Oleh : Danarto
Badan saya masih meriang ketika polisi itu datang. Semalam, saya berkelahi melawan Pak
Darkin memperebutkan Nining dan saya kena swing kepalan kirinya. Saya terjerembab tak
sadarkan diri. Anak-anak mengangkat tubuh saya ke atas dipan. Ada yang sibuk
mencarikan minuman panas. Ada yang mau memanggil dokter. Ada yang memijit. Malam
itu, karena peristiwa itu, penghuni Rumah Kita jadi rame sekali. Rupanya ada yang lapor
polisi tentang perkelahian itu. Polisi itu kembali ke pos ketika saya katakan bahwa kejadian
semalam perkelahian biasa, tidak penting untuk dipersoalkan. Tapi, apa pun yang terjadi,
kami, penghuni Rumah Kita dengan para pedagang di Pasar Kliwon, telah kehilangan Nining
yang digelandang Pak Darkin secara paksa kembali ke rumahnya. Nining, gadis kecil hitam
manis tujuh tahun, memang milik Pak Darkin, meski hanya sebagai ayah tirinya.
Nining sering ditempeleng ketika marah Pak Darkin kumat. Ibunya, yang selalu membela
putri kandungnya itu, sering tubuhnya dilempar sampai membentur dinding. Untung
dinding rumahnya dari anyaman bambu sehingga cukup lentur. Pada suatu malam, dengan
tersengal-sengal Nining menghambur ke perkumpulan Rumah Kita untuk bersembunyi.
Kami menyambutnya dengan sukacita. Di dalam gerombolan kami itulah, Nining merasa
aman dan nyaman.
Di sepetak ruang yang merebut ruang milik pasar itulah, saya hidup. Sehari-harinya saya
pura-pura berbenah dengan perabotan dari potongan-potongan sisa-sisa kayu yang
berserakan di mana-mana. Saya ditemani kompor minyak tanah, teko, panci, gelas, piring,
sendok garpu, ember, dan di atas dipan dengan tikar plastik itulah saya bisa beristirahat
dengan nyenyak.
Kemudian satu-dua anak datang dan pergi, mereka belajar apa saja, juga memasak, rame-
rame makan, dan tidur. Akhirnya Rumah Kita resmi menjadi tempat mangkal anak-anak
gelandangan, pengamen, pengemis, pemulung, anak baik-baik yang tidak betah di rumah
karena berbagai alasan. Saya sebagai tukang sapu bagian kebersihan pasar merasa dituakan
lalu mengatur mereka dengan marah-marah, lelah, dan sedih, sejak tahun 1 997.
Sebagai tukang sapu pasar, saya tak punya kebisaan apa-apa untuk mengajar anak-anak
itu. Untung, beberapa guru dan mahasiswa datang secara sukarela mengajar anak-anak itu
menulis, menyanyi, membaca, dan bercocok tanam. Setiap minggu, anak-anak diminta
membaca puisi karangannya sendiri, juga cerpen, esai, dan menyanyikan lagu yang
ditulisnya sendiri. Ketika anak-anak dibawa ke kebun untuk belajar bercocok taman itulah,
Pak Darkin memergoki Nining ada di antara anak-anak itu dan mencengkeram tangannya
dan menggelandangnya. Serta-merta saya menubruk tubuh Pak Darkin dan kami bergumul,
tindih-menindih. Saya yang boleh dikata tak pernah berkelahi begitu saja terkapar. Sayup-
sayup terdengar orang-orang sibuk menolong saya.
Gaji saya yang tak seberapa harus cukup cekatan dalam berkelit menghidupi anak-anak itu.
Sekitar 1 5 anak setiap hari paling tidak makan dua kali. Setiap habis gajian, tak ada sisa
sama sekali, bahkan digayuti utang di sejumlah warung. Syukurlah ada anak yang bisa
menyumbang dari pendapatannya mengamen atau memulung. Tapi, yang sangat membantu
adalah sumbangan para pedagang pasar. Pedagang beras menyumbang beras. Pedagang
sayur menyumbang sayur. Pedagang ikan menyumbang ikan. Bumbu-bumbu dapur rasanya
tak pernah kehabisan.
Dimalam yang sunyi ketika anak-anak sudah tidur, tiba-tiba datang beberapa orang
memanggul beberapa karung beras yang diperuntukkan Rumah Kita. Orang-orang itu
menaruhkan begitu saja karung-karung itu tanpa ada sepatah pun kata pengantar. Ternyata
tidak hanya beras, juga minyak goreng beberapa botol, telor beberapa kilo, gula, kopi, teh,
beberapa ekor daging ayam segar. Tak ketinggalan banyak sekali kain sarung, kaus oblong,
dan peralatan mandi. Saya tidak tahu dari mana semua sumbangan itu.
Pagi harinyasemua sumbangan itu dibagi rata untuk anak-anak. Saya sempat kebagian
sarung dan kaus oblong. Anak-anak bertanya dari siapa semua sedekah itu. Hari itu kami
masak rame-rame dengan mengundang siapa saja yang mau makan bersama kami. Anak-
anak pengamen memeriahkan pesta hari itu dengan mementil gitar dan menyanyi. Aduh,
meriahnya. Aduh, bahagianya. Sayang sekali, Nining tidak bersama kami. Tapi, kami
sisihkan sarung dan kaus oblong untuknya. Satu saat kami harus merebutnya kembali atau
kami akan bersedih sepanjang masa.
Malam yang tenteram tidak selamanya dapat dipertahankan. Saya bangun tersentak tak bisa
bernapas karena dicekik Pak Darkin yang bisa mulus menyelinap ke gerombolan kami, la
meradang.
Saya tak bisa menjawab. Bernapas saja sangat sulit. Pak Darkin paham lalu mengendorkan
cekikannya.
"Bohong!”
"Sontoloyo!”
Saya terbatuk-batuk. Saya diseretnya keluar. Saya heran, tak seorang pun anak yang
terbangun. Saya digelandang terus. Sesampai dijalan raya, saya dinaikkan ke becak. Pak
Darkin duduk di samping sambil terus nyerocos yang tak jelas. Rupanya saya dibawa ke
sebuah pekuburan yang gelap gulita. Dua orang yang sigap membekuk tubuh saya,
”Kamu harus sumpah pocong!” geram Pak Darkin lalu pergi bersama kedua kawannya.
Saya tak bisa bergerak, ketat sekali balutannya, membujur kaku bagai jenazah.
Tiba-tiba:
”Saya menunggu Bapak,” jawabnya sambil melepaskan belitan kain kafan dari tubuh saya.
”Wah, gawat!”
Maka kami berdua bergegas kejurug tempat Kiai Kintir biasa memulai kegiatannya
menghanyutkan tubuhnya. Kiai Kintir alias Kiai Hanyut adalah kiai— tak seorang pun tahu
nama aslinya— yang punya kebiasaan menghanyutkan tubuhnya di Bengawan Solo. Itulah
jalan spiritualnya.
Sejumlah warga Solo ada yang mengolok-oloknya sebagai Kiai Kenthir alias Kiai Sinting.
Beliau tidak peduli atas cemoohan itu karena hidup beliau sehari-harinya sangat serius.
Bahkan yang melecehkannya dikiriminya segepok uang yang dicomotnya dari udara. Maka
semakin bertambah banyak orang-orang yang meledeknya dengan pamrih Kiai itu
mengiriminya duit. Saya sendiri pernah melihat beliau mencomot uang dari udara dan
diberikannya kepada saya. Beliau pernah menyitir sabda Kanjeng Rasul Muhammad SAW
bahwa seandainya kalian tahu apa yang terjadi di dunia ini, kalian akan menangis terus-
menerus sepanjang hidup kalian.
Sepanjang hayat Kiai Kintir mengasingkan diri. Tidak bergaul, tidak menerima santri, tidak
mengajar, tidak mau diwawancara, tidak mau diundang makan. Pokoknya serba tidak. Saya
sadar,semua kiriman beras dan kebutuhan dapur yang mendorong kami bisa berpesta itu,
merupakan sumbangan Kiai Kintir. Beliau selalu bisa membahagiakan orang, sedang untuk
dirinya sendiri, beliau tidak berniat sedikit pun. Cerita lainnya adalah, pernah sejumlah
Hari belum panas benar ketika air Bengawan Solo mulai naik. Tak terdengar geledek. Tak
terjadi gerimis. Cuaca cerah dengan langit biru seperti undangan untuk keluar rumah
menikmati keramaian kota. Ratusan orang-orang yang berada di seberang menyeberang
Bengawan Solo merasakan air bengawan mulai mencium lutut. Tampak tubuh Kiai Kintir
telentang tenang hanyut semakin menjauh dari pendangan kami. Satu-dua orang penonton
terseret ke tengah bengawan. Puluhan orang lainnya berlarian menyingkir dari bantaran
sungai. Saya tarik Nining untuk menghindar dari bantaran bersama puluhan orang yang
kacau berlarian. Sesampai di jalan raya, banjir sudah melahap seluruh kota Solo. Mobil,
motor, andong, becak ditinggalkan pemiliknya. Sejauh mata memandang, cuma air yang
berkilau-kilau yang tampak dengan orag-orang yang kebingungan menyelamatkan diri.