Anda di halaman 1dari 3

Sakit Pinggang

Muhammad Rifki

Waktu itu relatif, demikian Tuhan menciptakannya. Namun, kita tak bakal tahu sebelum Eins
tein ungkap itu dalam teori relativitas. Ia sebut-sebut waktu mekanis, alam semesta bergerak
dengan suatu aturan, ada siang ada malam. Lalu ada pula waktu tubuh, seperti perasaan bahag
ia yang tetiba berlalu cepat dan hilang begitu saja. Tapi sekarang waktu berjalan lamban dan s
akit pinggangku kian detik kian terasa tak ada habisnya.
Aku hanya rebah seharian. Tak ada daya untuk berdiri, apalagi berjalan. Aku sakit dan sendiri
an.
Lagi-lagi seakan ada yang menunggang tubuhku, pantatnya penuh duri tepat menusuk jantun
g, hati, dan paru. Aku meraung, parau seperti singa yang kalap diterkam ajal. Perlahan kucob
a regangkan badan, terasa nyaman. Kududukkan diri di pinggir kasur, tepat menghadap jende
la. Kuharap detik-detik berlalu laju, mungkin Tuhan bisa buat hari langsung jadi esok saja ag
ar aku tak perlu sakit-sakit begini. Tapi kita tahu Tuhan senang menguji hamba-Nya, jarum m
enusuk punggungku lagi, sakit itu kembali. Aku rebah dan tak sadarkan diri.
***
Tidak ada sakit pinggang hari ini.
***
Ia tetiba datang lagi, menusuk-nusuk tubuhku dengan jarum yang kerap kukenal macam bent
uknya, kembali menusuk jantung, hati, paru, dan kini mulai merambah ke dalam kepalaku. Sa
kit pinggang ini bukan cinta, namun deritanya tiada akhir.
Waktu masih relatif, begitulah Tuhan menciptakannya. Aku jadi membenci Einstein, ia mem
buat sadar orang-orang bahwa sakit itu biasanya akan tahan lama, sebagaimana Tuhan senang
menguji hamba-Nya.
“Kau tak apa?”
Aduh, lucu benar perkataan kawanku, siapa yang tak apa-apa saat sakit pinggang menerpa dir
inya. Sakit pinggang ini muncul tak tepat waktu. Aku kerja dan ia tetiba melekat di pinggang
ku saja. Sedangkan di sini banyak pinggang-pinggang yang lain, yang senang menari-nari, ya
ng senang bergaya-gaya, yang senang berfoya-foya.
“Kalau kau sakit pulang saja.”
“Sudah boleh pulang?”
Ia hanya balas mengangguk. Aku coba beranjak dari kursi, tubuhku ringkih serupa kayu lapu
k sering diterpa basah dan mentari. Pinggangku seakan kerupuk remuk. Aku izin pamit, meng
epak tas dan melangkah sebentar, barang sebentar, dan sakit pinggang itu hilang begitu saja.
Aku menghadap kawanku, tapi ia hanya senyum-senyum. Ya, sudah terlanjur, kuteruskan saj
a.
***
Aku kembali bekerja lagi dan sakit pinggang sekarang punya sisi positif tersendiri. Aku hany
a beralasan lagi, izin lagi, pamit lagi.
***
“Kau kurang minum,” ujar kawanku suatu kali.
Mulai detik itu aku selalu minum lebih banyak di hadapannya, meski sakit pinggang itu suda
h tak ada.
Apakah aku jahat dengan berpura-pura sakit? Tentu, tidak! Bagaimana dengan pejabat yang b
erpura-pura bersih atau muslim yang berpura-pura saleh? Sakit pinggangku tiada apa-apanya
dibandingkan mereka.
Tetapi waktu relatif itu benar adanya, seperti kata Einstein, kebahagiaan itu cepat berlalu. Da
n, tetiba saja, sakit pinggang itu muncul kembali setelah kian lama.
***
Sudah tiga hari aku tak masuk kerja, kusebut ini karma karena keseringan berpura-pura. Kaw
an dekatku berjanji datang sore ini, aku tak bisa menyiapkan apa-apa, biarlah! Siapa peduli ru
mah berserak, barang-barang berhambur ke mana-mana, sedangkan ia tahu aku sendirian dan
sedang sibuk dengan sakit pinggangnya. Oh, bahagianya diriku, sakit pinggang sialan ini, ia k
ambuh lagi!
Kubenam sendiri tubuhku, kuhentakkan pula ke sisi kanan dan kiri, tapi sakit itu malah makin
menjadi-jadi. Aku teriak-teriak, meraung-raung hingga capai, namun tak ada perubahan dibua
tnya, sakit pinggang itu seakan melekat di tubuhku, menetap di balik kulit dan menusuk-nusu
k dari dalam organ-organku. Aku penuh luka dan berdarah-darah, tapi hanya aku yang bisa
merasakan luka-luka bagian dalam tubuhku sendiri, orang-orang tak akan mengerti.
Aku tak tahan.
Kata orang-orang, kalau kau ingin sakit tak terasa, kau hanya perlu melukai bagian tubuhmu
yang lain dan sakit itu akan berpindah ke bagian tubuh yang baru saja kaulukai. Ya, kalau tid
ak sakit benar pinggang ini, tak akan kuturuti saran sialan semacam itu. Tapi, apa daya? Sakit
pinggangku ini makin hari, makin menggila. Sungguh mati aku dibuatnya.
Lalu kulukai tanganku, betisku hingga wajahku. Belur menjalar di sekujur tubuh. Namun saki
t pinggang itu masih terasa.
Aku hanya harus lebih sakit lagi.
Kuambil tusuk gigi dan kutusukkan ke tanganku, patah, tapi, aduh sekali! Sebagian menanca
p kulitku, ini pertama kalinya aku bertindak bodoh dan melukai diri sendiri. Tapi, sakit pingg
ang itu kini tetiba tak lagi terasa, ia pudar, entah hilang ke mana.
Entah berapa lama waktu berjalan, aku hanya perlu menusuk-nusuk diriku ketika sakit pingga
ng itu hendak kembali. Kalau tusuk gigi tak tahan kuambil gunting, kalau terlalu sakit kuambi
l silet, entah pisau dan lainnya berganti-ganti. Tubuhku semacam objek eksperimen yang dipe
nuhi banyak luka, lama-lama tubuhku kebas dan terbiasa.
Aku tak sakit lagi, berkat tusukan itu. Tubuhku luka-luka, ya, aku hanya perlu ke apotik bara
ng sebentar, membeli obat merah dan perban.
Baru beberapa depa aku beranjak, seorang menghadap ke arahku. Ini rumahku dan aku tahu b
iasanya rumahku terkunci, lalu siapa ini?
Kami bersitatap, aku dan raut mukanya yang pekat. Aku kenal ia, ia sakit pinggangku.
Tubuhku bergidik, mencium mara bahaya kian mendekat. Napasku kini megap-megap, tak
sampai-sampai menghirup udara. Sedangkan ia kian dekat, makin dekat saja.
Lalu, tanpa aba-aba, tanganku bergerak sendiri. Benda-benda terlempar sendiri, pisau-pisau
tertancap sendiri, dan aku pun kalap sendiri.
***
Aku terbangun pukul lima pagi, kutemukan barang-barangku berserak dan kawanku rebah-
rebahan sembari meringkuk menutupi diri. Aku tak tahu apa yang terjadi, kulihat tubuhnya
luka-luka, benda-benda berserak di sekitarnya, pisau-pisau menancap pada tubuhnya.
“Hairullah? Kau sedang apa?”

Banjarmasin, 05 Januari 2022

Anda mungkin juga menyukai