Anda di halaman 1dari 4

Pelajaran Sejarah

Muhammad Rifki

Bapak senang cerita, cerita Bapak juga banyak bumbunya, kadang pedas, kadang asin, kadan
g manis. Tiap kali Bapak cerita kisahnya asyik, hewan muncul bicara dengan hewan, hewan
muncul bicara dengan manusia, hewan kayak manusia, manusia kayak hewan.
Bapak suka seni dan olahraga, Japin Carita, Mamanda, bola apalagi—meski Bapak lebih suka
teriak-teriaknya saja. Tapi kemarin Bapak kelihatan beda, Bapak keasyikan marah-marah.
Mukanya bapak merah padam, mulut Bapak meletus-letus nama hewan—yang saya tidak tah
u ini benar hewan, atau hewan yang kayak manusia atau manusia yang kayak hewan.
Saya kenal Bapak dan saya tahu Bapak tidak senang kelahi. Kok, Bapak senang kata-katai ora
ng. Saya bingung, ada banyak nama hari ini—yang bukan hewan—kayak Supriyadi, Soekarn
o, Soeharto. Saya tidak paham Bapak omong apa. Kata Bapak itu ada di buku sejarah. Sehari-
hari saya cuma belajar PPKI dan BPUPKI di buku. Tapi, saya kenal Soekarno, beliau insinyu
r, bapak proklamator bangsa Indonesia, presiden kita pertama. Tapi, Bapak bilang Mochtar L
ubis tidak suka dia, saya bingung Soekarno salah apa. Lalu Soeharto, saya suka beliau, murah
senyum dan berwibawa. Tapi, lagi-lagi Bapak bilang Soeharto jahat. Jahat kata siapa, saya
tambah bingung, kata Bapak atau kata Mochtar Lubis?
Bapak masih marah-marah, singgung-singgung Munir. Munir siapa lagi?
Bapak bilang, beliau—Munir—meninggal dunia waktu mau pergi sekolah. Innalillahi. Saya j
adi takut sekolah, tapi Bapak malah marahi saya. Saya tidak ingin adu argumen dengan Bapa
k, takut dosa. Bapak lanjut banyak bicara, mulut Bapak tidak lagi hanya di muka, di tangan a
da, di kaki ada, di badan ada.
“Katanya ia diracun waktu terbang ke belanda.”
“Kata siapa, Pak?”
“Bapak, lah!”
“Kok, Bapak tau. Bapak pernah ke Belanda?”
“Kamu kok banyak tanya?”
Bapak nyerocos lagi. Mulut Bapak tumbuh lagi.
Saya ingat-ingat pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Ibu guru bilang begini, “Bintang yang kit
a lihat di langit itu sebenarnya sudah mati beribu tahun yang lalu.” Kalau dicocokkan apa kat
a Bapak, Munir itu meninggal di angkasa, sebab Bapak bilang terbang dan bukan jalan kaki.
Apakah Munir ini bintang-bintang?
Saya izin ke Bapak mau ke halaman.
“Ke mana?”
“Lihat Munir!”
“Enggak usah, Munir sudah enggak ada!”
Saya digiring Bapak ke kamar. Tapi tak ada dongeng lagi. Saya mulai pikir-pikir, jangan-jang
an dari tadi Bapak bercanda. Mulut Bapak sudah tak banyak lagi, tinggal satu dikulum senyu
m. Bapak kasih saya ke Ibu. Saya tidak tahu, saya diracun atau apa, saya tetiba tertidur.
***
Esok harinya saya tanya-tanya ke Ibu Guru. Ibu Guru bilang, “Enggak ada nama bintang itu
Munir, ibu juga enggak tau sih siapa yang beri bintang nama. Kamu saja yang kasih nama bin
tangnya.” Saya bingung, Ibu Guru kok suka bercanda, bintang kan ketinggian, tak bisa ditemp
eli kertas nama.
Saya jadi ketat belajar sejarah, tapi di perpustakaan isinya buku berat semua—saya tidak suka
buku tebal. Ibu Guru senang saya belajar, beliau kasih komik, ujarnya, “Ada Munirnya!”
***
Saya tilik-tilik isinya, ini buku tidak ada bintangnya. Saya tak yakin, Ibu Guru bisa saja mem
bohongi saya, sampulnya saja gambar orang orasi, orang yang senang teriak-teriak. Tak mun
gkin bintang senang teriak-teriak, kan di langit tidak ada udara. Omong itu merambat lewat u
dara, jadi di langit enggak bisa ngomong-ngomong. Makanya kalau pengin pintar, kata Bapak
banyak-banyak doa dalam hati, jadi enggak perlu takut kalau doanya enggak sampai-sampai
pada Tuhan di langit.
Saya baru mau baca, tilik-tilik lagi isinya, Bapak malah panggil saya. Memang, di rumah eng
gak pernah bisa tenang.
Buku itu saya letakkan kembali di dalam rak. Saya masih tidak tahu, yang bintang itu siapa, y
ang Munir itu mana. Nanti saya tanya ke Bapak saja.
***
Selesai saya membaca buku, Munir selalu ada di samping saya. Munir bilang ia juga senang
menulis buku, “Nanti kamu baca, ya, buku-bukuku.”
“Enggak, saya tak suka baca kalau tak ada gambarnya!”
Munir diam, mungkin bingung mau bicara apa. Sudah biasa saya lihat lidah Munir kelu, ia
kan seharian banyak bicara dengan saya.
“Saya mau ke toilet, Munir jangan ikut! Nanti punya saya kelihatan.”
Saya tau Munir orang yang penurut, buktinya, kata Bapak ia rela mengorbankan diri demi
mengobarkan semangat bangsa. Munir tau kalau ia bakal diracun, tapi kalau ia tak jadi naik
pesawat orang-orang bakal bingung mengapa tak jadi, nanti dikira penakutlah, pengecutlah,
apa-apalah—bangsa kita kan banyak julidnya. Karena Bapak sangat suka Munir, Bapak
senang puji-puji tokoh yang satu ini, “Dilihat-lihat, makin lama, Munir ini heroik kayak
Demang Lehman, ya?” Saya ingat-ingat, sejarah bilang Demang Lehman setelah meninggal
dihukum gantung, kepalanya dipenggal lalu dibawa ke Belanda. Saya enggak percaya dengan
Bapak, meski sama-sama ke Belanda, Munir yang di samping saya ini masih ada kepalanya.
“Sudah kencing?” Munir tanya ke saya.
“Iya, sudah habis—habis hingga ke khayal-khayalnya. Mari pulang!”
Munir ikut jalan kaki dengan saya.
“Ayo lari-lari,” ucap Munir sembari menepuk pundak saya.
“Lari bisa bikin luka, nanti saya ketahuan Ibu enggak bisa jaga diri sendiri.”
“Ingat-ingat Aku-nya Chairil Anwar!” ucap Munir lantang sambil berlari-lari menuju ke arah
rumah saya.
Saya ingat, lalu saya teriak-teriak, “Luka dan bisa kubawa berlari, berlari, hingga hilang
pedih peri. Dan, aku akan lebih tidak peduli. Aku akan hidup seribu tahun lagi!”
Munir tertawa-tawa, saya juga. Saya jatuh, lutut saya luka-luka. Orang-orang di jalan pulang
tercengang-cengang ke arah saya. Saya enggak tau mengapa, jua mereka bilang apa. Saya
cuma dengar sedikit, ada anak kecil lari-lari sendirian di jalan kayak orang gila. Kasihan
sekali! Seandainya ia punya teman kayak Munir dengan saya, mungkin enggak bakal begitu
amat nasibnya.
Beberapa depa lagi sampai rumah, Ibu melambai ke arah saya, “Lama benar pulangnya?”
“Iya, tadi lagi asyik baca-baca.”
Ibu memeluk saya, menggamit tangan sembari mencubit pipi saya. Saya tepis tangan Ibu
pelan, “Bu! Saya bukan anak-anak lagi!”
Ibu hanya senyum-senyum saja, tapi Bapak—yang entah muncul dari mana—tetiba saja
memukul tangan saya.
“Enggak boleh begitu dengan orang tua!”
Saya hampir menangis, tapi Munir kelihatan senang saya menderita. Saya acuh saja, saya
teriak sekencang-kencangnya, “Kalau begini saya enggak ingin hidup seribu tahun lagi, biar
Chairil Anwar saja!”
Bapak ikut ketawa, Ibu juga. Saya baru sadar saya ditertawakan satu keluarga, saya malu,
saya akhirnya ketawa juga.
Sebelum masuk pintu, Bapak tanya ke saya, “Bagaimana pelajaran sejarahnya?”
Saya bilang saja, “Membosankan!”
“Mengapa?”
“Enggak ada Munirnya!”
Ibu, Bapak, Munir dan saya ketawa lagi. Ketawa yang tiada habisnya.
***
Akhir-akhir ini saya takut. Kabar angin bilang ada satu keluarga di ujung kampung yang
kayak orang gila. Alhamdulillah, kabarnya keluarga itu cuma hidup bertiga, saya jadi tambah
yakin itu bukan keluarga saya.

Banjarmasin, Januari 2022


Pengarang
Muhammad Rifki, sedang menempuh pendidikan
sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pe
ndidikan di Universitas Lambung Mangkurat.

*Bisa dihubungi melalui email mhmmad.rfki@gmail.com atau WA 081952482597


No. Rekening BNI 0969805302 a/n Muhammad Rifki

Anda mungkin juga menyukai