Anda di halaman 1dari 2

Monolog Balada Sumarah (Ver.

Cropped)
Dewan Hakim yang terhormat. Sebelumnya perkenankan Saya meralat ucapan Jaksa. Ini bukan
pembelaan. Benar atau salah yang Saya katakan menurut apa dan siapa, Saya tidak peduli. Ini
kali terakhir Saya, jangan ditanya dan jangan dipotong. Kalau waktunya berhenti saya akan
diam.
Nama Saya Sumarah. Umur kurang lebih 36 tahun. Seorang TKW. Babu! Bertahun-tahun saya
menjilati kaki orang, hidup dan merangkak di bawah kaki orang. Bertahun-tahun saya tahan
mulut Saya, Saya lipat lidah Saya agar tidak bicara. Karena bicara berarti bencana bagi perut
Saya, perut si Mbok, dan bencana pula bagi para majikan.
Dari kecil Saya tidak berani mendongakkan wajah apalagi di Karangsari, Desa tempat Saya
dilahirkan. Orang-orang Karangsari selalu menatap saya dengan tatapan dan bisik-bisik penuh
curiga.
Di suatu ketika dibangku Madrasah, Pak Kasirin guru madrasah Saya menerangkan :
“pembunuhan para Jendral itu dilakukan oleh sekelompok orang yang keji, yang tergabung
dalam organisasi PKI. PKI itu benar-benar biadap. Untuk itu dihapus dan dillarang berkembang
lagi. Seluruh antek PKI dihukum”.
Tiba-tiba Saya memdengar suara dari arah belakang Saya.
“Eh, Bapaknya Sumarah itukan PKI”
“Apa iyo?”, “Lha sekarang dimana?”
“Hooh, ya sudah di ciduk. Jangan dekat-dekat sama si Sumarah. Kenak ciduk, modyar”.
“Ssssttt….. Sumarah”
Seperti terkena siraman air panas, hatiku meradang, sakit, nyeri sekali. Siapa bilang bapak Saya
PKI? Bapak Saya bukan PKI. Mbahku bilang Bapak Saya orang yang lugu, pekerjaannya sehari-
hari menderes kelapa dan menjadi kusir andong. Bapak saya juga sering mengantar seorang
penyanyi bernama Den Wasto.
Bener kata si Mbah seharusnya bapak itu gak usahlah menderes kelapa, gak usah jadi kusir
andong, gak usahlah nyetor gula ke Den Wasto. Lihat. Lihat akibatnya. Bapak Saya jadi ikut-
ikutan di ciduk, setelah Den Wasto diseret oleh tentara.
Pak Hakim, kalau benar Bapak Saya bersalah, lantas apa iya Saya, si Mbok dan si Mbah harus
menanggung dosa itu selamanya?. Dikucilkan. Dirampas hak-hak kami. Didepak dari negeri
sendiri.
Suatu hari Saya bekerja di Juragan beras, namanya Bu Juwarti. Dari bekerja di tempat juragan
beras itu, Saya bertemu dengan seorang lelaki. Yang dimana kemudian Saya jatuh cinta
padanya. Namanya Mas Edi, Dia seorang tentara. Tapi kemudian terpelanting dan jatuh ke
jurang yang curam. Saya tidak bisa meneruskan hubungan cinta Saya dengan Mas Edi. Saya
tidak bisa menikah dengan Mas Edi. Mas Edi mundur teratur setelah mengetahui sejarah
keluarga Saya. Sebagai tentara, haram jadah mempunyai istri seperti Saya.
Lagi-lagi bayangan Bapak menggelapkan nama Saya. Saya ingin lari, Saya ingin pergi jauh,
mencari tempat dimana bayangan Bapak tidak dapat lagi menguntit hidup Saya.
Akhirnya melalu perantara seorang calo, Saya mendaftar sebagai seorang TKW. Segala syarat
Saya penuhi. Mulai dari biaya di kelurahan, depnaker, kantor imigrasi, biro tenaga kerja, dan
segala tetek bengek lainnya. Yang ternyata begitu panjang sekali.
Jadilah Saya Sumarah binti Suliman. Seorang TKW dengan predikat NEM tertinggi. Menjadi
budak di negeri orang. Consinus, Tangent, Diferensial, jadi mesin cuci. Archimedes, jadi teori
menyetrika baju. Dikotil monokotil, jadi irama kain pel. Teori pidato jadi omelan para majikan.
Mana kata Pak Kasirin, tentang pribadi bangsa Indonesia yang adi luhung, ramah tamah, gotong
royong, kekeluargaan. Ternyata, segalanya hanya bisa dibeli dengan uang. Segalanya hanya bisa
dibeli dengan uang!!
Dewan Hakim, Saya piker dengan menjadi seorang TKW, hidup saya bisa berybah. Saya piker
Saya bisa bermetamorfosa dari ulat menjadi kupu-kupu yang indah. Tapi ternyata, Sumarah
tetap saja kandas. Dibalik jubbah-jubah majikan Saya,dibalik cadar-cadar hitam majikan Saya,
segala nasib Saya kandas!. Saya disiksa, gaji Saya setahun hilang, dan saya diperkosa!
Saya masukkan mata pisau tajam itu ke jantung hatinya, majikan itu Saya bunuh. Kesadaran itu
muncul tiba-tiba. Saya harus mendongakkan wajah, meludahi muka orang yang
membinatangkan Saya. Bertahun-tahun Saya tidak salah, tapi disalahkan. Sekarang dengan
berani Saya berbuat salah, salah yang sesungguhnya.
Saya sadar akan divonis mati. Saya tidak butuh pembela ataupun penasehat hukum. Tidak perlu
Saya di pulangkan dan diadili di negeri saya. Karena tidak ada yang bisa dihisap lagi dari seorang
babu seperti Saya. Saya ragu apakah hukum di negeri Saya bisa membela Saya.
Dewan Hakim yang terhormat, inilah Saya Sumarah, sekarang Saya harus berani karena bagi
Saya hidup dan mati adalah dua sisi keeping nasib. Dan keeping kematian yang terbuka di
telapak tangan Saya, itulah yang harus Saya jalani sekarang.
Dengan berani, inilah Saya. Nama Saya Sumarah, Saya siap mati!.

Anda mungkin juga menyukai