Anda di halaman 1dari 5

TAMU ISTIMEWA KAMPUNG RANDU

Cerpen Dina Ahsanta Puri

Terkadang orang waras tidak lebih baik daripada orang gila, ketika orang waras memiliki
nafsu yang lebih gila dari orang gila. Orang gila tidak akan menyembunyikan kegilaannya.
Berbeda dengan orang waras yang selalu menutupi kegilaannya dengan hal-hal yang wajar. Orang
gila diasingkan karena kegilaanya, sementara orang waras mencoba mengasingkan diri sebab
kegilaanya. Banyak orang gila dicerca karena suka tertawa dan berjalan-jalan tak jelas. Lalu
bagaimana dengan orang waras yang penuh kegirangan, berjalan ke tempat hiburan malam?
Orang gila selalu diumpat sebab tak mengenakan pakaian. Lalu bagaimana dengan orang waras
yang sengaja menutup tubuhnya dengan pakaian seminimal mungkin? Ternyata kehidupan yang
tak berharfiah mampu menghajar batin, menumpulkan kata hati dan memutuskan beberapa urat
otak manusia waras. Bisa saja orang waras diantara kita ada yang diam-diam gila.
Sebut saja kampung Randu tengah kedatangan tamu istimewa: orang gila. Dia bukan
orang gila biasa. Tak seperti orang gila yang pernah meresahkan warga beberapa waktu lalu,
membuat eyang Astro yang agak bongkok mengomel-ngomel, berkeliling ke sepenjuru kampung;
seakan ingin menyiarkan kekesalan dengan suara selantang toa masjid agung di kota. Pelataran
rumahnya diberaki Darno, orang gila dari kampung seberang. Sungguh tak seperti itu. Percayalah!
Cerita orang gila kali ini berbeda. Dia benar-benar istimewa. Selain rajin beribadah juga dianggap
sakti mandraguna. Boleh jadi ungkapan yang menyelubunginya semacam doa yang dipanjatkan.
Ucapannya sarat makna, bahkan membawa peruntungan.
Asal muasalnya yang tak diketahui membuat warga beranggapan dia adalah orang gila
pengembara. Mungkin sepanjang perjalanannya, dia mencari kesaktian dari segala penjuru
nusantara.
Menemui datuk-datuk dan daeng-daeng sakti, mbah-mbah berjenggot putih panjang, kyai-kyai
bersorban, serta orang-orang tua berilmu lainnya. Membuat dia kelebihan ilmu lalu gila, begitu
pikir warga.
Kini warga mulai tergila-gila dengan orang gila yang biasa dikenal dengan nama Ki
Jenggot. Tak jarang banyak orang menghampiri gubug Ki Jenggot di kebun kelapa Lurah Karyo.
Mereka cukup duduk dan mendengarkan nasihatnya. Di saat itu mereka akan mulai menerka-
nerka, mencari makna tersirat dan menghubung-hubungkan omongan itu untuk medapatkan
peruntungan.
***
“Aku kaya! Aku kaya! Ki Jenggot memang hebat! Dia benar-benar Sakti!” seru Pujo yang
menjadi awal kisah keistimewaan nasihat Ki Jenggot. Siang itu warga segera mengerubung Pujo
yang tengah berjalan membawa segepok uang. Ada yang takjub, kagum, curiga, bahkan langsung
mendakwa.
“Ya ampun, uang! Banyak sekali!”
“Wah, Jo, nyolong mana kamu?”
“Jangan-jangan kamu melakukan pesugihan ya, Jo?”
“Ini berkat nasihatnya Ki Jenggot! Dia bukan orang sinting biasa! lotreku tembus berkat
dia!” jelas Pujo. Pemuda penganguran itu bercerita bahwa tadi pagi dia melewati kebun kelapa
Lurah Karyo. Di sana dia bertemu Ki Jenggot. Terlihat Ki Jenggot tengah mengkhotbahi tupai-tupai
agar tidak mencuri kelapa Lurah Karyo. Entah berapa tupai yang sudah dijejali ceramah dan
nasihat olehnya. Dia hanya menjalankan pesan tuannya yang tidak lain Lurah Karyo untuk
menjaga kebun. Sudah sekitar tiga bulanan Ki jenggot merawat kebun itu.
Iseng-iseng Pujo singgah di gubug dan berbincang dengan Ki Jenggot. Percakapan yang
awalnya tanpa arah akhirnya bermuara pada curahan hati Pujo. Entah apa yang dipikirkan Pujo
sampai dia bercerita kepada pendengar sinting. Dia hanya butuh tempat berbagi cerita. Kantong
kering nyaris mencekik lehernya.
“Andai aku menang lotre, bisa mendadak kaya aku!” ucap Pujo

Cerita-cerita Profetik ∣1
“Kamu bisa kaya.”
“Maksud Ki Jenggot?”
“Banyak beribadah. Berdo’alah kepada Allah ta’ala. Berbakti kepada kedua orang tua,
terutama ibumu! Do’a ibu itu keramat lho!” tutur Ki Jenggot seakan lebih waras dari Pujo.
“Emak sudah lama mati, Ki!”
“Nah, kirimilah dia do’a. Rawat makamnya. Niscaya do’amu akan jadi penerang kuburnya.
Ini malam Jum’at. Hari yang baik untuk mengirimi do’a. Lekas tengoklah makamnya. Semoga
kamu mujur!”
Awalnya Pujo merasa kesal karena diceramahi dan dinasihati orang sinting. Tapi, ucapan
Ki Jenggot serupa mantra yang membiusnya. Setelah mencoba bersabar mendengarkan beberapa
saat, perkataan itu benar-benar menggetarkan hati Pujo. Dakwah menggebu-gebu dari kyai,
ataupun alim ulama saja jarang diresapi pendengarnya. Hanya membuat kepala mereka
mengangguk-angguk serupa boneka di dashbor mobil.
Pada akhirnya Pujo memutuskan untuk pergi menengok makam emaknya. Keadaannya
betulbetul memrihatinkan. Sebagian permukaan lantai retak karena pondasinya amblas. Usai
membersihkan makam dan berdo’a, Pujo mencium nisan emaknya. Namun, entah keisengan dari
mana lagi yang didapat Pujo. Dia melihat angka kematian emaknya itu unik. Tanggal sembilan
belas, bulan sembilan, tahun sembilan satu. Segera dia pergi ke kota membeli nomor lotre.
Nomornya tembus!
“Itu hanya kebetulan saja, tidak ada hubungannya!” kata salah seorang warga.
“Tapi benar apa yang dikatakan Pujo. Omongan Ki Jenggot memang bawa hoki,” ucap
Wanto seorang hansip yang seketika itu menjadi pusat perhatian. Kemarin dia juga diceramahi Ki
Jenggot.
Jalu, ayam jago kesayangannya hilang. Dicarinya sampai ke kebun kelapa Lurah Karyo.
Biasanya Jalu main di kebun itu. Mengetahui Wanto tengah pusing mencari ayamnya yang hilang,
Ki Jenggot langsung menceramahinya dengan sejumlah nasihat. Dilantunkannya beberapa
potong ayat. Ki Jenggot menyuruh Wanto untuk mengikhlaskan Jalu. Dia juga mendo’akan agar
Allah memberi ganti yang lebih baik. Wanto pun mengikhlaskan Jalu. Keesokan harinya, si Jalu
pulang bersama empat ayam betina hutan. Rupanya Jalu habis berkelana ke hutan yang tidak jauh
dari belakang rumah Wanto.
Beberapa orang lagi pun mulai angkat bicara. Mereka bercerita perihal
keberuntungannya selepas mendengar nasihat Ki Jenggot baik-baik. Warga berdecak kagum.
Lama-lama warga tersadar dari keterpukauannya. Suasana pun berangsur jadi gaduh. Warga
yang sudah lama merindukan tumpukan rupiah merasa tak sabar bertemu dengan Ki Jenggot dan
meminta nasihatnya. Mereka rela diceramahi habis-habisan oleh orang gila asalkan hoki. Warga
kembali bubar sembari tetap bergumam membicarakan ki Jenggot.
“Aku menyesal pernah menyiram Ki Jenggot dengan air bekas cucian saat dia menceramahiku.”
“Aku kira ocehannya selama ini hanyalah omong kosong layaknya orang miring.”
“Andai dia masih di surau, tentu aku tak perlu jauh-jauh ke kebun Lurah Karyo.”
***
Pada awal kedatangannya, Ki Jenggot memang menghuni surau kampung sepi jama’ah
selama beberapa malam. Warga sempat gempar dengan kedatangannya. Dia seorang lelaki tua
berjengkot dengan rambut nyaris beruban semua. Pakainnya lusuh. Warga menjulukinya Ki
Jenggot karena dia memiliki Jenggot yang agak panjang. Kesehariannya adalah beribadah di
surau. Dia tak pernah mengganggu warga, hanya saja suka berceramah, ngelantur tidak jelas,
memukul bedhug dan kenthongan tidak pada waktunya. Pernah Ki Jenggot memukul bedhug dan
kenthongan pukul sembilan pagi dan mengundang amarah warga.
Salah seorang warga yang rumahnya terletak di samping surau persis sampai
menghampirinya. Dia berkata, “dasar orang gila! Ngapain jam segini pukul bedhug? Subuh sudah
lewat!” Dengan santai Ki Jenggot menjawab, “kau yang gila! Jam segini baru datang ke surau.
Subuh sudah lewat!” Orang tersebut merasa kesal. Serasa dipermalukan oleh orang sinting. Dia
tak berkata apa-apa dan pergi begitu saja. Mau bagaimana lagi, apa yang diucapkan Ki Jenggot

Cerita-cerita Profetik ∣2
memang benar. Surau tua itu sangat sepi dan makin sepi. Hanya Kyai Toha yang sering berada di
sana. Mungkin karena kondisi surau yang memrihatinkan, membuat warga tak berminat datang
atau bahkan mungkin mereka benar-benar tak suka pergi ke surau.
Pada suatu malam saat Ki Jenggot sedang berdzikir dengan mulut komat kamit, Kyai Toha
mengusirnya dari surau. Melihat penampilan dan tingkahnya, Kyai Toha beranggapan Ki Jenggot
bukan orang baik-baik. Kyai Toha khawatir orang-orang bertambah enggan datang ke surau. Ki
Jenggot hanya tersenyum. Dia tak memberi perlawanan apa pun, langsung saja meninggalkan
surau. Tak lupa dia memberi salam ke Kyai Toha dan tetap disertai muka sumringahnya. Dia pergi
menembus malam tanpa arah dan tujuan pasti. Hanya mengikuti takdir yang ada. Kemana pun
kakinya melangkah, dia pasrah.
Beberapa hari kemudian, Lurah Karyo menemukan Ki Jenggot tertidur di depan gubug, di
kebun kelapanya. Saat itu Lurah Karyo berniat menengok kebun. Kebetulan Wasmin tukang
kebunnya berhenti bekerja. Dia pergi merantau ke kota. Dua minggu kemudian Lurah Karyo pun
masih mendapati Ki Jenggot berada di sana. Duduk di depan gubug. Tak ada yang janggal di kebun
selama Ki Jenggot berada di sana. Kebun kelapanya aman-aman saja. Lurah Karyo yang tak
sanggup merawat kebun sendiri akhirnya menyuruh Ki Jenggot untuk merawatnya, toh selama
ini Ki Jenggot tak pernah berbuat yang aneh-aneh. Dia juga bukan orang gila yang mengerikan.
Tidak gila total. Mungkin lebih tepatnya orang aneh. Gila sudah pasti aneh. Tapi, aneh belum tentu
gila, begitu pikir Lurah Karyo. Dia juga memperbolehkannya untuk menempati gubug di
kebunnya. Ki Jenggot tidak meminta balas jasa berupa uang. Dia hanya minta beras setengah
karung perbulan. Itu cukup untuk makan ki Jenggot yang rajin puasa Senin Kamis.
***
Kabar kemujaraban nasihat Ki Jenggot sudah sampai ke telinga Lurah Karyo. Dia tak
memedulikannya. Itu hanya isapan jempol orang sinting yang kebetulan sedang benar.
Pikirannya sedang penuh dengan kegelisahan, tidak ada ruang untuk memikirkan kemujaraban
omongan Ki Jenggot. Lurah Karyo kini tengah duduk di ruang tamu. Masih dipegangnya gagang
telepon, meski sudah terdengar suara tut pendek-pendek, pertanda telepon seberang ditutup. Dia
baru meletakan gagang telopon ketika ada orang mengetuk pintu depan rumahnya. Rupanya itu
adalah seorang pengemis yang meminta sedekah. Segera Lurah Karyo merogoh kantong
celananya dalam-dalam, mengambil koin kuning senilai lima ratus rupiah.
“Blakk” Lurah Karyo menutup pintu agak keras setelah si pengemis pergi. Dia kesal dengan ulah
pengemis yang sering meminta-minta ke rumahnya. Terlebih pikirannya saat itu tengah kacau.
Dengan muka masam, Lurah Karyo berjalan mondar mandir di ruang tamu, persis orang linglung.
Sejenak dia berdiri di depan pintu dan diraihnya gagang pintu,“krek”.
“Bapak mau ke mana?” tanya istri Lurah Karyo.
“Ke kebun, bu. Sudah lama tidak lihat kondisinya.”
Istri Lurah Karyo merasa keheranan. Tumben sekali suaminya peduli dengan kebun. Selama ini
suaminya hanya peduli dengan uang dari hasil perkebunan. Jika uang lancar, maka Lurah Karyo
tak perlu menengok kebun. Untuk perawatan dia lebih memilih mempekerjakan tukang kebun,
bahkan untuk mengirit biaya dia samapai mempekerjakan Ki Jenggot yang jelas-jelas tidak waras.
Jarak rumah ke kebun tidaklah terlalu jauh. Kurang lebih tiga ratus meter. Lurah Karyo berjalan
tergesa-gesa. Sesampainya di kebun, dia duduk di kursi kayu depan gubug sembari mengatur
nafas. Ki Jenggot yang tengah memotongi rumput segera menghampirinya. Dia merasa senang
tuannya datang.
“Assalamu’alaikum, Pak Haji,” ucap Ki Jenggot. Dia terbiasa memanggil Lurah Karyo dengan
sebutan Pak Haji. Padahal Lurah Karyo sama sekali belum naik haji. Dia menyebutnya seperti itu
karena saat pertama kali bertemu di surau, Lurah karyo mengenakan koko putih, sarung putih,
dan peci putih. Putih dan bersih, sangat mencolok di antara beberapa orang yang pergi ke surau
saat itu, pakaian mereka kusam.
“Wa’alaikum salam,” jawab Lurah Karyo.
“Tumben Pak Haji datang ke sini.”
“Hanya ingin menengok keadaan kebun saja.”

Cerita-cerita Profetik ∣3
“Tenang, kebun Pak Haji baik-baik saja.”
Lurah Karyo pergi ke kebun sebenarnya untuk menghindari kedatangan Pak Taslim dan Kyai
Toha. Pak Taslim dan Kyai Toha adalah pengurus rencana pengrenovasian surau. Tadi Pak Taslim
menelpon, mereka bakal datang ke rumah Lurah Karyo sore ini, membicarakan kelanjutan
renovasi surau. Uang sumbangan dari warga sudah terkumpul banyak di tangan Lurah Karyo.
Tapi, surau tak kunjung direnovasi. Lurah Karyo selalu mengatakan agar jangan terburu-buru
melakukan sesuatu. Dia berbelit dengan dalih menurut perhitungan Jawa, bulan ini tidak baik
untuk membangun. Lurah Karyo memang tak tahan mengemban uang banyak. Rasanya gatal.
Sebenarnya warga tidak serta merta memercayakan uang itu dipegang oleh Lurah Karyo. Selain
dia jelas-jelas lurah, dia juga orang yang terkadang menyempatkan diri ke surau, meski maksud
Lurah Karyo hanya untuk pencitraan. Dia juga sering menjedot-jedotkan kepalanya ke tembok
agar nampak tanda hitam dijidatnya. “Pak haji kenapa? Kok bengong?” tanya Ki Jenggot,
memecahkan lamunan Lurah Karyo. “Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya lapar dan haus. Tolong
petikan satu buah kelapa muda yang bagus untukku! Pokoknya yang daging buahnya enak dan
airnya segar .”
Dengan sigap Ki Jenggot langsung memanjat salah satu pohon kelapa. Dia memuntir-puntir buah
kelapa agar tanggal dari pohonnya. Dijatuhkannya satu buah dan Ki Jenggot segera turun. Dengan
parang Ki Jenggot mulai membuka salah satu ujung kelapa. Dia membukanya agak lebar supaya
Lurah Karyo bisa menikmati daging buahnya juga. Dia masuk ke dalam gubug, diambilnya sendok
lalu mempersilakan lurah Karyo untuk menikmati buah kelapa itu.
“Ini tidak enak. Airnya terasa hambar. Daging buahnya juga kaku”
“Sebentar, Pak Haji, saya petikan yang lainya lagi.”
Kelapa ke dua yang dipetikan Ki Jenggot pun tidak jauh beda. Pilihan Ki Jenggot tak sesuai
harapan Lurah Karyo “Airnya memang agak segar, tapi daging buahnya terlalu tipis. Ini terlalu
muda,” keluh Lurah Karyo.
“Oh, ya? Tunggu sebentar, saya carikan lagi.”
Setelah dipetikan kelapa yang ke tiga, Lurah Karyo hanya memandangi kelapa itu. Dia tak
meminumnya, tapi langsung membelahnya dengan parang. Dicukilnya secuil daging buah kelapa
dari tempurungnya, “Lihat Ki Jenggot! Dagingnya sudah keras dan tebal. Ini sudah tua. Pasti tidak
enak.”
“Baik, saya akan mencarinya lagi.”
“Sudah. Tidak usah! Ki Jenggot ini bagaimana? Tidak becus! Masa sudah hampir tiga
bulanan di kebun kelapaku, tapi tidak tahu mana kelapa muda yang bagus dengan yang tidak.”
“Maaf Pak Haji, selama saya di sini, saya belum pernah mendapat izin untuk memakan
buah kelapa yang ada. Jadi, saya tidak tahu seperti apakah kelapa muda yang bagus dan yang
tidak.” Lurah Karyo terdiam, dia kaget dengan pernyataan Ki Jenggot yang rasanya sulit dipercaya
itu. “Pak Haji kenapa? Apa kecewa dengan buah kelapa yang saya ambilkan?” “Tidak.”
“Pak Haji tidak wajib bercerita kepada saya, tapi jika Pak Haji ingin bercerita, saya siap
mewajibkan diri untuk mendengarnya,“ ucap Ki Jenggot dengan bahasa yang cukup ruwet
didengar. “Saya sedang merasa kesal dengan orang-orang yang suka seenaknya saja.”
“Seenaknya bagaimana, Pak Haji? Bisakah Pak Haji bicara dengan bahasa yang lebih
jelas?”
Dalam hati Lurah Karyo menggerutu, “sial! Kayak omongannya lebih jelas saja!” Lurah
Karyo menghela nafas pelan dan berkata, “mentang-mentang saya lurah, orang-orang kerap
datang minta sumbangan, utang, ngemis dengan alasan minta sedekah. Demi citraku sebagai
lurah, mau tidak mau kukasih.”
“Tapi memang nyatanya Pak Haji ini orang kaya.”
“Kaya juga ada usahanya, Ki Jenggot. Kalau seperti ini terus, bisa-bisa aku jatuh miskin.”
“Lalu apa yang Pak Haji inginkan?”
“Aku ingin mereka berhenti mengejar-ngejarku. Aku capek dimintai sumbangan, utang,
dan sejenisnya. Tapi, bagaimana? Aku tidak tahu caranya. Ruwet!”
“Saya Tahu.”

Cerita-cerita Profetik ∣4
“Ah, tak usah bercanda.”
“Serius! Saya tahu caranya. Di jamin ampuh!”
“Memang apa?”
“Orang kampung Randu ini sedang krisis iman. Rezekinya jadi sempit.”
“Lalu?”
“Bangunlah masjid yang layak untuk orang-orang, pelataran yang luas dan fasilitas yang
memadai agar mereka rajin beribadah. Dengan begitu, do’a mereka dapat di dengar oleh Yang
Maha Kuasa dan dilancarkan rezekinya. Surau di kampung ini sudah tua dan terlalu kecil. Semoga
kampung ini mujur.”
Lurah Karyo menggangguk-angguk seolah membenarkan perkataan Ki Jenggot. Memang
benar, suaru di kampung keadaannya sudah memrihatinkan. Orang-orang jarang beribadah.
Moral mereka jadi bobrok, jadi pemalas, malas mikir, malas kerja. Akhirnya utang, minta-minta
bahkan maling.
Lurah Karyo juga berpikir, itu bisa membuat citra Lurah Karyo naik. Sebentar lagi masa
jabatannya habis. Dia berniat ingin mencalonkan diri lagi, mungkin saja cara itu bisa membuat
warganya luluh dan memilihnya kembali. Dia akan memugar surau menjadi masjid. Dia juga akan
memberitahu warga, bahwa sebagian besar dana pembangunan berasal darinya, termasuk tanah
untuk perluasan. ***
Satu tahun berlalu, proyek pembangun masjid akhirnya selesai. Masjid berdiri dengan
gagah. Orang-orang jadi gemar beribadah dan suasana kampung menjadi damai. Memang benar
apa kata Ki Jenggot, tidak ada lagi orang yang datang meminta sumbangan, sedekah ataupun
pinjaman ke Lurah Karyo. Tapi, bukan karena mendadak orang-orang hidup berkecukupan,
melainkan Lurah Karyo jatuh miskin. Dia membangun masjid secara besar-besaran. Dia juga gagal
mencalon lurah untuk periode selanjutnya. Modalnya tidak cukup. Lurah Karyo marah besar. Dia
pergi ke kebun kelapanya dengan membawa celurit, mencari Ki jenggot.
“Ki jenggotoooootttt! Di mana kau, Ki Jengot! Keluarlah! Dasar orang gila!” teriak Lurah
Karyo. Didobraknya pintu gubug, namun tidak ada Ki Jenggot. Sepertinya Ki Jenggot sudah pergi
beberapa hari yang lalu. Terlihat meja dan dipan lapuknya sudah agak berdebu.
Selang beberapa minggu, perkebunan kelapa lurah Karyo disita oleh debt collector.
Rupanya dia terlilit utang untuk pembangunan masjid. Wajarlah hartanya hilang. Sebagian besar
kekayaannnya adalah hasil penyelewengan. Uang renovasi surau, uang pembangunan jembatan,
proyek penghijauan, Program bantuan Raskin. Sudah banyak hak yang bukan miliknya. Selang
beberapa hari kemudian Lurah Karyo jatuh sakit. Lumpuh karena stroke. Sedangkan Ki Jenggot
terus berkelana. Melewati hutan, sungai dan jalan mana pun yang ingin dia lewati, bersama
senyum bahagianya yang tak pernah luntur. Alam seolah mengizinkan Ki Jenggot untuk terus
menjamahnya. ***
Suatu hari diantara gerimis yang berjatuhan kala sore, Ki Jenggot muncul kembali di
kampung Randu, tepatnya di depan gerbang masjid. Berdiri, mengangguk-anggukan kepala
sembari terkekehkekeh senang.
“Ki Jenggot, kau mau apa lagi datang kemari? Sudah pergi sana! Jangan buat orang-orang
takut datang ke masjid!” kata Kyai Toha yang hendak masuk melewati gerbang.
Ki Jenggot tertawa kecil. “Assalamu’alaikum, Pak Kyai,” ucap Ki Jenggot. Kyai Toha tak
menjawabnya. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Lagi-lagi Ki Jenggot tidak
melakukan perlawanan apa pun. Dia hanya mengangguk-angguk sembari senyam-senyum tak
jelas lalu pergi menembus gerimis. Gerimis putih yang menaburi senja, membuat hari semakin
tua, semakin gelap. Ki Jenggot kembali mengikuti kemana tanah menarik kakinya, menjalani
hidup dengan bahagia.
Semenjak itu tidak ada yang tahu ke mana perginya Ki Jenggot. Sehari setelah Ki Jenggot
diusir, Kyai Toha jatuh sakit. Dia terus mengigau memanggil nama Ki Jenggot. Warga pun saling
melempar tanya: kapan lagi kampung Randu kedatangan tamu istimewa.
Purbalingga, Agustus 2013

Cerita-cerita Profetik ∣5

Anda mungkin juga menyukai