Anda di halaman 1dari 12

DISBUDPARPORA

Riam Mangkikit
1. Sejarah Singkat/Legenda
Riam Mangkikit merupakan salah satu dari tiga riam (jeram) yang paling berbahaya di sungai
Katingan. Di situ ada sebuah tempat yang disebut Batu Tangudau. Batu itu dinamai demikian sebab kata
orang di bawah batu itu terdapat lubang ikan tangudau yaitu sejenis ikan hiu.
Konon dikisahkan, di tengah riam itu ada sebuah kampung kecil. Di kampung itu hanya ada
sebuah rumah betang (rumah keluarga yang luas) dan lima buah rumah biasa. Pemimpin kampung itu
seorang pemuda yang gagah berani bernama Mangkikit. Walaupun masih tergolong muda, Mangkikit
disegani orang. Sifatnya yang agak pendiam, jujur, berani karena benar, membuatnya lebih berwibawa.
Sementara Istrinya yang bernama Nyai Endas adalah seorang perempuan yang sangat cantik.
Kecantikan Nyai Endas telah terkenal ke seluruh daerah. Banyak pemuda yang sengaja bermalam di
betang dengan maksud sekedar ingin menyaksikan kecantikan Nyai Endas. Lebih-lebih, hampir sepuluh
tahun perkawinannya dengan Mangkikit belum juga dikarunai putra. Walaupun demikian, keduanya
tetap hidup bahagia, aman, dan damai.
Sudah menjadi kebiasaan setiap hari pagi-poagi sekali Mangkikit akan pergi berburu. Senjata
beserta anaknya sejak sore kemarin sudah dipersiapkannya. Seperti biasa, jika merencanakan suatu
perjalanan, Mangkikit selalu bangun pagi. Ia menyiapkan makanan dan penginangan (yakni sirih
berkapur dengan pinang yang sudah dibelah) untuk bekalnya.
Mangkikit sebelum berangkat, ia berpesan kepada istrinya agar baik-baik tinggal di rumah.
Kepada Dungak (seorang laki-laki setengah baya) dan Tambi Jongkong (seorang perempuan tua)
dipesankan pula hal yang sama. Kedua orang itu sejak lama sudah dianggap anggota keluarganya.
Malah Tambi Jongkong sendiri sudah seperti inang pengasuh sejak Nyai Endas masih kecil.
Setelah Mangkikit berangkat, penghuni betang itu asyik dengan pekerjaannya sendiri-sendiri.
Dungak membelah kayu di belakang. Tambi Jongkong memasak di dapur. Nyai Endas sendiri asyik
menganyam tikar rotan di kamar. Tiba-tiba terdengar pintu depan diketuk. Mendengar ketukan itu, Nyai
Endas memanggil Tambi Jongkong. Disuruhnya melihat siapa yang datang.
Seorang laki-laki tak dikenal berdiri di depan pintu. Laki-laki itu tampan sekali. Kumisnya tipis,
tubuhnya kekar, kulitnya putih kuning dan tampak bersih. Destar berwarna merah melilit di kepalanya.
Di pinggangnya tergantung Mandau bergagang tanduk berjumbai rambut, menambah kegagahannya.
Lama perempuan tua itu terdiam. Ia tidak berani menatap mata laki-laki itu terlalu lama. Ia baru sadar
setelah laki-laki menegurnya. “Mangkikit ada?” tanyanya singkat. “Mangkikit pergi berburu sejak pagi,”
jawab orang tua itu. “Tetapi Nyai Endas, ada?” tanyanya lagi. “Oh, Ada, silakan masuk,” sahutnya,
seraya berbalik memberitahukan kedatangan orang itu.
Mendengar hal itu, Nyai Endas langsung keluar. Tambi Jongkong sempat melihat bahwa Nyai
Endas tampak seperti orang bingung melihat tamunya. Tidak lama kemudian, Nyai Endas masuk ke
dalam. Digapainya Tambi Jongkong agar mengikutinya masuk ke kamar. Sejenak kemudian, Tambi
Jongkong ke dapur, memanggil Dunghak agar segera pulang. Tak berapa lama kemudian Dungak pun
muncul. Ditatapnya tamu itu dengan pandangan kurang senang. Mendengar panggilan Nyai dari kamar,
ia pun segera masuk.
“Kalian berdua dengar kataku ini,” ujar Nyai. “Laki-laki itu memaksaku untuk mengikutinya. Aku
sadar bahwa aku sudah bersuami. Tetapi rasanya aku tidak dapat menolak keinginannya.
Secepat kilat. Dungak menyambar Mandau pusaka yang tergantung di dinding setelah
mendengar kata-kata Nyai Endas. Rupanya ia tidak menerima perlakuan tamu itu. Namun dengan
tangkas pula Nyai Endas menghalangi maksud Dungak. Melihat kejadian itu Dungak mengalah,
walaupun hantinya merasa amat perih.
“Sekarang katakan kepada tuanmu bila ia sudah kembali nanti,” kata Nyai Endas. “Akui Nyai
Endas…, bagaimana pun aku tetap mencintainya. Oleh sebab itu sekali lagi kup
“Sekarang katakan kepada tuanmu bila ia sudah kembali nanti,” kata Nyai Endas. “Akui Nyai
Endas…, bagaimana pun aku tetap mencintainya. Oleh sebab itu sekali lagi kupesankan agar kamu
menceritakan pada tuanmu dengan jujur. Aku minta jika aku telah keluar, ikuti aku dengan matamu.
Dengan demikian kamu tahu arah kepergianku. Sekarang aku akan mempersiapkan barang-
barangku.” Kemudian Nyai Endas menyiapkan barang bawaannya. Sebelum keluar kamar, kembali ia
berpesan. Sekiranya Mangkikit suaminya ingin mencarinya, ikuti nanti arah kepergiannya. Kemudian ia
pun keluar bersama laki-laki itu.
Dari betang, mereka berdua turun ke sungai. Dungak dan Tambi Jongkong yang mengawasi
kepergian Nyai Endas merasa kaget. Kedua orang itu berjalan di atas air seperti di jalan raya saja.
menyaksikan peristiwa itu, Tambi Jongkong, Dungak bergegas lari ke betang. Diambilnya gong lalu
dibunyikan berkali-kali.

ZONA UTARA
Penduduk yang sedang bekerja di ladang mendengar bunyi gong itu segera berlari pulang ke
kampung. Pasti ada kejadian yang luar biasa. Penduduk kampung gempar setelah dioberitahu Dungak
bahwa Nyai Endas diculik oleh laki-laki tak dikenal. Mereka ngeri kalau Mangkikit mengamuk karena
kejadian itu.
Semua wanita dan anak-anak dengan diam-diam meninggalkan kampung itu. Mereka takut kalu-
kalau nanti Mangkikit mengamuk membabi buta. Yang tinggal sekarang hanya para laki-laki dewasa.
Tambi Jongkong yang menangis terus tampaknya tinggal pasrah. Demikian pula halnya dengan Dungak
yang sejak tadi banyak diam.
Sementara itu Mangkikit bergegas dalam perjalanan pulang. Ia mendapat semacam firasat,
sesuatu yang luar biasa terjadi di kampung. Ia cepat-cepat pulang. Jalannya dipercepat setengah berlari.
Setibanya di belakang betang, dilihatnya banyak orang bergerombol. Apa gerangan yang terjadi,
tanyanya dalam hati. Dengan napas terengah-engah, ia naik ke betang seraya bertanya, “Ada apa, ini?
Apa yang telah terjadi?”
Tak seorang pun yang berani menjawab. Karena tidak ada yang menjawab, Mangkikit menjadi
marah. Dungak pun tidak berani mengatakan hal yang sebenarnya mengenai Nyai Endas sewaktu
ditanya. Menyaksikan keadaan seperti itu, seorang laki-laki tua tampil seraya berkata dengan suara
lembut, “Anakku…, coba tenang sedikit. Sulit berbicara dengan keadaan seperti ini,” katanya.
Mangkikit pun sedikit mereda ketegangannya “Apa yang sebenarnya terjadi, paman?” tanyanya
kepada orang tua itu. Orang tua itu pun menceritakan seluruh kejadian itu tanpa satu pun tertinggal
yang tertinggal. Mendengar penjelasan pamannya, Mangkikit menghela napas panjang. Penduduk
kampung ikut merasa lega karena ternyata Mangkikit tidak jadi marah. Mangkikit hanya meminta para
kepala keluarga untuk datang ke rumahnya nanti malam. Di sana ia akan memberitahukan rencana
selanjutnya.
Pada Malam itu, kembali mereka berkumpul. Mangkikit menyarankan agar setiap keluarga
menyiapkan tuak. Pada hari kesembilan setelah itu, mereka akan berkumpul lagi. Mangkikit tidak
menjelaskan maksudnya. Ia hanya berpesan agar mereka menyiapkan keperluan pesta. Akhirnya, waktu
yang ditetapkan itu tiba. Mangkikit memerintahkan agar pesta dimulai dari rumah yang paling ujung
bagian hulu.
Sepuluh hari kemudian, tibalah giliran terakhir di rumah betang Mangkikit. Sebelumnya
Mangkikit berpesan agar hari terakhir itu semuanya hadir. Sejak pagi mereka makan dan minum
sepuas-puasnya. Setelah semuanya selesai, Mangkikit memerintahkan semua orang berkumpul di
pinggir tepian mandi sungai. Setelah semuanya lengkap, Mangkikit memerintahkan semua kepala
keluarga membakar rumahnya. Dalam sekejap, semua rumah di kampung itu telah terbakar.
Setelah semua berkumpul, Mangkikit berkata, “Sekarang turunlah ke sungai, berjalanlah dengan
tenang menuju Batu Tangudau.” Setelah itu, Mangkikit menabur beras kuning ke pusaran air Batu
Tangudau. Ia menunjuk salah seorang untuk terjun ke pusaran air itu lebih dahulu. Jika mereka masih
hidup agar dalam dunia yang baru itu saling menunggu. Setelah semua penduduk terjun Mangkikit pun
menyusul
Jika mereka masih hidup agar dalam dunia yang baru itu saling menunggu. Setelah semua
penduduk terjun Mangkikit pun menyusul.
Mangkikit kemudian melihat sebuah kampung yang bersih dan rapi. Ia mengisyaratkan agar
mereka menunggu dengan tenang. Dengan didampingi tiga orang laki-laki pilihannya, ia memasuki
kampung itu. Tidak kelihatan seorang pun penghuni di sana. Tidak jauh dari situ, di halaman sebuah
rumah besar dan bagus, tampak Nyai Endas.
Atas perintah Mangkikit, mereka berpencar mengepung rumah itu. Setelah dekat benar,
Mangkikit memberi isyarat kepada Nyai Endas. Istrinya mengatakan bahwa laki-laki yang menculiknya
masih tidur di kamar. Mangkikit mengikutinya istrinya masuk. Secepat kilat, Mangkikit mencabut
dohong yang terselip di pinggangnya, lalu dibunuhnya laki-laki itu.
Ketiga pengawalnya disuruh menjemput keluarganya yang menunggu di luar kampung itu.
Nyai Endas pun bercerita bahwa kampung itu adalah tempat tinggal bangsa ikan tangudau. Siang
hari, mereka semua pergi mencari makan. Itulah sebabnya tak ada orang yang mereka temui pada siang
hari. Sore hari mereka baru pulang. Akhirnya, Mangkikit menjadi raja di sana dan hidup dengan damai,
aman dan tenteram.

ZONA UTARA
2. Letak
Secara administratif Riam Mangkikit terletak di Desa Tumbang Kalemei, Kecamatan Katingan
Tengah, Kabupaten Katingan. Secara geografis terletak antara 1°24'46.8" Lintang Selatan dan
112°57'05.0" Bujur Timur, dengan luasan ± 12 Ha.
3. Aksesibilitas
Dari Palangka Raya (ibukota Provinsi Kalimantan Tengah) menuju Kasongan (Ibukota Kabupaten Katingan)
dengan jarak ± 85 Km, dengan menggunakan transportasi darat. Dari Kasongan menuju Tumbang Samba
(ibukota Kecamatan Katingan Tengah) kemudian dilanjutkan dari Tumbang Samba menuju Desa Tumbang
Kalemei menggunakan transportasi darat ± 1 jam.
4. Fasilitas Pendukung yang ada
a. Guest House
b. Dermaga
5. Kekurangan
a. Belum adanya penetapan lahan/area khusus wisata.
b. Belum adanya fasilitas untuk menunjang kegiatan pariwisata seperti parkir, wc, taman dan gazebo.
c. Kurangnya jumlah pemandu wisata.
d. Kurangnya kualitas SDM pariwisata.

ZONA UTARA
Komplek Betang Tumbang Manggu
1. Sejarah Singkat/Legenda
2. Letak
Secara administratif Komplek Betang Bintang Patendu terletak di Desa Tumbang Manggu,
Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan. Secara geografis terletak antara 1°19'09.7" Lintang
Selatan dan 113°05'32.3" Bujur Timur, dengan luasan ± 1,3 Ha.
3. Aksesibilitas
Dari Palangka Raya (Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah) menuju Kasongan (Ibukota Kabupaten Katingan)
dengan jarak ± 85 Km, dengan menggunakan transportasi darat. Dari Kasongan langsung menuju
Tumbang Manggu menggunakan transportasi darat ± 1,5 jam.
4. Fasilitas Pendukung yang ada
a. Balai/Aula Pertemuan
b. Ruang Tamu
c. Kamar Tamu
d. Tempat Memasak
e. WC
5. Kekurangan
a. ..............................
b. ..............................
c. ..............................
d. ..............................
e. ..............................

ZONA UTARA
Air Terjun Temanggung Tuyang
Bukit Junjung Tangan
Bukit Bala
1. Sejarah Singkat/Legenda
Kawasan Bukit Bala adalah kawasan yang direncanakan oleh Pemerintah Kabupaten Katingan sebagai
pintu gerbang wisatawan, pengunjung dan peneliti yang akan menuju Bukit Raya.
2. Letak
Secara administratif Bukit Bala terletak di Desa Kuluk Habuhus, Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten
Katingan. Secara geografis terletak antara 1 o17’38.54” Lintang Selatan dan 113 o0’7.71” Bujur Timur,
dengan luasan ± 2.700 Ha.
3. Aksesibilitas
Dari Palangka Raya (Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah) menuju Kasongan (Ibukota Kabupaten Katingan)
dengan jarak ± 85 Km, dengan menggunakan transportasi darat. Dari Kasongan langsung menuju Desa
Kuluk Habuhus menggunakan transportasi darat ± 2,5 jam.
4. Fasilitas Pendukung
a. ...........................
b. ...........................
c. ...........................
d. ...........................
e. ...........................
5. Kekurangan
a. ...........................
b. ...........................
c. ...........................
d. ...........................
e. ...........................

ZONA UTARA
ZONA TENGAH

Bukit Batu
1. Sejarah Singkat/Legenda
Kisah dimulai saat seorang penduduk Desa Tumbang Liting yang bernama Burut Ules. Ia seorang
yang bakaji. Pada suatu hari, seorang diri ia pergi menuju ke suatu tempat untuk membuka lahan
perladangan. Tanpa kawan, ia kerja keras, membabat hutan, membangun pondok untuk tempat
beristirahat, tanpa melupakan tradisi leluhurnya yaitu memohon izin terlebih dahulu kepada segala
mahluk yang tidak terlihat oleh mata jasmani, penunggu daerah tersebut.
Suatu siang ketika Burut Ules merasa lelah, beristirahatlah ia sejenak di bawah sebuah pohon
rindang yang tinggi dan telah berusia ratusan tahun. Dengan posisi tiduran sambil berbantalkan tangan,
matanya menerawang jauh ke depan. Matahari bersinar terik, namun karena berada di rimba raya,
sepoi-sepoi angin menyentuh lembut kulitnya, sejuk terasa, dan kantuk mulai datang menyerang. Akan
tetapi ketika Burut Ules nyaris terlelap, ia terperanjat dan langsung melompat bangkit.
Dilihatnya tujuh perempuan cantik yang sangat menawan turun dari langit langsung menuju
telaga yang ada didekatnya. Saat itu hujan rintik-rintik namun matahari masih bersinar dengan teriknya.
Menyaksikan hal tersebut dengan mengendap-ngendap Burut Ules mendekati telaga. Sambil
bersembunyi ia mengintip rombongan kecil tersebut. Gadis-gadis itu langsung membuka pakaian,
besaluka tanpa penutup dada, dan terjun berenang, ceria, penuh tawa canda nan meriah.
Burut Ules terpana, mata tak berkedip menyaksikan pemandangan itu. Salah seorang yang
nampak paling muda dalam kelompok itu, gerak geriknya membuat Burut Ules sangat terpesona. Tanpa
sepengetahuan si gadis, matanya menatap tajam ke arah sang dara. Saat itu juga Burut Ules langsung
jatuh cinta.
Setelah puas mandi dan berenang, kelompok kecil itu naik ke darat, kembali berpakaian dan
melompat ke angkasa menuju langit. Sejak saat itu Burut Ules menjadi susah, resah, gelisah. Ia sangat
menyesali dirinya mengapa pada saat itu tidak langsung memeluk si perempuan bungsu yang sedang
mengenakan pakaiannya seusai mandi, padahal jarak antara mereka tidak jauh. Rasa sesal tersebut
sangat menderanya hingga tidur tak nyenyak makan pun ia tak kenyang.
Suatu hari ketika matahari sedang bersinar terik dan turun hujan rintik-rintik, bergegas Burut
Ules ke semak-semak menunggu dan mengamati telaga tempat idaman hatinya mandi. Usaha dan
penantiannya tidak sia-sia, tidak lama kemudian di angkasa terlihat buah hatinya dengan saudara-
saudaranya menukik menuju telaga. Menyaksikan hal tersebut, jantung Burut Ules nyaris copot. Pelan-
pelan Burut Ules menarik nafas panjang untuk menenangkan diri.
Kemudian Burut Ules melihat adegan ulangan yang pernah ia saksikan. Ketujuh dara yang baru
tiba langsung membuka pakaian, dengan ceria terjun ke telaga, mandi sambil berenang, penuh tawa ria.
Namun ketika mereka menginjak tanah kembali untuk berpakaian, ketika itu pula Burut Ules mendadak
muncul diantara mereka dan serta merta memeluk buah hatinya. Kepanikan pun terjadi, kelompok kecil
tersebut tergesa-gesa memakai pakaiannya masing-masing langsung lompat menuju langit dengan
meninggalkan si adik bungsu yang ketakutan dalam pelukan erat Burut Ules.
Ketika semua kakaknya telah pergi meninggalkannya, si bungsu berkata kepada Burut Ules:
“Mengapa aku kau sekap? Apa salahku? Dan apa maumu? Bila kau ingin membunuhku, silahkan bunuh
aku, aku tak akan melawan”.
Burut Ules tak mampu menjawab pertanyaan beruntun itu, ia hanya menjawab singkat, bahwa
ia mencintai dan ingin menikahinya. Si bungsu langsung membalas pelukan Burut Ules dan resmilah
mereka menjadi suami isteri.
Selanjutnya Burut Ules sibuk menyembunyikan pakaian yang pernah dipakai oleh isterinya saat
pertama mereka bertemu. Ia khawatir isterinya akan meninggalkannya apabila pakaian tersebut dipakai

ZONA TENGAH
lagi oleh isterinya. Untuk selanjutnya pakaian baru yang terbuat dari kulit kayu, yang ia berikan kepada
isterinya. Singkat cerita, isteri Burut Ules hamil dan lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama....
Burut Ules hidup bahagia bersama anak dan isterinya.
Suatu hari muncul seorang pemuda, mamut menteng, hitam, tinggi besar mengunjungi keluarga
itu. Isteri Burut Ules mengenalkan kepada suaminya bahwa pemuda tersebut adalah salah seorang
saudaranya yang datang untuk mengunjungi mereka. Burut Ules menerima kehadiran pemuda tersebut
dengan baik, bahkan pemuda itu diizinkan turut menginap di rumahnya.
Namun, lama kelamaan Burut Ules merasa curiga karena setiap mandi di telaga, mereka selalu
pergi berdua, berenang ceria, dan hanya berdua. Anak mereka yang masih bayi ditinggal begitu saja di
gubuk. Rasa cemburu mulai muncul, namun apabila Burut Ules menanyakan hal tersebut, isterinya
selalu memberikan jawaban yang sama, bahwa pemuda tersebut benar saudaranya.
Teguran untuk mandi renang berdua di telaga telah diberikan, namun acara renang bersama
tetap juga berlanjut. Timbul kemarahan Burut Ules.
Suatu hari, pada saat yang tepat, Burut Ules menikam pemuda hitam tinggi besar tersebut
dengan tombak hingga tewas dan seketika jasadnya gaib. Sekalipun tombak yang dipakai untuk
membunuh telah disembunyikan, namun hal itu diketahui juga oleh isterinya.
Ketika Burut Ules pulang ke rumah, dijumpainya isterinya berdiri di hejan sambil menggendong
anak lelaki mereka satu-satunya. Ketika melihat Burut Ules datang, dengan nada penuh duka isterinya
mengatakan bahwa ia sangat sedih dan kecewa karena suaminya tidak lagi mempercayainya bahkan
tega membunuh saudaranya. Oleh karena itu ia bertekad untuk pulang ketempat asalnya dengan
membawa serta putra mereka.
Sebelum pergi, masih sempat isterinya berpesan bahwa kelak dikemudian hari apabila anak
turunan Burut Ules membutuhkan bantuannya, maka anak semata wayang mereka akan selalu siap
membantu. Dikatakan pula bahwa kelak apabila anak mereka telah dewasa, ia tidak dapat hidup dan
berdiam di alam dimana ibunya berada karena ayah dan ibunya berasal dari alam yang berbeda. Oleh
karena itu apabila anak mereka telah dewasa, ia akan kembali ke alam ayahnya. Setelah berkata
demikian anak dan ibu lenyap dari pandangan mata Burut Ules dan Burut Ules menjadi sedih tak
terhingga.
Sesal kemudian tak berguna. Burut Ules mencoba bangkit dari kesedihannya. Hari-harinya ia
habiskan untuk kerja keras, letih tidur dan kerja lagi, kerja, kerja, dan terus bekerja. Begitu seluruh
waktunya ia lalui untuk bekerja mengurus ladang, menangkap ikan, dan banyak kegiatan lain yang ia
lakukan.
Waktu berlalu, sedikit demi sedikit Burut Ules mampu bangkit kembali dari kesedihan akibat
ditinggal pergi oleh isteri dan anaknya. Kemudian kawinlah ia dengan anak Kutat. Dari perkawinan ini
lahirlah dua orang anak, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Diyakini bahwa hingga kini Burut
Ules tidak pernah meninggal dunia tetapi gaib ke alam lain.
Suatu hari di Teluk Derep, Tumbang Kasongan, terdengar suara gemuruh halilintar memekakkan
telinga. Petir kilat sambar menyambar. Saat itu sebuah batu besar diturunkan dari langit. Diyakini
bahwa anak Burut Ules yang telah gaib bersama isteri pertamanya, saat itu telah dewasa. Sesuai janji,
apabila telah dewasa ia akan kembali ke alam tempat bapaknya bertempat tinggal, maka janji itu telah
ditepati.
Batu yang diturunkan dari langit yang kemudian terkenal dengan nama Bukit Batu dan sekarang
tempat tersebut diyakini sebagai tempat kediamannya, walau tak terlihat dengan mata jasmani, namun
ia ada di sana sebagai Raja dan penguasa daerah tersebut.
2. Letak
Secara administratif Objek Wisata Bukit Batu terletak di Kasongan Lama, Kecamatan Katingan Hilir,
Kabupaten Katingan. Secara geografis terletak 01 o 53’ 89” Lintang Selatan dan 113o 28’ 46”Bujur Timur,
dengan luasan ± 4,9 Ha.
3. Aksesibilitas
Dari Palangka Raya (Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah) langsung menuju Objek Wisata Bukit Batu
(Kasongan) dengan jarak ± 70 Km, dengan menggunakan transportasi darat.
4. Fasilitas Pendukung yang ada
a. Pos Retribusi
b. Tempat Parkir
c. Panggung
d. Gazebo
e. Betang
f. Kantin/Kios Mini
g. WC
5. Kekurangan
a. Kurangnya kualitas SDM pariwisata. ZONA TENGAH
b. ....................................
c. ....................................
d. ....................................
e. ....................................
KEBUN RAYA KATINGAN

1. Sejarah Singkat
Kebun Raya Katingan mulai dibangun setahun setelah penandatanganan MoU antara LIPI dan
Pemda Kabupaten Katingan pada Tahun 2005 mengenai pengembangan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk pendayagunaan sumber daya di Kabupaten Katingan. Sampai dengan
bulan Februari 2013, jumlah koleksi tertanam di Kebun Raya Katingan sebanyak 60 jenis, 779 spesimen.
Sedangkan di pembibitan sebanyak 450 jenis, 3.968 spesimen.
2. Letak
Secara administratif Kebun Raya Katingan terletak bersebelahan dengan Objek Wisata Bukit Batu
di Kelurahan Kasongan Lama, Kecamatan Katingan Hilir, Kabupaten Katingan. Secara geografis terletak
antara 01o53’37” Lintang Selatan dan 113o28’05”Bujur Timur, dengan luasan ± 102,47 Ha.
3. Aksesibilitas
Dari Palangka Raya (Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah) langsung menuju Kebun Raya Katingan
(Kasongan) dengan jarak ± 70 Km, dengan menggunakan transportasi darat.
4. Fasilitas Pendukung yang ada
a. Pos Retribusi
b. Gazebo
c. Taman Tematik Koleksi Tumbuhan Buah
d. Taman Bundaran
5. Kekurangan
a. WC
b. Menara Pandang
c. Tempat Parkir
d. SDM yang kurang

ZONA TENGAH
Danau Bulat
1. Sejarah Singkat/Legenda
Nama danau yang tidak jauh dari alur Sungai Katingan ini dipercaya warga berasal dari kata “Bunter”.
Pendiri Desa Jahanjang, yaitu Mat Saleh Engkan yang memiliki istri seorang Dayak Ngaju bernama Bunter.
Ketika melihat danau itu, Mat Saleh memberi nama danau dengan nama istrinya, yakni “Bunter” atau
yang dalam bahasa Indonesia artinya bulat, walau tepian danau sesungguhnya tidak membentuk bulatan.
2. Letak
Secara administratif Danau Bulat terletak di Desa Jahanjang, Kecamatan Kamipang, Kabupaten
Katingan. Secara geografis terletak antara ......................... Lintang Selatan dan ................... Bujur Timur,
dengan luasan ± 0,5 Ha.
3. Aksesibilitas
Dari Palangka Raya (ibukota Provinsi Kalimantan Tengah) menuju Kasongan (ibukota Kabupaten Katingan)
dengan jarak ± 85 Km, dengan menggunakan transportasi darat. Dari Kasongan menuju Desa Baun Bango
menggunakan transportasi darat ± 2,5 jam. Kemudian dilanjutkan dari Desa Baun Bango menuju Desa
Jahanjang menggunakan transportasi air ± 30 menit.
4. Fasilitas Pendukung yang ada
a. Jembatan Ulin
b. Guest House
c. Gazebo
d. Dermaga
5. Kekurangan
a. Kurangnya kualitas SDM pariwisata.

ZONA SELATAN
Punggualas
1. Sejarah Singkat/Legenda
Punggualas merupakan nama salah satu anak sungai dan danau yang masuk dalam Wilayah Taman
Nasional Sebangau Wilayah SPTN III Kasongan Resort Baun Bango, dengan kawasan pelestarian ekosistem
hutan rawa gambut tropika yang dimanfaatkan sebagai ruang publik dengan luas + 966,43 Ha dan ruang
usaha dengan luas + 4,91 Ha, yang awalnya digunakan oleh HPH untuk mengeluarkan kayu dari kawasan
hutan menuju sungai. Setelah tidak beroperasinya perusahaan tersebut, illegal logging marak terjadi
hingga mengakibatkan fungsi hidrologis rawa gambut rusak dan daerah resapan air pun terganggu.
Sehingga muncullah Keputusan Menteri kehutanan No. 423/Menhut/II/2004, pada tanggal 19 Oktober
2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Produksi (510.450 Ha) dan Hutan Produksi dapat
Dikonversi (58.450 Ha) menjadi Kawasan Konservasi seluas (568.700 Ha).

2. Letak
Secara administratif Punggu Alas terletak di Desa Keruing, Kecamatan Kamipang, Kabupaten
Katingan. Secara geografis terletak antara ......................... Lintang Selatan dan ................... Bujur Timur,
dengan luasan ± 971,34 Ha.
3. Aksesibilitas
Dari Palangka Raya (Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah) menuju Kasongan (Ibukota Kabupaten
Katingan) dengan jarak ± 85 Km, dengan menggunakan transportasi darat. Dari Kasongan menuju Desa
Baun Bango menggunakan transportasi darat ± 2,5 jam. Kemudian dilanjutkan dari Desa Baun Bango
menuju Visitor Center Punggualas menggunakan transportasi air.
4. Fasilitas Pendukung yang ada
a. Visitor Center
b. Guest House
c. Jungle Track Wisata
d. Perahu Wisata
e.
5. Kekurangan
a. Kurangnya kualitas SDM pariwisata.
b. Dermaga.
c. Aula.
d. Menara Pantau.

ZONA SELATAN

Anda mungkin juga menyukai