutnya biar ngomong ,’ kata yang lain.
Aku diam, karena aku memang tak tau apa yang harus kukatakan. Saya sendiri heran ;
”Kenapa mas Haryono tak pernah bilang. Kalau akhirnya tanah Taoke jadi dibeli ?” pikirku
Sopir oplet itu juga ikut-ikut tak sabar. Akhirnya aku dibawa ketempat semula Pos
kebun, tempat mereka kumpul selama ini. Bang Toha yang tetap nunggui di pos tampak lebih
bijaksana mulai bicara;
”Mas lu hampir riga bulan ini kemana saja ?”
”Kerja pak Haji dibangunan Puskesmas Tebet,” jawabku
”Nggak pernah ketemu mas Haryono orang kantor Tekstil itu ?’
”Sering pak haji dia kan yang punya proyek Puskesmas itu ?”
”Dia nggak pernah ngomong bahwa tanah Taoke jadi dibeli ?”
”Nggak juga .”
”Dia skongkol maka iya diam – diam,” kata bang Nasir penuh amarah.
Mendengar bang Nasir marah dan mengancamku mau di ikat di pos. orang – orang
yang memdengar semakin riuh sambil teriak – teriak. Alhamdulillah juragan pemilik kebun
kembang itu melerai penuh wibawa .”
”Kalian mendengar adzan nggak ? hayo pada shalat dulu !!” perintahnya
”Mas Ade shalat sono, kemusholla H. Nawi itu,” kata H. Toha
169

Atas kebijaksanaa H. Toha, aku diserahkan pemilk kebun bunga itu. Ternyata beliau
dipanggil H. Nawi. Magrib itu aku shalat berjama’ah di mushola H. Nawi. Imam musholla itu
juga. Tapi orang – orang yang berkerumun tadi tak ada. Selesai shalat aku ditanya pak haji.
”Mas Ade, jawab dengan jujur ya, kamu tau dari mana bahwa tanah Taoke akhirnya
jadi dibeli oleh juragan itu?”
”Saya nggak tau pak haji, ya baru tau sore tadi ketika aku diarak bang Nasir sama
temannya. Malah saya kira mereka yang tau, karena bang Toha pesan sama abah agar aku
menemui bang Toha disini. Tadinya kukira ada pembagian uang komisi.”
”Kalau ingin tau kenapa gak tanya Taoke pemilik tanah itu, mana komisinya?,
Orangnya masih adakan kok ente yang di tuduh sekongkol ?”
”Yang kenal Taoke itu kan awalnya bang Nasir dan bang Toha, kalau saya hanya tau
dari mas Haryono bahwa kantornya cari tanah untuk perumahan itu saja. Kata bang Nasir dan
bang Toha, sebetulnya mereka sudah tanya. Taoke bilang, ”Urusan dengan kita sudah selesai.”
Jadi tak ada urusan dengan mereka lagi. Karena urusan dulu sudah batal mungkin Taoke jual
ke penbeli lain. Pembeli baru itulah mungkin yang jual ke Dirjen Tekstil.
”Sebaiknya tanya juga dong ke juragan Tekstil yang mau beli dulu itu !”
”Bukan juragan pak haji, Dirjen Tekstil,” kataku ” Mana mereka berani ?”
”Mengapa Ade yang dipaksa mengaku? Dan sekarang Ade bagaimana, tinggalnya
dimana?” Tanya H. Nawi lagi.
”Aku tak tau harus bagaimana pak haji. Abah pun mungkin sudah bosan sama saya,
karena selama ini aku telah merepotkan beliau,” jawabku
Karena sudah malam dan tak ada kendaraan umum ke Grogol, malam itu aku tidur di
Musholla H. Nawi sampai Subuh. Paginya pak haji tanya aku lagi :
”Mas Ade kerja apa, dan tinggal dengan siapa?”tanya pak haji lagi.
”Ya sementara kerja sembarangan pak haji. Dulu pertama di Jakarta ikut orang jadi
kacung, cuma enam bulan. Begitu punya KTP pindah kerja di pabrik Sandal plastik, satu
setengah tahun. Kemudian di Unilever jadi security tujuh bulan saja keluar dipecat, yaah
ngganggur lagi. Ngobyek tanah dengan H. Toha karena Taoke blo’on itu sudah tinggal
mbadhok batal ”Wong Bodho Dadi Pangane Wong Pinter ” pak haji,” kataku lagi
”Sudah jatuh ketimpa tangga maksudnya?” kata pak haji nggak faham.
”Nah sekarang sambil kudamaikan dengan H. Toha dan Nasir, ente tinggal barang tiga
hari disini. Bantu-bantu si Umar dulu. Insya Allah urusan ente cepat selesai maukan ?”
”Mau pak haji, terima kasih. Semalam kami sudah ngobrol juga kok dengan mang
Umar. Malah kata mang Umar namaku sudah sering di dengar kok, mungkin mang Umar
benar. Bisa jadi, ada hubungan keluarga dengan abah ?” jawabku.
”Hubungan apa, dengan dia ?” kata pak haji sambil pergi.
Tiga hari aku ditampung pak H. Nawi, urusanku dengan bang Toha dan temannya
selesai. Tapi mereka tak minta maaf kepadaku. Malah kata pak haji, aku boleh bekerja
dikebun kembangnya selama aku mau kata pak haji Nawi..
”Kerja mu bagus mas, kaya sudah pengalaman.”
”Ade lulusan tukang kebun pak haji di Tanah Abang III,” jawab Umar
“Bisa aja lu,” kata pak haji sambil senyum
Hari ketiga menjadi ”tahanan Musholla ” pak H. Nawi, aku ijin keluar. Perlu memnberi tahu
kang Sutiman dan Mas Toto diproyek Puskesmas.
Setelah kulapori tentang aku ditahan Calo Palmerah Sutiman tertawa lepas juga mas Toto.
”Memang benar jadi dibeli dik ?” tanya mas Toto serius.
”Wong di lahan itu sudah terpampang papan pengumuman.”
”Papan pengumuman apa?’
”HGB No. 069, milik Dirjen Tekstil,” jawabku
”Masa kok mas Haryono tak pernah ngomong ya ?” kata mas Toto
”Yaitu mas yang membuatku heran, nemen banget mas!” jawabku
170

”Dasar nasibmu yang jeblok,” kata Sutiman empati


”Mungkin aku kuwalat dengan bu Alit di Solo.”
”Sabar dik, terus pekerjaan disini sudah selesai, gimana ?”
”Malas mas, biar kang Sutiman yang terima uangnya.”
”Kenapa malas, mestinya malah bangkit dong !!”
”Benar kata kang Sutiman, Wong Bodho Dadi Pangane Bethoro Kala.”
”Dadi Pangane Wong Pinter, buka Bethoro Kala,” sahut kang Sutiman.
”Orang pinter kalau tak bisa dipercaya apa namanya ?”
”Betul juga.... yaitulah mas jaman edan !”
”Baik mas dan kang Sutiman aku pamit ya !”
”Nih dik sedikit keuntungan dik buat sampean ?”
”Bener nih keuntungan bukan uang pribadi mas Toto ?”
”Bukan mas aku sudah dapat juga,” kata kang Sutiman
”Terima kasih mas, kang aku kembali ke tahanan dulu .”
”Ke tahanan? Tahanan apa ?” tanya kang Sutiman
”Tahanan Mushola pak haji Nawi kan belum divonis ?”
”Sialan mas, saya kira tahanan betul, hati – hati mas !!”
”Terima kasih banget mas Toto, salam untuk pak Haryono .”

................................................................oooo......................................................................

34
GARA – GARA TALAS BOGOR

H
ari ke empat sore, setelah aku selesai urusan dengan Calo Palmerah itu aku
pamit pulang ke kost dulu dengan pak haji Nawi jurangan kembang itu, selesai
shalat ashar ;
”Assalammualaikum pak haji, malam ini aku pulang dulu.”
”Katanya lu mau lama disini ?”
”Aku belum bilang dengan abah, besok aku kembali.”
”Nih se ceng buat ongkos lu empat hari. Salam untuk abah lu.’
”Terima kasih pak haji.”
Sampai di rumah kost, usai maghrib aku lapor ke abah.
”Beres mas urusan lu ?’ tanya abah.
”Beres apa bah, Nasir brengsek itu malah ngamuk kok !!”
”Kenapa, dia marah tak adil pembagian komisinya?”
”Pembagian komisi apa ? Aku malah mau diikat !!”
”He..he ..he untung lu nggak dibakar maka... kalau usaha yang jelas. Lu ngobyek
jangan tanah, kualat lu, pamali !!”
”Kok pamali ? Memang tanah bikin kualat bah.”
”Untung ada H. Toha... kalau tak ada lu sudah jadi abu ha ha ha ?”
”Sialan memang H. Toha udah kemari bah.”
”Biasa di pasar, terus lu ikut H. Nawi kan ? ha ha .’
Karena abah sudah tau semua, tak pikir ibu sudah di ceritai abah. Alhamdullilah abah
sudah tau cerita sebenarnya. Besok paginya dengan sepeda kembali ke kebun H. Nawi. Setelah
menyampaikan salam amanah dari abah aku bilang dengan H. Nawi ;
171

”Pak haji kalau diijinkan Ade mau masarkan kembang ke rumah gedongan di Menteng.
Kata Peok temanku mas Pardi disana ada pekerjaan taman kembang dan halaman.”
”Terserah lu aja. Lagian disini tampaknya sudah beres.’
”Doakan pak haji. Assalammualaikum.”
”Waalaikumsalam.”
Setelah pak H. Nawi merestui, aku langsung ngebut dengan ontel ku menggoes ke
Menteng.
Di Menteng, sesuai alamat dari mas Peok, kulihat mas Pardi telah siap-siap mau keluar
rumah yang baru finishing itu dengan Vespa Springnya. Kucegat di depan pintu gerbang. Diluar
dugaanku mas Pardi menyambutku dengan dingin malah cenderung sinis;
”Hai Ade dari mana? Mana uang talas Bogor itu ?”
”Ya habis mas, di bagi dua dengan Peok,’’ jawabku santai.
”Lantas kesini mau apa.”
”Mau nanyakan boleh kuborong kah taman halaman rumah ini ?”
”Ade dulu ambil Sarjana Petamanan dimana ?”
”Sarjana Petamanan ? ..oh... di Jarak mas tau kan ?” jawabku nyindir.
Mendengar jawabanku yang menohok tadi, mas Pardi kulihat mukanya merah
menahan gelisah. Tanpa basa – basi, dia terus keluar, suara vespanya memekakkan telinga
yang mendengar. Aku heran dan tertawa sendiri ;
”Mas Ade,” tiba – tiba kudengar orang memanggilku ternyata mas Sugi.
”Hai mas Sugi, kok disini katanya kerja dengan pak Tarto ?” tanyaku
”Ini kan proyek nya mas Tarto, mas Pardi sih bantu saja !!”
”Kok congkak betul terhadapkku kalau dia bukan yang menentukan ?”
”Dia, tadi kulihat sepertinya marah- marah ada apa ?”
”Yaitu wong cuma ditawari jasa taman untuk halaman kok sinis !!”
”Ngomong apa dia??”
”Aku ditanya dulu ambil sarjana petamanan dimana, kan gila ??”
”Lagi pula bukan urusan dia, yuk kuantar ke mas Tarto saja !!” kata Sugi
Kami berdua bertemu pak Tarto kakaknya mas Pardi. Ternyata kata pak Tarto aku
disuruh nemui pak Dibyo, pemilk bangunan itu. Biasanya pulang kantor beliau mampir ke
rumah yang baru dibangun itu. Maka aku dan mas Sugi kembali ke proyek di Menteng nunggu
pak Dibyo. Tapi siang itu kebetulan pak Dibyo sudah ada disana dengan hangat beliau
menanyakan siapa aku ;
”Saya Ade pak, jika berkenan kami mau menawarkan taman ?”
”Oh kebetulan biar rumah ini selesai, taman sudah hidup, monggo !!”
”Perlu kami desain dulu pak dan jenis bunga taman dan harganya ?”
”Mas aku juga tak tau desain taman yang penting bagus langsung saja dikerjakan agar
bulan depan saat boyongan semua beres,” kata pak Dibyo
Setelah mendapat sambutan yang luar biasa dari pemilik rumah itu. Aku langsung
pulang kembali ke kebun H. Nawi, untuk melapor. Ternyata H. Nawi mendukung 100
persen. Kami berdua disuruh kerja sungguh – sungguh barang kali saja terus berlanjut.
Aku terlalu semangat, pak haji mendukung. Pak Dibyo sudah oke, tapi mang Umar
kulihat kalem saja. Aku penasaran kutanyalah Mang Umar ;
”Mang, kelihatannya mamang kok tak tertarik kerjaan taman ?” tanyaku
”Mas Ade saja yang terlalu semangat dan buru- buru betul.”
”Mumpung ada kesempatan mang, dan akhir bulan ini harus selesai.”
”Sabar dong, kerja taman tak boleh asal-asalan harus cermat.”
”Oooo begitu, tapi akhir bulan ini , tinggal berapa hari mang !!”
172

”Ya dilembur to kalau perlu. Hayo berangkat aku cari Oplet, alat – alat keluarkan
semua. Jangan lupa minta uang pak haji.”
”Pak haji Assalammualaikum !”
”Nih go ceng bagi dua berangkat sono,” kata pak haji
”Pucuk dicinta ulam tiba,” batinku
Sesampai di lokasi , kulihat mas Sugi sudah membersihkan material yang berserakan di
halaman yang akan ku tata tamannya dibantu anak buahnya. Tak lama kemudian halaman
bersih. Bantu mang Umar mencangkuli tanah, dan aku disuruh membersihkan lahan taman
dari batu –batuan serta akar pohon dan rumput liar.
Seharian penuh kami berdua mencangkul dan pembersihan. Baru hari kedua, kami
menaburkan pupuk dan tanah berhumus. Setelah beres dan kontur tanah dibuat indah baru
kami menanami beberapa jenis kembang dan rumput secara teliti dan cermat dan pelan-pelan
disiram dengan merata.
Aku baru sadar, ternyata apa yang dikatakan mang Umar harus cermat dan rapi agar
menghasilkan taman yang indah. Bahkan tanpa gambar desain pun mang Umar bisa membuat
taman yang elok di rumah elit itu. Setelah selesai aku diminta mang Umar selalu ngobrol dan
nyirami kecuali hujan sampai hidup.
Suatu sore pak Tarto dan pak Dibyo pemilik taman mengujungi rumah yang mau di
tempati awal bulan April itu. Kebetulan hari itu aku selesai merawat dan menyiramin tanaman
itu, mereka berdua sepertinya puas melihat hasil kerja kami. Pak Tarto yang lebih dulu
menyapaku.
”Piye mas wis rampung ?”
”Nggih pak. Alhamdullilah selesai sesuai rencana,” jawabku
”Mas Ade jadi tukang taman sudah berapa lama ?”
“Baru dua kali ini pak. Yaah belum lama,” jawabku
”Pak Dibyo puas kok,” puji pak Tarto
”Barangkali ada taman lagi pak kami siap.”
”Sebentar mas aku dipanggil pak Dibyo.”
”Eee mas Gi ada to kenapa disitu ?” tanyaku
”Beliaukan bos semua, masa aku nimbrung ?” jawab mas Sugi
”Apa lagi aku, cuma kelas rumput mas gi ?”
”Ngomong-ngomong mas, kenal mas Pardi dimana ?” tanya mas gi.
”Ya di kampung, terus ketemu lagi di Gambir Proyek mas Peok.”
”Lantas kaitannya dengan talas Bogor ??”
”Mas Pardi dulu kan orang Hotel Indonesia ( H.I) dia bilang H.I ada tamu istimewa
dari Irian Barat kalau tak salah namanya Abu Horok gitu. Katanya, kepala Suku Dani itu
diiundang Presiden nginapnya di HI tak mau makan nasi. Makanan sehari –hari kata mas
Pardi talas. Terus aku yang disuruh mencarikan .”
”Terus dapat talas dimana?”
”Kupesan pedagang talas goreng dekat masjid Istiqlal situ 25 Kg,” jawabku
”Terus mas Pardi yang bayar sebelum talas nya ada.”
”Iya lah mana bisa pesan tanpa ngasih uang dulu.”
”Talas nya dapat ?”
”Dapat kuserahkan mas Pardi di H.I tapi sehari kemudian dikembalikan.”
”Kok di tolak, siapa yang menolak?”
”Kata mas Pardi kepala Suku itu tak doyan talas, mintanya ubi .”
”Ubi kayu atau ubi rambat ?”
”Ubi rambat, orang Jakarta kan nyebutnya ubi gitu saja !’
”Terus talasnya di apa in ?”
”Oleh mas Pardi suruh jual lagi ke pemiliknya di Istiqlal.”
173

”Mau pemiliknya ?”
”Kalau mau dibayar separuh harga ya suruh taruh saja !!!”
”Mas Pardi mau, dibayar separuh harga. ?”
”Mau apa ? malah aku disuruh mengganti uangnya, gila kan ?”
”Mas Ade bilang apa dengan mas Pardi ?”
”Aku tak bilang sama dia tapi sama Peok kata Peok buang saja !!”
”Jadi di buang kemana ?”
”Dari pada dibuang ku kasih Peok. Terus dibagi dua bawa pulang !”
”Mas Pardi tau, kalau akhirnya dibagi dua dengan Peok?.”
”Ya ku lapori apa adanya, tapi dia tak mau tau.”
”Ooo begitu, pantas mas Pardi begitu ?”
”Yaitulah aku sudah capek kesana kemari mencarikan talas kok gitu ?’
”Maka jawaban sampean tadi ”nyelekit.”
”Bayangkan mas, kerjaan taman begini saja kok ditanya Diploma ?”
”Kenapa jawabannya ”nyelekit ”? Alumi Jarak maksudnya ?”
”Tanya dia saja mas gi . Maaf aku dipanggil pak Dibyo !!”
”Oh ya, silakan aku ke mobil lagi ya !!”
”Wonten dawuh pak,” kataku ke pak Dibyo
”Mana kwitansinya, berapa ?” tanya pak Dibyo
Pak Dibyo membaca sebentar. Tanpa tanya ini itu terus dibayar bahkan lebih sedikit
dari nilai yang saya sodorkan, begitu mau kutanya bahwa uangnya lebih beliau bilang ;
”Tak usah dikembalikan buat mas Ade saja. Besok bantu aku disini bisa ?”
”Insya Allah bisa pak bantu apa ya ?” tanya aku.
”Nyusun mebeler.... besok kami boyongan, bisa kan ??”
”Berapa orang pak?”
”Dua orang kalau ada. Malah lebih cepatkan, bagus !”
Minggu pagi kuajak mang Umar atas ijin pak H. Nawi. Ternyata tak seperti yang
kubayangkan sebelumnya. Yang mengatur mebeler sudah ada orang –orang khusus. Kami
sekedar bantu menggotong dan menggeser. Maka tak sampai sore rumah mewah itu sudah
mentereng. Sorenya kuserahkan semua catatan ku, pembayaran hasil taman ;
”Kok cuma catatan, uang nya ?” tanya mang Umar.
”Kemarin sudah kuserahkan semua ke pak Haji.”
”Nih mar uang lu,” kata pak haji Nawi
”Terima kasih pak Haji. Dan mas Ade besok tengok lagi yah kesana.”
”Nah ini buat mas Ade. Yang ini bonus untuk lu.”
”Adilkan yang dapat pekerjaan, tak tambahi lah,” kata pak haji.
Setelah ku hitung, hari itu aku mendapat bonus lebih 10 %. Namun mang Umar entah
mendapat bonus atau tidak. Aku tak mikir. Karena mang Umar orangnya pak H. Nawi. Karena
besok paginya aku harus mengecek ulang kepekerjaan taman lagi, sore itu aku pulang ke kost
dulu.
Sampai di kost, uang sejumlah Rp. 15.000,- kuserahkan ke abah.
”Bah, aku setor uang titip dulu ya.”
”Uang apa kok banyak banget?” tanya abah.
”Uang halal bah. Yang jelas bukan dari H. Toha,” jawabku
Besok paginya pukul sembilan aku sudah tiba di rumah Menteng lagi. Kulihat beberapa
orang sibuk mengeluarkan kursi pak Dibyo kuhampiri ;
”Numun sewu pak. Kok dikeluarkan lagi,” tanyaku
”Oh mas nanti pukul dua belas kesini yah, ada kendurian !!” jawab pak Dibyo.
174

”Maaf pak kalau tak ada lagi yang saya kerjakan mohon ijin dulu !”
Aku baru mencegat bus kota jurusan Banteng tiba – tiba diseberang jalan sedan Fiat
membunyikan klakson. Ternyata pengendaranya mas Heru. Turun dari mobil itu, dengan
ramah menegurku ;
”Lho kok ada disini dik ngapain ?”
”Nyegat bus mas, mau ke Senen!!”
”Ikut aku saja, nanti kesana bawa nih mobilnya!”
”Wih ganti lagi mobilnya, Fiat belum gede kok sudah dipakai?”
”Sialan, ini Fiat 300. Mencari siapa ?” tanya mas Heru setelah berjalan
”Bukan mencari wong aku sudah dua minggu kok, mborong taman.”
”Rumah siapa, kok kenal orang gedongan juga orang mana dia ?”
”Pemiliknya pak Dibyo orang mana aku nggak tau.”
”Jangan – jangan orang Depdagri, orang Jogya itu.”
”Ya embuh mas aku mborong tamannya atas memo pak Tarto kok .”
”Kalau begitu kita muter dik, kita ke Jl. Siliwangi saja .”
Atas permintaan Broker itu, kuarahkan mobil ke Jl. Siliwangi. Disitulah rupanya, mas
Heru berkantor. Karena sesampai di rumah itu kulihat orang yang ada disitu langsung masuk
dan ngobrol dengan akrabnya. Tak lama kemudian aku di minta mengantar ke Depatermen
Dalam Negeri.
Layaknya sopir pribadi, tengah hari aku diajak ke Kebayoran Lama. Kami curiga tiba-
tiba mobil mogok ditengah perjalanan. Mas Heru mendorong mobil mini itu ke pinggir jalan
dibawah pohon.
Kulihat jam tanganku menunjukkan pukul satu siang. Perut kosong, tangki mobil
kosong, kantong kosong. mas Heru mengajak aku ke rumah temannya, Mulyadi. Orang
Sragen itu katanya kerja di Patal Senayan. Karena Mulyadi pulang nya jam tiga sore kami
menunggu hingga satu setengah jam lamanya.
Setelah makan siang suguhan Mulyadi, dengan agak terpaksa. Mas Heru pinjam sedikit
uang ke Mulyadi. Rupanya mas Mul terpaksa pula minta istinya dapat Rp. 600,-
Duh rasa malu tak bisa dihindari. Kurasakan hidup kel. Mas Mul relatif lebih mapan
dari pada kami berdua. Walau menenteng tas Echolac mengenakan dasi dengan kendaraan
sedan Fiat, tak ada uang mobil mogok kehabisan bensin, sangat menyedihkan. Itulah gaya
hidup mas Heru yang kulihat selama ini.
Setelah mas Mul mengisi bensin botolan seharga Rp. 600,-. dari istrinya akhirnya mobil
berjalan lagi. Dalam perjalanan pulang, mas Heru biasa saja perangainya. Entah mengapa
Broker Elit itu malah ngajak aku ke Jl. Siliwangi lagi.
”Dik sampean mau kerja di Kosgoro ?”
”Kosgoro itu bank apa pabrik, kok aku baru mendengar ?”
”Kesatuan Serbaguna Gotong Royong, milik Angkatan Darat ,” jawabnya
”Syaratnya apa ?”
”Ijasah SMP dan SMA kalau mau coba saya bicarakan ke personalianya
”Kantornya dimana dan kapan aku bisa melamar kesana.”
”Yang tadi kita datangi Jl. Sliwangi 5, rumah dinas Letkol Budiono.”
”Mau mas, dari pada nganggur, sementara akan kucoba dulu.”
Sorenya hari iyu menjelang tutup kantor aku di panggil seseorang .
”Kenalkan mas saya bagian personalia, dan kamu ?”
”Saya sehari –hari dipanggil Ade pak.”
”Mas Ade sebelum ini kerja dimana?”
”Dipabrik plastik bagian gudang selama satu setengah tahun.”
”Sehabis itu!!”
175

”Nyobek pak mendampingi mas Heru.”


”Sudah kenal lama dengan pak Heru ?”
”Maaf memotong dulu pak Priyo, aku duluan,” kata orang berseragam itu.
”Monggo pak,” jawab pak Priyo sambil berdiri.
”Itu tadi kapten Marsono, Ka bag Operasi kantor ini.”
Hasil pembicaraan dalam wawancara sore itu, aku diterima sebagai Honorer Kosgoro,
Masa percobaan tiga bulan. Selanjutnya untuk admistrasi calon pegawai dikenakan uang Rp.
10.000,- bagi ijazah SLTP, sedang SLTA Rp. 15.000,- Dan uang administrasinya dibayar
setelah surat lamaran dikoreksi dan dinyatakan diterima.
”Faham mas,” ttanya pak Priyo
”Akan saya konsultasikan dulu pak dengan orang tua.”

.................................................................OOOO............................................................

34
GARA – GARA KOSGORO

S
ore itu sepulang wawancara dengan kepala personalia kantor Kosgoro, di bus kota
menuju Grogol. Dari lapangan Bontang aku pulang membawa berita yang
membuatku sebetulnya bimbang. Aku pulang membawa berita yang membuatku
sebetulnya bimbang. Sebabnya, kalau kulihat kantornya kok dirumah Dinas Perwira AD. Tapi
dari beberapa kesibukannya sementara kulihat orang – orang senior silih berganti.
Kata mas Heru pemimpinnya Lelkol Budiono adalah Intel Suad. Ada seorang Kapten
Sumarsono, yang baru saja mewawancari ku, pak Priyo Sudarmo. Sedangkan mas Heru sering
keluar masuk. Berpenampilan necis, selalu berdasi tak ketinggalan tas Echolac nya.
Maka malam nya usai makan kuutarakan hasil wawancara ku ke abah. Kebetulan ibu
Marti ikut nimbrung disisi abah.
”Bah aku mulai besok mau coba – coba kerja di Kosgoro !”
”Bekerja kok coba-coba ?” tanya bu Marti
”Karena kata Bag. Personalia, aku juga masa percobaan tiga bulan.”
”Kantor apa sih yang lu lamar ?”
”Kosgoro bu, katanya Koperasi ya entahlah ,” jawabku
”Daripada lu lontang luntung kalau kantor bener ?” kata abah.
”Kalau benar. Tuh adiknya Darmi ajak dia juga ngangur
”Tapi pakai bayar bu, sepuluh sampai lima belas ribu jawabku
”Gak apa kalau benar. Iya kan bah ?” tanya ibu
”Terserah uang lu kan dititpkan abah ?” tanya abah
”Memang Ade titip uang ke abah, terus uang ibu ?”
”Belum bu, belum cukup. Masih nabung,” jawabku
Malam itu aku merasa mendapat lampu hijau dari orang tua angkatku itu. Maka pagi
selesai ngopi aku pamit abah terus ngantor di Kosgoro. Hari pertama kutemui pak Priyo ;
”Pak saya telah dapat restu orang tua kami,” laporku
”Terus uang administrasinya ?”
176

”Minggu ini pak. Kebetulan temanku juga mau !”


”Boleh ajak teman-teman mu. Kata Kapten Marsono empat orang lagi !!”
”Jadi lima orang dengan saya pak !”
”Iya tapi pengangkatannya tidak langsung !”
”Terus saya bagaimana pak.”
”Kamu tak bicarakan dulu dengan pak Marsono.”
”Hari ini pak!”
”Bantu – bantu disini dulu dengan saya.”
Dengan tabunganku Rp. 15.000 aku diterima menjadi karyawan Kosgoro. Sementara
status sosialku merasa terangkat sebagai pegawai kamtor Kosgoro. Aku ditugasi mengawasi
pabrik penggilingan padi di Cikarang Kab Bekasi di pabrik itu ada Pak Zarkasi kata orang
pemilik pabrik itu, tapi kata Pak Marsono seorang kapten di kantor Kosgoro kerja sama
dengan pabrik itu.
Aku heran mengapa sudah satu hari, tak jelas apa yang harus ku kerjakan, kutanyakan
Pak Zarkasi pun dia hanya geleng kepala bilang tidak tau. Kutanyakan tentang makan dan
tinggalku pemilik pabrik bilang ; ”Saya juga tidak tau mas, tapi karena kamu katanya ditugaskan
kantor Kasgoro semestinya kamu tanya kantor. Sementara karena kamu disini ya silakan
makan seadanya bersama karyawan pabrik yang lima orang itu dan tidurnya malam ini lihat saja
orang–orang itu.”
Besok paginya aku kembali ke kantor kulaporkan keadaan di pabrik dan keadaan di
Cikarang. Orang kantor tak ada yang tau. Malah ada kabar burung, pak Zarkasi adalah Tapol
Kodim yang di bon Kapten Marsono untuk pulang sementara ngurusi pabriknya.
Akhirnya kutanyakan ke Kapten Marsono itu, tetapi tak ada jawaban. Malah
pembicaraan dialihkan ke kebutuhan kendaraan untuk operasi kantor. Aku ingat om Juned,
calo jual beli mobil, ttetangga aku. Orang biro komisioner itu. Setelah info kusampaikan, om
Juned ditemui Kapten Marsono. Mereka berunding dengan pemilik mobil entah apa yang
dibicarakan. Selesai negosiasi, akhirnya mobil sedan otomatik merek Holden disewa untuk
kantor Kosgoro, dan yang dipercaya jadi sopirnya adalah aku.
Aku bangga lagi, rasanya agak gengsi kesana kemari mengantar pejabat kantor, sampai
tiga bulan akhirnya mobil yang saya bawa mogok di Manggarai. Kira –kira pukul 8, malam
Minggu. Sang kapten pulang naik becak ke rumahnya, aku disuruh nunggu di mobil. Sialnya
katanya mau mencari bantuan ternyata sampai Minggu pagi pukul 09.00 baru datang, bawa
mobil derek. Mobil Holden itu dibawa ke bengkel Buyung di Tebet. Karena hari Minggu
bengkel tutup, mobil tak bisa masuk. Hanya karena kebijaksanaan pemilik bengkel, pukul
11.00 siang mobil bisa dititipkan dulu, didorong masuk ke dalam bengkel.
Sialnya, kapten Marsono meninggalkan bengkel begitu saja, tak ada yang tau kemana
dia pergi. Padahal sebelumnya dia yang menyuruh memasukkan mobil sedan itu ke bengkel
itu.
”Maaf mas aku disuruh masukkan Holden Crream itu tapi kaptenku pergi,” kataku
”Hari Minggu kok masukkan mobil ya tutup dik, Kaptenya mana ?”
”Yaitulah sudah lebih satu jam tak nongol. Padahal aku kehabisan uang ?”
”Pulang nya kemana ?”
”Ke jembatan lima mas, bus jurusan Grogol,” jawabku
Aku belum makan dari pagi dan harus pulang karena pak Kapten tak kelihatan batang
hidungnya. Pegawai bengkel tak ada kecuali pejaga keamanan. Aku tak punya uang sepeser
pun. Nekat, STNK mobil kugadaikan Rp. 25,- untuk ongkos pulang kepada penjual rokok
depan bengkel kutunjukkan mobilku disitu.
Melihat wajahku yang mungkin memilukan, penjual rokok malah memberi pinjaman
Rp. 30 Sampai dikamar kost aku dikejutkan oleh pakaianku ada diluar kamar kost dibungkus
kain sarung. Segera kutanyakan bu Yati pemilik kamar apa yang terjadi. Tak ada jawaban yang
177

pasti malah aku disuruh tanya bu Marti penolongku selama ini: ”Dalam pikirku aku pasti
diusir, tapi mengapa?” Aku dapat menjawab sendiri ”Ade Penipu,Ade pembohong, dan tak
ada kata lain untukku ;
Walaupun demikian apapun yang terjadi aku harus berani bertanya, agar apapun
masalahnya tak membuatku tanda tanya. Karena selama ini kemarahan ibu tak ampai begini ;

”Mohon maaf bu ijin bicara dengan ibu ?”


”Apa yang mau dibicarakan ?”
”Ade menyadari semua kesalahan tapi ...... ?”
”Kalau sudah tau salah mu, apalagi yang kujelaskan ?”
”Sebetulnya ini hari kesalahan Ade apa to bu ?”
”Mana ada maling ngaku ? Penjara penuh mas !!”
”Baik bu kalau memang demikian Ade mohon pamit.”
Ibu Marti sudah tak mau melihatku lagi. Beliau terus ke kamar. Entah apa yang mau
dilemparkan ke aku. Ternyata malah mengunci pintu kamarnya.
Diperlakukan begitu, aku tak menaruh sakit hati sedikitpun. Kubuka sarung
pembungkus pakaianku di emperan kost ku. Kuambil dua stel tak lebih dari itu. Setelah
pakaian yang berserakan ku bungkus lagi dengan sarung seperti semula.
Terus kutaruh di kursi teras. Aku memanggil-manggil bu Yati pemilik kost bermaksud
pamit, tapi tak ada jawaban.
Sebelum aku pergi entah kemana, aku bermaksud ijin dan lapor Ketua RT pak
Susmono, dirumahnya, tapi yang ada hanya istrinya, entah mengapa sepertinya kaget ;
”Eee dik dari mana tadi dicari om Juned, tunggu tak buatkan minum.”
”Tak usah repot bu, aku Cuma mau lapor bapak kok.”
”Tunggu bapak ada kok. Pak ada dik Ade, teriak bu RT.”
Rupanya pak RT tak jauh, begitu melihatku langsung menyalamiku, sambil menyuruh
istrinya mencari om Junaedi, adik pak RT. Tak lama kemudian yang dicari datang bersama bu
RT.
”Hai Rek kok malah ada disini, tadi aku ke rumah bu Marti bersama Kapten Marsono
sampean kata ibu semalam gak pulang ?”
”Iya om, nginap di mobil mogok di Manggarai,” jawabku
”Lha mobilnya dimana sekarang ?” tanya om Juned lagi
”Ada di bengkel Buyung, mogok om.”
”Kenapa tak lapor Kapten Marsono? Dia mencarimu kok ?”
”Mencari? Dia kan yang membawa kesana, aku malah ditinggal kok?”
”Ditinggal dimana ?”
”Di bengkel Buyung, baru saja aku datang sampai pinjam ongkos?”
”Pinjam siapa ?”
”Karena Marsono tak tunggu tak nongol terpaksa pinjam orang ?”
”Yang bener siapa sih? Kata Marsono kamu sejak bawa uang tak nongol lagi.”
”Uang apa om, bohong Kapten itu. Kalau aku ada uang tak sampai pinjam dong !!”
”Pinjam siapa dik ?” tanya pak RT tenang.
”Untuk pulang tadi pak, aku terpaksa menggadaikan STNK ke tukang rokok.”
”Dimana?”
”Didekat bengkel Buyung di Tebet sana pak.” Jawabku jujur
”Rek kata Kapten Marsono, uang setoran sewa mebel kamu bawa ?”
”Bohong besar Marsono itu satu sen pun aku tak pernah dikasih uang !”
”Sebaiknya diketemukan saja Ned. Besok dikantornya ?” kata pak RT.
”Sekarang saja om kalau ada ongkos, tak antar mencari Marsono.”
178

”Kamu tau rumahnya?” tanya Juned merendah.


”Kita tanya Letkol Budiono Jl. Siliwangi?” jawabku
”Ini jam tiga apa Letkol Budiono hari Minggu ada di kantor ?” tanya Juned
”Rumah Letkol Budiono ya kantor Kosgoro itu om.”
”Boleh kita naik bus saja sekarang berangkat! Ajak om juned.”
”Aku tak makan di Warteg pak Man dulu om dari pagi belum makan!”
”Katanya tak ada uang ?”
”Ya ngebon dulu, dari pada tak makan !!”
”Mas Ade, tak usah ke Warteg, ibu ambilkan makan,” kata bu RT
”Iya bu, siapkan saja apa adanya,” kata pak RT.
Hanya karena terpaksa saja, sore itu pukul 03.00, aku makan si rumah pak RT. Beliau
seorang Letkol KKO AL, satu korps dengan mas not juga dengan om Bintoro. Bu RT orang
Tegal itu rupanya sangat empaty denganku. Ambil melayani makan setengah berbisik
menanyakan juga tentang kejadian yang kualami hari tiu. Maka tanpa bermaksud membela diri
kubeberkan masalahnya ;
”Ini hari aku di usir ibu Marti bu,” jawabku sambil makan.
”Dik Ade kan tinggal di rumah bu Yati, kok bisa ?”
”Dulunya yang nyewakan kamar kost itu kan bu Marti ?”
”Ngusirnya kapan ?”
”Ya baru saja, maka Ade mau lapor ijin pergi ke pak RT !!”
”Yaitu tadi, maka kucari om Juned. Karena pukul 12.00 tadi ribut-ribut disini?”
”Yang ribut siapa bu ?”
”Itu om Juned dan kapten itu bapak ada kok tadi .”
”Bisa jadi bu Marti mendapat provokasi mereka bu !!”
”Mungkin, tadi mereka berdua ke sana , kok ketemu bu Marti.”
”Ooo begitu to, sekarang sudah jelas biang keroknya Marsono.”
”Bu kalau sudah makan, biar cepat pergi keburu sore !”
”Iya pak, sudah selesai kok.” Jawab bu RT sambil ngelap mejanya.
”Terima kasih bu makanannya, ibu tak usah sedih!!”
Usai di rumah pak RT di Jl. Jembatan Lima sore itu. Aku langsung ke kantor Kosgoro,
Rumdin Letkol Budiono di JL. Siliwangi 5. Itu kebetulan pak Budiono selesai shalat Ashar,
ada dirumah. Maka langsung kulaporkan kejadian itu ke beliau. Juga masalah uang sewa mobil
belum dibayar oleh Kapten Marsono.
Mendengar laporan ku tadi, beliau agak heran dan kaget, karena tentang kegiatan yang
dilakukan Kapten Marsono, pak Budiono tak banyak mengetahui. Termasuk mobil sedan
sewaan itu, karena terbawa perasaan emosiku terpaksa kutanyakan sejujurnya;
”Pak kalau boleh mohon alamat Kapten Marsono dirumahnya.”
”Kalau alamatnya saya tak tau ? Kenapa tak besok saja kesini!!”
”Bapak tadi mengatakan tau rumah Marsono, kok alamat tak tau ?”
”Aku tau, Marsono rumahnya di Manggarai tapi alamatnya saya tak tau1”
Pembicaraa ku dengan Letkol Budiono semakin agak memanas. Rupanya om Juned
takut dengan situasi itu. Buru-buru dia meninggalkan kami berdua.
“Kalau begitu pak saya sementara belum mau pulang sebelum kasus saya selesai. Tak
pikir bapak dapat meembantu kami, ternyata .......
”Sebaiknya Ade pulang saja besok kita selesaikan!” kata pak Budiono
”Maaf pak sebelum ketemu Kapten Marsono aku tetap disini.”
”Besok pagi dia kan ngantor disini ?”
”Kalau aku tau alamat rumahnya aku mau kesana bukan disini pak !!”
”Jadi sebelum ketemu dia kamu tak mau pulang ?”
179

”Betul pak, malam ini aku tidur disini.”


”Ya sudah kalau begitu, terserah kamu,” kata pak Budiono.
Selesai ngomong pak Budiono meninggalkan aku, di ruang tamu kantor. Mungkin mau
shalat Mahgrib, karena Adzan Mahgrib sudah kudengar di komplex Perwira AD itu. Maka aku
mencari tempat Wudhu ke kamar kecil kantor yang biasa kami pakai ternyata terkunci.

Kucari mushola terdekat aku mau ambil wudu disana saja sekalian berjamaah. Biasa ,
shalatku lebih khusuk jika menghadapi cobaan hidup yang berat. Usai shalat sedianya aku mau
kembali ke sofa kantor Kosgoro lagi. Untuk istirahat dan tidur diatas kursi sofa itu malamnya.
Kulihat uangku, masih lima rupiah tiba- tiba kulihat ibu Letkol berdiri di ruang tamu itu
dengan wajah tak bersahabat.
”Mas kata bapak kamu tak mau pulang dan menginap di sini ?”
”Iya bu, sampai aku ketemu Kapten Marsono!”jawabku
”Agar tau mas, ini rumahku, tempat tinggal keluargaku.”
”Agar ibu tau juga, aku disini sudah tiga bulan katanya karyawan kantor Kosgoro yang
dipimpin bapak Letkol Budiono, selama ini sepeserpun saya belum pernah menerima gaji.’
”Itu bukan urusanku, karena ini rumahku, aku berhak atas rumah ini.”
”Maksudnya aku diusir? Tak usah diusir bu besok pun aku pergi.”
”Mengapa harus besok? Katanya urusan dengan pak Marsono?”
”Bapak tak mau memberi alamat Kapten Marsono !!”
Tanpa meneruskan berdebatan ibu Letkol masuk. Tak pikir mau apa. Mungkin
memanggil suaminya. Namun belasan menit aku menunggu tak ada seorang pun yang
menemui saya. Tiba – tiba mobil Jeep putih dengan tiga penumpang berseragam CPM dengan
sigap menghampiri dudukku.
”Kamu yang namanya Ade ?” tanya CPM itu tegas.
”Ya pak,” jawabku kaget
”Ikut saya ke kantor !” tegasnya lagi.
Tanpa bisa menolak aku di tarik ke mobil Jeep bak terbuka, kemudian berjalan entah
kemana. Tak lama kemudian masuk ke kantor militer, kubaca papan yang tertulis ”Garnizun
Ibukota Djakarta.” Duh, sejenak aku ingat peristiwa yang kualami empat tahun lalu.
Ketika itu aku dinaikkan ke truck terbuka. Terus dibawa ke kantor CPM Wonogiri,
tanpa jelas masalahnya kami disiksa digebuki. Rasanya bilur-bilur pedih dipunggungku seperti
masih membekas setelah kuraba ternyata cuma trauma. Dan ingat bahwa dua stel pakainku
masih tertinggal di sofa ruang tamu kantor Kosgoro.
Aku mulai berpikir, tamatlah nasibku di kantor Kosgoro? Entah apa yang akan terjadi,
aku berdoa dalam hati ”Ya Allah, tolonglah hambamu yang lemah ini, mengapa Kapten
Marsono sekejam itu ?” kuingat lafal mantra biyungku saat menghadapi petaka ”Wala-wala
kuata ..... amin.”

...............................................................oooo...................................................................

35
”INTROGRASI” DI GARNIZUN
”DIAMANKAN DI POMAD PARA”
180

M
inggu petang, ibu kota lengang. Aku gamang duduk di kursi besi dibawah
pohon beringin tua halaman kantor Garnizun. Masjid Istiqlal
mengumandangkan adzan waktu shalat isya bagi umat muslim. Kudengar
jelas seorang bintara CPM yang membawa ku tadi melapor ke atasanya, disebuah ruang kantor
tak jauh dari aku merenung ;
”Lapor, seorang pemuda telah kami amankan di halaman.”
Tak lama kemudian bintara pelapor tadi menghampiriku dan membawaku ke ruangan
tempat melapor tadi. Setelah masuk di ruangan, tak kusangka, aku dihadapkan seorang
perwira senior setengah umur, berkepala agak botak, yang berwajah damai. Setelah aku diminta
duduk berhadapan satu meja, bintara yang mengantarku disuruh keluar.
Kuperhatikan diatas kantong baju hijau berselempang piket itu tertulis ”Oestadi” nama
perwira berpangkat Leltu itu. Perwira itu kulihat mengambil sesuatu di laci mejanya. Ternyata
beliau mengeluarkan rokok ”Ji Sam Su,” terus menyodorkan sebatang kepada ku. Karena aku
belum merokok secara aktib, kutolak tawarannya dengan halus. Setelah menyedot asap rokok
kretek itu, dengan senyum Perwira itu menanyaiku ;
”Namanya siapa mas ? Ada KTP ?”
”Saya biasa dipanggil Ade pak,” jawabku sambil menyerahkan KTP.
”Kabarnya Ade membuat gaduh dirumah orang ?”
”Tak benar pak, cuma adu mulut saja dengan bu Budiono !”
”Katanya lagi, kamu tak mau meninggalkan rumahnya kenapa ?”
”Betul pak, saya tak mau pulang malam ini, sebelum ketemu orang yang saya cari .”
”Siapa yang kamu cari, kok mencarinya ke situ ?”
”Kapten Marsono pak, sebetulnya saya cuma minta alamat rumah pak Marsono. Tapi
Letkol Budiono tak mau ngasih. Ya aku bertahan sebelum mendapat alamat orang itu”
”Ada apa dengan Kapten Marsono sepertinya penting banget ! ”
”Saya difitnah pak didepan orang tua saya, sehingga diusir dari rumah kost. Kata
Marsono,aku menggelapkan uang setoran mobil Rp. 30.000,- Padahal saya tak pernah urusan
dengan uang sewa mobil. Bahkan kejamnya pak, kata Kapten itu, uang ku gunakan berfoya-
foya dengan perempuan di Ancol. Siapa sih orang tua yang tak marah pak jika kelakuanku
dikatakan begitu.”
”Tunggu dulu, kapten Marsono itu siapa ?”
”Kata pak Priyo, dia Ka bak op kantor Kosgoro.”
”Ade kerja di Kosgoro?”
”Betul pak sudah hampir tiga bulan ini.”
”Awal mulanya gimana kok bisa kerja di Kosgoro?”
”Dibantu mas Heru pak. Beliau yang membicarakan ke pak Priyo.”
”Heru siapa. Orang mana Heru itu ?”
”Orang Wonogiri pak.”
”Kenal mas Heru di Wonogiri atau setelah di Jakarta ?”
”Di Jakarta pak dikenalkan mas Warno teman kerja dipabrik Universal.”
”Mas Heru tau tentang kasus fitnah itu ?”
”Belum tau pak karena kejadiannya baru siang tadi ?”
”Kalau begitu kenapa harus nginap di Kosgoro, besokkan masih bisa ditemui disitu ?”
”Saya kan sudah tak punya tempat bermalam sejak diusir dari rumah siang tadi ?”
”Di Kosgoro digaji berapa per bulan ?”
”Boro-boro gaji pak, uang makan & transport pun tak pernah dikasih.”
”Di kantor Kosgoro Ade sebagai apa ?”
”Sementara sopir pak melayani orang – orang di kantor itu.”
”Kok bisa bekerja tiga bulan tak pernah dibayar?”
181

”Mana masuknya diminta uang masing-masing Rp. 15.000,- pak.”


”Kok masing – masing Rp. 15.000,- memangnya berapa orang yang jadi korban ?”
”Yang saya ketahui 5 orang pak kabarnya masih ada lagi, tapi yang lain saya tak tau.”
”Terus yang lainnya, selsin ksmu dimsns ?”
”Katanya menunggu panggilan begitu. Masih dirumah mereka masing - masing.’
”Kenapa tak lapor pilisi itu kan temasuk pidana penipuan ?”
”Sudah pak di Komres Tebet bersama tiga orang yang jadi korban.”
”Terus hasilnya di proses?”
”Ya di ketik sampai pukul dua sore, tapi kami dimintai duit !!”
”Duit untuk apa? Apa kata polisi ?”
”Kata polisi ; Masa’ ngurus uang Rp. 75.000,- tak pakai biaya. Ya begitu”
”Terus Ade bilang apa ?”
”Bukan hanya Rp. 75.000,- malah Rp. 85.000,- tapi itu kan kerugian kami ?”
”Polisinya mau mengerti ?”
”Polisinya marah – marah berkas ”Laporan Polisi” disobek dihadapan kami.”
”Bisa jadi karena dia sadar bahwa yang kalian laporkan seorang Kapten ?”
”Saya nggak menyebut pangkat kok, cuma Marsono gitu saja .”
”Dia katamu tadi Kapten AD ? Kok tak disebut pangkatnya ?”
”Kata mas Heru Kaptennya cuma “Tituler” pak.”
”Kalau begitu nasibmu yang jeblok. Gak nyangka kalau sekacau itu masalahnya.
Sudahlah, belum makankan, makanlah. Tadi kusuruh anggota membeli nasi untukmu.”
Selesai ngomong begitu, perwira tadi meninggalkan ruangan. Tak lama kemudian, oleh
anggotanya aku diajak keruang makan kecil bersebelahan dengan ruang intrograsi tadi.
Sebungkus nasi Padang di ikat karet dan segelas air putih, telah disiapkan untukku.
Tak kusangka dua stel pakaianku telah berada di meja makan itu pula. Sejenak aku
berdoa, sebelum membuka bungkusan nasi. Perlahan – lahan aku makan, karena di kepalaku
bermacam- macam pertanyaan tiba – tiba muncul. Mengapa aku disini ? siapa yan mengantar
pakaianku kesini ? Terus apa yang akan terjadi setelah ini ?
Kulihat jam didinding ruangan menunjukkan pukul 09.20 malam. Usai makan kugapai
bungkusan pakainku. Ternyata betul karena tali karetnya masih seperti sore tadi. Setelah itu
kudengar suara komandan jaga di depan pintu.
”Sudah makan, sekarang ikut saya;” perrintahnya
”Kemana pak ? Kalau dipulangkan tak usah pak lebih baik disini.”
”Ha ... ha kamu perlu ganti pakaian kan ? Hayo tenang aja lah !”
Setelah ngomong begitu, aku disuruh naik mobil yang sama dengan Jeep yang dipakai
jemput aku sore tadi dari kantor Kosgoro. Malah aku disuruh duduk didepan disampingnya.
Ternyata yang nyopir Letnan itu sendiri. ”Pakaian mu tak lupa ? ”tanyanya. ”Mulai sekarang
panggil aku ”pak Oes “ saja,’ tambahnya.
Sehabis begitu bergeraklah Jeep yang ku tumpangi. Entah kemana tujuannya, pak Oes
lah yang tau. Setelah masuk Jl. Jend. Sudirman arah Senayan, aku lega. Berarti aku tak di
pulangkan, ketempat kost ku.
”Dik, Ade sebelum kerja di Kosgoro kerja dimana ? “
”Di pabrik sandal pak PT. Universal di Jembatan Lima pak.”
”Berapa bulan atau taun di pabrik sandal ?”
”Satu setengah taun pak. Terus pindah di Unilever ?”
”Pernah di Unilever, kok keluar ?”
”Ceritanya panjang pak.”
”Coba ceritakan ! Unilever kok keluar, padahal perusahaan asing lho!”
182

Akhirnya kuceritakan mendetail sejak kenal bu Marti sampai keluar dari Unilever,
hingga terdampar di Kosgoro. Selama aku meceritakan riwayat nasibku secara lengkap, pak
Oes sering geleng kepala. Kadang – kadang tetawa lepas tampak menikmati betul.
”Dancuk dik. Ternyata begitu to kisahnya tapi Ade hebat lho.’
”Jeblok ...pak. kok hebat banyak duka nya lho pak ?”
”Tapi Ade tak dendam kepada bu Marti kan ?”
”Ya tak sempat pak, mikiri bayar utang saja binggung kok mikir dendam!!”
Mobil Jeep kami naik kekiri jembatan Semanggi menuju Pancoran tiba di Tugu
Dirgantara kami memutar belok ke kanan arah Kalibata, terus setelah pertiagaan Taman
Pahlawan kami belok kanan memasuki Komplek Pomad.
Pak Oes mengurangi kecepatan. Setelah memasuki sederetan rumah dinas ”Pomad
Para” berhentilah kami didepan rumah Blok H No. 24.
”Nih tempat tinggal kita , bawa bungkusan mu !” perintak pak Oes.
”Ade dua hari nggak mandi lho pak !” kataku
”Maka bau, sekarang mandilah nih kamar mandinya,’ kata pak Oes kalem.
Malam itu pukul sepuluh dengan sabun sebesar lidah anak balita, aku mandi keramas
dengan sabun pula. Setelah mau ambil air wudhu, ternyata krannya tak setetes pun
mengeluarkan air. Begitu lampu belakang dinyalakan pak Oes, baru kuketahui rumah ini
tampa leideng, hanya sumur pompa. Kutengok dimanapun tak tower sebagai tandon air
Aku ambil air untuk wudu dengan memompa dengan tangan. Sekaligus mengisi kolam
dikamar mandi terus shalat isya. Dengan kamar sendiri aku disuruh tidur disitu.
Sebelum tidur pak Oes ngajak ngobrol sebentar. Tadi aku disuruh cerita, saat
menjelang tidur. Pak Oes yang ganti cerita mengapa rumah ini tak ada orang lain. Beliau mulai
menceritakan secara gamblang sejak Operasi Menumpas RMS tahun 1962-1963 di Maluku
Selatan bersama pasukannya hingga selesai, dan mendapat bintang jasa.
Sepulang Operasi Militer itulah pak Oes dikagetkan tentang rumah tangganya. Istri dan
seorang anaknya kabur, mungkin tak tahan menghadapi kesepian di tinggal suami menjalankan
tugas negara hingga hanpir satu tahun lebih.
Akhirnya beliau shock berat berbulan – bulan. Berusaha mencari keluarganya tak
diketemukan. Alhirnya mendapat kabar bahwa anak dan istrinya meninggalkan beliau. Dan
sudah bersuami lagi dengan anggota AURI. Sampai disitulah pak Oes tak kuasa menahan
kesedihannya. Hingga beberapa saat orang yang berhati mulia itu tak mengeluarkan kata – kata
apa pun, kecuali desahan nafasnya beberpa kali kudengar.
Aku tak bisa membantu kata – kata apapun. Kecuali mengambil air putih dari ceret
didapur. Entah kapan air itu di masak, beliaulah yang paling tau. Begitu kegundahannya reda,
beliau meneguk air putih sampai tandas.
”Nasibmu jeblok dik, tapi tak sejeblok aku.”
”Mohon maaf pak, Ade membuat bapak tak nyaman,” kataku empati.
”Sudahlah kita tidur, sudah malam .”
Sebelum tidur, aku berdoa, semoga masalah pak Oes dapat diambik hikmahnya. Dan.
Walaupun beliau tak berpesan agar hal ini dirahasiakan karena bersifat pribadi. Aku berjanji
kepada diriku sendiri tak akan membocorkan kepada siapapun.
Sekilas ingat nasehat pak Nazir di Tanah Abang dulu. Beliau sering memanggilku ke
kamar pribadi untuk memijat dan menerapi. Mantan Pangal jaman Bung Karno itu, saat
begitulah biasanya cerita hingga masalah pribadi beliau. Mengapa belum punya istri hingga jadi
Duta Besar di Zwiss ? Tapi beliau pesan; ”Sebagai prajurit kamu harus mengetahui Sapta
Marga & Sumpah Prajurit.” Siap Pak.
183

Pagi hari sekali aku kedapur, setelah sholat subuh. Ya sholatku selama ini masih Bang
Jo istilah Mbah Kung ku di Solo. Aku operasi apa yang ada didapur rumah ini. Ternyata tak
banyak yang kutemukan, kecuali kopi bubuk dan gula pasir. Akan kubikinkan kopi untuk pak
Oes, tapi belum ada tanda – tanda bangun dari tidurnya. Kubersihkan bak air dan kupenuhi,
dengan pompa tangan yang kuno itu. Kupikir pak Oes upacara Senin pagi, ternyata meleset.
Pukul 8.00 pagi baru ngopi dengan beberapa potong kue dari pedagang keliling yang kusiapkan
untuk sarapan di meja makan.
Melihat yang kusiapkan beliau geleng – geleng kepala, tapi menikmati kopi dengan
santai terus ngajak ngobrol lagi.
”Dik tahun depan aku MPP, sebetulnya sejak pulang operasi RMS dulu, aku sudah
Leltu, tapi karena aku malas maka pensiun nanti ya Kapten. Semestinya Mayor, karena aku
sering bolos akibatnya kenaikan pangkatku di tunda.”
Pak Oes melihat kamar mandi terus memberi tahu, bahwa digudang ada beras jatah
satu karung. Melihat aku telah merapikan dapur beliau tersenyum ;
”Dik ini ada beras, kalau lapar ya masak saja tapi tak ada yang lainnya. Jual sebagian
buat beli lauknya terserah, yang kita punya hanya ini.”
Pukul 9.00 pagi Pak Oes kekantor. Mengenakan PDH sabuk putih dan baret biru
langit khas CPM. Beliau berangkat saat aku membersihkan lingkungan. Pukul 3.00 sore pak
Oes pulang dan aku dipanggil. Sore itu membawa buah dan kebutuhan dapur.
Lebih 10 hari kami hidup layaknya kakak beradik. Pak Oes tugas kantor aku urusan
rumah tangga. Dan sungguh luar biasa, kepercayaannya kepadaku. Bukan hanya tentang isi
rumah, tapi isi hatinya pun sampai rahasia rumah tangga pun ditumpahkan kepada ku.
Hanya sebulan aku menjadi bagian dari hidup Letnan CPM itu. Beberapa tamu sering
datang, yang tak terduga dua tamu yaitu mas Heru dan pak Priyo. Aku kaget dan heran, orang
Kosgoro yang bulan lalu sering bersama Kapten Marsono berada didepanku. Kulihat mereka
biasa saja melihatku, bisa jadi sudah tau dari pak Oes bahwa saya tinggal disini.
Kesempatan itu tak aku sia –siakan. Kuceritakan kasus Kapten Marsono sampai ijasah
kami yang tak jelas di tangan Marsono. Alhamdulillah pak Priyo mengatakan surat-surat
penting itu ada disimpan dirumahnya dan berjanji mau membawa esok harinya kerumah
Asrama Pomad.
Aku sementara lega, surat penting teman – temanku akhirnya ketemu. Beban morilku
berkurang pikirku, dan betul pak Priyo besoknya memenuhi janjinya.
Sejak kedatangan mas Heru dan pak Priyo dirumah blok H No. 24, semakin berubah
situasinya. Aku sering diajak mas Heru ngobyek tapi malas, trauma dengan kasus Dirjen
Tekstil dulu. Mas Heru tetap seperti dulu gaya hidup layak bos saja.
Aku sebagai sopir saja. Sopir pribadi mas Heru, tapi sejak adik mas Heru, mbak Sih
menyusul ke Jakarta aku tak begitu mikir mas Oes. Sampai mas Oes menikah dengan mbak
Sih pun, aku tak tau. Apalagi begitu mbak Sih mengandung, keluarga mas Heru semakin
berdatangan. Terutama ibu mas Heru, terus mas Tri yang dulu bagian personalia di kantor
Pabrik PT. Unilever sekarang tinggal di rumah itu pula.
Rumah di JL. Cemara Blok H no. 24 itu semakain ramai ketika Adik – adik mas Heru
pindah sekolah dari Semarang ke Jakarta, yaitu Hartono & Untung Subagio. Karena itulah atas
ajakan mas Heru, aku pindah ke bangsal di Kasatrian Berland. Rumah mas Marno, seorang
Peltu Yon Zipur AD yang bermarkas di Jl. Gunung Sahari Jakarta Pusat.
184

36 GARA – GARA DONGKRAK


BERLAND KE PELAMINAN

B
erland” ... berland” teriak kondektur bus kota. Setiap mendekati daerah
komplek ABRI peninggalan tentara kenil itu. Mas Marno orang Banyumas
adalah salah satu penghuni barak Kasatrian Berland di Jalan Matraman
kawasanSalemba. Pria berpangkat Peltu dari Kasatrian Zipur itu sudah sejak lama tinggal
disitu. Sekarang telah memiliki lima orang anak yan masih kecil – kecil, hidup sederhana di
barak tua itu yang disekat dengan anyaman bambu untuk pemisah kamar dan ruangan.
Di kamar kecil barak itulah kami nebeng dan berpetualang lagi. Mas Heru yang
berperan seperti biasa, aku asistennya saja. Suatu ketika kami ada ide ”Operasi Subuh” yaitu
ngobyek buah - buahan dan sayur-sayuran dari Pasar Minggu ke pasar Manggarain dengan
truck Zipur, yang biasa mengakut personil. Dan hasilnya lumayan untuk membantu bu Marno
didapur.
Pribahasa malang tak bisa di tolak untung tak dapat di raih. Pulang dari ”Operasi”
sayuran, ban truck yang kami operasikan kempes sebelum sampai di Asrama Berland. Padahal
sedikitnya ada 8 personil anggota yang mengantungkan kendaraan ini untuk apel pagi.
Temanku mas Mul, tak suruh lari ke asrama lapor ke mas Marno. Aku sendiri mencari teman
yang lewat mau pinjam dongkrak untuk ganti ban.
Bis Unilever melintas, kukenal ciri kaosnya. Ku stop agak sedikit memaksa bermaksud
pinjam dongkrak. Bus berhenti, aku dekati sopirnya. Sebagai mantan Security yang dikenal
kontroversial, sopir bus, akhirnya mau meminjamkan dongkrak, dengan jaminan kartu nama
mas MArno yang kuganti namaku, ”Ade.” Sopir bus percaya walaupun seperti terpaksa. Begitu
melihat truck ABRI tak mau mikir dua kali dongkrak dipinjamkan.
Tak lama urusan ban selesai, anggota Zipur berdatangan langsung truck berjalan. Aku
pulang membawa dongkrak dan uang belanja untuk bu Marno. Besok paginya di tempat yang
sama kucegat bus pemilik dongkrak, urusan selesai.
Tanggal 21 Juni 1970 dari siaran radio P2SC memberitakan bahwa Bung Karno
pemimpin Besar Revolusi wafat di rumah pengasingan beliau Wisma Yaso, Jl Gatot Subroto.
Bangsa Indonesia berduka aku tak diam, ikut mobil salah satu anggota ABRI yang ingin
melihat iring – iringan jasad Proklamator itu. Sampai di Pancoran lalu lintas macet total, yang
kulihat hanya iring – iringan mobil jenazah, menuju Halim itu saja.
Malamnya dirumah pak Marno kedatangan tamu yang tak kuduga. Kang Umar
temanku di kebun bunga H. Nawi dulu. Dia punya misi menemui saya, katanya penting.
Karena tak etis dibicarakan dirumah itu, maka aku diajak ke Monas. Disanalah aku diajak
bicara, saya kira urusan taman dan bunga H. Nawi, ternyata lain, maka terjadilah pembicaraan
serius..
185

”Mas Ade, aku diutus bu Marti masalah penting. Besok Minggu, mas Ade diharap
dapat datang ke Cisauk kampung bu Marti, sds masalah yang perlu dibicarakan.”
”Ada apa, kok di Cisauk, aku kan sudah diusir? Rasanya tak mungkin. Kalau masalah
utangku Mang, sampai kapan pun takkan kulupakan. Tapi sekarang belum punya uang.
Lagipula kang Umar kan orangnya H. Nawi, kenapa tak membahas neng Asmani saja, kalau itu
aku bisa mempertimbangkan,” jawabku sambil bercanda.

”Mas saya serius, jangan bergurau, waktuku tak banyak nanti kehabisan Bus kota.
Dengarkan saya dulu. Tati anak bu Marti ngambek ngancam mau kabur, gara – gara kamu
diusir. Padahal Ade cuma kena fitnah Kapten Marsono itu. Bu RT meluruskan masalahmu
setelah Juned tau duduk persoalannya. Dan bang Toha, calo itu juga minta maaf ke abah.
Ternyata masalah kasus tanah yang di Palmerah itu mas Ade juga hanya jadi korban. Maka
yang lalu – lalu telah dianggab selesai. Ibu mengerti dan katanya menyesal dan ingin bicara
dengan Ade.”
”Ibu sudah kehabisan kata – kata mang, apalagi yang mau dibicarakan denganku.
Kenyataannya, aku yang bodoh. Mudah percaya, ya gampang tertipu. Wak Jasir pun ternyata
penipu juga.
”Tak usah membicarakan mertuaku mas, harta miliknya sudah rata tanah.”
”Wak Jasir mertua mang Umar ? uangku Rp.50.000 ditipu dia. Padahal uang itu
kupinjam dari bu Marti. Untuk bayar bambu, uang sudah ada diterima bambu sepotong pun
tak ada, malah kabur. Orang gitu kok persoalannya mau dikubur, tak bisa dong, dan sekarang
aku harus bertanggung jawab. Aku tetap bertanggung jawab kang, tapi tak usah ke Cisauk
segala malas! Tolong sampaikan ibu Marti.”
”Mas ade, dengarkan dulu, justru aku menantu wak Jasir itulah maka diutus bu Marti.
Istrinya wak Jasir itu kakak perempuan bu Marti baru tau kan ?”
”Aku pernah dengar itu, maka sementara bu Marti tak kulapori dulu, bahwa sebetulnya
yang menipu saya itu wak Jasin. Hanya khawatir ibu ngamuk. Aku jadi heran, kenapa hidupku
selalu kena fitnah, di kampung, di Unilever, di Tanah Sereal gara-gara Kosgoro itu. Maka
mang, tak usah ke Cisauk kalau hanya soal utangku. ”
Mendengar pernyataanku yang keras itu, mang Umar tetap sabar. Mungkin sudah di
doktrin Abah & bu Marti. ”Ade itu orangnya keras,” sesuai kata orang pintar di Banten itu. Ke
Cisauk naik kereta dari stasiun Tanah Abang subuh, akhirnya ku iyakan. Kupikir apa salahnya
demi mang Umar, yang telah dengan susah payah mencariku.
Juga demi menghormati orang – orang yang telah berbuat baik padaku. Minggu subuh
aku ke stasiun yang telah diputuskan, diantar mas Marno pakai mobil tentara. Di stasiun
kulihat abah sipenyabar itu, Siti Hiarti, Untung, ibu Marti dan berdua adiknya mang Encum
dan mak Iyem.
Siang itu di kampung Cisauk, dugaanku, wak Jasir hadir juga. Ternyata tak ada. Orang
tua itu kabarnya tak bisa bangun kena ledakan petasan yang jadi dagangannya aku membatin,
”Oo yang dimaksud sudah rata tanah itu, harta miliknya to, saya kira sudah dikubur.
Keputusan dalam musyawarah keluarga ditanah kelahiran bu Marti antara lain:
1. Memahami keadaan saya dan tak usah membicarakan yang sudah lalu.
2. Tati putri pertama bu Marti tak keberatan dilamar Ade menjadi istri Ade.
3. Karena sudah diketahui banyak orang, bahwa Ade bakal menjadi menantu Kel. bu
Marti, maka hubungan Ada dan Tati lebih baik diresmikan
4. Tati putri pertama bu Marti tak keberatan dilamar Ade menjadi istri Ade.
5. Ade belum memutuskan, karena tak punya apapun kecuali sudah saling tau dan
mengenal saja karakter masing – masing.
6. Untuk itu minta waktu satu minggu untuk memutuskan
186

7. Orang tua meminta paling lambat bulan ini, karena bulan baik dan menerima
permintaan Ade, acara ijab kabul diselengagarakan sederhana saja, tanpa pesta resepsi
segala.
Sepulang Musyawarah Cisauk, sore itu di stasiun Tanah Abang kutemui mang Umar,
tak ajak ongbrol sebentar. Tapi mang Umar menolak karena mobil ke Jembatan Lima sudah
menunggu. Dia berjanji sore lusa dia mau menemuiku di Berland, karena masih banyak yang
harus dibicarakan bersama.
Sesuai dengan janji dua hari lalu, di Berland pukul 4.00 sore mang Umar dan mang
Encum. Mas Marno aku berempat membicarakan hari H. Akhirnya diputuskan Sabtu bulan
depan , tanggal 15 Agustus 1970 dilangsungkan ijab kabul.
Rombongan dari Jakarta berangkat dari Tanah Abang pukul 6.00 pagi. Adapun
keluarga perempuan bisa dua hari sebelumnya. Untuk aku diminta KTP untuk mendapat Surat
Pengantar KUA dll.
”Mang pakaianku masih dirumah bu Yati atau di simpan ibu ?”
”Begini saja, sebagian rombongan keluarga mau diantar mang Ned,” kata mang Encum.
”Kalau begitu pakaianku sebagian tolong mang jangan lupa !!” usulku.
”Gampanglah itu. Ijab kabul kan direncana pukul 10.00,” kata mang Encum
”Jadi masih ada waktu satu setengah jam untuk dandan mas,” kata mang Umar.
”Memangnya pakai dandan segala ?” tanyaku
”Pakai sarung, peci dan jas kan juga dandan,” kata mang Umar
”Dari sini rencananya berapa orang?” tanya mang Encum
”Paling yang empat orang lah ,’ sambung mas Marno
”Empat orang siapa saja mas?” tanyaku
”Empat orang siapa saja mas ?” tanyaku
”Ibu, Aku , mas Heru dan Ade,’ selanya
”Ah mas Heru tak bisa diharap mas !”
Pertemuan Berland hari tiu telah mufakad, bahwa hari Sabtu tanggl 15 Agustus bulan
mendatang 1970 di langsungkan akad nikah di Cisauk kampung halaman ibu Marti.
Alhamdulillah subuh pukul 5.30 kami berbua dengan mas Marno telah tiba di stasiun
Tanah Abang. Kereta berangkat ke Rangkas Bitung pukul 06.00 pagi, dan pukul 7.05 kami
tiba di stasiun yang dituju terus menuju kampung.
Sejenaka begitu turun dari kereta aku dikagetkan umbul – umbul dan bendera merah
putih terpasang sepanjang jalan. Kukira menyambut kedatangan kami. Ternyata warga sedang
mengyongsong HUT RI ke 24. Aku sempat bercanda dengan mas Marno ;
”Hebat kan mas, sambutan masyarakat Serpong untuk kita ?”
”Iya, pengatin lelakinya kan orang jauh dari Wonogiri .”
”Ooo begitu, kenapa perhelatannya kok tak hari Minggu ?”
”Besok malam aku ”Taptu” pukul 00 di markas.”
Pukul 10.00 sesuai yang direncanakan aku tiba di halaman rumah abah kolot. Tamu
dan kerabat telah ramai menyambut kami dengan shalawat ;
”Mas keren, cukur dimana,” teriak Untung.
”Di Matraman dik,” jawab mas Marno kalem.
Usai ijab kabul ibu Marti bertanya dengan pelan ;
”Mas Not mana? Nggak diajak ?”
”Pindah ke Cilandak nu,’ itu saja yang bisa kujawab
Rupanya sudah di skenario pukul 5.00 sore rombongan Jakarta pulang naik kereta dari
Parung -- Tanah Abang. Kami berdua ditinggal di kampung dirumah kakek. Yang sudah lama
187

fasilitas kamar mandi di dalam rumah dibuat mungkin baru beberapa rumah yang seperti itu.
Rata – rata orang kampung WC dan sumur nya masih di luar rumah.
Setelah kusalami mohon doa restu dan mereka menuju stasiun. Tati istriku membuka
koperku. Yang penuh berisi pakaian ku yang hampir setaun tak pernah kusentuh.
Kulihat ada amplop Unilever warna coklat masih berikat segel. Kuamati berdua
ternyata gajiku terakhir 1969. Setelah kubuka berisi uang Rp. 8.30,-
”Alhamdulillah cukup untuk beberapa hari di kampung dik,” kataku
”Kita, kata mama, minggu sore harus ada di rumah mas,” kata Tati
”Berarti seminggu dong di kampung ?”
”Iya karena minggu malam Senin ada acara di rumah kita .”
Siti Hiarti, nama lengkap istriku dipanggil sehari – hari Tati. Orangnya sederhana, tak
banyak bergaul kecuali undangan kerabat jika ada hajatan. Pengetahuannya pun minim.
Bicaranya juga tak modern. Namun urusan rumah tangga selama ini kulihat trampil.
Sebetulnya bertolak belakang dengan aku, sok pinter ngomong, suka membaca apa
saja, bergaul dari tukang becak, kuli, sudah biasa dan dengan pejabat apapun seingatku biasa,
baik sipil ataupun militer. Tapi aku belum punya apa – apa karena yang pernah kuraih lenyap
lagi baik jabatan ataupun wanita.
Sedikit pengalaman tata keluarga di Pokoh dulu, tapi hilang lagi di tangan bu Alit yang
serba di manja. Oleh karena itu bisakah aku menjadi suami yang baik ? Yang jelas belum
pernah. Oleh karena itu lebih baik rasanya uang diamplop kukasihkan Tati saja terserah untuk
apa.
”Tat, nih uang kau pegang saja terserah untuk apa ?” pintaku
”Sebentar tak rapikan pakaian mas dulu,” jawabnya santai
”Sebetulnya ini uang dari mana sih?” tanyaku curiga
”Dari mama kali ?”
”Kok kali ? memang dik Tati ngagak tau ?”
”Sejak mas Ade tak pulang – pulang itu sebetulnya untuk mas ?”
”Maksudnya ?”
”Kalau pulang pakaian dan uang itu suruh bawa pergi saja.”
”Oooo begitu ?”
”Habis mas tak pernah pulang. Yang mau dikasih siapa ?’
Dari cara nyimpan itu aku percaya, istriku bukan ”Ngeretan” istilah Jakarta. Memang
selama yang aku ketahui dia tak banyak menuntut belum pernah seingat saya, minta dibelikan
atau minta apapun.
Satu minggu selama dikampung pergi yang paling jauh. Setelah hari ketiga yaitu naik
kereta api ke arah Merak. Entah berapa stasiun yang ku singgahi. Belanja pun tak pernah
kulihat.
Makan siang diluar rumah apa lagi, belum pernah sama sekali. Siang itu aku di
”traktir” makan di ”Warung Kampung” di sebuah stasiun daerah Pandeglang. Menu segar,nasi
beras Cianjur belut goreng dan sambal khas Banten kata istriku, karena keturunan kota
Jawara. Yaitu saja seingatku pertama kali makan diluar rumah.
Hari terakhir aku di kampung Cisauk, malam – malam kami menyusun pakaian.
Karena besok paginya pukul 09.00 harus siap di stasiun. Dalam persiapan kembali ke Jakarta
itulah aku cuma membantu saja. Istriku lebih cekatan melipatkan menyusun di koper. Yang
terakhir kulihat dia menghitung uang, sedangkan aku leyeh – leyeh melihatnya saja.
”Mas perlu ngantongi uang berapa ?”
”Yang tiga ratus boleh lah, untuk kembali ke Berland.’
”Ke Berland mas ngapain, di rumah kenapa ?”
Mendengar kata dirumah kenapa. Aku sadar dan kaget.
188

”Maaf betul - betul maaf,” langsung kupeluk dia saat duduk dilantai.
”Lupa ya bahwa kita sudah keluarga ?” tanyanya heran.
”Ya mas betul – betul lupa.”
”Makanya kalau pergi jangan lama –lama.”
Alhamdulillah istriku malah senyum bahagia. Saya kira tersinggung bayanganku masih
di Berland nantinya.
”Jangan lupa sepatu Bata mas, “katanya menjelang ke stasiun.
”Sudah kupakai ! Aku tak pamit abah dulu ya neng sok uang berapa ?”
”Sudah kukasih kok,” jawabnya dari kamar.
”Bah – mak, kami ke hilir lagi mohon pamit,” kataku ke abah.
”Ya cu. Ulah ditinggal tolong jaga Tati ya cu,” pesan abah
”Ulah ampengan setua kakeknya cu,” kata mak tua.
”Abdi mohon punten bah atur nuhun,” kataku ikut – ikut Sunda
Tepat pukul 9.00 pagi Kereta uap itu tiba. Kami berdua duduk tak kaya biasanya penuh
sesak. Sepanjang jalan rupanya istriku lelah. Aku menjaganya sambil merenung. Apa yang
harus aku kerjakan untuk menafkahi nya ?
Kalaupun dia sabar hidup di Wisma Mertua tak malukah aku kalau jadi Tuna Karya
seperti sekarang ini.
”Kok ngalamun mas takut ya tinggal di rumah ?” tanya nya
”Kok tau ?’
”Mama dan abah sudah bilang, kalau kita sudah berumah tangga, Insya Allah rejeki
pasti ada asal berusaha.”
Setahun kami berumah tangga, karirku belum jelas, bekerja juga belum kudapat secara
pasti. Dari sopir pribadi, supllayer bahan bangunan hanya sekedar tak ngangur. Kadang –
kadang aku berpikir pulang ke Solo ngurus ijazah. Tapi perasaan malu dan minder selalu
menghantuiku.
Bayanganku selalu jika bu Alit mengetahui kondisiku ada kemungkinan ditahan tak
boleh kembali atau di biarkan tak di sapa sama sekali. Atau kemungkinan lain bu Alit sudah
mendengar dari ibu Pokoh atau Kasino saat pulang ke Solo dua taun yang lalu.
Istriku hamil tua pun tak tau apa yang harus kulakukan. Segala upacara adat Sunda ku
ikuti saja, karena semua Atas Biaya mertua ( ABM). Dalam keadaan susah, semua yang
diucapkan ibu serasa menyindirku.
Malam itu bulan Juni 1971, istriku gelisah, ibu selalu dekat dengan putri pertamanya
yang tinggal tunggu hari nya itu. Dua hari dua malam kami tak tidur normal. Malah ibu
melarang aku keluar rumah. Dukun bayi selalu mengunjungi istriku yang selalu mengeluh itu.
”Tat, coba kamu minta maaf ke suami mu !!’ perintah ibu.
”Dia tak pernah nyakiti aku kok bu !!” jawabku
”Mas Tati minta maaf ya, jika aku salah ngomong!!”
”Tak ada yang salah kok, malah aku yang menjadi bebab,” batinku
Malam Jumat hingga Jumat malam aku hampir tak beranjak dari ranjang istriku.
Mungkin pukul dua malam aku terlelap hingga pukul empat subuh. Rasanya mungkin Biyung,
atau hanya ingat aku nggak tau. Sepertinya aku tengkurap di depan pintu terus sampai tiga kali
orang tuaku itu bolak balik menglangkahi aku.
Kuraba wajah istriku.kucium lirih nafasnya bau, tapi tidurnya nyenyak. Kuraba perut
buncitnya suhunya normal. Kemudian ibu menyambangi kami.
”Sono Subuhan dulu,” kata ibu.
”Hingga pagi pukul 7.00 istriku nyenyak. Tak lama kemudian dukun bayi tiba – tiba
menyuruh masuk. Ngobrol pelan – pelan berdua dengan ibu.
Pukul 9.00 pagi hari Sabtu, abah memanggilku.
189

”Mas ini ada surat dari kantor,’ kata abah


”Kantor mana bah?” tanyaku
”Baca saja orang yang ngantar cuma bilang begitu.’
Surat kubuka ternyata aku diminta menghadap di Cikini proyek yang saya lamar
beberapa hari lalu gedung Imigrasi. Buru – buru aku pamit Abah dan ibu yang sedang ngobrol
dengan dukun bayi menunggui istriku yang sedang berbaring lelah.
”Hati –hati nak,” kata mbah Dukun.
”Jangan lama – lama ,” kata bu marti
”Insya Allah mak--- mbah. Tat do’amu dik, semoga diijinkan Allah.”
Tiba di proyek Imigrasi kantor proyek, langsung kutemui Pimpronya. Sejenak kami
nego diketik SPK terus kutanda tangani sekitar pukul 11.00 lebih waktu itu.
Sesuai menanda tangani SPK proyek lantai III gedung BPS. Aku ingat kang Sutiman
kucari dia sampai ke rumah kakaknya di Kampung Duri. Ternyata tak kutemui orang Batu itu.
Langsung ke Kampung Krandang mencari mang Umar. Alhamdulillah mang Umar bertepatan
berada di rumah ma’ Iyem mertuanya itu.
Tak lama setelah aku berbincang – bincang tentang pekerjaan yang kudapat hari itu,
ma’ Iyem muncul dengan wajah ceria dan bicara lantang ;
”Mas istrimu telah melahirkan kok ngobrol disini ??”
”Aku tak tau mak. Aku pulang dulu mang besol ya !!! “kataku
Berita gembira itu membuatku gugub dan tak sabar. Sepeda ontel mang Umar
kupinjam terus ku Goes, tak sampai sepuluh menit sampailah kerumah. Kulihat bu Yati dan
beberpa tetangga telah ramai di situ.
Buru – buru abah menemuiku dengan wajah ihklas dan menghampiri aku ;
”Eee mas cuci tangan, wudu dulu baru temui anakmu!” kata abah
”Iya bah,” jawabku terus mematuhi perintahnya.
Kulihat istri ku tersenyum, walaupun tampak lunglai. Ibu – ibu yang dikamar satu
persatu meninggalkan kami tinggal ibu mertua aku. Kusalami istriku, terus minta maaf padanya.
Dia tampak lega.
Kulihat SPK di amplop saku celana aku kuamati. Sementara abah memanggilku sambil
membawa secarik kertas catatan. Dari catatan abah anakku lelaki lahir hari itu Sabtu tanggal 26
Juni 1971 pukul 11.15 siang. Ku merenung sejenak rasanya bersamaan aku menanda tangani
SPK di Proyek Imigrasi tadi.
”Kenap mas ? ‘ tanya abah penasaran
”Kok persis dengan SPK ini bah, tadi ku tanda tangani sekitar pukul 11.00.”
”Boleh jadi anakmu malas lahir sebelum lu ada pekerjaan !!” gurau abah.
”Terus mau lu beri nama siapa !!” tanya ibu Marti
”Karena ini cucu pertama ibu juga biyung ku bu, sebaiknya ”Eko ”
”Masa Eko saja ?”
”Nah karena lahir hari Sabtu, lengkapnya “ Eko Saptono,” gimana bu ?”
”Dasar Jawa lu, bagus saja,” komentar abah. ”Eko Saptono, Barakoallah,” sahut abah
merestui.

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>))))))>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
190

37
MERINTIS KARIRKU
DI AWAL ORDE BARU
Sepekan usia kelahiran anakku yang pertama. Sepekan pula usia SPK ku Proyek
Gedung BPS di Pasar Baru, Jakarta Pusat. Dengan modal sepeda ontel hadiah ibu Marti 25
tahun kerja di Unilever Indonesia, plus sebuah meteran panjang 3 meteran, kumulailah karir
pertama di proyek bangunan.
Gangguan pertama yang kuhadapi ketika itu musim Pemilu kedua bulan Juli tahun
1971. Kesibukan luar biasa di kantor BPS, membuat pelaksanaan pembangunan lantai II
Gedung BPS terganggu, karena kayu sebagai material pokok terlambat datang. Ada
kebijaksanaan managemen, proyek di hentikan sementara.
Naluriku berjalan secara alami. Di Jl. Jembatan Lima ada kantor PT. Budi Agung.
Kudatangi, untuk mendapat pekerjaan sebagai pemborong upah kerja. Kuceritakan
pengalaman kerjaku membangun sebuah SD di Srengseng Sawah perbatasan DKI dengan
Tangerang proyek mas Toto dulu dan Puskesmas di Tebet.
Mungkin wajahku yang tampak hitam terpanggang matahari membuat Ir. Hartono
percaya. Maka 1 unit gedung lantai II di Ragunan dipercayakan kepadaku untuk memborong
dalam waktu 6 bulan. Padahal aku belum menguasai betul pekerjaan Sipil, alias masih nol
pengalaman. Walaupun latar belakang saya teknik sipil.
Berkat pertolongan Allah SWT banyak tukang – tukang senior dan berpengalaman,
melamar jadi tukang ku, melengkapi jebolan tukang proyek BPS yang distop sementara.
Proyekku di Ragunan berjalan lancar, bahkan sampai mendapat apresiasi dari managemen.
Karena belum genap tiga bulan bangunan yang saya gawangi telah mencapai progess
menaikkan kuda – kuda rangka atap, dan menyibarkan bendera merah putih lebih awal dari
pada 4 unit bangunan yang lain. Walaupun, mandor borongnya berusia lebih tua dari saya yang
tahun itu belum cukup 23 tahun.
Dan ironisnya dalam bulan pertama bekerja diproyek itu, aku pinjam modal istriku.
Kuberanikan diri ngomong padanya, saat mendampingi dia pergi ke TPS pada Pemilu kedua
bulan Juli tahun 1971.
”Mas aku belum tau caranya nyoblos, ajari ya!!!” kata nya.
”Boleh asal aku dipinjami uang Rp. 5.000.00,- ”
”Untuk apa sih uang segitu?”
”Untuk modal kerja. Masa’ jadi pemborong tak punya modal.”
”Ya.. nanti dirumah, tapi jangan ngomong mama’ ya !!”
”Terima kasih,” dan kuajari nyoblos di ruang TPS saja.”
Hari itu lega rasanya, setelah uang lima ribu bakal ku kantongi, besok untuk membayar
uang makan 15 orang pekerjaku setiap hari dan berarti tak harus bersepeda lagi ke proyek ;
”Mas aku nyoblos yang mana ?” bisik nya setelah di ruang TPS itu
”Ini saja gambar Banteng Segitiga ”PNI” jawabku berbisik
191

Usai mengikuti Pemilu kami berdua pulang dengan jari membiru kulihat anak kami
dibopong ibu Mertua, menunggu di depan pintu dengan raut muka bahagia ;
”Kalian nyoblos gambar apa kok kelihatan kompak ?” tanya beliau.
”Banteng Ma’ semua. Kita kan Nasionalis,” jawabku.
”Tumben manggil mama,’ biasanya ibu,” kata Tati istriku.
”Kenapa milih PNI, kok bukan Golkar, atau yang lain ?” tanya ibu lagi
”Partainya Bung Karno kan PNI. Golkar ? Tak usah ye’...” jawabku ngolok
”Kenapa mas tak suka Golkar ?” tanya istriku
”Kosgoro” kan nyakiti hati saya. Lihat gambarnya pun sebel.”
”Sudah, ganti ambil anakmu, mama gantian sama abah ke TPS.”
”Ingat Bung Karno lo ma,’ candaku
”Tau aja lu,” kata mama’ mertua yang juga fanatik Bung Karno itu.
Habis Pemilu, besoknya aku aktivitas seperti biasa. Tapi sepeda ontelku yang selama ini
kutitipkan mas Mul di Blok P dekat terminal Robur kuambil ;
”Kok diambil mas, bosan bersepeda ya ?” tanya mas Mul.
”Aku mau naik Robur saja, capek mas...!” jawabku
”Kalau mau dekat, di terminal ada orang Wonogiri.”
”Apa bisa di titipi sepeda ?”
”Tukang jahit. Yuk kuantar.”
”Kasih alamatnya saja mas Mul.”
”Pokoknya sebelum masuk terminal ada tukang jahit cari saja ?’
Kutinggalkan sahabatku yang bersejarah itu. Karena dialah aku terlibat ”Operasi
Subuh” setaun yang lalu. Yang akhirnya aku kembali ke rumah bu Marti dan menjadi
menantunya pula.
Hampir satu kilo jarak rumah mas Mul dengan terminal Robur Blok P. Sesuai
petunjuk mas Mul. Kutanyakan tukang jahit dan Alhamdulillah ketemu. Setelah kusandarkan
sepedaku kutanya pemiliknya, ternyata pemiliknya orang yang sudah lama kukenal ;
”Hai mas Ade, kan ?” tanyanya agak curiga.
”Pak Tukimin kan ” jawabku sambil merangkulnya.
Pertemuan mendadak itu, kami tak banyak cerita kecuali basa basi. Layaknya tamu
yang sudah lama tak jumpa. Karena aku harus segera ke proyek hari itu aku buru – buru pamit.
Pak Tukimin pun disitu sebetulnya belum lama. Karena pemiliknya, orang Sragen, menjual ke
pak Tukimin, dan kebetulan pak Tukimin perlu tempat menjahit yang stategis.
Singkat kata kami berjanji ngobrol yang ”Gayeng” di rumah beliau di Kebayoran
Lama. Sebetulnya saban sore saya bisa ketemu pak Tukimin ditempatnya menjahit tapi
sikonnya kurang nyaman.
Demikian pula aku, karena masih semangat – semangat nya bekerja di proyek Mess
Mahasiswa IIP itu meluangkan waktu sehari pun rasanya sayang. Akhirnya janji ngobrol di
rumah pak Tukimin diputuskan tgl 17 Agustus 1971.
Hari libur Nasional itulah aku bertamu di rumah pak Tukimin. Ceritanya di mulai
sejak beliau meninggalkan Wonogiri tahun 1966. Dari cerita pak Tukimin kusimpulkan beliau
tak bakal ke Wonogiri sampai kapanpun. Pasalnya, koleganya didaerah nya banyak yang si
ciduk pasca G 30 S. Bahkan ada yang hilang seperti di telan bumi.
”Jadi panjenengan tak mungkin kembali ke Sawahan?” tanyaku
”Tolong mas jaga rapat – rapat keberadaanku, itu saja,” jawabnya
”Baik pak. Insya Allah, pertanyaan saya pak, sampean kenal pak Harjo ?”
”Pak Harjo yang mana? Kades Mojosari ?” tanyanya serius
”Betul pak saya kehilangan jejak dan putus hubungan dengan keluarga itu.”
”Mas Ade ada hubungan dengan pak Harjo apa ?”
192

”Sebetulnya dengan bude Harjonya, bude Ti itu yang famili.”


”Begini bukannya Tuti anaknya yang hilang itu?”
”Kabar dari mana, bapak tau ?”
”Istri mas Harjo itu sahabat dekat istriku, Mamik mas !”
”Bu Mamik kan masih famili dengan pak siapa, CPM yang di Kerdu Kepik itu ?”
”Yaitu dari Mamiklah kabarnya, bahwa pak Harjo diciduk usai perayaan tujuh
belasan!”
”Beliau masih sempat kulihat terakhir sebelum tujuh belasan kok.”
”Masa’ kabarnya setelah acara tujuh belas gitu ?”
”Kok panjenengan bisa ketemu bu Mamik dimana, dan kapan ?” tanyaku heran
”Ini sangat ”R” mas tapi betul – betul jaga ya, tak ceritakan !”
”Iya pak. Saya juga tau suasana kebatinan bapak, jangan khawatir,” jawabku
”Di Tanjung Priok, tempat saudaraku, Satino, membawa ibunya anak – anak dari
Wonogiri secara diam – diam. Karena Satino pulalah aku di ketemukan dengan istriku. Dan
disanalah Mamik cerita tentang mas Harjo yang hilang misterius. Katanya, anak
perempuannya diselamatkan seorang anggota ABRI. Pak Harjo di tahan di Wirogunan Solo.
Terus hilang entah kemana, tak ada kabarnya lagi.”
Nah, karena rumahnya kena bantaran Bengawan Solo, katanya bu Harjo pulang ke
rumah orang tuanya di Gumiwang Lor. Entahlah mas, nasibnya keluarga itu. Kok mas Ade
kelihatan ikut terpukul ? Sebetulnya ada hubungan apa ?” tanyanya serius
”Kalau saya bisa matur pak, mungkin aku lah yang paling kehilangan,” jawabku sedih
”Kok mas Ade malah nggak tau, kata Mamik mas Ade malah masih sepupu dengan
Harti itu ?”
”Untuk sejarah yang tertoreh di hatiku yang paling dalam, kita akhiri sampai disini duli
pak ngobrol kita. Dan mohon maaf, sekali lagi --- mohon maaf, ini juga sangat ”R” bagi kita.
Ya bapak sebut Harti tadi sebenarnya Harjuti yaitulah yang menjadi pertanyaan kalau
diselamatkan sekarang dimana ?””
Sore itu aku buru – buru pamit, takut ketinggalan bus terakhir. Dalam perjalanan
pulang, dari terminal Bok M menuju Grogol, aku membawa bongkahan sejarah pahit yang
sudah lama kulupakan. Andaikata aku tau pertemuanku dengan Kadus Sawahan itu hanya
menguak luka lamaku, aku tak mungkin jauh – jauh menemui dia.
Menyesal pula aku menanyakan kepadanya tentang pakde Harjo. Padahal sedianya aku
mau tau alasannya kepergiannya meninggalkan kampung halaman. Taukah pak Tukimin
tentang kakangku yang kabarnya pergi bersama pak Marijan Kades Ngumbul itu ?
Ternyata yang kuinginkan malah lupa tak kutanyakan padanya ;
Nah sekarang, kemana bude Ti, Laras dan mbak Harjuti ? Tak akan kutanya kan
kepada siapapun, takut jawabannya sama bahkan lebih mengenaskan dari kata – kata bu
Mamik. Bearti pakde Harjo ketika bude bilang ”Rapat Tripoka” malam itu, tak pulang sampai
sekarang ? aku ingat ketika itu nasi dan seluruh lauk pauknya kubawa pulang untuk berkat
biyungku. Ketika itu pula biyung bertanya ; ”Rapat kok malam ?” berati firasat biyung benar.
Sampai dirumah, setelah mandi dan shalat Mahgrib ku lihat anakku dipangku uminya ;
”Dari mana mas, nggak liburkah? Tujuh belas Agustus ?”
”Libur juga tadi, sepedaku mau ku bawa pulang tapi ....!!”
”Nggak dipakai lagi di proyek ?”
”Kan sudah ada modal, ya naik bus dong !”
”Eh stst jangan keras-keras dengar mama’!!!”
”Mulai bulan depan umi dapat fee Rp. 6.800.00,- perbulan !”
”Fee itu apa sih ? bayar utang maksudnya ?”
”Ya uang lah. Aku sisihkan Rp. 250 perhari untuk umi.”
”Ya untuk anak mu juga, susunya kan dibeli?”
193

”Kan dia sudah mimik uminya ?”


”Kata bu Very untuk tambahan tetap harus diberi juga !”
Alhamdulillah, atas doa istriku. Proyek Gedung Mess Mahasiswa IIP di Ragunan selesai
lebih cepat dari rencana. Setelah upah buruh kubayar semua, aku masih punya keuntungan Rp.
25.000 bersih utangku Rp. 5000 kulunasi. Tinggal utangku ke ibu mertuaku yang jumlahnya tak
bisa kuhitung dan kapan dapat kubayar. Yang menjadi pikiranku ketika itu pertanyaan mama’
mertua ;
”Terus sepeda mama’ mana mas ? proyek selesai kok sepedanya tak ada ?”
”Dipinjam temanku ma’ Rondi,” jawabku malu
”Kok pinjam sepeda lama betul sampai lima bulan ?” tanyanya lagi
”Besok akan kuambil ma’ jawabku bohong
Aku memang bohong, sebab tukang kayu itu tak bertanggung jawab. Katanya pinjam,
tapi malah tak masuk kerja lagi. Setelah kudatangi rumahnya Rondi bilang sementara
digadaikan di Manggarai. Karena tak bisa nebus, akhirnya sepedanya hilang. Duh ..... habislah
kepercayaan mama’ mertuaku. Mulai hari itu apapun alasanku beliau tak percaya lagi.
Saban ada kesempatan ketemu mertuaku bertanya tentang sepeda ”Philips” kenangan
dari Unilever, itu – itu melulu yang selalu ditanyakan ;
”Mas sebetulnya sepeda mama’ dijualkah ?” tanya istriku
”Dik, sampai hari ini suamimu masih jujur. Saya tak menjual,” jawabku
”Lha kok tak dibawa pulang ? itu melulu katanya mau ngambil sepeda?”
”Yaitulah kesalahanku. Ketika sepeda mau saya bawa pulang, tukangku Rondi pinjam
dulu satu minggu. Dia bilang kalau naik kendaraan dari rumahnya di Pasar Rumput ke proyek
katanya dua kali naik bus. Untuk itu dia mau naik sepeda dari rumahnya, seperti saya
bersepeda dari Blok P ke Proyek. Tapi sepeda dia masih di bengkel, kira – kira seminggu baru
jadi.”
”Terus pinjam sepeda kita dulu, sebelum sepedanya jadi ?”
”Betul, tapi katanya seminggu akhirnya sampai sebulan.”
”Sudah lama kan lebih sebulan lho kata mas ketika itu ?”
”Celakanya, setelah itu malah dia tak masuk kerja lagi!!”
”Sampai kapan ?”
”Ya sampai proyek selesai. Setelah kucari katanya digadaikan!”
”Ditebus dulu kan bisa ? mas kan ada uang berapa sih digadaikan ?”
”Maksudnya juga begitu, tapi karena terlambat tebus ya dilelang.”
”Jadi sepeda mama’ hilang ? Kenapa nggak dituntut ?”
”Kata pak Sarja dia pasrah mau diapakan menyerah.”
”Tuntut saja kalau sudah pasrah.”
”Kulihat dengan mata kepala sendiri anaknya enam, yang masih kecil empat mana
istrinya kena asma. Aku nggak tega dik bagaimana jika Rondi di penjara padahal menjadi tulang
punggung keluarnya?”
”Itulah mas kalau mudah percaya, mama’ sudah tau kalau sepedanya hilang ?” kata
isttriku sedih tanyanya sedih.
”Mama’ sudah habis kepercayaannya kepadaku.”
”Terus gimana? Malu mas aku !! Coba ceritakan yang sebenarnya kemama’ ”
Besoknya sesuai janji, ats pendekatan istriku mama’ sudah siap menerimaku di ruang
keluarga ;
”Jadi sepeda mama’ betul – betul hilang ?”
”Apa mama’ bilang pasti hilang, persaan mama’ mas, kamu pasti bohong.”
194

Hanya karena aku melindungi orang lain, mama’ menangis, istriku tergoncang
perasaannya, abah dingin menanggapi situasi itu...., dan aku pasrah.

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>))))))))<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<

38
MEMBANGUN SWITCTING TOWER
DI STASIUN BUMI CIBINONG

U ntuk melupakan kegalauan di rumah tanggaku, kucoba kekantor PT. Budi


Agung, barang kali ada pekerjaan. Alhamdulillah om Ipang. Site Manager
proyek Gedung IIP. bertepatan ada disitu;
”Ade kamu diminta menghadap pak Ir. Ashari mau dikasih pekerjaan.”
”Dimana om menghadapnya?” tanyaku
”Tuh orangnya. Ini pak, Ade yang saya maksud kemarin!!” kata om Ipang.
”Oh ya pekerjaan di IIP selesai mas ? “ tanya pak Ir. Ashari
”Selesai pak, ijin menghadap.”
Tanpa di tanya lagi, entah apa yang telah dibicarakan om Ipang dengan Ir. Ashari aku
langsung diberi pekerjaan. Proyek Switcting Tower di Cibinong. Kepercayaan itu tak ku sia
siakan, sekaligus meninggalkan kemelut rumah tanggaku gara – gara sepeda Philip itu.
Maka setelah SPK ditangan, aku buru – buru pulang untuk persiapan mengumpulkan
tukang – tukangku, di bedeng Proyek IIP. Kebetulan mereka masih stanby disana. Begitu
melihat kedatanganku, perasaan optimis terpancar di wajah mereka. Ternyata Dadang dan
Solihin, tukang yang setia mendampingiku sejak Proyek BPS dulu sudah tau,. Kalau aku dapat
pekerjaan lagi di kawasan stasiun Bumi Cibinong itu.
”Berapa orang yang masih ada mang ?” tanyaku
”Lima mas mandor ? Solihin, Didik, mang Sopyan, Warno dan Didik yang lain cari
sana aja,” kata Dadang.
Siang itu, kami langsung ke Cibinong lewat Celilitan. Pukul 02.00 sore tiba di tempat
yang dituju. Setelah melapor ke pos keamanan, sore itu pula kami membersihkan bedeng kerja
peninggalan mahasiswa Tri Sakti saat mendirikan Tower disitu.
Aku rasakan Allah mengujiku lagi. Karena anggota yang tadinya gelisah begitu bedeng
kerja yang berlantai papan itu dalam sekejap menjadi Mess baruku. Sebagian ada yang melacak
dimana ada mata air. Mantap sekitar 150 M dari mess kami, ada ”sendang” mata air bagus.
Pukul 05.00 sore kami layaknya kemping, bersama – sama membuat dapur dan
menanak nasi. Pak Bowo, polisi keamanan komplek gedung RRI menawarkan sambungan
listrik ke mess kami. Salah satu anggota kami, Sofyan, mantan anggota TII, jaman
pemberontakan DI TII siap sebagai juru masak dan mencari lauk pauk, sebagai mana gerilya
dulu, bahkan memanggilku Komandan.
Atas motivasi Sofyan yang berambut gondrong itu, kami bekerja penuh semangat dan
rasa keluargaan yang tinggi, walaupun berbeda suku dan bahasa. Maka dalam waktu dua bulan
proyek Switcting Tower selesai dengan lancar dan sukses.
Mungkin karena proyek tersebut jauh dari perkampungan. Anggota kami merasa
kerasan, dan enggan meninggalkan mess. Walaupun pekerjaan sudah selesai. Sementara
195

anggota kami bertahan tinggal di proyek itu, kami lapor ke Jakarta. Ir Ashari sebagai pimpinan
proyek kaget;
”Selesai betul mas ?” tanyanya heran.
”Betul pak telah sesuai dengan gambar. Telephone saja pak ke pak Bowo.”
”Setelah beliau telephone pak Bowo, kemudian pak Owi pengawas dari Bogor. Pak
Ashari merasa puas dan aku ditawari menguruk lahan ”Switcting Tower” seluas 3,5 hektar itu.
Agar rata dengan tanah sekaligus. Dengan harga Rp. 300 per m2. Karena hanya di kasih waktu
sebulan. Aku ingat sahabat seniorku. Mandor Wahab dari Sindang yang bepengalaman
mengurug dan menggali tanah dengan alat manual puluhan bahkan ratusan ORANG. Adapun
tenaga Dadang cs kusuruh memborong pagar kawat sepanjang 1.300 M1.
Sementara mereka bekerja, aku ijin pak Ashari selaku manager proyek. Untuk istrirahat
barang dua belas hari pulang ke Wonogiri. Kesempatan itulah aku mohon ijin mama’ mertua
untuk membawa anak istriku untuk di sowankan mbah biyung.
Dengan pertimbang anakku masih belum kuat jalan, mama’ belum mengijinkan. Saya
tak kecewa, mengingat mama’lah yang berkuasa. Namun sedikit uang kutinggalkan untuk
istriku.
Di Pokoh Wonogiri ibu sudah pindah ke Surabaya tinggal dik Wik &Tri. Kesempatan
itulah amanat Satino kusampaikan kepada mbak Darti mantan pacarnya, agar tabah menerima
keadaan. Seusai itu karena telah molor menjadi 15 hari. Maka aku kembali ke Jakarta,
selembar kain batik kuberikan yu Marno di Berland.
Proyek Cibinong sangat mengesankan bagiku juga anggotaku yang lima oarang itu. Pak
Sarbowo pun, sebagai Komandan Keamanan kawasan vital itu memujuku. Walaupun aku
masih ”muda” tapi mampu mengorganisir pekerja-pekerja yang lebih senior. Juga pak mandor
Wahab dari Sindang laut itu, pernah aku mendengar mereka menggunjingku ;
”Mas Ade dapat dipercaya anak buahnya lho pak !!” kata pak Bowo
”Dia tak pernah menganggab abak buah kok, anggota ,” kata pak Wahab
”Memanggil kami pun tak pernah nyebut nama,” komentar Sofyan
”Terus manggil nya gimana ?” tanya pak Bowo
”Kalau ke saya ya mang, kepada yang Jawa ya mas,” kata Sufyan
Sebetulnya, aku malu menguping gujingan mereka. Karena aku sadar bahwa merekalah
yan membuat sukses proyek Cibinong itu. Sebelumnya mereka sempat ragu, saat kutinggalkan
proyek itu cuti dua minggu pulang ke Wonogiri. Dikira aku pulang membawa uang upah kerja
dan tak kembali lagi.
Padahal justru akulah yang kwatir jangan – jangan kutinggal pulang, malah mereka
bubar. Alhamdulillah semua berjalan baik dan kutinggalkan Cibinong yang penuh kenangan
itu.

...........TAMAT.............
196

39
SEIRING KARIRKU BERSEMI
RUMAH TANGGAKU MULAI LAYU
Seusai Proyek Cibinong yang mengesankan itu. Aku masuk ke ibu kota lagi. Sedikit modal
kutabung, dengan harapan kalau ada pekerjaan, tak harus berhutang ke istriku. Kabar yang
kudengar pak Juma’at mandor senior kolegaku di proyek I I P Ragunan dulu di tunjuk
memborong upah kerja Gedung Depdagri di Jalan Merdeka. Kudatangi beliau ;
”Hai apa kabar mas Ade, lama tak kulihat,” tegur pak Jum
”Ade di Cibinong pak. Kata om Ipang pak Jum dapat proyek ini ?”
”Mas Ade proyek ini terlalu besar pusing aku mikirin uang makannya.”
”Berapa pekerja disini pak yang dikerjakan ?”
”Yang ada 42 orang saja aku kerepotan uang makannya mas !!”
”Kalau perlu lagi orangku ada lima orang sampai 10 adalah.”
”Kalau begitu gabung disini saja dan mas Ade bantu aku , bisa ?”
”Cara itung – itungnya gimana pak ?”
”Orangku 42, ditambah orang mas Ade katakan 8 orang, jadi 50 orang lah. Dan setiap
hari Rp.100 perorang berarti diperlukan Rp. 30.000 per 6 hari, Senin atau Selasa kan kembali
lagi uangnya. Jelasnya aku perlu modal Rp. 30.000 setiap Minggu dan aku kewalahan. Bisa
bantu aku kan kita kerja sama saja, aku yang urusan lapangan sampean ngurusi uang makan
dan gaji setiap minggu sekali.”
”Prinsipnya bisa pak. Alhamdulillah kalau begitu Insya Allah.”
Mulai hari itu, aku bergabung dengan pak Jum’at. Sebetulnya pekerjaanku ringan tapi
jiwa wiraswastaku tak berkembang. Kebetulan pak Rustam pedagang batu alam Palimanan
menawarkan dagangannya dan minta membantu memasarkan. Aku ingat mas Said memborong
upah kerja proyek Akademi Kesehatan di Bulungan Kebayoran Baru. Eh malah disuruh
membantu dulu sebelum memasang batu alam, karena pekerjaan belum finishing.
Dari Akademi Kesehatan kulihat RS Pertamina sedang dibangun juga. Aku coba
tawarkan ke sana, kutemui pak Bunawi Sub Kontraktor PN. Waskita Karya. Aku diajak ke
bedeng kantor beliau ;
”Mas Ade usaha batu alam dari Cirebon ?”
”Dari Palimanan pak. Oh Ya Cirebon,” jawabku membenarkan
”Punya tukang ahli pasang batu alam dan marmer ?”
”Oh ya pak, kami berikut pasang ? Tapi kalau marmer upahnya saja.”
”Boleh, coba kamu buat penawaran !!”
Dari petunjuk itulah kulaporkan pak Rustam untuk membuat penawaran harga. Setelah
negosiasi dengan pak Rustam selesai, aku memundurkan diri dari proyek Depdagri, mulai hari
itu saban hari aku berada di proyek RS. Pertamina. Didukung tukang pasang batu alam yang
telah pengalaman, kepercayaan pak Bun kepadaku bertambah. Demikian juga pak Rustam.
197

Kami ditawari pasang marmer tapi bukan dari pak Bun, malah langsung dari Waskita Karya.
Setelah ku tanyakan dengan tukang ku dia bilang ;
”Kalau bisa pasang batu alam pasti bisa pasang marmer mas !!” katanya.
”Jadi harganya berapa per meter, aku disuruh bikin penawaran !!”
”Sama saja dengan pasang batu Palimanan mas !”
”Oke, beres kalau begitu.”

Kuketik penawaran pasang marmer Rp. 1.250 per M2. Hanya borong upah pasang,
material ditanggung pihak WK. Alhamdulillah akhirnya disetujui. Bahkan pak Darsono Chief
Supervisior nya bilang jika sukses di Gambir juga ada proyek WK tapi belum sekarang.
Belum selesai seluruhnya pekerjaan di RS Pertamina, aku diajak melihat proyek kantor
PLN Gambir. Dan ketemu si Peok, temanku dulu, kugoda dia ;
”Mas Pe’ dicari mas Pardi, talasnya ditagih terus,” kataku
”Apa jawabmu ?”
”Ya seperti katamu, ”Sudah jadi tai mas” gitu,” jawabku tertawa ternyata dia tertawa
juga dan bilang dia juga bilang proyeknya di Gedung Pusat Pertaminan JL. Pejambon.
Saat ngobrol santai itulah kami ketemu dua orang berpakaian necis dan berkulit bersih
yang tampaknya ingin kenal dengan kami ;
”Kenalkan mas Juwito dan ini temanku Darmono,” sapanya sopan
”Oh ya, saya Ade dan temanku yang ini mas Pe” jawabku
”Dari Universitas mana ?” tanyanya membuatku kaget.
”Kami bukan kuliah tapi srabutan kebetulan diajak pak Darsono.”
”Oee orang WK ya ?” tanya teman satunya Darmono.
”Ya begitulah tapi ngesup saja mas, pasang marmer !!” jawabku
Dari perkenalan itulah setiap hari hampir ketemu yang akhirnya menjadi akrab dan
saling menghormati. Mereka menganggab kami orang – orang pengalaman di proyek, dan kami
menghormati mereka orang – orang akamedis ”Calon Insinyur.”
Hikmah proyek PLN Gambir bagi ku sangat menjanjikan. Karena menurut mas Juwito
jika aku mendapat pendidikan formal lagi niscaya akan menjadi orang lapangan yang
profesional. Ternyata maksud mereka aku disuruh mengikuti pendidikan Manajemen dan
Pelaksanaan Proyek dan sekaligus mendalami Ilmu Konstruksi Sipil secara kafah di lapangan.
Mendengar pembicaraan dua mahasiswa KKN itu, jiwaku bergejolak. Apalagi kata mas
Darmono, usiaku cukup relatip masih muda belum cukup 25 tahun.
”Benar mas mumpung masih ada kesempatan,’ kata mas Juwito.
”Maksud panjenengan aku kuliah ?’
”Sebetulnya tak harus kuliah seperti kami – kami ini, lama ,” kata mas Darmono
”Di kampusku Rawa Mangun ada lembaga pendidikan yang pas untuk Ade !!”
”Terus syaratnya ?? Aku tak bisa penuhi lho kalau harus ijazah STM !!”
”Kata sampean pernah di STM ?”
”Itu sih betul, tapi tak punya ijazah ??”
”Drop out gitu,’ tanya mas Dar
”Nggak juga sampai ujian, bener !!”
”Jelasnya gimana sih ?” tanya mas Dar makin akrab.
”Jelasnya begini,” jawabku.
Dan kuceritakan saja jaman Pra Gestok sampai akhirnya aku ikut mas Not setelah
ujian. Dan dialog kami bertiga saling adu argumen. Tapi setelah saya jawab dan kuberikan
alasannya, sahabatku yang baru mengenal satu bulan itu percaya, dan dapat menerima dasar
pemikiranku.
198

Maka demi meyakinkanku, ada kalanya mereka juga bilang, bahwa sebenarnya nasib
kami bertiga hampir sama, khususnya faktor ekonomi. Maka untuk membiayai kelulusannya,
atas dukungan Prof. Ir. Roseno mereka bergotong royong mendirikan Y P M di Rawa Mangun
itu, dan ngobyek proyek, tapi belum punya badan usaha jasa kontruksi.
Sejak persahabatan ku dengan dua oarang calon insinyur sipil itulah, aku terdaftar
sebagai siswa pendidikan manajemen dan pelaksanaan proyek di Rawa Mangun.
Karena hal tersebut menimbulkan pengeluaranku semakin bertambah kucoba
membicarakan hal tersebut ke istriku. Tapi entah dia faham atau tidak. Istriku menanggapi
dingin namun demikian aku tetap memberi gambaran.
”Mi, Umi tau kan kita berumah tangga mulai dari nol, demikian pula karirku. Untuk
menjadi profesional, orang – orang perlu lima taun. Aku mau potong kompas dua taun,
dengan caraku. Resikonya selama itulah aku tak mungkin menafkahi Umi secara benar. Karena
aku perlu bekerja sambil belajar lagi, setuju kah Umi ?”
”Aku tak bisa ngomong mas, terserah mas aja ,” jawabnya
”Tapi tak uasah ngomong ke mama’ tak kan dipercaya juga.”
Sejak itulah aku bertualang dari proyek ke proyek. Dimana aku mendapat uang untuk
bayar Rp. 10.000.00,- perbulan dan berusaha tinggal dekat Rawa Mangun, agar biaya transport
bisa ngirit.
Kadang – kadang aku nginap ke Berland, kalau tak ada uang. Juga kerumah mertuaku
seolah – olah cuma mampir numpang cuci pakaian dan makan.
Sudah barang tentu kelakuanku yang tak biasa itu menimbulkan tanda tanya mama’
mertuaku, tapi beliau tak pernah menanyakan apapun tentang sepak terjanku.
Belakangan ku dengar diluar kota, yaitu di kawasan Pulogadung ada proyek Industri
dan Pengudangan. Kucoba kesana ternyata benar. Pemda DKI membuka kawasan itu menjadi
Real Estate Pabrik. Aku mencoba ke kawasan itu karena traspotasinya mudah ke Kampus
Rawa Mangun. Rasanya aku cepat – cepat ingin membuktikan kepada istriku yan sudah mulai
malas menanggapi apapun yang kusampaikan padanya. Ibarat bunga kupandang mulai layu
dilahan yang gersang.
Duh memang tak mudah meniti karirku yang baru kumulai setahun ini dan aku takkan
berubah. Sekali kayuh harus sampai ketujuan. Kalau tak di mulai takkan selesai, semboyanku.
Orde baru kudengar menggunakan ”Pembangunan Lima Tahun atau Pelita” seperti
yang pernah kubaca.

.........TAMAT..................

40 MALANG MELINTANG DI PROYEK


KAWASAN PULOGADUNG

D
isuatu pagi aku duduk santai di depan pos jaga pintu gerbang Proyek pabrik Glas KCI
PT. Kanggar di Cakung, kontratornya PN Waskita Karya. Sebuah sedan Corola
memasuki pintu gerbang. Tiba – tiba penumpangan turun, ternyata Ir. Sudarsono.
Rupanya beliau masih mengenalku, karena dengan suara spontan, memanggilku dengan tegas.
”Ade kamu kerja dimana, bisa bantu aku ?” tegasnya
199

Aku tak mampu menjawab perintah beliau yang spontan itu, karena tak menyangka ada
dua pertanyaan dalam sekali ucapan. Sebelum kujawab beliau terus ngomong sendiri lagi.
”Aku Site Manger disini perlu bantuanmu. Jika kamu mampu mendatangkan material
dalam satu minggu ini. Saya yang menentukan pekerjaan disini.”
”Apa yang harus saya kerjakan pak ?” tanyaku
”Minggu depan tanggal 10, ada upacara peletakan batu pertama proyek ini yang dihadiri
langsung Perdana Menteri Australia Ir. Gough Whitlam dan pak Gubenur Jabar Solihin G.P.
Saya perlu material beton pasir, koral dan batu kali dari Bogor 250 an M3. Perinciannya ada di
kantor, hayo ikut saya.”
Diberondong perintah yang tiba – tiba itu jujur perasaanku harap – harap cemas,
karena aku tau sifat beliau di proyek kantor pusat PLN Gambiar itu. Kalau bicara meledak –
ledak tegas. Walau hatinya lembut kalau lagi cocok di hatinya. Setelah catatan kebutuhan
material diberikan kepadaku, aku ragu sebetulnya. Tapi harus kusanggupi saja ;
”Tapi aku tak punya kendaran pribadi pak ?” jawabku jujur
”Bawa Suyono mengantar mu sekarang, antar no ikuti dia !!”
”Kemana mas ?” tanya sopirnya Suyono
”Ke Bogor,” Jawabku
”Bogornya dimana,” tanya Suyono lagi.
”Ikuti Ade saja No. Tak usah tanya,” gertak pak Darsono.
Setelah diperjalanan menuju Bogor, aku baru bilang ke Yono bahwa kita ke Cibinong.
Tepatnya setelah Cimanggis tapi sebelum Cibinong ;
”Kenal Haji Ma’un dimana mas Ade ?” tanya Suyono
”Awalnya dari anak perempuannya menawarkan koral untuk proyekku.”
”Tapi apa mungkin dalam sepuluh hari mampu mengirim segitu ? “
”Entahlah yang penting iya in dulu, kamu taukan sifat pak Darsono ?”
”Nih Cimanggis mas tapi masih dipasar...”
”Yah itu setelah pasar yang Dam Truknya banyak itu !!”
”Assalammualaikum pak Haji .”
”Walaikumsalam, wah mas Ade hebat sekarang pakai plat merah.”
”Cari material sebanyak ini dalam 10 hari bisa ngirim pak Haji.”
”Kenapa tidak, untuk dimana sih ?” jawab pak Ma’un sambil menggil seseorang.
”Cakung pak Haji untuk Waskita, bilang pak Haji suruh mencari orderan besar?”
Selanjutnya kami bicara dengan menantunya; Dari sepuluh truck yang operasi, jika rata
– rata 4.00 M3 per red = 4.00M3 x 3 = 120.00 M3 perhari.
”Bisa mas, tapi di Pulogadung ada jembatan timbang?”
”Insya Allah gampang. Seperti dulu di proyek Kramayuda Tiga Berlian kan pakai
stiker khusus.”
Hari itu pukul 10.30 urusan Cibinong selesai. 10 truck pak Haji Ma’un didaftar nomor
Plat sudah kukantongi tinggal stiker ”WK” dan mendaftar ;
”Mas no, di proyek ada stiker WK untuk proyek Cakung ?”
”Buanyak mas berapa ? buka laci itu !!”
”Kalau begitu dari kantor LLAJR langsung kembali ke Cibinong lagi .”
”Oke... saya kan sopir, tapi makan dimana kita ?’
”Kaya Teguh temanku dulu mas no, belum selesai mikir makan !!” candaku
”Setelah ke kantor LLAJR katanya selesai.”
”Ya nanti pokoknya sebelum terlambat jam satu kita makan disana.”
”Dimana, di rumah pak Haji, memang mas Ade calon mantunya ?”
”Mantu siapa. Pak Haji Ma’un ? Dia tadi mantunya no !!”
200

”Oooe dulu kata mas tadi yang ngenal pertama anak perempuannya ?”
”Betul... ya itu juga suaminya!!” kataku setelah tiba di halaman pak Haji Ma’un.
”Shalat dulu baru makan, atau makan dulu mas ?” tanya pak Haji.
”Kata pak Haji lebih baik makan ingat shalat daripada shalat ingat makan.”
Pukul 02.00 sore setelah ngecek stok batu koral dll. Pak Haji minta di buatkan order.
Kugunakan buku memo yang ada di laci mobil pak Darsono. Pak Haji tak komplain.
Walaupun yang tanda tangan aku sendiri.
”Nama lengkap mas Ade ini. Ade Sudarsono ?” tanya pak Haji.
”Sementara pak Haji,’ jawabku sambil pamit.
Sore sebelum pukul 04.00 sore kami lapor ke pak Darsono. Besok paginya pukul
10.00 iring – iringan dam truck sudah tiba dekat pintu proyek. Pak Darsono tak memujiku,
karena aku sembunyi di balik pos ingin tau reaksinya. Sebab sejujurnya aku belum yakin jika
menantu pak Haji Ma’un yang ku nilai orang kantoran itu, setara aku etos kerjanya. Ternyata
yang kelapangan malah bukan dia. Tapi Kepala Bagian Traspostasi nya, pak Jamaludin.
Alhamdulillah pak Jamal menjamin tak sampai 4 hari sudah cukup bahkan lebih. Mulai hari itu
kepercayaan pak Darsono kepadaku dapat kubuktikan. Saat aku melaporkan tugasku selesai,
bahkan jumlah yang dikirim melebihi pesanan. Pak Darsono angkat jempol, beliau puas dan
aku diminta menyiapkan tenaga kerja untuk upacara dimulainya peletakan batu pertama
proyek. Ada berita penting bahwa aku harus tiba ke RSPAD segera.

........TAMAT........

41
MENGANTAR PENOLONGKU
KETAMAN PAHLAWAN KALIBATA

I
nnalilahi Wainnailaihi Rajiun, mas Oes yang tiga hari lalu sempat kubesuk sampai
kudampingi hingga pagi pulang ke Rahmatullah. Pukul 4.00 sore kutinggalkan proyek.
Ternyata beliau meninggal baru sejam yang lalu. Sepulang kerja pak Darsono katanya
sempat ke RSPAD tapi tak sempat ketemu aku saat masih di ruang Mortuary. Karena dari
pihak RSPAD menanyakan kepada ku ;
”Mas keluarganya yang muslim ?” tanya petugas Mortuary
”Ya pak adiknya !” jawabku bohong demi kebaikan
”Kalau perlu di sucikan disini boleh juga,” kata petugasnya
”Setuju pak, dirumah tak mungkin dapat berlangsung.”
Pukul 8.30 malam jenazah pak Oes di antar kerumah duka, dengan mobil jenazah
RSPAD setelah disholatkan oleh beberapa anggota Garnizum yang sering kulihat. Tiba
dirumah, bu Amir dan warga komplek serta jama’ah masjid setempat sudah berada di situ.
Sebetulnya aku binggung juga karena baru malam itulah aku ditugasi bu Marmo mertua pak
Oes mewakili sahibul bait, karena seluruh keluarga mbak Sih istri almarhum semua beragama
kahtolik.
Hal – hal yang mengenai fardu kifayah kuserahkan pak Yasin, imam masjid setempat
yang berdomisili di kampung diluar komplex Pomad Para. Diluar dugaan pukul satu malam
201

dengan mobil militer tiga orang mengenakan hitam – hitam datang di rumah duka memanggil
saya atas nama keluarga pak Oes.
”Sampean keluarganya ? muslim ?” tanya orang yang berperawak tinggi besar.
”Iya pak, mas Ade ini yang mewakili keluarga,” kata pak imam
”Assalamualaikum Bapak – bapak, kami atas nama Satuan Garnizum mohon maaf atas
keterlambatan kami. Karena malam ini malam Minggu, sehingga proses penelusuran dan
administrasi keputusan agak terlambat. Dari Surat Keputusan yang ada, menetapkan almarhum
Kapten Oestadi berhak di makamkan di ”Taman Pahlawan Kalibata” hari Minggu pukul 12.00
Wib, dan pukul 08.00 satuan tugas pemakaman sudah siap disini. Namun jika keluarga ingin
mengadakan acara sebelum jenazah di tangani secara Militer, kami persilahkan. Faham dik “
kata Komandan itu.
”Faham terima kasih,” jawabku juga ke pak Yasin
Usai membacakan Surat Keputusan. Aku diberi uang langsung dari dompet Komandan
tadi sejumlah Rp. 10.000. Saat aku menerima itulah, baru tau nama Komandan tadi Susilo
Sudarman. Karena baik yang hadir ataupun keluarga sudah mendengar semua, saya tak perlu
menjelaskan lagi. SK kukasih mas Heru ipar almarhum yang paling tua.
Begitu pak Sudilo Sudarman meninggalkan rumah duka. Yang muslim mengucapkan
Alhamdullillah, beberapa orang kudengar Puji Tuhan, termasuk as Heru dan bude Marmo;
”Kita amengadakan Yasinan mas ?” tanya pak Yasin.
”Silakan pak ,” jawabku spontan setengah tak paham..
Setelah jama’ah duduk mengitari jenazah, dipimpin pak Yasin bersama – sama
membaca surat Yasin, dan menunggu jebasah hingga menjelang Subuh, sebelum pulang pak
Yasin mendekatiku dan berbisik.
”Mas aku pulang dulu dan biasanya yang baca yasin dikasih uang !!”
”Berapa yang kuberikan pak ?”
”Biasanya, tiap orang kalau sampai subuh begini dapar Rp. 1.000.00,-”
”Lantas berapa orang yang perlu dikasih ?”
”Dengan saya sepuluh orang .’
Apa boleh buat uang Rp. 10.000.00,- dari pak Susilo Sudarman kukasih pak Yasin dan
jama’ahnya.
Pagi – pagi, sebelum Satgas pemakaman tiba. Aku ditemui bude Marno, mertua almarhum,
menanyakan uang dari Komandan semalam ;
”Mas, tadi kulihat pak Darwman ngasih uang ?”
”Iya bude, tapi sudah habis kukasih pak Yasin .” jawabku
”Kok dikasih pak Yasin ? Bukan untuk keluarganya?”
”Pak Yasin bilang biasanya kalau mereka sampai subuh dibayar !!”
”Memang pak Yasin minta Rp. 10.000.00,-“
”Dia tak bilang segitu. Cuma anggotanya 10 orang masing – masing Rp. 1.000.00,- “
”Walah mas wong Rp. 10.000.00,- kok dikasih semua ?” omel bude Marmo
Pagi – pagi pukul 08.00 pasukan petugas jenazah sudah datang. Setelah semua kolega
dan beberapa pamen lengkap upacara pemberangkatan secara militer berlangsung serempak,
pukul 11.30 pemberangkatan jenazah. Tepat pukul 12.00 pemakaman secara militer lengkap
dengan tembakan si Taman Pahlawan Kalibata. Aku sebetulnya diminta membacakan
sambutan keluarga, karena saya tak siap, maka mas Hery lah yang melakukan sambutan
keluarga.
Hingga hari ketiga, aku baru meninggalkan rumah duka, menuju proyek lagi. Hari ke
tujuh tak disangka satu bus tamu dari Maluku Selatan datang. Kepala rombongan
mengutarakan ikut berduka atas wafatnya pak Oes. Dan minta ijin membacakan Tahlil dan
202

Doa sebagai mana lazimnya. Karena pihak keluarga istri almarhum sudah mulai faham, maka
dua puluhan tamu ku gelarkan karpet seperti sebelumnya. Kepala rombongan mebisiki saya ;
”Mas Ade dari keluarga almarhum?”
”Iya pak.”
”Tak usah repot-repot nyediakan air minum ya.”
”Kenapa pak, saya sendiri yang ngatur halal pak !!”
”Bukan begitu, kami habis ziarah ke makam Kalibata tadi. Sudah pesan komsumsi
cukup untuk orang 45 orang.”
”Oh sampai demikian pak !”
”Rombongan ini sebagian juga orang Jakarta dari PAMS.”
”PAMS Ambon Jl. Siliwangi pak ?”
”Ya mas Ade tau juga. Ok tenang saja kami mulai pkl 11.00 siang .
Acara tahlilan selesai. Kami makan bersama rombongan juga beberapa warga komplex
diantaranya Mayor Amir tetangga satu blok. Selesai tahlilan, pak Azis kepala rombongan
memberi sambutan singkat :
”Kami rombongan dari Maluku datang ke rumah duka ini atas dorongan yang kuat atas
tindakan almarhum Oestadi, saat operasi Maluku 1963 di Maluku Selatan.
Karena beliaulah keluarga kami selamat tak kurang suatu apa pun. Untuk jasa
alrmarhum pula kami bernazar, akan bersilaturrahim jika beliau sudah pesiun. Alhamdulillah ,
RRI menyampaikan kabar duka bahwa almarhum telah dipanggil pulang seminggu yang lalu.
Difasilitasi teman – teman keluarga ”PAMS” barulah hari ini niat kami terkabul dan
mendapat sambutan yang hangat. Demikain terima kasih Wabillahi taufik walhidayah.
Wasssalammualaikum wr. Wb.
Terang benderang dan lega lah kami setelah kata sambutan pak Azis tadi. Keluarga
baru tau kronoliginya juga pak Amir tentunya.
Setelah rombongan Maluku pulang, aku secara pribadi mengetahui karena pak Oes
pernah cerita kepadaku. Tentang kisah Operansi RMS dulu. Ternyata bukan aku saja yang
mengagumi beliau. Semoga arwah almarhum tenang disisi Allah dan diampuni dosanya. Amin.
Setelah tujuh hari berpulangnya pak Oes kerahmatullah. Aku jarang kerumah dinas
Pomad Para Blok H No. 24 itu, kecuali penting dan kabarnya mbak Dih melahirkan kembar
sepeninggal almarhum.

........................TAMAT.......................

42
TUJUH BULAN BERSAMA WASKITA KARYA
DI KCI KACUNG

Tanggal 20 Mei 1972 upacara peletakan batu pertama proyek KCI Cakung diwarnai
kepanikan. Pasalnya pondasi yang telah dibor sehari sebelumnya kedalaman 12 meter itu
longsor, dan baru diketahui dua jam sebelum upacara yang dihadiri P M Australia Gough
Whitlam dan Gubenur Jawa Barat Solihin G.P itu dimulai.
Pak Darsono sebagai Pimpro panik. Ir. Heru Kepala Bagian Pengeboran jadi sasaran
kemarahan. Aku telah stan bay bersama 20 tenaga kerja kena imbasnya juga. Semua dipanggil
dilokasi titik pondasi termasuk bule konsulan dari Australia itu.
203

Karena tak mungkin upacara yan direncanakan pukul 10.00 pagi itu ditunda. Maka
diputuskan, pengecoran beton tetap dilaksanakan sesuai rencana. Apapun resikonya dibahas
kemudian setelah tamu undangan kembali.
Pukul 11.00 siang sesuai pejabat undangan pulang, pak Darsono mengumpulkan semua
stap teknis yang berkompeten, termasuk Mr. Jhon Konsultan bule itu. Aku bersama anggota
menikmati nasi bungkus jatah makan siang. Tiba – tiba seseorang memanggilku ternyata pak
Putu, Chirf Supervisior proyek itu. ”Mas Ade dipanggil pak Darsono.”
Aku bergabung dengan orang – orang berwajah tegang di Ruang Direksi. Entah apa
yang dibicarakan sebelum aku datang, langsung saja pak Darsono tanpa basa basi
menyemprotku dengan kata bernada marah ;
”Ade, kamu disinikan terlibat masalah ini kenapa menjauh ?”
”Apa yang harus saya lakukan pak ?” jawabku berdebar.
Pak Darsono membeberkan kasus kegagalan pengecoran yang baru saja terjadi. Terus
menanyakan apa tindakan selanjutnya. Aku ingat saat diskusi bersama beberapa Insiyur Muda
di kampus Rawa Mangun. Dari sedikit pengalaman dan ilmu yang kumiliki ku utarakan ideku ;
”Coba kamu buat gambar sket di papan tulis !!” perintah pak Darsono.
Atas intruksi bos yang temperamen itu kupaparkan ideku di papan tulis putih itu
dengan desain coretan secara teknik. Konsultan bule itu melihatku secara memberi jempol
menunjukkan dukungan terhadap usulku. Hanya karena dia berbahasa Inggris aku tak tau
persis apa artinya.
”Tau mas, maksud Mr. Jhon,” tanya pak Dar tenang
”Sedikit tau maksudnya pak, tapi aku tak mudeng !” jawabku
Mendengar kata – kataku pak Darsono tertawa dan suasana menjadi cair dan clear.
Rupanya ideku diterima si bule Australia karena konsukltan itu angkat jempol terus
meninggalkan ruangan rapat.
”Ada yang bisa bahasa Inggris ?’ tanya pak Darsono. ”oke kalau begitu meeting selesai,
kita makan dulu .’ kata nya lagi.
Seusai ngomong begitu pak darsono menyuruh ambil nasi bungkus pesanan dari
warung Minang Saiyo dari Pulogadung. Semua makan dengan santai demikian juga pak
Darsono. Siang itu aku dua kali makan snasi bungkus ”Mumpung gratis” pikirku ;
”Anak buah mu berapa mas ?” tanya pak Dar sambil makan.
”Sementara ini 15 orang pak,” jawabku lega.
”Besok kamu dampingi saya bicara dengan Mr. Jhon.
”Saya tak bisa bahasanya pak ?”
”Besok pagi tak bawakan juru bicara seorang perempuan oke !!”
”Siap pak sendiko dawauh,’ jawabku menghubur pak Dar.
Siang itu seusai makan siang, dari tiga orang stap lapangan pak Dar, yang paling
simpatik kepadaku hanya mas Putu. Mas Erwin biasa saja. Tapi yang cuek Muhidin orang
pendek gempal itu tampak iri padaku. Aku sadar, bahwa aku memang bukan orang WK.
Besok harinya pak Darsono membawa dua orang dari kantor Blok M , mas Haryanto
dan perempuan berumur sekitar 40 an itu bu Darsono, kupanggil bu Dar saja.
Dalam dua hari berturut – turut dari pukul 09.00 samapai pukul 12.00 siang bu Dar
mendampingi saya sebagai juru bicara , jika aku berdiskusi dengan Mr. Jhon. Hari ketiga bu
Dar tak ada lagi, setelah kutanyakan ;
”Ibu tak mau lagi mas, katanya malas jadi ajudan Ade !” canda pak Dar.
”Terus selanjutnya siapa pak, yang mendampingi Ade?” tanyaku
”Mas Haryanto saja, sekalian membuat gambar konstruksi nya !”
204

Hari berikutnya aku ditunjuk memborong upah kerja mengecor pondasi pabrik dan
gudang berikut seluruh fasilitas yang ada dalam proyek. Bulan Pertama tak ada masalah dengan
keuangan. Namun demikian karena proses pembayaran upah kerja selalu tak tepat waktu,
modal kerjaku habis. Atas pertolongan pak Darsono aku mendapat suntikan modal kerja dari
bu Darsono Rp.300.000.00,-
Bulan berikutnya jumlah pekerjaanku semakin bertambah, otomatis aku juga memerlukan
tenaga semakin banyak. Maka dengan uang Rp. 300.000.00,- tetap saja tak cukup. Padahal aku
berusaha mengurangi pengeluaran yang tak perlu.
Ditengah kubutuhan modal yang mendesak, datang pejabat PT. Teratai Mas. yang ingin
mendapat pekerjaan sebagai sub kontraktor PN. Waskita Karya oleh pak Darsono, PT. Teratai
Emas di minta kerja sama dengan aku.
Semula Pt. Tertai Emas ragu terhadap aku, tapi setelah sedikit digertak pak darsono,
rupanya keder juga. Aku mendengar dialognya antara pak darsono dengan Direksi PT. Terarai
Emas, yang bernama Nico itu ;
”Pak Nico sudah lama bergerak dibidang kontraktor ?” tanya pak Dar.
”Belum satu taun ini pak, setelah di EMKL macet,’ jawab Nico.
”Aku punya kebijaksanaan. Bagaimana jika joins dengan mas Ade ?”
”Kami baru saja mengenal pak, akan kami pertimbangkan,” kata Nico.
”Kalau pak Nico ragu,aku garansi nay abagaimana ?”
”Caranya bagaimana pak ?”
”Modali Ade kamu kan punya modal kebetulan Ade perlu modal kerja.”
”Kontarak kerjanya pak. Siapa yang jadi pihak kedua ?”
”Ooo gitu ya Ade a/n PT. Teratai Emas.”
”Pembayarannya ke rekening siapa.”
”Itu atur saja berdua,. Bagaimana mas Ade solusinya?” tanya pak Darsono.
”Saya setuju pak, asal adil danterbuka.’
Hasil perundingan yang difasilitasi pak Darsono, aku diangkat menjadi karyawan PT.
Teknik Emas yang bertugas melaksanakan pekerjaan khusus pembetonan Proyek Pabrik Glas
Joins PT. Kangar Australia – Indonesia yang berlokasi di Cakung Kab Bekasi Jabar dengan gaji
Rp. 20.000.00,- perbulan.
Lima bulan proyek kami berjalan lancar bahkan konsultan bule itu semakain familier
dengan ku. Entah kursus bahasa dimana, Mr. John semakain bisa mengerti apa yang
kukatakan. Saking terkesannya bersahabat dengan aku di hadiahi sepasang sepatu Septy kulit
warna coklat susu yang masih jreng.
Bak disambar petir disiang bolong, Widodo asistenku, melapor ; Minggu depan
pekerjaan disuruh stop dulu. Karena tagihan dari WK belum dibayar. Tak sabar aku
mendengar kabar itu, dengan perasaan gusar aku mengahadap Dir. PT. Teratai Emas, pak
Mawardi Siregar ;
”Ijin Menghadap pak, benarkah proyek di Cakung stop dulu ?”
”Habis uang anggaran untuk proyekmu, dari mana aku membayar ?”
”Memang untuk proyek kami, disediakan dana berapa pak ?”
”Ku alokasi Rp.1.000.000.00,- dankamu lebih tiga bulan mana setorannya ?”
”Lho, pak dari catatan saya setoran kami lebih dari itu.’
”Lebih satu juta ? kemana Ade setor?”
”Ke pak Alex pak melalui Widodo dengan cek tumai!”
”Cih, icih, berapa setoran proyek Cakung ?” tanya Pak Siregar ke bagian kas.
Hari itu kami mengadakan pemeriksaann catatan keuangan dengan pemengang kas
mbak Cicih. Hasilnya ada selisih Rp. 810.000.00,- Kagetlah pak Siregar Dirut itu.
”Kok sampai segitu ?” tanya beliau
205

”Yaitu pak aku juga heran?” jawabku


”Siapa yan membuat rekapitulasinya ini ?”
”Mas Wid pak, aku yang ngajari.”
”Selama ini yang mencairkan cek siapa ?’
”Kata mas Wid pak Alex. Mas Wid ada pak diluar ?”
”Panggil dia ? Masa selisih sampai segini ? Betul yang membuat dia.”
”Betul pak. Sesuai yang saya terima dan kuserahkan pak Alex,” jawab Widodo
”Bukan Ade yang mencairkan ke Bank?”
”Hanya sekali pak. Yang pertama saja,” jawab mas Wid lagi
Gegerlah kantorku. Semua ditanyai, yang saya herani mengapa pak Alex kok tak
ditanyai? Kok malah aku yang seolah bertanggung jawab?
Dampak lenyapnya uang proyek sebanyak itu, gaji buruh ditunda sementara. Buruh tak tinggal
diam. Mereka biasa menerima gajinya setiap hari Sabtu, dua minggu tak menerima gaji
proteslah mereka. Untunglah sebagian besar orang – orang lama..
Ditengah buruh yang emosi, aku tersandera tak boleh meninggalkan proyek Cakung.
ironisnya aku malah dipanggil ke Komres Tebet, melalui Surat Panggilan Polisi yang dibawa
pak Hutapea, kepala personalia PT. Teratai Emas.
”Pak Hutapea, aku belum bisa penuhi panggilan itu sebelum mereka dibayar !”
”Kenapa begitu nanti kamu malah dijemput polisi !” kata Hutapea.
”Tak ada urusan dengan pilisi sebelum anak buahku dibayar?”
”Baiklah kalau engkau tetap begitu!” Jawab Hutapea.
Buruh proyek itu bersorak sorai mendengar sikapku yang tegas. Sorenya pak Hutapes
membayar semua gaji buruhku selam dua minggu. Setelah selesai aku lega. Pak Sarja
menyalamiku, sebelum aku meninggalkan mereka ;
”Karena sore, kantor polisi sudah tutup, besok saja mas !” kata Hutapea
”Mengapa harus saya yang dipanggil polisi terus Alex bagaimana ?” tanyaku
”Datang dulu lah kamu kan mau dimintai keteragan dulu !”
”Tanpa uang trasport, malas pak !” jawabku
Besok paginya kupenuhi panggilan polisi. Oleh pemeriksa kasus ku itu, aku ditanyai
sampai pukul 02.00 siang. Karena aku lapar dan polisi tak memberi makan, aku memcoba
pinjam telepon untuk menghubungi mas Heru di Pomad Kalibata. Malah yang angkat telepon
pak Saniyo kerabat mas Heru yang baru datang dari Semarang. Setelah kuceritakan bahwa aku
diperiksa polisi, pak Saniyo diantar mas Heru datang ke Komres Tebet.
Selesai mendengar masalahku, pak Saniyo mendatangi polisi yang memeriksaku. Aku
sendiri mogok tak mau diperiksa dengan alasan lapar dan merasa diperlakukan tak adil.
”Kenapa kamu merasa kan ketidak adilan ?’ tanya pak Saniyo
”Aku yang mendapat proyek, aku yang mendatangkan buruh, aku juga yang
menghasilkan uang untuk PT. Teratai Emas, mengapa aku yang di perlakukan begini ?”
jawabku
”Saudarakan hanya dimintai keterangan sebagai saksi ?” tanya polisi.
”Tadi bapak bilang aku sekongkol dengan Alex .” jawabku keras
Karena aku tak mau diperiksa lagi, hari itu pemeriksaan terhadapku dihentikan, aku
boleh pulang.
”Pulang kemana mas ?” tanya pak Saniyo
”Entahlah pak, aku mau pulang kemana ? Mau kekantor dulu.”
Rupanya mereka kasihan padaku, diantarlah aku kekantor PT. Teratai Emas di JL.
Ostista ( Oto Iskandar Dinata ). Ramailah di kantor, melihat kedatanganku dikawal seorang
206

anggota RPKAD berpangkat Kapten dan mas Heru. Disangka pak Saniyo mau marah ternyata
kalem saja ;
”Ada pak Direktur dikantor ?” tanya pak Saniyo
”Ada pak,” kata mbak Icih

Diruang meeting kamtorku, kami bertiga dipersilahkan masuk. Pak Mawardi Siregar
Direktur Utama memanggil beberapa stap nya. Kedatangan pak Saniyo ingin tau duduk
persoalannya, mengapa aku diintrogarasi di kantor polisi. Pak Siregar memanggil stap beliau
antara lain pak Hutapea, Mbak Icih dan pak Siagian. Pertanyaan pak Saniyo sederhana ;
”Siapa sebetulnya pak Nico itu ?”
”Kepala Divisi kami pak.” Jawab pak Siregar
”Kalau Direkturnya bapak, mengapa yang mengangkat Ade jadi karyawan kok Nico ?”
”Sementara pak, untuk proyek di Cakung itu ?” jawab pak Siregar
”Siapa yang mendapat proyek di Cakung itu ?”
”Kata stap kami, mas Ade. Selanjutnya kerjasama dengan PT. Teratai Emas.”
”Pak Nico itu kan orang yang diangkat bapak. Iya , begitu ?”
”Benar pak.”
”Kabarnya Nico yang mengelapkan uang hasil proyek di Cakung ?”
”Sementara baru dugaan pak, belum disimpulkan.”
”Kenapa yang dilaporkan malah Ade, bukan Nico yang diduga menggelapkan uang
Nico, kok yang dilaporkan ke polisi kok adik saya, Ade aneh kan?”
Mendengar pertanyaan pak Saniyo tadi, direktur ku itu rupanya terpojok. Sehingga
jawabnya tak berbobot cenderung gusar. Akhirnya pak Hutapea sebagai Kepala Personalia ijin
ikut bicara ;
’Sebetulnya yang melaporkan bukan pak Siregar pak ?” kata Hutapea
”Siapa kalau bukan pak Siregar, direkturnya kan beliau ?” anya pak Saniyo.
”Kami berdua pak, dengan pak Siagian, Ka Bag Keuangan.” jawab Hutapea
”Bisa dicabut laporan polisi itu. Kasihan Ade kan ? Dia yang mencari proyek, dia juga
yang melaksanakan banting tulang hujan panas tak kenal istirahat. Uang hasil jerih payah
dengan para buruhnya disetorkan kesini, digelapkan Nico. Bahkan mampir diamuk para
buruh. Kok adik saya yang disuruh tanggung jawab?’ dilaporkan polisi pula ? Tolong Bapak –
bapak pertimbangkan keadilannya. Aku seorang anggota RPKAD, jauh – jauh dari Semarang
mendengar adik saya di zolimi seperti ini siapa yang tak kaget. Saya bukan membela dia kalau
dia salah itu urusan polisi. Tapi sebagai kakaknya jika adiknya dibeginikan siapapun akan saja
hadapi. Maaf pak saja bukan mencampuri urusan kantor bapak – bapak, faham pak ?”
”Paham pak, kami mohon maaf dan akan kami cabut lapaoran polisi !” kata Hutapea
”Mas Ade ada yang mau diomongkan mumpung kumpul !” saran pak Saniyo
”Sebetulnya saya tak bermaksud mengadukan masalah ini ke pak Saniyo. Di kantor
polisi tadi, aku mogok diperiksa hanya karena lapar, dan tak punya uang. Polisi pun boleh
mencari makan dulu. Aku nelpon agar dibesuk siapa saja yang di rumah Pomad. Tak taunya
yang datang mas ku ini. Untuk itu pak Siregar jangan salah persepsi. Bahkan kesini pun aku
tak nyangka kalau diantar kakakku.”
”Kamu katanya tak punya uang, kekantor mau jalan kaki ? tanya kata pak Saiyo
tersenyum
”Kebetulan disebelah ada Soto Betawi mau kesitu ?” ajak pak Siregar ramah
”Orang lapangan proyek seperti saya pak, apa saja mau, tapi...... ?”
”Yang bayar Hutapea lah, jangan khawatir !” sambut pak Siregar bercanda
”Bukan khawatir bayarnya pak, tapi kalau soto, tiga porsi baru kenyang,” selorohku
”Kalau begitu ke warung Padang sajalah !” kata pak Hutapea.
207

Usai meeting, kami bertiga ditambah orang tiga dari kantor akhirnya makan siang di
warung Padang. Suasananya berubah total, tadinya tegang akhirnya akrab.
”Makan sepuasnya mas, mumpung tinggal pilih!” seloroh mas Heru.
”Mas Ade dekat Icih sini, biasanya kalau makan soto kan,” panggil Icih

Seusai makan kami berpisah. Pak Saniyo dan mas Heru kembali ke Komplex Pomad.
Kami berempatkembali di kantor lagi, ditengah perjalanan pak Suagian bertanya ;
”Mas Ade dari keluarga ABRI ya ?”
”Sebutkan dari angkatan mana, keluargaku komplit. RPKAD, CPM, KKO Al, Polisi !”
’’Ada polisi juga ?”
”Jika tau dari keluarga polisi mungkin kejadiannya lain ?”
”Apa pangkat keluarga mas Ade yang di polisi ?” tanya Hutapea
”AKBP pak, pangkat rendah saja !” jawabku
”AKBP pejabat tinggi dong, AKBP kok rendah, sialan !” kata pak Hutapea
”Nggak juga, cuma Kasdak ?”
”Kasdak betul, di Komdak mana ?’
”Telepon saja ke Komres Glodok, atau ke Komdak Maliku ?”
Karena ngomonganku tinggi dan serius, mereka mikir. Mulai hari itu tak
memandangku sebelah mata seperti selama ini. Aku sadar betul. Baik di Waskita ataupun di
Teratai Emas, posisiku cuma dianggab numpang hidup. Namun demikian aku optimis kapan
waktunya aku bisa seperti mereka yang berkuasa itu. Seperti pak Siregar. Sebetulnya hanya
banyak uang karena itulah beliau bos.
Hikmah peristiwa itu bos Teratai Emas sedikit berubah. Dulinya seolah – olah hanya
kenal namaku, mulai hari itu segala hal yang mengenai proyek tumpuannya aku. Malah 2 unit
truck EMKL yang dipakai suplay material dijual, setelah konsultasi denganku.
Proyek Pabrik Glas Cakung dengan ketat kutangani secara benar, tak ada korupsi lagi.
Kabarnya, Nico Alexander koruptor itu kabur dan rumahnya habis kena pelebaran jalan.
Rumah tangganya gulung tikar. Aku mawas diri. Rumah tanggaku pun tak jelas, namun aku
korban kebiadaban si Nico.
Dua bulan sisa proyek Cakung selesai. Aku ditarik kekantor Teratai Emas. Disanalah
aku semakin dekat dengan karibku berdua, mas Juwito dan mas Darmono. Dialah yang
mencari proyek dan aku yang menghitung. Pak Siregar selalu disodori tawaran proyek.
Keputusannya mengantungkan rekomendasiku.
Tiga proyek kutangani, Perum Kantor Pos di Kebun Jeruk, SD Dukuh Atas dan RS
Polri R.M. Sukamto yang paling besar. Tapi tetap saja aku belum ada perkembangan
penghasilan, akhirnya mundur.
Ada lowongan di proyek Pulogadung PT. Utama Patra Jaya. Ternyata sama saja gajiku
Rp. 20.000.00,- bedanya aku mendapat makan siang dan trasport. Namun ada diskriminasi
antara pegawai lama dengan aku yang baru masuk. Atas provokasi Buyung Waria pengantar
makan siang itu, aku protes kepada Pemimpin Proyek ;
”Pak mengapa hanya untuk bisa makan dikantin harus kerja 3 bulan dulu ?”
”Sebelum tiga bulan, masih status masa percobaan.” Jawabnya enteng
”Saya kan sudah malang melintang di proyek gedung dan pabrik ?”
”Itulah peraturannya jika kerja disini.”
”Apa hubungannya dengan makan siang, isi perutnya kan sama pak ?”
”Anda selama ini kan sudah makan sama - sama dengan yang lain di kantin kan.”
”Hanya karena saya nekad pak, dan bukan biaya proyek cuma numpang duduk.”
208

Manager proyek itu rupanya tak sadar, bahwa selama ini aku di jatah khusus oleh
Buyung dari Minang Saiyo, karena empaty nya. Tersentak atas sikapku yang keras dan nekad,
akhirnya etnis Tiong Hwa kelahiran Pulau Dewata itu sadar. ;
”Oke mas, mulai bulan depan anda bisa makan seperti yang lain ?”
”Bulan depan kan ”Kastaku” memang sudah berubah pak .”
”Maksudnya ?’ tanya manager itu tersipu.
”Aku akhir bulan ini mengundurkan diri pak, mohon maaf.’ Jawabku santai.
Peristiwa kecil itu menjadi pembincangan dikalangan temanku. Buyung Waria lincah
itu gembira. Dari jasanya pula, aku diajak menemui om Yap, Insiyur lulusan Trisakti, di
kawasan Plugadung juga. Selepas aku dari proyek Utama Patra Jaya ( UPJ ), aku menggeser ke
Proyek Young Tekstil tak jauh dari proyek UPJ.
Om Yap, orangnya ramah. Seorang etnis Tiong Hwa. Berkat loby si Buyung aku di
wawancarai dengan familier. Sepertinya type orang sepertiku diperlukan. Hanya karena
rencana proyek yang sama di Pemalang Jateng masih dalam proses IMB. Aku disuruh
membantu beliau, untuk persiapan proyek Pemalang.
Sepuluh hari pertama aku sudah dipercayai membawa mobil sedan yang kinclong
merek Toyota Corola. Makan siang tak ada masalah. Dimana kami berdua berjalan, waktu
makan siang makanlah kami berdua.
Dikantor nya Blok M pun sering tak lama, dan selalu aku yang diajak. Pak Mustafa
yang dipercayai om Yab, untuk proyek Yoeng Tekstil. Tapi dalam hal Memimpin proyek tak
ada pengalaman. Dan akulah yang selalu diminta kerjasama dengan pak Mus itu. Hanya
mungkin dia cemburu saja pak Mus kurang simpati padaku. Aku mengalah mengingat usai aku
belum menginjak 26 tahun sedangkan pak Mustafa pensiunan P.U.
Di YPM Kampus Rawamangun aku selalu di tanyakan sahabatku mas Juwito. Konon
dosennya terkesan, bahkan bantuanku membuat skripsi pra ujian dua sahabatku itu tentang
kontruksi beton bertulang untuk pondasi jalan raya Bandara mendapat respon positif. Aku
kaget karena yang ku maksud hanya Run way, Terminal Bus kota, Halte dan SPBU.
Seiring karirku mulai bersemi, rumah tanggaku terancam ”layu.” Karena istriku selalu
acuh jika sekali – kali aku menengok keluarga. Bahkan pakaianku yang sering kutinggal di
keranjang agar tercuci, kulihat tak disentuh oleh istriku. Maka pakaian kotorku tetap numpuk
di keranjang itu berhari – hari. Aku cepat sadar, kejadian itu ”lampu kuning” terhadapku,
seperti tiga tahun lalu. Aku tak bakal menanyakan itu. Karena firasatku, mama’ mertua jenuh
melihatku di rumah itu, malah istriku seperti terpaksa bicara padaku;
”Mas malam Minggu nanti abah dan mama’ mau bicara penting !” pesan istriku yang
kelihatan sedih, itu aku faham. Lampu kuning atau merah pikirku.
”Baik, Insya Allah aku pulang, malam Minggu. Tolong Tati jangan menangis ya !!”
pesanku, setelah kulihat istriku tampak sedih.

....................T A M A T ......................

43
MENDAPAT LAMPU KUNING
MENJELANG KUGAPAI MIMPIKU
209

H
ari Rabu, pagi – pagi aku naik bus jurusan Rawamangun. tak seperti biasanya. Entah
apa yang mendorong perasaanku pergi ke kampus PAGI itu. Kuingat pesan istriku,
”Malam Minggu aku harus menghadap mertua.” Mengapa sudut bawah matanya ada
titik- titik air ? Sudah taukah apa yang akan dikatakan orang tuanya padaku ?
Pukul 09.00 p-agi dikampusku kosong. Karena aktivitas belajar kami di mulai pukul
04.30 sore hingga pukul 09.00 malam. Kutanyakan kepada stap kantor, adakah mas Juwito atau
mas Darmono. Ternyata tak ada yang tau aku menuju ke tempat kos sahabatku itu kebetulan
mereka mau mencari saya.
”Dik, panjang umur, sudah dua hari aku mencari mu lho !!”
”Ada yang bisa dibantu mas ?”
”Tolong baca skripsiku begini substasi nya kan ?”
Setelah kubaca beberpa saat kutemukan sedikit kekurangan. ”Maksudnya beton
bertulang mas hingga kurang kata bertulangnya ( dialogis ) :
”Oh sialan, baik lah kuperbaiki, kok hari ini tampaknya ....?”
”Entahlah mas habis dari sini aku harus ke Young Tekstil Pulogadung !”
”Ada apa biasanya santai ? Baik sebentar kuantar kesana, tunggu ya.”
Karena seniorku itu sudah menhadapai ujian skripsi, kami ke proyek kesiangan. Pukul
12.00 pas makan siang baru sampai di kantor proyekku. Kebetulan si Waria cantik itu
membawa rantang dan koran pagi Harian Kompas untuk om Yap. Biasa sebelum om Yap
datang koran itu kulahap habis berita nya dan hari itu ada iklan yang menarik.
”Dibutuhkan beberapa tenaga Teknik Sipil untuk ditempatkan di Kalimantan. Peminat
dapat menghubungi PO. BOX 309.”
”Nah ini ”batinku. Kulingkari dengan spidol. Tiba – tiba Buyung ngelonong;
”Hai Ade itu untuk om Yap, ini aja kamu ?” kata Buyung gemas, kuturuti perintahnya
takut sewot. Walau bagaimana, karena dialah aku disini.
Tak lama aku menunggu om Yap datang tergopoh mencari aku, begitu membaca iklan yang ku
lingkari beliau terkejut, seraya memandangku ;
”Ade tertarik ini ?” tanyanya serius
”Ah enggak om,’ jawabku agak bohong.
Minggu pertama bulan itu ? perasaanku seperti di landa kegelisahan, hanya karena
menyiapkan kata – kata apa yang tepat untuk abah dan ibu mertua malam Minggu nanti.
Hari yang ditentukan, Sabtu pukul 08.00 malam di ruang keluarga tak kusangka ada
mak Iyem dan mang Encum duduk, kami berlima . Mertuaku duduk dihadapku, abah yang
membuka pembicaraan, dengan basa – basi layaknya menerima tamu. ;
”Mas, abah mau bicara mengenai rumah tanggamu. Kalian masih muda, jalan masih
panjang anakmu masih umur 3 tahun. Kulihat selama ini kalian kok gimana ya? Ade jarang
pulang, tak jelas kemana dan kerja apa. Jika ibaratnya membawa beban terlalu berat dan tak
bisa dipikul berdua, apa tak sebaiknya mengambil jalan bagaimana baiknya ?”
”Mama’ ikut ngomong yang Luk, lu taukan kalau abah itu diam – diam merasakan
keadaan rumah tangga kalian. Abah tak bakal ngomoing kalau tak penting banget. Orang tua
sudah mencoba dan berusaha segala cara. Tapi kamu sendiri tak pernah kasih tau orang tua
dimana kamu tinggal. Apa usahanya. Kalau ada papa – apa terus gimana, coba pikirkan Luk !!”
Abah takut...kalau ... terjadi sesuatu ? Mana abang lu Not tak pernah kemari ?” Mama”
menangis terisak – isak, mak Iyem juga. Semua diam, tak ada kata – kata apapun yang keluar
dari yang hadir. Aku bungkam seribu bahasa. Ditengah suasana kelam itu, tiba – tiba mang
Cum adik mama’ menyela ;
”Mas Ade maaf ya aku ikut bicara, sudah menangkap artinya kan ?”
”Sudah mang, terima kasih!” jawabku singkat.
210

”Kalau begitu ngomong dong seperti kata mama’ tadi ? jangan diam,” kata mang Cum.
”Iya mas, ngomong, biasanya sama mak Iyem nyaman kok, agar orang tua lega. Tak
usah di pendam hayo bicara nak !” bujuk mak Iyem.
”Coba yang nagis berhenti dulu biar bapaknya Eko ngomong,” kata mang Cum
”Hayo mas, kita kumpul kan untuk bicara. Orang tua tak marah kok,” kata mak Iyem.
Dibujuk – bujuk mak Iyem dengan kata yang lembut, aku ingat mbah Putri di Solo, saat
kang Bejo mencari mbak Har. Isi dadaku bertambah penuh sesak, tapi begitu mak iyem
menyodorkan air putih, rasanya plong. Apapun yang terjadi aku harus ngomong ;
”Abah – mama’ juga mang Cum, jika diminta ngomong sebetulnya Ade sudah tak
punya kata – kata yang tersisa, kecuali hanya minta maaf. Tapi untuk menghormati niat abah,
jika kata – kata Ade nanti kurang pada tempatnya mohon dimaafkan.
Sebetulnya, kalaupun Ade tak ngomong semua sudah tau. Berapa puluh ribu uang
mama’ yang kihabiskan. Betapa beratnya gosip dan cemoah yang orang tua rasakan. Dan segala
pengorbanan tadi demi kami anak – anaknya. Agar diketahui saja, seberat apa pun penderitaan
Ade, Ade tak pernah ngomong kepada orang tua, Ade sendiri. Baik Biyungku, pakde, mas Not
juga Ibu, hanya semata – mata agar tidak membuat kesedihan orang tua.
Selama ini ma’ belum pernah Ade kirim surat ke orang tua Ade, dengan berita
penderitaan, demi menjaga perasaan. Kukatakan Ade sehat Walafiat tak kurang suatu apa
pun.”
”Mas Ade, sementinya kepada orang tua disini harus terbuka ?” sela mang Cum.
”Memang betul mang, tapi apa masih dipercaya omonganku, selama ini aku berani
bohong jika untuk kebaikan, ngomong sejujurnya apun kadang – kadang tak dipercaya. Sudah
banyakkan kesalahan terus aku harus berbuat apa. Lebih baik diam, sebelum bisa
membuktikan. Disamping itu, semua orang hampir tau, jika aku ini melarat, apa daya ku mang.
Rasanya ingin juga menjerit, tapi apa gunanya. Tolong mang ingatkan saya siapa keluarga dan
orang yang pernah saya tipu, atau kucuri miliknya. Malah tertipu mang yang sering. Tolong
ingatkan sekali lagi ingatkan saya. Kalau utang saya ke mama’ nggak usah dibicarakan aku dan
mama’ yang paling tau.”
Suasana berubah. Mama’ menangis menubruk aku, mak Iyem menutup matanya
dengan kain selendangnya menangis juga. Melihat situasi yang mengharukan itu abah Cuma
membisu. Merokok pun kelihatan asal – asalan. Mang Cum kaget, tak menyangka bahwa
ucapanku menimbulkan sendu tangis ibu – ibu yan mendengar. Entah istriku dimana dan
sedang apa, kuyakini di kamar tidurnya dia menangis sambil memeluk anaknya.
Setelah suasana tangis mereda. Aku disodori minum kopi yang dibuat mama.’
Walaupun masih basah air mata.Sambil menawari munum kopi, mang Cum membuka lagi
pembicaraan dengaku yang lain cima menjadi pendengar ;
”Wah mas diluar yang ku kira ternyata mas Ade punya prinsip begitu. Betul kata abah
kolot di Banten itu. Ha – ha padahal maksud saya tadi, berkaiatan dengan maksud abah ?”
”Ade juga tau maksud abah kok mang tentang rumah tanggaku kan ?”
”Iya –ya betul, bagaimana pendapat mas Ade ?”
”Aku yakin, abah tak menghendaki perceraian hanya karena situasi kami !”
”Pertimbangan mas, gimana?”
”Baru akan mang, akan kupertimbangkan dulu !”
”Oh ya perlu juga pertimbangan. Kuserahkan mas saja.”
”Jangan sampai perpisahan kami menjadi beban orang tua lagi, mang. Ade mohon
diberi kesempatan untuk memutuskan, seperti empat tahun lalu.”
Mendengar kata – kataku tadi tak ada satupun yang hadir menanggapi kecuali
menghabiskan minum dan pamit pulang kecuali mak Iyem.
211

Malam itu aku di rumah mertua yang selama ini jarang kutinggali. Begitu habis sikat
gigi, ganti pakaian tidur aku mencoba memberi tau istriku tentang hasil pembicaraan keluarga
tadi, ternyata dia masih menangis. Kulihat dan kuraba bantalnya penuh dengan air mata.
Kuingat saat tiga taun lalu mengulurkan tangannya minta maaf kepadaku, agar bayi nya
segera lahir. Kuingat wajahnya saat memberi tau bahwa aku dipanggil abah tiga hari lalu. Aku
melamun disamping anakku yang nyenyak saja. Akan kugapai mimpiku, Pemalang atau pergi
jauh sekalian ke seberang lauatan sana ??” Hanya Allah yang tau, dialah yang menentukan.

.....................T A M A T ...................

44
DEMI REVOLUSI, AKU HIJRAH
KE KALIMANTAN TIMUR

B
ulan Mei 74, bagiku bulan ”Revolusi” aku harus berpacu dengan waktu untuk
menyelamatkan rumah tanggaku yang telah diujung tanduk. Kuberanikan
mengutarakan problem nasibku kepada om Yap, yang selama dua bulan ini menjadi
tumpuanku menyelesaikan diplomaku.
”Maaf om Yap terpaksa aku mengecewakan. Karena sesuatu harus kutempuh, dan
mohon pertunjuk om Yab.”
”Apa itu, dan apa yang bisa kubantu ? tanya om Yab serius.
”PO. BOX 309 terpaksa harus kucoba, aku mau membuat lamaran !”
”Kalau you serius, tak usah membuat lamaran !”
Mendengar jawaban om Yab aku pesimis lagi. Kukira om Yap tak mendukung
Revolusiku. Ternyata dengan cepat beliau menulis dibuku memonya terus disodorkan padaku.
”Nih alamatnya, datangi saja kesana,” perintahnya. Setelah kubaca ternyata PO. BOX
309, beralamat di JL. K.H. Hasyim Ashari.
”Oh ternyata dekat rumahku om,” kataku optimis lagi.
”Kalau begitu antar aku ke Petojo dulu, dan terus kutunjukkan kantornya.”
Karena itulah kami ngebut ke alamat PO.BOX 309 dan sambil menuju arah ke JL.
K.H. Ashari, om Yap cerita bahwa orang – orang di JL. Petojo itu teman satu almamater
Trisakti om Yap juga di PO. BOX 309 itu.
Pukul 09.30 aku tiba di alamat yang kucari no. 18 . oleh pegawai di kantor itu aku di
tunjukkan rumah No. 21 sampai disitu oleh portir, setelah kusampaikan maksudku diarahkan
ke ruangan luas. Tanpa banyak pertanyaan, aku diminta mengisi formulir testing masuk dan
selesai sebelum pukul 11.00.
Ada lima belasan orang diruangan itu, sebelum aku datang. Ada juga yang kulihat di
wawancarai. Giliranku tiba, oleh pewawancara aku disuruh kembali setelah istirahat siang.
Besoknya, di kantor pak Yap yang di Blok M Kebayoran Baru kulaporkan hasil tesku
di PO.BOX kemarin. Seminggu kemudian, sesuai yang dijanjikan panitia seleksi, aku gelisah
tiba – tiba om Yap menanyakan PR saya untuk Proyek Pemalang ;
”Ade, udah selesai time schedule, kenapa you tampak bimbang ?”
”Sudah beres semua om, Ade menunggu panggilan hasil seleksi !”
”Memang disuruh nunggu ?”
”Katanya paling lambat 6 hari kalender ada pemberitahuan via surat .”
”Datangi aja kan dekat rumah you, kok di tunggu !”
”Kalau begitu sekarang saja om Ade kesana .”
212

Tak sabar mmendengar komentar om Yap aku langsung ke alamat PO.BOX itu.
Ternyata dikantor Biro Teknik disarankan ke Biro Personalia. Kulihat orang menjelang
istirahat siang.
”Ada yang bisa dibantu mas ?” tanya seorang yang dipanggil Nety
”Aku menanyakan hasil seleksi seminggu yang lalu mbak?’ tanyaku
”Nama mas siapa ?”
”Ade mbak .”
”Pak Alex, bukan pak Alex mencari berkas lamaran mas Ade?” tanya Nety
”Mana ketemu ?” jawab orang yang dipanggil pak Alex.
”Nih orang nya, malah datang,” jawab Nety
”Cu ki may gue membongkar semua berkas lamaran tapi punya you tak ketemu,
dimana lu melamarnya ?”
”Aku belum mengajukan lamaran kok ?” jawabku
”Gila, kok bisa, coba sini namamu ini ?”
”Iya betul om. Yaitu !” jawabku setelah membaca tulisan namaku.
”Lu belum masukkan lamaran terus ketemu Tono dimana ?”
”Pak Tono. Aku belum kenal Tono, siapa itu ?”
”Gila banget, la lu ikut seleksi di Biro Teknik ??”
”Iya om seminggu yang lalu ?” jawabku lagi
”Gue dibuat pusing gara – gara lu, padahal paling lambat tanggal 15 lu harus kesana !”
”Ke Kalimantan om, iya ketika itu di PO. Box juga begitu !”
”Udah kalau begitu, ...Nety suruh dia bikin lamaran sekarang !”
Atas perintah yang serba cepat itu kutulis secarik lamaran dengan kertas yang dikasih
mbak Nety sekretaris itu.
”Kok cuma begini terus lampiran nya ?” tanya Nety
”Aku nggak tau mbak lampirannya apa ?”
”Seperti SKBD, SKKB seperti biasa lah,” kata Nety yang semakin ramah.
”Oke.”
Karena situasi serba cepat ku cari bang Firdaus sehabat lamaku.
”Bang pinjam sepeda sebentar ya penting !”
”Bawa aja asal gak lu jual seperti sepeda mertua lu !”
Pukul 1.00 siang ku serahkan berkas lamaran ke Nety. Ternyata masing kurang. Surat
Jalan. Selesai Surat Jalan, eh lurahnya tak ada. Kucari kerumahnya. Pak Ibrahim Lurahku itu
istirahat tidur siang. Aku bujuk anaknya Herman untuk minta tanda tangan babenya.
Alhamdulillah berhasil langsung ku serahkan ke kantor, pukul 03.00 sore baru clear. Kurang
lagi Surat Keterangan Dokter, aku putar otak lagi dokter resmi sudah tutup. Kudatangi Dr.
Lauw kerumahnya. Alhamdulillah baru datang dari kantor RS AL, dengan secarik kertas aku
dibuatkan Surat Keterangan Dokter yang kuminta, beres. Terus kuserahkan ke kantor ;
”Lho Surat Keterangan Dokternya kok cuma begini ?” tanya Nety
”Yang dikasih dokter hanya ini, mau apa lagi.”
”Dokter pratek lagi, ya sudahlah.’
”Ini perusahaan juga swasta Net,’ candaku
Setelah berkas lengkap aku disuruh mengisi formulir, terus kuserahkan, dibaca Nety.
”Ada yang kurang mas Ade ! Siapa penanggung jawab Ade ?”
”Aku gak tau si, siapa yang menanggung aku ?’
”Isi saja Syarif,” celetuk om Alex.
”Kurang Ir. nya de! Ir. Syarif ,” kata Nety
213

Aku heran, rasanya baru siang tadi kami kenal, kok seperti teman- teman lama semua
serba cepat, familier dan akrab.
”Nah de tiketnya pukul 05.00 subuh harus di Kemayoran dan ini amplop kasihkan
kekantor Kalimantan. Ini uang sakunya Rp. 2.000.
”Kok cuma no ceng’ nggak salah ?” tanyaku
”No ceng’ udah cukup. Dari rumah lu ke Kemayoran gopek, terus dari Bandara sana
ke kantor gopek, masih sisa kan !!!”
”Gile ke Kalimantan cuma no ceng ?”
”Kan ada tiket Bouraq. Lu tidur, bangun udah nyampai disana,” kata Nety.
Aku tetawa dalam hati, urusan ke Kalimantan kok cuma lima jam dan uang dua ribu
perak ....udah pulanglah. Kukembalikan pinjaman sepedaku pukul 05.30 sore. Terus ambil
koper Echolac dirumah Tanah Sereal selesai 15 menit. Kulihat istriku sibuk ngurusi dapur, tak
ada tegur dan sapa. Anakku main sepedanya di jalan depan rumah kupamiti dia ;
”Mas pergi dulu ya, jangan nakal, okey.”
”Mas jangan jauh – jauh ya, jangan main becek.”
”Oke, anakku Asalammualaikum wr.wb.”
Di ujung gang kujumpai yu Warno, agar dapat pinjaman duit.
”Yu aku pinjam dulu Rp. 1.500 untuk ke Kalimantan.”
”Mbeeel... kamu ketularan mas Heru bohongnya,” jawab penjual rokok itu
”Betul yu ini lho surat jalannya ke Kalimantan !!”
”Oallah dik mbak yu mu ini tidak bisa baca, kok suruh baca surat ngenyek ya !!!”
”Kang aku mau ke Kalimantan bacalah biar mbak yu tau !!!” kataku ke suaminya
”Tenan to... kapan ?” tanya kang Warno ingin tau.
”Subuh nanti kang, naik montor mabur kang , aku pinjam duit,” jawabku
”Buat apa, kasih saja, wong tenan kok,” perintah kang Warno kepada istrinya.
”Buat beli sabun mandi, odol dan sikat gigi kang,” jawabku beralasan.
Sialan, yu Warno malah ngasih sabun Lux, Pepsodent dan sikat gigi. Padahal aku tadi
bilang begitu hanya untuk alasan saja agar aku dapat pinjaman uang.
”Tak usah ngutang bawa saja, toh sama saja ! katanya untuk beli sabun & odol.”
”Iya sih sisanya kan nambah sangu, lo yu !”
”Ya minta bosmu to, masa ke mbakyu ?” jawab yu War
”Bosku cuma ngasih no ceng lho yu !!”
”Tak mungkin, dasar anak buahnya Heru aja kok dipercaya .”
”Yu, kang, aku terima kasih ya sabunnya ?” pamitku
”Kirim surat kalau udah sampai dik,” pesan yu Warno.
”Ngapain kirim surat, wong tak bisa baca ?” jawabku sambil naik becak.
”Kurang ajar de, nih ku tambahi go pek, ”Tak dungakno sugih le kowe,” Sayub – sayub
kudengar suara di masjid menjelang mahgrib.
Habis pamit kesahabat karibku itu tadi, aku menuju asrama Berland. Sebelum masuk
asrama, kubeli ”Antimo” tablet anti mabuk bergambar pesawat terbang.
Di Berland membuat mas dan mbak yu Marno gembira, setelah kusampaikan bahwa
pagi pukul 07.00 aku berangkat ke Kalimantan naik pesawat Bouraq. Dan pukul 05.00 subuh
harus di Air Port Kemayoran. Namun begitu kuceritakan bahwa uangku cuma Rp. 1.500
mereka tampak sedih, mungkin bermaksud nambahi sanguku tapi tak berdaya.
”Duh dik pas tanggung bulan, aku tak ada uang !!” keluhnya.
”Jangan gusar yu, cukup kok sampai di kantor perwakilan disana !”
”Ya syukur dik, terus kuliah mu gimana sudah selesai ?” tanyanya lagi.
214

”Sebetulnya September nanti aku baru dapat diploma, tapi apa boleh buat yu!”
”Kok selalu begitu nasibmu dik, kerja tanpa ijasah, tanpa uang ! Mana di tipu melulu,”
kata kang Marno
”Kalau begitu sebelum subuh antar pak, kasihan !!” pinta mbak yu.
”Adanya cuma truck, sekalian apel besok kuantar pakai truck.”
Pukul 04.30 subuh dengan truck bak terbuka aku diantar ke bandara Kemayoran,
bersama lima orang anggota Zipur AD berseragam. Tepat pukul 07.00 pagi pesawat yang
kutumpangi, take of menuju Kalimantan, demi revolusi . ”Selamat tinggal – Jakarta,” batinku.

.....................T A M A T .....................

45
DARI PINTU LIMA
MENUJU SANGATTA

Baru pertama kali itu, aku naik pesawat terbang. Saya kira naik pesawat itu harus berpakaian
necis, ternyata penumpang disebelahku cuma bercelana pendek, sepatu kulit tak disemir.
Kulihat orang bule itu membaca majalah “Time’s.” Hanya karena sekedar ingin kenalan,
kusalami dia dan kusapa bule itu dengan senyum.
”Good morning mister,” tegurku sok ramah.
Dia menjawab dengan bahasa Inggris dengan ucapan yang sama. Selanjutnya entah
ngomong apa aku tak nyambung. Dengan bahasa Inggris, sepertinya menanyakan kepadaku
apa aku bisa bahasa Inggris ku jawab ”No” saja, aku terus diam, tak pikir percuma, kenal orang
bule itu.
Aku ingat Mr. Jhon di ptoyek Cakung dulu. Sialan, aku malah baru ingat bahwa
utangku di warung bu Sidik dekat kosku belum kubayar. Insya Allah nanti setelah pulang ke
Jakarta setaun lagi. Duh si Buyung Waria cantik penolongku mengenalkan om Yab, juga tak
ku pamiti. Ternyata banyak dosaku yang harusku pertanggung jawabkan.
Ku baca lagi ticket pesawat yang kukantongi, tertanggal 15 Mei 1974 ternyata baru
kusadari pula, kutinggalkan Solo tujuh taun lalu saya kira bulan yang sama. Aku tak begitu lapar
karena pikiranku kemana – mana. Melamunku dikejutkan pramugari, membagikan sarapan
dengan menu nasi Padang, mengingatkan nasi rantangan Waria Pulogadung itu.
Pesawat yang kutumpangi transit di Banjarmasin. Tak lama kemudian terbang lagi
menuju airport Sepinggan – Balikpapan, entah berapa jam penerbangan aku tertidur, tau – tau
mendarat. Betul kata Nety yang tak kulupakan, ”Lu tidur, bangun dah sampai Balikpapan.”
Tiba di bandara Sepinggan sekitar pukul 12.00 siang. Ingat om Alex, ”Dari bandara ke
kantor KRS gopek “ maka kucari taxi.
”Keman mas,” tanya sopir taxi
”JL. Minyak no 428 berapa ?” tanyaku
”Seribu lima ratus rupiah mas !!”
”Lho katanya gopek, eh lima ratus rupiah ?’
”Itu kalau rombongan !!”
”Maksudnya.”
”Begini saja tunggu sampai mendapat penumpang tiga orang sedikitnya!!”
215

Hampir setengah jam aku menunggu akhirnya dua orang tak kukenal bersama – sama
satu taxi berangkat ke kota. Diperjalanan aku heran, ”Kok sudah ada tukang jamu gendong
disini ?” batinku.
Sesampai alamat kantor yang kutuju, kulihat pukul satu siang. Kukira arloji
kesayanganku ngacau, karena masih menunjukkan pukul 12.00 siang. Cepat kusadari ada beda
waktu satu jam ”sialan” batinku.
”Darimana mas,’ tanya seseorang stap kantor KRS.
”Jakarta – KRS,’ jawabku singkat.
”Ada Surat Pengantar,” tanya stap KRS
”Ada di tas,” jawabku sambil membuka tas.
”Ini bukan Surat Pengantar ada yang lain ??”
”Lho rasanya kemarin saya dititpin dua amplop kok ?” jawabku
Alhamdulillah stap muda tadi yang dipanggil Budi, setelah memeriksa ticketku
berusaha meyakinkan bosnya, bahwa dari ticket pesawat Bouraq yang kubawa menunjukkan
bahwa aku memang orang yang dikirim KRS Jakarta. Tak lama kemudian mobil Belmont Pick
Up parkir di halaman kantor ;
”You Ade, dari Jakarta ?” tanyanya
”Oh iya dari pak Alex disuruh nemui Ir. Tono,” jawabku
”Ok ikut aku bawa koper you ke mess !!”
”Baik pak.”
Dibenakku heran, kok dari om Liem, om Yab, pak Alex dan sekarang Ir. Tono selalu
memanggil aku You ? Tak kan ku persoalkan yang penting aku sudah sampai di Balikpapan,
sejalan dengan revolusiku.
Tiba di mess, ku taruh koper pakaianku. Langsung keluar lagi katanya ke ”Pintu Lima”
proyek Gudang IUKL Jl. Minyak. Setelah basa basi di pos penjagaan security terus ke lokasi
proyek IUKL tersebut tadi.
”Pondasi rencana gudang ini gagal dan dibongkar,” kata Ir Tono
”Aku pandangi saja besi beton yang amburadul itu.”
”Menurut pengalaman kamu, gimana mengembalikan angkur bautnya. Insting ku
berjalan, kok bisa begini. Ooooh aku buru – buru harus kesini, ada problem pondasi gagal to,’
pikirku.
”Apa yang bapak mau dari saya,” tanyaku diplomatis.
”Kenalkan dulu, ini Erwin dan Nardi, asisten sipilnya, bantu mereka barang tiga hari
disini. Setelah ini you kuuruskan, kartu pas masuk, karena disini kawasan vital.’
”Kusalami dua orang pak Tono, agar tak membuat mereka tersinggung, kuajak ngobrol
dalam rangka kenalan ringan dulu, sebelum ke pokok masalahnya. Setelah akrab baru
besoknya akan ku ajak diskusi, setelah aku dapat masukkan.
”Terus gimana solusinya ?” tanya Ir. Tono
”Insya Allah pak, besok kami diskusikan !!” jawabku
Setelah itu aku di kembalikan di mess Jl. Bunyu untuk istirahat. Besoknya pukul 10.00
pagi, kartu pass masukku sudah jadi, terus diantar lagi ke proyek yang bermasalah kemarin.
”Koh Erwin, karena aku orang baru, maafkan ya jika ngomonganku.......”
”No problem mas kita kerja sama saja ,” jawab Erwin
Atas ideku, ternyata dalam dua hari pekerjaan sudah berjalan kembali. Dalam proses
penyelesaian pasang angkur baut pondasi itu, disaksikan Pengawas Pertamina dan Ir. Tono.
Hari ketiga di cek dengan Theodolite, hasilnya ”Ok.”
Hari ke lima pondasi Gudang IUKL di ”Pintu Lima” dalam sehari telah selesai di cor
dengan beton sesuai rencana. Alhamdulillah setelah di cek lagi dengan alat yang sama,
kunyatakan mantab.”Sepuluh hari kemudian sudah boleh berdiri tiang – tiang baja.”
216

Sebetulnya selesai pasang baut pondasi, di ”Mess Perwira” Gunung Pasir pukul 08.00
malam, aku diajak diskusi. Sedianya aku mau di kuliahi tentang koordinasi dan prosedur
administrasi pelaksanaan proyek. Tapi setelah kukritik SOP nya malah Insiyur - Insiyur itu
mendengarkan dengan antusias, lantas diakhiri dengan ngbrol-ngobrol ringan ;
”Sudah lama mas, kerja di proyek Pulogadung?” tanya Ir. Edy
”Sekitar dua taun pak, tapi tiga proyek,” jawabku
”Proyek apa saja ?” tanya yang lain.
”Dia udah kenyang di Pulogadung,” jawab Ir. Tono
”Kok lu Ton yang njawab !!” kata Ir. Edy
”Gue kan yang wawancarai pertama di Biro 21 dulu !!”

Diskusi malam itu berlangsung hingga pukul 11.00. setelah itu aku diantar ke mess Jl.
Bunyu lagi. Besoknya habis sarapan aku bersama timnya Asep, aku bergabung Sondir lokasi
rencana Gedung Golf Sepinggan. Di proyek itu lah aku mengenal kruw Sondir dengan akrab.
Ternyata mereka bertiga seusiaku kecuali kang Roji.
Selanjutnya aku dikasih tau bahwa, aku dan kru Sondir disiapkan tugas ke Sangatta.
Maka disuruh menghitung berapa biaya kebutuhan makan lima orang dalam satu bulan, aku
santai saja mendengar kabar itu.
”Aku bukan orang Ekonomi pak,” jawabku bergurau tapi serius. Akhirnya 4 orang
anggota Sondirlah yang menghitung dan menyiapkan Sembako untuk masa persiapan proyek
Sangatta.
Sebelum kapal yang rencana kutumpangi siap di Jetty IV aku sempat diajak
menyaksikan mendirikan kontruksi baja Gedung IUKL Pintu Lima, hasilnya sukses. Karyaku
pasang pondasi baut terbukti benar, Ir. Tono puas, Erwin lega, Nardi asisten sipil itu, saat
makan siang ditanyai Ir. Tono ;
”Kamu mau ke proyek Sanggata Di ?” tanya Ir. Tono
”Mau pak dengan siapa ?’
”Sama – sama dengan tenaga sondir, setelah Sepinggan selesai.”
”Dengan pak Asep pak ?”
”Kamu sendiri terus tinggal disana ?”
”Wah belum berani pak kalau sendiri.”
”Kalau ikut mas Ade ini ?”
”Mau kalau dengan beliau.”
Awal Juni 1974 pukul 07.00 pagi kapal motor LKMJ Garuda Marinir yang membawa
kami ke Sangatta telah meninggalkan Jetty IV. Seluruh kebutuhan pangan untuk 5 orang
tenaga sondir dan peralatan telah disiapkan sehari sebelumnya. Kabarnya, dari Balikpapan ke
Sangatta memakan waktu 30 jam perjalanan.
Karena yang kami tumpangani kapal barang, oleh Ir. Tono kami hanya dibekali roti
tawar dan biskuit serta minuman kaleng. Setelah 24 jam perjalanan kami di tanya juru mesin
kapal pak Romli namanya ;
”Mas kayaknya tak pernah kulihat pada makan nasi ?”
”Kami lima orang tak dibekali nasi pak ?” jawabku
”Lantas, makan apa selama ini ?”
”Ada roti tawar dan biskuit pak.”
”Bisa kenyang ? Padahal bisa lho ikut makan jika lapor Kapten kapal ?”
”Kami nggak tau pak, baru tau dari bapak.”
”Asal mau seadanya, dikapal ada beras kok.”
”Kami juga bawa beras 150 kg kok pak, kalau tau, bisa nebeng masak ?”
”Walaah .... hari ini 5 jam lagi sudah berlabuh, tanggung mas !!”
217

Sekitar pukul 12.00 siang hari itu kapal telah sampai di pelabuhan Sangatta.
Alhamdulillah tak kurang suatu apa, kecuali kami berlima yang loyo, hanya karena tak biasa
tanpa nasi selama 30 jam.
Pukul satu siang, dipelabuhan Sangatta berlima kami langsung ke warung nasi. Barang –
barang kami telah diturunkan. Sejenak kami tak tau harus berbuat apa, dan mau kemana. Tiba
– tiba seorang berperawak sedang berkulit kuning menegur kami ;
”Kalian dari KRS Balikpapan, mana barang – barang kalian ?”
”Betul pak nama saya Ade, dan ini anggota kami.”
”Kalau begitu naikkan barang – barang kalian ke Pick Up itu,” perintahnya
Tak lama kemudian kami naik Pick Up Toyota, katanya ke lokasi proyek, 22 km dari
pelabuhan Sangatta yaitu yaitu ”Teluk Lombok”. Tiba dilokasi kami istirahat satu jam,
kemudian sesuai dengan rencana membuat kemah dari terpal yang telah dipersiapkan dari
Balikpapan.
”Siapa diantara kamu yang telah ikut pramuka?” tanyaku ke anggota.
Karena tak ada yang menjawab, akhirnya ku ajak mereka membuat kemah sebagaimana
yang saya pelajari. Pukul 05.00 sore hampir selesai tinggal meratakan tanah dan dapur. Tiba –
tiba orang Pertamina yang menolong kami tadi datang lagi. Kata seorang anggotaku beliau
bernama Yoppy Nelwan, pengawas proyek – proyek Pertamina.
”Hai kalian mau membuat apa kok disitu ?” tanya pak Yoppy
”Kemah pak untuk tinggal kami,” jawabku
”Lho kalian tak tau ini pantai, kena angin kencang kan habis? Tunggu jangan
diteruskan, tunggu aku dulu sebentar !!” perintahnya lagi.
Tak beberapa lama pak Yoppy datang lagi membawa seorang bernama Ambo. Terus
kemah kami disuruh bongkar lagi, barang – barang kami diangkut ke kampung tak jauh dari
lokasi kemah kami tadi.
”Ini rumah pak Ambo, kebetulan tak terpakai, kalian boleh tinggal disini.”
”Tak usah mikir bayar mas aku bantu saja,” kata Ambo.
Alhamdulillah, dibantu pak Ambo, kami menyampaikan terima kasih. Terus menanak
nasi, untuk makan makam. Aku ingat Cibinong saat proyek Swichitng Tower dulu, datang
sudah ada bedeng untuk tinggal. Usai makan pak Ambo datang lagi membawa beberapa orang
kampung, katanya mau kenalan.
”Mohon bantuan pak jika kami ada kesulitan,” kataku basa basi.
”Jangan khawatir kami malah senang kalau ada proyek disini,” jawab Ambo
Atas petunjuk pak Ambo pula, kami baru tau kalau air sumurnya keruh seperti air teh.
Namun bisa jernih jika diobati. Ternyata anggotaku telah mengobati dua drum air yang ada di
luar rumah.
Pagi – pagi besoknya kami bagi – bagi tugas. Tiga orang bekerja Sondir, satu orang
bagian dapur menyiapakan makan kami namanya Roji. Roji pulalah yang berjaga di rumah
layaknya ibu rumah tangga. Baru dua hari kerja, tiba – tiba pak Yoppy ninjau kami ;
”Dapat berapa titik kalian nyondir ?” tanyanya
”Tiga titik pak, kemarin dapat satu, ini hari dua,” jawabku
”Begini kalau selesai seminggu, kalian dapat pulang dengan kapal kemarin. Tapi kalau
tak selesai sebulan lagi, kalian baru dapat pulang.”
”Gimana Din selesai 5 hari lagi, masih lima titik ?” kutanyakan ke Udin
”Bisa bos kalau kita lembur, karena sering kena batang ?” jawab Udin.
”Kalau begitu, kita lembur kalau bisa dua hari lagi selesai,” kataku.
”Oke, tapi kalau malam mana bisa sondir kecuali ada Petromax,” kata Udin
”Pakai suar, eh obor, minyak tanah kita ada sekaleng kok,” kata Roji
218

”Sebetulnya kalaupun tak lembur asalkan sehari dua titik cukup lho lima hari, “ kataku
”Ya, kalau tak kena batang, bos. Ini pantai lho !” kata Udin
”Sebaiknya kita lembur, toh selesai sebelum nya juga bagus !!” kara Roji
”Betul bos, kita bisa istirahat kok.belum menaikkan alat – alat.”
Alhamdulillah delapan titik sondir kami selesaikan dalam waktu lima hari. Bertepatan
kami mengumpulkan alat – alat sondir pak Yoppy datang ;
”Selesai delapan titik ?”
”Pukul 8.00 Senin pagi. Kapal berangkat. Sebaiknya Minggu sore kalian sudah dikapal,
nginap disana biar tau Sangatta waktu malam.”
”Barang – barang kita di kemanakan bos,” tanya Udin.
”Alat – alat sondir dititipkan pak Yoppy saja Din” jawabku
”Terus beras dan lain – lain ?” tanya Roji
”Kalau kalian mau bawa untuk keluarga silahkan bagi saja1” jawabku
”Terus sisanya ?”
”Kita kasih pak Ambo saja sebagai imbalan dan sedekah ?” jawabku
”Bagus juga de pemikiran mu,” puji pak Yoppy
”Ambil secukupnya, berikan koki di kapal juga !”
”Untuk apa koki ?” tanya pak Yoppy
”Biar untuk makan mereka juga pak, selama di kapal !” jawabku
”Betul juga, katanya lagi kesini tak makan nasi, selama di kapal ?”
”Nih lima ribu rupiah bagi untuk beli rokok dikapal !” kataku ke Udin
Besoknya kami dijemput pak Yoppy lagi untuk naik kapal hari Senin pagi pukul 10.00
kapal baru berangkat. Setelah mereka berangkat, aku binggung sendiri. Dimana aku harus
tinggal. Ternyata pak Yoppy pula yang mencarikan tempat aku harus tinggal. Sambil menunggu
instruksi selanjutnya dari Balikpapan.
Diluar dugaanku pak Tono sudah ada di kantor pak Yoppy. Didepan pak Yoppy aku
diberi instruksi menyiapkan bedeng kerja di lokasi proyek, perataan lokasi, mengadakan
material pasir dan lain – lain, membuat Bass kamp sekaligus kantor KRS di Sangatta.
Pukul 11.00 pak Tono pergi lagi naik Helly kembali ke Balikpapan. Kuantar beliau ke
Helipad tanpa meninggalkan pesan lagi. Aku berpikir sendiri lagi, kembali menemui pak
Yoppy dikantornya. Aku ingat kata pak Tono, di Pintu Lima dulu Sangatta nanti ada sepeda
motor dan mobil, ”Dimana barangnya ?” batinku.

..............TAMAT................

46
TIGA BULAN DI BARAK
TOPJAL SANGAATTA

K
ulihat pak Yoppy sibuk nelephon ke beberapa tempat, entah kemana, sepertinya
beliau berusaha mencarikan tempat untuk tinggalku sebelum Bass kamku jadi.
”Kamu sudah kucarikan tempat tinggal, tunggu H. Arman,” kata pak Yoppy
”Dimana pak ?” tanyaku
”Tuh pak haji Arman nelphon , kita tanya beliau dulu ?” jawab pak Yoppy
”Wah kucarikan sampai di Top Jal tak ada kamar untuk stap Yoppy!!” kata penelpon
”Terus bagaimana orang KRS ini ?” tanya pak Yoppy
219

”Kalau dibarak buruh kontraktor, di Top Jal belakang masih ada ?” jawab pak haji.
”Gimana mas Ade, dibarak ?” tanya pak Yoppy sambil membungkam pesawat telepon
”Tolong katakan saJa, saya bukan orang stap biar dapat tempat,” kataku berbisik
Atas pertolongan pak H. Arman aku diantar ke barak buruh kontraktor di Mess Top
Jal di KM 4. Aku di pandu stap Top Jal Yasin namanya. Baru kuketahui, ternyata yang
dimaksud barak itu adalah bangunan semi permanen, berlantai kayu berbentuk panggung,
beratap dauh nipah. Demikian pula penyekat, dan dindingnya. Barak sepanjang 12 meteran
itu dibagi menjadi 5 kamar dan setiap kamar ditempati dua orang pekerja.
Siang itu kebetulan pekerjanya dilapangan proyek masing – masing. Pukul 5 sore baru
berdatangan. Orang pertama dibarak itu yang kutemui bernama Andreas, orang Tana Toraja.
Seorang operator alat – alat berat mungkin Andreas sudah tau bahwa dikamarnya ada orang
baru, karena menegurku dengan senyum ramah, saat aku duduk di teras depan kamarnya.
”Mas dari Jakarta ya,” tegurnya simpatik
”Iya om baru seminggu disini.” jawabku
”Seminggu ? tak pernah kulihat dibarak mana ?”
”Kemarin di Teluk Lombok om. Sondir disana !!”
”Orang Pertamina kah, atau Trakindo ?”
Aku tak begitu paham maksudnya karena dia terus ngomong yang lain tentang
Backhoe nya mogok dilokasi. Dari Andreas, sore itu aku mendapat informasi banyak tentang
situasi & penghuni barak, yang dihuni dari beberapa suku, Bugis, Banjar juga Jawa.
Ada barak Masal ada yang hanya berdua setiap kamar seperti yang kutinggali. Ada
Portacamp, ada kamar stap atas untuk Kepala Top Jal, dan pegawai stapnya.
”Kita kalau mandi dimana om ?” tanyaku
”Disana ada sungai, kalau hujan keruh.”
”Tak ada kamar mandi & WC ?”
”Hanya untuk stap atas dan perempuan disitu.”
”Ada prempuan juga ?’
”Tukang masak, tukang cuci dan pelayan kantor.”
”Olah raga disini ada juga om.”
”Di dekat Portacamp sana ada lapangan sepak bola dan Volly”
”Kita mandi sekarang om.”
”Orang operator ada yang mandi sebelum pulang sorenya.’
”Kalau pagi ?”
”Tak ada yang mandi pagi kecuali buang air besar !”
”Buang air kecil nya kalau pagi dimana ?’
”Ya dimana saja ha ...ha namanya di hutan mas, tapi adakecil kok disitu !”
”Shalatnya ada mushola kan ?”
”Aku Nasrani mas, bagi orang Islam di ruang stap kantor sana.”
”Yang dibarak sini ?”
”Kulihat tak ada yang shalat, mungkin dikamar masing - masing.”
”Makannya ?”
”Kita disebelah situ, yang lain makan dibaraknya masing – masing.”
”Berarti saya tadi salah om, mandi disitu.”
”Tak ditegur? Biasanya nggak boleh kecuali perempuan.”
”Tak ada tandanya kok.”
”Tak apa karna belum tau besok lagi ke sungai saja ramai – ramai.”
Seminggu di barak Top Jal aku selalu dengan om Andereas. Teman lain orang satu
barak kukenal semua. Orang kedua yang akrab dengan saya, Handoko sopir Dam Truck
Gajah. Pak Karim orang Banjarr operator stoom Walls dan lain – lain dari beberapa suku.
220

Aku tidak tau mengapa rata – rata mereka membantuku dalam pelaksanaan program
kerja dalam tiga bulan ini. Sering bergantian mereka mengajak ku ke luar barak saat mereka
bekerja. Misalnya pak Handoko saat mengurug dan meratakan lokasi proyekku, dia selalu
mengajakku. Juga pak Hamid orang Bugis pada saat menarik batangan Ulin untuk pancang
pun mengajakku juga, walaupun aku tak bisa bantu dia.
Maka atas bantuan mereka aku optimis, tiga jenis pekerjaan yang ditargetkan pak Tono
awal September harus selesai, terpenuhi. Bulan Agustus, aku terdaftar anggota Tim Volly Ball
Topjal, juga sepak bola, aku terpilih menjadi Kiper kesebelasan Topjal.
Dari kegiatan olah raga itulah akhirnya hampir semua stap dan karyawan Topjal
lapangan Sangatta mengenal aku. Walaupun saat itu hanya Volly Ball yang berhasil menjadi
juara HUT RI ke 29, Pertamina lapangan Sangatta. Masih ku ingat saat final seorang pas main
bernama Syahril mengatakan;
”Oh ya pantas saja Topjal juara karena ada Jokker nya .’
Syahril tidak tau, sebetulnya aku bukan orang Topjal, tapi hanya numpang tidur.
Namun demikian pak Nasir menaruh perhatian padaku. Puncak HUT RI ke 29 Sangatta
dihibur band Nasution sister tapi aku tak terhibur karena aku tak suka band.
Sepuluh hari sebelum peletakan batu pertama proyekku, kapal pembawa barang untuk
proyek ku tiba di pelabuhan Sangatta. Sebuah mobil Toyota Hartop keluaran 73 turun dari
kapal. Kata Sidik sopirnya, untuk mobil dinas saya maka kuperiksa dan kucuci stempat yang
melumuri mobil itu. Pulang nyuci kupandangi dengan bangga.
Malam sebelum peresmian kantor dan Bass kamp KRS di Sangatta. Aku menghadap
pak Maskun, Kepala Topjal di KM 4 dengan maksud menyampaikan surat dari pak Tono,
sekaligus pamit pindah setelah tiga bulan tinggal di barak Topjal.
”Assalamualalikum !” salamku di kantor stap.
”Mencari siapa pak,” tanya Aida Pelayan kantor malam itu.
”Pak Maskun,” jawabku
”Kay ada tamu kata Ida, Duduklah pak, Kay lagi shalat.”
Pak Maskun,yang panggilan akrabnya Kay keluar menemuiku.
”Mas dari mana.” Tanya pak Maskun.
”KRS pak mau silaturahim ke bapak!” jawabku
”Aida ...Aida cari anak buah bapak ini di barak,” katanya terus manggil Aida. Tampak
heran atas perintah Kay tadi. Lantas mencari Yasmin stap kantor itu.
”Yasmin, bukan nya tamu itu yang di barak sana ?”
”Betul, kena apa ?”
”Kenapa Kay suruh memanggil dia jangan – jangan salah paham ?”
”Kay ...Kay,” kata Yasmin sambil mengetok pintu kamar Kay.
”Ada apa, aku baru ganti baju !!”
”Tamu itu, orang KRS yang tinggal di barak , kenapa disuruh nyari.’
”Astagfirullah,” Zikir Kay sambil membetulkan kancing baju.
”Piyan yang satu kamar sama Andreas di barak atas ?” tanya Kay lagi.
”Nggih Kay tak salah,’ jawabku tawadhu.
Mendengar pengakuan ku orang Banjar berumur itu merangkulku habis – habisan.
Beliau minta maaf sebenarnya. Digoncang – goncang bahuku sambil mengucap :
”Bukan Piyan yang sering maen Volly bersama Yasmin? Mas, Kay betul minta maaf.
Kay pangling lho sekarang beda betul dengan sehari – hari coba lihat da.”
”Sekarang pakai baju bagus dan sudah dicukur Kay,” kata Aida
”Ai ...ai...ai ini betul – betul orang Jawa da. Baru kali ini, aku lihay orang Jawa”
”Kay bisa saja, dulu juga Jawa ,” kata Aida lagi.
”Kata Yasmin piyan perwakilan KRS di Sangatta,” tanya Kay lagi.
221

”Iya Kay kalau pak Tono tak ada, saya yang mewakili ?”
”Umur piyan berapa mas .”
”Kurang lebih Yasmin Kay.”
Malam itu kami berdua ngobrol sampai pukul 11.45 malam. Karena pukul 12.00 listrik
padam maka aku pamit. Pak Maskun seorang Kepala Lapangan Topjal Sangatta. Konon tak
pandai membaca dan menulis ”SBS” kata stapnya.
Hikmah dari silaturrahim malam itu, pak Maskun luar biasa dukungannya kepada
tugasku. Pak Joyo, pak Joni dan pak Singgih Sarjana Lulusan Akamigas Cepu itu paham dan
tertawa setelah saya ceritai.
Aku bersyukur atas bantuan semua pihak, Allah memberkahi dan mengabulkan
revolusiku karena mulai bulan September gaji pokokku Rp. 35.000 menjadi Rp. 50.000._
Bulan itu pulalah aku menulis surat ke istriku, Biyung dan mas Marno di Berland.
Semua bersyukur hanya istriku yang bertanya dalam suratnya.
”Kenapa mas menulis nama Tati di amplop kok Tati Siti Hiarti, nama istrimu kan Tati
Siti Hiar.”

......................TAMAT ......................

47
Malam Minggu awal September 1974 kantor dan basscamp KRS Sangatta diresmikan
secara sederhana. Undangan yang hadir pun tak sampai 15 orang, tak ketinggalan pak Yoppy
Nelwan, pak Maskun dan tiga orang stap beliau. Pak Dullah & Sanusi pemborong bangunan
basscamp kami. Tiga orang stap KRS dan dua orang sopir ;
”Gak pakai gunting pita mas Ade ?” tanya pak Singgih
”Gunting rambut saja pak,” jawabku
”Siapa yang menggambar kantor ini ?’ tanya Kay
”Saya sendiri pak, dengan alat sederhana,” jawabku
”Nggambarnya dimana kok tak pernah kulihat ?” tanya pak Joyo
”Sembunyi – sembunyi pak dibarak sana !” jawabku
”Kok pakai sembunyi, takut di tiru ?” tanya pak Joyo
”Takut ketauan Kay pak, bisa – bisa di deportasi,’ candaku
Mendengar kata dideportasi pak Joyo dan dua orang temannya tertawa. Pak Maskun
tersipu, akhirnya tertawa juga. Yang lain binggung tak tau apa yang membuat mereka tertawa.
Kukenalkan tiga stap saya.
”Ini Haris pak Bag. Urusan Expedisi dan Logistik, dan Jhoni W yang Urusan
Administrasi dan Uang, nah yang ini Nardi Asisten Lapangan saya, yang dua ini sopir kami.”
”Kok cuma ini saja, menanggani proyek sebesar ini,” tanya Kay.
”Stap Kay juga tiga kan ? “ jawabku
Orang – orang tertawa lagi dan terkesan urap dan bancem tempe yang kami sajikan.
Karena di Topjal selama aku tiga bulan sehari – hari tak ketinggalan Kornet dan Sarden.
”Kok dapat tempe dari mana ?” tanya pak Joyo
”Di Sangatta kan pak Joyo lebih awal dari pada aku ?” jawabku
”Maksudnya ?” tanya pak Joyo lagi.
”Kok di Topjal tak pernah ada tempe.”
”Mas Joyo,” tegur Kay. ”Piyan kalah pandai dari mas Ade kan ?”
222

”Kay juga, sampai kecolongan,” celutuk Singgih tenang.


”Kecolongan apa, kok Kay tak faham guyon piyan ?”
”Buktinya ada orang asing nyusup ke barak tiga bulan baru tau ?”
Mendengar gurauan yang kalem dari Singgih, Kay melihatku penuh heran lantas
tertawa juga. Tak pikir tersinggung, gak taunya malah memukul – mukul gemas. Malam itu aku
ingat Lik Tukijo dulu. Alhamdulillah, Tasyukuran malam itu berlangsung ger-geran. Setelah
bos – bos pulang tak lama kemudian Andreas datang bersama Karim, Handoko dan Hamid.
Aku mengerti mereka lambat datang semata – mata tata krama saja, mungkin tak enak hati
dengan atasannya.
Belajar dari pengalaman bersama mereka tiga bulan di barak. Aku mengambil
hikmanya, pak Maskun lebih disengani karena tak banyak ngatur. Pak Joyo tak begitu disukai
karena cerewet,. Pak Singgih generasi muda yang senang humor. Pak Jhong biasa – biasa saja.
Usai peresmian kantor dan dilanjutkan dengan dimulainya pekerjaan pemancangan
pondasi di proyek. Tak sampai tiga bulan konstruksi baja kami dirikan. Sebelum tiang baja
didirikan, pak Tono berpesan, saat dia datang, satu unit dulu yang perlu didirikan.
”Kenapa Ris, tak boleh dilanjutkan?’ tanyaku
”Entahlah pesannya hanya begitu saja,” jawab Haris
Atas pesan lewat telephon itu, aku berpikir dan berunding dengan orang – orang CV.
Baja. Mereka menggantungkan keputusanku, jika pak Tono tiga hari lagi baru datang. Karena
aku merasa serba salah akhirnya kuputuskan ;
”Pak Aja’ kumaha menurut anjen ?” tanyaku ke mandor dengan bahasa Sunda.
”Kalau abdi mah rugi mas, kunaon tiga dinten ?’ jawab mas Aja’
”Baik kalau begitu saya putuskan, bantu saya bisa ?”
”Bantu apa mas.”
”Usahakan sebelum pak Tono datang semua tiang bisa berdiri sanggub ?”
”Insya Allah mas, kita kerja sama ya punten,” jawabnya sopan.
Alhamdulillah berkat kerja sama yang kompak dan pondasi yang benar – benar akurat
sebelum pak Tono datang ke proyek, tiang baja dan rangka atap telah berdiri rapi tak kurang
suatu apapun. Begitu Insiyur itu datang aku harap – harap cemas, maka ku hampiri pak Tono
setelah membuka mobil yang ditumpanginya. Pak Tono menyalamiku dengan senyum
tampaknya malah puas.
”Tak ada kendala ?” tanya beliau bas basi.
”Maaf pak terpaksa mendahului perintah.”
”Karena jika kontruksi baja hanya berdiri satu malah kendala.”
”Begitu, kena apa ?”
”Kekuatan menahan terpaan angin kan lebih aman jika telah dipasang semua !!”
”Ya sudah tak kira terkendala kaya di Pintu Lima dulu.”
Usai ngomong begitu pak Tono terus pulang ke basscamp. Besoknya pulang kembali
ke Balikpapan. Tiga bulan kemudian baru datang lagi, setelah proyek Gudang IUKL hampir
selesai 100 %. Dari Time Schedule berarti aku lebih cepat menyelesaikan proyek itu, yang
direncanakan sebelas bulan, menjadi sembilan bulan selesai.
Proyek selanjutnya kata pak Tono Gudang Spare Part Pertamina yang lokasinya hanya
bersebelahan dengan Gudang IUKL di Teluk Lombok juga.
”Untuk proyek selanjutnya hampir sama mas, bedanya cuma baut angkur.”
”Baut Angkur pak maksudnya?”
”Ya betul, nanti baut Angkur nya 6 buah perpondasi karena pakai Crane !!”
”Kalau pendapat saya pak, bukan hanya itu, tapi sistem pondasinya.”
”Pondasinya kena apa.”
223

”Tak perlu dipancang sebesar dan sedalam seperti dulu karena dari data sondir,
kedalaman 2,5 M dibawah “PAPT”Daya dukungnya sudah memenuhi syarat. Coba pak Tono
hitung.” saranku
Hampir satu jam kami berdua diskusi setelah kupaparkan argumentasiku pak Tono
menutup pertemuan empat mata itu dengan kata Ok. Beliau buru – buru memasukkan seket
pondasi ke tas terus ke Helipad terbang lagi ke Balikpapan.
Ya begitulah pak Tono selama proyek IUKL, seingat saya hanya empat kali beliau ke
Sangatta. Hingga akhir bulan Maret 1974. Sebelum akhir kontrakku satu taun sebagai karyawan
KRS. Aku sudah menyiapkan proyek kedua yaitu Gudang Spare Part. Namun masih
menyisakan pekerjaan pasang Pondasi Tiang Listrik untuk penerangan jalan dan halaman
gudang IUKL.

....................TAMAT.....................

48
SETAHUN SETELAH HIJRAH
RUMAH TANGGAKU INKRAH

A
wal Pebruari 1975 aku siap – siap pulang kembali ke Jakarta, penggantiku pak Kartika,
B.A. Tiba di Sangatta. Aku heran, mantan guru STM Budi Utomo Jakarta itu sudah
datang menggantiku, padahal kabarnya beliau ditugaskan menangani Proyek Gudang
IUKL di Bunyu, malam itu kutanya ;
”Proyek di Bunyu sudah selesai pak ?” tanyaku
”Entah ya, aku tak tau yang disana kalau tak salah Ir. Budiono.”
”Budiono yang dulu disini, dia Insinyur kah ?” tanyaku heran
”Katanya alumni Universitas Parahyangan kok !!”
”Oooo... Insinyur, kok disini dulu cuma .....?” kataku lagi
”Dik besok kalau sampeyan ke Balikpapan aku titip ya !!”
”Titip apa pak, untuk siapa ?”
”Ini buat si Arman di Mess kamar 01, isinya hanya dia yang boleh tau !!!”
”Mess Jalan Bunyu kan ?”
”Iya dong dia tukang listrik, bukan Insinyur.’
Tiga hari sebelum masa cutiku, aku telah sampai di Balikpapan Mess Bunyu.
Kebetulan aku mendapat kamar no. 12 dekat Arman. Saat makan malam titipan pak Kartika
unutk Arman kusampaikan ;
”Isinya apa mas, kok Kartika baik betul ngirimin segala !”
”Saya nggak tau, amanatnya hanya Arman yang boleh tau.”
Selesai makan, Arman tak sabar terus membuka bingkisan itu didepan kami. Tiba –
tiba marah – marah, langsung membuang bingkisan itu ke baks sampah, sambil memaki – maki
Kartika. Entah apa maksudnya. Asep yang satu meja makan dengan kami penasaran.
Dipungutlah bingkisan di bak sampah, begitu mengetahui isinya, Asep terus ke Wastafel dan
mencuci tangannya sambil tertawa. Karena merasa terlibat, ku tanya Asep;
”Apa isinya mang, kok langsung cuci tangan ?”
”Lihat sendiri mas barangnya masih ada” jawab Asep terkekeh - kekeh
224

Aku pindah duduk di kursi santai, mendekati Willy, rasanya penasaran. Namun aku
khawatir. Jangan – jangan isi paket dari Kartika benda yang mengjijikkan, karena Asep
langsung cuci tangan.
Willy ingin tau apa yang sebetulnya terjadi, menanyakan kepadaku. Setelah kujelaskan
kronologisnya, dia buru – buru melihat kotak sampah, dimana bingkisan dari Kartika dibuang
Arman. Entah apa yang dilihat, Willy tertawa sambil mendekatiku ;
”Apa Wil isinya, kok pada ketawa ?”
”Lu kan dititipi masa’ kagak tau ?” kata Wily sambil tertawa
Tak lama kemudian Arman kembali bergabung dengan kami, juga Asep yang masih
tertawa. Malah aku yang binggung karena Arman dengan wajah tak bersahabat menanyai ku.
”Mas Ade, kapan Kartika... titip ke sampean ?”
”Di Sangatta semalam sebelum aku berangkat !!”
”Apa alasanya barang gitu saja kok di kembalikan kesini ?”
”Dia nggak bilang apa – apa, kecuali tolong titip ke Arman gitu aja !!”
”Ade gak tanya apa isinya ?”
”Tanya juga, tapi dia bilang hanya kamu yang boleh tau.”
”Kok dia bisa bawa barang itu dimana?” tanya Willy kepadaku
”Barang apa ?” tanyaku penasaran
Karena Arman tampak masih marah, kulihat bingkisan yang kubawa kemarin, ternyata
.... sialan ! Pantas Arman marah. Aku mau ikut tertawa tak enak dengan Arman, kutanya lah
dia ;
”Arman marah padaku, aku kan cuma dititipi ?” tanyaku
Rupanya Arman dongkol, tapi tak bisa menyalahkan aku, dia diam saja. Malah asyik
membaca koran harian Kompas. Tiba – tiba penjaga mess memanggilku.
”Siapa yang bernama Ade, ada yang mencari ?” tanyanya
”Aku pak, dimana , siapa yang mencari ?”
Ternyata pak Morby, sopir pak Sadimo dari PT. Agung Bhakti .
”Mas Ade di tunggu pak Sadimo di Panorama malam ini.”
Sampai di perumahan Pertamina dekat lapangan sepak bola, aku tertegun sejenak. Saya
kira Sadimo sahabatku itu cuma kebetulan bertandang kepejabat Pertamina, ternyata
menantunya orang Pertamina, dan sementara ikut mertuannya.
”Mas aku mau minta bantuan bisa pinjam gambar ?”
”Gambar apa ?”
”Katanya Ir. Suparno pondasi Gudang KRS yang baru tanpa pancang !!”
”Nggak tau juga, kan belum mulai ?’
”Iya perubahan pondasinya telah disetujui pak Parno.”
”Aku mau cuti hari Kamis, 15 Mei 1975. aku sudah terbang ke Surabaya.”
”Sudah beli tiket ?’
”Belum, baru mau cari besok pagi !!”
”Kalau begitu aku yang belikan tiket, tapi curikan gambar dulu !!”
”Ah pak, aku bukan type pencuri nggak usah !!”
”Gini aja yang penting aku dapat gambar, ini buat yang gambar !!”
Sejumlah uang dimasukkan ke saku bajuku. Diperjalanan menuju mess, kuhitung
ternyata sebanyak Rp. 50.000,- = sebulan gajiku. Duh terpaksa malam itu membuat desain
diatas kertas, paginya aku ke PT. Agung Bhakti kantor Sadimo. Ku loby juru gambar PT.
Agung Bhakti agar menyelesaikan gambar pondasi, sebagimana yang kuberikan pak Tono
dulu, malamnya dilembur. Pagi menjelang aku beli tiket, gambar sudah jadi cetak biru.
225

Hari itu juga aku di antar ke Bandara Sepinggan dengan tiket pesawat Garuda
penerbangan pukul 03.00 sore. Aku kaget ;
”Kok tiket Garuda, padahal maksudku Bouraq ?”
”Bouraq habis yang penting sampai Surabaya belum malam.”
Tiba di bandara Surabaya aku langsung mencari taksi menuju alamat rumah ibu di
kawasan Darmo dekat gudang Bama, setelah sampai alamat yang dituju taksi berhenti ;
”Pak Gang Rasid dimana ?” tanyaku ke penjual Nalo.
”Itu mas, sebelah tiang listrik. Nah itu yang ada orang dorong gerobak,” kata pembeli
Nalo.
”Terima kasih pak !!”
Sesuai alamat terus kutanyai rumah ibu Suwarni kulihat ibu sedang menggendong anak
kecil umur tiga tahunan, mirip dik Pur. Anak dik Pur kah ?:” batinku
”Ade mana bapak mu ?” tanya ibu gugub.
”Ndak tau bu,” jawabku sambil cium tangan ibu.
”Nih bawa adikmu, wong yang dijemput sudah datang kok....! Yang jemput tak jelas.”
Ditengah kebingunganku, tiba – tiba ibu kembali bersama bapak, yang sudah dua belas
tahun tak pernah ada kabarnya. Bapak pangling denganku. Rasanya sore itu keadaan seba
kecil, dirumah petak yang kecil, disebuah gang kecil, bapak juga kelihatan kecil. ”Kok serba
kecil ?” batinku. Mungkin disebabkan, oleh lingkingan kerjaku di pesisir pantai Teluk
Lombok, dan tiap hari melintasi jalan di tengah hutan itu. Dirumah kontarakan ibu terasa seba
sempit.
”Bu anak kita kok sudah segede ini tinggi lagi?’ tanya bapak
”Puji Tuhan pak, sebetulnya aku juga kaget kok hitam ?”
”Mandinya disungai bu, saban hari di pantai,” jawabku kalem
”Kok di pantai, bukan di hutan to ?” tanya ibu
”Katanya di proyek Pertamina yang benar mana sih bu ?’ kata bapak.
”Pak, bu semua benar, saya kerja di proyek di pinggir hutan dekat pantai, makanya tak
ada air jernih, kecuali air laut, dan air sungai yang diobati dengan penjernih air !”
”Ya sudah nak bersyukur yang penting sehat !” kata bapak
”Nih gendong adikmu ibu masak kesenangan mas Ade !” kata ibu
Sambil nunggu ibu selesai masak, bapak menceritakan selama berpisah dengan aku
sejak tahun 1962. Ketika itu bapak bergabung di “Satuan Yon Banteng Raiders” ditugaskan
menjaga perbatasan dengan Malaysia. Saat siaga menghadapi Infiltrasi dengan tentara Diraja
Malaysia. Begitu mendengar Jakarta meletus peristiwa Gestok, pasukan kacau. Apalagi
mendengar kabar Yon 555 ditangkap ;
”Yang nangkap siapa pak ?” tanyaku sambil ngendong adik
”Ya tentara juga, dari Bataliyon lain ?” jawab bapak
”Kok tentara di tangkap tentara ?’ tanyaku
Sementara bapak tak mau cerita dulu, adik bapak yang nggendong, aku ganti pakaian
sudah mahgrib, selesai shalat, kami makan masakan ibu.
”Kata ibu masak kesenangan saya, mana ?” tanyaku
”Tuh dedeng ragi dan sarden,” jawab ibu.
Aku senyum saja, seolah – olah aku lahab. Padahal sudah bosan makan sarden &
daging. Mungkin ibu mengira aku di hutan Kalimantan tak menjumpai makanan kota.
Malam itu selesai makan ganti ibu yang cerita tentang adik – adik, dan selama ibu di
Surabaya hingga ketemu bapak.. Aku masih tanda tanya, kapan ibu ketemu bapak ?
226

Katanya adik kecilku telah berusia 3 tahun, dan ibu tak pernah ngabari dalam suratnya selama
ini
”Besok pagi aku mau ke Jakarta bu,” kataku
”Kok kaya mimpi ?” jawab ibu
”Masalahnya aku semestinya lapor ke kantor dulu baru kesini.”
”Naik apa nak rencananya ?” tanya bapak kalem.
”Harus kereta api, ibu nggak pareng mas Ade naik bus ?” pesan ibu
”Belum langsung pulang lho bu, besok pagi biar ku antar dulu cari tiket !” kata bapak
”Betul, biar kucuci dulu pakaian kotornya, kan kareta malam pak !!” kata ibu
Paginya diantar bapak mencari tiket kereta malam ke stasiun Semut. Baru dari
stasiunlah aku manyampaikan titipan pak Sadimo, setelah itu kucarikan boneka kecil untuk
adikku yang paling kecil itu. Dirumah kontrakan ibu di kawasan Darmo Surabaya itu pula ibu
menanyakan ;
”Terus istri dan anakmu di Jakarta piye ?” tanya ibu
”Entah bu sekarang, karena baru dua kali aku menerima suratnya !!”
”Kok embuh piye to, mbok coba digowo wae ?’ kata ibu memancingku
”Saya masih ragu bu, karena sudah ada peringatan sebulan sebelum aku meninggalkan
Jakarta dulu bisa jadi sekarang sudah .......” jawabku
”Jadi naik kereta jam berapa ?” tanya ibu mengalihkan pembicaraan
”Jam 7.00 malam bu, ”Kereta Bima,” jawab bapak
”Piro harga tiket Surabaya – Jakarta ,” tanya ibu lagi.
”Sebelas ribu bu, tapi kereta kelas satu. Pagi sudah di Jakarta.” kata bapak
”Sebelas ribu ? hanya semalam ? adikmu saja sebulan berdua hanya Rp. 8.000.”
Aku nggak tau apa maksud ibu, tapi aku menangkap maksudnya. Adik di Wonogiri
hanya dijatah Rp. 8.000,- perbulan, untuk biaya hidup di Wonogiri. Tapi Rp. 8.000,- seorang
atau untuk berdua, apa SPP nya.
”Nanti setelah di Jakarta aku segera pulang ke Wonogiri bu !!” kataku
Pukul 5.00 sore, aku diantar bapak ke stasiun kereta di pasar Semut. Pukul 07.00
malam kereta berangkat ke Jakarta, tepat waktu. Selama 12 jam didalam kereta, tak banyak
yang kukenang. Tepat pukul 07.00 pagi tiba di Gambir Jakarta. Sesuai jadwal pukul 8.30 pagi
itu aku lapor ke kantor sebentar, bincang – bincang dengan pak Alex dan Nety dikantor KRS,
entah apa maksudnya pak Alex rupanya tau tentang rumah tanggaku ;
”Eh Ade lu sementara mau tinggal dimana?” tanyanya
”Melihat anakku dulu om terus ke Wonogiri !!!” jawabku
”Ya sudah, lu kasih tau nanti setelah pulang Wonogiri !!” kata Alex
Pukul satu siang ku tengok anak istriku. Abah kusalami dengan tawahdu, juga mama’
mertuaku. Setelah itu aku duduk di ruang tamu. Tak lama kemudian istriku menemuiku
sambil menidurkan anakku di pangkuannya ;
”Dia tidur ?” aku membuka percakapan.
”Iya memang waktunya tidur, dia tadi kubanguni !!”
”Tat, aku ada rencana membawamu dan dia ke Wonogiri !!”
”Untuk apa ?” jawab istriku dingin
”Biar biyungku tau cucunya, masa’ seumur itu belum pernah dilihat mbah ya ?”
”Mas... sekarang aku bukan istrimu lagi !!” jawab istriku sambil meneteskan air mata
Istriku ngomong dengan suara lirih dan tersedu, seraya mengeluarkan secarik kertas
dari balik baju T- shirt nya. Kubaca sepintas surat yang bertuliskan ”Kantor Pengadilan Agama
Jakarta Barat ” itu. Aku tak kuasa menahan perasaan, walaupun firasatku sudah ada tengara,
sebelum dia mengeluarkan surat itu, bahwa status hukumku sudah ingkrah. Hatiku pilu
227

melihat istriku meneteskan air mata, ...... entah berapa CC, siang itu air mata yang tumpah
diatas anaknya yang sedang pulas.
Jantungku berdegub juga ..... walaupun sebetulnya aku sudah menyiapakan mental,
Ternyata luluh juga. Melihat perempuan yang telah melahirkan anakku, menahan tangis selama
ini, aku tak bisa berbuta apa –apa karena dia juga patuh terhadap orang tuanya.
Dengan maksud menghiburnya, kucoba memberanikan bertanya padanya ;
”Wesel kiriman untuk anakmu sudah diterima ?” tanyaku
Istriku tak menjawab, hanya mengangguk sambil mengusap air mata yang membasahi
kepala anaknya yang sedang tidur. Kusodorkan amplop berisi sejumlah uang seraya pamit.
”Nih terima seadanya dulu, Insya Allah aku akan membiayai anak kita sampai kapan
pun. Dan aku minta maaf karena, walau bagaimana pun ini nasib kita, tapi atas kesalahan
saya, boleh aku melihat KTP mu ?”
”Untuk apa ?” tanya istriku agak tegang
”Agar aku tak salah menulis namamu jika kirim surat !!”
”Buat apa kirim surat ?”hubungan kita kan sudah putus ?” jawabnya liriha
”Walau bagaimana pun. Tati kan ibu dari anakku !!!”kataku menjelaskan
Mendengar penjelasanku dia malah menangis lagi. Sementara aku termangu
dibuatnya.... tertolong oleh adik iparku laki – laki Untung Suhardi yang pulang sekolah;
”Hai mas Ade...ha ...ha... sekarang hitam betul,” celetuk Untung tanpa beban
”Kan jadi orang hutan, di Kalimantan. Untung kelas berapa sekarang ?” tanyaku
”Kelas lima !” jawab Untung tegas seperti biasa.
”Hai ko, ko ... ini mas datang. Masa’ ngorok ? Ko.. bangun ! nanti lu ditinggal lagi !”
”Biar Tung jangan digangu nanti rewel!!” kata mama dari dalam kamarnya.
Setelah suasana cair, anakku dibopong ke tempat tidur lagi.
”Kak Tati, ini apa ? Wuih uang banyak betul!’ kata Untung lugas
”Kasihkan kak Tati nanti hilang !!” perintahku
”Aku juga mas,” kata Untung lagi.
”Nih untuk ditabung, jangan untuk beli mainan !” kataku
”Wuih lima belas ribu, mas sudah kerja ya !!”
”La iya lah kan sudah lama di Kalimantan!!”
”Makan dulu Tung, ajak abang lu sekalian nanti ngobrol lagi !!” panggil mama’ nya
”Iya ma, yuk makan dulu mas,” ajak Untung simpatik
Aku juga tak tau apakah Untung tau bahwa status ku sudah lain ?
Setelah suasana normal, aku pamit meninggalkan mereka, terus kelapangan Banteng
cari bus ke Wonogiri dengan perasaan lega walau masih ada rasa galau membekas dihatiku.

.....................TAMAT..........................

49
JOMBLO LAGI
MULAI DARI NOL LAGI

E
mpat tahun aku tak menengok Wonogiri, apalagi Solo. kubayangkan perubahan
pembangunan desa dan kota – kota di pantai utara Jawa. Tapi karena aku menggunakan
bus malam, yang kulihat cuma teminal yang tak pernah tidur, mulai Cumandi sampai
228

Semarang.
Tiba di Solo pukul 6.00 pagi. Aku berpikir, mbah putri juga bu Alit sedang apa dan
dimana. Tapi karena masih pagi, aku berubah pikiran, nanti saja setelah sampai kampung
mencari informasi. Setelah tiba di terminal Wonogiri pikiran ku bercabang lihat dik Wik dan
Tri, atau langsung ke kampung.
Setelah mendengar lagu langgam jawa ”Caping Gunung,” rasa ingin tahuku keadaan
biyungku dikampung semakin menggebu. Maka setelah membeli gula, teh, panganan kesukaan
orang tuaku dan satu sloop rokok serta permen, aku langsung ke stasiun kereta api yang
kebetulan baru tiba dari Solo dan segera berangkat ke Baturetno melintasi daeraku.
Tiba di kampung kebetulan musim panen, sepanjang 5 km dari stasiun kereta api
menuju rumah kelahiranku kaum tani dan embok – embok yang sedang disawah memanen
padi, pada antusian menyambutku. Ada yang berlari mendekatiku terus memukul dam
mecubit dengan gemas, ada yang dari tengah sawah teriak – teriak memanggilku. Permen dan
rokok kubagikan sebagai tanda akrabku kepada mereka. Ada juga yang teriak ramah, agar aku
segera pulang menemui biyungku.
Betul – betul bahagia saat itu, setelah biyung ku tiba dari sawah mendengar
kedatanganku menumpahkan perasaan rindunya kepada aku seiring rasa syukur dengan
ucapan sebagimana biasanya, kalu biyung menemui kebahagiaan
”Kandulilah teko tenan, endi bojo mu karo anakmu ??”
Aku tak bisa menjawab mendapat pertanyaan spontan itu, kecuali mencium tangan
keriput itu dan merangkulnya. Demikian pula kepada kakangku satu – satunya yang setia
mendampingi biyungku kuperlakukan sama. Sanak keluarga dan tetanggaku tengah hari tiu
rame – rame menyambutku bak pahlawan menang perang. Anak – anak kecil pada berdiri
melongo, orang- orang tua duduk lesehan memenuhi tikar yang digelar melapisi lantai tanah
rumah peninggalan mbahku. Kubongkar kardus agar gula teh dan kue dapat dinikmati
bersama siang itu.
Terus kulihat kambingku masih ada lima. Semua memandangku kuhadiahi pakan yang
numpuk di pojok, kuberikan mereka ramai – ramai menikmatinya.
”Ha ...ha ...ha kambing nya diingat juga,’ celetuk pak Tri ceria.
”Dia melongo melihatku pak, kasihan,” jawabku
”Memang kambing itu, dari dulu kan miliknya?” kata istri pak Tri.
”Kakek moyangnya kan yang membiayaiku ke Jakarta delapan tahun lalu !” jawabku
Orang – orang yang mendengarkan kata – kataku tertawa semua. Kang Jo tersipu dan
tetawa juga. Aku tau seekor kambing jantanku digadaikan Rp. 150,- ketika itu ;
”Kok mas Ade, tau kalau kambing itu cucunya yang dulu,” kata Lik Karso
”Bukan cucunya lik, tapi malah turunan ketujuhnya,” jawabku ke lik Karso.
”Biasa mas Ade kalau ngomong dari dulu tak berubah ?” kata lik Tri sambil tertawa
Aku heran orang – orang kampung kok tak ada yang bilang aku menghitam, padahal
ibu di Surabaya, dan si Untung di Jakarta pada mengatakan ”Kok mas Ade sekarang hitam ?”
Satu minggu telah kuhabiskan waktuku di tanah kelahiranku. Tak lupa dik Wik &Tri
ku tengok pula. Penasaranku kutahan untuk menanyakan mbak Harjuti, disamping rinduku
memudar toh pak Tukimin sudah memberi tau, takut biyungku ikut sedih. Yang jelas, rumah
mbak Har sudah habis, dampak banjir Begawan Solo tahun 1966. Apalagi di kawasan
Wonogiri ada stigma, orang yang sudah tak pulang lebih lima tahun tak ada kabar berarti
sudah dianggab hilang. Contoh pak Carik de
saku, Dalang kondang itu dll. Tak ada yang berani membicarakan. Jangan kan orang yang
hilang, ngomongi Bung Karno saja pada bisik – bisik.
229

Satu minggu di Wonogiri aku pamit, kutinggali uang walau tak banyak kepada
biyungku. Semula menolak karena uang kirimku dulupun belum di belanjakan takut jika aku
kembali merantau kehabisan ongkos, ”luar biasa biyungku” batinku.
Uang kirimanku masih disimpan? Subhanallh alhamdulillah biyungku walau tak banyak uang
tapi sekarang sudah lebih baik dari 8 tahun yang lalu. Aku masih ingat ketika menjelang
kepergianku ke Jakarta saat itu, maka kupanggil kang Jo, diketahui kerabat dan tetangga
kuucapkan, kata sindiran sambil bergurau ;
”Nih kang, dulu sewindu yang lalu, aku minta uang Rp. 150 kang Jo bilang kapan aku
tak minta uang orang tua lagi? Jawaban saya ketika itu nanti kang kalau sudah kutinggalkan
kampung halaman ini begitu kan ?
Nah sekarang uang seratus lima puluh rupiah kukembalikan 100 kali lipat, dan lebihnya buat
Biyung. Mendengar, gurauku kang Jo tersenyum, biyungku binggung tak tau maknanya, tetapi
Lik Karso dan pak Tri tetawa renyah, aku cium tangan keriput biyungku juga kakak paling
tuaku dan tanpa upacara adat seperti dulu aku pergi dengan lega.
Setelah orang - orang yang pernah kukenang kutemui semua aku kembali ke Jakarta.
Dari Wonogiri ke Solo aku naik bus, ingin turun stasiun Purwosari. Tapi tak tau dimana aku
harus turun, karena terminal bus Solo yang dulu di Gemblekan kabarnya pindah ke Tirtonadi.
Maka sebelum masuk kota Solo kutanyakan kepada kondektur bus.
”Mas kalau mau naik kereta di stasiun Purwosari turunnya dimana ?”
”Ya Purwosari pak, kecuali kalau mau pindah bus ?”
”Pindah bus jurusan Jakarta ?”
”Bukan pak jurusan Jogya atau Semarang, kalau Jakarta di terminal baru !!”
Agak lama aku menunggu teriakkan kondektur bus memberi tau di mana Purwosari –
tiba, kondektir tadi memberi tau.
”Purwosari. Purwosari, siapa turun Purwosari !?” teriaknya.
Aku turun dari bus, banyak becak yang menawarakan jasanya untuk mengantar aku ke
stasiun. Aku tersenyum hormat, sebab jarak ke stasiun hanya sekitar 100 m. Sampai distasiun
aku mendapat informasi bahwa kereta Bima pukul 09.00 malam baru berangkat.
Kuputuskan naik kereta ”Senja” toh tiba Jakarta pagi juga. Selama menunggu itulah aku
kerumah makan yang ada di stasiun Purwosari. Ternyata tak satupun yang masih mengenal
saya. Padahal dulu saat masih sekolah di Solo, hampir semua mengenalku.
Saat menunggu itulah aku ingat STM Banjarsar, pak Agus, pak Ibnu dan bu Ratri, terus
ijazah. campur aduk pikiranku. Andaikan aku ke sekolah itu, masih mengenalkah mereka
kepadaku ? banyak kemungkinan terjadi, mungkin K S nya ganti, T U nya dll. Atau aku tak
lulus, dalam lamunanku kutanyakan ke T U ;
”Pak mau ngurus tanda lulus dan ijazah !”
”Namamu, angkatan tahun, no. ujian , kenapa baru diurus ?”
Terus aku menjawab apa? Dan sekarang buat apa ? lantas aku ingat berdebat dengan
mas Not di stasiun ini, bulan Juni delapan tahun yang lalu. Ya betul ketika itu bulan Juni tahun
1967. Sekarang, Juni juga bedanya tahun 1975.
Malam itu di kereta Senja dari Solo – Jakarta pikiranku mengambang bimbang, dimana
aku tinggal setelah tiba di Jakarta ? Rasanya aku baru mulai merantau seperti delapan tahun
yang lalu. Dibenakkku penuh perasaan yang berandai – andai.
Andaikan kontrak kerjaku berakhir, aku mulai dari mana ? Aku seperti sebatang kara
lagi. Maka, dalam hatiku berdoa semoga Allah membuka jalan lagi kepadaku yang taun ini
setelah lelah menghadapi kejamnya di ibu kota..
Kususun skenario, jika KRS memperpanjang kontrak kerjaku, persoalan sementara
selesai. Tetapi jika tidak, pertama – tama aku harus punya tempat tinggal, setelah itu ketemui
230

sahabat – sahabatku. Om Yap, mas Juwito, pak Darsono, atau siapa lagi, mas Heru ? Tak
mungkin. Karena profesi ”ngobyek” seperti dia penuh resiko dan tak menjanjikan.
Mas Not ? tak mungkin juga. Dia bukan type yang berpotensi mencarikan job sesuai
propesiku. Siapa lagi ? Ke Kalimantan, itu yang paling mungkin. Tapi uang di dompetku
rasanya tak cukup kecuali naik kapal laut dari Surabaya sendiri. Disana ada Sadimo, tapi ?
Arlojiku, menunjukkan pukul 01.15 menit, kulihat digerbongku hampir semua tidur
dengan mimpinya masing – masing. Sedangkan aku sendiri belum sekejap pun memejamkan
mata. Kucoba ke toilet dalam kereta Senja malam itu. Setelah buang air kecil, kubasuh mukaku
dengan air wastafel, kembali ke tempat dudukku. Rasa kantukku mulai menyerang. Aku
lupakan segala yang mebebani pikirankuku.
Setelah itu hentakan kereta berbunyi sepanjang ingatanku dan suara angin yang
menerpa sisi gerbong lambat laud tak kudengar lagi. Yang ku ingat hanya bayangan bentangan
sawah para petani dan ladang bawang merag dibawah kaki gunung Slamet. Entah selanjutnya
apa ku tak tau. Tiba – tiba aku terbangunkan oleh suara sinyal kereta, ternyata aku telah
sampai di sebuah stasiun entah dimana. Oh... berarti aku tadi mimpi. Karena, tak mungkin
segelap itu aku melihat pemandangan diluar kereta. Selanjutnya kereta berjalan lagi aku
tertidur, saat aku bangun sudah berada diibu kota –Jakarta. Tiba di stasiun Gambir terasa
kaya sepuluh hari yang lalu, bedanya sekarang pukul 08.00 pagi. Kulihat Tugu Monas, asrma
KKO dan anakku. Duh aku tinggal dimana ? Ah gampang toh aku jomblo lagi, berarti mulai
gari nol lagi.

......................T A M A T .................

50
HIDUPKU TANPA IJAZAH
YANG PENTING AMANAH

P
agi itu aku langsung melapor ke kantor bahwa cutiku tinggal tiga hari lagi. Dikantor
kutemui om Alex. Om Alex kepala personalia itu kaget terus bertanya ;
”Lu ke mana saja gua boxing kan hotel Makasar kok malah menghilang ?”
”Aku lupa bilang mau ke Wonogiri dulu om, maaf !” jawabku sekali lagi
”Sialan banget brengsek lu, bikin susah gua melulu !”
”Maaf om,terus kontrakku diperpanjang nggak ?” tanyaku harap – harap cemas
”Lu tanya Tono saja barusan saja dia menelpon dari rumahnya.”
”Dimana rumahnya ?”
”Di Grogol nih alamatnya, lu cari, gua telpon dia dulu .”
Kucari Ir. Tono ke alamat yang kupegang setelah ketemu aku diajak kekantor. Entah
apa yang mereka bicarakan tak tau. Aku di kasih tiket Bouraq tanggal 09 Juni karena masih
ada waktu tiga hari. Pak Alex ngasih kunci hotel Makasar di Jl. Gajah Mada. Tiba di hotel aku
ingat mas Marno dan warung bu Sidik di Cakung. Siang itulah aku langsung ke Cakung untuk
membayar hutang nasi yang lupa kubayar setahun lalu sampailah di warung Cakung ;
”Assalamualalikum, bang,” salamku ke bang Sidik.
”Walaikum salam, eh mas mandor apa kabar gimana sekarang,” kata bang Sidik
”Jauh bang, mana ibu mau membayar utangku !”
Bang Sidik memanggil istrinya. Kebetulan tak jauh, keluarlah bu Sidik;
”Eh mas mandor sekarang tambah keren apa kabar ?” tanya bu Sidik.
231

”Baik bu mau bayar utang nasi, setahun lalu lupa belum bayar !”
”Masa’ coba kulihat bukunya !!”
Setelah dicari buku catatannya, dicarilah halaman demi halaman begitu ketemu catatan
namaku bu Sidik kaget! !
”Sudah lunas kok Rp. 458 nih dibayar Madi teman mas mandor ..!”
”Kok Madi yang bayar tau dari mana dia ?”
”Ya lupa, tapi betul coba mas mandor lihat !” tanya bu Sidik yakin.
Setelah kulihat catatan bu Sidik betul tanggal 28 Juni 1974 ada tulisan lunas, aku masih
hafal tulisan temanku asal Madiun itu.
”Kalau begitu uang ini bayarkan mas Madi bu, karena jauh – jauh kesini aku mau bayar
utangku, nih Rp. 500,- selesai ya bu !!”
”Terus aku kemana mencari mas Madi, ke Madiun ?” tanya bu Sidik.
”Ya terserah ibu, gak mungkin Madi melunasi utangku, kalau ibu tak bilang dengan dia!”
”Bilang apa, ngomong apa aku ?”
”Ngomong bahwa aku punya utang belum dibayar !”
Tak kusangka bu Sidik malah menangis dan minta maaf padaku.
”Ibu tak salah lho, bu aku memang masih belum bayar kan ?”
”Kalau mas Madi tak kesini, berarti aku punya utang, apa bedanya ?” kata bu Sidik
menyesal
”Begini saja kalau Madi tak datang, infakkan ke masjid saja !” kataku ke bu Sidik.
”Betul bu dan doakan pahalanya buat dia !” kata pak Sidik menghibur
Selesai bu Sidik, aku ingat Buyung ”Sahabat Khusus” Waria cantik penolong itu. Tapi
setelah didepan Minang Saiyo Pulogadung, hatiku bimbang. Jangan – jangan dia malah
ngamuk, namun demikian aku takkan gentar. Kebetulan merasa lapar aku ke RM Minang itu.
Aku pesan nasi campur saja, kubuat santai agar tak terlihat menyelidiki keberadaan Buyung itu.
Lebih setengah jam aku menunggu tak ada tanda – tanda dia datang. Sebetulnya aku berminat
menanyakan ke pelayan, tapi tak kesampaian.
Siang itu pukul 03.00 sore kusinggahi asrama Berland, yang ribut justru Yanto dan
empat adiknya. Baru setengah jam kemudian mas Marno datang. Sudah barang tentu kang
Marno tak begitu kaget. Karena beliau berdua sudah tau kalau awal Juni itu aku cuti dan
mampir ke Berland;
”Mana anak mu, kok gak diajak kesini ?” tanya mas Marno.
”Sudah inkrah mas !!” jawabku lugas.
”Lha tinggal dimana ?” tanya yu Marno
”Hotel Makasar,” kataku
”Makanya sekarang tak mau nginap disini, sudah banyak uang ya ?”
”Yanng tanggung jawab kantor kok yu, kalau bisa sih malah senang dikasih uang !”
”Kapan kembali ke Kalimantan ?”
”Lusa yu, tak nyangka kok, kalau diperpanjang lagi !”
”Kok kaya kontrak ada diperpanjang segala !”
”Memang, karyawan kontrak kok yu .”
”Oh iya dulu aku ketemu pak Yap, dia cerita banyak tentang Ade !! Kalau bukan
karena kasihan, sebetulnya mau ditahan dan dikasih jabatan di Malang katanya ada proyek
besar, Ade sebetulnya suruh pimpin disana !!”
”Bukan Malang mas Pemalang kawasan Pantura Jateng .”
”Malah gajimu dulu dibayar penuh kok Rp. 20.000,- saya kira setengah bulan saja”
”Tak dipotong utangku Rp. 1.000,- mas”
”Gak juga, malah dia bilang suatu saat suruh nemui dia, kalau mau.”
232

”Oke mas dan mbak yu aku mau istirahat dulu !”


”Uang yang dulu dihabiskan mas mu dik !’ kata mbak yu.
”Biar yu, untuk sewa truk ke Kemayoran dulu !” jawabku bercanda
”Eh dik aku mau jadi Dan Ramil di Bintaro setuju nggak !’
”Mana bisa panjenengan kan bukan Perwira Teritorial, tak mungkin.”
”Wieh jangan dianggab enteng, aku ikut operasi Seroja di Tim –Tim lho dik.”
”Oh iya Yon Zipur itu Seni Tempur, kukira zeni dapur !!” candaku lagi
”Tapi harus pakai uang Rp. 500.000,- kurang Rp. 100.000,- bisa ditambahi ?”
”Tak usah kalau nyogok, lebih baik buat betulkan kamarku, tentara kok nyuap !”
”Tuh betulkan kalau dengan adik mu pasti di tolak,” yu Marno nimpali
”Nih yu buat tambah beli sayur saja, beras kan cukup dari jatah,” kataku
”Makasih dik buat bayar SPP Neng ! Eh ijazah mu dibawa tukang sampah,” teriaknya
”Biarin yu, tak pakai ijazah gak pateken !” jawabku ketus.
Sore itu aku kembali ke hotel, di loby sudah ada Nety, ”ngapain dia,” batinku.
”Mas Ade, kunci kamar hotelnya keliru,” kata Nety ramah
”Net ingin tau saja, kok baik betul aku dibayari hotelnya ?”
”Kata pak Alex kamu nyentrik tak disangka ternyata, orang Wonogiri .....?”
”Ternyata apa, nyentrik apa, bokek kali maksudnya sepulang dari Wonogiri. ”
”Tanpa lamaran, tanpa penanggung jawab, ternyata, malah !”
”Kamu Net, kalau ngomong bikin penasaran apasih maksudnya malah nyebelin ?”
”Tanya pak Alex saja, aku kan cuma dengar – dengar kamu digosipin!”
”Sialan Net, kamu kalau ngomong nggantung, tak tuntas !”
”Makanya tanya om Alex saja, hotel ini yang bayari kan om Alex.”
”Apa hubungannya dengan hotel ?”
”Ada deh ...... aku pulang saja, nih kuncinya no. 6, hati – hati disana ada ranjaunya.”
Sialan Nety yang baru kukenal sekali setahun lalu membuat penasaran. Bisa jadi pak
Alex sudah tau statusku, jangan – jangan Nety juga sudah dengar kalau aku petualang yang
kontoversial. Atau dibilangi om Yap jika aku sebetulnya dalam keadaan kacau.
Andaikan masih ada waktu, Nety mau ku traktir makan terus kutanyai sampai tuntas
apa sebenarnya yang terjadi padaku. Kenapa pula aku tak diminta tanda tangan kontrak
perpanjangan. Ngapain Nety tadi, kunci apa yang keliru ?
Setelah masuk kamar kuperhatikan ada amplop isi uang. Buatku kah dari siapa kok
amplop hotel ? Pengalaman sebagai peyelidik di Unilever dulu, teka teki tadi ku coba ungkap
sendiri. Dugaan sementara ; ”tadi pagi kunci hotel kutitipkan petugas resepsionis. Hotel yang
booking pak Alex kuduga untuk 5 malam ternyata aku cuma nginap dua malam, sebetulnya
semalam pun cukup. Ku lihat tiket pesawat betul besok lusa subuh baru cek in. Ini uang ada
diamplop hotel, bisa jadi sisa menginap di kasih saya. Nety yang mengurus lantas pinjam
kunci, untuk menaruh amplop diatas tempat tidurku.
Barangkali aku perlu jalan, pak Alex bisa jadi tau, aku perlu nginap di hotel karena
statusku sudah tak punya tempat tinggal.”
Aku di perpanjang tanpa surat kontrak ? Mungkin sudah percaya karena tanpa lamaran
tanpa backing orang dalam pun proyekku sukses. Bisa juga bonus atau uang cuti. Tentang
Nety aku ingat bude Marmo dulu bilang ke mas Heru, bahwa Nety tetangga bude di
Semarang suruh mencarikan pekerjaan tiga tahun lalu. Jangan – jangan Nety anak Semarang
itu. Kenapa kok cepat akrab denganku? Bisa jadi juga namaku sering disebut – sebut mas
Heru atau mas Tri di Tomang Grogol saat itu, atau dia pernah melihatku saat di Pomad, yang
jelas Nety perempuan baik hati, ramah, dan manis.

....................TAMAT...................
233

51
KEMBALI KE KALIMANTAN
SEJAWAT MENYAMBUT HANGAT

S
ubuh itu aku dibangunkan pekerja hotel terus diantar dengan mobil hotel pula. Tiba di
Balikpapan dijemput pula dengan Belmont Holden sopir pak Tono. Entah siapa yang
ngatur, karena saya pertama ke Balikpapan om Alex cuek katanyacukup gopek ;
”Mana pak Tono ?”tanyaku ke sopir itu
”Masih di Jakarta pak !” jawabnya sopan
”Tumben aku dijemput biasanya masing – masing,” kataku lagi.
”Kebetulan saja pak, ngantar orang ke bandara ,” jawabnya
”Namamu ? Jawa ya rasanya pernah kulihat ?” tanyaku
”Geger pak anak buah pak Tono ?” jawab
”Oooo yang dulu suka ngurus kiriman uang dan surat dari Sangatta.”
”Iya kalau dari Helipad kirim barang ke Sangatta juga saya.”
”Berarti mas Geger juga yang suka menerima surat dari saya untuk pak Tono ?”
”Iya dari siapa saja kalau ke dan dari Sangatta,kami ayang ngurus pak”
Sore itu tiba di Balikpapan langsung menuju ke Mess Jl. Bunyu karena penghuni
kamar masih di kantor dan proyek masing – masing. Usai shalat Dzuhur di kada aku langsung
ke kamar, setelah dapat kunci dari pengurus mess.
Setelah makan malam seperti biasa kami ngobrol santai di ruang biasanya. Kebetulan
teman sejawatku sudah lebih dulu ada disitu. Ada mas Is, Willy, Arman dan Asep. Mas Is yang
melihat aku baru habis cuti ke Jakarta langsung menegurku dengan ramah ;
”Hai mas Ade kapan tiba, apa kabar Jakarta ?” tanya mas Is.
”Baru siang tadi, baik – baik saja, tentang Jakarta Willy dong yang tau,” jawabku
bergurau
”Kok gue, kagak salah ? Bukan lu yang baru datang ?” kata Willy dengan logat
Betawinya
”Dari tadi kulihat membaca koran pagi Poskota ?” kilahku mengingatkan
”Apa hubungannya dengan Poskota ?” tanya Willy heran
”Disitu, Poskota memberitakan isi perut Jakarta dari lahir sampai mati,” kataku
diplomatis
”Sialan lu, gue kira apa, yang dimaksud mas Is kan kantor pusat ?” kata Willy
”Iya mas, kabarnya mulai bulan kemarin, pusat menarik 60 %, khususnya orang –
orang teknik!” kata mas Is.
”Iya, dikoran mengabarkan mulai ada PHK gara – gara Ibnu Sutowo ?”
”Saya malah gak tau, pak Tono gak bilang apa – apa ?” jawabku heran
”Ade kan orang kuat, beda dong dengan kita – kita ini,” kata mas Is serius
234

”Kuat makan ? atau kuat apa ....? ada – ada saja !” tanyaku tersenyum
”Buktinya, berapa orang yang meninggal di Sangatta ?” kata mas Is
”Belum yang di gondol wewe !” kata Willy tertawa
”Ah itu terlalu dibesar – besarkan saja berita nya,” kataku merendah
”Bukan dibesar – besarkan, faktanya terakhir Ir. Haryanto, masa’ kagak tau, orang CV.
Baja, katanya juga ada orang Bugis yang meninggal di proyek juga sampai didemo jagoannya ,
lu hadapi sendiri iya kan ?” kata Willy ngolok
”Masa Ir. Haryanto meninggal ?” tanyaku serius
”Lha lu kemana aja kok sampai kagak tau, gila banget !!” kata Willy heran
”Yang kuketahui, beliau sakit keras terus ku kirim dengan Helly dan Haris yang tak
suruh ngawal ke Balikpapan, ya baru tau ini aku dengar ? kok tak ada yang ngasih kabar ke
Sangatta, kalau pak Haryanto meninggal ?” jawabku
”Iya de, betul lu kan pas cuti jadi kagak tau, Arman membetulkan.”
”Kalau mas Ade bukan orang kuat, pak Tono tak menempatkan di Sangatta. Maka lagi
masih di Jakarta dia di panggil pak Tono sampe seminggu tiga kali, bikin pusing pak Alex, ya
ceritakan saja mas kronologisnya biar kami tau !” kata mas Is menengahi
”Rasanya kok banyak betul sih yang ku jelaskan dari Sangatta sampai Jakarta, dari
digondol wewe, di demo orang Bugis, malah Willy bilang sama Jhony bahwa aku katanya
nglotok, memang aku rambutan ? Apa lagi cerita tentang aku ?” tanyaku mengakhiri.
Mendengar komentarku yang terakhir tadi, teman teman malah pada tertawa ringan.
Tiba – tiba Asep yang sendari tadi cuma ikut senyum tertawa juga sambil menoleh ke Arman
yang sedan asyik membaca Kompas.
”Belum kasus kado misterius dari Kartika unutk Arman itu ?” kata Asep kalem
Mendengar kata Asep tadi, Arman yang semula asyik dengan korannya, tiba – tiba
beranjak dari duduknya seraya memaki – maki Kartika lagi ;
”Sial dangkal, Kartika lagi gua muak dengannya !!!” teriak Arman sewot
”Lu jangan ngusik singa tidur Sep,” kata Willy tertawa
Mendengar komentar Willy yang terakhir tadi, dan Arman yang sewot uring – uringan
kami tertawa semua. Aku terkesan, ternyata kalau pada kumpul selepas kerja pada asyik saling
bergurau dan cerita macam – macam.
Malam itu yang jadi biang obrolan rasanya aku. Aku menjadi heran, ternyata kasus yang
kuhadapi selama setahun di Sangatta menjadi topik pembicaraan di kalangan sejawatku di mess
Jl. Bunyu. Maka si Netty cewek Semarang itu menyebut aku orang nyetrik . Tau dari mana
dia, kok sepertinya ?
Mudah – mudahan pujian dan julukan yang kuterima akhir – akhir ini tak membuatku
takabur. Bisa jadi semua itu buah dari perjuanganku selama ini, atau juga dari hasil itikab
malamku di ”kamar khusus” dikabulkan Allah SWT hanya tak kusadari saja.
Dua hari di mess Bunyu, aku diminta segera kembali ke Sangatta. Sebelum berangkat,
tak lupa perempuan Bugis, yang dua minggu lalu nebeng aku dari Sangatta ke Balikpapan. Dia
masih di rumah keluarganya di Klandasan. Wanita itu ada tanda – tanda PDKT padaku, tapi
karena aku merasa masih berstatus suami dari satu anak lelaki, sinyal pendekatannya kuhadapi
pasip saja. Sejujurnya, aku perlu pendamping yang tau tentang petualangaku
Merasa punya tanggung jawab moral terhadap orang tuanya yang disegani di masyarakat
Teluk Lombok, kuajaklah dia kembali bersama ke Sangatta. Tiba di Sangatta aku langsung ke
basskamp kantor KRS. Diluar dugaan kepergianku ke Balikpapan bersama gadis Bugis itu
memunculkan isu tak nyaman.
”Mas, maaf ya ada gosip orang tua wanita itu marah – marah !” kata Jhony
”Marah ke siapa Jhon, kok bisa ?” tanyaku terkejut
”Sampean membawa anak orang tak ijin orang tuanya kan ?” kata Jhon serius
235

”Aku tak membawa dia Jhon, dia nebeng speedboat yang ku sewa ! Katanya mau ke
rumah keluarganya di Balikpapan., yah karena speedboat cukup untuk orang empat apa
salahnya dia ikut, kenapa aku harus ijin ortu nya.”
”Kalau begitu yuk kuantar kesana menemui orang tuanya !” kata Jhony
Atas gosip itu aku menjadi tak enak hati. Maka setelah istirahat sebentar wanita Bugis
itu kupulangkan kerumahnya si kampung Teluk Lombok dekat lokasi proyek kami.
Setiba dirumahnya Sari, wanita muda itu terus masuk di pelukan ibunya sedangkan
aku di ruang tamu bersama Jhony Stap Admin ku, ditemani bapaknya. Sebetulnya kami sudah
mengenal baik keluarga itu, karena sudah lama baik pak H. Hamid maupun putrinya ada
hubungan bisnis. Pak H. Hamid suplayer batu karang dengan H. Rachmad sedangkan anaknya
Supplay papan untuk proyek kami juga.
Maka setelah aku menemui Puang Hamid, kalaupun tak begitu ramah, namun tak ada
tanda – tanda ketegangan di antara kami. Entah karena mendengarkan ucapanku yang tertib
dan tenang, atau karena pejabat proyek disitu, yang jelas dialog kami berlangsung tenang dan
bersahabat. Apalagi setelah kujelaskan, bahwa kami di Balikpapan hanya bertemu dua kali
dengan putrinya. Yaitu saat tiba di Balikpapan dikenalkan keluarganya sebelum aku ke Jawa,
dan menjelang kembali ke Sangatta. Malah Jhony lah yang menyela penjelasan kami ;
”Jadi jelasnya mas Ade tak membawa anak pak haji ini ke Jawa ?”
”Ya gak mungkin Jhon, aku cuti bukan jalan – jalan Jhon !’ jawabku
”Lantas dik Sari di Balikpapan tinggal dimana,” tanya Jhony lagi
”Aku tak tau banyak tentang daerah kota Balikpapan, katanya Klandasan !”
”Sempat ketemu keluarganya ?” tanya Jhony
”Ya ketemu, dik Sari kan yang tau. Dimana dia harus tinggal ? Walaupun aku tak
bermaksud mengajak dia, secara moral kan tak bisa dong kutinggal begitu saja kalau tak ada
keluarganya !” jawabku setengah menjelaskan
”Ya sudahlah nak tak usah dibuat gaduh, yang penting sudah kembali ke keluarga
dalam keadaan selamat. Masalahnya dia tak ngomong sama saya, kalau mau ikut nak Ade,
memang adiknya ada di Klandasan,” kata H. Hamid akhirnya
”Terima kasih Puang atas sambutan yang bijaksana ini. Namun jika hal kepergian kami
menjadi heboh dan membuat tak enak orang tua, kami mohon maaf.. dan saya bertanggung
jawab jika ada yang harus kupertanggung jawabkan.”
Satu jam lebih kami klarifikasi, akhinya selesai dengan terpuji tak seperti kabar Jhony
sebelumnya, yang katanya Puang Hamid mau marah besar, datang ke kantor KRS Sangatta.
Maka kami berdua pulang dengan perasaan plong, terutama Jhony anak buahku itu.
”Gimana Jhon, selesai dengan baik kan ?” tanyaku
”Iya, mas Ade kan pengalaman menghadapi kemarahan orang Bugis.”
”Sekarang membahas Kartika sajalah, kemana dia ?”
”Sudah kembali setelah dua minggu disini kok.”
”Kenapa tak menunggu saya, tak ada serah terima dong !”
”Serah terima apa ?”
”Titipannya, di mess Bunyu membuat gaduh Armah marah .”
”Apa titipannya, dia bilang agar tak melanggar KUHP kok ?”
”Titipannya celana dalam Arman yang sudah mangkah dan usang Jhon.”
”Walau mangka kan punya Arman kata Kartika waktu itu !”
”Dikira Arman kan cendara mata, mana dibuka disaat makan, marahlah Arman.
Akhirnya membuat tertawa di ruang santai Jhon, setelah tau isinya ternyata Cuma gombale
wewe.”
Jhony yang biasanya hanya senyum, sore itu tertawa terbahak – bahak.
”Pantas saja Arman marah ?” kata Jhony sambil tertawa lagi.
”Itulah Kartika, sebenarnya dia orang baik tapi lugu, tau jhon ?”
236

Setelah sampai di basecamp aku istirahat, membaca harian Kompas terbitan minggu lalu.
Kubaca iklan, ternyata Direksi & karyawan KRS berduka cita atas meninggalnya Ir. Haryanto.
”Jhon, ternyata Ir. Haryanto meninggal benar to.”
”Mas baru tau ?”
”Di mess Bunyu aku ditanya mereka tapi kubilang tak tau !!”
”Si Rendah kan ikut ngawal sampai di Solo.”
”Ok Jhon aku istirahat, kita lanjutkan besok.”

...................T A M A T ....................

52
DUA KALI AKU MENIKAH
HANYA MODAL SELEMBAR K T P

M
inggu pertama, tahun kedua di Sangatta, aku konsulidasi dulu. Haris stap expedisiku
belum kembali dari mengawal jenazah Ir. Haryanto ke Solo. Pak Kartika
penggantiku selama aku cuti sudah pergi sebelum aku kembali tugasku yang kedua
yaitu membangun Gudang Spare Part di Teluk Lombok dekat Gudang IUKL.
Nardi assiten proyekku menyiapkan catatan dan gambar pondasi Gudang Spare Part
( SP ). Stok Material untuk pondasi sudah siap sebelum aku datang. Kulihat gambar pondasi
untuk gudang SP sesuai gambar desain yang dibawa pak Tono awal Mei lalu.
Pertengahan bulan Juni 1975, aku mulai proyek gudang SP dan berlangsung seperti
rencana. Tiba – tiba pengawas sipil dari Pertamina menemuiku di kantor proyek ;
”Mas Ade, sudah mulai cor pondasi SP ya ?” tanyanya
”Ya pak, karena semua matrial untuk pondasi sudah siap .”
”Koral yang untuk pondasi beton dari mana ?” tanyanya lagi.
”Dari Donggala pak, seperti dulu .’ jawabku
”Kalau begitu distop dulu, karena sesuai ketentuan koral Palu.’
”Lho, dari dulu juga sama pak.”
”Pokoknya stop dulu, sebelum ada perintah mulai lagi.”
Selesai perintah begitu, pak Jono pengawas Sipil tadi pergi! ”Asem ” batinku
”Ada apa kok aneh, dari dulu koral pasirnya juga dari Donggala ?” pikirku.
Tanpa pikir panjang kuperintahkan asistenku ngambil beberapa koral Donggala itu;
”Nardi coba bungkus dengankantong kresek terus kirim Lab ?”
”Kirim kemana pak?” tanya Nardi asistenku
”Ke Balikpapan agar dibawaa ke Lab untuk ditelitii.”
Minggu depannya jawaban dari Balikpapan datang. Hasil test di Lab, koral tak ada
masalah tapi jika Pertamina belum menyuruh mulai, agar proyek gudang SP di pending saja.
Hampir sebulan, proyekku belum ada perintah mulai. Maka kutanyakan ke Pertamina
jawabnya ;
”Di Moratorium dulu mas,’ jawab pak Tono
Pada situasi ”Stan By” malah aku kedatangan tamu dari keluarga H. Hamid, orang tua
Sari gadis Bugis yang dulu ikut aku ke Balikpapan. Rupanya tamu tadi ada keperluan serius.
Maka dengan logat Bugisnya kental, setelah tak suguhi minuman barulah berbicara ;
”Pak Ade kami kesini atas utusan Kel. Puang Hamid ingin membicarakan hubungan
pak Ade dengan putrinya. Karena sudah menjadi pembicaraan orang sekitae Teluk Lombok.
Alangkah baiknya hubungan pak Ade dengan Sari di resmikan saja.”
237

Karena tak menyangka kalau Puang Nurdin diutus Puang Hamid untuk membicarakan
hal sepenting itu, aku sejenak kaget. Sementara menunggu jawaban, kupanggil temanku Jhony,
agar menemaniku menerima tamu penting itu. Setelah itu aku menata hati dan menyusun kata
– kata yang bijak, agar tak menimbulkan dia tersinggung.
”Maaf Puang aku sebetulnya tak nyangka, kalau kehadiran Puang bermaksud
membicarakan hal itu. Karena sangat mendadak, aku perlu berpikir dulu, agar tak
menimbulkan penyesalan di kemudian hari terutama keluarga Puang Hamid.”
”Ah bapak mau mikir apa lagi, pekerjaan sudah ada. Toh bapakkan sudah singel, kita
sudah saling kenal, iyakan pak ?’ desak Puang Nurdin.
”Puang kan tidak tau banyak tentang keadaaan saya !” jawabku
”Ah bapak menrendahkan diri saja, kami sudah tau semua bapak orang baik !”
Karena Puang Nurdin rupanya tak sabar dan belum tau maksudku, maka dengan bijak
dan cermat ku utarakan keadaaaku dengan jujur.
”Puang jujur saja, proyekku sementara distop, itu satu. Kedua aku baru mulai bekerja
belum dua bulan dan ketiga, basecamp ini hanya untuk orang – orang bujangan. Aku juga
belum minta restu orang tuaku. Maka jika buru – buru rasanya tak mungkin itu saja. Oleh
karena itu berilah aku waktu untuk berpikir barang dua bulan ini.”
Agaknya Puang Nurdin mengerti alasanku, maka setelah kuyakinkan bahwa prinsipnya
saya menerima permintaannya. Mereka pulang dengan penuh harap. Tinggalah aku dengan
Jhony yang bermusyawarah ;
”Gimana Jhon menurut pendapatmu ?” tanyaku
”Mas tadi belum bicara tentang jujuran nya berapa ?’ tanya Jhony
”Jujuran ? Apa itu ?” tanyaku
”Mas kawinnya, biasanya suku Bugis itu jujurannya mahal lho !”
”Ya belum Jhon, kalau aku tak punya uang gimana?”
”Yaitu mestinya tadi dibicarakan sekalian ?”
”Kamu tak ngomong, ngapain kuajak menemui ?” tanyaku
”Iya kabarnya memang begitu ! Toh belum deal juga,” kata Jhony
”Kalau begitu sebaiknya panggil pak Muksin & pak Iksan besok !” perintah ku
”Pak Muksin kan orang Surabaya, mana mereka tau ?” kata Jhony
”Mereka sudah lama di Samarinda barangakali saja tau !!”kataku.
Pertemuan Kedua :
Rombongan Kel H. Nurdin dan pak Sanusi tetangga dekat Puang Hamid di Teluk
Lombok seminggu setelah pertemuan pertama datang lagi. Hasil pembicaraan menentukan
tentang hari pernikahan kami.
Saat itulah kami menyampaikan pernyataan tegas, bahwa saya belum siap. Pasalnya
seperti yang kami bicarakan dengan Jhony seperti lalu, bahwa Ade hanya punya modal KTP.
”Maksudnya apa mas Ade ?” tanya bu Sanusi orang Banjar itu.
”Sebagaimana ibu ketahui, saya merantau tugas perusahaan, tak punya tempat tinggal,
modal dan lain – lain kecuali KTP.”
Mendengar pernyataanku yang memilukan dan memalukan tadi, saya kira membuat
rombongan yang di pimpin Puang Nurdin tegang. Oh malah mereka tertawa ringan.
”Mas Ade, saya kesini malah ingin menjelaskan, bahwa kalau hanya soal itu, jangan
dirisaukan. Kita semua merantau. Siapa yang tidak merantau. Kalaupun kami punya rumah
sederhana itupun bantuan Pertamina mana ada yang punya rumah. Dulu kami tinggal di
gubuk di pantai sana karena kena gusuran kami dipindah 150 M dari jalan sekarang.
238

Yang penting mas Ade siap, bulan depan kita adakan secara sederhana. Biar yang rias
pengantin wanitanya saya. Soal penghulu sudah siap. Nah sekarang pengulu cuma mau melihat
KTP mas Ade, itu saja. Kalau banyak uang lebih baik untuk modal , iya kan !”
Aku melongo, hampir tak percaya. Kutunjukkan KTP DKI ku ke bu Sanusi. Beliau
mengamati sebentar. Awalnya ragu, tapi begitu membaca identitas saya, entah apa maksudnya,
KTP ku di cium dan ditempelkan di dadanya, seraya memuji syukur.
”Alhamdulillah belum mati masih Desember nanti,” katanya ceria sambil
menunjukkan KTP ku yang berlogo Monas itu ke suaminya.

Suaminya mendekat berbisik entah yang dibicarakan. Lantas bu Sanusi mengajak aku
menjauh sebentar, aku dibisikin ”Cukup mas, cukup, ini lho yang menentukan”
Setelah cukup, kami berdua kembali ke ruang pertemuan tadi. Pukul 9.00 malam
pembicaran selesai. Rombongan tamu pamit pulang ;
”Kami pulang dulu ya mas, sudah clear kan ! Bacakan doa Puang,” kata bu Sanusi
”Sebentar dulu bu, Hartop masih dipakai nonton, biar nanti kami antar. Alhamdulillah
tak hujan. Minum dulu saja silahkan.”
Seusai pembicaraan mengenai hari H kami ngobrol tentang macam – macam. Adapun
bu Sanusi adalah istri pak Sanusi tetangga sebelah rumah Puang Hamid. Pak Sanusi orang
Bugis aku juga tau. Puang Nurdin sepupu Puang Hamid, aku sudah lama tau. Tentang sejarah
dan keadaan Teluk Lombok aku dengar sudah setaun yang lalu, dari pak Petinggi langsung saat
peletakan batu pertama proyek kami.
Pukul 10.00 malam itu yang mengantar rombongan keluarga calon istriku Sidik sopir
sehari – hariku. Selanjutnya aku bicara ke Haris, Johny dan Nardi stap kantorku ;
”Jhon kamu dengar tadi kan sudah clear ,’ tanyaku ke tamanku yang tenang itu
”Gua tau hanya masalah hari H dan KTP itu saja, terus jujurannya berapa?”
”Tak pakai jujuran kuno cukup selembar KTP ku saja dan sebelum gajian bulan depan
gajimu dan Haris kupinjam, atau uang kas saja, nanti setelah gajian potong semua. Dan pesan
saja aku ingin bicara dengan pak Muksin dan pak Iksan suami istri tak anggab mewakili
keluarga Jawa, dan aku mau minta tolong pak Singgih untuk mendampingi saya.. biar dua
mobil, cukupkan!”
”Sampean tak mengundang orang tua dari Jawa ?” tanya Haris serius
”Terlalu repot, lagian belum tentu bisa hadir di hutan begini. Yang penting mau
kusurati mohon restu saja, ibu ataupun biyungku agar beliau merentui dari Jawa.”
Seperti yang direncanakan hari itu perhelatan sederhana di kampung Teluk Lombok
berlangsung khidmat. Pengulu didatangkan dari Bontang didampingi pak Petinggi setempat .
Alhamdulillah ijab kabul kami di hadiri Kapolsek Bontang, bersama rombongan Camat. Pukul
satu siang acara selesai. Malam tasyukuran di warung bu Sanusi entah siapa sponsornya,
katanya, orang – orang dari kapal yang bersandar di pelabuhan pada ikut meramaikan hingga
pukul 13.00 malam.
Seminggu setelah menikah, aku baru ke kantor, setelah siangnya melihat proyekku yang
masih koma. Entah kapan di mulai lagi akibat di moratorium itu.
Anggota tetapku Jhony, Haris dan Nardi mengerumuniku malam itu di Ruang Tamu
kantor. Katanya malam itu aku disiapkan kamar khusus untuk penganten ;
”Kenapa di kamar itu Jhon,” tanyaku
”Ya karena kamar Vip nya cuma itu,” jawab Jhony senyum
”Terus selama kegiatan proyek fakum, apa kegiatan kita ?”
”Mas bisa bulan madu kan pakai ketinting entah kemana ?”
”Sialan lu Jhon, mana istrimu yang dulu ?”
”Gua jomblo lagi mas, tak kerasan disini. Entah kemana dia ?”
239

”Cerai atau pisah rumah ?” tanya Haris


”Bukan hanya pisah rumah malah pisah pulau,” sahut Narsi
”Kongkirt nya cerai kamu ?” tanyaku serius
”Bukan cuma pisah selamanya,” jawab Jhon santai
”Percuma dong Haris mencarikan mantri sunat ?” tanyaku
”Mas juga melamar ke Samarinda kan gua yang kasih ongkos !”
”Jer basuki kan mawa bea ?” jawabku pakai pepatah Jawa.
”Bukan hanya biaya, radio, tas Ecolax yang baru kubeli juga dibawa,” kata Jhony
”Apalagi kok sampai habis – habisan ?” tanyaku lagi
”Utang kantor gaji enam bulan, pokoknya banyaklah,” jawab Jhony kalem.
”Mas Ade dulu kan bilangin lu, tapi lu nekad !’ kata Haris
”Bilangin apa, ngomongin ke orang tuanya di Samarinda.”
”Lu lupa kali Jhon mas sebelumnya sudah bilang kalau pingin sate kenapa harus beli
kambingnya, iya kan. Nah sekarang kambing lu kabur.”
”Mas Ade juga beli kambing sama kan !” kilat Jhony santai
”Tapi aku dua kali nikah Jhon, cukup selembar KTP,” jawabku
Dengar argumenku, Haris tertawa Jhony melongo, Nardi tersenyum juga, tapi
komentarnya menyudutkan Jhony.
”Bilang Jhony mas Ade kan pengalaman menghadapi orang Bugis, komentar Nardi
”Jangan ikuti jejak ku di, kamu tau, sejak aku menginjak kaki pertama di Ibukota tahun
1967, target ku yang pertama cuma KTP. Walaupun hanya jadi pembantu rumah tangga di
Tanah Abang III.”
”Masa’ cuma KTP, Ijazah?” tanya Nardi penasaran
”KTP bukan segalanya, tapi tak punya KTP akan mempengaruhi segalanya,” kataku
sambil mengingat mang Umar di Berland menjelang ke Cisauk dulu.

....................... T A M A T ..................

53
BISA JADI ITU BELUM TENTU
TERNYATA TAK DISANGKA MALAH BISA JADI

S
ebulan aku menikahi gadis Bugis yang berusia 10 taun lebih muda denganku itu tak ada
hal – hal yang membuatku risau, kecuali masalah tempat tinggal. Karena perusahaanku
pun tak menyediakan tempat bagi yang berumah tangga. Untuk itulah aku ikut rumah
mertua, sebagaimana aku menikah empat tahun lalu di Jakarta. Lagi pula istriku yang sekarang
ini seorang pedagang.
Di kampung Teluk Lombok tempat aku tinggal istriku ternyata lebih berperan dalam
usahanya dari pada mertuaku. Dengan demikian aku tak merasa mebebani dan nebeng hidup
seperti dulu. Apalagi kalaupun proyek ku sementara macet, gajiku berjalan sebagaimana biasa.
Bahkan mertuaku lah yang merasa ikut anak. Walaupun demikian aku tak merasa direpotkan
mertua, karena setelah aku menjadi menantunya, Puang Hamid betul- betul sayang, bahkan
menghargaiku sebagai pejabat. Kami sering ngobrol - ngobrol layaknya orang tua dengan anak
yang lama tak ketemu.
240

Beliau ku hormati sebagai orang tua dan tokoh masyarakat, aku dihargai sebagai orang
berpengalaman malang melintang di Jawa dan Jakarta. Yang kukagumi Puang mertuaku
ternyata bekas pedagang kopra yang sukses pada jamannya. Bahkan pernah kapal layarnya
mengarungi lautan Jawa – Sulawesi pelayaran beliau bertaun - taun.
Beliau berlatar belakang dagang dan berlayar, aku menjiwai keprajuritan dan proyek –
proyek di Jakarta. Dan aku baru sadar ternyata Pangeran Diponegoro berjuang pra
kemerdekaan di makamkan di kota Makasar. Dengan saling menghormati dan tukar
pengalaman itulah menjadi akrab dan harmonis, apalagi istriku yang selama ini terkesan hanya
dekat dengan emaknya, kedatangan saya merubah 180 derajat.
Selama tiga bulan usia perkawinanku yang kedua ini, walaupun jauh dirantau aku
merasa bertambah optimis. Apalagi kontrak kerjaku resmi diperpanjang berbanding terbalik
proyek ku yang masih dipending. Keadaan ini membuatku ingin cari obyek borongan apa
saja, ”Puncuk di cita ulam pun tiba.”
Sadimo sahabatku dari PT. Agung Bhakti datang ke Sangatta, mendengar aku dalam
posisi stan by, minta tolong bantu pasang jaringan kabel dari Bandara Sangkulirang menuju
pelabuhan Teluk Lombok sepanjang + 6.5 Km ;
”Mas aku ada pekerjaan pasang kabel tanam bisa bantu ?” tanya Sadimo
”Boleh ku borong sampean materialnya, aku jasa pasangnya, ” jawabku senang
”Nih detailnya, sampean borong pasang saja. Berapa per M1 ?”
Karena Sadimo sudah menaruh kepercayaan kepadaku, akhirnya pekerjaan pasang
kabel tanam dari Pertamina saya selesailkan dalam satu bulan lebih dengan nilai borongan
6500 M x Rp. 350 = Rp. 2.275.000,- Tapi bayaraannya menunggu dari Pertamina. Sadimo
senang, karena tanpa keluar modal, pekerjaan beres.
Setelah itu utusan Sadimo selalu menghubungi saya saat ada kesulitan. Mungkin
khawatir resiko gagal seperti proyek IUKL Pintu Lima pasang angkur baut satu unit gudang di
Teluk Lombok diborongkan ke saya juga, dengan harag Rp. 2.500,- per baut
Ekonomi Sangatta baru perlahan hidup, proyek banyak yang dipending. H. Said dari
Makasar menemui saya perlu menawarkan koral-pasir.
”Pak bisa tolong jualkan koral saya ?” tanya H. Said
”Jualnya kemana pak Haji, proyek sementara berhenti ?’ jawabku
”Kata Puang Hamid, mungkin mantuku bisa bantu ?” kata H. Said
”Saya banyak teman tapi belum ada yang memperlukan koral,” jawabku
Keputusan H. Said, terlanjur mendatangkan koral dengan perahu layar dari Donggala,
kami dapat menampung saja dengan memberi beras dan sekedar minyak makan kepada awak
perahu layar. Istriku sanggub mencarikan permintaan pak H. Said.
”Mencari gampang membayarnya ?” tanyaku ke istri yang pedagang itu.
”Kan mas ada modal hasil borongan pasang kabel ?” kata istriku optimis
Dari hasil kerja sama itu di pesisisr Teluk Lombok menumpuk ratusan koral dan pasir
dari Donggala. Dan sedikit demi sedikit pemborong di Sangatta menghubungiku, karena hanya
itu satu – satunya pasir- koral yang ada di kawasan Teluk Lombok dan Sangatta waktu itu.
Hasil penjualan koral dan pasir kusimpan dan kupakai modal. Alhamdulillah pondasi
Rig type 110 di ST 6 Sangatta memerlukan koralku. PT. Agung Bhakti pesan sesuai
keperluan, aku sanggub. Lambat laun stok pasirku dari H. Said habis terjual. Anehnya H. Said
tak pernah nongol. Padahal uang harga koral telah kuterima semua.
Aku merasa serba salah, kupakai uang H. Said jangan – jangan orangnya muncul.
Kebetulan aku memerlukan modal kerja lagi. Entah mengapa PT. Agung Bhakti pun memberi
pekerjaan memborong upah kerja pondasi righ di ST 6 itu. Walau tak perlu modal banyak.
Aku harus membayar upah kerja cor beton seusai pekerjaan selesai.
241

Baru asyik – asyiknya saya memborong upah kerja diluar dinas, ada panggilan ke
Balikpapan sekaligus mengantar Yusup, sopir truk ku ke Balikpapan. Aku curiga jangan –
jangan aku masuk daftar yang di PHK. Belajar dari pengalaman di Unilever dulu, kalau tiba –
tiba dipanggil ujung – ujungnya di pecat.
Bersamaan dengan panggilan itu ada seorang anak buahku Yusup dan istrinya yang
hamil tua, kata orang sudan bulannya. Kondisi istri Yusuf lah yang mbuat hatiku was-was,
karena perjalanan Sangatta – Balikpapan memakan waktu satu malam dan satu hari.
Kapal yang membawaku dari Sangatta menuju Samarinda berangkat pukul 05.00 sore.
Biasanya pukul satu malam singgah di Handil D. Setelah istirahat setengah jam baru berjalan
lagi tiba di Samarinda pukul 07.00 pagi besoknya, itu kata orang yang sering ku dengar.
Persis dugaan beberapa orang, bisa – bisa istri Yusuf melahirkan di kapal. Tengah
malam ditengah laut perjalanan kapal kami melambat. Padahal gelombang laut waktu itu tak
seperti biasa kata penumpang lumayan tinggi. Disaat kapal bergoyang itulah istri Yusuf
melahirkan. Alhamdulillah seorang perempuan setengah umur membantu kelahiran. Kulihat
awak kapal membawa welat untuk memotong tali pusarnya.
Baru setelah kapal bersandar di sungai Handil D pertolongan selanjutnya dilakukan
orang – orang sekitar kami, sekali – sekali tangisan bayi kudengar. Satu jam istirahat kapal
bergerak lagi pukul 9.00 pagi baru tiba di pelabuhan Samarinda, tiba – tiba ada ambulan yang
siap membawa ibu dan bayi itu ke R S di Samarinda. Setelah keadaan kondosip, baru aku
melanjutkan perjalanan menuju Handil D dengan Speedboat, sampai Handil D baru menuju
ke Balikpapan dengan taksi Sapu Lidi aku tiba di kantor perwakilan KRS.
Karena aku lelah, tiba di mess Jl. Bunyu aku lapor sejenak tentang keadaan sopirku,
setelah laporan diterima aku istirahat di kamar mess Jl. Bunyu. Di mess keadaan sepi tak
seperti enam bulan yang lalu.
Paginya pukul 09.00 aku menghadap Ka. Perwakilan KRS di Balikpapan. Pak
Gunawan sedang menandatangani surat – surat di meja nya ;
”Mas Ade, apa kabar sehat !” tanya pak Gun
”Baik pak, alhamdulillah sehat,” jawabku
”Apa kegiatan proyek di Sangatta masih berjalan ?”
”Sejak di pending itu, tak ada pak kecuali perawatan saja.”
”Ada surat panggilan dari Jakarta sudah tau ?”
”Yaitu lah pak, kalau sekiranya mau di PHK kenapa harus ke Jakarta.”
”Kenapa ngomong begitu belum tentu kan kalau PHK ?”
”Aku sadar kok pak, enam bulan ini makan gaji buta.”
”Yang membayar saja tak pusing, kok Ade mikirin.”
”Selain itu pak, kalau sudah tak terikat dinaskan bisa jual jasa apa saja.’
”Kabarnya Ade sudah sering ngobyek ?”
”Apa karena itu pak saya dipanggil ke Jakarta.”
”Ya gak tau, bagiku tak masalah selama tak menggunakan fasilitas dinas !”
”Kalau Jakarta nanti meng PHK Aku. Kembali kesini biaya siapa !”
”Bisa jadi kamu di mutasi ke proyek lain KRS kan proyeknya banyak. Ada di
Surabaya, di Prabumulih, dan di Sawahlunto. Sebaiknya kamu ke Jakarta saja dulu lah nanti
tak kasih biaya tiket.”
”Masalahnya pak istri saya ada di Sangatta ; kalau begitu tak pikir – pikir dulu pak,
beberapa hari ini .”
”Boleh kalau begitu, tapi jangan lama, lebih cepat lebih baik, Ok .”
Kesempatan pikir – pikir itulah kugunakan menemui sahabatku Sadimo Dirtek PT.
Agung Bhakti di kantornya Jl V & W. Melihat kedatanganku yang mendadak Sadimo kaget ;
”Heei darimana mas, katanya sementara KRS kena pending ?”
”Ya betul, maka aku di panggil ke Jakarta .”
242

”Kapan, aku titip surat ke pak Aja CV. Baja di JL. Salemba !”
”Untuk apa CV. Baja !”
”Itu lho, mendirikan kontruksi baja di Teluk Lombok !”
”Kalau aku yang kerjakan kenapa, dari pada pakai CV. Baja.”
”Bener nih, minta berapa ? terserah sampean !”
”Lima juta saja, bikinkan SPK aku batalkan ke Jakarta.”
”Oke Minggu depan. Mulai sekarang sampean kembali ke Sangatta nanti SPK dikirim
kesana !” kata Sadimo
”Masa’ tak dikasih DP sedikit pun, saya kan perlu beli alat – alat untuk kerja, tagihanku
masih banyak lho disini,” komentarku
”Nanti tak kirim seperti biasa lah .”
Spontan, setelah Sadimo ngomong begitu, aku terus membuat surat pengunduran diri
dari KRS Jakarta. Tanpa pikir panjang dengan diantar stap Agung Bhakti aku ngeposkan surat
di kantor Pos Klandasan tak jauh dari kantor PT. Agung Bhakti.
Langkah berikutnya aku minta uang Rp. 200.000,- ke pak Gun di kantor KRS Jl.
Bunyu, dengan alasan untuk beli tiket ke Jakarta. Dalam hati aku merasa salah, karena
sebetulnya uang tiket dari KRS kugunakan untuk modal kerja. Begitu dapat uang dari pak Gun
aku pamit ke Sadimo, sekaligus minta uang trasport ;
”Jadi sampeyan ke Sangatta kapan ?” tanya Sadimo
”Ya sekarang setelah dapat uang ongkos kapal dari sini ?” jawabku
”Gak jadi ke Jakarta, katanya sudah dikasih uang tiket ?”
”Kalau mau dipecat saja kok harus mendatangi, bodoh betul ?”
”Dancuk, jadi ditinggal begitu saja ?” tanya Sadimo
”Ku kirim surat saja, baru saja dari kantor pos,” jawabku
”Kalau begitu nih seratus untuk ke Sangatta, dasar petualang !” kata Sadimo
Keluar dari Agung Bhakti, aku langsung ke Handil. Siang pukul 2.00 aku telah tiba di
Samarinda. Aku tanya kapal yang menuju Sangatta, jawaban yang kuperoleh, “masih besok
sore,” jelasnya malam itu aku nginap di Losmen Aida, dengan ongkos nginap Rp. 1000,-
Paginya aku mencari alat – alat untuk mendirikan konstruksi baja secukupnya, langsung
di antar ke kapal. Sorenya aku berangkat ke Sangatta dengan bermacam – macam pikiran.
Padahal pak Tono begitu baik kepadaku. Aku ikut terbawa perasaan sejawatku di mess
Bunyu yang konon 60 % orang – orang proyek di tarik ke Jakarta.
Betulkah kata pak Gun, bahwa aku dipanggil ke Jakarta ”belum tentu” di PHK.
Mengapa aku selalu kurang cermat berpikir ?
Padahal kata pak Mofid guruku bahasa SMP dulu, pernah memberi petuah ”pikir itu pelita
hati.” Sejarahku sejak di Unilever, dan beberapa kali aku di kibuli orang hanya karena
pikiranku tak cermat.
Kasus tanah Dirjen Tekstil, pak Yasir, Nico Alexande, seandainya aku cermat dan
cerdas tak mungkin terjadi. ”Ah percuma kupikirin.” Insya Allah tindakanku saat ini betul
membuahkan hasil sesuai perjuanganku selama ini.
Singkat cerita sampai di Teluk Lombok rumahku di dekat pelabuhan Pertamina itu
kukumpulkan anak buahku yang selama ini setia menunggu. Setelah mereka berkumpul
kukasih doktrin ;
”Kalian tau kita mau mendirikan kontruksi baja, proyek gudang Pertamina dekat situ.
Sebetulnya pekerjaan baja itu tak berat asal cermat dan cerdas.”
”Masa baja tak berat pak ?” jawab Cupu anggota seniorku bercanda
”Maksudnya kerja hanya perlu pengalaman dan ide bukan otak tau. Maka mulai
malam ini kalian tak beri tau tentang teknik dan nama – nama barang agar besok di proyek tak
bingung kalau disuruh.”
243

Alhamdulillah dalam waktu setengah bulan tanpa dukungan alat–alat berat gudang
kontruksi baja berdiri megah.
Pihak Pertamina kaget tanpa diketahui tau–tau selesai. Padahal mengerjakan seperti itu
semestinya harus memakai alat–alat keselamatan kerja dan kren mobil. Tapi berkat
pengalaman ku dengan alat manual pun nyatanya pekerjaan sukses. Bahkan Ir. Parno pejabat
Pertamina memberi komentar Ade gila, setelah melihat cara kerjaku.
Namun memberi apresiasi terhadap karyaku. Dari penilaian mereka aku perlu
diperhatikan kebetulan proyekku, merupakan gudang kontruksi baja pertama yang berdiri di
Pertamina Sangatta. Sahabatku Sadimo pun setelah mengetahui bahwa gudang konstruksi baja
itu telah selesai tak sampai tiga minggu, berkomentar puas. Tak nyangka kalau sudah jadi itu
setelah kulapori lewat telephon sekalian meminta SPK.
Dengan ucapan syukur Alhamdulillah, aku memberi prhargaan kepada anak buahku
dan mengadakan tasyukuran, sebab bagaimana pun tanpa perlindungan Allah pekerjaan itu
bisa beresiko fatal.

....................... T A M A T ..................

54
KUSAMBUT TANTANGAN IR. KUTIN
DENGAN PROGRESIP REVOLUSIONER

S
ementara kami stanby lagi menunggu pekerjaan cor beton lantai gudang. Aku mendapat
panggilan dari Pertamina untuk mengerjakan membaut pondasi rig di lokasi t yang telah
disiapkan yaitu Hutan Melawan, sekitar 62 km dari Sangatta. Diantar Ir. Parno aku
menghadap Ir. Kutin, Kepala Lapangan Pertamina Sangatta.
Permintaan Ir. Kutin aku harus mengerjakan dalam waktu 31 hari kalender, terhitung
senin depan.
”Bagaimana mas, bisa selesai kan ? Sebab kalau target tak bisa di penuhi, dalam satu
hari Pertamina harus membayar ke ADC uang stanby $ 1.500 sehari bisakan ?” perintah pak
Kutin
”Rasanya bisa pak asal, semua material sudah siap .masalahnya mendatangkan besi
beton pun, paling cepat sebulan itu saja pak yang perlu dipertimbangkan,” jawabku pesimis
”Sekarang sampean tak tantang sebulan selesai bisakan ?”
”Kami tak punya apa – apa kecuali semua angkutan material diantar akam kami pikir
dua hari ini,” jawabku mulai optimis
”Baik untuk pekerjaan yang urgent ini segala kebutuhan alat kerja dan angkutan aku
yang menanggung oke ! Bisa aku percaya Ade !”
Usai meeting itu, kami berdua dengan Ir. Parno menghubungi Sadimo. Karena,
sebetulnya pak Kutin pesimis jika yang mengerjakan orang – orangnya PT. Agung Bhakti.
Dengan telphon, Ir. Parno yang membuka pembicaraan dengan Sadimo di Balikpapan.
”Halo Mo, baru saja kamu di Sangatta mengadakan meeting bertiga dengan pak Kutin.
Intinya Ade siap menyelesaikan pek pondasi rig T 110 dalam sebulan dengan syarat biaya upah
kerja sesuai Rab multak untuk Ade. Mau bicara langsung dengan Ade nih orangnya di
sampingku.”
”Betul mas sampen bisa selesai sebulan ?” kata Sadimo di telp
”Siap Insya Allah, asal besi beton di gudang Teluk Lombok kupakai dulu.”
244

”Oke no problem, ide bagus selamat belerja,” kata Sadimi optimis


”Piye mas kata Sadimo ?” tanya Ir. Parno
”Oke sampean saksi ya, biaya upah multak untukku, sekarang kita ke lokasi.”
”Baik kita lapor pak Kutin biar beliau lega atas keputusan ini.”
Selesai menghadap pak Kutin kami langsung gerak cepat. Diruang tunggu, pak Parno
bincang – bincang dengan kawannya, kata Ir. Marjo. Tak lama kemudian kami langsung ke
lokasi rencana pondasi di Hutan Melawan, berdua saja dengan Ir. Parno.
Diperjalanan Ir. Parno meceritakan teman yang di loby ruang rekreasi kantor
Pertamina tadi yaitu Ir. Marjo. Seorang sarjana teknik sipil lulusan Rusia. Dari Ir. Parno lah
aku mengetahui banyak tentang status pak Marjo “kasihan “ batinku.
”Mas Ade belum makan yah ?” tanya Ir. Parno ditengah perjalanan
”Belum kita makan dimana ?”
”Kalau begitu kita kembali ke kantin makan dulu, sebab di hutan tak ada warung. Kita
harus cepat waktu sangat berharga.”
”Seribu lima ratus dolar sehari kan ?” tanyaku serius
Selesai makan, kami langsung ke lokasi pukul 03.00 sore baru sampai. Setelah melewati
hutan dan naik turun jalan tanah yang masih licin. Akhirnya kami sampai dan merasa lega.
Kulihat sudah ada bedeng kecil beratap dauh nipah. Cukup untuk 10 orang, sekitar 20 m ada
sungai kecil yang airnya jernih.
Pinggir lokasi rencana pondasi rig malang melintang, pohon tumbang yang telah di
potong tak beraturan. Selesai melihat lokasi kami berdua kembali ke ruang kerja.
Ir. Parno, mengambil gambar rencana pondasi beton rig yang akan kukerjakan dalam jangka
waktu 30 hari kalender.
Sore pukul lima aku di antar pulang ke Teluk Lombok oleh Ir. Parno setelah berpisah
aku merenung.
Hari Senin pagi 24 Maret 75 kutemui Ridianto yang sedang meluruskan besi beton
untuk rencana penulangan beton lantai gudang Pertamina di Teluk Lombok. Orang Agung
Bhakti satu ini ulet dan didedikasinya tak diragukan. Mungkin karena anak dari Wonogiri yang
terkenal tahan banting itu, dia hidup di gubuk bibir pantai pun merasa nyaman.
”Dik mulai hari ini kamu tunda dulu rencana cor lantai ini !”
”Lha aku mau kerja apa, nganggur lagi dong !” jawabnya lugas
”Nih buatkan penulangan beton untuk pondasi rig dalam sepuluh hari selesai. Dan
utamakan untuk penulangan lubang seller sesuai gambar ini.”
”Siap bos, jawabnya sambil melihat gambar.
”Nih uang senyummu !” kataku bercanda, karena dia agak acuh.
Begitu melihat uang lembaran Rp. 500,- sepuluh lembar Ridianto senyum betul. Terus
ku tinggalkan mereka dengan penuh keyakinan. Siangnya aku ke kantor Ir. Parno membawa
daftar rencana kerjaku lengkap denga Time Schedule, sekaligus menghadap Ir. Kutin mohon
dukungan dan doa restu beliau.
Hari Rabunya tanggal 26 Maret 1975 semua kebutuhan makan dan perlengkapan
dapur, alalt – alat kerja bersama sepuluh anak buahku orang – orang Timor berangkat ke
lokasi proyek pondasi rig Hutan Melawan. Pukul 10.00 pagi kami sampai, terus menyiapkan
tempat tidur, dapur serta air dari sungai yang jernih untuk diobati dengan tawas.
Sorenya Pekerjaan Bowplank selesai. Saat mencoba menggali untuk lubang pondasi,
tukang gali tanah mengeluh. Tanah dasar pondasi rig kena tanah kley yang susah di cangkul
ataupun di gali dengan linggis.
”Pak tanahnya tak mungkin bisa digali selesai dalam 10 hari,” kata mandorku
”Duh, terus gimana, kalau tak pakai exafator ?” keluhku ke mandor
245

Besoknya tangal 27 Maret mobil stap dari ADC tiba di lokasi, kumintai petunjuk
dengan bahasa Jawa karena dari orang Tegal, yang bisa menjawab ternyata bosnya orang ADC
dengan bahasa Inggris. Yang intinya orang Jepang itu acc, galian yang semula kedalaman 2.50
m menjadi 1.50 m.
Kutulis nota persetujuan itu diatas kertas bungkus/sof rokok, doa caril dan di acc si
Jepang tadi, aku lega. Kebetulan kang Senin sopir Pertamina datang lagi membawa alat-alat
kerjaku yang ketinggalan .................. kutitipkanlah nota dari Jepang tadi untuk pak Darno
untuk disetujui.
Dengan penuh semangat Ir. Parno malah datang sendiri mendukung ide saya. Malah
beliau kutitipi surat untuk Ridi tentang perubahan gambar lubang seller.
Segera pula Ir. Parno menuju Teluk Lombok dengan antusia.
”Sialan mas, sampean sekarang bisa menyuruh saya,” candanya
”Kata pak Kutin kita disuruh kerja sama, iya kan ?” jawabku
Disamping itu pak Parno juga mengirimkan exavator untuk menggali tanah rencana
pondasi dengan bantuan alat itulah galian tanah direncanakan 10 hari baru selesai menjadi dua
hari saja. Semua serba cepat dan kebetulan karena operator alat berat itu, Hamid, temanku
orang Top Jal dulu.
Aku mengambil keputusan nekat, karena tanah dasar pondasi sangat keras ditambah
padat dengan beban alat berat, yang rencana harus dipancang tak kerjakan tanpa pancangan,
dengan demikian progres proyek itu dalam sepuluh hari telah melampoi Time Schedul.
Proses selanjutnya, mobilisasi material ; semen siap, besi beton ok, tinggal mesin
molen terkendala, PT. Agung Bhakti tak punya. Yang punya dipakai sendiri. Punya KRS ada,
tapi rusak. Mendapat laporan itu, aku putuskan, mengadakan beton secara manual, otomatis
menggunakan metode khusus. Skernario terakhir pak Alex dkk sanggub, tak ada masalah.
Alhadulillah saatnya cor beton volume 110 M3 itu mulai lebih cepat dari schedul. Tak
kusangka lepas makan siang Ir. Soemardjo pejabat Pertamina yang sering kulihat itu meninjau
proyekku dan menegurku dengan ramah. Sedianya aku menyambut beliau tapi tamuku tadi
buru – buru mencegahku.
Konon sebetulnya lebih senior dari pak Parno, karena diplomanya itulah sementara
non job. Maka kedatangan Ir. Marjo siang itu menimbulkan tanda tanya bagiku. Namun karena
tegur sapanya ramah, beliau ku sambut dengan hangat pula.
”Ah tak usah pindah justru aku mau duduk juga !” tegurnya
”Terima kasih pak atas kunjungannya !” sambutku
”Mas Ade kan ? Ade siapa lengkapnya ?” tanyanya ramah
”Ade saja pak... biar mudah membuat KTP nya,” candaku
”Mas Ade dari Pertamina atau PT. Agung Bhakti?”
”Bukan dari kedua – duanya pak!” jawabku diplomatis
”Kulihat sering di kantornya pak Kutim dengan Ir. Parno ?”
”Sering sih, nggak juga tapi pernah kalau tak salah tiga kali.”
”Dari pengamatan saya sampean lebih dipercaya kok, oleh pak Kutin !”
”Dibandingkan dengan siapa pak ?” tanyaku merendah
”Dengan orang – orang sekitarnya atau pengawas dari kontraktor ?” jawab beliau
”Mungkin hanya karena beliau melihat saya nganggur saja pak?” jawabku
”Bukannya mas Ade dulu perwakilan KRS di Sangatta ini ?”
”Bukan pak, sejatinya dulu hanya perwakilan pak Tono saja.”
”Kok dulu ? Lha sekarang sampean ini mewakili siapa ?”
”Sekarang ya untuk dan atas nama diri sendiri saja.”
”Tak kerja di KRS lagi ?”
”Sejak tiga bulan lalu pak. Ya tiga bulan lalu,” jawabku sambil mengingat.
”Kena apa, KRS kan masih eksis ?”
246

”Proyeknya di moratorium pak, saya posisi stan by, jelas tukarya lah !” candaku
”Lha sekarang ini sampean ditunjuk pak Kutim apa dasarnya ?”
”Kalau itu yang tau beliau pak,” jawabku diplomatis
”Dari cara sampean bicara, menunjukan bahwa mas Ade orang pendidikan. Dari
sarjana apa ?”
”Saya bukan lulusan pendidikan formal, bahkan saya kerja tanpa ijazah pak.”
”Perasaan saya rasanya tak mungkin mas, kalau bukan orang akademis?”
”Standar ilmu kan bukan perasaan pak ?”
”Nah itu yang menarik mas, sampean menurut pengamatan saya bukan apa – apa,
bukan siapa – siapa, single peran, tapi mendapatkan kepercayaan segitu besar dari pak Kutim.
Sebaliknya saya, bertahun – tahun kuliah di luar negeri hanya karena faktor perasaan, saya
sampai hari ini masih tak diberi jabatan apapun di Pertamina. Maka saya sebetulnya kagum
terhadap mas Ade malah cenderung iri !”`
”Mungkin karena bapak Insiyur lulusan Rusia itu ?” tanyaku
”Kok mas Ade tau kalau aku dulu kuliah di Rusia ?”
”Ya saya dengar saja pak, tapi apa salahnya ? Itulah yang saya maksud tadi pak. Bahwa
standar ilmu bukan perasaan !” komentarku
”Mas Ade masih muda, tapi cara berpikir sampean aku kagum !”
”Mohon maaf pak, saya merasa tersanjung tapi sebetulnya saya belum apa – apa
dibandingkan dengan bapak. Dari catatan saya ternyata ujian lulus di dunia pendidikan itu
hanya formalitas.”
”Lantas ujian lulus yang sebenarnya yang dari mana ?”
”Ujian yang sebenarnya ternyata hanya dari Tuhan !”
Mendengar ucapanku yang agak religus tadi Ir. Sumarjo seperti tersentuh. Padahal aku
sendiri, hanya merasakan apa yang selama ini ku alami. Baik selama tujuh tahun di Jakarta dan
selama di Sangatta. Padahal aku sendiri belum merasa menjalankan perintah agama
sebagaimana orang muslim yang baik dan benar. rupanya pak Marjo dengar kata – kataku.
Atau mungkin kata – kata saya membuat tak nyaman dihati pak Marjo. Atau juga sudah
sore akhirnya pak Marjo meninggalkan aku dengan menepuk tepuk pundaku tanda
persahabatan sebagai penutup beliau bertanya lagi ;
”Apa moto Ade dalam mengemban tugas sendirian proyek ini ?”
”Dengan semangat ”Progesip Dan Eevolusimer” pak!”
”Hebat mas, darimana mendengar kata – kata itu ?” jawabnya heran
”Dari pemimpin besar Revolusi Indonesia, Bung Karno,” jawabku tegas
”Mas Ade pengemar Bung Karno ?”
”Bukan hanya pengemar pak tapi malah pengagum.”
”Sering sampean ucapkan kata Revolusi itu sehari – hari ?”
”Bahkan hampir tak pernah, ya di hadapan bapak saja.”
”Darimana sampean tau kalau saya Soekarnoisme.”
”Bahkan saya tak tau kok, kalau bapak simpatime Bung Karno ?”
”Umur mas Ade berapa tahun ini ?”
”Desember taun ini dua puluh tujuh taun pak !”
”Ok saya senang dapat ngobrol siang ini mas, aku pulang .”
”Terima kasih maaf jika ada kata – kata saya yang tak semestinya.”
”Tak ada yang salah, sampai jumpa dilain wwaktu selamat bekerja.”
Sepeninggal pak Marjo dari obrolan tadi aku menyesal kenapa aku ngomong sok
Revolusioner segala ? Padahal jika empat hari lagi proyek ini selesai berarti sukses. Kendati
pun demikian bukan karena kehebatanku melainkan beberapa faktor yang menunjang ;
1. Allah memberkahi karena dua minggu terakhir tak turun hujan.
247

2. Lubang seller diperkecil sehingga mengakibatkan volume beton berkurang.


3. Galian tanah du bantu exapator dari Top Jal
4. Tanpa harus memancang
5. Besi eton dikirim ke lokasi sudah dibengkokki tinggal pasang.
Dengan demikian pekerjaan itu di untungkan lebih tujuh hari. Tapi jika ditunjuk bukan
saya, kemungkinan cara ber Revolusi saja yang beda. Apalagi jika tidak ada dukungan
Pertamina mungkin 45 hari bahkan dua bulan baru selesai.
Yang mengejutkan pak Kutin melihat langsung dengan Helikopter sehari sebelum
deadline. Untung kayu Ulin rencana pancang yang tak jadi, disusun sedemikian rupa
meyerupai Helipad sehingga Helikopter mendarat dengan sempurna.
Pada saat Helikopter yang ditumpangi Ir. Kutin leanding atap tutup semen
bertebangan, jemuran celana, sarung dan pakaian kerja berhamburan kena terpaan kencang
baling – baling Helikopter itu.
Pak Kutin turun dari Helikopter merunduk – runduk sambil membawa bingkisan terus
diberikan saya.
”Nih buat mas Ade bagi – bagi rasanya cukup” kata pak Kutin sambil menyalami saya
dengan hangat. Tak lama kemudian terbang lagi. Kami melepas beliau dengan sorak sorai
Situasi tenang kembali, rokok Gold Bond kubagikan nyatanya tak ada yang tak
kebagian. Tapi ada yang tertawa melihat jemuran kehilangan sarung, baju dan lain – lain.
mungkin masuk hutan.
Pak Kutin pergi pukul 11.00 pagi Ir. Parno berdua datang ke lokasi tapi tak membawa
apa – apa, kecuali menyalami aku dengan senyum lebar;
”Jam segini kok sudah rapi, padahal laporan saya ke pak Kutin besok pukul 03.00 sore.
Hebat mas,” puji pak Parno
”Alhamdulillah pak banyak faktor yang menunjang ?”
”Semennya kok masih menyisa dikurangi tebalnya .”
”Sebelum dicor bapak kan ngecek ketebalannya ?”
”Kenapa lebihnya segitu ?”
”Bapak lupa kali lubang sellernya kan berubah?”
”Aah iya – ya betul, aku lupa sampean cerdas !” pujinya
”Kalau begitu yuk pulang sampeyan tak antar!”
”Belum bisa pak anak buah dulu di konsulidasi.”
”Masa’ saya duluan pulang berangkatnya kan sama – sama ?”
”Ok kalau begitu selamat, sampai jumpa lagi.”
”Terima kasih pak ! Alhamdulillah.”

......................00000000000000000 ....................

55 DI SANGATTA AKU MENDAPAT BERITA


DI WONOGIRI MALAH MENJADI BERITA

T
iga puluh hari aku di Hutan Melawan, yang kulupakan justru menjaga kesehatan. Adik
iparku Nursyam, kena penyakit yang tak kami duga, dia kena demam hingga ke dua
kakinya lumpuh entah penyakit apa, kami tak tau. Alhamdulillah setelah mendapatkan
perawatan tradisional dengan berjalan dipapah setiap pagi di air laut lambat laut sembih total.
248

Aku sendiri kena serangan demam berhari – hari membuat istri dan mertuaku kalang
kabut. Obat anti flu, pil kina, obat anti malaria pun tak menyembuhkan sakitku, sebentar panas
suhu badanku normal besoknya demam lagi.
Berkat kesabaran istriku aku dibawa ke klinik setelah di suntik dan diberi tablet dalam
tiga hari demamku berkurang. Saat – saat itulah aku sadar, ternyata olah raga dan menjaga
kesehatan kurang kami perhatikan dan tak sehat bisa mempengaruhi segalanya.
Badanku kurus dan lemah, merasa iri setiap melihat orang – orang disekitarku yang
sedang tertawa renyah dan lincah bergerak di depanku dalam kondisi sehat.
Terdorong keinginan agar cepat sembuh aku pergi ke dokter di Balikpapan. Tiba di
rumah Sadimo sehabatku, langsung tidur. Sorenya disuguhi minuman kopi, rasanya nikmat
sekali. Aku heran selama di Sangatta seusai keluar hutan dan sakit, belum pernah merasakan
enaknya makan atau nikmatnya kopi.
Karena sudah merasa enak lagi, setelah tiga hari nginap di rumah sahabatku, aku pamit
pulang kembali ke Sangatta, tak lupa sedikit uang kuberikan bu Sadimo, dengan niat tak mau
membebani orang lain. Alhamdulillah bu Sadimo pun menerima dengan senang.
Sialnya dipelabuhan Samarinda, saat aku tiba di kapal yang kutumpangi menuju
Sangatta, aku merasa meriang lagi. Bahkan tiba dirumahku di Teluk Lombok suhu badanku
masih panas, sehingga menimbulkan istriku curiga.
”Kenapa kumat lagi, jangan – jangan kena malaria,?” tanyanya
”Ya gak tau. Aku juga menyesal kenapa aku tak periksa ke dokter.”
”Lha ngapain jauh – jauh ke Balikpapan kalau tak ke dokter?” gerutunya
Aku juga heran, kenapa di Balikpapan rasanya lebih enak dan tak pernah meriang, tapi
baru naik kapal dipelabuhan Samarinda kok kambuh lagi, apa kena angin naik speedboat
kemarin?” batinku
Jumat pagi aku berpikir shalat Jumat di Sangatta sekaligus berobat di klinik PT. Djasa
Uber Sakti ( D U ) tapi istriku melarang. Katanya di Teluk Lombok kampung kami sudah
ada masjid kecil untuk Shalat Jumat.
”Bukan Mushola dari bantu dana hasil galian pasir itu ?” tanyaku
”Iya, dan Kotibnya puang kita.” Jawabnya menyakinkan aku.
Betul, siang itu ada ibadah shalat Jumat di Musholla dekat rumah kami di Teluk
Lombok. Aku tak sempat menghitung berapa jama’ahnya. Yang kulihat cuma dinding mushola
hanya setengah dinding, tikar plastik bercorak kotak – kotak dan tanpa kipas angin, tanpa
pengeras suara. Tapi ada kaleng bekas kue untuk kotak infak didepan pintu.
Puang pun kotbahnya dengan bahasa Bugis. hanya aku sendiri yang tak mengetahui
terjemahannya. Tapi aku tau maksudnya bahwa kita harus meningkatkan imam dan rajin shalat
saja. Aku tak merasa tersindir, karena warga kampung itu pun jarang – jarang yang ke musholla
itu.
Usai shalat Jumat pukul 01.00 siang acara rutinku nyetel Radio 4 band Nasional
Panasonik, hadiah pak Tono saat pulang dari Jepang. Program acara RRI stasiun Jakarta yang
paling kusukai hanya ”Klenengan” itu saja. Kalau menjelang tidur malam, atau subuh, siaran
Radio Australia dan BBC London. Sebab hanya itu yang bisa di tangkap siaran radio jaman
itu di Sangatta dan sekitarnya.
Dari kegemaran ”klenengan” itulah kudengar berita dari RRI, bahwa Pemerintah Pusat
mau membuat bendungan di Wonogiri, yang rencananya mengenangi 4 kecamatan di kawasan
kabupaten Wonogiri. Selesai mendengar Berita Nasional itu spontan aku teriak ;
”Nduk- nduk Bengawan Solo mau dibendung kita pulang !”
”Pulang kemana ? “ tanya istriku heran
”Ya ke Wonogiri maka siapkan apa yang mau dibawa, kalau mau ikut.”
”Mau , mau aku mau lihat Jawa,” jawab istriku girang
249

Sontak mertuaku tertawa senang, terus menghampiri kami. Kedua mertuaku senang
bukan karena berita RRI, tapi mengira aku sudah sembuh benar. Karena beberapa hari ini
selalu membuat perhatian mereka, akibat keadaan sakitku, yang tak kunjung membaik.
Gara – gara berita RRI siang itu pikiranku langsung melayang, mikiri Biyung. Kenapa
tak minta tolong membuat surat untuk ngabari saya ? atau kabar itu benar, tapi masih rencana.
Yaitulah kalau hanya dari radio tak seperti di koran sekali di tulis beberapa kali dibaca bisa.
Kalau radio ?
”Nduk apapun yang terjadi kita harus segera pulang ke Wonogiri !”
Karena istriku tak menjawab, aku mengguman sendiri di tempat tidur, kudengar suara
piring beradu di meja makan.
”Setidak – tidaknya kita ganti suasana,” kataku lagi
”Mas ngigau ya kok ngomong sendiri? Makan dulu selagi masih hangat!”
”Tak pikir kita cuti dulu saja setelah urusan beres !”
”Aku juga senang, tapi kata Puang biar sehat dulu baru ke Jawa.”
”Habis, kalau sakit disini tak satu pun teman yang menengok, padahal kalau lagi
memerlukan ..malam pun mendatangi, pulang juga diantar, kalau sukses, paling bilang
hebat, bagus mas.”
”Mereka kan tidak tau kalau mas sedang sakit ?” bela istriku
”Ah.. masa’ ngagak tau ? bohong ! aku sempoyongan kamu sibuk mencari kendaraan
sampai nunggui di pinggir jalan, buta kalau tak tahu .... Beginikah cara mereka menghargai
orang ?” ngomelku lagi
”Mas baru sakit istrirahat yang benar baru persiapan cuti,” kata istriku
”Kalau pak Parno ataupun pak Kutin aku tak mengharap kok. Aku sadar, aku bukan
siapa- siapa,” keluhku lagi.
”Sabar saja, kata Puang memang kalau sedang sekit panas selalu kepingin marah ...!”
”Nduk, aku mau minta maaf ke Puang dan Mama’.”
”Iya makan dulu saja, mumpung masih hangat!”
Pasca berita RRI Jakarta itu, aku berusaha melakukan aktifitas seperti biasa. Tapi tak
ada yang bisa kulakukan karena memang tak ada yang bisa kulakukan sebaiknya merekap hasil
kerjaku selama ini yang belum pernah dibayar oleh PT. Agung Bhakti kecuali bon kas.
Setelah selesai ku cocokkan dengan mas Hery, Bag. Keuangan PT. Agung Bhakti di
kantor Sangatta. Setelah cocok oleh mas Hery Invoice saya di ketik dan di tanda tangani
bersama. Total tagihan ku ke PT. Agung Bhakti Rp. 10.300.000.00,-
Mengetahui jumlah tagihanku mas Yono, Pelaksana Proyek PT. Agung Bhakti heran
dan berkomentar ;
”Wih uang mas Ade ke Agung Bhakti sepuluh juta lebih, Berapa taun kita bisa
mendapat sebanyak itu ?” komentarnya heran
”Tiga tahun pun belum tentu dapat mas,” jawab Hery
”Padahal hanya kerja beberapa bulan,” kata Yono
”Jangan menghitung lama kerjanya dong ?” jawabku menjelaskan
”Terus menghitung apanya?” tanya mereka bareng
”Ya sekolahnya, ya back groundnya, aku tujuh taun di Jakarta satu tahun lebih di KRS
pada lupa ya. malah ada yang tak sekolah, kerja setahun sapat Rp. 72.000.000,- “ jawabku
Setelah mereka semua tanda tangan, baru aku membubuhkan pula tanda tanganku,
trus di stempel selesai. Lalu aku numpang truck yang melintas di depan Agung Bhakti untuk
numpang pulang.
Aku tak ngomomg ke mertuaku, berapa tagihan ku ke PT. Agung Bhakti.
Kusampaikan saja bahwa ke Wonogiri setelah tagihan kulaporkan ke Bag. Keuangan PT. AB
di Balikpapan.
250

Dalam masa persiapan itu, istriku juga melakukan kegiatan yang sama menyelesaikan
utang piutang dengan pelanggan warung klontongnya. Ada yang menyedihkan, mungkin
terdesak sampai – sampai pakaian terbaiknya diserahkan ke istri saya sebagai pembayar utang.
Melihat kejadian itu aku sedih, kunasehati istriku ;
”Jangan – jangan kau terima itu. Aku kasihan, ihklaskan saja, kembalikan !”
”Jadi tak usah diterima, itu kan sebagai pembayaran utang !” jawab istriku ragu
”Tak usah biar sebagai sedekah, iklaskan saja,” jawabku menasehati
Kasus kecil itu melukai perasaanku. Ternyata istriku belum menguasai hal yang
menyangkut kemanusiaan. Aku sedih dan berdoa semoga kelakuan yang sangat tak kusukai tak
terulang lagi.
”Terus untuk kehidupan mama’ dan Puang apa selama kita tinggal ke Jawa ?” tanyaku
”Diwarung semuanya ada, mama’ kan bisa jualan ?” jawab istriku
”Baik kalau begitu semua ayamku biar untuk mama’ dan Puang, agar bisa dijual jika
kepepet selama kita di Jawa.”
”Kata mama’ tak boleh dijual takut dimarahi mas ?”
”Dulu aku memang berjanji kok tak akan menjual ayam kecuali di makan, tapi kan aku
yang tak mau jual, kalau sudah ku hibahkan ya terserah mama’ !” jawabku iklas
Setelah tak ada yang perlu di khawatirku, kami pamit pulang ke Jawa, mampir transit
ke Balikpapan dulu. Puang dan mama’ tinggal di Teluk Lombok bersama anaknay yang lain.
Atiyah dan anaknya, juga iparku Nursyam. Yang menjadi pikiran saya justru si kecil
Hamka yang baru berumur enam bulan. Dia melongo di gendongan mama’nya saat kutinggal
pergi. Anak itu nalurinya sudah mulai mersakan kasih sayangku. Setelah bekal dan pakaian
kami beres, kami sungkem ke orang tua kami mohon doa dan pamit.
Hampir satu malam dan satu hari kami tiba di Balikpapan karena tak cukup uang ke
Balikpapan nginap transit di rumah Sadimo sahabatku. Besok paginya keserahkan Invoice ku
ke kantor PT. Agung Bhakti sambil minta surat jalan. Aku dipanggil Dirut PT. Agung Bahkti
Drs. Marsandi, setelah bicara basa basi sebentar aku ditanya beliau ;
”Mas Ade aku tercengang tenyata tagihan sampean segini ?”
”Iya pak, mas Yono dan mas Hery pun juga heran.”
”Kata Sakiman, upah pekerjaan besi beton kok 3 x lipat dengan biasanya ?’
”Sakiman kan tak tau kronologisnya ? Masa’ yang dinilai cuma itu ?”
”Ya memang dia tak tau, aku juga gak faham coba ceritakan !”
”Bukan bermaksud takabur pak, pondasi rig itu kalau bukan saya yang diberi tanggung
jawab, PT. Agung Bhakti sudah menyerah. Bayangkan pak, sesuai SPK Pertamina, harus 30
hari kalender selesai. Pak Sadimo sudah pesimis tergantung saya ? situasinya tak semudah
biasanya pak, yang jelas citra PT. Agung Bhakti baik dan masih untung lumayan.”
Begitu menerima penjelasan saya Dirut itu faham apalagi pak Sadimo ikut menjelaskan.
Usai pembicaraan itu kami berdua bersalaman. Akhirnya tagihan saya di ACC, tinggal proses
pembayaran akan diatur setelah itu.
Besok paginya aku diantar pak Morby ke Bandara Sepinggan dan dua jam kemudian
kami terbang ke Surabaya dengan pesawat Garuda. Istriku terlihat canggung dan harap – harap
cemas. Maklum dia baru pertama kali naik pesawat apalagi setelah di kasih permen dan rokok,
dia heran dan terkesan.
Mendarat di Surabaya pukul dua belas, kami langsung naik bus ke Solo dan tiba di
kampung pukul 08.00 malam, setelah carter mobil dari Wonogiri kota. Di kampung, begitu
mendengar aku pulang suasana menjadi meriah. Sampai – sampai ditempat orang hajatan,
orang – orang yang telah berkumpul berlarian meninggalkan acara, hanya ingin menyambutku.
Kang Jo tak kuasa melarang orang – orang itu menemuiku ;
”Sudah ..sudah ! hayo kembali besok saja kesini lagi tak enak ada Kades lho !”
251

Karena orang itu masih bergeming ingin melihat istriku akhirnya ku putuskan aku ikut
ketempat acara adat itu, kebetulan pak Kades dan istrinya masih ytak melupakan aku ;
”Kapan mas Ade datang ?” tanya pak Kades
”Baru saja pak 15 menit yang lalu !” jawabku sambil menyalaminya
”Baru datang ? langsung kesini !”
”Daripada sahabat dan mbakyu – mbakyu yang ngrumuni saya pak nanti disini malah
sepi.”

56
SIAPA YANG MENABUR .....
AKAN MENUAI ........................

A
ku sudah tak asing oleh suara ayam jantan yang berkokoh bersahut – sahutan di
kampung halaman aku dilahirkan. Tak ada suara adzan subuh pun dikampung itu
bagiku tak membuatku tanda tanya, karena hingga tahun itu, belum satupun ada
bangunan langgar, apalagi masjid. Padahal warganya 99 % beragama islam. Tau dari mana aku
kalau sebagian besar muslim ?
Di KTP, itupun yang punya KTP karena kabarnya warga kampungku belum ada yang
memiliki Kartu Tanda Penduduk ( KTP ) itu sejak aku meninggalkan kampung sepuluh tahun
lalu, ketika aku juga belum punya KTP. Kabarnya pula beberapa warga desa sudah ada yang
memeluk agama Nasrani entah Kristen atau Katolik akupun tak kepingin tau. Walaupun tak
ada bangunan gereja juga. Mungkin hanya dicantumkan disurat – surat jalan atau bila ditanya
agamanya apa ?
Perjudian masih tetap seperti aku di SD dulu. ada sedikit berkurang hanya pasca jaman
edan dulu maksudnya Gestok karena penduduk desa itu belum fasih menyebut G 30 S. Maka
menyebutnya zaman edan saja. Malah beberapa orang tua menyebut jaman Pagebluk Lintang
Kemukus. Pasalnya Pagebluk G 30 S itu munculnya Lintang Kemukus pada tahun 1965.
Yang membuatku merasa aneh malah suasana kampungku setelah sehari kami nginap
tidur di rumah biyungku;
”Kang Jo mengapa pepohonan dikampung ini habis dibabat ?”
”Belum tau to, kalau desa ini mau di ”bedol” dan mau di pindah ke Sitiung ? “ tanya
kakangku yang tertua itu
”Justru aku pulang ini karena mendengar Warta Berita RRI. Beritanya, Wonogiri mau
kena genangan waduk sampai empat kecamatan, benarkah ?” tanyaku
”Ya kabarnya begitu wong semua rumah, pekaranganya, tanah garapan sudah di ukur
kok... semua yang kena rencana genangan barang – barangnya boleh di jual.
”Oh malah sudah diukur semua termasuk sawah ladang ?”
”Kabarnya begitu tapi ya embuh, kapan di bayarnya ?”
Mulai hari itu aku setiap ada kesempatan selalu menanyakan tentang kepindahan
penduduk dan bendungan itu. Tapi jawabnya beragam. Terdorong keinginanku yang tak mau
hanya katanya aku ingin informasi yang pasti. Maka setiap acara di kampung aku aktif
bergabung agar dapat menggali informasi sebenarnya, tapi malah aku dijadikan tempat bertanya
warga desaku.
”Mas Ade, Tabanas itu apa ?” tanya kang Suradi
”Oooo itu tabungan di bank kang yang pakai buku itu.’ jawabku
”Kalau Deposito itu apa juga, tabungan mas,” tnya kang Midi
”Oh iya, hanya bedanya cara ngambil tak boleh sehari – hari ?”
252

”Kalau perlu uang kepepet gimana ?”


”Nggak mudeng aku mas,” jawabku Midi
”Nah begini saja aku besok mau ke kota mencari informasi tentang rencana bendungan
dan trasmigrasi ini agar jawabanku bisa di pertanggung jawabkan, atau kalau perlu pak Kadus
ikut saya.”
Meminjam sepeda motor pak Palyono mantri kesehatan RSU Wonogiri, aku
mendatangi DPRD TK. II Kab Wonogiri. Kebetulan ketua DPRD nya bapak Hadi Wiryono,
Karteker Kepala Desa Ngumbul sebelas tahun lalu.
Semula tak mudah menghadap beliau, tapi begitu namaku dikenalkan oleh salah
seorang Ketua Dewan, beliau merespon luar biasa.
”Eeee Allah cucuku sendiri, hayo masuk , sini – sini !” jawab pak Hadi ramah.
Kata – kata beliau mengingatkan aku saat mau di screening jaman aku masih di Solo
dulu. waktu itu aku mau minta surat ”bersih diri” untuk mengikuti pendaftaran ulang Unas
tahun 1966. Karena selalu menganggap aku cucu beliau, aku menyapa beliau dengan sebutan
”Eyang.”
”Ini mas Ade anak kang Saimun kan. Apa kabar Le,” tegur beliau lagi
”Alhamdulillah sehat eyang atas doa pinisepuh,” jawabku
”Mas masih di Jakarta, apa sudah ke mana ?”
”Status Jakarta eyang, tapi tugas kerja di Kalimantan .”
”Hebat coba, bangga nggak, sudah beberapa tahun masih ingat eyang, walau sudah di
Kalimantan,” kata beliau kepada temannya .
”Bade matur eyang tentang ”Transmigrasi Bedol Desa” sebab aku tanya warga yang
katanya kena genangan, mereka malah tanya saya. Padahal saya sendiri tau rencana proyek
Bendungan hanya dari RRI. Agar lebih abdol saya pikir lebih baik matur ke DPRD.”
”Begini ; Sebetulnya rencana Waduk ini Proyek Pusat. Daerah cuma tugas
menginventarisir data penduduk dan ganti ruginya. Yang lebih tau adalah, Dep Transmigrasi,
Depdagri dan PU. Nak tak kasih memo mas Ade menghadap ke kantor Transmigrasi dan
Sekwilda Dati II Wonogiri,” kata eyang Hadi tegas.
Dibekali secarik kertas dari Ketua DPRD itu, aku menemui tiga kantor yang disebut
beliau. Dua hari berturut – turut aku menemui pejabat yang berkompeten tentang proyek
raksasa itu. Tuntaslah informasi tentang rencana pemindahan penduduk Wonogiri yang kena
genangan dan yang kena dampak bendungan sungai terpanjang di pulau Jawa itu.
Bekal informasi telah kukantongi ”Koran Suara Merdeka” juga memberitakan tiga kali
berturut – turut. Aku ingat adik - adikku Wik dan Tri di Pokoh. Melihat kedatanganku adik –
adikku sangat gembira ;
”Kok agak kurus mas nggak kaya dulu ?” tanya dik Wik
”Sakit – sakitan lho dik, sering demam meriang ?” jawabku
”Nggak minum jamu. Nggak ada yang membikinkan ?”
”Betul dik Wik bikin kan ya, biar mas mu sehat lagi !”
”Mas cuti kah. Kalau lama tinggal disini aja kubuatkan !”
”Dik Wik kelas berapa sekarang ?”
”Mulai bulan ini kelas III, kalau Tri kelas II SMP.’
”SMP I kan.”
”Oooo iya dong, adik mas semua masuk SMP I.”
”Dik Wik aku mbawaa mbak mu ?”
”Mana mbak mas, kata ibu sudah ada mbaknya lagi ?”
”Kapan – kapan kubawa kesini, biar belajar ngomong Jawa disini.”
253

Lega rasanya setelah dik Wik mau menerima istriku agar sementara tinggal di kota.
Sebab kampung hanya beberapa orang yang dapat berkomunikasi dengan istriku. Oleh karena
itu, dengan alasan agar bisa berbicara dengan bahasa Jawa, istriku boyong ke kota sampai libur
panjang adik –adik usai.
Selama di kota yang paling dominan ngajari ngomong malah dik Tri sedangkan dik
Wik ngajari membuat baju dan lain – lain.
Sekali – kali mereka bertiga pulang kampung karena dik Wik dulu sering pulang ke
desa baik bersepeda atau naik kereta api.
Sementara istriku berinteraksi dengan adik – adikku dikota aku keluar masuk kampung
baik siang ataupun malam hanya sekedar ingin memberi pencerahan kepada warga desa,
tentang Transmigrasi Bedol Desa sesuai informasi yang kudapat dari pejabat yang
berkompeten. rupanya demikian aktivitasku membuat bebarapa aparat desa tidak suka
keberadaanku. Padahal aku sendiri merasa terpanggil saja dan hanya relawan.
Target kegiatanku ketika itu agar warga desa tak kena tipu oleh oknum – oknum aparat
yang mencari keuntungan pribadi, dan memprovokasi penduduk agar tak usah ikut program
pemerintah. Aktivitasku di dukung pak Kadus dan tokoh – tokoh masyarakat baik laki – laki
ataupun perempuan.
Program yang ingin ku perjuangkan ada tiga ;
1. Pemuda dan Pemudi yang masih bujangan tak anjurkan untuk dinikahkah agar, di
sitiung mendapat satu paket hak keluarga trasmigrasi yaitu sebuah rumah tinggal dan
tanah pekarangan 0.5 ha dan tanah garapan 1.5 ha juga biaya hidup selama satu tahun.
2. Bagi yang ingin menggeser saja ke luar daerah, agar di pertimbangkan untung dan
ruginya. Saranku lebih semua ikut bedol desa kecuali PNS.
3. Uang ganti rugi terhadap bangunan dan tanah miliknya harus sesuai dengan fakta
lapangan, agar tak di rugikan atau merugikan negara.
Konsekwensinya terpaksa aku harus pinjami mereka yang ingin menikah tapi tak
punya uang biaya pernikahan.
Akibat tindakan ku yang dianggab melawan arus, aku dipanggil Kepala Desa ku yang
saat itu dijabat bapak Sukir Sutarno. Beliau sudah kukenal lama malah sejak awal menjabat
Kepala Desa di Kelurahan kami. Tetapi kabarnya mengancam akan melaporkan aku kepada
yang berwajib. Aku tak gentar sedikitpun, justru Kades lah yang mestinya terima kasih padaku,
karena lomba logo Kab Wonogiri terpilih aku, mengharumkan nama desa.
Pagi itu, sambil pergi ke kota aku mampir di kantor Kelurahan rupanya sudah
disiapkan beberapa pasal untuk menghalauku dari desa kami ;
”Mas Ade sudah berapa bulan di Kelurahan ini ?” tanya pak Kades
”Kurang lebih tiga bulan pak, karena aku datang bulan Juli yang lalu.”
”Selama pulang kampung, kok tak melaporkan diri kesini ?”
”Saya tak mengetahui kalau ada kewajiban saya harus lapor kesini.”
”Mas Ade pengalaman di kota semestinya lebih tau dong peraturannya ?”
”Dikota, lapor 2 x 24 jam harus lapor RT setempat bagi tamu dan pendatang, pak.”
”Itu kan dikota, dikampung tak ada RT semestinya lapor kesini !”
”Itu bagi tanu dan pendatang kan pak, itupun kami juga lapor Kadus walaupun saya
bukan kategori yang wajib lapor, diperaturan itu ?” sanggahku
”Terus perempuan yang sampean bawa itu siapa ada surat – suratnya ?”
”Itu istri saya, orang Bugis. Dan ini surat kawin dan KTP dia, apa lagi pak ?” tanyaku
”Sampean bawa surat jalan ?”
”Ada pak lengkap,” jawabku sambil menunjukkan surat dari PT. Agung Bhakti
”Ini tidak syah, saya mau dari Pamong Praja bukan dari PT. Agung Bhakti.”
”Kalaupun ada apa bedanya surat itu pak, tapi esensinya kan sama.”
254

”Oee nggak bisa, aku nggak mau kalau hanya surat ini, PT. Agung Bhakti kan swasta.”
”Terus mau nya apa pak, rasanya orang – orang di Kelurahan ini sebagian besar
mengenal saya, Ade anak Mbah Saimun apalagi pejabat, kecuali munafik !”
”Kecuali apa, kamu kira aku mencari – cari. Yah sudah, kalau tak mau berurusan
dengan saya biar nanti ada yang ngurusi kamu.”
”Pak apa orang perantau yang pulang kampung diperlakukkan seperti saya juga,”
tanyaku nyindir
”Itu urusan saya, tak usah kamu mencampuri,” gertaknya. ”Kamu semestinya
menghormati jabatan saya, walau aku tak seperti kamu le.”
”Pagi ini saya datang ke kantor ini justru menghormati bapak,” jawabku santai
”Sudah, tak usah banyak ngomong,” kata pak Kades terakhir
”Terima kasih pak atas kebijaksanaan bapak,” pamitku setelah pak Kades pergi
Senin pagi itu aku meninggalkan kantor kelurahan sebelum menuju sepeda motorku
pinjaman Om saher, kulihat pak Rejan Kadusku ngobrol di luar kantor, dengan ramah pak
Kadus menanyaiku ;
”Mas Ade langsung ke kota ?” tanya beliau
”Iya pak, maaf buru – buru anak buahku sudah menunggu !”
”Piye rumahnya sudah jadi ?”
”Baru pasang pondasi pak, pamit pak sampai jumpa nanti.”
Di kota Wonogiri Jl. Sadewo II, aku telah mulai membangun rumah tinggal untuk
orang tua kami. Maka keluar dari kantor Kelurahan sepeda motorku tak pacu, karena tukang
tukang ku telah menunggu.
Alhamdulillah keterlambatanku tak mempergaruhi proses kerja tukang. Yang tak
terduga malah Eyang Hadi Ketua DPRD itu sudah berdiri didepan bangunan rumahku.
”Asalammualaikum Eyang, mengapa tak kasih tau dulu kalau mau kemari.”
”Eyang tak sengaja kok sebetulnya, kebetulan ketemu pak Samin.”
”Ooo beliau yan nyuply batu kok, dan pasir Eyang !” jawabku
”Le, Eyang bikin kan gambar bangunan untuk rumah Eyang ?”
”Baik Eyang kaplingnya dimana !”
”Disana dekat stadiun ”Pringgondani” yuk ku antar.”
Dengan senang hati kupatuhi perintah Eyang Hadi karena beliau memperlakukan aku
layaknya cucu sendiri dimana kami ketemu.
Bulan itu kesibukan saya memang luar biasa. Untung om Saher Sipir Lapas itu
meminjamkan sepeda Yamaha RX selama aku di Wonogiri. Rumahku tak gambar sendiri,
IMB tak urus sendiri. Kebetulah Teguh teman STM ku di Solo dulu, setelah keluar dari
Proyek Otorita Pluit yang terkenal itu sekarang kerja di PU. Untung juga beberapa kayu
glendongan Jati dan Jowar orang – orang kampungku yang mau pindah ke Sitiung di jual
murah.
Sudah barang tentu, yang rencanaku hanya cuti tiga bulan menjadi molor sampai di
rumah biyungku selesai. Yang jadi PR ku juga, adikku yang bungsu Lewi, harus kubiayai
perkawinannya di Solo.
Untungnya juga istriku juga kerasan, entah sampai kapan. Minggu itu aku sangat sibuk,
malah tak kusangka ada surat dari Stap Kelurahan, sudah kuduga bahwa surat itu dari Polsek
Nguntoronadi. Setelah kubaca kop surat nya ternyata yang diluar dugaan malah dari Koramil.
Setelah kubaca surat panggilan itu,isinya aku diharap hari Senin pukul 09.00 pagi bisa datang
menemui Dan Ramil , ”ada yang perlu dibicarakan.”
Setelah kubaca, suratku masukkan ke kantong jaket, karena orang kampungku kalau
ada panggilan dari Koramil atau Kodim rata – rata gemetar trauma jaman Pagebluk dulu.
255

Sabtu malam setelah shalat isya, ketemui pak Rejan Kadus setempat. Kadusku ternyata
tak begitu terkejut, karena sudah tau sebelumnya bahwa Lurah ku mengadu ke Koramil Pasca
aku ribut di Kelurahan Senin yang lalu.
Malam itu selain aku yang bertamu ke rumah Kepala Dusun adalah pak Toyo, mantan
Kadus periode sebelum pak Rejan. Mereka bicara serius walau aku santai saja, kupikir kasus
surat jalanku dan kepulanganku di politisir. Maka dua tokoh warga kampung itu kupesan agar
surat panggilan ini jangan sampai diketahui biyung dan kakakku.
Pagi pikul 09.00 ku patuhi penggilan dan Ramil di kantornya yang kubangun saat PKL
sepuluh taun yang lalu, ketika itu Dan Ramilnya pak Sogimin ayah dari kedua temanku di SMP
dulu yakni Hutomo dan Supanti.
Hari Senin pagi seperti biasa dikecamatan ada kopi morning, maka Dan Ramil nya tak
ada dikantor. Namun demikian kutanyakan juga ;
”Permisi pak, aku mendapat panggilan kesini pukul 09.00.”
”Beliau lagi rapat Muspika di Pendopo Kecamatan pak,” jawab stapnya
”Terus saya menunggu atau gimana pak ?” tanyaku kecewa
”Bapak dari mana ?” tanya stap Koramil
”dari Kelurahan Ngumbul, ini surat panggilan saya !” jawabku
Setelah Bintara Koramil itu membaca surat panggilanku, dia mengatakan bahwa Dan
Ramil baru Rakor di Pendopo Kecamatan;
”Selanjutnya gimana mas, toh saya telah memenuhi panggilan ini.”
”Maaf pak saya juga tak dipesani tentang panggilan ini,” jawabnya
”Kalau begitu tolong tulis dipanggilan ini bahwa pukul 09.00 saya telah memenuhi
panggilan, tapi Dan Ramli lagi Rakor di Pendopo.’
”Coba tak lapor dulu pak barang kali ada perintah Komandan.’
Habis ngomong begitu Bintara tadi meninggalkan saya, rupanya menghadap Komandan
Koramil, tak lama kemudian tergopoh – gopoh kembali ke kantor Koramil terus bicara
kepadaku ;
”Begini pak, kata komandan nanti sore pukul 05.00 bapak bisa menemui di tempat
kostnya dibelakang pasar, rumah ke 5 dari jalan raya.
Atas petunjuk Bintara itu aku langsung menuju Jl. Sadewo menunggui buruh proyek
yang dalam bekerja menyelesaikan rumah biyungku.
Sorenya setelah berpesan kepada tetanggaku yang ikut kerja. Pukul 05.00 aku mencari
kediaman pak Hardi Komandan Koramil sesuai petunjuk Bintara Koramil tadi Pagi.
Seingatku yang katanya rumah kelima dari Jalan raya bukankah itu rumah Panti
temanku dulu, ternyata betul. Sore itu ibu Panti sedang nyirami kembang di halaman depan.
Saat aku menyampaikan salam beliau kaget ;
”Siapa ya, rasanya pernah kulihat sampean nak ?”
”Saya bu, Ade teman mbak Panti dan mas Hutomo .”
”Alhamdulillah ngger, masih ingat mbah Panti, kapan ketemu mas Tomo.”
”Sudah lama mbah saya meninggalkan Jakarta mbah kung mana ?”
’’Na baru mbaca no mbah kung ini cucunya Ade, pasti pangling mbahmu!”
Sore itu tak kuduga aku sowan orang tua mas Tomo. Kedua orang tua itu sudah seperti
orang tuaku saja sejak masih menjabat Dan Ramil tahun 1966 yang lalu. Menjelang magrib aku
di ajak kerumah belakang terus sholat di ruangan yang pernah ku inapi dulu. Usai shalat aku
baru ingat bahwa tujuanku yang utama menghadap Dan Ramil sampai kulupakan ;
”Janagn – jangan Dan Ramil itu tinggal disini,” batinku. Tak lama usai shalat, aku
diajak ke Ruang Makan terus makan bersama seorang lelaki seumur mas Tomo tak pikir
menantu mbah Sogimin suami mbak Panti. Beruntung mbah Sogimin mengenalkan padaku;
256

”Nih le kenalkan mas Hardi yang nemani saya tinggal disini dan mas Hardi ini cucu
saya dari Jakarta yang sudah lama tak ketemu.”
”Oh ya Ade,” kataku mengenalakan diri

Selesai makan malam mas Hardi kembali kerumah depan pada saat itulah aku matur
kepada mbah Sogimin disaat mbah putri mberesi meja makan dengan perempuan lain
mungkin pembantunya.
”Mbah rasanya saya lega dan terima kasih bisa sowan simbah yang sebetulnya tak
terduga bahwa panjenengan masih Sugeng. Sejatinya sowan saya kesini mau menjumpai Dan
Ramil yang kabarnya tinggal di daerah sini !’ kataku pura – pura padahal aku sudah yakin.
”Oh Allah nak itu tadi Dan Ramil nya, hayo tak kenalkan. Nak Hardi nak... ternyata
cucu saya tadi mau ketemu sampean !”
”Oh maaf pak, apa bapak tadi pagi yang datang ke kantor ?” tanyanya
”Betul mas, kata Bintara saya disuruh nemui di alamat ini.”
Setelah mendengar pengakuan ku, Dan Ramil itu agak gugub dan sibuk menyiapkan
meja dan lampu minyak ke sudut ruangan serta mengeluarkan surat, mulailah kami bicara
empat mata ;
”Maaf pak menggangu, pak Ade keluarga mbah Sogimin ya ?” tanyanya
”Beliau menganggab saya anak, karena orang tua kami seperjuangan.’
”Baiklah kita mulai saja, bapak kan pulangnya jauh,” kata Dan Ramil
”Tujuh kiloan lah pak.”
”Sebaiknya bapak memanggil saya tak usah ”pak” karena bapak lebih senior dari saya.
Sudah lama meninggalkan kampung ?”
”Sepuluh tahun lalu, tapi sudah 4 x pulang kampung.”
”Bapak sekarang di Jakarta ?”
”Sudah tiga tahun, pindah ke Kalimantan mas.”
”Katanya sudah tiga bulan lalu pulang kampung ?”
”Panjenengan termasuk hebat penguasaan teritorial, hingga tau siapa saja yang pulang
kampung di Kecamatan ini.”
”Ah nggak juga pak, saya termasuk baru kok, baru setahun ini.”
”Tapi aku pulang panjenengan tau, terus apa mas yang ingin diketahu, mengenai
kepulangan saya ?’
”Kabarnya sudah tiga bulan bapak tak melaporkan ke aparat desa.”
”Empat kali pulang selama ini tak dipermasalahkan baru ini dipanggil Koramil?”
tanyaku mulai serius
”Bapak tak usah menganggab panggilan ini serius lho pak !’
”Oooo Allah mas tak serius to, saya jauh – jauh kesini saya kira penting.”
”Saya selalu siap menerima laporan dan melayani lho pak.”
”Terus apa yang dilaporkan mengenai kepulangan saya ?”
Dan Ramil muda itu kelihatan agak tersudut, sehingga mengeluarkan selembar kertas
yang tadi ditaruh di laci mejanya. Setelah dibaca sebentar barulah, melanjutkan pertanyaan ;
”Nggak usah dianggab serius itu pak maksudnya sederhana saja, kupikir masalah ini
hanya masalah pribadi,” jawab Dan Ramil
”Maksudnya pribadi siapa mas, saya dengan siapa ?”
”Maksud saya kita bicarakan secara kekeluargaan sayja pa.”
”Ah, masa Koramil kok ngurusi masalah pribadi, sebaiknya kita terbuka saja.
Kalaupun nanti hanya antara kita yang boleh tau, itu soal lain, yang pasti pak saya merasa di
politisir oleh Kades itu, dengar cara melaporkan masalah pribadi saya ke Koramil. Pasalnya,
257

mengapa kalau hanya masalah surat jalan saja kok ke Koramil bukan ke Polsek. Ini namanya
mengusik singa tidur, dan singanya saya.
Oleh karen itu lebih baik kita buka secara gamblang apa sebetulnya motif Kades kami
itu ke Koramil ini ? Kok rasanya sangat rahasia. Khawatir kalau saya ngamuk ? Saya kan sudah
ngamuk di kantor desa itu ?” uraiku dengan emosi
”Baik pak kalau demikian, bapak boleh baca surat laporan Kades, tapi mohon hal ini
semata – mata agat tak membuat situasi berlarut – larut dan bapak tak penasaran silahkan baca
,” pinta Dan Ramil
”Tak harus saya yang baca to mas, itu surat kan bukan untuk saya, tapi untuk
Komandan Koramil melaporkan masalah saya ?”
”Baiklah kita mulai tentang surat jalan, mengapa dari PT. Agung Bhakti ?”
”Karena PT. Agung Bhakti lah yang menaungi saya di Sangatta selama saya bekerja di
perusahaan kontraktor itu mas,” jawabku
”Maksudnya pak Tarno, di Sangatta kan ada perangkat desa atau Pamong Praja. Kalau
swasta kan bukan lembaga pemerintah ?”
”Yak tak mau to mas, Lurah Sangatta membuat surat keterangan untuk warga lain
wilayah administrasinya, saya kan KTP DKI.”
”Baik pak, selanjutnya mengapa bapak sering ceramah tentang transmigrasi bedol desa,
bapak kan bukan pejabat yang berkompeten.”
”Saya relawan mas, karena penduduk menanyakan hal it, apa salahnya ?”
”Apakah bapak suka meminjamkan uang kepada penduduk disana, maksudnya
tetangga ?”
”Karena penduduk membutuhkan bukan saya yang menawarkan ke mereka ?”
”Untuk apa penduduk meminjam uang kepada bapak ?”
”Beragam mas, ada yang buat acara kawinan atau sunatan.”
”Kabarnya malah bapak yang menpengaruhi penduduk untuk mengawinkan anak
mereka, sampai 30 pasangan rumah tangga ?”
”Iya betul, agar di Sitiung mendapat paket sebagai trasmigrasi bedol desa.”
”Paket apa itu.”
”Papan, Garapan dan lain – lain untuk bisa mandiri bukan nebeng ke orang tua lagi.”
”Katanya bapak melarang penduduk yang ingin pindah diluar program transmigrasi
bedol desa. Itu kan mandiri juga ?”
”Saya tak melarang, cuma memberi gambaran untung ruginya. Jika tak ikut program
transmigrasi proyek pemerintah mas.”
”Bapak kenal Sawito tokoh gerakan yang dilarang pemerintah ?”
”Tau dari media cetak majalah Tempo, tak kenal sama sekali !”
”Bapak tau dari mana tentang masalah transmigrasi Bedol Desa.”
”Dari pemerintah, dan SKB tiga kementrian Depdagri, PU, dan Deptrans, juga di
koran Suara Merdeka terbitan 02 Juli 1976.”
”Kan pemerintah sudah mengadakan sosialisasi tentang itu ?”
”Kabarnya sudah, tapi di kalangan warga dsa masih simpang siur pengetahuannya.
Buktinya mereka banyak yang tak tau apa itu Tabanas, Deposito dan Paket jatah hak – hak
yang diterima mereka setelah di Sitiung.”
”Baik pak ini yang terakhir saat meletus G. 30 S bapak dimana ?”
”Kadang di Solo, juga di kampung. Karena sekolah ketika itu diliburkan.”
”Ooo bapak ketika itu masih sekolah ?”
”Betul dan selama libur pulang kampung.”
”Bapak mengetahui G 30 S dari mana ?”
”Dari film G 30 S di TVRI yang ditayangkan setiap tahun.”
”Kabarnya jaman itu bapak pernah ditahan berapalama ?’
258

”Tepatnya bukan ditahan tapi digaruk mas.”


”Sampai berapa bulan di garuk, sebelum dibebaskan lagi ?”
”Itulah mas yang kumaksudka mengusik singa tidur. Kepala Desa Sukir Sutarno
memang mau mengusir saya dari kampungku. Stigma itu membuat ku tersinggung, sudah
kuduga saya hari ini dipanggil karena itu, saat ini saksi tentang kasusku masih ada malah
menjadi Ketua DPRD. Nah sekarang mas mau apa terhadap saya silahkan !!” tantangku tegas
”Stop ! stop ! tunggu dulu saya ikut terusik !!!” kata mbah Sogimin tiba – tiba. ”Saya
kira, kalian tadi mau silaturrahim dan bicara apa, ternyata lama- lama kok jadi tegang. Apa
sebetulnya yang di inginkan nak Hardi ? Kalu mengenai nak Ade kulihat semakin berang saya
mengerti. Peristiwa itu sebetulnya kan sudah dikubur dalam – dalam. Kok masih dimunculkan
lagi, karena itulah tepaksa, aku nimbrung !!!!”
Nak Hardi, Ketika peristiwa itu aku Dan Ramil disini. Kasus digaruknya nak Ade ini
penuh kontroversial. Pak Kadesnya, pak Camatnya, sekarang masih sugeng. Beliau
menyesalkan atas kecerobohan oknum tertentu. Nak Ade ini, kata pak Pram banyak yang
dilakukan untuk membantu masyarakat. Dari dulu sudah begitu.
Kalau sekarang pulang kampung demi kemasalahatan warga desanya, itu tuntutan
hatinya. Dari dulu sudah ada tanda – tandanya bahwa nak Ade ini tak mau dipisahkan dengan
rakyat di kampung kelahirannya. Seingat saya berapa kali mengharumkan nama desanya.
Nah sekarang mau bongkar – bongkaran ? bisa jadi Lurah itu yang akan terbongkar,
tunggu saja nanti, kalau dia tak segera mawas diri, tinggal bagaimana nak Hardi saja percaya nak
Ade atau Kades yang arogan itu. Kalau percaya Kades itu, proses nak Ade secara hukum
kudengar dari nak Ade bukan di Koramil mestinya !”
Mendengar ucapan mbah Sogimin yang tegas dan keras tadi Dan Ramil yang baru
menjabat setahun itu terlihat kecut. Akhirnya minta maaf dan mengakhiri intrograsi terhadap
aku. Justru aku yang meminta maaf atas berangnya mbah Sogimin.
Malam itu aku ditawari nginap di kediaman mbah Sogimin. Bahkan, sudah disiapkan
tempat tidur segala. Tapi aku menolak secara halus dengan alasan takut yang dirumah
mencariku.
Sepulang dari kediaman Dan Ramil malam itu aku mengendarain motor Yahama tak
berani ngebut, sebab jalan raya banyak berlubang masuk kampung pun suasana gelap. Maka
tiba dikampungku hampir pukul 10.00 malam
Warga kampung yang lagi asyik membahas menjelang pemberangkatan, dan tentang
ganti rugi masih dalam perdebatan. Sudah barang tentu kedatanganku mengagetkan mereka
yang pada duduk di perempatan jalan ditengah kampung itu karena dikira aku tak keluar
rumah, sebab dirumahku banyak juga earga desa berkumpul
Dirumahku beberapa warga tak berani terang- terangan membicarakan kepergian saya
ke kediaman Dan Ramil, karena sudah saya pesan, agar tak membuat biyungku tercekam.
Malam itu hasil dialog saya dengan Dan Ramil kubuka terang bederang tanpa satu pun
masalah yang ku tutup – tutupi sehingga menimbulkan reaksi yang macam – macam. Ada yang
bangga atas sikap tegasku, ada juga yang tak berkomentar apa – apa.
Tegasnya, orang kampungku kuberi semangat, jangan mengikuti kata- kata Kadesku
kalau ingin merubah hidupnya di Sitiung. Kuyakinkan mereka ditanah seberang akan makmur,
asal kerja keras dan tak berjudi . dan yang terpenting jangan milih Kades Sukir Sutarno lagi.

...............ooooo..................
259

57
KUANTAR WARGA DESAKU
KETANAH HARAPAN

J umat Wage, 10 Desember thun 1976, aku membboyong biyungku dan kakaku satu –
satunya yang ada di Wonogiri, dari desa yang kena genangan Waduk Gajag Mungj=kur ke
kota rumah yang kubangun untuk orang tuaku. Di kota Wonogiri, tepatnya di Jl. Sadewo II
RT. 02 RW 01 no. 02 Wonokarto, yang terkenal dengan sebutan ”Daerah Perluasan.”
Truk bantuan sahabatku Samsuri yang selama aku ”bela warga” bedol desa, mengantar
semua harta orang tuaku, pindah ke kota. Antara lain tempat tidur, peralatan dapur dan hasil
bumi yang dipanen sebelum rencana boyongan.
Yang mengharukan tetanggaku dikota menyambut biyungku dengan penuh suka cita.
Setelah semua beres tinggal rumah peninggalan orang tuaku yang bersejarah ku berikan kepada
warga kota yan belum punya rumah dengan catatan tak boleh di ubah bentuk dan ukurannya,
agar kami tetap mengenang rumah itu.
Setelah itu aku pulang kampung lagi membantu warga yang mau diboyong pemerintah
ke Sitiung, Sumatera, sebagai transmigrasi bedol desa Gajah Mungkur. Gelombang eksodus
kepindahan penduduk yang di jemput bus transmigrasi sangat mengharukan. Warga kampung
yang telah hidup puluhan tahun didaerah itu dibedol sesuai program pemerintah.
Bulan April 1977, warga desaku telah habis pindah, baik yang mengikuti program
pemetintah ataupun yang hanya ingin menggeser ke daerah yang tak kena rencana genangan
waduk, adapula yang pindah ke daerah lain diluar Wonogiri,. Untuk meneruskan profesi
mereka sebagai petani. Ada yang pindah ke Panturan. Ada juga yang di pereng gunung daerah
waduk.
Yang paling menggembirakan bagiku adalah, beberapa tokoh dan warga desa yang dulu
terpikat bujukan Kadesku mau pindah ke Lampung. Satu persatu berubah pikiran, akhirnya
ikut bergabung pindah transmigrasi program pemerintah yaitu bedol desa ke Sitiung.
Karena berubah sikap mereka sudah saat akhir pemberangkatan, maka bus khusus
untuk dua puluh KK itu datang agak terlambat. Itupun lupa tak diiringi truck yang membawa
barang mereka. Sibuklah petugas Transit di kota Wonogiri itu. Menjelang keberangkatan
tokoh yang paling menentang anjuranku adalah pak Maito dan pak Poidin. Siang itu secara
khusus menemui aku yang sedang sibuk membantu orang tua dan anak – anak menaiki bus
Trasisto ;
”Mas Ade, mas, aku pamit ya, doakan kami mas !” tegur pak Min
”Oh pak, mbah berangkat ke Sitiung Alhamdulillah,” jawabku
”La iya to mas kemana lagi ? tak pikir – pikir mas Ade benar. sebab pak Tarno sudah
sebulan ini malah tak jelas keberadaanya ?” jawab pak Min
”Bagus pak monggo naik saja, ke bus tak iringi dari belakang ! Alhamdulillah,” ku
panjatkan puji syukur berulang – ulang tokoh yang selama ini berseberangan dengan semangat
perjuangan saya, akhirnya mendapat hidayah ikut ke Sitiung walaupun pada saat – saat terakhir.
260

Sore itu dengan rasa puas dan bersyukur, bus Transito terakhir itu ku kawal dengan
sepeda motor lampu menyala, layaknya rombongan jemaah calon haji karena petugas LLAJR,
tak satupun yang mengawal.
Pukul 04.00 sore rombongan jamaah transmigrasi bus terakhir tiba di depan barak
Transito Wonogiri. Sebelum penumpang turun kupanggil pak Rejan, yang sudah duluan
datang di barak.
”Pak Lurah bantu saya, hayo cepat pak Minto dan mbah Poidin di bus ini juga.”
”Akhirnya ikut juga to. Ayo kita bantu mas Ade,” perintahnya kepada yang lain
”Kok bantu aku, itu lho warga terakhir yang mau ke Sitiung !”
Akhirnya beberapa ikut aku memandu jama’ah yang baru datang. Adapula yang
bersuara miring ;
”Ah akhirnya juga berangkat, bikin repot mas Ade saja,” komentarnya
Tak kusangka eyang Hadi, Ketua DPRD itu datang pula di dampingi pak Kasiman yang
mengenakan jaket doreng ;
”Kok terlambat nak, kena apa ?” tanya eyang hadi.
”Lebih baik terlambat yang, daripada tak ikut !” jawabku
”Betul mas Ade, dari pada tak pergi ke Sitiung !” sahut pak Kasiman
”Jadi kapan mereka diberangkatkan ke Sitiung ?” tanya eyang Hadi
”Kata petugas besok siang pak tapi cuma ke Purwosari !” jawabku
”Apa yang harus kita berikan untuk cendera mata ?” tanya eyang Hadi
”Terserah eyang,kami siap membelikan,” jawabku
”Nih belikan terserah nak Ade untuk kenang kenangan !”
Aku mikir lama, apa yang harus kubeli, kuputuskan langsung ke toko olahraga yang jual
kartu remi dan domino. Dengan uang Rp. 10.000 ku belikan semua kartu dan papan catur.
Terus ku laporkan eyang Hadi ;
”Saya belikan kartu domino dan remi juga 5 buah papan catur, eyang !”
”Hus.. bahaya le. Nak Ade sendiri pesan tak boleh judi lagi. Dan di Sitiung orangnya
fanatik, kok disuruh judi ?”
”Bukan untuk judi eyang, untuk dikapal nanti katanya tiga malam ke Padang kan jenuh
kalau tak ada hiburanya?”
Mendengar jawabku yang diluar perkiraan, tokoh – tokoh masyarakat dan Ketua
DPRD itu tertawa semua.
”Ternyata nak Ade tau aspirasi mereka, cocok jadi anggota dewan !” kata eyang
”Malah usulan saya pak, mas Ade menjadi Kepala Desa kami di Sitiung nanti. Tak usah
pemilihan tunjuk langsung saja, mau mas ?” tanya pak Rejan
”Terus Sutarno suruh jadi apa ?” tanya eyang
”Oh ya mas,” sela pak Kasiman. ”Kabarnya sampean di panggil ke Koramil atas
laporan pak SutarnoKepala Desa itu. Kenapa tak ngomong aku, aku kan mantan Dan Ramil
disana?”
”Kalau hanya dipanggil Koramil pak, apalagi hanya laporan Tarno cukup tak hadapi
sendiri, kecuali kalau yang memanggil Pangkop Kamtib Soedomo,’ jawabku nyombong.
Tak lama kemudian pak Samin Kepala DLLAJ itu muncul bersama Leltu Pol Sugito
Kanit Reskrim Polres Wonogiri. Lengkaplah orang – orang desaku yan menjadi pejabat.
Melihat kedatangan para pejabat itu, aku nyeletuk lagi;
”Ini hari, semua tokoh persilatan dari delapan penjuru angin muncul semua, tinggal
Kades kita mana?” candaku spontan membuat yang hadir gergeran.
Sore itu di Ruang tamu kantor Transito Wonogiri tokoh – tokoh masyarakat dari
kelurahan kami, Ngumbul sebanyak delapan orang melampiaskan uneg – unegnya didepan
261

Ketua DPRD secara blak blakan segar dan familier. Akhirnya menjelang magrib kami bubar
pak Hadi, pak Kasiman mampir ke rumah biyungku yang baru ditempati sebulan yang lalu
”Rumah Baru ”kami. sebelum pulang kami salami warga Transmigrasi itu dengan hangat ;
”Pak Rejan sudah ’Niwul’ candaku ke pak Kadus yang baik itu.
”Sudah tak ada tiwul mas. mulai siang tadi sudah nasi beras !”
”Nah, betulkan kalau nuruti aku, belum sampai di Sitiung pun tiwul sudah tak ada lagi
? Masa’ tak bosan, iya kan ?” candaku lagi
Mendengar kataku terakhir tadi. Tokoh masyarakat itu tertawa tawa lagi. Usai itu kami
pulang ke rumah masing - masing kecuali eyang Hadi dan mantan Dan Ramil itu.
Dirumahku Jl. Sadewo II, biyungku dan kakang tertuaku kaget melihat kedatangan
orang – orang penting yang selama ini dihormati masyarakat ;
”Matur nuwun pak, dirawuhi,” kata biyungku merendah
”Aaaa Allah yu, sampean sudah disini to dirumah baru, yu !”
”Inggih pak dibadrake anak,” jawab biyungku senang
”Dari mana kok bapak – bapak ini, terima kasih sudah mampir ?’ tanya kang Jo
”Dari Transito kang, ingin nglihat rumah baru,” jawab pak Kasiman
Aku senang melihat biyungku bahagia dan ramah. Padahal pasca G. 30 S itu kalau
kedatangan lelaki berbaju ABRI takutnya setengah mati. Tetapi melihatku bersama mereka
dalam suasana akrab dan familier. Maka kupanjatkan puji syukurku kepada Allah SWT atas
terkabulnya harapan ku yang selama ini terasa serba salah. Macam – macam cobaan maka
kepada tokoh no. 1 di DPRD Wonogiri itu, aku mengucapkan terima Kasih atas dukungan
beliau ;
”Ya ah itu le, resiko perjuangan tapi sekarangkan sudah menjadi kenyataan,
membuahkan hasil. Bisa membahagiakan orang tua juga. Warga masyarakat desa sudah kau
antar ke ”Tanah ”Harapan,” dan orang tua mu sudah menikmati perjuangan nak Ade, iya kan
yu ?” tanya eyang Hadi yang membuat kaget biyungku itu.
”Yung , ditimbali eyang, sekarang sudah ’merdeka’ !” kataku bergurau
”Aaa embuh ora waruh, ”kandulillah” pak, matur muwun !”
”Pak Kasiman kok tercenung merasa iba ya di tinggal ke Sitiung ?” tanyaku
”Mestinya aku yang manggil ‘pak’ sampean ?” jawab pak Kasiman kaget
Kakangku Samijo malam itu juga tertawa renyah, tapi sepertinya binggung, mengapa
Ketua DPRD itu datang ke rumahku ? Mengapa pak Kasiman tak mau di panggil pak oleh ku
?
Akhirnya kami akhiri silaturahim malam itu penuh kenangan yang mendalam tak
pernah kulupakan adalah kata eyang Hadi malam itu adalah tentang kata – kata yang tak
kuperkirakan yaitu ”Kau antar warga desaku ke ”Tanah Harapan.” Karena pemerintah selama
yang ku ingat kalau memindahkan penduduk atau yang dikenal transmigrasi selalu ke Lampung
atau ke Deli, tapi prosesnya saya tak pernah tau. Baru ini dalam sejarah.
Transmigrasi bedol desa dilaksanakan pertama di Indonesia selama merdeka. Maka
aku merasa beruntung bisa mengikuti prosesnya hingga selesai. Semua warga desaku bisa
meninggalkan kebodohan dan kemiskinan sejak jaman penjajah.
Dan tak terasa yang rencana cutiku cuma satu bulan sampai menjadi delapan bulan,
dan yang mengejutkan ku, ternyata ada tiga telegram dari sahabatku Sadimo di Balikpapan.
Yang dialamatkan pakdeku RSU Wonogiri yang isinya ; ”Mas Ade diharap segera ke
Balikpapan penting.” Yang terakhir malah mengelikan, rupanya Sadimo marah besar karena
bunyi telegramnya ”Dancoooo segera ke Balikpapan.”
Telegram yang terakhir kuterima saat aku masih di rumah Ketua RT. 002 Wonokarto
Wonogiri, silaturrahim dan pamit kepada warga kota di rumahku yang baru. Adikku Wiwik
yang menerima telegram.
262

Setelah tak suruh baca, dik Wik bilang ;


”Apa sih maksudnya isi telegram ini mas, kok tak jelas ?”
”Ya baca saja, dik Wik kan yang tak suruh bacakan, coba kulihat.... ternyata yaitu tadi
”Dancooo segera kembali ke Balikpapan !!!”
”Oh maksudnya temanku marah, aku harus segera kembali ke Balikpapan. Hayo siap –
siap, mbak mu kasih tau !” perintahku
Alhamdulillah, setelah dua adikku diPokoh ku kumpulkan satu rumah dengan
biyungku di Wonogiri kota, dan biyungku secara adat telah kuserahkan kepada warga setempat
di Jl. Sadewo kutinggalkan rumah yang kubangun dengan rejeki selama di Sangatta itu dengan
penuh rasa syukur.
Jumat, tanggal 04 Maret 1977 aku kembali ke tanah rantauan Kalimantan bersama istri
dan keponakan Saino dengan maksud agar dialah yang bisa membantu aku di proyek Sangatta.

.................0000...................
263

58
DUA TAHUN KERJA BHAKTI
DI PT. AGUNG BHAKTI

T
iba di Balikpapan kami bertiga transit di Gunung Malang rumah iparku yang
dulu sempat di Sangatta bersama anaknya yang baru berumur tiga bulan. Ketika ku
tinggal delapan bulan lalu, si kecil Janggo sudah umurenam bulan. Setelah istrirahat
sebentar aku langsung menemui sahabatku yang sering menelgram itu, yaitu Sadimo. Setelah
berbasa basi sebentar di kantor PT. Agung Bhakti, aku bertiga mengadakan meeting terbatas,
kebetulan Dirutnya, pak Marsandi ada di kantornya bersama Ka Bag Keuangan, mas Giat;
”Mas mengapa cuti kok sampai delapan bulan kerasan ya ?” tanya pak Marsandi
”Diluar dugaan pak ternyata kampung halaman kami kena waduk !”
”Oooo begitu, kita langsung bicara Sangatta saja. Di Sangatta mas Ade masih punya
utang ?” tanya pak Marsandi
”Maksudnya saya meninggalkan utang di Sangatta, rasanya tak ada lho pak.”
”Yaitulah yang menjadi heran mas Giat dan aku sendiri? Mas Ade tak punya fasilitas
apa – apa, baik kendaraan ataupun stap pembantu satupun. Tapi masih punya tagihan ke
Agung Bhakti Rp. 3.500.000,-. Padahal Sadimo yang di tunjang fasilitas lengkap dan sejumlah
karyawan, malah punya utang ke mas Ade, anehkan, iya nggak ?”
”Masa Allah pak, tak kira banyak orang – orang di Sangatta mencari saya karena
ngemplang utang. Kalau itu masalahnya, saya tak bisa menjawab pak sebab saya tak pernah
mencampur manajemen PT Agung Bhakti di Sangatta.”
”Saya sudah bilang dengan Sadimo, bagaimana jika mas Ade di minta memimpin
proyek PT. Agung Bhakti di Sangatta ? Sadimo setuju. Maka Sadimo tak suruh nyurati ke
Wonogiri, sudah terima suratnya.”
”Kalau surat tak ada pak tapi kalau telegram sudah tiga kali,” jawabku
”Kok malah telegram lantas berapa biayanya, apalagi tiga kali.”
”Wong nelgrammnya cuma berapa, 19 digit saja kok, tapi nyebelin!!”
Kutunjukkan telegram terakhir dari Sadimo ke pak Marsandi, beliau tertawa.
Selanjutnya disuruh membaca mas Giat. Mas Giat tersenyum usai membaca isi telegram itu.
Rupanya pak Marsandi faham kalau aku sudah sahabat kental dengan Sadimo. Maka
selanjutnya beliau mengeluhkan proyek Sangatta amburadul, banyak utang yang belum dibayar
dan tata kelola yang tak semestinya. Untuk itulah aku dipanggil dengan maksud untuk menjadi
pimpinan lapangan proyek Sangatta ;
”Bagaimana mas bisa kan ? Kata Sadimo sudah keluar dari KRS ?”
”Sejujurnya pak saya sendiri tidak tau tentang status saya di KRS.”
”Lho katanya sudah mengundurkan diri lewat pos Jakarta ?”
”Betul pak, tapi sampai sekarang pun belum tau jawabannya, mungkin tak tau
posisiku!”
”Sudah berapa bulan surat pengunduran diri sampean ?”
”Lupa juga mungkin hampir satu setengah tahun lah.”
”Kalau begitu, sudah dianggap keluar mas, masa’ masih belum jelas.”
”Jika demikian kehendak bapak, akan kupikir – pikir dulu saja pak. Karena sebetulnya
ibarat membangun rumah lebih enak dan baik di mulai dari pondasi daripada mulai setelah
bangunan sudah setengah jalan.”
”Baiklah kalau begitu tak tunggu minggu ini ya jawabannya ?”
264

Selama keputusanku di tunggu oleh Dirut PT. Agung Bhakti. Aku berpikir keras.
Sebetulnya saya sudah jenuh menjadi pejabat. Sebab jujur pun tetap tak disukai orang. Bicara
penghasilan sebetulnya saya mawas diri karena cita – cita mendapat gaji Rp. 50.000 perbulan
sudah tercapai. Yang menjadi pikiran kalau saya menolak rasanya tak enak hati, karena
permintaan pak Marsandi sangat tulus. Apalagi aku bisa pulang membangun rumah biyungku,
tak lepas dari kepercayaan mereka. Disamping hal tersebut di Sangatta aku mau kerja apa ?
Aku masih ingat pepatah kuno, ”Memburu Teri kehilangan Kakap.” Lagipula ingin
menjaga hubungan baik dengan Sadimo, yang selama ini sudah menjalin persahabatan .
Maka tanggal 11 Maret 1967, aku menghadap pak Marsandi, bahwa tawaran jabatan
kuterima dengan syarat ;
1. Saya orang bertemperamen keras, selama saya menjabat jangan di Interpensi.
2. Karena kondisi proyek PT. Agung Bhakti di Sangatta sudah lama berjalan jangan terlalu
diharap keuntungan yang saya usahakan hanya menghindari kerugian.
3. Tatakelola lama yang tak efesien mungkin tak rombak.
”Hanya itu mas apa lagi ?” tanya pak Marsandi
”Iya pak saya rasa cukup itu saja, toh belum tentu yang sudah jalan jelek.”
Hari itu SK pengangkatan saya ditertib kan, karena kebetulan hari itu tanggal 11 Maret,
maka setelah saya terima dan saya baca dengan berseloroh kuucapkan di depan Dirut PT.
Agung Bhakti, bahwa hari ini saya menerima ”Super Semar.” Pak Marsandi tertawa dan
mengatakan ”Ok Super Semar Ditanda tangani.”
Tiba di Sangatta aku tak langsung ke kantor tapi menata rumah dulu. karena yang ada
dirumah tinggal Berda pembantu kami. istriku mulai dagang klontong lagi. Keponakan saya
Saino, tak titipkan Ridianto kerja harian proyek.
Orang kantor PT. Agung Bhakti rupanya sudah tau, bahwa mulai tanggal 11 Maret,
yang menjadi pimpinan Lapangan proyek Sangatta adalah aku. Karena siang hari seluruh
orang lapangan menjalankan tugas di proyek masing – masing, aku mengadakan rapat
Konsulidasi malam hari setelah makan malam.
Seratus hari pertama terhadap peraturan yang ku terapkan berjalan sangat baik adapun
bragam pro kontra saya anggab biasa.
Di Sangatta orang – orang Pertamina sudah tentu tau bahwa saya sebagai Pimpinan
Lapangan PT. Agung Bhakti. Di Pertamina sendiri pejabat yang lama diganti yang baru
sehingga aku perlu perkenalan lagi ;
- Pak Suparno, Ir. Sipil, diganti pak Yosep orang Ambon , Ir. Mesin
- Pak Yoppy Nelwan diganti Ir. Antoro orang Kendal
- Pak Jono yang nyebelin aku itu, diganti pak Achmad.
Pada saat menjabat di PT. Agung Bhakti tak ada tiket nonton film atau undangan
khusus ke Ruang Rekreasi seperti halnya di KRS.
PT. Agung Bhakti sering mendapat pekerjaan pondasi Righ baik T.110 ataupun T. 70 ,
bah kan Datman. Puncaknya , yang membuatku terpaksa galau adalah Pondasi Righ T. 110 di
Km 16. Kebetulan persis sama dengan yang saja kerjakan sendiri ketika tahun 1967 di
Melawan I.
Bedanya hanya lokasi dan pejabat di Pertamina yang menangani dan mengawasi
pekerjaan penting itu. Seperti biasa, kami siapkan material alat – alat kerja dan tenaga.
Bagi tim kami pekerjaan itu bukan istiwema, karena sudah beberapa kali mengerjakan
yang berubah justru Pegawas Pertamina. Pelaksana Lapangan pihak kami Haryono, pada saat
aku melihat pelaksanaannya Haryono lapor bahwa tanah dasar Pondasi Righ sangat keras tak
bisa dipancang sesuai gambar rencana.
265

Dari pengalaman saya menghadapi kerjaan macam itu, tak perlu di pancang. Setelah
kuberi arahan Haryono melapor ke Ir. Yosep aku menunggu di kantor ;
”Pak kata Ir. Yosep, kalau tak bisa dipancang dengan alat yang ada suruh pakai
Backhoe kita disuruh pinjam Top Jal aja dulu,” lapor Haryono
”Mana bisa Yon, kalau alat kalian saja tak bisa, Backhoe Loader apa lagi !!”
Haryono lapor kembali ke pak Yosep hasilnya ;
”Pak kata Ir. Yosep kita suruh pinjam alat ke BBK yang lebih berat !”
”Wah tak mungkin Yon, alat punya BPK tak singkron dengan tiang pancangnya.”
”Terus bagaimana ? Duh aku ousing bolak balik pak.”
”Ya tak perlu di pancang, tapi Haryono harus lapor lagi ke Ir,. Yosep !’
Nggak lama kemudian Haryono datang lagi, katanya pak Yosep memanggil saya di
kantornya. Rupanya Ir. Yosep jengkel terhadapku karena, saat aku datang didampingi
Antorowajahnya sudah meperlihatkan tak bersahabat, aku tak gentar kuhadapi dengan tenang
dan sabar. Aku ber prinsip ”Standar Ilmu bukan perasaan” ;
”Siapa nama kamu, sebagai apa di PT. Agung Bhakti?” tanyanya dingin
”Ade pak, oleh PT. Agung Bhakti ditunjuk sebagai pimpinan lapangan !”
”Sebagai pimpinan lapangan apa yang kamu ketahui tentang proyek ?’
”Relatif pak tentang proyek yang dimana ?”
”Saudara jangan acuh ini proyek vital, katanya saudara orang berpengalaman. Kata
Yono saudara lah yang mengatakan Pondasi Righ di KM 16 tak perlu dipancang ?”
”Iya pak benar, saya katakan, kalau tak bisa ya tak perlu di pancang,’ jawabku tegas
”Apa dasarnya, sesuai gambar kan harus dipancang ?”
”Dasar pengalaman saya pak yang selama ini saya kerjakan ?’
”Saudara tau Pondasi Righ di Melawan II retak sebelum beroperasi.”
”Lokasi Melawan II malah dipancang pak, sesuai gambar ?’
”Kenapa lokasi yang di KM 16 saudara mengatakan tak perlu di pancang ?’
”Karena situasi dan kondisinya pak ?” jawabku tenang
”Kalau begitu kamu ikut saya menghadap pak Kutin !” ajak Ir. Berambut putih itu
Di hadapan Ir. Kutin, pak Yosep melaporkan hasil diskusi kami berdua. Mendengar
laporan Ir. Yosep, pak Kutin tersenyum menyapa saya dengan familier :
”Apa kabar mas Ade sehat ? Sekarang menjadi Site Manager PT. Agung Bhakti
kemana saja sejak di Melawan I kok tak kelihatan ?’
”Alhamdulillah sehat pak, kami cuti pulang kampung ke Solo.’
”Kok lama betul cutinya berap bulan?’
”Delapanbulan pak, ngurusi orang tua kena proyek bendungan !’jawabku sopan
”Oooo, kena proyek to tak kira orang tua sakit. Terus apa hasil diskusi tentang Pondasi
Righ di Km 16 , apa solusinya ?’
”Pihak Agung Bhakti tetap ngotot pak tak mau memancang ?” jawab Ir. Yosep
”Benar mas, kenapa tak mau, kan sesuai gambarnya begitu ?” tanya Ir. Kutin
”Masalhnya bukan gambar pak, tapi sikonnya tak memungkinkan !’jawabku
”Terus gimana pak Yosep kata mas Ade kan sikonnya !”
”Akan kami bicarakan dengan Balikpapan, dulu pak,” kata Ir. Yosep
”Ya sudah, kalau begitu bicarakan saja !” tegas Ir. Kutin
Meeting dengan Ir. Kutin belum ada keputusan. Pak Yosep masuk keruangan
kantornya dengan wajah tak simpatik. Aku pulang kembali ke kantor kami, kupanggil mas
Yono, yang lagi santai menunggu perintahku ;
”Mas Yono sementara pancangan di hentikan dulu kerjakan yang lain saja. Siapkan
penulangan lubang siller sesuai gambar yang saya revisi, sambil menunggu keputusan.”
266

Hari berikutnya aku mendengar kabar, kalau pak Sadimo datang naik Helly langsung
ke lokasi Pondasi Rig Km 16 dengan pak Yosep. Aku menunggu sampai sore di kantor, tak
ada kabar. Sadimo katanya langsung ke Balikpapan lagi. Setelah semalam nginap di mess stap
Pertamina.
Mendengar kabar itu aku merasa di interfensi. Perasaanku tak enak. Aku keluar dari
mess Agung Bhakti, pulang ke rumahku yang sederhana di Teluk Lombok. Dalam galauku
rasanya kepingin ngobrol dengan Ir. Kutin, tapi tak urugkan tak etis rasanya. Aku ingat Ir.
Sumarjo lulusan Rusia itu tapi entah kemana. Seniorku itu tak ada kabarnya di Sangatta.
Di rumah yang menghadap pantai itu aku sering jalan – jalan di pantai melihat
proyekku dulu. Ada tumpukan koral dan pasir yang telah ditumbuhi tanaman liar. Tiba – tiba
disuatu sore aku ditemui Bag Logistikku Katino dan Ridianto dirumahku ;
”Mas kata Sadimo, suruh menanyakan koral untuk Pondasi Righ ?”
”Oh koral, saya tak tau koral apa, dan mana Sadimo ?” jawabku
”Dia sudah kembali ke Balikpapan, pondasi disuruh cor sekarang.”
”Di cor sudah dicor cepat betul mancang nya ?’
”Tak jadi dipancang kok malah suruh ngecor tapi koralnya kurang !”
”Koral belum cukup kok malah suruh ngecor mana bisa ?”
”Sadimo bilang mas Ade pernah mengatakan koral mau datang ratusan kubik.”
”Kan baru mau, itupun aku tak bilang ratusan kok seratusan !”
”Terus sudah terlanjur ngecor gimana, kan tak boleh distop ?”
”Yang nyuruh kan Sadimo, tanyakan dia kenapa tanya ke saya ?”
Mendengar jawaban ku itu, mereka pulang dengan gusar menyalahkan tindakan
Sadimo yang grusa grusu dan tak tanggung jawab.
Hari tu juga pukul 11.00 malam datang lagi mbah Kromo dan pak Karjani membawa
truk Fuso menemui saya di saat penduduk kampung sudah pada tidur ;
”Mbah kelihatan penting malam - malam datang tumben ?” tanyaku menyambut dia
”Maaf menganggu mas, katanya Katino tadi disini menanyakan koral dan pasir Palu
untuk cor di lokasi KM 16 betulkah?” tanya Karjani
”Betul mbah tapi saya tak tau, kemana mencarinya ?”
”Duh mas ini gawat kalau sampai tak ada koral,” kata pak Karjani gusar
”Yang saya herani, koral belum cukup kok disuruh ngecor, sebetulnya yang nyuruh
dong yang tanggung jawab, masa’ saya ?” Saya kan sudah dianggab tak mampu, dan
diabaikan mengapa saya lagi ?” jawabku nyindir Sadimo
”Kami berdua faham mas, wajar kalau sampean tersinggung atas kecerobohan Sadimo.
Tapi kalau bukan sampean siapa lagi yang harus ku tangisi ?” kata Karjani merajuk
Melihat pak Karjani yang kelihatan serius dan sedih itu, aku tak sampai hati. Apalagi
mbah Kromo menambahi dengan kata – kata yang meluluhkan hatiku yang keras itu ;
”Mas pikiran boleh panas, tapi hati harus dingin. Ini bukan masalah Sadimo mas. ini
masalah kita. Apa kata orang jika sampai gagal ? Di Sangatta ini orang hanya menilai kita.
Apalagi setau mereka, mas Ade lah yang tanggung jawab, karena sampean Site
Managernya.”
”Katakan mbah kepada mereka, bahwa aku sudah keluar dari Agung Bhakti. Dan aku
merasa kok mbah, sejak kedatangan Sadimo tak mau menemui saya itu, aku buka apa –
apa lagi. Katakanlah aku bosan tersinggung, terus dimata Yosep aku siapa ?”
”Itulah kesalahan Sadimo mas, tapi tolong usahakan koral sampai beso, kalau perlu
sekarang, pak Karjani siap saja kok walau malam. tolong pinjam KRS dulu !!” kata mbah
Kromo
267

Aku kasihan dengan dua orang tua itu. Kubuatkan kopi mereka. Setelah minum
barulah aku menyanggubi mengusahaka ke KRS, tapi tak berjanji. Masalahnya yang
menentukan bukan aku lagi.
Peristiwa ini meningatkan aku kejadian setaun yang lalu. Pada saat pak Sadimo hampir
menyerah mengerjakan pondasi righ di Melawan I aku bela dia habis – habisan sekarang
kok malah mendepakku?” Tuhan mengujiku lagi “ batinku
”Sekali lagi mas ku minta tolong jangan lihat Sadimi,” pesan Kromo malam itu.
Besoknya pagi pukul 10.00 aku temui Haris bag Logistik KRS. Sebetulnya aku pesimis
kalau dia bisa membantuku. Aku punya cara nekat rencanaku kalau terpaksa. Ternyata
betul, Haris secara halus menolak kupinjami koral dan pasir.
”Mana ada koral lagi, sudah tak punya kok ?” jawabnya Haris dingin
”Baikah Ris, kalau begitu aku mau usaha lagi! Catat ya, aku sudah ngomong !!”
Siangnya sepulang dari kantor KRS, kutemui pak Karjani dan Mbah Kromo. Begitu
melihat saya mereka harap – harap cemas ;
”Giman mas berhasil ?” tanya mereka.
”Sebetulnya tidak mbah. Tapi tolong nanti malam kalau tak hujan siapkan lampu
Petnomax dan Dum Truk lengakap dengan orangnya. Kita operasi malam mulai pukul
09.00 jangan sampai tak dilaksanakan mbah , hanya itu solusinya.”
Sesuai rencana, tim opersi malam ku pimpin sendiri. Truck Pertamina yang bergerak
ke lokasi ada dua unit.masing – masing berkapasitas 8 M3 dan truck pak Karjani. Dibantu
pula alat berat Play Loder dari Top Jal. Hingga larut malam kebutuhan pasir – koral sesuai
kekurangan terpenuhi. Operasi malam berhasil. Bahkan aku ikut lembur hingga pukul
05.00 subuh.
Paginya aku , bangun tidur pukul 11.00. Pukul 12.00 kutemui Haris sambil membawa
nota bukti pengambilan koral dan pasir yang ku pakai malam itu, yang diterima Katino dan
saya ketahui sebagai penanggung jawab ;
”Ris aku tadi malam mengambil koral dan pasir beton di Teluk Lombok !”
”Kok lue lapor ?” tanya Haris dingin
”Baru saja kan aku lapor, masa’ nggak dengar ?” jawabku serius
”Sudah diambil kok baru lapor, gimana tau kebenarnya ?”
”kan lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali !” jawabku siplomatis
”Bagaimana aku tau kalau yang diambil segini ?”
”Memang kamu tau, volume koral yang ada disana ?”
”Dibuku stok material ada dong kan semua tercatat!”
”Kenapa kemarin kamu bilang sudah tak ada koral lagi, berarti kamu bohong dong ?”
”Iya, maksudnya mau dipakai sendiri nantinya.”
”Maka itu aku bilang pinjami dulu sebelum dipakai iya kan?”
”Terus mengembalikannua kapan ...?”
”Kapan KRS mau pakai ku kembalikan jangan khawatir !”
”Ya belum tau, terus pak Tono kalau bertanya aku bilang apa ?”
”Masa’ yang menjawab saya, ya terserah kamu. Tapi kalau tak mau terima berkas ini ya
sudah kusimpan sendiri aku sudah berusaha bertanggung jawab Ris ...!”
”Aku masih binggung mas. aku harus bagaimana ?”
”Aku dulu kan pernah bilang saat baru mulai proyek, kokmasih bingung ?”
”Aku lupa mas Ade bilang apa ketika itu ?”
”Aku bilang begini; kalau mau jadi koruptor belajarlah ke saya demikain pula kalau
mau jadi orang benar ingat ris ?”
”Ya saya ingat tapi cara membuat laporannya gimana?”
268

”Mengapa harus lapor catat saja dan simpan dokumen ini. Mudah – mudahan ku
kembalikan material ini sebelum kamu di tanya pak Tono Ok.”
”Iya lah, apa boleh buat,’ jawab Haris akhirnya
Beres urusan dengan Haris kusampaikan ke pak Karjani dan mbah Kromo, dua orang
tua itu kelihatan puas, dan memuji perjuanganku.
”Terus selanjutnya gimana mas ?” tanya pak Karjani
”Selanjutnya ..., aku mau menghadap pak Marsandi di Balikpapan,” tegasku
”Untuk apa, nanti biar uang koralnya dikirim saja kesini, to mas, tak perlu kesana !”
”Urusan koral kan sudah selesai, tinggal KRS saja. Mau dibayar atau diganti koral juga.”
”Apa tentang Sadimo ? Mbok sudah to mas yang penting pondasi sudah beres kan !”
”Bukan soal Sadimo lo mbah, bukan urusan yang itu, tak ada urusan dengan Sadimo .’
”Terus kok ujug – ujug ke Balikpapan ?” tanya pak Karjani
”Sebetulnya sudah lama mbah saya sudah hampir setahun ingin bicara lain.”
Entah apa yang mengkhawatirkan kedua orang tua itu... atas niat saya ke Balikpapan
seperti ada yang mencurigakan ”masa bodoh” batinku. Kulapor ke Humas untuk dapat
shet naik Helly besok pagi, aku bosan naik kapal laut.
Di Balikpapan kulihat para pimpinan tenang – tenang saja malah kelihatan kaget setelah
tiba – tiba aku datang. kulihat Sadimo dan pak Marsand santai di sopa ruang tamu. Itulah
kalau bos, aku banting tulang mereka santai dikantor ;
”Hai mas Ade naik apa ?” tanya Sadimo kaget
”Naik Helly masa naik kapal melulu, bosan dong !”jawabku
”Danco, cor beres, dapat koral dari mana ?’
”Ngrampok di Teluk Lombok, punya KRS ?”
”Sialan untung KRS boleh dipakai koralnya ?” kata Sadimo
”Wong dibilangi ngrampok kok boleh, siapa yang mau dirampok ?” kataku sebel
Mendengar dialog kami dengan Sadimo, pak Marsandi cuma tersenyum. Bisa jadi
beliau tak mendengar bahwa aku sebetulnya ngambeg dan mau ijin istirahat dulu.
”Sendiri saja to mas dari Sangatta ?” tanya pak Marsandi
”Iya pak mau ijin istirahat dulu pak,” jawabku
”Kebetulan mas sampean kalau mau istirahat ke Palu saja !’ kata Sadimo
”Istirahat kok ke Palu ?” tanyaku
”Survei koral aku sewa takbUt sampean kawal mau ?”
”Dasar ”Dandels” wong ngawal kapal kok istirahat ?” jawabku ngolok
”Sampean kan penasaran asal koral dari Palu atau Donggala ?” kata Sadimo
”Mengapa harus saya, Katino kan bisa, dia kan bagian logistik.’
”Berangkat saja mas biar tau kota Palu,” kata pak Marsandi menghibur aku
Entah mengapa rasa sebel saya ke Sadimo tiba – tiba menguap terbawa bujukan pak
Marsandi. Namun demikian aku harus pamit dulu ke Teluk Lombok, karena istriku hanya
berdua dengan Berta pembantuku,, setelah kedua mertua ku ke Malaysia
Besoknya aku kembali ke Sangatta dan lusanya aku kembali lagi ke Balikpapan setelah
dua malam membekali keluarga secukupnya. Minggu itu aku layaknya orang penting,
pulang pergi Sangatta – Balikpapan tiga kali naik Helikopter.
Setelah ada pentunjuk seperlunya, aku ditemani keluarga pengusaha koral itu, aku
terbang ke Palu dengan pesawat Bouraq pukul 10.00 pagi.

.........................000000.......................
269

59
LEBIH BAIK MELIHAT SEKALI
DARIPADA KATA ORANG SERATUS KALI

D
aripada kata orang seratus kali lebih baik sekali melihat sendiri. Hari itu aku tiba di
bandara Mutiara SIS AJ Palu, sekitar pukul 12.00 siang. Seorang pengusaha koral
tterkenal di kota Palu menjemput saya di bandara. Perkenalan pertama aku telah
merasakan, bahwa saudagar batu koral itu orang golongan menengah ramah dan
berpengalaman.
Dimobil saat menjemputku, kutanyakan apa yang saya lihat di perjalanan menuju
rumahnya di Jl. Mangunsidi Palu;
”Om Hany, siapa pejabat tinggi yang mau berkunjung waktu dekat in ?”
”Mas Ade hebat juga, tau dari mana kalau ada pejabat yang mau datang ?”
”Ada umbul – umbul, jalan – jalan bersih dan rapi ?”
”Ha, ha , ha filing mas Ade jitu memang ada rencana kunjungan !”
Dirumahnya pun keluarga om Hany menyambut ku dengan baik. Bahkan aku sudah
disiapkan kamar tidur untuk menginap di rumahnya. Hari kedua aku diajak nonton sepak bola
di lapangan kota Palu, kebetulan Persipal Palu, yang menjadi tuan rumah pada saat nonton
itulah aku diperkenalkan dengan seorang anggota Pol Air Jhony namanya.
”Om Jhon kenalkan iini seorang kontraktor dari Balikapapan !” kata om Hany
”Ade, pak Jhon apa kabar, kuralat saya buka kontraktor, hanya buruh proyek di
Sangatta sana.”
Dari perkenalan itulah paginya kami menuju pangkalan koral diluar kota Palu
namanya Pantoloan, yang terletak di pesisir Timur Teluk Donggala :
”Oooo begitu to, wah di Sangatta menjadi perdebatan ternyata semua salah. Ceritanya
pihak Pertamina menginginkan koral dari Palu, sedangkan suplayernya ngomong koral dari
Donggala ternyata malah Pantoloan.”
Tugas utamaku sebetulnya selesai. Tugas lainnya aku diminta membawa koral ke
Sangatta sebanyak 150 M3 ternyata terkendala Kapal yang di kontrak PT. Agung Bhakti.
Telegram dari Ujung Pandang yang ditujukan kepada om Hany mengabarkan bahwa,
Takbut yang rencananya hari itu tiba di Pantoloan tertunda, karena sedang Dock di Makassar
akibat ada kerusakan mesin kapal.
Akibat kejadian itu berarti tugasku di Palu tertunda paling cepat dua minggu mungkin
bisa lebih. Aku berpikir mencari penginapan keluar dari rumah om Hany. Sebetulnya keluarga
om Hany melarang tapi dengan alasan aku ingin tau Donggala dan Pantoloan akhirnya dilepas
dengan senang hati.
Dari berita tertundanya tugasku, om Jhony Pol Air itu mengajak aku berkemah di
Pantoloan dengan hidup bebas di alam bebas, di Pantoloan. Kami berdua membuat kemah
dari daun kelapa kering tanpa dianyam dekat pelabuhan koral yang terkenal itu ;
”Om Jhon kemah begini kalau hujan gimana ?” tanyaku heran
”Disini jarang hujan mas, jangan khawatir ?” jawab om Jhon santai
”Terus mandi dan buang airnya dimana ?”
”Ditempat ini lah kamar mandi dan WC terluas di Indonesia,” candanya
”Bahkan di Asean om,” jawabku sambil membantu dia
270

Selama di Pantoloan, saban hari sebelum kapal yang kami tunggu datang kami
bertualang. Masuk kampung keluar kampung sambil mencari makanan atau lauk pauk apa
saja yang bisa dimakan selama kamping;
”Yang penting halal om, betulkan ?”
”Mas Ade sudah kubuatkan tempat shalat disana,” kata om Jhon
”Iya om aku sudah tau, tapi kok pakai atap, katanya jarang hujan.”
”Bukan takut hujan mas, hanya masalah tai burung.”
”Qiblat nya om Jhon tau ?’
”Lihat matahari saja lah, kan tak ada matahari mengarah selain barat ?”
”Om Jhon kan non muslim kenapa memperhatikan ibadahku ?”
”Karena mas Ade punya jiwa toleransi tinggi, kata om Hany.”
”Apalagi kata om Hany tentang aku .’
”Katanya mas Ade seorang Insinyur yang merakyat dan sederhana.”
”Bukan merakyat dan sederhana om, tapi aku memang rakyat yang juga apa adanya.
Habis kalau kepepet mau apa lagi ?”
Om Jhony saya kagumi toleransinya. Seolah- olah beliau tuan rumah yang harus
menjaga keselamatan dan kesehatanku. Dilihat dari cara melayani aku, beliau kesanku
memanjaku. Yang tak kulupakan adalah pertanyaannya ;
”Mas Ade, kabarnya orang Islam tak boleh makan bangkai maksudnya apasih.
Walaupun tau dilarang, siapa sih yang mau makan bangkai ?” tanya om Jhon
”Ooo itu to om, maksud binatang yang bukan mati di sembelih kecuali ikan. Itupun
menyembelihnya harus syariah,” jawabku
”Kalau kita nembak binatang buruan.”
”Ya sebelum menarik platuk senapan, kita baca doa dulu. Itupun hewan yang ditembak
sebelum mati buru – buru disembelih.”
”Kalau disembelih kan harus dileher binatang.”
”Itu sih bukan manusia saja, Harimau pun kalau menerkam yang segera digigit juga
lehernya.”
”Syariah itu apa sih mas ?’
”Artinya unsur agama Islam tentunya. ’
”Kalau bukan Islam.”
” Yah orang Teologi tentu tau .”
”Mengapa murid atau siswa pendidikan agama Islam disebut santri ?’
”Oh itu dari jaman Hindu sudah ada sebutan itu, dulunya Cantrik.”
”Bahasa apa itu. Kok cantrik menjadi Santri?’
”Aslinya bahasa Hindu, aslinya Cantri, oleh orang Jawa menyebut Cantrik. Kalau
lembaga pendidikan bela diri disebut Satri. Maka terus lebur berevolusi menjadi Pesantren dan
Dodik atau asrama tentara disebut Kesatriyan dan Pesantrian menjadi pesantren gitu, om.”
”Kok aku baru dengar sekarang?”
”Om kan baru ketemu Ade sekarang ?”
”Ade belajar si pesantren ya ?”
”Ah nggak juga om aku bukan lulusan pesantren, ya kupelajari sendiri. Kalau om dulu
dari Resime Pelopor ya?”
”Tau darimana, kalau aku dari Menpor ?”
”Aku kan pernah di Menpor Kelapa Dua Bogor.”
”Jadi Ade bekas Anggota Menpor?”
”Bukan cuma pernah disana kerumah keluarga mas Suradi.”
”Suradi ? Di Kelapa Dua? Itu kan pelatihku dulu.”
271

Dua minggu aku berdua hidup kamping bersama dengan om Jhon. Menoreh banyak
kenangan yang tak ”Lekang dimakan rantauan dan waktu.” Tupai bakar, Kaledo, kopi
Donggala, ikan teluk menjadi menu makan saya selama kemahku, sebelum takbut datang.
Setelah kapal Takbut yang dikontrak PT.Agung Bhakti tiba di Pelabuhan koral itu,
buruh – buruh memuat hingga penuh. Aku pamit om Hany dan ibu. Dari om Hany aku di
hadiahi Buku Peraturan Pertandingan Sepak Bola cetakan PSSI.
Dari om Jhony memberikan lima ekor kambing jantan dan pakannya selama di
perjalanan laut. Saat naik kapal perutku merasa mual, kata kapten kapal, pak Basri aku
mabuk.
”Ah masa, baru satu jam sudah mabuk padahal kapal belum jalan.”
Oleh om Jhony aku dikasih obat istimewa khusus anti mabuk.
”Ini obat apa om, kok asin ? Jangan – jangan air teluk ?”tanyaku
”Yang penting mas Ade tak mabuk di perjalanan sampai Sangatta!” kata om Jhony
”Berapa jam pak kita sampai Sangatta ?” tanyaku ke kapten kapal.
”Harusnya tiga puluh jam kalau tak ada halangan.”
”Semua sudah siap tak ada yang ketinggalan,” tanya om Hany
”Surat Manifes muatan om.”
”Ada di Kapten pak Basri selamat jalan mas !”
Pukul 10 pagi waktu Palu kapal kami bergerak meninggalkan pelabuhan Pantoloan.
Setelah melewati pelabuhan Donggala kapten kapal kulihat menggambar. Kuperhatikan apa
yang dilakukan.
Maka siang ditengah laut kira – kira pukul dua, aku ditawari makan tapi aku lebih
tertarik mengganti tugas Nahkoda, selama pak Basri makan. Usai makan sambil merokok pak
Bas angkat jempol karena haluan kapal sesuai arah tujuan.
Gantian aku makan siang bekal sahabatku om Jhon segepok Tupai panggang dan ikan
teluk lengkap dengan sambal dan lalapannya kutawari pak kapten beliau tertawa sambil
menikmati daging tupaiku. Setelah itu aku memberi pakan kambingku dan ku kencengi;
”Kok di kencengi mas !” tanya pak Basri
”Mereka lahab jatah makan, yang kukencengi pak. Lihat lahapkan !”
”Kok bisa kambing makan kencing sampeyan ?”
”Biar nggak mabuk laut Kap, dan kencingku digemari kambing lho!”
Sepanjang pelayaran kami ngobrol dan tukar menukar pengalaman sedikit yang ku
peroleh dari kapten kapal itu. Kupraktekkan makan malam bersama selalu kulakukan.
Di tengah laut lepas, waktu malam hari aku baru binggung mengapa kapten kapal itu
tau kemana arah kapal. Padahal laut tak kelihatan tepinya. Adanya cuma alam kosong. Saat
itulah kulihat kapten diam saja, ”Mungkin kah ngatuk” batinku
”Kuganti pak kalau ingin tidur barang satu jam!”
”Boleh tapi awas haluan harus berada disini sekian derajat.”
Beliau tidur di dipan kecil, kemudi kapal ku ambil alih. Lama – lama aku lupa haluan
kapal di berapa derajat lintang sekian. Setelah satu jam kapten kapal kubanguni setelah bangun
dan kencing baru mengambil alih kemudi kapal . tiba – tiba bicara serius ;
”Mas Ade Astagfirullah, kapal kita bisa kembali ke Donggala ?”
Aku tak bisa menjawab. Kuperhatikan dia memutar kemudi kapal cepat sekali.
Beberapa kali putaran terus diperhatikan peta yang digambar tadi, mungkin sudah kembali
pada posisinya. Kapten kapal itu lantas minum kopi dengan kusodori rokok Bentoel
kusukaannya setelah kunyalakan api dengan korek api.
Tiba – tiba memegang bahu kiriku, dan menggoyangkan badanku tak pikir marah besar
ternyata usai peristiwa itu malah tersenyum sambil berkata ;
272

”Kenapa mas Ade bangunin aku, sialan !!”


”Kan janjiku pak Bas hanya tidur satu jam.”
”Ha ..ha andai mas terlambat banguni aku, bisa – bisa kita berlabuh di Donggala lagi,
Alhamdulillah,” pujinya
”Biasanya pak Bas kalau berlayar dilaut lepas tak tidur ?”
”Mana bisa Nakkoda kok tidur kapalnya kan kearah lain !”
”Kan jalan lurus kecepatan tak seperti di darat banyak belokannya.”
”Didarat juga sopirnya kan tetap fokus walaupun jalannya lurus.”
”Didarat kalaupun lurus kan perlu ngrem toh pak, dikapal ?”
”Maksudnya dikapal tak ada remnya ?”
”Bukan begitu, dilaut kan luas tak berpapasan ?”
”Siapa bilang memang yang berlayar cuma sendiri ?”
”Iyaaa tapi tak sebanyak didarat, asal lurus kan lama – lama sampai.”
”Ooooo gitu. Dilaut ada arus dan gelombang bisa membalikkan arah kemudi.”
”Ooe aya ya lupa, aku mau ngontrol kambingku dulu ah.”
”Siapa yan mau curi kambing di tengah laut mas. ha ... ha .”
”Bukan takut hilang, takut kedinginan mau tutup terpal dulu.”
”Sudahlah habis urusan kambing mas Ade tidur saja.”
”Kapan giliranku jadi nahkoda lagi ?”
”Nanti saja kalau daratan sudah kelihatan, sekarang sudah jam 03.00 malam.”
”Kapan daratan mulai kelihatan pak Bas ?” tanyaku
”Delapan jam lagi lah. Tidur saja nanti tak banguni oke!!”
”Oke Kap !!!!”
Betul kata Kapten itu pukul 10.00 pagi gudang KRS sudah tampak atap muncul
tenggelam. Obor di Pulau Semangkok pun jelas, Alhamdulillah puji syukurku. Kambingku ku
tengok lagi dia asyik makan daun kelor dan daun pisang yang ku kencingi tadi.
”Kambing sehat pak Bas kita berlabuh dimana?” tanyaku
”Yang dekat proyek dimana, kata bos yang mudah angkutannya?’
”Kalau begitu di Teluk Lombok saja , Ok.”
Kulambaikan bendera merah putih di haluan kapal. Agar orang – orang PT. Agung
Bhakti yang di Teluk Lombok mengetahui bahwa Takbut ku telah datang, betul – betul
surprise Ridi datang menjemputku dengan semangat ;
”Mas, rumah mbak Sari kebongkaran, laporanya !!”
”Barang – barangnya diamankan.”
”Malingnya sudah ditangkap sekarang dibawa ke Sangatta.”
”Sialan saya kira kebakaran, kebongkaran to !!”
”Kata Pertamina koralnya suruh bongkar di Sangatta,” kata Ridi
”Kap... bongkar koralnya di Sangatta,” kataku
”No problem yang penting kambingnya selamatkan dulu.”
”Betul juga kata pak Bas, targetnya kan 30 jam.”
”Dari sini berapa jam ke pelabuhan Sangatta.”
”Tiga jam lah pak, selamat jalan terima kasih pak Bas.”

...............................ooooooo..................................
273

60
KEHILANGAN KAMBING
LAPOR POLISI MALAH KEHILANGAN KERBAU

T iba dirumahku di kampung yang hanya di huni delapan keluarga itu. Tangis trauma
istrilu masih sering berulang gara – gara kemasukan maling tiga hari sebelum aku
pulang dari Donggala.
Berta pembantu dirumahku yang kutanya dulu, karena istriku masih menangis. Setelah
kubacakan doa sebagaimana yang kupelajari, istri kuminumkan air kelapa dan sedikit garam,
Alhamdulillah setelah minum tangis istriku reda.
Padahal obat penenang tadi adalah minuman yang sama diberikan om Jhon padaku
saat aku ada gejala mabuk laut. ”Kesembuhan dan ketenangan itu dari Allah,” batinku. Setelah
istriku tenang dan kelihatan sudah ceria kembali baru ku wawancarai dengan santai ;
”Kejadiannya gimana sih, ceritakan dengan tenang nduk.’
”Kalau aku dirumah sendiri kata mas kan suruh matikan lampu, hanya lampu senter ini
yang ku isi penuh lima baterai baru semua. Berta tidur di lantai bawah dikamarnya.”
”Matikan lampu menjelang tidur kan ?’ tanyaku
”Iya, kira – kira tengah malam ada orang mengambil tas dibawah kolong tempat tidur,
aku diam aja karena kaget.”
”Melihat apa mendengar suara orang ?”
”Mendengar saja karena gelap. Eh dia kudengar lagi menyeret tas mama’ aku
gemetaran terus ingat kata mas. maka kukencangi tutup lampu senter sambil gementar habis itu
aku berzikir dan membaca ayat kursi. Tak lama kemudian orang itu ku dengar naik lagi. Terus
pelan – pelan kembali menuju ke tempat aku tidur, rupanya mau mencari perhiasanku. Aku
berzikir terus.
Saat maling tadi membuka klambu di depan aku duduk. Sepontan kusoroti matanya.
Dia mungkin kaget lantas lari lupa pintu masuk barangkali, malah anjlok terjun ke halaman.
Aku teriak ”panga- panga” orang- orang pada berdatangan kuperiksa tas besar mama’
dari naik haji itu dan beberapa pakaian, dua tas di gondol semua. Untung mas, tas merah ini
yang di incar dapat kuselamatkan.
Tapi malingnya dua hari kemudia ditangkap ramai – ramai di Kampung Baru sana.
Baru dibawa ke bawah pohon kelapa sana, diikat.”
”Nangkapnya gimana kok setelah dua hari baru tertangkap ?”
”Di Kampung Baru, malam kedua kata bu Mahrup, ada yang minta nasi seorang laki –
laki dari mencari ikan katanya. Oleh pak Mahrup di suruh masakkan dulu, mungkin pak
Mahrup curiga dia lari kesini terus lapor ke pak petinggi.
Mendengar laporan, pak Petingggi dibantu seorang Hansip dan Cupu mereka naik
ketinting ke Kampung Baru, dan Mahrup disuruh kembali kerumahnya. Pada saat Mahrup
datang lagi ke rumahnya, maling tadi malah pergi lagi mendayung perahunya. Begitu melihat
ketinting maling tadi terus minta tolong mau menyelamatkan diri katanya.
Tentu oleh pak petinggi dicurigai, saat tangannya memegang ketinting, oleh Cupu
dipukul tanganya dengan dayung. setelah lemas baru dibawa ke dekat lapangan Voly itu depan
rumah pak petinggi.”
”Pak petinggi kok tau kalau itu malingnya, tak takut salah tangkap?”
”Maka aku dipanggil ke sana malam itu, untuk di tanyai , apa itu malingnya.”
”Kamu nggak bawa senter yang sama dengan saat kejadian maling masuk ?”
274

”Ya kubawa, karena kebetulan setelah kejadian itu setiap malam lampu senter tak
pernah kulepas,. Ketika aku datang maling nya, aku di tanya Cupu dan Ading.”
”Bu, apa ini yang masuk kerumah ibu malam kemarin ?”
”Setelah ku sorot mukanya, aku teriak pangaaaaaa, terus tak ingat lagi kata orang aku
pingsan,’ kata orang - orang
”Selanjutnya !”
”Orang terus pingsan kok di tanyai mas, ya nggak tau to,” kata Ridianto
”Kamu tau di saat maling di tangkap, Di ?”
”Nggak tau, ya mbak Sari yang cerita ?”
”Katanya pingsan kok bisa cerita kejadiannya, gimana sih !!”
”Aku kan baru kemarin sore diceritain mbak Sari !!” kata Ridi
”Nah sekarang malingnya dibawa kemana ?’
”Ditahan di kantor Pasmanen Sangatta.’
”Baiklah aku mau dibuatkan kopi kita ngopi saja, masalah selesai kan. Berarti teoriku
dipraktekkan dengan benar. Cuma peluitnya kok tak dipakai, eh malah bilang pangaaa –
pangaaa. Peluit adalah suara kejut didalam kesunyian, disamping sinar terang dikala gelap.
Kalau dilakukan mendadak, spontan orang yang mendengar akan sock dan bisa panik
seketika.”
Ilmu itu kuperoeh setelah membaca berita diBangkok, saat Kopasanda berhasil
menyergab teroris pesawat Garuda Woyla. Imron pentolan komando Jihad, berhasil
dilumpuhkan bersama anggota pembajak. Setelah tiba – tiba mendengar tembakan dan sorot
lampu
Hanya saja alatku lebih sederhana, lampu senter yang berbaterai 6 bh, tapi peluit yang
kubeli untuk wasit sepak bola tak dibunyikan istriku dia malah teriak pangaaa.
Minggu itu aku disibukkan dengan urusan hukum setelah maling diperiksa polisi dari
Bontang. Giliran istriku yang kudampingi dalam pemeriksaannya, lucunya BAP diketik oleh
anggota polisi di rumah kami, karena Sangatta belum ada kantor polisi waktu itu.
Dua bulan kemudian kami mendapat surat panggilan dari kejaksaan Tenggarong,
untuk jadi saksi di Pengadilan, hari Kamis pukul 10.00. Kutanyakan pak petinggi yang dititipi
surat panggilan dari Kejari Tenggarong itu ;
”Ongkos ke Tenggarong berapa pak dan siapa yamg membiayai ?” tanyaku kepadanya
”Satu orang Rp. 80.000,- belum termasuk nginap dan makan dua hari di Tenggarong.
Yaitulah pak Ade, kalau ada perkara ke Pengadilan, kita rugi dua kali,” kata Petinggi.
”Berarti benar dong, yang pernah kudengar. Kalau kita kehilangan Kambing melapor
ke polisi malah kehilangan Kerbau.” Pak petinggi binggung analogi ku. Dia cuma bilang ”
nggih” saja.
Mulai kejadian itu, Aku merasa jenuh tinggal dan bekerja di kawasan Sangatta. Maka
kuputuskan keluar dari PT. Agung Bhakti. Tiba – tiba mama’ mertua pulang dari Malaysia,
dan minta diantar lagi ke Malaysia. Dua minggu di Malaysia aku mendapat ide mencari
pekerjaan di negeri jiran itu. Diantar iparku kesebuah Company yang bergerak perkebunan
Kelapa Sawit,di kawasan Sabah, Malaysia Timur.
Setelah di test aku diterima dan diberi tau gaji perbulanku 20 ringgit Malaysia, saat itu
setara dengan Rp. 560.000,- Namun demikian aku tak serta merta langsung bekerja. Karena
istriku masih di Sangatta lagipula aku harus punya Paspor kerja dari kantor Imigrasi.
Ternyata, baik di Balikpapan ataupun di Samarinda, untuk mendapat paspor tak
mudah, walaupun persyaratan yang diminta telah kupenuhi. Kabarnya harus menyuap Rp.
150.000,- Ketika itu uang segitu sulit kudapatkan, karena nagih ke PT. Agung Bhakti pun
belum mampu membayar. Aku tak menyerah sementara belum memiliki Paspor dan tempat
tinggal. Aku boleh menempati di mess PT. Agung Bhakti di Stalkuda.
275

Kuputuskan ambil istriku yang masih ada di Kampung Teluk Lombok Sangatta.
Dengan perhitungan saat paspor kudapat tinggal berangkat ke Malaysia. Oleh karena itu harta
kami yang masih di Sangatta kujual, buat hidup sementara di balikpapan.
Setelah barang – barang kami jual, kami pindah ke Balikpapan numpang hidup bertiga
di Gn. Malang. Hampir 15 hari, kami numpang tidur saja, karena iparku pun masih hidup
sederhana di rumah kontrakan semi permanen.
Yahris berakhir kesabaranku nunggu paspor dan uang tagihan yang tak kunjung
berhasil, kulampiaskan kejengkelanku kesahabatku Sadimo di kantornya.
”Mo, tolong bantu mikir, kami tak punya tempat tinggal dan pekerjaan sudah hampir
sebulan. Paspor tak jelas nasibnya, uang disini dijanji melulu, sampai kapan aku begini ?”
”Mas mengenai tempat tinggal sementara pakai saja mess Agung Bhakti yang ada di
Dam. Kalau hanya untuk bertiga rasanya cukup. Soal pekerjaan kalau sampean tak jadi ke
Malaysia temanku Henri Supani mau mulai membangun seratus rumah Yaktapena itu saja
sementara yang bisa kubantu,” kata Sadimo
Sepulang dari kantor Agung Bhakti kuutarakan hasil pembicara aku dengan Sadimo
”Dari pada kita numpang kita beli saja sekalian, toh tagihan kita kan masih Rp. 3.5 juta.
berapa mau dijual rumah mess ini, ada surat – suratnya kah ?” tanya istriku
”Kata pak Giat sih dinilai Rp. 1.500.000,- Dan surat tanahnya ada di pak Giat!!”
”Tapi, kita sudah ada rumah di Jawa, lagi pula kalau paspor kita keluar kita kan ke
Malaysia, buat apa rumah di Balikpapan ?” kita pikir dulu saja !!” jawabku
Hari berikutnya mess PT. AB sementara kutempati bertiga dengan keponakan ku
Saino yang setia mendampingi kami. Kubeli satu buah tempat tidur bekas lengkap dengan
kasurnya dengan harga Rp. 50.000 dari temanku Darto. Sedangkan satu set kursi rotan bekas
pula seharga Rp. 30.000 dari mbah Kromo. Hidup kami saat itu serba nungu. Aku nunggu
tagihan dari PT. AB., Saino juga nunggu gaji selama kerja di Sangatta oleh PT. AB yang juga
belum dibayar.
Hidup dari barang bekas, rumah bejas mess, alat – alat rumah tangga semua bekas, aku
sendiri juga bekas Site Manager di PT. AB. Di masyarakat, aku tak bisa menjawab jika ditanya
aku kerja dimana, demikian pula jika ketemu teman yang selalu tanya ; ”tinggal dimana dan
kerja dimana ?
Baru kusadari bahwa status sosial seorang dewasa jika lelaki adalah kerjanya, sedangkan
wanita adalah usianya. Oleh karena itu aku harus punya profesi, maka dari menunggu yang
belum pasti aku mencari pekerjaan walaupun mulai dari nol lagi.
Alhamdulillah aku punya pengalaman dan tak punya gengsi, sehingga tak perlu harus
dijaga, seperti yang sering kudengar ”menjaga gengsi.” Kurenungkan setiap aku membersihkan
lingkungan rumah, aku dulu seorang kacung, security, mandor borong bangunan. Maka kupilih
salah satu yang sudah ku jiwai adalah pemborong upah kerja bangunan. Walaupun belum
banyak anak buah dan belum punya relasi dan kendaraan apapun. Aku ingat informasi dari
temanku Sadimo tentang PT. Daya Turangga ( DT) besok hari senin aku harus mecoba,
pikirku soal modal kerja ? kutanyakan istriku dulu ;
”Nah kita masih asa sedikit uang kah ?”
”Buat apa, katanya untuk persiapan ke Malaysia ?”
”Aku besok mau mencari pekerjaan barangkali perlu modal ? Daripada menunggu
yang belum pasti,” jawabku
276

61
MELAMAR JADI MANDOR
MALAH DIANGKAT JADI MANAGER

S
enin pagi sekitar pukul 9.00, aku mendatangi kantor PT. Daya Turangga ( PT DT ) di Jl.
Dondang Balikpapan. Sudah menjadi kebiasaan orang melamar pekerjaan selalu
membawa map berisi dokumen surat penting dan surat lamaran. Tapi aku tak membawa
apapun, karena memang tak punya apapun yang semestinya dibawa.
Diruang tamu PT. DT aku diterima seorang wanita, sepertinya stap kantor Bag.
Penerima tamu. Setelah mengisi buku tamu aku diminta duduk di kursi ruang tamu, saat
duduk itulah aku ingat di PT. KRS Jakarta lima tahun lalu.
Tak lama aku menunggu, tiba – tiba masuk di ruang itu seorang lelaki berwajaH
berewok menjinjing tas kantor, ”mas Juwito” batinku. Ternyata betul, maka terjadilah saling
bersalaman dan berangkulan, aku dengar mas Juwito, sahabat dan seniorku seorang Insiyur
Sipil lulusan Universitas Indonesia (UI )
”Mas Ade sekarang dimana, kok kita bisa ketemu disini ?”
”Tuhan mas mempertemukan kita, Alhamdulillah,” jawabku
”Yo, kita masuk, Ros ini temanku kenalkan.”
Di ruang Direksi kami ngobrol sebentar karena tak lama kemudian ruang Direksi ada
pria berdasi masuk ;
”Nih kenalkan ini kepala cabang saya ,” kata mas Juwito
Aku berpikir sejenak tentang pak Henry Supani yang dikatakan temanku Sadimo
tempo hari. Tak lama setelah itu mas Juwito bicara dengan kepala cabangnya tadi, dengan
bahasa Inggris, beliau menyatakan bahwa aku teman seperjuangnya ;
”Mas kita ketemu lagi di Mirama Hotel Rabu malam ya.”
”Baik, Insya Allah tak usahakan terima kasih sampai jumpa lagi.’
Sesuai janji kami, Rabu malamnya aku menemui seniorku itu, di Mirama Hotel. Aku
diajak ngobrol sampai pukul satu malam. Segala petualanganku sejak keluar dari PT. Teratai
Mas th. 1971 sampai jumpa lagi pagi itu di kantor Jl. Dondang Balikpapan.
”Kita sudah enam tahun lebih dong baru jumpa lagi ?”
”Iya dong, kan terakhir mas Wit kan antar saya ke Pulogadung Young Tekstil Projek ,
iya kan ! lagi mas Dar salah ketik kurang kata bertulang ?”
”Terakhir mas, ngapain Senin lalu mas Ade kekantor ?”
”Mau melamar memborong upah kerja, ya kembali ke nol lah !”
”Kami tak membutuhkan pemborong upah kerja, kecuali nge sub all end, tapi harus
punya badah hukum, mas Ade punya ?’
”Ya nggak punya, KTP pun baru punya, itupun tak urus karena dibutuhkan untuk
paspor ke Malaysia.”
”Kalau begitu tak usah ngesub, bantu aku saja melaksanakan proyek Terlindung. Besok
temui Ir. Kiki di kantor Ok !”
”Apa yang harus kubawa, mas Wit tau kan kalau aku cuma modal dengkol.”
”Bisa di atur karena di Balikpapan yang berkompeten Ir. Kiki.”
”Baik mas, Insya Allah besok aku kekantor terimakasih.”
277

Kamis pagi aku menghadap Ka Ditek PT. DT Ir. Kiki Wahyudi di kantor Jl. Dondang
No. 5. Setelah perkenalan sejenak aku diwawancarai Ir. Kiki secara formal layaknya bos
dengan calon pegawai ;
”Pak Ade sudah lama di bidang pelaksanaan proyek pembangunan ?” tanya Ir. Kik i
”Sejak tahun 1971 bu, dimulai proyek Gedung IIP Ragunan Jakarta.”
”Sudah lama di Balikpapan poyek apa saja yang dikerjakan ?”
”Di Balikpapan th. 1974, tapi lama di Sangatta bu !”
”Di Sangatta berapa tahun ?”
”Kurang lebih nya lima tahun bu.”
”Bangunan apa saja yang pak Ade kerjakan ?”
”Gudang, Dermaga dan Pondasi Righ didarat, eh hutan lepas pantai !!”
”Memang ada Pondasi Righ di lautan ?”
”Banyak bu, tapi saya belum menangani, yang Pondasi lepas pantai.’
”Kebetulan ada rencana Pek Pondasi Righ, tapi terlambat. Kaya gini kontruksi nya ?”
”Betul bu, ya betul T. 110 tapi sudah di revisi.”
”Sayang pak, seandainya pak Ade datang sebulan lalu, pasti kita ambil. Pak Nur pun
belum pernah, ya kami lepas.”
”Di Balikpapan ikut PT. apa saja ?”
”KRS dulu bu dari Jakarta, baru di PT. Agung Bhakti.”
”Pernah di KRS kenapa keluar, saya sebetulnya kepingin di KRS.”
”Ada Referensi dari KRS.”
”Belum pernah bu, tapi jika diperlukan besok kami minta.”
”Apa alasan pak Ade lamar di PT DT ?”
”Belum punya alasan yang prinsip, ya karena nganggur saja.”
”Alasan lain misalnya ....”
”Karena apa ya bu, yang jelas saya membutuhkan pekerjaan.”
”Andaikan lagi, pak Ade diterima disini, terus bekerja ujuk-ujuk keluar hal itu kan
menganggu pelaksanaan proyek; itu misalnya.”
”Hal itu bisa terjadi bu, tapi Insya Allah anggak lah. Karena sejujurnya saya ada
hubungan emosional dengan pak Juwito, itu jaminan saya bu.”
”Oh ya kabarnya pak Ade teman lama pak Juwito? Dimana kok tahu kalau pak Juwito
ada di PT. DT padahal pak Ade kan baru sebulan di Balikpapan ?”
”Saya malah nggak tau kok bu, kalau beliau ada disini ? Demikian pula beliau tak
menyangka kalau saya ada di Kalimantan .”
”Kalau begitu cukup dulu, urus saja surat dari PT. AB dan KRS. Sebetulnya saya
percaya, tapi kami takut di tuduh membajak pak Ade. Ok Senin depan, kami serahkan
Referensinya.”
Hari Kamis siang itu aku langsung ke kantor PT AB dan KRS. Dan hari itu pula surat –
surat yang diperlukan bu Kiki selesai. Walupun Kepala Personali PT. KRS agak binggung.
Pasalnya, dia tak mengenal saya secara baik. Hanya atas kebijakssnaan pak Gun, Kepala
Perwakilan KRS lah yang bijak.
Jumat pagi, sambil menyerahkan surat keterangan yang diminta bu Kiki, aku
berkenalan dengan pak Nuryadi dan stap lainnya di PT. DT. Dan hari Sabtu berikutnya aku
diajak ke lokasi Rencana Perumahan Yaktapena di Telindung Balikpapan.
Tanggal 01 Maret 1980 aku dinyatakan diterima menjadi karyawan PT. DT dengan
jabatan Chep Supervisor. Ternyata pak Nuryadi adalah Site Manajer proyek tersebut. Tiga
bulan kemudian pak Juwito datang lagi ke Balikpapan, langsung menemui saya di proyek.
Pertemuan itulah mengingatkan kami pada saat dua sahabatku KKN di proyek Gedung PLN
Pusat Jakarta.
Sepulang dua sahabatku itu, orang – orang proyek pada heran;
278

”Ternyata pak Ade dulu teman Ir. Juwito dan Ir. Darmono?” kata Widodo
”Oh iya dulu ketemu pertama juga berdua, saya juga heran.” kataku
”Mengapa heran pak,” tanya pak Nur Site Manajerku itu.
”Dari dulu mereka selalu berdua, lho disini bertemu lagi juga berdua.”
Entah pertimbangan apa enam bulan kemudian, pak Nur di tarik ke kantor jabatan Site
Manajer ditunjuk saya. Setelah menerima surat penunjukkan yang tak terduga sebelumya, aku
kumpulkan Stap Pelaksana Proyek dan Sub Kontaktor yang mengerjakan pembangunan 100
unit perumahan itu.
Sebagai mana sikapku selama ini setiap aku mendapat amanah untuk memimpin
proyek selalu ku tegaskan; ”Kalau mau menjadi koruptor belajar sama saya dulu,” Maksudnya
jangan coba – coba korupsi, dibawah kepemimpinan saya, pasti terjungkal.
Maka sistem Manageman pak Nur yang sudah baik kuseriuskan, namun yang masih
kurang kulengkapi, terutama tata kelola logistik.
Untuk pelaksanaan tertib administrasi, tiga pelaksana ku Siswanto, Samiyono dan Joko
kubelikan buku catatan pemakaian material dari koce ku sendiri. Bagian Gudang Logistik,
Yoyo bisa jadi tak tau, kalau Supervioser kubekali ilmu penggunaan dan pegambilan material
dari gudang .
Setelah itu, kulaporkan kepada ibu Kiki selaku Kaditur di kantor bahwa jika perlu
material spesifikasinya harus sesuai PPM ;
”PPM itu apa pak Ade, kok baru dengar, sebelum ini ?”
”PPM itu, ”Permintaan pengadaan material” dari proyek bu.”
”Kena apa, yang pesan material kan pak Waskito bagian logistik?”
”Iya, tapi setelah ada permintaan dari proyek baik kwalitas atau kwantitasnya bu. Sebab
leveransir kalau spesikasi barang yang dikirim di tolak logistik proyek selalu berdalih. Sesuai
PO, contoh koral atau sirap, selalu ribut, jika ditolak oleh Bag Losigtik bagian lapangan.
”Betul, kalau begitu tapi tentang harga ?”
”Kan sudah istemate nya bu, yang penting harga tak melampaui !”
”Nanti pak Waskito tersinggung ?”
”Itu bisa saja bu, tapi standarnya kan bukan perasaan kan ?’
”Jadi tugas bagian logistik cuma mengadakan saja !”
”Iya bu. Dia kan tidak bertanggung jawab ke Owner yaitu Yaktapena !!”
”Apa ada, instruksi khusus dari pak Juwito,” kata bu Kiki berbisik.
”Aku salah satu orang yang tak mau di interpesi bu. Pak Juwito tau itu bu !”
”Bagus kita secara Fair Ply saja ya !” kata bu Kiki menutup diskusi
”Dengar komitmen tadi Yul ?’ tanyaku ke Yulaida bag. Keuangan
”Aku setuju, bagus kalau begitu tak ribut terus yang membayar,” kata Yul
”Memangnya sering ribut dengan siapa ?” tanyaku ke Yul
”Sebelum aku jadi satu ruang dengan ibu Kiki, salah melulu.”
”Oh ya kamu Yul, simpah contoh tanda tangan ku,” kataku lagi
”Buat apa kaya buka rekening di bank saja pakai Speciment ( contoh tanda tangan).”
Bu Kiki senyum melihat aku tos kompak dengan Yulaida juru bayar itu. Luar biasa bu
Kiki tak mau ketinggalan ikut kompak pula. Setelah itu, bu Kiki lalu memanggilku satu meja
dan bertanya ;
”Pak Ade, selama ini sepeda motor mu apa ?”
”Dulu Honda Kartomarno bu, sekarang CB 80, kuberi julukan ”Udewa” .”
”Ada – ada saja kaya Wayang, sekarang cari yang bagus sekalian untuk pak Ade biar
lancar tak selalu servis untuk pak Ade nyewa saja bulanan.”
”Yang bagus Rp. 60.000,- sebulan bu,” kata Yul
”Tak masalah untuk dinas kan, tak banyak mogok,” kata bu Kiki
279

”Aku cari sendiri boleh bu ?” tanyaku


”Silahkan malah bagus tak ada yang di salahkan kalau rewel.”
Mulai penunjukkan ku sebagai Site Manager, aku sering dipanggil ke kantor; untuk
diajak diskusi dengan bu Kiki. Malah pernah datang ke proyek, walaupun hanya sampai di Site
Office. Aku sering mendapat sindirian anak buahku. Jabatan baru, sepeda motor baru, baru
juga setahun dua kali naik jabatan.
”Aturan pun juga baru setelah pak Ade jadi Site Manager,” kata Samiyono
”Yang tak berubah cuma nasi rantang dari dulu tetap bawa dari rumah,” kata Siswanto.
Kendati demikian, aku tak merasa tersanjung, juga tak perlu tersinggung. Sebab bagiku anak
buah adalah bagian dari modal sukses dan tidak nya proyek yang saya pimpin. Aku sudah
mengenal karakter mereka.
Siswanto orangnya tak banyak membantah. Samiyono rajin ibadah, Widodo sering
memuji, Joko biasa – biasa saja tak banyak komentar. Surip lebih skil walaupun kurang royal.
Yoyo penerima material pengganti Samiyono Bag Logistik, sebetulnya lumayan pandai
dibanding yang lain, tapi ada indikasi tak suka diatur, kalau dinasehati cenderung maunya
sendiri. Bahkan kalau diarahkan agar tertip dan disiplin malah bilang Sok moralis.””
Aku menyadari mencari orang pintar lebih mudah dari pada mencari yang jujur. Tapi
menurut pengalaman saya jujur pun kalau tak pintar juga kurang tak membawa kemajuan. Jujur
dan pandai menurut saya juga masih kurang kalau tak ulet sedangkan jujur, cerdas dan ulet
pun kalau tak displin tetap kurang juga. Maka jujur, cakap, ulet, displin harus bertanggung
jawab pula, selebihnya berani. Yah harus berani melawan arus.

....................oooo.........................
280

62
KUWAKAFKAN SISA HIDUPKU
UNTUK MELAWAN KORUPSI

P
asca meeting dan diskusi dengan bosku yang keibuan itu, aku merasa punya amunisi
baru. Sebab sIstem apa pun baiknya kalau mental pejabat korup celah selalu disiasati.
Dan korupsi harus kolusi, apalagi, diam – diam bu Kiki sudah tau bahwa aku adalah
orangnya pak Juwito.
Tak pelak oknum yang merasa peluang liciknya terganjal bereaksi sinis kepadaku, khususnya
Bag. Logistik baik dikantor atau logistik yang di proyek. Contoh sederhana pada saat aku di
kantor ada sindiran yang diucapkan Kabag logistik pak Waskito ;
”Makanya cepat naik jabatan, karena pintar njilat sih !!”
Karena kata – kata itu sempat kudengar sampai dua kali saat aku berpapasan dengan
oknum itu, maka ku temui dia di ruangannya saat dia sendirian ;
”Pak, kalau tak keberatan sebetulnya ucapan sampean ditujukan kepada siapa ? Saya
maksud bapak?” tanyaku spontan
”Oh enggak mas, tak bermaksud apa - apa kok saya ?” jawabnya kaget
”Kalau begitu ditujukan ke siapa, kenapa kok selalu diucapkan didepan saja? ?”
”Betul mas saya tak bermaksud menyindir sampean, buat apa ?” katanya agak gugub
”Yang jujur saja pak, yang dalam setahun dua kali naik jabatan siapa lagi selain saya?
Takut menghadapi kedudukan saya ? Silahkan jalani saja sesuai protap masing – masing.
Kenapa pakai nyindir segala. Mau tau pak bukan aku yang menghendaki jabatan ini. Aku dulu
cuma mau jadi mandor borong, seperti h. Wagiyo, bohong kalau nggak tau.”
Kugertak begitu, orang yang lebih tua 18 tahun dariku itu terdiam. Di proyek pun aku
curiga, mengapa bagian penerima barang yang dulunya dipegang Samiyono, sekarang diganti
Yoyo. Apa gara – gara tegel PC yang masuk ke proyek sebelum aku keluarkan( Permintaan
pengadaan Material ( PPM ) itu. Ada apa semua ini ? Setiap menghadapi hal seperti itu,
instingku sebagai orang yang telah mengenyam pendidikan Reskrim di Unilever dulu muncul
lagi.
Pada saat pelaksanaan pekerjaan menjelang pasang ubin PC, tiga contoh produk
lokal merk MI, CU dan SS kubawa ke kantor Yaktapena Jl. Panorama. Dari tiga produk itu
yang dipilih merk MI. Saat itu aku kaget dan heran. Mengapa pak Nur mantan Site Manager
ku malah di kantor Yaktapena? Dengan senyum ramah, pak Nuryadi menemui aku.
”Pak Ade, tegel yang dipilih pak Nunci, bosky merk ‘MI ,” kata Pak Nur ramah
”Eh pak Nur kok disini, apa kabar, katanya di kantor cabang ?” tanyaku heran
Kami berdua ngobrol sejenak tanpa menyingung tentang merk tegel lagi. Sepulang
dari kantor Yaktapena, aku langsung menghadap Ir. Kiki, melaporkan keputusan pilihan tegel
yang dipilih dan ditentukan pihak Yaktapena, Merk ‘MI’ buatan Malang Indah
”Pak Ade ketemu pak Nuryadi apa kata dia ?” tanya bu Kiki
”Kata beliau, yang dipilih pak Nunci yaitu, merk MI,” jawabku
”Tapi kalau produk MI harganya tak bisa, melampaui target lho pak? ”
”Targetnya berapa bu, soal harga saya kan nggak tau?’
Bu Kiki mengeluarkan harga penawaran dari tiga produser tegel. Selanjutnya
ditunjukan ke saya ; MI = Rp. 115, CU = Rp. 110, dan SS = Rp. 105, dan kata bu Kiki, yang
masuk hanya produk SS = Rp 105/ M2.
281

”Duh gimana pak, coba saya konsultasikan ke pak Juwito dulu, ya”
”Ke Jakarta? Lebih baik aku coba ke pak Anwar bu, bos nya MI ! Kalau tak berhasil
baru ke pak Juwito,” jawabku ke bu Kiki yang agak risau itu.
”Bagus juga, pak Ade kenal pak Anwar bos Malang Indah ?” tanya bu Kiki
”Pembeli kan Raja bu, siapa pun penjualnya pasti melayani kendati tak kenal,
percayalah bu!! Buktinya CV. Rico. Bosnya aku tak kenal awalnya, tapi sekarang menjadi
relasi. Seluruh kaso dia yang mensuplay. Iyakan bahkan kayu dari sana terbaik dibanding
dengan suplayer lain.”
”Pak sebenarnya iya sih, tapi .... gimana ya dengan mas Barjo, dia kan iparnya ?”
”Perasaan lagi kan, Sekali lagi bu, standar ilmu itu kebenaran lho bu bukan perasaan.”
”Pak Ade punya bukti komitmen acc dari Yaktapena?” tanya bu Kiki ragu
”Nih bu, ada setempel dan tanda tangan pak Nunci dan paraf pak Nuryadi !”
”Haa pak Nuryadi ? Gila kalau gitu terserah pak Ade. Tapi kita melawan arus lho,
bukan main – main pak Ade, ya sudah go head!!!”
Kami berunding dan diskusi serius. Akhirnya bu Kiki mengerti dan kami tost kompak
lagi. Hari itu pula aku ke pimpinan pabrik tegel PC Malang Indah. Kukenalkan nama dan
jabatanku dengan selembar kartu nama. Pak Anwar mengamatiku dengan serius selanjutnya
kami nego ;
”Pak Ade, asal semua rumah tegel dari sini, ok lah,” kata H. Anwar
”Iya semua rumah, tak mungkin to kalau hanya satu rumah, memang rumah contoh.
”Tapi tak pakai tetek bengek lho, aku tak mau ribut dibelakang !!”
”Kalau pak Anwar mau ngasih tetek bengek terserah, namun bukan permintaan kami.
Oke, dan kalau ada yang minta dengan paksa tak mungkin lah kalau berani, oke pak.”
”Tapi yang membuat PO apa mau tanpa pelicin ?”
”Kalau mau selamat dunia akhirat, pasti mau. Yang penting bapak mampu produk
sesuai kebutuhan dan tepat waktu.”
”Kalau itu tak masalah karena kami selalu stok banyak apalagi ada PO nya, Insya
Allah jangan khawatir mas.”
”Kalau perlu mulai minggu depan boleh kirim setelah ada PO. OK aku pinjam
telephon mau lapor ke boss agar pak Waskito tau, sebelum membuat PO.”
”Silahkan mas ....!!!”
”Hello bu, berhasil bu pak Anwar besok mau menghadap ibu.’
”Kan belum dibuatkan PO terus harganya ?” tanya bu Kiki ditelephon
”Baik bu sebentar habis makan siang saya ke kantor !” jawabku via telphon
”Pak Ade sudah shalat ? Kalau belum shalat berjamaah disini saja, terus kita makan
siang bersama disini saja , Oke !!!” kata H. Anwar
”Boleh bukan menyuapkan makannya ?” jawabku bercanda
”Masa Allah mas...!!” kata H. Anwar ramah sekali. Sebetulnya aku bawa nasi rantangan
tapi ada di Site Office, karena harus selesai hari itu tawaran makan siang kuterima
Sehabis makan aku menghadap bu Kiki di kantor Jl. Dondang;
”Ada surat penawaran dari Malang Indah bu untuk proyek Telindung.”
”Ya ada to, cari Yul surat penawaran ubin tegel dari MI,” perintah bu Kiki
”Nah ini Rp. 115. kan rata- rata dari sana ?”
”Ibu tulis Rp. 105. terus acc disini saja kasih tanggal sekalian!!” kataku agak mendikte
”Kok aku acc gimana sih maksudnya,” tanya bu Kiki
”Ibu binggungkan dengan sistemku, ikuti saja bu, masa’ aku mau nyusahkan ibu.”
Ir. Kiki mengernyitkan keningnya lantas menulis sesuai permintaan ku. Tak lupa
menuliskan tanggalnya. Selanjutnya ku tanda tangankan pak Anwar. Pak Anwar sama juga ragu,
282

akhirnya tanda tangan juga. Setelah itu ku copy di Jl. Antasari copynya kuserahkan pak Anwar
aku ambil satu. Aslinya disimpan mbak Yul lagi, beres.
Baru besok nya ku buat PPM untuk lima puluh rumah yang sudah siap dipasang tegel.
Agar logistik membuat PO oleh Widodo PPM dibawa ke kantor selanjutnya entah apa yang
terjadi yang jelas aku melawan arus, tapi aku tak gentar.
Selanjutnya, pak Anwar dan pak Usman menemui saya di proyek Telindung, melihat
lokasi yang akan di kirimi tegel dari MI sesuai pesanan, ( P O ).
”Mas aku mengirim secara bertahap ya, tapi ada sedikit kendala,” kata pak Anwar
”Sudah pegang PO dari kantor ?” tanyaku
”Justru itulah aku mau minta kebijaksanaan pembayarannya sebab, kalau semua harus
dipenuhi sesuai order baru dibayar, berat rasanya !”
”Coba kulihat PO nya. Woo salah persepsi nih, biar kubicarakan denga bu Kiki.
Semestinya, kalau mengirimnya bertahap, bayarnya juga bertahab dong. Begini saja, biar di
atur pembayarannya setiap sepuluh rumah. Padahal PPM yang sudah ku buat sedemikian rupa.
Ok bisa di revisi, tapi kirim dulu. Aku yang ngatur dengan bu Kiki.”
Mulai hari itu barang yang dikirim langsung ke lokasi, yang menerima bukan Bag
Logistik, tapi pelaksana masing – masing. Logistik lapangan hanya mengetahui dan
membukukan saja. Tapi material yang masuk gudang yang menerima bag gudang proyek atau
logistik.
Peraturan itu ku buat secara tertulis, tembusannya ke Ka Div Tek bu Kiki. Dengan
peraturan itu, Yoyo bag. penerima material selama ini terlihat sinis. ”Masa bodoh” pikirku
nanti audit menjelang akhir proyek, siapa maling nya akan terbongkar.
Maka menjelang audit tutup tahun 80, aku kumpulkan bukti penyelewengan oknum
logistik baik yang melihat, ataupun bukti tertulis. Jika sewaktu waktu aku diminta LPJ oleh
accounting yang berkompeten.
Dari juru bayar, bukti – bukti dokumen penting ku kumpulkan bagi yang melihat
tindakan oknum yang tak bertanggung jawab kuminta konsisten, agar kasus penyelewengan
yang ada jika sampai diproses secara hukum, dapat dipertanggung jawabkan.
Dari informasi yang saya kumpulkan, dan mengandung bukti otentik dan valid, adalah
dari bag keuangan yaitu Yulaida, antara lain :
1. Nota 11.000 buah bata merah ex Barokah ditagih 2 x
2. Invoice 24.60 M3 koral dari H. Sanusi ditagihkan 2 x
3. Invoice 440 zak semen Tonasa dari pak Podo viktif
4. 110 ikat sirap dari Sepaku nota viktif
5. Markap harga kayu dari CV. Rico hampir 75 M3
6. 150 lbr triplex dari pak Abas Kalog Polda Kaltim harga di marj up
7. Ada juga pemalsuan tanda tangan saya pada dokumen invoice material.
Sebelum aku mengumpulkan bukti dari Yulaida dan laporan fiktif. Pak Waskito
sampat ngomong , ”maling nya ada di proyek.” Bahkan kata Hatta logistik kantor, katanya
saya sempat dikatakan maling teriak maling.
Dari bukti dan keterangan itulah aku minta di konfrontir di kantor antara logistik
dengan orang lapangan. Kepala cabang turun tangan. Kami orang proyek dan logistik dipanggil
di kantor Direksi, tapi yang tak datang dengan alasan tak jelas malah kabag logistik.
Di suatu pagi hari Minggu beberapa orang diundang makan siang di kediaman kacab,
Henry Supani di Gn. Sari Hulu. Yang hadir ketika itu; pak Nuryadi, Hadi Purnomo, Dedy,
pak Giono dan aku sendiri. Lagi – lagi pak Waskito tak ada datang. Sebetulnya aku sendiri
juga nggak tau, apa urgensinya meeting hari itu walaupun undanganya makan siang.
Namun demikian pak Herny S memberi pengarahan tentang tolernsi dan kerja sama
pelaksanaan proyek di Telindung sampai hampir setengah jam lebih.
283

Karena sifatnya pengarahan, kami mendengarkan saja, tiba – tiba sebagai acara
penutup pak Pani menanyai saya ;
”Piye pak Ade ada pertanyaan ?” kata pak Pani santai diacara tanya jawab.
”Tak ada pak, malah saya lebih suka ditanyai dari pada bertanya. Sebab kalau bertanya
jangan - jangan yang saya tanya tak bisa menjawab, ” jawabku
Mendengar pernyataanku tadi orang –orang yang hadir tertawa ger –geran terutama
pak Dedy.
Pak Pani selaku ketua pengarah juga ikut tetawa mendengarkan pernyataanku tadi.
Selanjutnya setelah situasi tenang beliau menyambung lagi.
”Oke pak Ade silahkan bertanya, barangkali saya bisa jawab.”
”Saya mau bertanya ke pak Nuryadi pak, kenapa selama ini menghilang tiba – tiba
muncul disini ?” yang hadir tertawa lagi dan pak Pani menyerahkan pak Nur menjawab
Dengan senyum kasnya, pak Nur menjawab sambil tetawa ;
”Pak Ade sudah menang dua kosong daripada kita kalah banyak. Lebih baik saya
menyerah ha ..ha, ” sambil tertawa ngakak.
Setelah reda kami bergurau pak Pani ambil alih lagi pembicaraan yang semula ringan
lam – lama menjadi serius kudengar;
”Pak Ade, saya bertanya serius. Apa tindakan pak Ade jika menghadapi teman yang
berbeda sikap dan status sosialnya ?”
”Ya tergantung pak ?” jawabku serius pula
”Tergantung apa, maksudnya teman atau pak Ade sendiri?”
”Dua – duanya, pak baik status teman, juga posisi saya sebagai apa!”
”Konkritnya gimana?”
”Pada prinsipnya, saya lebih suka punya teman yang hidupnya mapan daripada miskin
seperti saya.” Jawabku mulai serius lagi. ”Kalau punya teman bonafide ekonominya, jika saya
kepepet kan bisa pinjam. Tapi kalau sama – sama miskin kan nggak bisa !!!”
Ger – geran lagi tak bisa dihindari. Padahal saya serius menjawab pertanyaan pak Pani.
”Ini serius pak, jika posisi sampean sebagai karyawan ?” kata pak Pani
”Kalau karyawan status saya, ya tergantung atasan saja pak.”
”Kalau sampean yang jadi pejabat atasan piye ?” tanya pak Pani sambil tersenyum.
”Kalau saya pejabatnya, amanah itu harus kupertanggung jawabkan baik di dunia
hingga akhirat, begitu saja mudahkan ?”
”Oke kalau begitu kita makan saja yuk dah lapar nih.”
Pak Pani mengajak kami ke ruang makan. Sambil makanpun pak Dedy masih sering
tersenyum dengan pak Nur entah apa yang mereka bicarakan. Karena ngomongnya berbisik,
kutegur pak Dedy dengan bercanda;
”Hooue kalau ngomong jelek jangan berbisik dimarahi Ustad dan ditunggangi setan.”
”Sialan ada – ada saja, nggak ngomong jelek mas.” kata pak Dedy sambil tertawa
”Kalau ngomongi baik, kenapa berbisik – bisik ?” candaku lagi
Usai makan bersama siang itu ada informasi penting. Pak Henry Supani kabarnya mau
di pindah ke Jakarta, dan penggantinya Djufri Masim. Kabar lainnya pak Dedy mengundang,
acara Aqiqah putranya di Gunung Guntur Sabtu malam dirumahnya.
Malam minggu, di rumah pak Dedy, acara Aqiqah berlangsung seperti biasa. Tuan
rumahnya ramah dan memohon beberapa orang untuk tidak langsung pulang, katanya ada
berita penting. Berlima kami bertahan setelah tamu undangan bubar. Sambil ngopi malam pak
Dedy membuka pembicaraan, saya kira serius ternyata cuma ngobrol ringan.
”Mas Ade, kami terutama saya sendiri penasaran, ternyata sampean temasuk diplomat
kelas tinggi. Pak Pani sampai kehabisan kata – kata. Akhirnya kita diajak makan saja. Itu lho
acara Minggu lalu di rumah pak Pani, pak Nur pun langsung menyatakan menyerah dua nol.”
284

”Memang Minggu lalu aku diundang untuk makan siang kok!!”


”Iya betul itu basa basinya, sebetulnya pak Pani punya agenda yang perlu dibicarakan
dengan mas Ade, berkaitan dengan jabatan mas Ade meneruskan jabatan pak Nuryadi.”
”Kan sudah dibicarakan, malah beliau memberi waktu untuk acara tanya jawab, dan
sudah ditanyakan beliau. Aku pun sudah menjawab ada apalagi ?” jawabku diplomatis
”Ya sudah pak Nur kalau begitu kita malah kalah telak,” kata pak Dedy terkekeh
Pak Nur tertawa melihat pak Dedy menyerah kalah. Tak jadi menanyakan hal serius.
Aku sendiri sebetulnya tau maksud pak Dedy, menyangkut jabatanku. Tapi karena ada pak
Barjo ipar pak Pani, aku tak mau terpancing masalah yang menyangkut pribadi, karena pada
prinsipnya semua jabatan dan kedudukan mereka saya hormati. Tetapi kalau mau kolusi
untuk korupsi,pikir- pikir dulu. agar tau saja sudah kuwafatkan sisa hidupku untuk melawan
korupsi.
”Rawe – rawe rantas, malang – malang putung,” ku kerahkan segala kemampuanku
untuk suksesnya proyek Telindung. Aku mendapat apresiasi juga kepala cabang yang baru
pengganti Drs. Henry Supani. Awal menjabat, beliau langsung ke proyek Telindung
didampingi ibu Kiki, dan diperkenalkan ke kami seluruh pelaksana dan logistik proyek.
Ketika itulah aku diwawancarai pak Jufri, saat bu Kiki melihat blok – blok bangunan
yang sudah selesai. Saya kira aku dicecar beberapa pertanyaan yang menyangkut kasusku
dengan bag logistik, ternyata pak Jufri yang didampingi teman seusia beliau yang katanya
bagian audit cuma bicara yang ringan – ringan saja.
”Mas, aku bangga dan salud tentang sistem administrasi disini yang tertib dan benar.
Walaupun proyek ini tergolong besar. Pertanyaan saya, apa yang mengakibatkan suatu
proyek itu merugi ?” tanya pak Jufri
”Faktor pengadaan material pak, dan pintar – pintar kita. Kalau kita pintar membeli
material dan menggunakan waktu sesuai time schedule kerugian dapat dihindari sebab
kontractor itu hanya jual jasa,” jawabku.
”Dari keterangan para pelaksana, mas Ade, mereka dibekali buku. Kami nilai sistem
administrasinya sudah bagus. Tinggal kedisiplinan kalian mencatat secara benar dan dapat
dipertanggung jawabkan . Ok kalau demikian besok bisa datang ke kantor dengan bag logistik,
kebetulan pak Yoso ini bagian audit proyek.”
”Siap pak, besok kami pukul 10.00 kekantor,” jawabku senang
Besoknya sesuai jadwal kami mengadakan rapat terbatas di kantor dihadiri bu Kiki,
Yulaida bag keuangan, pak Waskito, dan Yoyo stap Logistik proyek. Setelah diadakan
sambutan pembukaan oleh pak Jufri, baru acara tanya jawab, orang pertama yang bertanya
pak Waskito kabag logistik ;
”Pak kami direpotkan peraturan yan berubah – ubah, tugas pokok mulai dipangkas,
karena itu logistik proyek akhirnya apalis.”
”Yang mangkas siapa, dan apa korelasinya ?” tanya pak Jufri
”Saya tak merubah peraturan pak, cuma demi efesiansi kerja toh siapa yang dirugikan
dengan diskresi yang saya trapkan ? Contoh penerimaan material sekarang tak perlu saling
menyalahkan setelah yang menerima material supervisior langsung. Itupun material yang
langsung ke lokasi. Yang dari stok digudang kan tetap logistik yang terima ? ” jawabku tegas
”Apakah material yang diterima supervisor bag logistik tau ?” tanya pak Yoso
”Ya tau lah pak, kan logistik mencatat berdasarkan nota yang sudah ditanda tangani
supervisor. Dan setelah di bukukan lagi kan logistik harus tanda tangan pula sebelum aslinya
diserahkan kesupplayer ?”
”Lho itu malah yang paling bagus. Malah akan ku bakukan untuk proyek lain, bagus
aku setuju, rasanya no problem,” kata pak Yoso lagi.
285

”Tentang pembuatan PO pak dulu tak harus menunggu PPM. Aturan sekarang
sebelum PO mencantumkan no. PPM dianggap tak syah. Jadi logistik tak ada artinya di mata
orang proyek,” sebetulnya yang berwenang membuat aturan itu siapa ?” tanya pak Waskito
dengan agak emosi
”Ijin menjawab pak, tentang kwantitas dan kwalitas yang dipesan logistik, itu otoritas
kami pak. Karena pengguna material adalah orang lapangan. Wajar lah kalau logistik tak
punya wewenang karena kami bertanggung jawab langsung ke owner,” jawabku tegas
”Itu benar, karena logistik itu tugasnya cuma mengadakan,” kata pak Yoso
”Masalahnya dulu nggak ada peraturan begitu, bahkan sekarang supplayernya pun
yang menentukan manajer proyek,” alasan pak Waskito ngawur
”Argumen pak Was tak mengandung kebenaran. Yang menentukan kwalitas material
yang dipakai bukan kami, tapi owner, itu tercantum di kontrak antar pihak I dan pihak II,
kami hanya pelaksana,” jawabku
Mendengar jawaban ku yang tegas, bu Kiki cuma tersenyum. Kulihat pak Jufri dan
Pak Yoso menganguk – anggukkan kepala. Selanjutnya rapat terbatas dinyatakan selesai. Acara
ditutup dengan bersalaman. Aku dipanggil pak Yos ke ruang ka cab kami bicara bertiga ;
”Mas Ade, sampean menguasai banget tentang tata kelola proyek. Sudah lama kerja di
proyek?” tanya pak Yoso santai
”Sejak di Jakarta sepuluh taun lalu pak !” jawabku tenang
”Pendidikan manajemen proyek, dimana ?”
”Di Rawamnagun pak, difasilitasi mas Darmono.”
”Pak Darmono ? pak Darmono orang D T pusat ?”
”Iya pak, jaman Noyorono dulu,” jawabku sedikit humor
”Berarti bersama pak Juwito dong !”
”Iya pak betul, beliau Kokrosono nya saya cuma Udowo?”
”He ...he.. tau pak Jufri Kokrosono dan Udowo ?”
”Mana aku tau, mereka kan dari Jawa pastilah faham ?” kata Jufri
Usai berdialog itu pak Yoso baru faham tentang karirku. Beliau baru tau kalau aku
satu perjuangan dengan dua Insinyur itu. Karena itulah aku bersyukur, diaudit oleh auditur
yang profesional seperti pak Yoso.
Pak Yoso kembali ke Jakarta bersama pak Jufri Masim untuk itulah bu Kiki
memanggil aku keruangan beliau. Ka Div Tek itu ingi tau, apa yang kubicarakan diruang
direksi dengan bos – bos Jakarta itu. Kujawab dengan lugas saja. Bahwa kedatangan beliau
dalam tangka laporan tutup tahun 1980 ;
”Selain yang di meeting tadi ada pembicaraan khusus kah ?’
”Oh nggak cuma beliau bertanya tentang manajemen bu.”
”Maksudnya ?”
”Ditanya bacground ku tentang pendidikan manajemen proyek.”
”Memang pak Ade dulu pendidikan manajemen proyek dimana?”
”Kalau dasarnya, ya di Rawamagun itu. Tapi saya setiap proyek kan mengambil
ilmunya. Di Waskita, KRS, semua tak ambil pelajaran baik kelebihan dan kekurangannya
prakteknya disesuaikan sikonnya.”
”Pak Ade bisa nggambar ?”
”Ya pasti to bu, perubahan lubang seller pondasi rig dan pondasi gudang Pertamina,
hampir semua tak revisi dan sekarang dipakai KRS. Desainku pertamina juga acc.”
”Oh Ya menghitung anggaran biaya proyek ?”
”Pak Juwito dulu semasa masuk kuliah sambil ngobyek, kalau ada proyek kan saya
yang menghitung tanya beliau RS. Polri R. Sukamto Cililitan dulu, saat tender yang
286

menghitung saya juga. Malah jaman itu bu, menghitung RAB Rp.714 juta belum pakai
kalkulator kaya sekarang, pakai itu lho bu kalkulator engkol yang pakai kertas roll itu.”
”Wuih all round dong ? lantas kenapa pisah dengan beliau ?”
”Maka ibu nggak rugikan menunjuk saya jadi Site Manajer ?” candaku mengalihkan
pertanyaan
”Aku kan tinggal tanda tangan saja.” Jawab bu Kiki sambil senyum
”Jadi siapa yang mengusulkan ?” tanyaku penasaran
”Ada deh mau tau saja ? Eh pak Ade kita mau tender lima rumah type B 5 unit di
Bunyu lho. Insya Allah menang.”
”Kalau di Sangatta aku sudah kenal medannya tapi Bunyu ?”
”Bagaimana pak Jufri saja sekarang fokus proyek yang sudah berjalan saja!”
Hampir dua tahun proyek 100 unit rumah Telindung berjalan, kendala lahan yang
paling membuat proyek itu molor, disamping jalan masuk ke perumahan yang serba repot.
Dibangun jalan dulu takut rusak pada saat rumah jadi, dibangun rumah dulu, transpotasi
material susah.
Akhir tahun pak Juwito dan mas Darmono berkunjung ke Proyek Telindung,
menanda tangani Berita Acara Termyn, beliau tampak lega. Walaupun belum 100 % selesai.
Aku heran dua Insinyur itu setiap ke Balikpapan selalu berdua. Ada pertanyaan ringan dari
mas Darmono saat mereka menemui aku di office ;
”Kenapa pak Ade, tak berani membangun blok E.”
”Posisi kaplingnya rawan longsor pak, dari pada resiko.”
”Yaktapena berani, kenapa sampean takut ?”
”Saya bukan takut membangun mas, tapi takut rugi yang punya PT. Malah ide saya
mas, semestinya kalau membangun properti seperti ini, lebih baik jalannya dulu, jangan
seperti ini material tak sampai dekat lokasi, rumah yang akan dibangun,” usulku ke mas Dar
”Nanti rusak dong sebelum rumah siap pakai ?” sahut pak Juwito
”Lupakah skripsi kita dulu, pakai beton bertulang dong,” jawabku meningatkan
Kedua bosku itu heran, langsung tertawa dan memujiku ;
”Memori mas Ade hebat, masih ingat dik Dar jaman di kost Rawamangun dulu,”
Setelah itu mereka berdua menyalamiku sambil memberi kata – kata harapan padaku.
”Nanti mas, kalau kita jadi pengembang sendiri kita wujudkan !” kata pak Juwito
”Saya hampir dua tahun lho pak tak pernah cuti !” usulku
”Bilang bu Kiki saja, beliau kan yang menentukan,” kata pak Juwito
”Oh ya mas, apa saja yang ditanyakan pak Yoso saat kesini ?” tanya mas Dar.
”Aku cuma ditanya tentang kuliah dimana kok aku bisa mengelola proyek ini beda
dengan proyel lain hingga diprotes bag logistik.”
”Apa jawab mas Ade ?” tanya pak Juwito
”Ya aku bilang difasilitasi mas Dar di Rawamnagun dulu, jaman Noyorono,” Beliau
tertawa dan bertanya ”Siapa Kokrosononya ?” kujawab ”pak Juwito,” begitu saja. ”Aku bilang
Udowonya aku sendiri sampai sekarang,” beliau tertawa, pak Jufri bengong.
”Kok Udowo nya pak Ade,” tanya mas Dar
”Jabatanku kan cuma patih iya kan ?” candaku
”Sudah dikasih tau bu Kiki tentang rencana proyek di Bunyu.”
”Sudah, tapi .... katanya bagaimana pak Jufri saja.”
”Oke selamat bekerja.

................0000.....................
287

63
LEBIH BAIK ILMU DARI PRAKTIK
DARI PADA MEMPRAKTIKA ILMU

J
beliau ;
anuari 81, pikirku mau cuti tapi malah di ”tangisi” bu Kiki, karena setelah aku
mengambil keputusan berani ( kata kalab yang baru ), aku harus menyelesaikan dulu
proyek Telindung. Suatu hari aku dipanggil bu Kiki yang sedang hamil tua, dikantor

”Pak Ade, aku mau cutui dulu, pekerjaan Telindung penyelesaiannya kuserahkan
pak Ade,” pinta bu Kiki.
”Duh bu, baru aku mau menyampaikan permohonan cuti !”
”Aku tau, tapi pak Ade tau kan kalau melahirkan tak bisa ditunda, maka tolong benar,
sebelum proyek Bunyu dimulai selesaikan proyek Telindung !”
”Proyek Bunyu juga dilimpahkan ke saya lho bu, oleh pak Jufri. Malah material
sudah ku P O kan tinggal nunggu kapan tiba di Bunyu. Ok lah bu, mohon dukungan nya saja.”
”Iya ..ya, aku kan cuma di Gunung Dub tak kemana – mana.”
Subannallah, Alhamdulillah, aku diberi kesehatan dan amanah dari orang – orang
yang mempercayai reputasiku. Seolah – olah aku dibebani dua proyek di dua pulau. Satu
proyek menjelang selesai, satunya lagi baru dimulai, Insya Allah tugas rangkap jabatan akan
ku laksanakan sebaik – baiknya.
Ironis memang, satu pihak menginginkan aku mulai di pulau Bunyu, pihak lain
menginginkan focus dulu penyelesaian proyek di Balikpapan. Saat – saat semua
menghendaki konsentrasiku, tiba – tiba keluarga Atong menanyakan tentang Atong yang saya
kasih order pengadaan material untuk proyek Bunyu, menyusul adanya berita di kepulauan
Masalembo Kapal Tampomas II tengelam dilaut.
”Pak Ade kabarnya Atong gimana kok sudah sebulan ini tak ada beritanya. Tempo hari
katanya mencarikan material untuk kantor disini ?” tanya papa Atong.
”Kami tak tau papa, yang jelas Atong tak naik kapal Tampomas itu, karena dia satu
kapal dengan kapal yang membawa bahan bangunan ke Bunyu. Bahkan anggota kami
Siswanto, kesana untuk membantu Atong pa.”
”Tapi kenapa tak ada kabarnya?”
”Mungkin sudah diperjalanan menuju Bunyu!”
”Tolong ya pak Ade, kalau ada kabar tentang Atong !”
”Iya pa. Di toko papa belum ada telephone, iya kah.”
”Belum pak Ade, kami belum punya telephon,” kata papa Atong
Di saat situasi genting itu, aku juga digunjingkan oleh kabar miring. Seolah – olah aku
disalahkan, mengapa order material sebanyak itu diberikan ke toko sekecil itu.
Pada saat aku kekantor pun, pak Jufri cemas tentang kebijaksanaan ku yang terlalu
berani. Ketika pak Jufri ditanya pak Yoso, beliau tak bisa menjawab ;
”Mas aku kemarin disalahkan pak Yoso tentang Atong!” kata pak Jufri
”Kok bapak yang disalahkan ?” tanyaku
”Ternyata UD “SPS” cuma sekecil itu kata pak Yoso,” kata pak Jufri
”Wuih salah persepsi saja yang dibawa ke Bunyu kan material dari Surabaya, bukan
yang ada di toko itu ?” jawabku tegas
”Bukan begitu, toko yang gede – gede kan banyak, kenapa dipercayakan ke “SPS”
288

”Apa toko yang gede – gede mau melayani sistemku ?’


”Tapi aku yang jadi tumpuan sasaran kemarahan mas !”
”Bisa jadi lah, bapak kan yang bertanda tangan di P O itu.”
”Iya, tapi kan atas ide ”gila” mas Ade ?”
”Aku kan belum lepas tanggung jawab pak!” jawabku emosi
”Sabar mas, aku tak bermaksud menyalahkan mas Ade !!”
”Yang tak sabar kan bapak, tunggu saja pak berita selanjutnya ! Agar tau saja pak, kita
baru mulai Revolusi, kontrak sudah ditanda tangani apa mau dibatalkan ?”
Aku kasihan terhadap pak Jufri, karena beliau tanggung jawab ke Jakarta. Sedangkan
aku mempertaruhkan jabatanku untuk masalah yang pelik. Tapi aku tetap optimis karena
niatku semata – mata hanya untuk proyek yang dibebankan kepadaku.
Saat situai krisis itu, ada kabar dari Siswanto, bahwa dia menengok orang tuanya,
setelah kapal lepas jangkar dipelabuhan Gresik. Malah kabarnya kapal yang membawa material
dua buah, dan Atong ikut salah satu kapal itu, dua hari lalu.
Besoknya, ada kabar tentang Atong entah dari mana, aku disuruh menemui orang
tuanya di toko SPS Gn. Sari. Setelah aku temui orang tuanya, yang menemui saya pertama
mama Atong. Orang tua itu berlinang air mata, menyambutku ;
”Pak Ade Atong ada di Tarakan sendiri, tolong temui dia,” katanya.
Akhirnya papa dan adik Atong, menemuiku. Aku lega bahwa dua kapal yang membawa
material untuk proyekku sudah bersandar dipelabuhan Tarakan. Aku harus segera ke Tarakan
karena Atong tak tau harus bagaimana. Karena kapalnya tak boleh menuju ke pulau Bunyu,
sementara di tahan pihak Bea Cukai Tarakan.
Aku segera terbang ke Tarakan, Atong telah menungguku di Bandara Juwata.
Kutemui petugas Bea Cukai. Dari petugas Bea Cukai aku mendapat penjelasan, bahwa kapal
Atong tak boleh berlabuh di pelabuhan Bunyu sebelum ada ijin pihak Pertamina.
Oleh karena itu, kami buru-buru naik Speedboat ke pelabuhan Bunyu terus ke kantor
Pertamina lapangan Bunyu. Alhamdulillah di Bunyu, aku dibantu orang – orang Pertamina
yang dulu kukenal di Sangatta. Aku dibuatkan surat Rekomendasi dari Pertamina, bahwa aku
kontraktor Pertamina untuk proyek Nibung. Oleh pihak Pertamina pula, aku disuruh
membuat surat bahwa Atong adalah pegawaiku, bag logistik.
Di Pertamina Bunyu, akupun sebetulnya hanya dikenal mereka secara pribadi, karena
aku tak punya surat dari perusahaan bahwa aku sebagai apa. Untung mereka sangat bijak dan
mengenalku sangat baik. Dengan secarik kartu nama yang ada di dompetku, mereka percaya
padaku. Bahkan surat keterangan untuk Atong pun, mereka yang membuatnya.
Setelah semua persyaratan yang diminta kantor Bea Cukai kami penuhi, kapal yang
sudah 48 jam bersandar di pelabuhan Tarakan boleh melanjutkan ke pelabuhan Bunyu pagi
itu. Di Bunyu dipusingkan lagi, karena belum punya gudang untuk menyimpan barang –
barang dari Surabaya itu. Hendrik stapku di Bunyu punya ide bagus ;
”Kita pinjam gudang KRS dulu pak, proyek KRS kan sudah selesai.”
”Kamu kenal petugas KRS disini, coba hubungi dia,” perintahku
Petugas KRS tak berani memberi ijin. Kami disuruh menghubungi Ir. Budiono di
Balikpapan. Lagi – lagi keberuntungan memihakku. Ir. Budiono yang di Sangatta dulu pernah
tugas ”orientasi” kepadaku dengan ramah dan santai mengijinkanku memakai gudang KRS
lewat telephon dari kantor KRS cabang Balikpapan.
”Lu jadi bos lagi di Bunyu ?” tanyanya santai via telephone.
”Iya pak Bud, aku pinjam dulu sebulan lah gudangnya !!” jawabku memohon
”Pakai saja, ngomong saja sama Harji ok !” sambungnya lagi familiar
289

Alhamdulillah, dengan rachmad Nya, semua material proyek itu sebanyak dua kapal
semua masuk gudang KRS. Kecuali besi beton setelah material aman masuk gudang, masalah
yang tak terduga timbul lagi.
Upah buruh pelabuhan belum dibayar karena Atong kehabisan uang. Sudah barang tentu
mereka marah – marah. Kutanya Atong, taoke muda yang ulet itu dengan sabar ;
”Kenapa Tong, uang mu habis ?”
”Iya pak, aku tak tau kalau kemarin harus membayar Bea Cukai,” jawabnya malu –
malu.
”Masa Allah Tong, kurang berapa ?”
”Sebetulnya uang ku ya tinggal ini, belum lagi beli tiket ke Balikpapan nanti !”
Akhirnya kesulitan dapat kubicarakan dengan mandor pelabuhan itu bahwa kami
bukan tak mau membayar, tapi kehabisan uang. Biarlah Atong ke Tarakan dulu ambil uang,
aku yang menjamin tinggal di Bunyu dulu di mess kantorku. Untung mereka mengerti.
Walaupun setengah tak percaya mandor dari Bugis itu dapat ku atasi ;
”Kami nggak mau dijanji – janji kaya pak Yapis dulu pak !”katanya
”Insya Allah Daeng tak akan seperti dulu,” jawabku
Berkat pertolongan Allah, Atong pukul 05.00 subuh sudah naik speed ke Tarakan.
Aku tersandera sendiri di Bunyu. Entah dari mana dia mendapat uang, dua hari kemudian
dia datang lagi membawa uang untuk membayar ongkos buruh pelabuhan, lunas semua. Kami
baru kembali ke Balikpapan setelah seminggu ngurusi material di Tarakan dan Bunyu.
Setelah istirahat sehari di Balikpapan, aku berdua dengan pak Jufri menyelesaikan
pelunasan material Atong yang 50 % lagi. Pak Jufri tampak hati - hati bicara denganku ;
”Mas sekarang material sudah lengkap apa lagi yang kita lakukan ?”
”Ya dimulai kerja pak, tapi siapa yang harus mulai?”
”Aku minta tolong mas Ade dulu, aku kan tak faham memulainya.”
”Kita berdua pak, dan bawa uang jangan seperti minggu lalu. Masa’ selama disana
yang membiayai akomodasi nya Atong. Dia kan sudah bekerja sesuai kontrak pengadaan
material untuk kita, tak seperti yang ditakutkan selama ini kan ?””
”Iya aku minta maaf, nggak nyangka kalau sampai begitu masalahnya,” kata pak Jufri
merendah. ”Mudah – mudahan dikemudian hari tak ada kendala lagi,” doanya lirih.
”Amin,” jawabku singkat
Usai ngobrol dengan pak Jufri ku temui Yul yang kulihat tak cemas lagi di
ruangannya. Bagian Keuangan itu selama aku bersitegang dengan kacab, ikit cemas.
”Hai pak, apa kabar, kelihatan kurang istirahat ya ?” tanya Yul setelah melihatku santai
”Aku boleh duduk di kursi bu Kiki kan Yul.”
”Silahkan, hanya pak Ade yang pantas duduk di situ santai saja !”
”Eh Yul apa kabar bu Kiki sudah melahirkan ?”
”Oh ya kebetulan habis makan siang, hari ini kita disuruh kesana .”
”Kesana mana ?”
”Kerumahnya pagi ini ada acara ”selapan” bayinya !”
”Oh ya kena apa setelah makan siang, aku tak bawa nasi lho !”
”Kita makan disana saja, setelah tamunya bubaran!”
Sesuai permintaan bu Kiki, setelah tamu – tamu pulang kami ke rumah bu Kiki di
perumahan elit Pertamina Gn. Dubs. Tiba di sana betul tamu sudah tak nampak. Bahkan pak
Wahyudi pun sudah kembali ke kantornya. Bu Kiki siang itu kulihat cantik dan lincah maka
saat di suguhi makan siang, ku puji beliau ;
”Ibu sekarang kelihatan langsing dan....” candaku
”Dan apa, la iyalah dulu kan berdua saya,” jawabnya ramah
290

”Sekarang bersatu to bu ?” tanyaku bercanda


”Eh apa kabar proyek Bunyu ?” tanya bu Kiki mengalihkan pembicaraan
”Nanti saja bu aku ceritakan masalah nya luar biasa lika likunya di sana.”
”Baik cerita di kantor saja, dan ini buat ibu pak Ade,” bu Kiki menyodorkan besek.
”Ibu saya di Jawa lho bu,” jawabku
”Maksud nya, untuk istri pak Ade,” kata Yul sok tau
”Ulang taun pak Ade bulan apa, dan tahun ini yang ke berapa ?” tanya bu Kiki simpatik
”Desember nanti bu tanggal 10 sesuai KTP yang ke 32 bu kalau tak salah.”
”Sepantar pak Darmono dong,” tanya bu Kiki saat aku makan
”Ya nggak tau, tapi yang jelas sepantar mbak Megawati Sukarno Putri,” candaku
”Kok lebih tau umur bu Mega dari umur pak Darmono , katanya sahabat ?” tanya Yul.
”Aku kan tak pernah tanya pak Dar usianya berapa Yul,” jawabku
”Pak Ade pernah tanya bu Mega, kok tau kalau sepantar bu Mega ?”
”Maka Yul, kalau baca majalah jangan hanya majalah ”Bobo,”
Bu Kiki siang itu sepertinya menikmati obrolan kami. saya sendiri sebetulnya merasa
keceplosan ngomong dengan ibu Kiki yang anggun itu. Maka buru – buru aku ijin pamit kembali ke
kantor. Yul melihat bayi yang sedang bobok dibopong bu Kiki. Kurasakan dua perempuan itu
karakternya berbeda. Kalau bu Kiki sering diskusi dan merasa enjoy, sedangkan Yul orangnya
formalis, displin, terbit administrasi dan tulisannya rapi maka cocok di bagian keuangan. Yang hampir
sama, mereka sering curhat kepadaku khususnya jika menghadapi pekerjaan yang sekiranya
bermasalah serius. Saat goncengan pulang itulah kami berdua dengan Yulaida ngobrol.
”Yul, usia bu Kiki berapa sih sebenarnya?” tanyaku
”Tiga puluh dua berjalan, kenapa ditanya umur bu Kiki segala ?”
”Kalau begitu lebih muda dengan ku dong ?”
”La iyalah beliau kan lulusan tahun tujuh puluh enam.”
”Kok Yul tau kalau bu Kiki Insinyur lulusan th. 76 ?”
”Aku pernah baca biodata bu Kiki di kantor.”
”Yul pernah baca biodata ku dikantor?”
”Bilang bu Kiki pak Ade orangnya pak Juwito, nggak pakai biodata.”
”Bukan karena orangnya pak Juwito Yul, tapi saya tak punya biodata!!”
”Pak Ade dulu lulusan taun berapa ?”
”Aku manusia tanpa ijazah Yul, karena itulah aku tidak punya lulusan.”
”Sering kulihat bu Kiki konsultasi dengan pak Ade ?’
”Bukan hanya bu Kiki pak Jufri juga. Maka kasus material untuk Bunyu, pak Jufri
sempat binggung ?’
”Iya lho, tempo hari sebelum pak Ade kembali dari Bunyu dia gelisah. Aku ditanyai
melulu.”
”Kamu ngomong apa sama pak Jufri?”
”Ya tanya pak Ade saja pak, eeee dia malah emosi.”
”Terus, apa kata dia.”
”Katanya sudah delapan hari tak ada kabarnya, kenapa pak Ade tak lapor ?”
”Wuih sampai begitu, jujur Yul aku malas lapor, sebelum masalah selesai. Di lapori pun dia
susah mengerti buat apa lapor melulu.”
”Maka pak, begitu selesai aku ikut senang, yang menjadi pertanyaan saya, bos – bos orang
pintar, kok yang jadi andalan pak Ade ?”
”Aku kan lebih dulu tau, dari pada mereka bos – bos itu ?”
”Jadi, lebih baik tau lebih dulu, dari pada orang pintar to ? Kata pak Ade tak punya lulusan
kok lebih dulu tau.”
”Ilmu yang didapat dari praktek itu, lebih baik dari pada mempraktekkan ilmu.”
”Pak Jufri kan lebih tua dari pada pak Ade ?”
”Belum tentu pernah praktek seperti saya kan ?’
......................oooo..........................
291

64
MERDEKA BARU MAKMUR
ATAU MAKMUR DULU BARU MERDEKA

A ku ingat Ir. Budiono di Sangatta dulu lulusan Universitas Parahyangan tahun


1973. Bekerja pertama di KRS masih orientasi. Sekarang sudah Site Manajer
sedangkan aku tak punya titel sarjana, maka gajiku tak setara mereka. Aku tak
biasa menuntut gaji dinaikkan sebagaimana yang sering kudengar, demo menuntut kenaikan
upah buruh. Bagiku gaji adalah rejeki sesuai ukuranku, Allah yang memberi. Pengalaman di
Unilever dulu, gajiku hampir setara gaji pokok pakde Rudy seorang Kapolwil di Glodok
Jakarta. Kalau tak pandai bersyukur akhirnya jadi bubur, hancur.
Saat minggu malam aku menyusun rencana pekerjaan dua proyekku baik Telindung
maupun Bunyu, dirumahku yang sederhana itu kedatangan tiga tamu dua pria dan seorang
wanita seumur bu Kiki. Setelah perkenalan, ternyata tamu ku itu semua Insinyur yakni Ir.
Suryo, Ir. Cahyono dan Ir. Diah.
Diantara tiga Insinyur itu yang paling senior Ir. Suryo rupanya beliaulah yang punya
ide menemuiku ditempat tinggalku.
”Pak Ade, kami kesini mau kenalan saja. Kami dari Surabaya sedang mengerjakan
proyek PDAM di Kp. Damai. Dari kabar teman, pak Ade sedang menangani proyek
Yaktapena Telindung, katanya hampir selesai. Seumur pak Ade sudah sukses memaneg
proyek sebesar itu, kami mau belajar.”
”Ah bapak, siapa pak Suryo ? Aku merasa tersanjung pak, saya bukan apa – apa
dibandingkan bapak –bapak dan ibu Diah,” jawabku
”Aku memanggil apa ya... mas atau bapak,” potong bu Diah.”Kami belum banyak tau
tentang Balikpapan. Setidaknya mohon bantuan metode dan mengenai pengadaan material,
agar kami tak salah tindak terhadap tenaga kerja, sistem upah dan harga standrat Balikpapan.”
Malah pak Suryo lebih tegas bahwa maksud sebenarnya keinginan mereka, aku
diminta menjadi manager proyek PDAM dengan gaji Rp. 100.000.00,- perbulan. Sebetulnya
sudah setara dengan gaji Ir. Kiki Wayudi di PT. DT. Namun demikian tawaran Ir. Suryo cs gaji
besar tidak langsung kuterima begitu saja.
”Terima kasih pak, atas atensi semuanya, tapi mohon maaf, saya masih punya tanggung
jawab yang harus saya selesaikan dulu,” jawabku
”Berapa minggu pak Ade menyelesaikan proyek Telindung ?” tanya bu Diah
”Wah belum bisa jawab juga bu, masalahnya yang lebih berat adalah hubungan
emosional dengan pak Juwito dan mas Darmono. Bagi saya, gaji adalah rejeki tuhan yang diatur
dengan S K. Tanggung jawab moral adalah yang paling berat.”
Mendengar argumentasiku pak Suryo menyalamiku dengan hangat Ir. Cahyono dan
Ir. Diah memandang kami bersalaman penuh teka teki. Entah apa yang membuat mereka
tercengang, maka dengan senyum simpatik pak Suryo memandangku ;
”Ngadapi orang idealis seperti pak Ade ini berat,” kata pak Suryo
”Terima kasih atas kunjungan bapak – bapak dan bu Diah tentunya, tapi bukan berarti
menutup pintu untuk persahabatan dan kerja sama selanjutnya,” jawabku memohon maaf
kepada mereka, setelah pamit pulang.
Yang menjadi heran saya, dari mana mereka tau tentang saya ? Dan mengapa mau
”membajak” saya dengan tawaran gaji yang cukup mengiurkan. Dari Atong kah ? rasanya tak
mungkin. Sebab, walaupun sama – sama etnis Cenes Ir. Suryo lebih kebapakan dibanding kan
292

Atong yang masih muda usia itu. Pak Suryo juga lebih ke Jawa – jawa an karena dia orang
Surabaya katanya. Beliau se alumni dengan Ir. Cahyono dan Ir. Diah.
Lebih gila lagi pak Suryo malah melihat proyekku yang dalam masa baru finishing.
Malah aku di ajak makan siang di Barunawati, terus diajak ke proyek beliau, Pusat Pengolahan
Air PDAM di jalan Pramuka, karena semakin akrab ku candai mereka tentang nama
”PDAM”
”Kok PDAM pak, semestinya PDAB dong ?” tanyaku
”Maksudnya ?’ tanya pak Suryo
”Kan hasil produknya bukan langsung diminum seperti Coca - Coca, Pepsi dll ?’
’Ha ...ha ...ha betul juga,’ jawab pak Suryo ramah sekali
Hari berikutnya kami semakin akrab, dan saling membantu. Akupun pernah mendapat
sindiran dari sahabat baruku itu ;
”Semestinya pak Ade untuk operasional sehari – hari, sudah harus pakai mobil dong,
masa’ pakai roda dua ? Kalau menghadapi relasi kan lebih keren ?”
”Ini saja sebetulnya motor dinas, masih ngredit lho pak ?” jawabku jujur
”Yang ngredit kantor ?’
”Aku sendiri yang ngredit, tapi disewa kantor Rp. 60.000.00,- sebulan, dan uang
sewanya untuk mengirimi orang tua dan anak kami sekolah di Jakarta .”
”Terus gaji pak Ade untuk istri dan anak disini ?”
”Iya, dan istri saya jualan klontong di depan rumah itu !”
”Gaji pak Ade berapa sih ?’
”Aku tak pernah terima sih ya nggak tau ?”
”Yang nerima siapa kok nggak tau ?”
”Ya istri saya, diantar kerumah katanya sih Rp. 80.000. 00,-”
”Penghasilan lain dari mana ?”
”Ya nggak ada, maka nya nyewakan motor Yamaha itu.”
”Nggak pernah ngajak keluarga makan diluar ?”
”Ya adalah, tapi kalau ada undangan hajatan saja.”
”Makan di rumah makan sekali – kali.”
”Tempo hari itu saja di traktir pak Suryo di Barunawati kan ?”
”Nonton film.”
”Saban malam mereka kan nonton di TVRI berjama’ah !”
”Berjama’ah ? Maksudnya nonton bareng – bareng gitu.”
”Iya, dengan tetangga sebelah ramai – ramai kan.”
”Kulihat TV pak Ade masih hitam putih, belum berwarna ?”
”Hitam putih kan juga warna ?”
”Ha..ha..ha iya sih, nggak ada relasi proyek yang nawari hadiah ?’
”Ada juga Atong dari UD. SPS, aku disuruh memilih TV 20” Sharp.”
”Kok nggak di stel ?”
”Ya tak di stel to, TV nya kan masih di toko Sharp Klandasan, Aku tak mau terima,
karena menyangkut jabatanku di DT.”
”Aku salut pak, ternyata masih ada orang yang intergritasnya kuat seperti pak Ade.”
”Banyak pak aku kan cuma bertahan saja, seperti pak Hugeng Kapolri itu .”
Entah apa yang membuat pak Suryo tertarik berteman dengan aku. Yang menjadi
heran beliau, seorang Site Manger profesional seperti aku masih tinggal di rumah kecil yang
beratap seng sudah bertagar di gang sempit dilingkungan masyarakat golongan bawah.
Aku merasa nikmat dan bersyukur dibandingkan teman – temanku yang masih
ngontrak. Maka rumah kecilku, kurawat dan ku perindah dengan sirap afkir dari proyek yang
293

terbuang...... tanah yang semula semawut dan kumuh ku bersihkan dan kutanami lombok dan
kembang sederhana.
Pulang pergi kantor proyek, tiap hari aku selalu membawa cangkul pinjaman.
Sebelum dan sesudah kerja aku selalu membersihkan lingkungan. Sampai tetanggaku tak tau
apa pekerjaanku sehari – hari. Ada yang mengira aku menggarap kebun.
Suatu petang sekitar pukul 08.00, aku dikagetkan atas kunjungan tiga tokoh
masyarakat, yaitu pak Rukidjo, pak Wiyono dan pak Ngatiran. Dua orang purnawirawan
polisi dan Ketua RT setempat. Yang intinya aku diminta menjadi Panitia Rencana Proyek
Mushola. Semula aku diminta menjadi Sekretaris, tapi setelah tau profesi ku akhir nya
menjadi seksi perencana dan pembangunan musholla pertama di lingkungan kami RT. VII
Stalkuda, Kampung Damai.
Berarti tugas tanggung jawab dipundak saya tambah satu lagi. Karena tanggal 06 April
1981 peletakan batu pertama pembangunan masjid maka moment itu kucatata sebagai tonggak
sejarah berdirinya masjid pertama yang ada di lingkungan kami yang diberi nama masjid Ar-
Raudhah. Sebetulnya ibadah ritual saya belum benar. Tapi kata mbah Waras ketika aku
masih di Solo, untuk disiplin menjalankan perintah agama itu, ibarat mencari gelombang di
pesawat radio, asal sabar dan cermat lama - lama kena canel yang dicari.
Hikmah dari kedatangan para sesepuh lingkungan itu, aku mulai sadar ilmu yang
diperoleh sepanjang karirku harus berguna bagi masyarakat. Disamping itu, selama aku
meninggalkan kampung halaman, aku belum merasakan suka duka dan bermasyarakat pada
umumnya. Maka permintaan tokoh masyarakat ketika itu ku terima dengan iklas dan
bertanggung jawab. Setiap bertindak ditengah masyarakat,, aku ingat pesan biyungku, jangan
jadi omongan ”dirasani” orang ”Ben melarat le sing penting martabat.”
Pemekaran dan perubahan RT Stalkuda yan semula RT VII menjadi RT XI dan aku di
daulat menjadi Ketua RT sudah berjalan dua tahub. Kampung damai menjadi Kelurahan
Damai. Status sosialku berubah, aku di kata gorikan menjadi tokoh masyarakat.
Akhirnya aku juga mendapat cuti sebulan. Tapi karena uang cuti tak cukup untuk
membawa keluarga, uang cuti dan waktu yang singkat itu, kugunakan untuk kegiatan bisnis.
Satu rumah type 70, kuselesaikan dengan modal cekak. Naluri ku sebagai pemborong timbul
lagi. Lebih baik keluar dari jabatan manajer proyek. tapi niatku terganjal. Bulan Juni aku
malah di tugasi mulai proyek di Pulau Bunyu. Kulakukan perintah kepala cabang itu. Lima unit
bangunan type B di Nibung kubuatkan time schedule, site office, dan bow plang dalam waktu
tiga minggu aku di Bunyu bersama pak Jufri.
Proyek tinggal melaksanakan. Matrial sudah kucukupi sarana telah kusiapkan, mandor
kerja pun berikut buruh telah kusiapkan. Setelah semua siap aku kembali ke Balikpapan.
Dimasyarakat menuntut tenaga dan pikiranku. Demikian pula bosku di Jakarta menghendaki
aku, tapi aku ada rasa bimbang antara tugas perusahaan atau keluarga dan masyarakat.
Ku ingat pakdeku Drs. Rudiman SH yang ketika itu thn 1969 menjabat Kasdak
Maluku. Sebelum meninggalkan Jakarta titip uang Rp.20.000.00,- lewat mbah Putri untuk
diberikan kepadaku. Pesan beliau ”Ini buat masuntuk menemani mbah putri sampai mas
Gembong lulus SMA yang tinggal tujuh bulan lagi. Setelah lulus baru mau dibawa ke Maluku.”
Selama itulah aku disuruh jualan rokok atau apa saja di ujung komplex.
Sebagai piyayi Solo, pesan pakde kuartikan lain yaitu, ”Lebih baik wiraswasta daripada
menjabat atau jadi pegawai.” Pesan beliau, aku cocok menjadi seorang wiraswasta ketika itu
belum ku sadari betul.
Aku sadar, dari pengalaman yang telah kujalani, beberapa kali aku menjabat
penghasilanku hanya pas – pasan. Tetapi saat aku memborong di pondasi rig, mendirikan
konstruksi baja dll, dalam enam bulan aku bisa mengumpulkan uang Rp. 10.300.000.00,-
294

Dan pertimbangan itulah aku membuat surat mengundurkan diri dari segala jabatan di
Pt. DT. Tak lama kemudian dua bos ku juga sejawatku tergopoh – gopoh menemuiku
dirumah mungil yang kutinggali dengan keluargaku.
Di ruang tamu dengan kursi rotan sederhana itu, pak Juwito dan mas Darmono bicara
agak serius, sehubungan surat pengunduran diriku.
”Mas aku sebetulnya bisa bicara melalui telepon dari Jakarta, tapi karena surat mas Ade
membuat kami heran dan mengejutkan, maka kami berdua sengaja ingin bicara langsung. Apa
yang membuat sampean kirim surat mengundurkan diri. Tolong katakan sejujurnya.”
”Maaf pak Dar, kalau menimbulkan gusar panjenegan. Dari dulu aku kan selalu
ngomong apa adanya, kok pakai disuruh bicara sejujurnya segala. Kalau sejujurnya, aku juga
heran, pak Dar kok sampai menemui ku ke rumah kenapa nggak manggil aku saja ke
kantor.”
”Kabarnya sempat bersitegang dengan pak Jufri Masim, benarkah?” tanya pak Juwito
”Benar tapi sudah kulupakan, panjenengan dengar dari Yul kah ?”
”Kok tau, padahal Yulaida pesan jangan katakan info ini dari dia.”
”Karena yang boleh tau hal ini janjiku hanya Yul,” jawabku sambil tertawa. ”Kalau pak
Juwito dan mas Dar dikasih tau oleh Yul ha..ha..ha berarti percuma dong rahasia – rahasiaan
segala ha....ha...ha. Namun demikian tak apa – apa yang jelas tak ada dusta diantara kita dan
tak ada masalah dengan pak Jufri. Beliau orang baik maka tempo hari ku ajak memeriksa
barang – barang di gudang KRS Bunyu, beliau puas. Apalagi dokumen material ditanda
tangani yang berkompeten, dan material disimpan aman di gudang KRS Bunyu.”
”Kata pak Jufri pinjam gudang Pertamina?” tanya mas Dar
”Betul, tapi masih dalam tanggungan KRS karena masih dalam masa pemeliharaan.”
”Apa yang membuat pak Yoso menilai, bahwa tindakan pak Ade kontrovesial?”
”Yang bisa menjawab pak Yoso dong, malah pak Jufri menilai tindakan kugila. Tapi
beliau akhirnya faham dan endingnya salud.”
”Jadi karena itu, mas Ade membuat surat mengundurkan diri ?” tanya pak Juwito
”Saya mengundurkan diri dari jabatan ku, jiwaku belum mundur.”
”Maka tolong bantu menyelesaikan proyek Bunyu dulu mas,” pinta mas Dar
”Kan tugasku memulai proyek Bunyu sudah selesai?’
”Maksudnya ?” tanya pak Dar kelihatan heran
”Bu Kiki minta selesaikan proyek Yaktapena sudah selesai. Pak Jufri minta aku mulai
proyek Bunyu minggu lalu selesai apalagi ?’
”Kata pak Waskito, atas kesalah fahaman antara kita ”mulai” proyek Bunyu, pak Jufri
sudah membuat surat perintah tugas awal Juni lalu, sudah diterima surat tugas dari pak Jufri?”
tanya pak Juwito
”Sudah juga tapi setelah kubaca, surat tugasku berlaku sejak tanggal di keluarkan !
Namun di surat tugas itu tak tercantum tanggal berapa. Nah sekarang yang gila siapa ?”
Mendengar kritikan surat yang kuterima dari pak Jufri, pak Dar dan pak Juwito tegang
dan tak percaya candaku. Maka surat tugas no. 112/06-81/DT/BP ku tunjukkan beliau.
Tertawalah beliau berdua walaupun berwajah kecut.
”Karena itu saja, mas Ade mau mengundurkan diri ?” tanya mas Dar
”Ah lebih baik minum teh sajalah, kita besok ngomong dikantor saja, masa’ dari tadi tak
ditawari minum.”
Usai minum dialog tak dilanjutkan. Mereka pamit kembali ke hotel Mirama.
Kepulangan beliau ku antar sampai jalan raya kira – kira 100 an meter dari pondok kami di
gang sempit itu, sebelum naik ke mobil pak Juwito sempat bicara lagi ; ”Besok tak tunggu di
kantor mas!”
295

Pukul 08.00 pagi dikantor Jl. Dondang suasana sepi. Bu Kiki sudah tiga bulan tak
masuk, kabarnya beliau sudah istirahat, karena ingin dekat dengan bayinya. Pak Jufri pun tak
kulihat ada dikantor, konon ke luar kota. Dikantor tinggal Yulaida bag keuangan dan pak
Waskito urusan logistik, tapi belakangan ini banyak menangani urusan administrasi, tak lama
berselang pak Juwito dan mas Darmono tiba dikantor dengan wajah tak seperti biasa.
Di kursi sofa ruang direksi mas Dar mulai bicara non formil.
”Pak Ade, semalam kubaca didinding depan sampean tertulis ”Padhepokan
Widorokandhang” pak Juwito terkesan banget, apasih artinya Widorokandhang ?”
”Wuih diperhatikan juga to, artinya yang tepat saya sendiri belum tahu tapi dari dunia
wayang, adalah tempat Udowo dilahirkan dan dipademangan itu pulalah Kresno dan Bala
Dewo juga Sembadra dibesarkan sebelum menjadi raja dan selebrety dunia wayang.”
”Dik Dar ! di proyek dulu mas Ade sudah cerita, bahwa kita dulu digodok dan
dididik ditempat yang sama mas Ade kan orangnya pemerhati wayang. Ternyata beliau
konsinten rumahnya pun ditulis Padheokan Widoro Kandhang, iya kan mas ?” pak Juwito
menjelaskan ke mas Darmono.”
Aku mau ngomong ”aku kan tetap jadi Patih?” tetapi tak enak hati walaupun
sebenarya iya.
Kesimpulan pembicaraan di kantor itu, aku tetap bersikukuh. Sementara pak Juwito
dan mas Dar akan mempertimbangkan usulan saya, yaitu jika aku tetap di Daya Turangga,
setiap proyek yang kulaksanakan mendapat fee 5 % dari neto frojet kecuali proyek Bunyu.
”Terus Bunyu kenapa sampean tetap tak bersedia ?”
”Ya itulah beratnya pak, saya sudah terlanjur mulai bangunan rumah tinggal orang,”
jawabku agak tak nyaman.
”Masa’ tak ada orang yang dipercaya jika mau Ade di Bunyu ?”
”Orang yang pintar banyak pak, tapi orang jujur tau sendiri kan ?”
”Ya memang, sekarang mencari orang sekaliber pak Ade lamgka !”
Melihat kekecewaan wajah sahabat – sahabatku itu, hatiku sebenarnya menangis.
Seandainya bangunan rumah Atong belum ku mulai pasang pondasi, mungkin aku bergeming
atas kesedihan mereka berdua. Dari dialah aku menjadi seperti sekarang ini.
Akhirnya beliau kembali ke kantor pusat Jakarta, dan aku tetap sementara di kantor
cabang, sambil mengawasi borongan ku di Kp. Damai. Seminggu kemudian, di kantor aku di
temui Yul ;
”Pak, Pak Ade di suruh melihat rumah yang mau dikontak pak Karim!”
”Siapa, pak Karim ? Orang mana kok aku yang disuruh ?” tanyaku
”Kepala cabang DT yang baru pengganti pak Jufri,” kata Yul
”Kapan dia datang dan kemana dia sekarang ?”
”Ya kalau tak salah, setelah pak Juwito dari sini itu, dan pak Ade di suruh mengkordinir
Pek. Modifikasi Perumahan Telindung sampai selesai. Sebelum surat ijin pengunduran pak
Ade disetujui, tugas dan tanggung proyek Telindung masih tetap berlaku !”
”Naah kalau gitu SPK Ppak Wagiyo dan Darto selesaikan dong !”
”Sudah kuketik tinggal ditanda tangani kok, malah pak Wagiyo nanyaian terus.”
Setelah SPK kepada sub kontraktor kutanda tangani, aku meluncur ke proyek.
Pelaksanaku tinggal tiga orang. Kuarahkan mereka segala material untuk modifikasi rumah
yang akan dikontrak Behtel menjadi tanggung jawab sub kontraktor. Tiga orang telah
memegang SPK. Dengan demikian tugas kami tinggal mengawasi hasil kerja sub kontraktor.
Dua bulan lebih, pekerjaan modifikasi selesai bahkan pak Wagiyo berhasil
menyelesaikan pula yang semestinya untuk Darto karena Darto tak jadi mengambil pekerjaan
itu. Dengan demikian tinggal Hasan dan pak Wagiyo yang jadi sub kontraktornya.
296

Problem pembayaran timbul setelah Hasan menagih hasil modifikasi yang telah
diselesaikan. Karena Hasan tak punya SPK seperti pak Wagiyo. Aturan proses pembayaran
syaratnya harus ada Berita Acara, sedangkan Berita Acara berdasarkan Surat Perjanjian Kerja (
SPK ). Sialnya Hasan tak mau menanda tangani SPK denga alasan harganya tak sesuai
pembicaraan dengan pak Karim dulu.
Oleh karena itu Hasan kupanggil ke ruangan yang dulu ruang bu Kiki sebelum beliau
keluar dari PT. DT.
”Maaf pak Hasan, kenapa Pian tak mau menandatangani SPK?”
”Karena harganya tak sesuai penawaran kami dulu pak.”
”Ada pernah mengajukan surat penawaran kesini ?”
”Tak pakai surat pak ya ngomong gitu saja kepada pak Karim.”
”Punya catatan perincian harga sebelum mengajukan penawaran ?”
”Nggak catat pak, cuma kami hitung berapa hari kerja gitu aja.”
”Pak Hasan memborong upah kerja saja, atau berikut material ?”
”Al in pak dengan material juga.”
”Berapa pak Hasan mengajukan penawaran ?”
”Rp. 150.000 setiap rumah seperti petunjuk pak Karim.”
”Jadi pak Hasan tak tau harganya, harga segitu dari pak Karim ?”
”Iya pak betul kalau mau ya segitu.”
”Kalau begitu pak Hasan nggak tau harga, tinggal kerja saja.”
”Betul pak, pembicaraan awalnya ya begitu saja.”
”Pak Hasan nggak minta surat perintah kerja dari pak Karim.”
”Tidak pak ya langsung kerja gitu saja.”
”Katanya pak Hasan pernah mau pinjam ke mbak Yul disitu ?”
”Iya tapi harus pakai memo dari pak Karim dulu.”
”Sudah dikasih memo oleh pak Karim?”
”Pak Karim nya tak ada katanya ke Bunyu!!”
”Sekarang saya hanya bisa bantu pinjaman dulu mau untuk bayar buruh ?”
”Nggak bisa pak trus untuk membayar material gimana, janjinya selesai dibayar.”
”Makanya kalau mau dibayar sampai selesai harus ada Berita acara !”
Hasan kelihatan gusar karena buruhnya sudah menunggu dibayar tetapi diberi
pengarahan pun juga susah mengerti. Akhirnya kutinggal begitu saja. Situasi proyek kacau,
ada yang mengamcam mau membongkar pekerjaan segala, daripada ribet kutinggal saja.
Pak Karim tiba dari Bunyu dua minggu kemudian. Kujelaskan masalahnya, beliau
binggung mengatasi Hasan. Malah aku seolah – olah disalahkan ;
”Kok pak Wagiyo dibuatkan SPK, aku tak dikasih tau ?”
”Kan ada tembusannya pak, belum bapak baca saja barangkali ?”
”Bukan kah saya yang semestinya membuat SPK kepada pihak kedua ?”
”Kenapa Hasan tak dibuatkan SPK, sebelum pekerjaan dimulai?”
”Dulu sebelum saya disini yang membuat SPK siapa ?”
”Bu Kiki sebagai kepala divisi teknik.”
”Kalau bu Kiki nggak ada, siapa yang membuat SPK?”
”Bu Kiki kan bukan atas nama pribadi, kapasitas beliau sebagai pejabat kepala divisi
teknik pak !”
”Sekarang pengganti jabatan bu Kiki siapa ?”
”Kalau itu bukan saya yang harus menjawab, tapi sebagai kepala proyek, saya berhak
dan berwenang mengeluarkan SPK untuk proyek kita.”
Pak Able Karim tercengang mendengar statemanku yang tegas. Beliau menundukkan
kepala bertopang dua tanganya diatas meja serasa meminjat – minjat kepala dengan dua
297

jempolnya. Aku kasihan kepada beliau, setelah diam sejenak tak keluar kata – kata sepatahpun,
aku ijin meninggalkan sendirian keluar ruangan.
Diluar kantor kelihat beberapa tetangga kantorku mulai menurunkan bendera merah
putih, karena perayaan hari Kemerdekaan sudah selesai. Kulihat Parman anah buahku di PT.
Agung Bhakti dulu, duduk sendirian disebelah kantorku. Sudah beberapa lama tak ada
kegiatan katanya ngangur. Kutanya dia setelah duduk dikursi teras disebelahku.
”Hai man, katanya mau ikut PT. Dwi Karya sudah ku omongkan kok tak segera
kesana, apa yang kau tunggu ?”
Mendengar pertanyaaku yang spontan itu dia malah menghampiriku, mau duduk di
dekatku. Tapi karena ingin bicara masalah pribadi, dia kuajak ke warung. Diperjalanan
menuju warung makan kutegur lagi tentang keraguannya.
”Man, mau ”merdeka baru makmur, atau makmur dulu baru merdeka?” Kamu jadi
orang jangan peragu dong !! Lihat tuh bendera hari kemerdekaan masih berkibar.”
”Sebetulnya mas saya sudah mau keluar dari Tetra Lamda, tapi tak enak dengan
warung ”Tulung Agung,” karena saya masih punya bon makan disitu Rp. 17.500, sudah
sebulan belum kubayar. Malu rasanya kalau aku langsung meninggalkan begitu saja.”
”Benar, hanya soalitu ?: Ikut saya, kita makan disitu !”Parman sebetulnya ya enggan,
tapi agak kupaksa.
Kami makan berdua siang itu. Saat membayar harga makan, kulunasi sekalian utang
makan si Parman. Dia kaget dan heran terus bertanya kepadaku, setengah tak percaya.
”Kok dibayari mas hutang makan ku ?”
”Biar, hari ini kamu merdeka dulu besok kamu langsung ke PT Dwi Karya, karena
kamu sudah ditanyakan oleh pak Bandi, Ok. Nanti kalau ditanya, bilang yang nyuruh aku.”
Hari esoknya Parman yang sebelumnya tidur ngantor di sebelah kantorku sudah
bergabung dengan PT. Dwi Karya milik pak Bandi, yang telah kukenal di Yaktapena.
Alhamdulillah perantau kelahiran Srueng Kebumen itu akhirnya hidup mapan kerja di
perusahaan minyak asing Total Indonesia hingga pensiun.
Menginjak bulan September 1981 aku nekat menyatakan mundur setelah beberapa
bulan tak ada kuputusan dari kantor pusat, Jakarta. Mendengar keputusan ku yang telah bulat
pak Juwito datang dari Jakarta. Kami bertiga bernegosiasi. Pak Juwito menyalamiku setelah
aku berjanji, bahwa siap membantu perusahaan kalaupun aku sudah keluar. Pak Karim tak
puas atas keputusan ku beliau masih ingin bicara, tapi kuyakinkan. Demikian pula pak Juwito
menyakinkan pak Karim ;
”Setau saya sampai hari ini, mas Ade apa yang dia katakan masih bisa dipertanggung
jawabkan, pak Karim tak perlu ragu , buat saja surat kespakatan.”
Pada tanggal 26 September 1981. Pak Karim menyurati aku, isi suratnya, beliau
sebetulnya berat kutinggalkan. Namun menyetujui niat mundur ku dengan catatan ; aku tetap
diminta membantu dalam menangani proyek.
Selain itu aku diminta bekerja sama dengan perusahaan jika ada proyek dengan dasar
individual. Niat yang mulia itu ku lalukan dengan iklas maka beberapa tender aku selalu
dipanggil dan diminta membantu.

...................................ooooo.................................
298

65
LEBIH BAIK MENDAPAT SEDIKIT
UNTUK ORANG BANYAK DARIPADA DAPAT BANYAK
UNTUK SENDIRI

T
gl. 30 September 1981, aku resmi keluar dari PT. Daya Turangga, setelah ku
curahkan kemampuan dan waktu ku, sejak 01 Maret 1979 hingga jabatanku menjadi
seorang Proyek Manager. Saat usiaku baru 33 tahun. Pendapat beberapa orang
seprofesi dengan ku, keputusan ku mundur sangat disayangkan.
Seandainya aku di militer, aku sudah berpangkat kapten, mundur saat seperti itu
sangat – sangat disayangkan. Beberapa mahasiswa ITN Malang yang sempat membaca
biodataku tercengang, sampai menanyaiku saat ada konsultasi di kantorku.
”Om Ade, boleh bertanya, om ?” tanya salah seorang mereka
”Mau tanya apa adik – adik, silahkan,” jawabku
”Dari Biodata om, umur 27 tahun sudah menjabat Site Manager, luar biasa om.
Sedang kami sekarang ini baru mau mencari pekerjaan masih belum mendapat ?” tanya Ony
lulusan ITN itu.
”Hebatnya lagi, om Ade usia 33 tahun sudah dua tahun menjabat proyek manajer. Om
dulu lulus kuliah usia berapa ?” tanya Ony lagi
”Wah dik aku taunya kerja saja, tak pernah mikiri umur dan jabatan. Dari adik – adik
saja aku tau biodataku ?” jawabku heran. Padahal aku bukan seperti mereka.
Dari beberapa pertanyaan yang mengelitik dan mengusik perasanku itu, aku mencoba
intropeksi tentang usia ku, juga karirku. Dikantor kelurahan, saat Rakor RT-RW sekelurahan,
pak Arsyat Kapten TNI AD. Komandan komplex ABRI di Kp. Damai mengatakan, bahwa
aku seorang ketua RT termuda pada tahun 1980 an. Bukan hanya termuda sekelurahan,
beliau malah bilang RT termuda sekota Balikpapan.
Bahkan tahun 1983, saat aku di pilih menjadi ketua RW 008 aku juga punya predikat
yang sama, Ketua RW termuda di Balikpapan. Karena rata – rata ketika itu seorang Ketua RW
kebanyakan pensiunan PNS atau Purnawirawan ABRI.
Tak jarang dalam pergaulan di tengah masyarakat Balikpapan atau ketemu pertama
dengan kenalan, aku di kira mantan ABRI. Dikalangan Tennis Lapangan, Sepak Bola pun
demikian. Entah mengapa pandangan mereka begitu ?
Kata teman yang telah akrab denganku, karena sikapku yang tegas dan keras itulah persepsi
itu muncul. Di PT. Daya Turangga kantor ku dulu aku dikenal tertip.
Belakangan di komunitas karawitan malah aku di panggil Kolonel. Mbah Parjo
penggender gamelan di saar bersama satu kloter menunaikan ibadah haji, selalu memanggil aku
”Nel” begitu saja, maksudnya Kolonel, misalnya minta tolong aku dia bilang ; ”Tolong Nel,
bawakan tas aku.”
Dan sampai sekarang pun dia kalau memanggil aku selalu dengan panggilan itu.
Akhirnya teman – teman dia kalau menyapaku ya ikut – ikutan mbah Parjo. Yang kurisaukan
jika aku bertemu anggota ABRI, sering yang baru kenal selalu bersikap hormat secara militer.
Lama kelamaan orang mengenalku sebagai pemborong. Walaupun dalan tahun 1982
aku sempat dua kali di kontrak sebagai Site Manager yaitu Sepinggan Housing Project yang
dikenal perumahan Total Indonesia, Perusahaan Minyak dari Amerika itu. Ditahun itu pula
aku diminta merancang dan membangun 15 unit rumah yang terkenal KBC (Kuala Batakan
299

Cotage) di luar kota Balikpapan milik ”Bule” Australia. Di Proyek itu aku juga jadi Site
Manager.
Bisa jadi sudah takdirku, setiap menjabat di proyek, walau gajiku lumayan, tak
membuatku puas, karena bukan karya aku sendiri. Maka tahun 1983, atas ide Anton Wibowo,
yang sering dipanggil Atong. Kami mendirikan Badan Usaha yang kami beri nama ”CV.
Usaha Bersama.”
Dengan badan hukum kelas C ketika itu, aku membangun Mapolsek Balikpapan Barat
thn 1984. Akhirnya menjadi rekanan Polda Kaltim hampir 20 tahun.
Selama menjadi rekanan Polda Kaltim di Balikpapan, puluhan rumah kubangun,
Gedung Polahta, Puskopol dan bangunan Dokkes Polda Kaltim. Bahkan yang disenangi
pejabat pejabat Ditlog Polda Kaltim, beberapa pemborong kena ”Temuan” bermasalah dengan
BPK dan Irjen Hankam, CV. Usaha Bersama selalu lolos. Ditanya macam – macam, aku
tenang – tenang saja. Sempat pula aku di periksa pejabat BPK dari Jakarta.
”Pak Ade berapa tahun menjadi Rekanan Polda Kaltim ?’
”Lebih 10 tahun pak sejak tahun 1984 hingga sekarang,” jawabku
”Sering pak Ade memberi uang kepada anggota Polisi ?”
”Sering sih enggak juga pak, tetapi pernah berapa kali.”
”Berapa catatan pak Ade uang pernah diberikan ke oknum itu ?”
”Wuih lupa pak, karena tak pernah kami catatat!”
”Apa juga sering dimintai uang oleh oknum polisi.”
”Pernah juga pak, tapi belum tentu saya kasih juga.”
”Kalau saudara ngasih uang ke oknum itu, apa alasannya ?”
”Ada kalanya orang itu katanya utang, ada juga yang minta saja.”
”Saudara kasih juga kalau dengan alasan itu ?”
”Belum tentu juga pak, karena takut nggak ngembalikan .’
”Kenapa, saudara berani nolak, apa nggak takut di intimidasi misalnya ?”
”Kenapa takut, saya kan jual jasa, bukan proyek hadiah mereka ?”
”Siapa – siapa nama oknum polisi itu yang saudara kasih uang ?”
”Saya nggak bisa mengingat jika ngasih pak, karena iklas saja sih.”
Seusai wawancara itu, saya kira menimbulkan kasus. Ternyata proyek barak Brimob
yang kubangun malah di nyatakan ”WTC.” Setelah itu keberanianku ngomong sewajarnya
malah membuat oknum – oknum yang berkompeten dengan proyekku akhirnya sadar bahwa
”kuselamatkan” kedudukan mereka dari audit BPK.
Di samping itu Kaditog tau diri beberapa gedung dan rumah rekreasi kediaman
Kapolda yang mendesain aku gratis tanpa mengeluarkan dana sepesarpun. Gedung
rancanganku sampai kini masih berdiri kokoh diantara lain; Mapolsek, Gedung Polahta, SD
Bhayangkari dua lantai, juga modifikasi Balai Bhayangkari dan j7uga Kantor YBB.
Setelah itu aku merambat ke Total Indonesie hingga empat tahun lamanya. Selama
menjadi kontractor, yang paling mengesankan adalah pada saat menjadi rekanan Total. Harga
borongan sesuai dengan Analisa Teknik Sipil. Kerjanya pun tak boleh asal – asalan kontractor
yang suka banting harga akhirnya tersingkir.
Aku akhirnya berhenti dati proyek Total hanya karena CV. Usaha Bersama milikku
golongannya C dan yang boleh menjadi kontraktor perusahaan asing itu akhirnya harus PT.
Sudah barang tentu aku terpental walau nama CV ku tetap tergolong bereputasi baik.
Setelah itu, aku mencoba ikut tender ke proyek Pemerintah kota Balikpapan. Sudah
kuduga, walaupun persyaratan kupenuhi, aku tetap kalah bersaing dengan permainan kong
kalikong oknum pejabat PU & kontractor. Walhasil menyimpang dari prinsipku, maka selama
aku menjadi kontraktor tak pernah ada proyek pemerintah yang ku dapati, kecuali proyek
Polda Kaltim dan PDAM, itu pun karena imbalan jasa desainku.
300

Akhirnya proyek di Polda Kaltim pun akhirnya tamat karena oknum katitlog tak suka
sikapku. Kalau tak kolusi dengan mereka omong kosong, bisa mendapat pekerjaan dari
mereka. Dan aku tetap tak bergeming jika harus korupsi uang rakyat.
Maka merambah banting ke proyek – proyek non ABN, APDB. Kami mengerjakan
proyek swasta atau melayani perorangan, kebanyakan relasi yang sudah tau reputasiku. Puluhan
rumah pesanan pribadi, Ruko dll yang kebanyakan tanpa tender.
Dari rejeki yang kudapat, kuantar anak – anakku, keponakanku juga adik dan cucuku
ke Penguruan Tinggi. Ada yang jadi guru, PNS adapula yang masuk TNI AL, insinyur dll
Sesuai dengan prinsip dan doaku, lebih baik mendapat sedikit berguna untuk orang
banyak daripada dapat banyak hanya untuk sendiri. Maka sebagian waktuku kugunakan
untuk kegiatan sosial di lingkungan masyarakat, sesuai dengan kemampuanku.
Setelah aku menjabat Ketua RT selama tiga tahun, aku didaulat menjadi Ketua RW
sejak th. 1983 hingga tahun 2002. Berkaitan dengan jabatan itulah masyarakat ku ajak
membangun masjid yang semula hanya mushola. Sepuluh tahun sejak berdirinya masjid atas
dukungan masyarakat pula, Masjid yang semula hanya semi permanent, akhirnya. Pada tahun
1991 kubongkar dan kubangun kembali menjadi permanen. Dan kami perluas lagi. Pada thn
2009 sampai 2018 kami kembangkan hingga tiga lantai seperti yang ada sekarang.
Dibidang Olah Raga, aku abdikan sebagian waktuku untuk Persiba Balikpapan sejak
tahun 1983 hingga th. 2002. Baik menjadi pemain, wasit, puncaknya, tahun 1991 aku ikut TC
di Solo mendapat Sertifikat Inspektur Pertandingan ( I.P) C perserikatan
Di dunia kesenian aku lebih gila, Kerawitan musik Gamelan, ku geluti hingga sebelas
tahun, sempat mempunyai gamelan dan wayang kulit segala. Akhirnya bosan juga.
Dari beberapa kegiatan olah raga dan sosial kemasyarakatan, beberapa penghargaan
dan piala diberikan kepadaku. Mendapat predikat Ketua RW terbaik, tahun .... juara Tenis
Polda Kaltim. Sebagai pembina Sepak Bola anak – anak usia 15 tahun, di lingkungan
kelurahan Damai, aku mendapat perhargaan, selain piala tetap Damai Cup karena tiga kali
berturut – turut RW kami menjadi juara umum dalam rangka HUT RI tingkat kelurahan.
Kini diusiaku yang telah 71 tahun, tak tinggal diam melihat organisasi sosial ”Rukun
Kematian Stalkuda yang berdiri sejak tahun 1979, terjadi kolap dua kali. Karena pada tahun
1985 pernah mati suri, akibat salah urus. Maka kubuatkan AD/ART, Alhamdulillah kas yang
saat itu tinggal Rp 375.000 beberapa tahun sehat kembali, setelah enam tahun kuawasi.
Celakanya kacau lagi th 2011 kepengurusan amburadul lagi akibat pengurus tak profesional
dan setengah hati. Mau tak mau aku benahi lagi dan hingga sekarang telah pulih kembali.
Walaupun belum sesuai yang diharapkan.
Adapun masjid Ar-Raudhah, yang aku ikut membidani berdirinya tahun 1981, kini tetap
berdiri kokoh. Yang dulu saat pertama berdiri hanya dibangun dengan bahan – bahan
seadanya, sekarang telah berkembang dan menjadi tiga lantai.
Kutulis dua hal tersebut diakhir hayatku, semata – mata aku merasa bersyukur kepada
Allah SWT yang telah memberi hidayah dan ilmu yang dapat kusedekahkan untuk masyarakat
di sekitarku, karena sejak tahun berdirinya Masjid Ar- Raudhah tahun 1981 itu, telah
”kuwafatkan” Ilmu Pengetahuan yang ku peroleh untuk membangun, dan meliharan sesuai
dengan kemampuanku bersama masyarakat agar karyaku dapat berguna untuk generasi
selanjutnya.
Aku menyadari sejak lama, bahwa ujian hidupku belum berakhir baik langsung ataupun tak
langsung. Baik pujian atau pun fitnah. Bisa jadi dari pengalaman yang telah kujalani, jika iklas
sabar dan tawakal, sebetulnya lebih baik kena fitnah dari pada di puji.
Difitnah, jika sabar dan tawakal akan menjadi kuat. Tapi dipuji kalau tak tahan uji, bisa
mecelakakan diri sendiri. Sebab benar pun menurut pengalaman saya belum tentu selamat,
sebaliknya tindakan salah, jika di insyafi dan bertobat bisa selamat.
301

Balikpapan,10 Desember 2018

Ade Dahwan S

Istrirahat selesai proyek Pondasi Righ ya ng mengesankan itu dir


umah aku menyetel radio RRI Jakarta. Dalam berita siang Wonogiri ada proyek
Raksasa. Waduk Gajah Mungkur penduduknya mau dipindah dengan Transmigrasi Bedol
Desa. Rencana waduk yang mengegenangi 4 kecamatan di Wonogiri itu sudah dimulai
sosialisasi dan pengukuran lokasi.
302

Sontak aku panggil istriku, agar bersiap –siap untuk pulang ke Jawa. Yang sudah lama
diingini kepingin lihat pulau Jawa. Aku bukan tertarik proyeknya, tetapi semata-mata nasib
biyungku yang sudah sepuh dan kakakku pertama yan menjaga biyungku selama ini. Maka
kurekap tagihanku ke PT. Agung Bhakti:

- Pasang Kabel 6,5 Km 6.500 x Rp. 350 Rp. 2.276.000


- Pondasi baut angker Rp. 156.000
- 1 unit pondasi rek T.110 dari Melawan Rp. 3.600.000
- Mendirikan kontruksi baja Rp. 5.000.000
Total Semua Rp. 11.832.000
Telah diambil Rp. 732.000
Sisa uangku di Agung Bhakti Rp. 10.300.000

Melihat uang yang harus saya terima dari PT. Agung Bhakri aku bersyukur kepada Allah Swt.
Padahal gajiku di KRS satu setengah tahun ini perbulan hanya Rp. 50.000. dan ada tunjangan
jabatan Rp. 15.000 perbulan. Tunjangan itupun baru kuketahui setelah Ir. Harianto ( Alm)
bersurat ke manajemen KRS dengan alasan, selama ini aku bertindak untuk dan atas nama Site
Manager, tapi gaji tetap supervisior.

- Karena mertua di Sanggata perlu kebutuhan hidup, maka seluruh dagangan dan ayam
kampung peliharaan kuhibahkan mertuaku. Bulan Juli tahun 1976, kami pulang ke
Jawa. Dengan uang Rp. 3.000.000 dari PT. Agung Bhakti dan surat jalan dari Dir Pt.
Agung Bhakti dan Surat nikah

DELAPAN BULAN BERSAMA “

PROSES DEBOL DESA


Tiba di kampung, orang & tetangga riuh. Apalagi biyungku yang selama proses bedol
desa selalu berdoa, agar aku bisa pulang. Ya hanya bisa beri doa karena tak tau bagaimana
mengabariku. Yang ketika itu tak ku tinggali alamat di Sanggata atau di Balikpapan sekalipun.
Begitu mendengar informasi seadanya dari orang sekampungku, demi jelasnya aku ke
kota menjumpai instansi yang terkait: yaitu Kantor Transmigrasi PU dan Pemerintah Dalam
Negeri.
Dari keterangan yang kuperoleh warga desa yang tergenangan dan yang kena dampak
proyek tersebut mau di transmigrasikan ke Sitiung Sumatra Barat. Semua biaya dan tempat di
Sitiung sudah siap, tapi warga yang tak ikut program pemerintah juga tak dimasalahkan. Disana,
Sitiung sudah disiapkan rumah tinggal lahan garapan dan pekarangan alat pertanian bibit
tanaman pupuk dan kebutuhan hidup sampai satu tahun. Barang–barang runah tangga boleh
dibawa.
Sawah ladang, perkarangan rumah yang ditinggal dan tanaman keras ( pohon) juga
diganti rugi dengan wajar.
Uang ganti rugi untuk warga tak diterima seluruhnya tapi hanya 10%, sisanya bentuk Tabanas
atau Deposito berjangka. Satu lagi yang penting yang berhak menerima paket hunian dan tanah
garapan 1,50 ha. Hanya pasangan keluarga, bujangan dewasa pun ikut paket orang tua.
303

Naluri saya akhirnya timbul, jika warga kami tak ada pendampingnya bisa kacau.
Dugaan saya ternyata benar. Tanpa perintah siapa pun berbekal informasi yang saya
terima dari dinas terkait, kuberi penjelasan mereka orang–orang kampung itu. Kukatakan
kepada mereka, hati–hati terhadap orang–orang yang memberi keterangan atau ajakan yang tak
jelas. Jika ada keraguan kepada mereka atau tak mengerti, tanyakan kepadaku. Dan bagi yang
telah cukup dewasa sebaiknya cepat–cepat dinikahkan saja agar mendapat paket kebutuhan
hidup sebagai mana mesttinya. Jika perlu dana biaya nikah tersebut sepanjang saya ada Insya
Allah dapat kubantu.
Betul mereka berbondong ke penghulu dan tak tergiur tawaran trasmigrasi liar. Oleh
orang yang mengael di air keruh. Dan selalu berkonsultasi jika mendengar dan ajakan yang tak
sesuai “Instruksi” Ade.
Selama “berjuang “ itu, tak perduli resiko yang mungkin terjadi dan mengancam aku.
Maka setelah kupikir cukup untuk umum. Aku baru mikir orang tuaku. Yang tak saya relakan
ikut bedol desa.
Maka kubuatkan rumah untuk tinggal biyungku di kota dengan maksud mudah ku
kunjungi setiap saat. Aku minta dikirimi uang tagihanku lagi dari PT. Agung Bhakti sampai
rumah orang tua selesai. Sambil mengikuti proses perpindahan penduduk.
Rupanya ada oknum pejabat desa yang tak nyaman dengan sepak terjang saya. Secara
resmi dipanggil saya ke Kantor Kepala Desa yang sepuluh tahun lalu, Kepala Desa itu tak mau
menanda tangani surat jalan saya ke Jakarta.
Karena tau apa yang harus kusiapkan, maka surat nikah dan surat jalan ku kantongi
sebelum memenuhi panggilan. Betul Kepala Desa itu memanggil saya dan menanyakan

Kades : “ Mas Ade sudah berapa bulan disini, tapi tak pernah melapor kesini, tolong kulihat
surat jalan Mas Ade dan siapa Wanita yang kau bawa pulang itu ?”
Ade : “ Kurang lebih tiga bulan pak, dan ini surat-surat saya!”
Kades : “ Surat jalan ini tak berlaku, karena bukan dari Pamong Praja, lurah Camat
sebagaimana mestinya.
Ade : “ Subtansi surat keterangankan jelas, nama saya dan istri apa masalahnya, dan
bapakkan sudah mengenal saya sejak sepuluh tahun yang lalu?”
Kades : Bukan begitu itu prosedurnya bukan surat dari swasta begini. Dan selama di
Kelurahan ini saudara hanya lapor ke Kepala Dusun bukan kesini itu aturaannya.

Dengan nada agak tegas kujawab Kades yang tak tamat SD itu:
“Pak, kala orangtua di daerah ini tak mengenal nama Ade anaknya Mbah Saimun itu mungkin
hanya lupa tetapi jika kepala desa disini tak kenal saya bisa jadi pura–pura lupa. Lebih
extrimnya “ Murtat.”

Mendengar ucapanku yang keras itu, Kepala Desa itu berang, saya diusir agar segera
meninggalkan daerah kelurahan itu, dan katanya: “Kalau kamu tak bisa kami urus, tunggu nanti
ada yang ngurus kamu biar tau kau.”

Kantor Kelurahan Senin pagi itu gaduh, orang yan melihat kelihatan kikuh, kepala desanya
pergi dengan wajah kusut, aku tinggalkan kantor kecil itu dengan penuh tanda tanya.

Seminggu kemudian dihari yang sama aku mmenuhi panggilan Dan Ramil. Entah apa
maksudnya tapi disurat panggilan itu hanya tertulis “ ada yang perlu dibicarakan.”
Pukul 9.00 pagi sesuai surat panggilan aku lapor ke piket. Mendapat penjelasan katanya
DanRamil sedang meeting bersama muspika. Aku minta keterangan tertulis dari Bintara piket
bahwa aku sudah memenuhi panggilan. Dan piket gugup tetgopok – gopok melapor di tempat
304

meeting sekembali melapor memberi tauku agar datang ke kediaman DanRamil sore pukul 5
sore.
Aku minta ditulis perintah itu dan alamat kediaman juga bintara piket kelihatan agak
berat hati menulis dan selesai.
Pukul 5 sore kudatangi alamat rumah ini. Masa Allah ternyata rumah mbak Panti teman SMP
kudulu. Kusalami orang tua yang sedang diteras itu, ternyata ibu dan bapak mbak Panti. Maka
begitu tau namaku, beliau berdua dengan ramahnya mengajak aku masuk. Selesai shalat
Maghrib, maka bersama plus seorang yang belun kukenal dan mengenalakan diri Hardi dan
kukenalkan namaku Ade. Mendengar namaku pria yang mengaku Hardi terlihat agak gugup ,
maka setelah makan kami berdua berpisah tempat ngobrol. Dan tuan rumah ketempat lain.
Mulailah aku berdua dialog;
Hardi : “Maaf pak. Masih hubuangan keluarga ya dengan Mbah dan apa bapak tadi yang
datang ke kantor Koramil.
Ade : “Hubungan sedarah sih tidak. Tapi hubungan sejarah iya. Karena beliau dulu masuk
ABRI, sejarah dimulai dirumah kami. Ya jaman gerilya dulu menjadi kantong pasukan
Sudirman. Ya saya masih kecil, itu cerita orang–orang tua. Dan mbak Panti dan Mas
Tono teman SMP ku dulu dan kami layaknya keluarga pak. Tapi lama tak saling
ketemu yaah baru ini sejak tahun 1963 ... ya tahun 63!!”

Mendengar uraianku singkat tadi Pak Hardi yang dugaanku Komandan Korramil itu tertegun
sejenak. Selanjutnya, dengan hati – hati dan mulai meneruskan pertanyaan sehubungan dengan
surat panggilan itu:
Dan Ramli : Pak Ade sudah lama meninggalkan kampung dan kapan pulang kampung ?
Lama sejak di Kalimantan.
Ade : “Tujuh tahun di Jakarta sembilan tahin lalu, dan dua tahun ini di sanggata
Kaltim, tapi sudah 2 x pulang kampungselama di Kaltim.
Dan Ramil : Apa pak Ade saat pulang tak pernah lapor kades?
Ade : “Lapor resmi seingat saya tak pernah ada keharusan. Tapi semuakan sudah
lama akrab, mask harus resmi-resmian segala. Toh hampir semua didesakami
pulang merantau tak ada yang melapor. Kenappa dengan saya?
Kalau begitu Mas Hardi memanggil aku, atas laporan kepala desa kami ?”

Mendengar jawabanku yang bernada agak keras dan protes, dan Ramil itu tampak sedikit segan
denganku. Atau karena juga Komanda yang masih muda itu merasa cucunya yang punya
rumah yang ditinggali, maka sambungnya.
“ Pak Ade mohon maaf, kami hanya menjalankan tugas, melayani laporan masyarakat dan
hanya ingin klarivikasi saja. Dan rasanya sudah jelas dan selesai sampai disini saja. Namun
demikian jika Pakade memerlukan KTP, biar anggota kami yang mengutuskan terima kasih
kunjungan bapak, maaf menganggu.”

Ade : “Oh Ya juga aku mas minta maaf sekapku yang agak emosi sebetulnya, saya tak
mempersoalkan panggilan Mas hardi, tapi kenapa kok lapor ke Koramil. Kalau memang
prosedur semestinya ke Polsek. Itupun jika saya melanggar pidana. Karena saya masih
penasaran, tolong , yang paling urgen apa, mengapa ke Koramil itu saja mas, biar tuntas kalau
sampean menhendaki “klarifikasi.” Biar aku tau motib sebenarnya.”
DR : “ Oke pak ade, Pak Tarno lurah itu mengatakan bahawa pak Ade pernah ditahan
jaman itu, itu saja mumgkin yang perlu di klarifikasi?”
Ade : “Ooo itu to,ha , ha begini hampir dua bulan saya diproses tapi setelah ada surat
klarifikasi dari pak Hadi Wilyono Kades Carteter dan diperkuat Pak Camat, Pak Pram
dan Dan ramil waktu itu ya mbah kung tadi (Pak Sogimin) semuannya selesai. Bahkan
305

pakde Pram waktu itu menyesal dan minta maaf juga Eyang Hadi Wiryono. Dan
sekarang pun beliau itu masih segar.ayo jika pak Hardi saya ketemukan kepada orang –
orang sepuh itu. Besok tak temani pak. Biar pak Hardi dan lurah itu puas. Ya saya
herani yan ingin dicari apa lurah desa itu. Peristiwa sudah sepuluh tahun kok diungkit
tak bener.maka ketika kuminta tanda tangan saat aku mau ke Jakarta dia lari. Biar ku
hajar nanti biar tau hukum.”
Mendengar amarahku, mbah kung nimbrung duduk satu meja dengan kami. Pak Hardi kalut,
terus menerus minta maaf. Kedatangan mantan Dan Ramil th 67 an itu dapat meredakan
situasi. Beliau membenarkan penjelsan saya dan tolong tak diungkit lagi. Nasehat beliau : “ Nak
hardi., untuk diketahui saja, nak Ade ini sejak kecil orangnya keras, wow nak bilang anakku
Panti guru saja jika ngomongnya salah dikritik kok betul nak. Padahal jaman itu guru
dihormati, tapi jika dinilai melenceng tak bisa lalai dari kritikan Ade. Tapi ya hanya mengkritik
saja, membuat masalah seingat saya tak pernah kok. Yaitu jika tersentuh pantangannya atau
yang tak disukai. Tak peduli berhadapan dengan siapa langsung “jedor” Tapi seingat saya dia
orangnya konsekuen kalau merasa salah juga minta maaf kok: bener nak, oke malam nginap
disini nak. Itu kamar Mas Tomo kosong besok baru pulang.”

Aku kagum mbah Sogi, dan menyesal ternyata aku tasi terlalu keras hingga sampai
kedengaran beliau. Yang saya jadi heran Parti temanku itu ternyata juga lapor tentang kelakuku
dulu disekolahan?
“ Suka melawan walaupun gurunya. Untung mbah Sogi tak bilang “melawan” tapi diperhalus
mengkritik ... dasar orang bijak.”
Walaupun di minta nginap, malam itu pukul 9.00.aku pulang juga besok malamnya pak
Kades, Pak Toyo, kang Midi, kumpul di rumahku. Mereka lega, semula khawatir jika aku tak
pulang masih trauma peristiwa 10 tahun yang lalu.
Dua bulan setelah itu, semua warga dan harta yang bisa dibawa diberangkatkan ke
Sitiung. Kuantar mereka sampai Transito bersama eyang Hadi W Ketua DPRD Wonogiri.
Yang dulu Lurah Carteterku. Selamat jalan semoga tanah seberang tak kau jumpai tiwul lagi.
Doaku dijabah Allah mereka hidup makmur.
Nah setelah delapan bulan kubelaai kampung halamanku. Rumah tinggal untuk
biyungku selesai. Dasar dari kampung semua hasil bumi pun disimpan dikamar.aku biarkan itu
harta beliau. Ayam juga, kucing juga, kecuali sapi dan kambing yang dijual.
Setelah orang tua cukup papan dan pangan, kutinggal lagi ke Kalimantan di jemput
sahabatku, Sadimo PT. Agung Bhakti itu. Besoknya aku dipanggil ke kantor PT. Agung
Bhakti. Diluar dugaan oleh Pak Mardandi, Dirut PT. Agung Bhakti, aku diminta menjabat Site
Manager Proyek–proyek Sanggata. Padahal tagihanku ke PT. Agung Bhakti Rp. 3.500.000
belum dilunasi.
Aku tak kuasa menolak karena merasa “berhutang budi” selama aku stanby dikasih
borongan, yang berhasil mendongkrak ekonomiku, juga orang tuanku. Dengan “SK” 11 Maret
1967. Aku mulai bekerja tampa fasilitas.mobil dinas. Dengan jabatan itu, ku benahi tata kelola
proyek–proyek di Sanggata yang mengerjakan hampir 100 orang pekerja dari Balikpapan.
Dengan moto “ Belajarlah ke saya kalau mau jadi koruptor,” karyawan staf proyek
rupanya malah berpikir 2x kalau mau curang. Sembilan belas bulan menjabat proyek hampir
selesai 100 %. Aku lengser. Kuserahkan “Super Semar 67” ku. Dan minta uangku yang Rp.
3.500.000 dulu dibayar kapling tanah 15 x 25 M2.
Dan bangunan “semi Permanen di .... 7 x 9 m2 senilai Rp. 1.250.000.
Sebelum kutempati kuantar mama mertuaku ke Sabah Malaysia sambil cari pekerjaan. Tapi
bukan TKI abang iparku menjamim tapi diteskan dulu ke sebuah “Company” ( badan usaha).”
Kebun kelapa sawit di Sabah. Setelah mufakat, aku ditawari gaji awal Rp. 25 ringgit Malaysia
sebulan, setarahampir Rp. 700.000. Aku mufakat ke Balikpapan ngurus paspor di kantor
306

imigrasi masa Allah repotnya, macam–macam syarat sudah kepenuhi. Tak berhasil juga.
Konon minta uang Rp. 480.000 plus. Dua orang bersama istri. Tak ada uang, tak ada
keberanian nyuap. Akhirnya hampir dua bulan aku menyerrah untuk nyogok.
Kupikir cari pekerjaan borong upah kerja dulu di Balikpapan. Atas informasi Sadimo
PT. Daya Turangga kudatangi dengan nglamar. Aku disuruh menunggu di Ruang Tamu
karena pukul 9.00 bagi bos belum datang. Muncul pria brewok membawa tas Ecalca,
kupandang dia juga melihatku saling tatap mata saling ingat, ternyata temanku, seniorku d
Jakarta dulu, Mas Juwito Marti Kusuma.
Aku diajak masuk ke ruang direksi,ngobrol tak lama Mas juwito pamit ke Bunyu,
dengan pesan Rabu yah, pukul 9.00 malam saya diminta datang di Mirama Hoel kamis pagi
menghadap Kepala Divisi Ir. Kiki W. Wawancara ala kadarnya. Bulan Maret 1979 aku
diangkat sebagai Chep Supervasior. 6 bulan kemudian ditunjuk sebagai pejabat sementara Site
Manager. Tiga bulan kemudian tepatnya tanggal 01 Maret 1980 diangkat menjabat Site
Manager.

Aku menyadari, jabatan itu tak lepas dari peran pak Juwito dan mas Sudarmono yang sejak di
PT. Teratai Emas Jakarta, dulu sudah menunjukkan perhatian khusus kepadaku. Maka
walaupun sebetulnya aku kepingin usaha sendiri sebagai pemborong upah kerja dari proyek
Telindung itu, demi menjaga hubungan baik yan sudah lima tahun berpisah.

Dengan rumah sederhana, hidup sederhana, dibagian masyarakat stalkuda yang


sederhana, aku mulai menata rumah tangga yang selama ini kuabaikan. Kumulai dengan
merapikan rumah, lingkungan dan bermasyarakat, yang delum pernah kulakukan.
Tujuh tahun di ibukota Jakarta, 5 tahun keluar masuk hutan sampai ke Malaysia,
membuat aku lupa bahwa ada anak yang harus kubiayai, dua orang tua yang harus kunafkahi di
Wonogiri dimana aku dilahirkan.

Kulupakan mbak Harjuti juga mbah Kung ku entah dimana, demikian pula segala
ijazah dan surat-surat penting lainnya. Yang kucampakkan di bak sampah rumah Yu Marno di
Berland. Karena perkawinanku dengan wanita bugis itu tak ada tanda-tanda punya keturunan,
maka kupelihara si Janggo kecil keponakan istriku yang baru 4 tahun usianya itu, sebagai
pelengkap rumah tangga kami.
Awal tinggal di Stalkuda, menuju ke rumah kami gang kecil merupakan satu – satunya
akses ke rumah, hanya jalansetapak ditumbuhi rumput. Ada tanjakan licin jika hujan, lebarnaya
pun hanya sekitar satu meter lebih.
Air bersih masih menggantung kan hujan. Itupun harus dihemat hanya untuk masak
dan minum. Umtuk mandi harus menyeberang jalan K.S Tubun sekitar 200 M. Dan harus
antri karena banyak yang membutuhkan air empang itu. Jika tak mau antri masyarakat
sebagianke Lapangan Golf. Disana ada sumber air, tapi jaraknya lumayan jauh sekitar 1 km.
Itupun harus menerobos pagar kawat berduri, sudah barang tentu di usir jika kwtauan security
lap golf.
Situasi itu membuatku berpikir, membuat sumur dibawah pohon rindang. Maka
kukerahkan warga setempat bergotong royong. Jadilah sumur umum sederhana tak jauh dari
pemukiman kami, sayang airnya lebih bersih dari yang dipancuran empang itu.
Rupanya ide dan sepak terjang saya selama bermasyarakat menjadi perhatian warga
setempat. Yang saat itu tata tertib bermasyarakat belum terkordinasi sebagai mana mestinya.
Mushola belum ada, Masjid pun disekitar kami masih jauh, jadi Masjid Darul Qahar di Dam
dan Al Iklas di Gunung Bahagia, juga belum ada Lurah baru ada kepala kampung yang melalui
pemilihan.
307

Bulan Juni tahun 1979 banjir besar melanda kampung damai. Jembatan utama yang
menghubungkan kota ke bandara dan Sepinggan lumpuh sementara. Konon banjir bandang itu
terbesar sepanjang sejarah di Balikpapan.

Setelah itu ada penataan kehidupan bermasyarakat, dibentuklah pengurus RT yang selama ini
dijabat Carterker. Yang meliputi wilayah dari jembatan batas damai stalkuda sampai batas
jembantan sungai Nangka yaitu Stalkuda, Gn. Bahagia yang terdiri dari lima RT yaitu RT. XI A
sampai dengan XI E.

Tanpa saya duga, tiba – tiba atas mufakat 5 orang tokoh warga setempat aku didaulat
menjadi ketua RT XI A Kampung Damai, Kecamatan Balikpapan timur. Dengan jabatan itu
aku mulai menata lingkungan warga dan adminitrasi kependudukan. Setiap rumah kuberi
nomor terbuat dari triplex yang kubawa dari proyek yang tak terpakai.
Kudata nama – nama Kepala Keluarga dan jumlah Penduduknya. Gang kecil yang selama ini
tak dapat dilintasi sepeda motor,kami lebarkan menjadi 2 mater yang selanjutnya kami beri
nam Gg. Bhakti. Setelah itu kuusulkan semenisasi gang.
Hidup bermasyarakat mulai tertata, ketertiban berangsur – angsur kelihatan, berjudi selama ini
masih membudaya setelah aku menjadi ketua Rt XI A ku deklarasikan.
Kalau terpaksa masih ada judi disekitar kami. Jangan sampai saya ketahui entah bagaimana
caranya kuserahkan penduduk. Lambat laut berjudi mulai berkurang bahkan hampir hilang
kecuali sembunyi – sembunyi barangkali. Saya tegas, jangan sampai melihat atau
mengetahuinya. Ironisnya pemerintah malah menjadikan masyarakat lewat SDSB & Porkas.
Kukritik meelalui koran memasyarakatkan SDSB dan Me SDSBkan masyarakat.

Pada awal April tahun 1981, suatu sore sebagai Ketua Rt XI A aku didatangi seorang
Babinsa Koramil setempat. Memberitahu, bahwa di tanah perkaranan Pak Loren yang sedang
membangun rumah, ditemukan sebuah Bom oleh penggali tanah. Menurut informasi, Babinsa
tadi bom tersebut masih aktif. Maka masyarakat diminta hati-hati dan dilarang mendekat dalam
radius 10 M, termasuk pekerja bangunan yang lagi membangun rumah Pak Loren.
Ternyata sampai satu bulan, bom tersebut belum di evakuasi yang berwajib. Maka
kulaporkan ke Kodim. Pihak piket di Kodim tak memberi jawaban yang memuaskan katanya
petugasnya sedang tak ada di tempat dinas ke Tarakan.
Maka kutilis di surat pembaca Majalah Tempo yan judulnya :

“ Dicari Pawang Bom “

Pada suatu sore awal Maret 1981, kami kedatangan


Seorang tamu anggota ABRI yang memberitahukan
bahwa ditempat orang membangun rumah dilingkungan
kami ditemukan bom tua yan diperkirakan peninggalan
Belanda. Menurut tamu tadi bom tersebut masih aktif.
Hingga kami diminta menjaga dan mengawasi sampai
adanya penanganan yang berwajib. Maka 15 Maret
1981 kami melaporkan kepada yan berwajib yakni
Kodim setempat ( Balikpapan ) karena kami awam
mengenal penjinakan bom. Namun, sampai surat ini kami tulis
barang tersebut ( bom ) masihtetap tinggal ditempatnya.
308

Oleh karenanya barang diapa nerminat membantukami, khususnya pembaca Tempo yang
mempunyai pengalaman menjinakkan bom, bantulah kami baik advis atau langsung ke tempat
barng tersubut

Soeladi E.S

Dua minggu kemudian, tepatnya tgl. 18 April 1981, aku didatangi seorang perwira
ABRI dari Kodim Balikpapan. Kedatangannya membawa majalah Tempo terbitan 18 April.
Setelah basa basi sebentar aku di intrograsi di ruang kerjaku yang sederhana. Dan sedianya
aku akan dibawa ke Kodim dihadapkan kepada Dandim. Aku menolak dengan alasan perwira
tadi tak membawa surat penggilan.
Rupanya perwira tadi kecewa, maka pulanglah bersama empat anggotanya yang juga
berseragam lengkap.
Tiga hari kemudian, perwira yang tempo hari memanggil saya itu kembali tak pakai
seragam militer lagi juga tanpa anggota, bicara tak seram seperti kedatangan pertama, dan
meminta saya menghadap komandan Kodim dirumah dinas, juga tak ditentukan harinya.
Setelah kupatuhi undangannya ke rumah DanDim aku di wawancarai
Dandim : “ Saudara yang menulis di Tempo ini ya?
Ade : Iya Pak!
Dadim : Apa saudara punya maksud tertentu, ingin mengkreditkan Kodim?
Ade : Tidak pak,maksudnya tak seperti termuat di Tempo itu saja, dan saya tak
begitu mengenal Kodim secara jelas. Tak mungkin saya mendiskredikakan.
Saya hanya lapor ke piket dan tak ditangagapi dengan serius begitu saja.
Dandim : “ Apa saudara tidak tau bahwa Majalah Tempo dibaca oleh orang – orang elit
di Indonesia ini, bahkan diluar negeri percaya itu ?
Ade : “ Mungkin juga pak, kan majalah Tempo majalah Nasional dan isunya Enak
dibaca dan perlu untuk menambah wawasan. Tapi jika hanya dibaca orang elit
saya agak ragu. Saya bukan orang elit tapi bacaan saya sejak lama tahun 1975
majalah Tempo.
Dandim : “ Saudara mau meralat tulisan itu kan Bomnya sudah diambil? Lagi pula
mengapa kamu melapor ke Kodim bukan ke Polres?’
Ade : “ Lho, pak malah yang ke rumah ketika itu malah orang Koramil, sayakan
hanya menindak lanjuti saja dan menanyakan kan ke Kodim?
Lagipula, surat pembaca kalau sudah dimuat di majalah atau koran yang
bertanggung jawabkan Pemimpin Redaksi mengapa saya yang menulis
dipersoalkan?
Jika Kodim kebertan kan punya hak jawab.
Dandim :“Saudara Ade darimana, kalau boleh tahu maksudnya kelahirannya?”
Ade : Dari Wonogiri pak, Jawa Tengah
Dadim : Wonogiri Solo
Ade : “ Ya Pak
Adandim : “ ya Allah mas podo–podo Solo wae mbok ya ngago suba sito to mas. Besok
maneh yon ana kaya ngonoiku telephon wae rakiso to mas.

Akhirnya Dandim menurunkan nada bicaranya dengan bahasa jawa yang artinya
Ya Allah mas sam –sama dari Solo saja, kan lebih enak jika pakai cara yang enak. Besok lagi
kalau ada seperti itu telepon sajalah kan lebih nyaman.
309

Pukul 5.30 dialog usai aku pulang dengan perasaan tanda tanya kok rasanya aku selalu
menjadi sasaran aparat tentara. Padahal cita - cita saya dulu ingin menjadi anggota ABRI.
Bahkan tinggal dan ditempa di komplek ABRI selama di Jakarta?
Oh ya saya masih ingat kata Mas Not: Ade selama ini memang langgan Koramil tak di
Wonogiri tak di Jakarta nggak bosan dia? Apa Karena lahir di jaman gerilya itu ya?
Mulai saya sadari bahwa saya menjadi perhatian masyarakat, demikian juga aku mulai menjadi
bagian masyarakat yang selama ini belum berbuat banyak untuk masyarakat. Aku juga ingat
kata – kata Pakde Rudi dan Komwil 73 Glodok, ketika beliau pesan sebelum berangkat ke
Maluku menjabat sebagai Kasdak Maluku th 1979 pesan beliau : “ Mas, sering kunjungi
Embah dan adik Gembong, dirumdin Jati Petamboran sebelum Gembong lulus SMA. Kedua,
berjuang untuk bangsa dan negara itu tak harus jadi tentara, dan berpangkat tinggi. Jadi waraga
biasa pun sepanjang berguna bagi masyarakat banyak juga bermartabat itu juga hidup mulia.
Sebab posisi Ade ibarat bahan celana , bahannya bagus, tapi Cuma satu meter. Jadi tak usah
memaksakan diri ya Mas !!!
Maka seiring dengan perkembangan jaman dan usaha yang sudah menapak 33 tahun, aku
memutuskan menekuni usaha bidang rancang dan bagunan. Rasanya sudah ingin merintis
usaha sendiri, tapi belum punya modal dan badan usaha. Alhamdullilah selama karirku
menjadi pemborong bangunan,walaupun kecil – kecilan aku tak pernah ngangur.
Namun demikian aku juga aktif bermasyarakat walaupun sebatas lingkungan kecil. Maka yahun
1983 aku ditunjuk menjadi Ketua Lingkungan Stalkuda Balikpapan. Aku juga mulai aktif di
Persiba Balikpapan menjabat Komisi Pertandingan saat Persiba masih Divisi I. Perserikatan
sampai 4 periode yaitu 16 tahun . tahun 1985 perubahan tatanan pemerintahan desa yang dulu
lingkungan menjadi RW. Aku pun menjabat menjadi Ketua RW 008 Stalkuda sampai Tahun
2002 17 tahun lamanya. Tahun 1981 sampai tahun 1991 disamping Ketua RW aku didaulat
warga muslim di stalkuda, untuk membagun kembaki mMasjid Ar _ Raudhah yang pada tahn
1981 kami dirikan secara semi permanent.
Selama menjadi Ketua RW 008 Stalkuda Kel. Damai yang menges ankan adalah
100hari pertama, tokok warga bertanya apa targetnya. Karena pertanyaan tadi spontas saya
gugub juga. Tapi dalam pertemuan itu saya katakan : “ RW 008 Stalkuda harus bebas dari
kegiatan maksiat, yang terkenal ketika itu adalah Wisma Arta. Saat mendengar pernyataan saya,
lebih banyak yang mencibir tak percaya karena Wisma Arta yan terkenal ketika iru milik
seorang Purnawirawan CPM dan sudah lama keberadaannya. Bahkan bebebrapa kali usaha
ditertibkan tak pernah berhasil. Dan ketua RT yang ada di wolayah kami sering adu mulut
tentang keberadaan temapat maksiat tersebut.

Maka tahun 1985 tahun pertama aku menjabat Ketua RW, aku menyurati Walikota
Balikpapan Bapak Syarifudddin Yoes. Membaca surat saya yang agak pedas, Walikota
menginstruksikan ke Muspika Balikpapan Timur.
Dalam rapatnya dikantor Kecamatan Ketua Muspika tanggab dan diluar dugaan aku
selaku Ketua RW 008 Stalkuda dipanggil Dan Ramil. Aku berpikir kok dan Ramil yang
memanggil saya ?
Tak mau membuang waktu kupenyhi panggilan itu. Aku sudah pengalaman di panggil pejabat,
untuk itu aku siap menghadap resikonya. Maka setelah dikantor Koramil aku langsung diajak
masuk ke ruang komandan, rtrjadilah dialog:

Dan Ramil : Pak RW, aku telah membaca surat Pak RW yang ditujukab ke Walikota dan
tembusannya ke Kmuspika dan kemarin dirapatkan di kantor muspika. Yang
tak enak dibicarakan dalam surat itu tentang kegiatan pelacuran dandi baeking
aparat. Apa tak ada bahsa yang lebih sopan selain kata pelacuran ?
310

Dan mengapa mengait – gaitkan aparat , punya bukti jika ada aparat yang
membaeking? Jangan sembarang menulis !!!!
Ade : Pak jika kata Pelacuran tidak sopan lantas pelacurnya sendiri gimana. Toh
semua tau bahwa pelacuran itu apa, mengapa pakai dibungkus dengan bahasa
halus . Guru saya menganjurkan katakanlah yang sebenarnya walaupun itu pahit.
Toh surat saya kutunjukan orang - orang yang tetap bukan disurat pembaca
yang aneh yang mau ?

Tentang bukti keterlibatan aparat, saya yakin saja adanya oknum aparat yang terlibat.
Peribahasa tak ada asap jika tak ada api. Namun jika bapak minta bukti, pertanyaan saya
mengapa Bapak Dan Ramil yang minta pembuktian segala. Dan juga kenapa saya yang
dipanggil ke sini, malah seolah – olah bapak keberatan adanya oknum aparat yang saya sinyalir
itu. Kamikan hanya menghendaki wilayah kami tak ada kegiatan pelacuran, khususnya RW
008, dan menyurati pejabat yang berkompeten. Daripada warga ramai – ramai berdemo”
bubarkan pelacuran” yang menimbulkan anarkis

Dan Ramil : Membubarkan kegiatan seperti wisma arta itu mas, tak semudah membalikkan
telapak tangan melalui proses sosialisasi dan ke lokasi itu memerlukan waktu.
Ade : Kan sudah lebih sepuluh tahun, kalau tak pernah dimulai ya tak pernah selesai
saya baru menjabat ketua RW 008 sebulan yang lalu maka saya mulai melalui
surat kami ke yang berkompeten ?

Rupanya dan Ramil ketika itu, tak begitu suka dengan argumen saya. Akhirnya saya ijin pulang
dengan rasa semangat, sedang Dan ramil terlihat galau.

Alhamdullilah tak sampai 15 hari, ketua RT 035 minggu sore menemui saya. Melaporkan
bahwa malam minggu pelacur – pelacur yang selama itu berada di Wisma Arta telah diangkut
pergi entah kemana. Dan mulai Agustus tahun 1985 Stalkuda yang selama ini terkenal Wisma
Arta menjadi sepi. Sampai sekarang pun menjadi hutan kecil di tengah kampung kami.
Pembangunan mulai marak. Bekas kuburan Belanda sebongkar dijadikan tanah
pemukiman oleh PT. Mulawarman Bahkti. Jalan masuk kampung mulai dibuat. Sengketa
tanah mulai terjadi disana sini. Oknum – oknum mafia tanah mulai bermain, dengan oknum
aparat Kelurahan dan Kecamatan.
Saking nafsunya, oknum – oknum pejabat itu sampai membentuk RT sendiri berkolusi dengan
orang – orang Pt. Mulawarman bakti ( MB ) membentuk RT sendiri tanpa kordinasi dengan
ketua RW 008 yaitu Rt. 037. Ketua Rtnya berKTP Jl. Borobudur Kel. Gn. Samarinda
Balikpapan Utara.
Lucunya Pengurus RT Tadi terdiri dari orang – orang PT. MB tanpa penduduk, tanpa wilayah
yang jelas, hanya semata – mata ingin mengkapling – kapling tanah yang klaim milik PT. MB
dengan stempel RT. 037 dan stempel Lurah Damai.

Maka keberadaan Rt. 037 tersebut saya protes habis – habisan danujung – ujungnya saya
selaku Ketua RW . 008 Stalkuda di panggil Camat Balikpapan Timur. Untuk di beri
penjelasan tapi saya tolak mentah – mentah. Dengan alasan tak sesuai dengan Kemendagri
tahun 1983. Saya dikrouok tiga unsur orang PT. Mb, Lurah Damai dan Camat berserta
stapnya denganargumen masing – masing
Camat : Pak RW, apanya tidak syah, kanada berita acaranya yang dihadiri tokoh
masyarakat setempat diadakan di SD 045 ini ada absen daftar hadir.
Ade : Bohong itu psk, tsk pernah ada itu absen tanda hadir itu dalam rangka
memberi nama jalan ke wilayah RW kami yang belum ada namanya. Sesuai
311

Kemendagri no. 7 Th.1993 yang menjadi Ketua Rt harus penduduk setempat


dan beranggotakan warga ( penduduk ) seditnya 40 keluarga ( KK )
Lurah Damai : RT bisa dibentuk mas, jika dalam keadaan darurat. Karena saat itu disitu
belum ada Ketua Rtnya, maka lurah dapat membentuk RT disitu.
Ade : Darurat, memang kita dalam situasi keadaan Darurat apa dasar hukumnya.
Lagipula yang membentuk kepengurusan Rt sesuai Mendagri Ketua RW bukan
Lurah. Lurah hanya mengetahui dalam Berita Acara pembentukannya. Untuk
mendapat SK dari Camat itu aturannya pak.

Suasana menjadi panas, situasi tegang, maka Lurah baru ketika diminta Camat memberi
pendapat hanya menasehati saya agar sabar biar Kepala panas hati tetap dingin katanya. Giliran
bicara diminta dari PT MB yang saat itu dihadiri Ditekturnya Pak Warso.
Warso : Maaf Pak RW, adanya Sofyan penduduk Jl. Borobudur yang jadi Ketua RT semat –
mata hanya dia yang tau medan lapangan tanah PT. MB didaerah siru.
RW. 008: Pak, RT itu kependekan dari Rukun Tetangga, bukan Rukun Tanah. Kalau cara
berpikir bapak begitu di Balikpapan ini diperlukan beribu – ribu RT tak benar pak pendapat
itu.

Karena saya ngotot bergeming tak mau manerima. Maka musyawarah di kecamatan itu bubar
tanpa keputusan apapun. RT yang ada tak anggab liar, tak legal karena tak sesuai Kemendagri.
Karena sikap saya yang lugas dan tegas tadi, menimbulkan pro dan kontra. Bahkan ada
yang mengatakan, Ketua RW 008 susah diganti karena warganya menggangab kebijaksaan
RWnya selalu pro rakyat, maksudnya warga.
Maka PT. MB berpikir dua kali kalau ada keinginan berkolusi dengan Ketua RW 008.
Berkat kegigihannya tanah rencana untuk membangun masjid yang di klaim PT. MB sampai
sekarang berdiri sebuah masjid yang permanen dengan sertifikat lengkap dengan IMBnya tetap
exis bahkan bangunan Sekolah Dasar pun sebetulnya bagian tanah masjid sekarang berdiri
permanen pula.
Setelah warga RW 008 yang terdiri dari 5 RT menata lingkungan sosialnya, maka
mendapat penghargaan RW terbaik atas rekomendasi LKMD & Lurah ketika itu.
Ada lagi tantangan tugas yang dihadapi ketua RW ketika itu 5 warga RT. 035
melaporkan bahwa Rukun Kematian yang telah berdiri sejak th 1979, hampir Kolaps Ketuanya
pindah domisili, bendahara kehabisan uang kas. Uangnya konon dipinjamkan orang tak bisa
dikembalikan, sisanya Rp. 135.000,-

Pengurusnya yang semestinya sudah ada pemilihan kembali sudah lima tahun tak ada
musyawarah anggota pun tak membayar iuran wajib atas laporan tokoh masyarakat tadi kucoba
memanggil bendahara ternyata benar.

Ketika itu begitu mengetahui keadanya, aku sendiri binggung karena rukun kamatian
stalkuda tadi tak rapi aturannya. Secara organisasi pengurus sudah demisioner. Anggota pun
sudah kehilangan haknya karena sudah lebih dua tahun tak membayar iuran wajib. Maka
setelah masyarakat yang diwakili 5 orang tokoh tadi menyerahkan Ketua RW untuk
menyelamatkan Rukun Kematian Stalkuda. Kususunlah Rencana AD/ART, setelah
musyawarah Rencana AD/ART aku di daulat menjalankan AD/ART dengan demikian 2 x
masa bhakti menjadi Ketua Rukun Kematian yaitu tahun 1988 s/d 1993.

Alhamdulillah setelah saya buat AD/ART sampai tahun sekarang Rukun Kematian masih
berjalan sebagaimana mestinya.
312

Tahun 2002 organisasi yang dinamakan RW di Balikpapan ditiadakan. Maka tahun itu pulalah
aku berhenti menjadi Ketua RW yang kujalani sejak tahun 1983 . yang menjadi PR saya dalam
sisa hidupku di Stalkuda adalah Masjid Ar – Raudhah dan Rukun Kematian.

Khususnya untuk masjid Ar – Raudhah saya pernah berujar Bahwa “ telah kuwakaf
Ilmu pengetahuan saya di bidang organisasi dan kontruksi untuk Masjid Ar – Raudhah.
Walaupun sering difitnah berkat nasehat sahabat dan keimanan saya yang saya miliki saya
hadapi saja.

Banyak bangunan yang saya rancang, yang paling menjadi monumen bagi saya adalah masjid Ar
– Raudhah. Di lingkungan saya menghabiskan sisa hidupku. Karena sejak dibangunnya tahun
delapan puluhan aku dipercaya oleh masyarakat untuk mengrancang dan membangunnya.
Sepuluh tahun kemudian yaitu tahun 1991. Saat aku menjadi Ketua RW. 008 Stalkuda, berkat
ridho Allah dan dukungan 5 RT di wilayah kordinasi RW 008, Stalkuda. Dua tahun masjid Ar
– Raudhah berhasil dibangun kembali dengan permanen. Di mulai uang pemberian bapak
Hermain Okol, Sekwilda Balikpapan tahun 1991.
Kurancang dengan konstruksi modern tapi penampilan klasik, menjadi dua lanatai. Tahun
2009 atas permintaan H. Sutdjidja Ketua Pengurus saat itu, kukembang lagi sisi kiri diatas
tempat wudu.
Disebelah kanan allah memberkahi, tanah sengketa antara Ibu Ismiyati, istri Alm Sarjono yang
mewakafkan tanah pertama tahun 1979. Mewakafkan lagi tanah seluas + 340 m2. Untuk
lapangan parkir. Karena perlu bangun TPA. Atas prakarsa H. Syafran tahun 2015 ditunjuklah
Ir. Heru Bintono untuk mengrancang dan membangun gedung TPA. Karena dinilai selama
kepemimpinan H. Syafran bangunan tak disetujui warga masyarakat. Diantaranya bangunan
panggung yang menimbulkan prokontra.
Maka pengembangan gedung TPA di Moratorium dan di bentuklah Panitia Pembangunan
Pemgembangan Gedung TPA Ar – Raudhah di ketuai H. Imam ruhani, dikepanitiaan itu aku
ditempatkan sebagai penasehat.
Setelah panitia terbentuk, musyawarah pertama diadakan di kantor PT. Pupuk Kaltim
dipimpin langsung oleh ketua panitia. Dalam musyawarah itu saya tak banyak mengambil peran
karena hanya penasehat, kecuali tentang jumlah anggota panitia yang saya kritisi karena
jumlahnya hampir 55 orang,. Padahal praktisnya cukup 5 orang lapangan.
Dalam musyawarah itu, setelah masuk ke acara bentuk gedung yang akan dibangun
ditayangkanlah rancangan kolega saya Ir. Heru Bintono. Tampaknya rancangan itu tak menarik
keberapa tokoh yang mengetahui estetika rencana gedung TPA.
Salah satu tokoh masyarakat menanyakan ke saya yaitu H. Bambang D tentang pendapat saya.
Tapi saya ,menolak mengomentari, karena melanggar kode etik sesama kolega. Namun saya
katakan, bahwa saya pernah menrancang gedung yang dimaksud. Tapi kurancang sebelum ada
bangunan panggung yang menjadi polemik itu dan saya meminta waktu karena desain belum
selesai akan saya selesaikan dulu.
Musyswarah ke dua ( II ) rancangan saya ditayangkan di layar secara aklamasi peserta
musyswarah langsung menyatakan setuju. Maka di deklarasikan untuk dibangun. Untuk itu saya
diminta menghitung dan mengurus IMBnya untuk proposal mencari dana. Dibantu oleh
anggota Widorokhandang grup dan beberapa teman kolega saya IMB terbit.
313

Musyawarah III Panitia Pelaksana Proyek lega dengan terbitnya IMB langka selanjutnya
mencari dana. Baik ke Pemerintah ataupun swasta, juga orang perorang. Dana mulai
terkumpul, langkah selanjutnya siapa pelaksanannya ?
Musyawarah mufakat saya yang memimpin pelaksana proyek. Kapasitas saya sebagai
penasehat, memberi masukan agar judul proyek diubah. Yang semula Proyek Peluasan
Gedung TPA Ar – Raudhah, menjadi Proyek Pengembangan Masjid Ar - raudhah dengan
alasan agar nama proyek mantab sebab jika perluasan gedung TPA, penilaian saya tak tepat
sebab gedung TPA belum ada, kok dikembangkan. Lagi pula donatur lebih antusias
menyumbang pembangunan masjid dari pada TPA. Dengan argumen itu musyawarah setuju.
Maka panitianya bernama Panitia Pelaksana Proyek Pengembangan Masjid Ar – raudhah.
Dengan disingkat ( P4MA )
Hampir semua masalah sudah dibicarakan dan disepakati maka ketua panitia berikut ketua
seksi melapor bahwa proyek akan segera dimulai yang dipimpin “Ade” saya tak ikut
menghadap ketika itu, karena status saya bukan Panitia. Tapi perorangan yang ditunjuk Ketua
Panitia dengan surat penunjukkan.
Dari pertemuan malam itu tak ada keputusan apapun. Diluar dugaan semua yang hadir, yang
muncul penolakan dan unsur fitnah. Ketua Ta’mir tak setuju jika yang memimpin pelaksanaan
proyek “ Ade” dengan alasan Ade pernah korupsi proyek sebelumnya. Yang mendengar
ucapan itu konon bak disamber petir disiang bolong. Maka sorenya salah seorang diantara
panitia yang hadir menyampaikan ke saya, dengan penuh perasaan gelisah meminta saya sabar
menghadapi fitnah tersebut.
Saya terkejut bukan kepalang dengan keterkejutan yang luar biasa itu, saya membuka dokumen
yang mengyangkut fitnah itu. Semula orang itu menolak membaca dokumen yang saya
sodorkan karena dia percaya atas reputasi saya selama ini. Tapi atas desakan saya akhirnya
orang tersebut membaca dengan seksama bahkan heran, ternyata laporan pertanggung jawab
saya yang telah berusia tujuh tahun lengkap dan angkutabel.
Hari berikutnya dokumen pertanggung jawaban yang menimbulkan fitnah tersebut ku bawa ke
seorang purnawirawan Polri berpangkat AKBP dengan maksud mau melapor ke polisian
tentang pencemaran nama baik.
Mendengar niat saya mau membuat laporan kepolisi. Sahabat saya tadi, secara hukum dapat
mengerti karena alat bukti lengkap dan saksi ada enam orang. Namun memberi saran
sebaiknya dipertimbangkan dulu. Karena walaupun secara hukum saya kuat tapi dampak
sosialnya perlu pertimbangan.

1. Tokoh ( orang yang menfitnah sedang sakit )


2. Apa jadinya jika laporan saya sampai ke pengadilan ?
3. Hubungan keluarga dan masyarakat pasti runyam

Mendengar saran sahabat saya tadi, aku pulang dengan perasaan tak menentu.

Suatu saat saya mendengar pengajian di siaran TV Swasta Qurais Sihab ulama karesmatik itu
menyebarkan : “Kalau kamu difitnah orang, jelaskan yang sebenarnya. Tapi jika yang
memfitnah kamu tak mau mengerti serahkan saja, mohon kepada Allah dan diamkan orang itu
agar menyadari kekeliruaannya. Tak usah kamu balas dengan fitnah juga. Legalah hatiku
mendengar pencerahan Qurais Sihab.
314

Namun perasaanku kepingin dialog dengan Ketua Panitia yang saat itu memimpin pertemuan
menghadap Ketua Ta’mir Masjid tanggaban Ketua panitia hanya normati saja. Kutunjukkan
bukti yang sama ketika menemui sahabatku kemarin. Dia juga membaca. Lantas kutanyakan
kepada nya, betulkah Ketua Ta’mir masjid mengatakan bahwa saya korupsi dana masjid ?

Seperti yang dilaporakan seseorang ke saya. Jawab Ketua Oanitia ya begitulah Mbah yang
dikatakan kepada kami ketika itu.

Dengan jawaban ketua P4MA tadi, aku menyatakan “ begini saja. Dari pada panitia nanti
tercemar akibat proyek dipimpin seorang koruptor, lebik baik saya mundur.

Mendengar ucapan saya tegas tadi, buru–buru dia memberi pernyataan, bahwa saya jangan
mundur akan kujelaskan kepada musyawarah nanti.

Kemudian hari aku pulang kampung melihat orang tua kakakku pertama di Wonogiri. Suatu
malam sekitar pukul 9.30 malam, aku di tetapkan salah satu P4MA, keputusan musyawarah
mufakat, Pak Ade tetap memimpin proyek Pengembangan Masjid Ar – Raudhah. Sampai ada
pencabutan surat keputusan lagi.

Berita itu mengingatkan saya sebetulnya hidupku masih dalam ujian cobaan Allah. Tidak
kusadari selama ini jabatan yang diamanahkan ke diriku selalu sering menimbulkan
kecemburuan dan bahkan fitnah. Aku lupa sejak menjabat di Unilever Jakarta dulu, aku sudah
menjadi korban fitnah. Juga di KRS Sanggata. Walaupun tak sampai membuatku terpojok.
Malah menumbuhkan kepercayaanku. Setelah akhirnya aku mendapat penghargaan dari
managemen. Juga di PT. Daya Turangga. Walaupun orang – orang sering mengkaitkan
jabatanku dengan koneksitas dengan bos Jakarta. Tapi perjuanganku berhasil.

Demikian pula ketika aku menjadi site manager di proyek Kuala Batakan Cotake ( KBC ).
Yang proyek rumah mewah itu ternyata hanya permainan orang – orang berduit, malah
ternyata hanya persaingan jahat yan ingin mengusai proyek.

Walaupun ketika aku sempat geram, namun menjadi pelajaran bagi saya yang selama menjabat
ternyata ada pihak yang merasa terhalangi niat jahatnya, jika aku masih menjabat.

Tapi difitnah pada saat menjabat proyek pembangunan masjid yang saya rintis bersama warga
masyrakat bertahun – tahun rasanya sangat – sangat menyakitkan.

Alhamdulillah sahabat – sahabatku masih setia mendorong semangatku. Agar aku maju terus
sampai proyek selesai. Memang sulit dihindari praduga itu, sebab dari pengalaman saya selama
ini jika membentuk panitia pembangunan masjid semangat menggebu sampai jumlah personil
tak masuk akal. Tetapi dalam pelaksanaannya setelah proyek berjalan yang betul – betul aktif
bisa dihitung dengan jari tangan.

Aku ingat saat bulan Ramadhan, awal puasa masjid penuh sesak orang – orang yang shalat
tarawih. Tapi pertengahan bulan puasa jama’ah semakin berkurang, apalagi menjelang akhir
puasa. Tapi dalam ibadah bulan puasa tak ada yang banyak menimbulkan fitnah seperti ibadah
membangun masjid.
315

Selama membangun masjid Ar – Raudhah seingat saya sejak awalnya selalu ada komplik dan
ketegangan. Tapi kepengurusan yang gaduh selama yang saya catat ya baru ke Takmir ini 2015-
2020. Untuk mengulas hal tersebut akan kubuka catatan ingatan saya tentang sejarah singkat
masjid Ar – Raudhah Stalkuda.

Anda mungkin juga menyukai