Anda di halaman 1dari 4

Rumah Kayu

Kematian mbah Kerti tidak saja mengejutkan sebagian besar warga kampung kami, tapi pun
menimbulkan heboh besar. Laki-laki berumur tujuh puluh tahun lebih, tapi tetap nampak sehat,
gemuk dan berwibawa, tanpa didahului sakit yang berarti, mati. Hampir tak seorang pun
mempercayai kenyataan itu. Ia, mbah Kerti yang tiap pagi dan sore berjalan-jalan berkeliling
kampung harus meninggalkan tetangga yang dikasihinya begitu mendadak. Semua orang
mengenal siapa dia. Tidak saja mereka yang sudah puluhan tahun tinggal di kampung kami,
namun juga para pendatang baru. Kecuali anak-anak kost. Yang terakhir ini di samping
menambah sumpeknya kampung juga banyak di antara mereka yang pergi sebelum waktunya.
Yang sering terjadi, mereka banyak utang pada penjual makanan.

Dan ekor dari kematian mbah Kerti adalah lahirnya desas-desus yang segera tersebar luas.
Dugaan bahwa mbah Kerti mati dibunuh tersiar dari mulut ke mulut. Maklum orang-orang
kampung. Mulut adalah segala-galanya dalam hal penyebaran informasi. Bagaimana mbah Kerti
dibunuh? Kemungkinan besar diracun! Begitulah kesimpulan sementara dari desas-desus itu.
Sebab tak ada tanda-tanda bahwa ia mati karena tindak-tindak kekerasan atau penganiayaan.
Juga waktu orang-orang memeriksa tubuhnya, tak sebuah luka atau bekas pukulan benda keras
maupun senjata tajam membekas di tubuhnya. Mereka menduga mbah Kerti diracun karena
tak ada tanda-tanda lain yang menyebabkan kematiannya. Sebab usia tua tak bisa dijadikan
patokan untuk menentukan batas hidup seseorang

Dua orang cucunya, Ridwan dan Kadir, tidak banyak memberi keterangan yang memuaskan.
Keduanya belum dewasa benar. Juga sehari-hari bekerja sebagai buruh percetakan di kampung
kami. Keduanya baru pulang setiap menjelang senja. Maklum, anak-anak itu sudah yatim piatu,
sementara uang pensiun kakeknya, mbah Kerti, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
keduanya. Karena kematian mbah Kerti itulah kini keduanya benar-benar hidup tanpa sanak
dan famili. Entah kenapa, garis keturunan dari ayahnya punah atau tersebar di lain tempat.
Sementara dari ibunya, tak ada saudara lain. Ibu dua anak itu adalah putri tunggal mbah Kerti.
Ketika seseorang mencoba membujuk dua anak itu perihal kakeknya, keduanya seperti
ketakutan waktu akan mengatakan sesuatu.

Percayalah Nak, kami tidak apa-apa. Kami hanya ingin tahu, kira-kira apa saja yang dikeluhkan
mbah Kerti pada harihari terakhir ini. Kalau ada. Barangkali masih ingat?

Kakek, Kakek tidak pernah mengeluh, jawab Ridwan cucu mbah Kerti.

Mungkin dia tidak mengeluh tentang dirinya. Tapi kalau ada hal-hal yang lain mengganggu.
Tentang pensiun, tentang rumah ini barangkali. Apakah akan diperbaiki, atau tetap seperti
aslinya, semuanya terbuat dari kayu. Dan ini kayu jati Nak. Bisa bertahan puluhan tahun, lanjut
orang itu dengan penuh kebapakan. Ridwan melirik adiknya, seperti minta persetujuan. Tapi
yang dilirik diam menundukkan wajahnya. Entah apa yang terbayang dalam benak anak itu.
Tapi toh akhirnya Ridwan ingat sesuatu yang pernah dikataan kakeknya beberapa minggu lalu.

Tentang rumah ini memang kakek pernah mengatakan, katanya lirih.

Oh, ya, ya! Apa yang dikatakan almarhum kakekmu, Nak?

Dia tidak ingin mengganti rumah ini dengan tembok atau dengan papan lain. Dia bangga sekali
dengan rumah yang kata kakek dibuat waktu ibu masih kecil. Semua terbuat dari kayu.

Ya, benar, kakek ingin melihat rumah ini tetap begini saja. Rumah

kayu, katanya.

Lalu apa yang ia keluhkan?

Mungkin rumah ini akan dibongkar seseorang, kata anak

itu sedih Maksudnya?

Tanah ini bukan milik kakek. Dia hanya numpang saja. Tapi kata kakek, yang empunya dulu
adalah sahabat karibnya. Dan sekarang tanah ini akan diminta oleh ahli waris sahabat kakek.
Saya tidak tahu urusannya. Hanya kakek lalu bersedih. Dan katanya, apa pun yang akan terjadi,
dia akan tetap tinggal di rumah ini. Bahkan kakek berpesan pada kami berdua, agar tetap
tinggal di rumah ini kalau kakek meninggal kelak. Tapi kakek terlalu cepat meninggalkan
kami ....

Sudahlah Nak, jangan bersedih. Tidak hanya kamu berdua saja yang merasa kehilangan
kakekmu, tapi juga sebagaian besar warga kampung ini. Kakekmu adalah termasuk orang tua
yang kami hormati bersama. Kau tahu Nak, zaman revolusi dulu kakekmu adalah seorang
gerilya yang berani.

Ouh, kakek juga pernah bercerita tentang itu. Bahkan katanya, semua kayu ini adalah curian
dari gudang milik seorang tuan bule di dekat stasiun. Apa benar?

Itu benar Nak. Mencuri pada zaman dulu adalah pekerjaan yang mulia. Apalagi berani mencuri
milik orang bule. Wuaah, tak sembarang orang berani melakukannya. Dan anu Nak, siapa kira-
kira yang akan meminta tanah ini? Anak itu menggelengkan kepalanya. Ada perasaan takut
untuk mengatakan siapa orangnya. Juga Kadir adiknya. Dia tidak berani berkata apa-apa jika
seseorang menanyakan perihal tanah yang akan diminta itu. Empat puluh hari setelah kematian
mbah Kerti desas-desus itu semakin jelas arahnya. Kematian mbah Kerti memang erat
hubungannya dengan rumah dan tanah itu.
Seseorang dengan paksa ingin membeli rumah itu karena tanahnya akan dipakai. Tapi mbah
Kerti menolak. Juga ketika kepadanya ditawarkan uang pesangon untuk memindahkan rumah
itu. Mbah Kerti tetap menolaknya. Bahkan ia terang-terangan berkata lebih baik mati daripada
berpisah dengan rumahnya itu, rumah kayu, karena memang semuanya terbuat dari kayu.
Karena itulah sebagian besar warga kampung kami secara diam-diam menuduh seseorang telah
membunuh mbah Kerti. Dan orang itu adalah pemilik sebuah percetakan, pabrik kayu,
peternakan ayam dan kolam ikan yang cukup luas.

Mereka pun tidak berani berbuat apa-apa selain memperjelas dugaan demi dugaan dan rasa
benci yang memuncak. Ketika seseorang menyampaikan hal itu kepada Ridwan dan Kadir,
keduanya tidak begitu terkejut.

Kakekmu telah dibunuh seseorang tapi kami tidak bisa menemukan buktinya, kata orang itu
dengan yakin.

Lalu kami harus berbuat apa? Tanya Ridwan sambil merangkul pundak adiknya. Mereka
memang tidak mengerti harus berbuat apa.

Apakah kalian tidak dendam karena itu?

Dendam?

Ya, kakekmu telah dibunuh agar orang itu dengan leluasa dapat memindahkan rumah kayu

ini. Dia tidak suka dengan rumah ini. Memang benar dia ahli waris yang syah dari pemilik
pekarangan rumah ini. Tapi kan tidak begitu caranya meminta kembali miliknya. Pakai
membunuh segala! Kami tidak terima. Tapi seharusnya kamu berdua sebagai ahli waris
kakekmu yang tidak terima. Kalian bisa menuntut orang itu! Keduanya diam. Tak pernah
terpikir oleh mereka untuk melakukan tindak-tindak kekerasan seperti yang dianjurkan oleh
beberapa orang. Tetapi hampir setiap hari orang silih berganti menyuruh keduanya untuk
melakukan pembalasan dendam atas kematian mbah Kerti kakeknya.

Nyawa harus dibayar dengan nyawa! Kata mereka membakar hati keduanya. Tapi keduanya
tetap diam. Tak mengerti untuk apa hal itu mesti dikerjakan. Pikirannya tak pernah sampai ke
situ. Maklum keduanya belum dewasa benar. Ridwan berumur empat belas tahun, adiknya dua
belas tahun. Ibu mereka meninggal enam tahun yang lalu karena terserang TBC, sementara
bapaknya seolah lenyap ditelan bumi waktu kerusuhan politik beberapa tahun yang lalu. Dan
hari itu, enam puluh lima hari setelah kematian mbah Kerti, kampung kami dihebohkan oleh
sebuah peristiwa lain. Yaitu terbakarnya percetakan yang terletak di pojok kampung di dekat
pabrik tahu.
Keduanya milik orang kaya, konon adik iparnya seorang pejabat di ibu kota. Yang
menghebohkan adalah ditahannya Ridwan dan Kadir oleh yang berwajib. Keduanya dituduh
sengaja membakar percetakan sebagai pembalasan atas kematian kakeknya. Tidak seperti
kematian mbah Kerti dulu, heboh itu tidak berlanjut dan berekor dengan lahirnya desas-desus
yang simpang-siur. Mereka tidak berpikir apa kelanjutan dari penahanan kedua anak itu. Yang
menarik perhatian mereka kini adalah rumah kayu yang sudah tak berpenghuni lagi itu. Ketika
seseorang akhirnya membeli dengan harga mahal, mereka tidak menghalangi-halangi. Dan uang
hasil penjualan itu, atas pertimbangan bersama, dibagi sama rata.

Satu minggu kemudian rumah kayu itu dibongkar. Mungkin sampai di situlah nasibnya. Tapi
bagaimana nasib Ridwan dan Kadir, dua cucu mbah Kerti ahli waris atas rumah kayu itu yang
kini berada dalam tahanan? Atas kesepakatan bersama, mereka menyerahkan kepada Yang
Kuasa. Sebab nasib manusia sepenuhnya berada di tangan-Nya. Begitu akhirnya mereka
berpendapat.

Anda mungkin juga menyukai