Oleh : R.A.F
“SUR, Bapak di mana? Sur, Bapak di mana?” Anak-anak kecil mengolok-olok si Mansur,
orang yang hilang ingatan.
“Hey Sur, mana Bapakmu ?”
“Bapakku mata-mata musuh! Bapakku mata-mata musuh!” Si Mansur menjawab
berulang-ulang sambil memukul-mukulkan tongkat yang dibawanya. Serta merta anak-anak
menghambur berlarian sambil tertawa-tawa. Ketika sudah jauh, anak-anak itu bertanya lagi,
mengolok-ngolok lagi. “Sur, Bapakmu mana ?”
Mansur menjawab lagi, memukul-mukulkan tongkat lagi, anak-anak berhamburan lagi,
lari lagi, mengolok-olok lagi. Begitu terus, begitu terus. Semakin jauh, semakin jauh. Suara
tertawa anak-anak semakin nggak jelas. Hanya terdengar sayup-sayup terbawa angin. Yang
masih agak jelas, suara keras si Mansur : “Bapakku mata-mata musuh !, Bapakku mata-mata
musuh !” Kasihan…
Anak-anak kecil itu tidak ada yang tahu apa arti kata-kata si Mansur. Anak-anak itu hanya
senang bersorak-sorai, serasa ada permainan baru. Senang kalau si Mansur menjawab, mengejar
sambil memukul-mukulkan tongkat.
Oleh olok-olok lain si Mansur tidak pernah merasa terganggu. Tapi kalau ditanya perihal
bapaknya, sedang apapun juga, dia akan mengejar, memukul-mukulkan tongkat sambil berteriak :
“Bapakku mata-mata musuh!”
Sesungguhnya hampir semua orang di kampungku sudah tahu cerita tentang si Mansur.
Semua tahu bahwa kurang warasnya si Mansur bukan bawaan semenjak lahir. Bukan gila dari
kanak-kanak. Kalau saya melihat dia sedang ‘jadi’, saya cuma bisa geleng-geleng kepala sambil
baca istigfar, atau ber ck…ck…ck…sambil menggerendeng : “Kasihan sekali, kasihan sekali….”
Atau paling tidak memarahi anak-anak nakal itu, “Anak-anak! jangan digangguin !!”
***
***
Penampilannya tidak ada yang aneh, biasa saja seperti orang kebanyakan. Kulitnya agak
hitam, hidungnya agak pesek, matanya jernih, menandakan otaknya lumayan berisi.
Ada sifat yang sangat baik dari diri si Mansur itu. Dia punya keteguhan hati yang sangat
kuat. Kalau punya pendapat, susah digoyahkan oleh orang lain. Si Mansur jarang sekali menjilat
ludah, tidak mudah merubah omongannya. Selalu tepat janji. Omongannya bisa dipercaya. Kalau
kata dia hitam, susah untuk merubahnya jadi putih atau abu-abu.
Itu sebabnya dari semenjak kecil dia dipercaya orang lain. Sifat-sifat lainnya tidak ada
yang aneh, sama saja dengan orang kebanyakan. Dan memang, si Mansur itu bukan orang
istimewa, sama saja dengan orang-orang lain.
Disiplin ala Seinenden jaman Jepang semakin menguatkan watak si Mansur. Di tambah
oleh jiwa militer, si Mansur semakin berani dan tau akan kewajiban dirinya.
Tidak ada satu perkara jelek yang sama sekali tidak ada baiknya, juga tidak ada satu
perkara baik yang tidak ada jeleknya sama sekali. Pun dengan jaman Jepang. Yang
menyengsarakan dan menyusahkan, tapi tidak sedikit juga memberikan modal untuk perjuangan
***
Waktu itu tengah malam. Gelap gulita, hujan turun semenjak siang, tidak sekejappun
berhenti. Di rumah dekat Kaum, para pemuda sedang berkumpul, mendiskusikan masalah
perjuangan.
“Saudara-saudara, kita memegang tanggung jawab yang sangat besar,” Burhan yang
menjadi pemimpin memulai pembicaraan.
“Perjuangan ada di tangan pemuda. Kita harus berani bertindak. Saat ini secara langsung
kita tidak berhadapan dengan musuh yang mau menjajah. Tetapi sesungguhnya kutu-kutu alat
penjajah sudah banyak berkeliaran disekitar kita. Banyak orang yang mencoba menghalangi
perjuangan kita.”
“Kutu-kutu itu harus kita bereskan!” seorang pemuda menimpali.
“Aku sudah dapat daftarnya, siapa-siapa yang menghalangi perjuangan,” ucap Burhan
lagi.
“Kalo begitu, apa susahnya?” kata Mansur.
“Susahnya banyak,” Burhan menimpali lagi. “Kita banyak terikat dengan pertemanan dan
tali persaudaraan, banyak yang terkait dengan orang tua dan kerabat.”
1
Nak (bahasa sunda)
2
Paman (bahasa sunda)
*********
Cerpen ini diterjemahkan secara bebas oleh Sony Herdiana. Judul asli Bapa Kuring Mata-Mata Musuh. Diterbitkan di
Majalah Sunda no 15 thn II, 31 Mei 1953.
R.A.F, merupakan inisial dari Rachmatullah Ading Affandie, Lahir di Banjar Sari Ciamis, 2 Oktober 1929. Seorang
penulis dan budayawan sunda yang aktif di banyak kegiatan. Mulai menulis sejak tahun 1948 di berbagai majalah
dan surat kabar. Beberapa hasil karyanya sudah dipublikasikan dalam bentuk buku, diantaranya Tjarita Biasa (1959),
dan Dongeng-dongeng Enteng Ti Pasantren (1961).
Biodata Penterjemah :
Nama : Sony Herdiana, ST
Alamat : Jl. Dayeuhhandap No. 23 Garut 44112
Pekerjaan : Alumni Jurusan Teknik Planologi ITB,
Peneliti masalah-masalah pembangunan dan sosial,
Penulis Freelance