Misbahul, anak Surabaya dari Kampung Kedung Buntu, berjalan menuju ke sekolahnya, SD Kedondong. Sejak Jepang datang tujuh bulan yang lalu, udara selalu dipenuhi oleh bau kelaparan, kesengsaraan, dan kematian. Karena itu, ketika melihat dua mayat tergeletak di pinggir jalan, dia tidak heran. Dia terus berjalan, tiba-tiba, di hadapannya muncul seorang perempuan buta: “He! Dengarkan saya. Ayah kamu akan mati. Sebentar lagi kamu akan lupa kata-kata saya. Lupa bahwa kamu pernah bertemu saya.” Betul, dia benar-benar lupa, dan baru ingat setelah nanti, ketika dia pulang dari sekolah, melihat ayahnya dihajar oleh tetangga-tetangganya sendiri. Di sekolah dia melihat peristiwa yang sering terjadi semenjak Peket diangkat oleh Jepang untuk menjadi kepala sekolah. Dengan gaya digagah-gagahkan sambil membawa tongkat komando, Peket berjalan mondar-mandir sambil sesekali membongkok, menggaruk-garuk kakinya. Kudis. Kudis telah menyerang penduduk semenjak dua bulan setelah Jepang datang. Bukan hanya itu. Kadang-kadang Peket berdeham-deham, lalu melontarkan dahak kental dari mulutnya. Beberapa saat sebelum lonceng berbunyi, semua orang harus berdiri rapi menghadap panggung, dan begitu lonceng berbunyi, dengan gaya percaya diri yang sangat besar Peket naik ke panggung. Tongkat komandonya diselipkan di ketiak, lalu dengan lagak berwibawa dia menembakkan matanya ke semua guru dan murid di lapangan. Upacara bendera dimulai. Dua guru mengerek bendera Jepang perlahan-lahan, sementara semua orang menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, “Kimigayo”. Dua guru ini, dan semua guru lain dan semua murid, tidak ada yang memakai sepatu. Sepatu tidak lain adalah barang mewah. Lalu siapa yang memakai sepatu. Ya Peketlah, dialah satu-satu orang yang sanggup memiliki sepatu. Setelah usai, semua orang harus membongkok-bongkok ke arah Tokyo, kiblat semua makhluk jajahan Jepang. Meskipun semua orang gatal-gatal diserang kudis, tidak ada satu orang pun berani menggaruk-garuk. Kalau berani, Peket merasa diejek, dan hukumannya berat. Hari itu, Peket menutup pidatonya dengan perintah, untuk membantu para pahlawan Jepang dalam pertempuran melawan Sekutu keparat. Perintahnya: besok pagi semua murid harus mengumpulkan buah jarak dan iles-iles sebanyak-banyaknya. Buah jarak bisa dijadikan bensin, dan iles-iles bisa dikeringkan menjadi makanan. Setelah berhenti sekejap, perintah disambung: besok setiap guru harus membawa dua puluh nyamuk mati, dan setiap murid harus membawa tiga puluh nyamuk mati. Kabar angin mengatakan, Jepang sengaja mengembangbiakkan kutu busuk. Setelah jam malam berlaku, Jepang dan begondal-begondalnya, termasuk Peket, menyebarkan kutu busuk ke tempat-tempat umum. Minggu lalu Peket masuk kelas Misbahul untuk memamerkan keperkasaannya. Begitu masuk kelas, dia mengeret Darsini, murid perempuan, dan mendudukkannya di kursi guru. Dia tidak terima, karena waktu upacara bendera tadi Darsini membongkok beberapa kali, menggaruk-garuk kudisnya. Darsini menggeletar, Bu Guru Siti menggelatar “Kamu anak pelacur, ya?” Tidak ada satu murid pun, termasuk Darsini, yang mengerti makna pelacur. Tubuh Darsini diguncang-guncang keras, akhirnya dia menjawab: “Ayah saya penggali kubur.” “Kamu anak pelacur, ya?” “Ibu saya tukang memandikan mayat.” Peket berdeham-deham agak lama, memancing dahak kental, lalu membuka mulut Darsini, dan memuntahkan dahak kental ke mulut Darsini. “Saya lihat ada anak yang mbolos, ya.” “Umar. Sakit. Sudah memberi tahu lewat temannya, Misbahul,” kata Bu Guru Siti. Dengan suara menggelegar, Peket memerintah Misbahul untuk maju ke depan. “Umar teman kamu, ya. Dari Kampung Kedung Buntu, ya?” Dengan kecepatan kilat, Peket melayangkan tongkat komandonya ke kepala Misbahul. Misbahul terpelanting, tetapi segera berdiri lagi. “Jepang sudah tahu, orang Kampung Kedung Buntu bajingan semua.” Misbahul tahu, tapi tidak mengatakan kepada Bu Guru Siti bahwa Umar terpelanting dari kuda milik teman ayahnya, Badrul. Jepang punya kekuasaan untuk merampas apa pun milik penduduk. Waktu berjalan terus, lonceng berbunyi, guru dan murid boleh pulang. Ketika Misbahul akan pulang, Peket bersiul-siul sambil mempermainkan jari-jarinya, persis seperti seorang tuan memanggil anjingnya. Misbahul gemetaran, tapi apa boleh buat. Kepala Misbahul diremas-remas dengan kekuatan penuh, untunglah Misbahul bisa memendam rasa sakit. “Ibu kamu lonte, ya?” Misbahul diam. Dia tidak tahu makna lonte. “Ibumu minggat, kan? Sudah hampir satu minggu dia tidak di rumah, kan?” Misbahul menangis terisak-isak. Memang, ibunya pergi tanpa kabar. Lima hari yang lalu ibunya hilang. “Ibumu cantik, ya?” Misbahul tidak sanggup menjawab. “Ayah kamu gila, ya?” “Tidak.” “Ya, ayahmu gila. Ditinggal minggat istrinya. Ibu kamu tergila-gila sama serdadu Jepang, Kepala Penjara Koblen. Barang siapa berani sama Jepang, punya dua pilihan. Satu, disiksa di Gedung Kenpetai, di alun-alun. Dua, masuk penjara Koblen. Kepala penjara Koblen, Tuan Matsuko perlu babu. Tapi ibu kamu ingin jadi mainan Tuan Matsuko.” Tangan Peket meremas-remas kepala Misbahul lagi dengan kekuatan penuh. “Awas, kalau kamu berani buka mulut tentang ibumu,” sambung Peket. Misbahul pulang, menunduk lesu, matanya membasah. Memang dia sudah mendengar, ibunya diculik, dan dia juga sudah mendengar, ibunya dijadikan gula-gula oleh kepala penjara Koblen. Mendekati rumahnya, Misbahul mendengar tembakan, disusul dengan teriakan-teriakan ganas. Dia lari, dan melihat tetangga-tetangganya memukuli ayahnya. Dekat ayahnya ada orang berkelejatan, sekarat. Ayahnya tumbang. Serdadu Jepang memerintahkan tetangga-tetangganya untuk menginjak-injak tubuh ayah Misbahul. Tidak ada yang mau. “Kalau tidak mau, kamu semua akan saya tembak!” kata serdadu Jepang. Tidak ada yang bergerak. “Ayo, injak-injak!” Sebuah tembakan menghantam seorang tetangga, langsung menggelepar. Terpaksalah tetangga-tetangganya menginjak-injak ayah Misbahul. Mau tidak mau, Misbahul langsung menjadi anak yatim piatu. Tetangga-tetangga Misbahul bersujud di hadapan Misbahul, memohon ampunan. Waktu terus berjalan, Misbahul dan Umar sudah sekolah di SMP, Darsini sudah meninggal akibat tidak mau makan. Setiap kali disuapi, dia teringat dahak pekat Peket, lalu muntah. Bu Guru Siti hilang, setelah melawan Peket ketika Peket membentak-bentaknya karena Bu Guru Siti tidak berhasil mengumpulkan lima ratus nyamuk mati selama dua hari. Peket menggamparkan tongkatnya ke kepala Bu Guru Siti, tapi entah mengapa, Bu Guru Siti berhasil merebut tongkat Peket, lalu berteriak: “Begundal Jepang! Anjing!” sambil memukuli Peket. Misbahul dan Umar berboncengan naik kuda, bagaikan terbang, menuju ke Don Bosco. Seorang laki-laki, menyandang pedang dan golok, menghadang. “Jangan ke sana. Bahaya. Boleh saya pakai kudanya? Saya siap mati.” Misbahul agak ragu-ragu, tapi Umar, pemilik kuda, mengikhlaskan. Agaknya laki-laki itu kurang menguasai kudanya, berkali-kali oleng ke kanan dan oleng ke kiri. Dari jauh tampak ada seorang laki-laki lari terengah-engah melawan arah, dan entah bagaimana, kuda itu menabrak laki-laki itu, dan laki-laki itu pun bergelimpangan. Misbahul ingat, pada suatu hari ketika dia sedang berjalan di Jl. Arjuno, sekonyong-konyong sirene membahana. Misbahul ditarik oleh ibunya, lalu melompat ke parit. Barang siapa berani berada di jalan pada waktu ada sirene, pasti celaka. Betul, waktu itu ada seorang laki-laki berusaha berlari mencari perlindungan. Belum sempat dia bersembunyi, seorang serdadu Jepang naik sepeda motor besar mengejar, dan dengan sengaja ditabraklah laki-laki itu Setelah Misbahul dan Umar menyadari bahwa laki-laki itu tidak lain adalah Peket, mereka lari mendekatinya. Mata, hidung, dan mulut Peket mengalirkan darah. Peket meraung- raung sambil bergelimpangan untuk menahan rasa sakit. Misbahul dan Umar berpandang-pandangan, kemudian, tanpa sadar Misbahul berkata: “Mari kita antarkan Pak Peket ke rumahnya.” “Ya,” kata Umar. “Kita gendong bergantian.”